Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Chikungunya
2.1.1. Definisi Chikungunya
Chikungunya adalah sejenis demam virus yang disebabkan alphavirus yang
disebarkan oleh gigitan nyamuk dari spesies Aedes aegypti. Namanya berasal dari
sebuah kata dalam bahasa Swahili yang berarti “yang melengkung ke atas” merujuk
kepada tubuh yang membungkuk akibat gejala-gejala arthritis (Anies, 2006).
Chikungunya adalah penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oleh
virus Chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes africanus.
Chikungunya dalam bahasa Swahili berarti kejang urat. Istilah lain penyakit ini
adalah dengue, dyenge, abu rokap dan demam tiga hari. Penyakit ini ditandai dengan
demam, mialgia atau artralgia, ruam kulit, leukopenia dan imfadenopati karena
vektornya nyamuk maka Chikungunya tergolong arthropod-borne disease yaitu
penyakit yang disebabkan oleh artropoda (Widoyono, 2008).
Menurut Soedarto (2009), Chikungunya adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus Chikungunya yang menimbulkan gejala mirip demam dengue
tetapi jarang menyebabkan pendarahan. Penderita mengeluh nyeri hebat pada tulangtulangnya (break-bone fever) sehingga penyakit ini di masyarakat dikenal sebagai flu
tulang. Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti vektor utama dan Aedes
albopictus vektor potensial.


9
Universitas Sumatera Utara

10

Chikungunya adalah penyakit yang mirip dengan Dengue hemorrhagic fever.
Penyakit ini diidentifikasi dengan timbulnya panas yang disertai arthritis (radang
sendi) yang terjadi pertama pada pergelangan tangan, lutut, pergelangan kaki dan
sendi kecil pada ekstremitas yang berlangsung selama beberapa hari sampai bulanan
(Sarudji, 2010).
2.1.2. Etiologi dan Patogenesis
Virus Chikungunya adalah virus yang termasuk dalam genus virus alfa dari
family Togaviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran diameter sekitar 42 nm.
Virus Chikungunya bersama dengan virus O’nyong-nyong dari genus virus alfa dan
virus penyebab penyakit “Demam Nil Barat dari genus virus flavi menyebabkan
gejala penyakit mirip dengue. Sebelum menyerang manusia 200 – 300 tahun yang
lalu, virus ini telah menyerang primata di hutan dan padang Savana di Afrika. Hewan
primata yang sering terjangkit adalah baboon (Papio sp) dan Cercopithecus sp. Siklus
di hutan diantara satwa primata dilakukan oleh Aedes sp (Widoyono, 2008).

Menurut Soedarto (2009), virus penyebab Chikungunya termasuk kelompok
virus RNA yang mempunyai selubung merupakan anggota grup A arbovirus, yaitu
alphavirus dari Togaviridae. Dengan mikroskop elektron virus ini menunjukkan
bentuk virion yang sferis dan kasar atau berbentuk polygonal dengan garis tengah 40
– 45 nm dan inti yang berdiameter 25 – 30 nm.
Penyebaran virus Chikungunya tersebar luas di Afrika, Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Vektor utama penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes aegypti,
sedangkan sumber penularan adalah manusia dan primata.

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.3. Gejala Klinis
Masa inkubasi 3 – 5 hari. Permulaan penyakit biasanya; tiba-tiba timbul panas
tinggi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri persendian dan timbul bercak pendarahan (rash).
Nyeri sendi pada penderita dewasa umumnya lebih berat daripada anak-anak. Sendi
bekas trauma lebih mudah diserang. Sendi yang diserang Chikungunya, bengkak dan
nyeri bila ditekan. Tanda-tanda peradangan sendi lain biasanya tidak ditemukan. Rash
kulit biasa ditemukan pada permulaan sakit tetapi biasa juga timbul beberapa hari

kemudian. Rash seringnya ditemukan pada badan dan anggota Limpa dan Liver
biasanya tidak teraba (Yatim, 2007).
Demam Chikungunya atau flu tulang (break-bone fever) mempunyai gejala
dan keluhan penderita mirip demam dengue, namun lebih ringan dan jarang
menimbulkan pendarahan. Keluhan utama yang dialami penderita adalah artralgia
yang merasakan nyeri pada tulang-tulang. Selain itu pembuluh konjungtiva mata
penderita tampak nyata dan disertai demam mendadak selama 2-3 hari. Pemeriksaan
serum penderita pada uji hemaglutinasi inhibisi atau uji netralisasi menunjukkan
tingginya titer antibodi terhadap virus Chikungunya (Soedarto, 2009).
Menurut Widoyono (2008), masa inkubasi Chikungunya adalah 1 – 6 hari.
Gejala penyakit diawali dengan demam mendadak kemudian diikuti munculnya ruam
kulit dan limfadenopati, artralgia, mialgia atau arthritis yang merupakan tanda dan
gejala khas Chikungunya. Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau ngilu bila berjalan
kaki karena serangan pada sendi-sendi kaki. Dibandingkan dengan DBD, gejala
Chikungunya muncul lebih dini. Perdarahan jarang terjadi, diagnosis ditegakkan

Universitas Sumatera Utara

12


berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium yaitu adanya antibodi IgM dan IgG
dalam darah.
2.1.4. Cara Penularan
Penularan Chikungunya dapat terjadi bila penderita yang mengandung virus
Chikungunya digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut terisap
masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan
tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1
minggu setelah menghisap darah penderita (extrinsic incubation period), nyamuk
tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam
tubuh nyamuk sepanjang hidupnya sehingga selain menjadi vektor juga menjadi
reservoir dari virus Chikungunya (Depkes, 2001).
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk),
sebelum nyamuk menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat
tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah
virus Chikungunya dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Seseorang yang telah
terinfeksi oleh virus Chikungunya melalui gigitan nyamuk akan mengalami masa
inkubasi selama 2–12 hari tetapi umumnya 3–7 hari, selama masa inkubasi ini virus
berada di dalam darah yang disebut dengan fase akut/viremia (5–7 hari). Penderita
yang dalam masa viremia inilah yang dapat menularkan Chikungunya ke orang lain
selama terdapat vektor penular penyakit (Depkes, 2001).

