Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan Akibat Hukumnya (Studi Penetapan No. 156 PDT.P 2010 PN.SKA Tentang Perkawinan Beda Agama)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dan sakral karena
merupakan suatu penghubung ikatan yang sangat dalam diantara para pihak yang
terlibat di dalamnya, yaitu calon suami dan calon istri yang bermaksud membentuk
keluarga dan rumah tangga dengan melaksanakan suatu perkawinan. Oleh sebab itu
perkawinan merupakan suatu tradisi yang sangat penting bagi seluruh manusia, dan
karena pentinganya suatu perkawinan, maka perkawinanpun banyak diatur dalam
berbagai aspek kehidupan, baik dari sisi agama, tradisi masyarakat dan institusi
negara sekalipun.
Pada kenyataannya pengaturan tentang perkawinan terdapat banyak perbedaan
diantara satu dengan lainnya dan tidak memiliki suatu keseragaman, misalnya suatu
tradisi masyarakat yang satu dengan yang lain, antar negara yang satu dengan yang
lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawinan
disebabkan cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang
berbeda.1 Keadaan dan kondisi tersebut sangat mempengaruhi peraturan hukum
perkawinan tersebut.

1


Alexander
Rizki,
Perkawinan
Beda
Agama
dan
Keabsahannya,
http://alexanderrizki.blogspot.co.id/2011/03/perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html?m=1, diakses
pada tanggal 12 februari 2016.

1

Universitas Sumatera Utara

2

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk khususnya bila
dilihat dari segi etnis atau suku bangsa dan agama. konsekuensinya, dalam menjalani
kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam

berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar
individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya
adalah masalah hubungan antar umat beragama. Di Indonesia dapat dilihat dari
banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, yaitu agama Islam, Hindu, Budha,
Kristen, Katolik dan lain-lain. Adanya keseragaman agama tersebut di Indonesia
maka pemerintah memberlakukan beberapa peraturan perkawinan antara lain:
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama yang telah diakodomir dalam hukum adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku
huweliksordonnantic Christen Indonesia.
4. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia
keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab-Kitab Hukum Perdata dengan
sedikit perubahan.
5. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga negara indonesi
keturunan Timur Asing lainnya berlaku hukum adat mereka.
6. Bagi orang-orang Eropa dan warganegara keturunan Eropa yang
disamakan namanya dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. 2
Selain peraturan perkawinan adapun larangan perkawinan menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 35,
menyebutkan bahwa perkawinan yang dilarang adalah :

2

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

3

a. Antara mereka yang satu dan lain bertalian keluarga dalam garis lurus
keatas dan ke bawah, baik karena kelahiran yang sah atau tidak sah karena
perkawinan.
b. Antara mereka yang bertalian keluarga dalam garis menyimpang antara
saudara pria dan saudara wanita yang sah atau tidak sah
c. Antara ipar pria dan ipar wanita karena perkawinan sah dan tidak sah,
kecuali si suami atau si isteri yang mengakibatkan periparan sudah
meninggal atau jika karena keadaan tidak hadirny suami dan isteri,
terhadap isteri atau suami yang ditinggalkannya, oleh Hakim diizinkan

untuk kawin dengan orang lain.
d. Antara paman atau paman orang tua dan anak wanita saudara atau cucu
wanita saudara, sperti juga bibi atau bibi dari orang dan anak pria saudara
atau cucu saudara pria dari saudara yang sah atau tidak sah.
e. Antara teman berzinah, jika telah dinyatakan dengan putusan Hakim salah
karena berzinah.
f. Antara mereka yang perkawinannya telah dibubarkan karena putusan
Hakim setelah pisah meja dan ranjang, atau karena perceraian kecuali
stelah lewat waktu satu tahun sejak pembubaran perkawinan yang terakhir.
Larangan-larang tersebut lebih sederhana3 dibandingkan dengan larangan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 8

3

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2003, hal. 62.