Faktor-faktor yang memegang peranan dalam penularan infeksi virus
Chikungunya yaitu manusia, vektor perantara dan lingkungan. Virus Chikungunya

Universitas Sumatera Utara

13

ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus, nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu
penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus tersebut dapat
mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul
kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembangbiak dalam waktu 8 – 10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit (Depkes, 2001).
2.1.5. Diagnosis Pasti dan Banding
Diagnosis Chikungunya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis ditemukan keluhan demam, nyeri
sendi, nyeri otot, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, fotofobia serta daerah
tempat tinggal penderita yang berisiko terkena Chikungunya. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya ruam makulopapuler, limfadenopati servikal dan injeksi

konjungtiva. Pada pemeriksaan hitung lekosit, beberapa penderita mengalami
lekopenia dengan limfositosis relatif. Jumlah trombosit dapat menurun sedang dan
laju endap darah akan meningkat. C-reactive protein positif pada kasus-kasus akut
(Eppy, 2010).
Berbagai pemeriksaan laboratorium tersedia untuk membantu menegakkan
diagnosis seperti isolasi virus dari darah, tes serologi klasik seperti uji hambatan
aglutinasi/HI, complement fixation/CF dan serum netralisasi; tes serologi modern
dengan teknik IgM capture ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay); teknik
super modern dengan pemeriksaan PCR serta teknik yang paling baru dengan RT-

Universitas Sumatera Utara

14

PCR (2002). Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis sangat tergantung
pada penemuan peningkatan titer antibodi sesudah sakit. Biasanya pada serum yang
diambil saat hari ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF ataupun netralisasi.
Antibodi netralisasi dan HI baru ditemukan pada serum yang diambil saat 2 minggu
atau lebih sesudah serangan panas timbul. Diagnosis yang akurat dapat diperoleh dari
serum yang sudah diambil sesudah sakit dengan metode IgM capture ELISA. Isolasi

virus dapat dibuat dengan menyuntikkan serum akut dari kasus tersangka pada mencit
atau kultur jaringan. Diagnosis pasti adanya infeksi virus Chikungunya ditegakkan
bila didapatkan salah satu hal antara lain: 1) Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat
pada uji hambatan aglutinasi (HI); 2) Virus Chikungunya (CHIK) pada isolasi virus;
3) IgM capture ELISA. Viral arthropaty dapat diketahui dan dijumpai pada beberapa
infeksi virus seperti dengue, Mayora (Mayora fever, Uruma fever), Ross River,
Sindbiss (Ockelbo), Baermah forest dan O`nyong-nyong serta penyakit virus lainnya
(penyakit pogosta, demam karelian). Infeksi virus tersebut merupakan diagnosis
banding dari penyakit Chikungunya. Diagnosis banding Chikungunya yang paling
mendekati adalah demam dengue atau demam berdarah dengue (Soegijanto, 2004).
2.1.6. Pengobatan
Chikungunya pada dasarnya bersifat self limiting disease artinya penyakit
yang dapat sembuh dengan sendirinya. Hingga saat ini, belum ada vaksin maupun
obat khusus untuk Chikungunya, oleh karenanya pengobatan ditujukan untuk
mengatasi gejala yang mengganggu (simtomatis). Obat-obatan yang dapat digunakan
adalah obat antipiretik, analgetik (non-aspirin analgetik; non steroid anti inflamasi

Universitas Sumatera Utara

15


drug parasetamol, antalgin, natrium diklofenak, piroksikam, ibuprofen, obat anti mual
dan muntah adalah dimenhidramin atau metoklopramid). Aspirin dan steroid harus
dihindari. Terapi lain disesuaikan dengan gejala yang dirasakan (Soedarto, 2007).
Bagi penderita dianjurkan untuk makan makanan yang bergizi, cukup
karbohidrat terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Memperbanyak
konsumsi buah-buahan segar, sebaiknya minum jus buah segar. Vitamin peningkat
daya tahan tubuh dapat bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini. Selain vitamin,
makanan yang mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat juga
meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik dan istirahat cukup bisa
membuat rasa ngilu pada persendian cepat hilang. Disarankan juga minum banyak air
putih untuk menghilangkan gejala demam (Anies, 2006).

2.2. Nyamuk Penular Chikungunya
2.2.1. Klasifikasi Nyamuk
Nyamuk yang menjadi vektor penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti yang paling berperan utama (primary
vector) dalam penularan Chikungunya karena nyamuk tersebut hidup di dalam dan
sekitar tempat tinggal manusia sehingga banyak kontak dengan manusia. Aedes
aegypti adalah spesies nyamuk yang hidup di dataran rendah beriklim tropis sampai

sub tropis (Anggraeni, 2010).
Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan
nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

16

Filum : Arhropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L
2.2.2. Morfologi Nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lain. Ukuran badan 3 – 4 mm, berwarna hitam dengan hiasan bintik-bintik
putih di badannya dan pada kakinya warna putih melingkar. Nyamuk dapat hidup
berbulan-bulan. Nyamuk jantan tidak menggigit manusia, ia makan buah. Hanya
nyamuk betina yang menggigit yang diperlukan untuk membuat telur. Telur nyamuk

Aedes aegypti diletakkan induknya menyebar berbeda dengan telur nyamuk lain yang
dikeluarkan berkelompok. Nyamuk bertelur di air bersih. Telur menjadi pupa
beberapa minggu. Nyamuk Aedes aegypti bila terbang hampir tidak berbunyi
sehingga manusia yang diserang tidak mengetahui kehadirannya, menyerang dari
bawah atau dari belakang dan terbang sangat cepat. Telur nyamuk Aedes aegypti
dapat bertahan lama dalam kekeringan. Nyamuk Aedes aegypti dapat tahan dalam
suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008).

Universitas Sumatera Utara

17

2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk adalah proses perkembangbiakan dan pertumbuhan
nyamuk mulai dari telur, jentik, kepompong sampai dengan dewasa. Siklus hidup
nyamuk dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti/Aedes albopictus
Sumber : Anggraeni, 2010
a. Telur

Menurut Anggraeni (2010), nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada
permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air secara
individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang 0,50 mm. Telur
Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan
kering. Jika terendam air, telur dapat menetas menjadi jentik. Telur menetas dalam 1
sampai 2 hari.

Universitas Sumatera Utara

18

b. Jentik
Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.
Kondisi jentik saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang
dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang
ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih
rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan perkembangan
jentik tersebut yaitu: Instar I berukuran paling kecil yaitu 1–2 mm; 2) Instar II 2,5 –
3,8 mm; 3) Instar III berukuran besar sedikit dari larva instar II; 4) Instar IV
berukuran paling besar 5 mm. Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi
pupa dalam 5 sampai 7 hari.
c. Pupa
Pupa berbentuk seperti ‘koma’ . Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa
keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan
waktu 7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak
mendukung.
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada
bagian badan dan kaki. Sesaat setelah menjadi dewasa, nyamuk akan segera kawin
dan nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu 24 sampai

Universitas Sumatera Utara

19

36 jam. Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan telur
(Depkes, 2005).
2.2.4. Bionomik Vektor
Bionomik vektor adalah kesenangan memilih tempat perindukan (breeding
place), kesenangan menggigit (feeding habit), kesenangan tempat hinggap istirahat
(resting place) dan jangkauan terbang (flight range) (Depkes, 2007).
a. Tempat Perindukan (Breeding Place)
Tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan-genangan air yang
tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer dan bukan pada genangangenangan air di tanah. Pada waktu survai larva/jentik, kontainer dibedakan: 1)
Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna
keperluan sehari-hari seperti: drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember dan lainlain; 2) Bukan tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat yang biasa
menampung air tetapi bukan keperluan sehari-hari seperti: tempat minum hewan
piaraan (ayam, burung dan lain-lain), barang bekas (kaleng, ban, botol, pecahan gelas
dan lain-lain), vas kembang, perangkap semut, penampungan air dispenser dan
sebagainya; 3) Tempat penampungan air buatan alam (alamiah/natural) seperti:
lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal
pohon pisang, potongan bambu dan lain-lain (Depkes, 2007).
Tempat kebiasaan bertelur dari kedua vektor nyamuk Chikungunya agak
berbeda. Untuk Aedes aegypti, tempat yang disenangi untuk bertelur adalah di
Tempat Penampungan Air (TPA) yang jernih dalam rumah dan yang terlindung dari

Universitas Sumatera Utara

20

sinar matahari seperti bak di kamar kecil (WC), bak mandi, tandon air minum, ember,
tempayan, drum dan sejenisnya. Penampungan ini biasanya dipakai untuk keperluan
rumah tangga sehari-hari, sedangkan Aedes albopictus lebih senang bertelur pada
tempat penampungan air yang berada di luar rumah seperti kaleng, botol, ban bekas
yang di buang, lubang pohon, lekukan tanaman, potongan batang bambu dan buah
kelapa yang sudah terbuka. Penampungan ini bukan dipakai untuk keperluan rumah
tangga sehari-hari, hal itu sesuai dengan sifat Aedes aegypti yang mempunyai
kecenderungan sebagai nyamuk rumah dan Aedes albopictus yang merupakan
nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004).
b. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)
Nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik yang berarti lebih menyukai
menghisap darah manusia dibandingkan dengan darah hewan, sedangkan nyamuk
Aedes albopictus merupakan penghisap darah yang acak dan lebih zoofagik (WHO,
2005).
Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi hari, yaitu
sekitar pukul 08.00–10.00 dan sore hari 15.00–17.00. Nyamuk yang aktif menghisap
darah adalah yang betina untuk mendapatkan protein. Protein tersebut digunakan
untuk keperluan produksi dan proses pematangan telur. Tiga hari setelah menghisap
darah, nyamuk betina menghasilkan telur sampai 100 butir telur kemudian siap
diletakkan pada media (Suroso, 2003).
Menurut Depkes (2007), kebiasaan menggigit dari Aedes aegypti pada pagi
hingga sore hari yaitu pada pukul 08.00–12.00 dan 15.00–17.00 lebih banyak

Universitas Sumatera Utara

21

menggigit di dalam rumah dari pada di luar rumah. Nyamuk ini sangat menyukai
darah manusia dan biasanya menggigit berulang kali, hal ini disebabkan pada siang
hari orang sedang aktif sehingga nyamuk yang mengigit seseorang belum tentu
kenyang. Orang tersebut sudah bergerak, nyamuk terbang menggigit orang lagi
sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya.
c. Tempat Istirahat (Resting Place)
Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu bertelur
adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin. Aedes aegypti lebih menyukai
tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan sebagai
tempat peristirahatannya termasuk di kamar tidur, di kamar mandi maupun di dapur.
Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tanaman atau tempat terlindung
lainnya. Di dalam ruangan permukaan istirahat yang disukai nyamuk adalah di bawah
perabotan, benda-benda yang bergantung seperti baju dan tirai serta dinding.
Sementara nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai tempat di luar rumah yaitu
hidup di lubang-lubang pohon, lekukan tanaman dan kebun atau kawasan pinggir
hutan. Oleh karena itu, Aedes albopictus sering disebut nyamuk kebun (forest
mosquito) (WHO, 2005).
Kebiasaan hinggap istirahat lebih banyak di dalam rumah yaitu pada bendabenda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempat-tempat lain yang terlindung
juga di dalam sepatu (Depkes, 2007).