Universitas Sumatera Utara

4


tentang larangan perkawinan menyebutkan perkawinan dilarang antara dua orang
yang
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah, dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. sehubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak tiri
d. sehubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan;
e. sehubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenekan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku,
dilarang kawin.
Pada poin f menyebutkan bahwa hubungan yang oleh agama atau perturan
yang berlaku, dilarang kawin, sehingga dapat diartikan bahwa apabila agama atau
hukum itu melarang perkawinan tersebut maka perkawinan tersebut tidak dapat
dilaksankan.
Sedangkan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing dan agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hukum masing-masing dan agamanya memiliki maksud bahwa hukum dan
agama yang berlaku bagi golongan warga negara tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 2
ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan

Universitas Sumatera Utara

5

kepercayaannya. Jadi, bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan
melanggar hukum agamanya sendiri. 4
dari penjelasan yang

dikemukakan di atas, bahwa hukum negara telah

menetapkan syarat dengan melaksanakan perkawinan dengan hukum masing-masing
agama dan kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan: “bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang

pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan
tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban
orangtua.”5
Larangan menikah beda agama tersebut dipertegas dalam agama Islam dengan
Qur’an Surat Al Baqarah ayat 221, yang berbunyi :
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintah-Nya kepada manusia,
supaya mereka mengambil pelajaran.6
Menurut agama kristen katolik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara
pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari
keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.7

4

Sudarsono, Op.Cit., hal. 10.

Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Jakarta, Bumi Aksara, 2002, hal. 35.
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan IndonesiaI, Bandung, Mandar Maju, 1990, hal.

5

11-12.

Universitas Sumatera Utara

6

Sah atau tidaknya suatu perkawinan semata-mata ditentukan oleh ketentuan
agama dan kepercayaan orang yang hendak melakukan perkawinan, sehingga setiap
perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan hukum agama dengan sendirinya
menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai
ikatan perkawinan.8 Sehingga di Indonesia, ketika sepasang calon suami dan istri
yang berbeda agama hendak melakukan perkawinan harus memilih tunduk pada salah

satu hukum agama, agar dengan sendirinya tunduk kepada hukum perkawinan di
Indonesia.
Hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud bukan hanya hukum yang
dijumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan-keyakinan yang berbentuk
gereja-gereja kristen atau dalam kesatuan-kesatuan masyarakat (seperti di Bali) yang
berkepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa itu, tetapi juga semua kententuanketentuan perundang-undangan baik yang telah mendahului Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun yang akan ditetapkan lagi kelak.9
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi
kesempatan atau upaya hukum bagi para pihak yang hendak melakukan perkawinan
tetapi di tolak untuk dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan, salah satu alasan
penolakan bisa berupa tidak tepenuhi syarat-syarat perkawinan terutama syarat
materil khusus perkawinan dalam hal ini berupa larangan kawin. Karena tidak semua

8
9

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan, CV. Zahir, 1975, hal. 13.
Sudarsono, Op.Cit., hal. 10.

Universitas Sumatera Utara


7

larangan kawin bersifat mutlak sehingga ada beberapa larangan kawin yang bisa tidak
menjadi larangan kawin lagi selama ada penetapan hakim atas hal tersebut.
Penetapan kawin yang diajukan kepada Pengadilan Negeri ini muncul karena
memang diatur dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi para pihak yang perkawinannya ditolak berhak
mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai
pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan
keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
Dalam Penetapan Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska mengenai permohonan
perkawinan beda agama yang hendak diteliti, sepasang calon suami isteri berbeda
agama, calon istri LA beragama kristen dan calon suami AJ beragama Islam.
Keduanya hendak mencatatkan perkawinannya kepada pegawai pencatat perkawinan
namun, pasangan tersebut tidak mau tunduk pada hukum masing masing agamanya
sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
sehingga memohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh izin agar dapat
melangsungkan perkawinannya dan dicatatkan. Serta dalam pasal 35 huruf a
menyatakan bahwa perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh

pengadilan.