Universitas Sumatera Utara

22

d. Jarak Terbang (Flight Range)
Pergerakan nyamuk Aedes aegypti dari tempat perindukan ke tempat mencari
mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Jarak
terbang (flight range) rata-rata nyamuk Aedes aegypti adalah sekitar 100 m tetapi
pada keadaan tertentu nyamuk ini dapat terbang sampai beberapa kilometer dalam
usahanya untuk mencari tempat perindukan untuk meletakkan telurnya. Nyamuk
Aedes albopictus jarak terbang berkisar antara 400–600 m (Soegijanto, 2006).
2.2.5. Ekologi Vektor
Ekologi vektor adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
vektor dan lingkungannya. Lingkungan merupakan interaksi vektor penular
Chikungunya dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya Chikungunya.
Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dipengaruhi oleh lingkungan
fisik maupun lingkungan biologik.
a. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik adalah lingkungan sekeliling manusia yang terdiri dari
benda-benda yang tidak hidup (non living things) dan kekuatan-kekuatan fisik
lainnya. Dalam hal ini lingkungan fisik dapat menjadi enviromental reservoir dan
ikut berperan menentukan pola populasi nyamuk. Lingkungan fisik sebagai berikut:
1. Jarak antara rumah
Jarak rumah memengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain,
semakin dekat jarak antara rumah semakin mudah menyebar ke rumah sebelah.
Bahan-bahan rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah

Universitas Sumatera Utara

23

menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk. Berbagai
penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesakdesakan dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit
(Depkes, 1998).
Penelitian Roose (2008), di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
menunjukkan bahwa ada hubungan jarak antar rumah ≤ 5 m memberikan kontribusi
dampak/risiko dengan kejadian DBD sebesar 1,79 kali dibanding dengan jarak antar
rumah > 5 m.
2. Macam kontainer
Macam kontainer disini antara lain: jenis/bahan kontainer, letak kontainer,
bentuk, warna, kedalaman air, tutup kontainer dan asal air memengaruhi nyamuk
dalam pemilihan tempat bertelur.
3. Ketinggian tempat
Keadaan geografis seperti ketinggian memengaruhi penularan penyakit.
Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai ketinggian lebih dari 1000 m di atas
permukaan laut. Kadar oksigen juga memengaruhi daya tahan tubuh seseorang,
semakin tinggi letak pemukiman maka akan semakin rendah kadar oksigennya.
Dataran tinggi juga berhubungan dengan temperatur udara (Widoyono, 2008).
Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di
Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat
umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian daerah ±
1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

24

berkembangbiak karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga
tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes, 2005).
Tiap kenaikan 100 m maka selisih suhu udara tempat semula adalah 0,5oC.
Bila perbedaan tempat cukup tinggi maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak
dan akan memengaruhi faktor-faktor lain seperti penyebaran nyamuk, siklus
pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dan musim penularan (Depkes, 2007).
4. Iklim
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik yang terdiri dari
suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, pencahayaan dan kecepatan angin.
a. Suhu udara
Nyamuk termasuk binatang berdarah dingin karenanya proses-proses
metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungannya. Nyamuk
tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan
nyamuk adalah 25°C–27°C. Nyamuk dapat bertahan hidup dalam suhu rendah tetapi
proses metabolismenya menurun atau bahkan berhenti bila suhu turun sampai di
bawah suhu kritis pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses
fisiologinya.
Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10ºC
atau lebih dari 40ºC. Toleransinya terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuknya
tetapi pada umumnya suatu spesies tidak akan tahan lama bila suhu lingkungan
meninggi 5ºC–6ºC di atas, dimana spesies secara normal dapat beradaptasi.
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses metabolisme

Universitas Sumatera Utara

25

sebagian diatur oleh suhu, oleh karena kejadian-kejadian biologis tertentu seperti
lamanya masa pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap, pematangan
idung telur, frekuensi mencari makanan atau menggigit dan lamanya pertumbuhan
parasit di dalam tubuh nyamuk dipengaruhi oleh suhu (Depkes, 2007).
b. Kelembaban udara
Menurut Gobler dalam Depkes (1998), umur nyamuk dipengaruhi oleh
kelembaban udara. Pada suhu 20ºC kelembaban nisbi 27% umur nyamuk betina 101
hari dan umur nyamuk jantan 35 hari, kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk
akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk
perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah.
Menurut Depkes (2007), kelembaban udara adalah banyak uap air yang
terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban
udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan rumah menjadi basah dan
lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab
penyakit. Kelembaban yang baik berkisar antara 40%–70%. Pada keadaan ini
nyamuk tidak dapat bertahan hidup akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek
sehingga nyamuk tersebut tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasit di dalam
tubuh nyamuk.
c. Curah hujan
Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan
menambah kelembaban udara. Temperatur dan kelembaban selama musim hujan
sangat kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Suroso, 2000).

Universitas Sumatera Utara

26

Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah
jumlah tempat perkembangbiakan. Curah hujan yang lebat menyebabkan bersihnya
tempat perkembangbiakan vektor, oleh karena jentiknya hanyut dan mati. Kejadian
penyakit yang ditularkan nyamuk biasanya meninggi beberapa waktu sebelum musim
hujan lebat. Pengaruh hujan berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan
fisik daerah. Terlalu banyak hujan akan menyebabkan kekeringan, mengakibatkan
berpindahnya tempat perkembangbiakan vektor tetapi keadaan ini akan segera pulih
cukup bila keadaan kembali normal. Curah hujan yang cukup dengan jangka waktu
lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembangbiak secara optimal
(Depkes, 2007).
d. Pencahayaan
Cahaya merupakan faktor utama yang memengaruhi nyamuk beristirahat pada
suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan
kondisi yang baik bagi nyamuk intensitas cahaya merupakan faktor terbesar yang
memengaruhi aktivitas terbang nyamuk. Intensitas pencahayaan untuk kehidupan
nyamuk adalah < 60 lux (Depkes, 2007).
e. Kecepatan angin
Kecepatan angin secara langsung berpengaruh pada penguapan (evaporasi) air
dan suhu udara (konveksi), disamping itu angin berpengaruh terhadap arah
penerbangan nyamuk. Bila kecepatan angin 11–14 meter perdetik atau 25–31 mil per
jam akan menghambat penerbangan nyamuk. Dalam keadaan udara tenang mungkin
suhu nyamuk ada beberapa fraksi atau derajat lebih tinggi dari suhu lingkungan, bila

Universitas Sumatera Utara

27

ada angin evaporasi baik dan konveksi baik maka suhu nyamuk akan turun beberapa
fraksi atau derajat lebih rendah dari suhu lingkungan (Depkes, 2007).
b. Lingkungan biologik
Lingkungan biologik yang memengaruhi penularan Chikungunya adalah
banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan
dan kelembaban di dalam rumah dan halaman. Bila banyak tanaman hias dan
tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang disenangi oleh nyamuk
untuk hinggap istirahat dan juga menambah umur nyamuk (Soegijanto, 2003).

2.3. Lingkungan Rumah
2.3.1. Rumah Sehat dan Persyaratannya
Dalam UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman terdapat
istilah rumah, perumahan dan pemukiman. Rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaaan keluarga, sedangkan
perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana lingkungan.
Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang
berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
Menurut WHO dan American Public Health Association (APHA),
perumahan/pemukiman yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:

Universitas Sumatera Utara

28

(1) Syarat fisiologis, rumah yang dibangun harus dapat terpenuhi kebutuhan fisik
dasar dari penghuninya diantaranya adalah rumah tersebut harus terjamin
penerangannya yang dibedakan atas cahaya matahari dan lampu, rumah harus
mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara segar dapat terpelihara
dan rumah tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipertahankan suhu
lingkungan. (2) Syarat psikologis, rumah yang dibangun harus dapat terpenuhi
kebutuhan

kejiwaan

dasar

dari

penghuninya

diantaranya

adalah

terjamin

berlangsungnya hubungan yang serasi antara anggota keluarga yang tinggal bersama,
tersedianya sarana yang memungkinkan dalam pelaksanaan pekerjaan rumah tangga
tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan. (3) Mencegah penularan penyakit,
rumah yang dibangun harus dapat melindungi penghuni dari penularan penyakit atau
berhubungan dengan zat-zat yang membahayakan kesehatan diantaranya adalah
rumah tersebut di dalamnya tersedia air bersih yang cukup, ada tempat pembuangan
sampah dan tinja yang baik, terlindung dari pengotoran terhadap makanan, tidak
menjadi tempat bersarang binatang melata ataupun penyebab penyakit lainnya. (4)
Mencegah terjadinya kecelakaan, rumah yang dibangun harus dapat melindungi
penghuninya dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan, jadi rumah tersebut
harus kokoh, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang terlindungi dan
juga terlindung dari kecelakaan lalu lintas.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 929/Menkes/SK/VII/1999
persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan meliputi parameter diantaranya
(Sarudji, 2010): (1) Lokasi, lokasi perumahan/pemukiman tersebut tidak terletak pada

Universitas Sumatera Utara

29

daerah rawan bencana alam, tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan
akhir (TPA) sampah atau bekas tambang dan tidak terletak pada daerah rawan
kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan. (2) Prasarana
dan sarana lingkungan, meliputi adanya taman bermain untuk anak, sarana rekreasi
keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan, memiliki sarana drainase
yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit, memiliki sarana jalan
lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak menganggu kesehatan, lampu
penerangan jalan tidak menyilaukan, tersedia cukup air bersih sepanjang waktu
dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan, pengelolaan pembuangan
tinja dan air limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan,
pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi persyaratan
kesehatan, memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat
kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian dan lain sebagainya, pengaturan
instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya dan tempat pengelolaan
makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat
menimbulkan keracunan. (3) Vektor penyakit, meliputi indeks lalat harus memenuhi
syarat dan indeks nyamuk di bawah 5%. (4) Kualitas udara, diantaranya suhu udara
nyaman antara 18–300 C dan kelembaban udara 40-70%.
Menurut Azwar (1996), rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga
melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan. Hal ini perlu
diperhatikan juga kondisi fisik rumah berkaitan dengan kejadian Chikungunya
terutama berkaitan dengan mudah atau tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah

Universitas Sumatera Utara

30

adalah ventilasi yang tidak dipasang kawat kasa dapat mempermudah nyamuk masuk
ke dalam rumah.
Langit-langit atau pembatas ruangan dinding atas dengan atap yang terbuat
dari kayu, internit maupun anyaman bambu halus sebagai penghalang masuknya
nyamuk dilihat dari ada tidaknya langit-langit pada semua atau sebagian ruangan
rumah. Kualitas dinding yang tidak rapat bila terbuat dari anyaman bambu kasar
ataupun kayu/papan yang terdapat lubang lebih dari 1,5 mm2 akan mempermudah
nyamuk masuk ke dalam rumah (Darmadi, 2002).
Menurut Machfoed (2008), rumah berdasarkan bahan bangunannya terdiri
dari: 1) Rumah Non Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu,
bambu; 2) Rumah Semi Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan
kayu dan campuran batu, pasir dan semen; 3) Rumah Permanen yaitu rumah yang
keseluruhan bahan bangunan terbuat dari campuran batu, pasir dan semen.