Undang-Undang Nomor 23

tahun

2006

tentang Administrasi

Kependudukan memungkinkan pasangan beda agama dicatatkan perkawinannya
dengan memperoleh penetapan pengadilan.
Peristiwa ini terjadi di Kota Surakarta Jawa Tengah, dimana dalam hal ini
hakim memberikan izin untuk perkawinan tersebut untuk dapat dilangsungkan

Universitas Sumatera Utara

8

dengan menerapkan perkawinan campur, yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal
57 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang pengertian perkawinan campur

tersebut, yang mana perkawinan campuran adalah perkawinan yang antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu adalah berkewarganegaraan Indonesia10, sedangkan
dalam penetapan Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska yang diteliti tidak ada perbedaan
kewarganegaraan antara kedua pihak, Serta, hakim dalam pertimbangannya
menyatakan menganggap para pemohon melepaskan keyakinan agamanya yang
melarang adanya perkawinan beda agama. sehingga ada kesenjangan hukum dalam
penetapan ini, karena Majelis hakim seakan-akan mengesampingkan hukum agama
yang ada di Indonesia, padahal hukum perkawinan sendiri mengakui keberadaan
hukum agama tersebut dalam pelaksanaan perkawinan tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka menarik untuk diteliti masalah tersebut dalam
tesis ini dengan judul “Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan
akibat hukumnya (Studi Penetapan No. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska Tentang Perkawinan
Beda Agama).”
B. Perumusan Masalah
Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut:
1.

Bagaimana pengaturan larangan perkawinan beda agama menurut hukum
perkawinan di Indonesia?
10

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Sumur, 1960, hal. 46.

Universitas Sumatera Utara

9

2.

Bagaimana akibat hukum perkawinan beda agama menurut hukum perkawinan
Indonesia?

3.

Bagaimana

pertimbangan

Majelis

Hakim

dalam

Penetapan

No.

156/Pdt.P/2010/PN.Ska mengenai permohonan perkawinan beda agama?
C. Tujuan Penelitian
Perumusan tujuan penulisan selalu berkaitan erat dalam menjawab
permasalahan yang menjadi fokus penulisan, sehingga penulisan hukum yang akan
dilaksanakan tetap terarah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini
adalah:
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan pengaturan larangan perkawinan beda
agama menurut hukum perkawinan Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan akibat hukum dari perkawinan beda
agama menurut hukum perkawinan Indonesia.
3. Untuk

mengetahui pertimbangan Majelis Hakim dalam Penetapan No.

156/Pdt.P/2010/PN.Ska mengenai permohonan perkawinan beda agama.
D. Manfaat Penelitian
Dengan

tercapainya

tujuan

penulisan

sebagaimana tersebut di atas,

selanjutnya hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk
sumbangan saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya. Khususnya
memberikan

informasi tentang pentingnya larangan perkawinan beda agama,

Universitas Sumatera Utara

10

agar dapat disebar luaskan dan dibaca, oleh kalangan akademisi maupun praktisi
serta masyarakat pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan dan panduan bagi calon pasangan suami istri terhadap
pernikahan beda agama.
b. Untuk menambah khazanah dan wawasan pemikiran hukum kepada
masyarakat khususnya yang melaksanakan perkawinan beda agama, tentang
pentingnya suatu kesamaan agama dalam perkawinan.
c. Untuk memberikan manfaat kepada pemerintah dalam hal, membuat peraturan
tentang larangan perkawinan beda agama yang harus diperjelas agar tidak
menimbulkan keraguan dalam penafsirannya.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan sekolah pasca sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Analisis
Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan akibat hukumnya (Studi Penetapan
MA. No. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska Tentang Perkawinan Beda Agama).” Belum pernah
dilakukan. Memang pernah ada penelitian tentang Perkawinan Beda Agama yang
dilakukan :
1. Nama Maris Yolanda Soemarno, NIM 087011010, Judul Tesis : Analisis Atas
Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri.
Rumusan masalah :