2.4. Perilaku Kesehatan
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2012), perilaku kesehatan pada
dasarnya adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan
sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan yang
diuraikan antara lain: a) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu
bagaimana manusia merespon baik secara pasif maupun secara aktif (tindakan) yang
dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut; b) Perilaku terhadap
sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap sistem kesehatan

Universitas Sumatera Utara

31

pelayanan kesehatan baik yang modern maupun yang tradisional; c) Perilaku terhadap
makanan adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi
kehidupan; d) Perilaku terhadap lingkungan adalah respon terhadap lingkungan
sebagai determinan.
Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku yang berhubungan dengan
kejadian Chikungunya. Perilaku kesehatan tersebut didasarkan pada 3 (tiga) domain
perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.
2.4.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra
manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, (2007).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai
tingkat yang berbeda-beda termasuk dalam hal ini kemampuan masyarakat dalam
menjaga kesehatan individu dalam pencegahan terjadi keluhan penyakit maupun
dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan perseorangan untuk
memelihara kesehatan diri sendiri, memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan
serta mencegah timbulnya penyakit. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan Chikungunya.

Universitas Sumatera Utara

32

2.4.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dapat dilihat
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Menurut
Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana
motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
adalah predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang ada dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Menurut Wawan (2011), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat
bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah sikap yang
menunjukkan atau memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap norma-norma
yang berlaku dimana individu itu berbeda, sedangkan pada sikap negatif terdapat
kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek
tertentu.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/pernyataan responden
terhadap sesuatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataanpernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner
(Notoatmodjo (2007). Sikap dalam penelitian ini adalah pencegahan yang berkaitan
dengan Chikungunya.

Universitas Sumatera Utara

33

2.4.3. Tindakan
Domain terakhir dari perilaku kesehatan adalah tindakan. Tindakan tersebut
didasari pada penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahuinya kemudian
disikapi dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukannya. Tindakan dalam
penelitian ini adalah segala bentuk nyata yang dilakukan dalam mencegah dan
menanggulangi terjadinya Chikungunya.
Tindakan yang tercakup dalam domain psikomotorik mempunyai 4 (empat)
tingkatan (Notoatmodjo, 2003): 1) Persespsi (perception) yaitu mengenal dan
memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah
merupakan praktek tingkat pertama; 2) Respon terpimpin (guided response) yaitu
dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh
adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua; 3) Mekanisme (mecanism) yaitu
apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga;
4) Adaptasi (adaptation) yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Seseorang sudah dapat memodifikasi tindakan tanpa mengurangi
kebenaran tindakan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan dan sikap masyarakat yang kurang mengetahui tentang tentang
tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan Chikungunya mempunyai risiko terkena
Chikungunya. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan tanda/gejala, cara
penularan dan pencegahan serta pemberantasan Chikungunya perlu mendapatkan

Universitas Sumatera Utara

34

perhatian utama agar masyarakat lebih berperan dalam pemberantasan sarang nyamuk
(Depkes, 2007).
2.5. Pencegahan dan Pengendalian Vektor Chikungunya
Mengingat vektor penular virus Chikungunya dan virus dengue (DBD) sama,
yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus maka upaya pencegahan
Chikungunya hampir sama dengan pencegahan untuk penyakit DBD. Upaya
pencegahan dititikberatkan pada pengendalian nyamuk penular dapat dilakukan
terhadap jentiknya dan nyamuk dewasa. Upaya terpadu perlu diterapkan untuk
pengendalian nyamuk penular vektor Chikungunya dengan menggunakan metode
yang tepat, antara lain dengan pengelolaan lingkungan, perlindungan diri,
pengendalian biologi, pengendalian kimiawi dan pendekatan pemberantasan terpadu.
2.5.1. Pengelolaan Lingkungan
Pengelolaan lingkungan meliputi berbagai perubahan yang berkaitan dengan
upaya pencegahan, ditujukan untuk mengurangi perkembangbiakan vektor sehingga
mengurangi kontak vektor dengan manusia. Metode pengelolaan lingkungan untuk
mengendalikan Aedes aegypti dan Aedes albopictus serta mengurangi kontak vektor
dengan manusia dengan melakukan kegiatan antara lain: Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan
buatan manusia dan perbaikan desain rumah (Sukamto, 2007).
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya adalah pemberantasan
jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak. Pencegahan yang
dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan di tempat-tempat umum dengan

Universitas Sumatera Utara

35

melaksanakan PSN meliputi: 1) Menguras bak mandi dan tempat-tempat
penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa perkembangan telur menjadi nyamuk selama 7–10 hari; 2)
Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum dan tempat air lain;
3) Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung sekurang-kurangnya
seminggu sekali; 4) Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barangbarang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga tidak menjadi sarang
nyamuk; 5) Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang pohon dengan
tanah; 6) Membersihkan air yang tergenang di atap rumah; 7) Memelihara ikan
(Chahaya, 2003).
2.5.2. Perlindungan Diri
Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk antara
lain seperti: 1) Membersihkan halaman atau kebun di sekitar rumah; 2)
Membersihkan saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak; 3) Membuka pintu
dan jendela rumah setiap pagi hari sampai sore agar udara segar dan sinar matahari
dapat masuk sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat. Dengan
demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk; 4) Memakai pakaian
pelindung dari gigitan nyamuk Aedes aegypti dapat merupakan alternatif penting
dalam memutus kontak antara nyamuk dewasa dengan manusia. Pakaian tersebut
cukup tebal atau longgar berlengan panjang dan celana panjang dengan kaos kaki
dapat melindungi tangan dan kaki dari tusukan nyamuk karena merupakan bagian
tubuh yang rawan; 5) Memakai repellent. Repellent atau penolak serangga merupakan

Universitas Sumatera Utara

36

sarana pelindung diri terhadap nyamuk dan serangga yang umumnya digunakan.
Bahan ini secara garis besar dibagi menjadi 2 kategori yaitu penolak alami dan
penolak kimiawi. Minyak esensial dan ekstrak tanaman merupakan bahan pokok
penolak alami misalnya minyak neem (pada kayu mahoni). Penolak kimiawi
misalnya DEET (N,N-Diethyl-m-Taluamide) dapat memberikan perlindungan
terhadap nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Repellent dioleskan seperlunya
pada bagian tubuh yang terbuka; 6) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian.
Kebiasaan meletakkan pakaian digantungkan yang terbuka misalnya di belakang
pintu kamar. Melipat pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk
tidak hinggap pada pakaian tersebut; 7) Tidur siang dengan menggunakan kelambu.
Kebiasaan orang tidur pada siang hari akan mempermudah penyebaran Chikungunya
karena nyamuk betina mencari umpannya pada siang hari (Anies, 2006).
2.5.3. Pengendalian Biologi
Menurut Soegijanto (2006), pengendalian biologi dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup baik dari golongan mikroorganisme, hewan
invertebrata atau hewan vertebrata. Pengendalian biologi dapat berperan sebagai
patogen

dan

parasit.

Beberapa

jenis

ikan

seperti

ikan

kepala

timah

(Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia) adalah pemangsa yang cocok untuk larva
nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing Nematoda seperti Romanomarmis iyengari
dan R.culiciforax merupakan parasit pada larva nyamuk. Sebagai patogen seperti dari
golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat dikembangkan sebagai
pengendalian hayati larva nyamuk di tempat perindukannya. (3) Cara Fisik,

Universitas Sumatera Utara

37

pemberantasan secara fisik ini dikenal dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup,
Mengubur) yaitu: 1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air seperti
bak mandi/wc, drum dan lain-lain seminggu sekali; 2) Menutup rapat-rapat tempat
penampungan air seperti gentong air/tempayan dan lain-lain; 3) Mengubur atau
menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
2.5.4. Pengendalian Kimia
Pengendalian secara kimia terhadap vektor Chikungunya ditujukan pada jentik dan
nyamuk dewasa.
a. Pemberantasan Jentik
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti dilakukan dengan menggunakan
insektisida pembasmi jentik (larvasida) atau dikenal dengan larvasidasi. Larvasida
yang biasa digunakan antara lain adalah temephos. Formulasi temephos yang
digunakan adalah granula (sand granula). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau
10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos
ini mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect
growth regulator (Depkes, 2005).
b. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan
(fogging) dengan insektisida, hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk senang
hinggap pada benda-benda yang bergantungan maka penyemprotan tidak dilakukan di
dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria (Depkes, 2005).

Universitas Sumatera Utara

38

Insektisida yang digunakan adalah insektisida golongan organophospat
misalnya malathion dan feritrothion. Golongan pyrectic syntetic misalnya lamda
sihalotrin dan parmietrin. Golongan karbamat. Alat yang digunakan untuk
menyemprot ialah mesin fog atau mesin ultra low volume (ULV) karena
penyemprotan dilakukan dengan cara pengasapan maka tidak mempunyai efek residu
(Suroso, 2003).
Penyemprotan insektisida dilakukan interval 1 minggu untuk membatasi
penularan virus Chikungunya. Penyemprotan siklus pertama semua nyamuk
mengandung virus Chikungunya (nyamuk inaktif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan
mati. Penyemprotan insektisida ini dalam waktu singkat dapat membatasi penularan
akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan pemberantasan jentik agar populasi
nyamuk dapat ditekan serendah-rendahnya (Suroso, 2003).
2.5.5. Pendekatan Pemberantasan Terpadu
Penggunaan insektisida sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan vektor
Chikungunya sedapat mungkin harus dipadukan dengan metode pengelolaan
lingkungan. Selama periode tidak ada atau sedikit aktifitas virus Chikungunya.
Langkah rutin dari pemberantasan sarang nyamuk dapat dipadukan dengan
penggunaan larvasida untuk wadah yang tidak dapat dikuras isinya, tak dapat ditutup.
Sebagai upaya pengendalian darurat dalam menekan KLB/wabah, dilakukan program
pemberantasan populasi Aedes aegypti dengan cepat, menyeluruh dengan
menggunakan insektisida dan menerapkan teknik-teknik secara terpadu (Sukamto,
2007).