Universitas Sumatera Utara

11

1. Bagaimana kedudukan perkawinan beda agama dala sistem hukum di
Indonesia?
2. Bagaimanakah pencatatan perkawinan beda agama yang dilangsungkan di
luar negeri ?
3. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil?
Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut
berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan
demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari
permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Penulis bertanggungjawab sepenuhnya apabila dikemudian hari ternyata penelitian ini
merupakan hasil plagiat dari penelitian yang telah ada sebelumnya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena

tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya, 11 dan suatu
teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan
dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat
menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain,12 sedangkan kerangka
teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu
11

H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2005,

12

Ibid, hal. 23.

hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

12

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan
teoritis.13
Menurut W.L. Neuman, yang berpendapat dikutip dari Otje Salman dan anton
F Susanto menyebutkan bahwa : “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh
berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang
memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia, ia adalah cara yang
ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.14
Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian Teori
menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “ Teori adalah
seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk
memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan Kontribusi
parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum” .15
Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini
adalah teori efektivitas dan teori kepastian hukum.
Teori efektivitas dalam bidang hukum mengandung arti bahwa ketika ingin
mengetahui sejauhmana efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus dapat
mengukur sejauhmana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Pada umumnya
faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah
profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang, dan fungsi dari para penegak

13
14
15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 2003, hal. 80.
H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Op.Cit, hal. 22.
Ibid, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

13

hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka
maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.16
Teori Efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 17
Kelima faktor di atas saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan
hukum. Menurut soerjono soekanto, efektif adalah taraf sejauhmana suatu kelompok
dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak
hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing
ataupun mengubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.18
Teori efektivitas dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan yang telah
mengatur mengenai larangan perkawinan beda agama di Indonesia sudah jelas.
Namun dalam penafsiran dan penerapannya masih harus dilihat sejauh mana hukum
tersebut mengatur dan mengikat masyarakat, sehingga dapat diketahui sejauh mana
16

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan Vol.1, Jakarta, Kencana, 2010,

hal. 375.
17

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mepengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 8.
18
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi, Bandung, CV. Ramadja
Karya, 1988, hal. 80.

Universitas Sumatera Utara

14

efektivitas hukum tentang larangan perkawinan beda agama itu dapat terlaksana
dengan baik. Selain menggunakan teori efektivitas dalam membahas larangan
perkawinan beda agama ini juga, menggunakan teori kepastian hukum.
Gustaf Radbruch, menyatakan dua macam pengertian kepastian hukum yaitu:
Kepatian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum.
Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat
adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi
tugas hukum yang lain, keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna.
Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut
sebanyak banyaknya dalam Undang-Undang. Dalam Undang-Undang tersebut
terdapat
ketentuan-ketentuan
yang
bertentangan
(Undang-Undang
berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat
berdasarkan recht swerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh dan
dalam Undang-Undang tersebut tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda. 19
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam artian dia menjadi
sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan karena ketidakpastian aturan dapat
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distrosi norma.20
Bambang Semedi, dalam tulisannya “Penegakan Hukum Yang Menjamin
Kepastian Hukum” dia mengemukakan : “Kepastian hukum yang sering dijadikan
alasan para penegak hukum sebenarnya dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yakni
dengan kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum.21
19
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, jakarta, Kompas, 2007, hal. 88.
20
Ibid, hal. 89.
21
Bambang Semedi, Teori Hukum: Sebagai Suatu Kajian, Jakarta, PT. Gunung Agung Tbk,
1998, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

15

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu :
“Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa
saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terdapat Individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-Undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan Hakim antara putusan
Hakim yang satu dengan putusan Hakim lainya untuk kasus yang serupa yang
telah di putuskan”.22
Dengan menerapkan teori kepastian hukum tersebut dapat dilihat apakah
dengan suatu larangan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia apakah sudah
berjalan dengan baik, dan bagaimana dengan penetapan pengadilan yang menjadi
syarat dalam suatu perkawinan beda agama tersebut merupakan salah satu cara untuk
memperoleh kepastian hukum, yang sekaligus secara tidak langsung telah
mengenyampingkan agama dalam suatu perkawinan.
2.