Universitas Sumatera Utara

39

2.6. Penanggulangan KLB Chikungunya
Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) adalah upaya yang meliputi:
pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular Chikungunya,
penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang
dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB (Depkes, 2005).
Tujuan

penanggulangan

KLB

adalah

untuk

membatasi

penularan

Chikungunya sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah
lainnya. Kegiatan yang dilakukan bila terjadi KLB/wabah, dilakukan penyemprotan
insektisida (2 siklus dengan interval 1 minggu), PSN Chikungunya, larvasida,
penyuluhan di seluruh wilayah terjangkit dan kegiatan penanggulangan, penyelidikan
KLB, pengumpulan dan pemeriksaan spesimen serta kegiatan surveilans kasus dan
vektor.
1. Pengobatan/perawatan penderita
Penderita Chikungunya yang berat dirawat di rumah sakit atau puskesmas
yang mempunyai fasilitas perawatan.
2. Pemberantasan vektor
a.

Pengasapan (fogging/ULV) meliputi: 1) Pelaksana, dilakukan oleh petugas dinas
kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan tenaga lain yang telah dilatih; 2)
Lokasi meliputi seluruh daerah yang terjangkit; 3) Sasarannya adalah rumah dan
tempat-tempat umum; 4) Insektisida, sesuai dengan dosis; 5) Menggunakan alat
yaitu mesin fog atau ULV; 6) Cara pengasapan/ULV dilaksanakan 2 siklus
dengan interval 1 minggu.

Universitas Sumatera Utara

40

b.

Pemberantasan sarang nyamuk Chikungunya meliputi: 1) Pelaksana, dilakukan
oleh masyarakat di lingkungan masing-masing; 2) Lokasi meliputi seluruh daerah
yang terjangkit dan wilayah sekitarnya dan merupakan satu kesatuan
epidemiologis; 3) Sasarannya adalah semua tempat potensial bagi perindukan
nyamuk; tempat penampungan air, barang bekas, lubang pohon/tiang pagar,
tempat minum burung dan sebagainya, di rumah/bangunan dan tempat umum; 4)
Dengan cara melakukan kegiatan 3M plus.

c.

Larvasidasi meliputi: 1) Pelaksana, Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan
petugas puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/kota; 2) Lokasi meliputi seluruh
wilayah yang terjangkit; 3) Sasarannya adalah tempat penampungan air di rumah
dan tempat-tempat umum; 4) Larvasida sesuai dengan dosis; 5) Cara, larvasida
dilaksanakan di seluruh wilayah KLB.

3. Penyuluhan kesehatan masyarakat
Dinas kesehatan kabupaten/kota bersama puskesmas menyusun rencana
kegiatan penyuluhan. Pelaksanaannya

dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota

setempat. Kegiatan penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) meliputi: 1) Pertemuan
dengan lintas sektor terkait (Departemen Pendididikan Nasional, Departemen Agama,
Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Keluarahan/Desa dan
lain-lain; 2) Penyuluhan melalui media elektronik (televisi, radio Pemda/swasta lokal,
bioskop, media cetak (surat kabar, pemasangan spanduk, poster, stiker); 3)
Penyuluhan dilaksanakan di sekolah (melalui guru UKS), tempat ibadah, tempat
pemukiman (melalui organisasi wanita PKK dan organisasi lainnya), pasar, tempat-

Universitas Sumatera Utara

41

tempat umum lainnya; 4) Penyuluhan melalui Ketua RT/RW misalnya dengan
membagikan leaflet kepada warga.
4. Penilaian penanggulangan KLB
Penilaian penanggulangan KLB meliputi: (a) Penilaian Operasional ditujukan
untuk mengetahui presentase (coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang
direncanakan. Penilaian ini dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah secara
acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan
penyuluhan. Pada kunjungan tersebut dilakukan wawancara apakah rumah sudah
dilakukan pengasapan larvasidasi dan pemeriksaan jentik serta penyuluhan (b)
Penilaian Epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan
terhadap

jumlah

penderita

Chikungunya.

Penilaian

ini

dilakukan

dengan

membandingkan data kasus Chikungunya sebelum dan sesudah penanggulangan
Chikungunya. Data-data tersebut digambarkan dalam grafik per mingguan, 4
mingguan atau bulanan dan dibandingkan pula dengan keadaan tahun sebelumnya
pada periode yang sama.

2.7. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada faktor risiko kejadian
Chikungunya dan teori simpul determinan penyakit dapat digambarkan sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

42

Gambar 2.2 Faktor Risiko Kejadian Chikungunya
Sumber : Achmadi, 2010
Adapun Teori Simpul dari timbulnya kejadian Chikungunya sebagai berikut:

Penderita
demam
chikungunya

Vektor yaitu
nyamuk
A.aegepty

Adanya virus
chik dalam
darah
penderita

Simpul 1

Simpul 2

Simpul 3

Sakit/ Sehat
Simpul4

Variabel lain yang berpengaruh
Gambar 2.3 Kerangka Teori
Sumber : Achmadi, 2010
Dengan mengacu pada gambaran skematik tersebut di atas, maka patogenesis
dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni :
a. Simpul 1, kita sebut sebagai sumber penyakit. Dan dalam hal ini sumber penyakit
yaitu orang yang menderita demam Chikungunya.

Universitas Sumatera Utara

43

b. Simpul 2, yaitu komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit
yang dapat memindahkan agent penyakit. Dalam hal ini yang memindahkan
agent yaitu nyamuk A. Aegypti sebagai vektor penular.
c. Simpul 3, penduduk yang dalam darahnya terdapat virus Chik karena telah
tertular dari orang lain melalui vektor yaitu nyamuk.
d. Simpul 4, penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami
interaksi dengan kom

Dokumen yang terkait

Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

0 33 173

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 18

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 2

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 8

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016 Chapter III VI

0 0 85

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 5

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 75

Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

0 0 44

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chikungunya 2.1.1. Definisi Chikungunya - Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

0 0 37

PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA

0 0 18