Konsepsi.
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah

sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada
dalam pikiran (berupa ide).
“Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori
dan observasi antara abstraksi dan realitas.”23
Selanjutnya, Suwandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud
dengan konsep, menurut beliau, sebuah konsep berkaitan dengan definisi operasional.
22

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Pranada Media Group,
2008, hal. 158.
23
Masri Singarimbun, dkk, Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, 1999, hal. 34.

Universitas Sumatera Utara

16

“Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasi dari
hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.”24
Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif, dari segi subyektif
konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari
segi obyektif, konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut,
hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.25
Konsep merupakan “alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain,
seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep
merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.
Konsep adalah suatu Konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh
suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan
analitis”.26
Dalam kerangka konseptional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.27 Selanjutnya konsep atau
pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka
konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejalagejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi
secara singkat dari sekolompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan
definisi dari apa yang perlu diamati, Konsep menentukan antara variable-variable

24

Suwandi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998,

hal.3.
25
Yooke Tjuparmah S Komaruddin, Kamus istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara,
2006, hal. 122.
26
Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal.70.
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitiant Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

17

yang ingin menentukan adanya gejala empiris.28
Beranjak dari judul tesis ini, yaitu : “Analisis Yuridis Larangan Perkawinan
Beda

Agama

dan

akibat

hukumnya

(Studi

Penetapan

MA.

No.

156/Pdt.P/2010/PN.Ska Tentang Perkawinan Beda Agama).” maka dapatlah
dijelaskan konsepsi ataupun pengertian dari kata demi kata dalam judul tersebut,
yaitu sebagai berikut :
a. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk kekuarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.29
b. Larangan Perkawinan adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan
perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dikehendaki oleh hukm dan larangan agama.30
c. Perkawinan Beda Agama adalah perkawinan antara dua orang, pria dan
wanita yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda agama.31
d. Akibat Hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan
hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau
akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh
hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat

28

Koentjoro Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1997, hal. 21.
29
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
30
C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2010, hal.
31
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta, PT. Radja Grafindo
Persada, 1997, hal. 55.

Universitas Sumatera Utara

18

hukum.32
e. Penetapan adalah keputusan Pengadilan atas perkara permohonan. 33
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat
deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran
secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis
dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis
secara cermat untuk menjawab permasalahan.34mengenai bagaimana hak asuh anak
dibawah umur terhadap perceraian yang dilaksanakan dalam perkawinan beda agama.
Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan,
menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan
peraturan perundang-undangan mengenai permasalahan dalam larangan perkawinan
beda agama, sehingga dapat diperoleh penjelasan bagaimana penetapan pengadilan
tentang perkawinan beda agama. Sebagai hasilnya dapat dijelaskan akibat hukum
serta penyelesaian masalah yang terjadi dalam pelaksanaan perkawinan beda agama
tersebut.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan
pendekatan yuridis normatif. Pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan
32

Syarifin, Pipin, PIH Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, Pustaka Setia, 1999, hal. 71
Lihat Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
34
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, Alumni,
1994, hal. 101.
33

Universitas Sumatera Utara

19

mengkaji ketentuan mengenai larangan perkawinan beda agama. Menggunakan
pendekatan yuridis normatif karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah
(norm) yang dapat dipergunakan sebagai dasar hukum yang mengatur larangan
perkawinan beda agama. Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti
sempit, Peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekkan hukum normatif
berupa asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.35
Penelitian ini sering disebut juga penelitian dokumenter untuk memperoleh
data sekunder dibidang hukum. Penelitian lebih meliputi penelitian asas-asas hukum,
sumber-sumber hukum, Peraturan perundang-undangan yang berlaku, literaturliteratur yang berkaitan dengan permasalahan. Titik berat penelitian tertuju pada
penelitian dokumenter, yang berarti lebih banyak menelaah dan mengkaji data
sekunder yang diperoleh dari penelitian.
3.

Data dan Tehnik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian hukum Normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi

kepustakaan. Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penulisan tesis ini, penulis menggunakan data sekunder dan didukung oleh data
primer sebagai data penunjang. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi
kepustakaan dari arsip-arsip, bahan pustaka, data resmi pada putusan pengadilan
Negeri Medan, Undang-Undang, makalah yang ada kaitannya dengan masalah yang
sedang diteliti, yang terdiri dari :
1.

Data sekunder terdiri dari :
35

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal. 70.

Universitas Sumatera Utara

20

a. Bahan hukum primer,36 yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu : UndangUndang Nomor 1 tahun 1974
Islam

serta

Penetapan

MA.

tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum
No.

156/Pdt.P/2010/PN.Ska

tentang

Perkawinan Beda Agama.
b. Bahan hukum sekunder,37 yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer, antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum
dibidang hukum perkawinan khususnya larangan perkawinan beda agama.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang
untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar,
internet serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.38
Disamping data sekunder, penelitian ini juga didukung oleh data primer. Data
primer digunakan untuk mendukung dalil-dalil hukum yang dirumuskan dari data
sekunder.
2.

Data Primer, yaitu data yang diambil langsung oleh peneliti dengan wawancara
yang dilakukan secara terarah (directive interview),39 yaitu Hakim Pengadilan
Negeri Medan, Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Wawancara ini
dilakukan di Medan karena peneliti berada di Medan dan dengan pertimbangan
di Medan masih banyak terjadi kawin beda agama namun tidak dicatatkan di

36
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1988, hal. 55.
37
Ibid.
38
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 14.
39
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hal. 60.

Universitas Sumatera Utara

21

Kantor Catatan Sipil Medan dengan pertimbangan melanggar syarat sahnya
perkawinan

menurut

Undang-Undang

Nomor

1

Tahun

1974

tentang

perkawinan40, penelitian dilakukan dengan menggunakan prosedur pengajuan
penelitian dengan mengirim surat keterangan penelitian yang dikeluarkan oleh
Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4.

Alat Pengumpulan Data.
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara:
a. Studi Dokumen.
Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data
sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian.41
b. Pedoman Wawancara.
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan
lisan guna mencapai tujuan tertentu.42 Wawancara dengan pengumpulan data,
dimana penulis melakukan percakapan atau tatap muka yang terarah dengan
menggunakan pedoman wawancara kepada Hakim Pengadilan Negeri Medan

40
Wawancara, Susi Rusida, Kepala Seksi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan
Dan Catatan Sipil Medan, Pada tanggal 17 Mei 2016.
41
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,
1986, hal. 21.
42
Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2007, hal. 95.

Universitas Sumatera Utara

22

dan Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk memperoleh
keterangan atau data-data yang diperlukan.
5.

Analisis data
Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penetilian yang

mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan serta norma-norma hidup yang berkembang dalam masyarakat.43
Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis. Analisis data yang dipergunakan adalah
pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut,
meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk
menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.44 Bentuk penelitian
yang kualitatif merupakan bentuk penelitian yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma hidup yang
berkembang dalam masyarakat, sehingga dapat tercapai tujuan dari penelitian ini.
Proses data kualitatif dilakukan dalam penelitian hukum yang normatif ini
dilakukan bertujuan untuk :
1. Inventarisasi data sekunder dan data primer sebagai data penunjang, yang
dimaksud dalam tesis ini adalah proses pemilihan atau mengidentifakasi
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

43
44

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal. 105.
Ibid, hal. 107.

Universitas Sumatera Utara

23

2. Analisis bahan hukum melalui penafsiran dan content analysis, adalah suatu
proses mengolah, mengembangkan dan menentukan instrumen bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
3. Mensistematisasikan data hasil analisis kedalam pola yang sistematis agar
mudah di pahami, adalah proses pengurutan hasil analisa kedua bahan hukum
tersebut.
4. Menarik kesimpulan dengan metode deduktif, adalah sesuatu data yang
bersifat umum yang diperoleh melalui suatu metode pengumpulan data yang
akan dikelola dan dianalisis dan diambil kesimpulan yang bersifat khusus.

Universitas Sumatera Utara