Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

(1)

PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM

KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Oleh

IMRAN 117032013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF HOME ENVIRONMENT AND BEHAVIOR OF COMMUNITY ON THE INCIDENT OF CHIKUNGUYA IN

NISAM SUBDISTRICT, ACEH UTARA DISTRICT

THESIS

BY

IMRAN 117032013/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM

KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMRAN 117032013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI

KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA

Nama Mahasiswa : Imran Nomor Induk Mahasiswa : 117032013

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) Ketua

(Ir. Evi Naria, M.Kes) Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 24 April 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Ir. Evi Naria, M.Kes

2. dr. Surya Dharma, M.P.H 3. drh. Rasmaliah, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM

KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2013

Imran


(7)

ABSTRAK

Chikungunya adalah salah satu penyakit menular yang menyebabkan tingginya angka kesakitan serta masalah kesehatan masyarakat di sebagian daerah di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus CHIK melalui gigitan nyamuk

Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejalanya adalah demam mendadak, nyeri pada persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan yang disertai ruam pada kulit. Pada tahun 2012, telah terjadi kejadian Chikungnya sebanyak 34 kasus di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh lingkungan rumah dan perilaku masyarakat terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Metode penelitian adalah survei analitik observasional dengan disain case control. Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga yang dijumpai anggota keluarganya menderita Chikungunya dan rumah tangga yang anggota keluarganya tidak menderita Chikungunya dengan sampel sebanyak 68 orang terdiri dari 34 kasus dan 34 kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi yang berpedoman pada kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan variabel lingkungan rumah yaitu kawat kasa pada ventilasi dan variabel perilaku masyarakat yaitu sikap dan tindakan berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya, sedangkan kerapatan dinding, langit-langit rumah, TPA dan kelembaban tidak berpengaruh. Hasil uji regresi logistik berganda diketahui bahwa variabel yang dominan berpengaruh terhadap Chikungunya adalah tindakan dengan nilai koefisien Exp (B) 4,779.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas sebaiknya tetap mempertahankan upaya health promotion yang telah dilakukan terutama peningkatan informasi tentang Chikungunya. Meningkatkan penyuluhan yang lebih intensif sehingga dapat mengugah minat masyarakat dalam upaya partisipasi aktif dan peran serta masyarakat. Menganjurkan kepada masyarakat untuk menggunakan kawat kasa pada lubang angin dan jendela.


(8)

ABSTRACT

Chikunguya is one of the contageous diseases causing high morbidity rate and problem of community health in some areas in Indonesia. This disease is caused the CHIK virus through the bites of Aedes aegypti and Aedes albopictus with the symptoms of sudden fever, pain in the joints especially in knee joints, ankles, toes and fingers accompanied with a skin rash. In 2012, there were 34 cases of Chikungunya in Nisam Subdistrict, Aceh Utara District.

The purpose of this observational analytical survey study with case-control design was to analyze the influence of home environment and behavior of community on the incident of Chikunguya in Nisam Subdistrict, Aceh Utara District. The population of this study was all of the families whose family members were suffering or not suffering from Chikunguya. The samples for this study were 68 persons consisting 34 for case group and 34 for control group. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-square test, and multivariate analysis with multiple logistic regression tests at level of confidence of 95%.

The result of this study showed that the variable of home environment (wire netting and ventilation) and the variable of behavior of community (attitude and action) had influence on the incident of Chikunguya, while wall density, house ceiling, garbage dump site, and humidity didi have any influence on the incident of Chikunguya. The result of multiple logistic regression tests showed that action with Exp coefficient value (B) of 4.779 was the variable which dominantly influenced the incident of Chikunguya.

The management of Aceh Utara District Health Service and Puskesmas (Community Health Center) should maintain the attempt of health promotion done especially the improvement of information about Chikunguya, should provide a more intensive extension that it can encourage the interest of community in active community participation, and the use of wire nettings on their ventilation and windows.


(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara”.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun tesis ini, menyadari begitu banyak mendapat dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H dan Ir. Evi Naria, M.Kes selaku komisi pembimbing dengan sabar dan tulus serta banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

5. dr. Surya Dharma, M.P.H dan drh. Rasmaliah, M.Kes selaku komisi penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

6. Seluruh Dosen Minat Studi Manejemen Kesehatan Lingkungan Industri, Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, semoga ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis belajar menjadi amal ibadah dan mendapat Rahmat dari Allah SWT.

7. M. Nurdin, S.K.M, M.M selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara yang telah memberikan Tugas Belajar kepada penulis sehingga penulis dapat melanjutkan Pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

8. Yanti Herawati, S.K.M selaku Kepala Puskesmas Nisam Kabupaten Aceh Utara yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Nisam Kabupaten Aceh Utara.

9. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri.


(11)

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta Ayahanda Tarmizi dan Ibunda Mahmudiah yang telah memberikan dukungan baik moril dan do‟a restu sehingga penulis mendapatkan pendidikan terbaik.

Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis curahkan kepada Isteri tercinta Marlina dan anakku tersayang Muhammad Nabiel Ghaysan yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan turut memberikan doa serta rasa cinta yang dalam setia menunggu, karena kehilangan banyak waktu bersama dalam masa-masa menempuh pendidikan ini dan banyak sekali memberikan motivasi serta dukungan moril kepada penulis agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Juni 2013 Penulis

Imran 117032013/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Imran, lahir pada tanggal 09 Mei 1979 di Lhokseumawe, beragama Islam, anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Tarmizi dan Mahmudiah. Mempunyai satu orang putra Muhammad Nabiel Ghaysan, sekarang menetap di Jalan Jrat Raya Desa Blang Peuria Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 4 Lhokseumawe selesai tahun 1991, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 4 Lhokseumawe selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Lhokseumawe selesai tahun 1997, Akademi Kesehatan Lingkungan Depkes R.I. Banda Aceh selesai pada tahun 2000, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh di Banda Aceh selesai tahun 2006. Mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tanggal 01 Desember 2003 di Puskesmas Syamtalira Bayu sampai dengan Bulan Agustus 2009. Pada Bulan September 2009 sampai dengan sekarang bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara.

Tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan dengan Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Chikungunya ... 8

2.1.1. Definisi Chikungunya ... 8

2.1.2. Etiologi dan Patogenesis ... 9

2.1.3. Gejala Klinis ... 10

2.1.4. Cara Penularan ... 11

2.1.5. Diagnosis Pasti dan Banding ... 12

2.1.6. Pengobatan ... 14

2.2. Nyamuk Penular Chikungunya ... 15

2.2.1. Klasifikasi Nyamuk ... 15

2.2.2. Morfologi Nyamuk ... 15

2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk ... 16

2.2.4. Bionomik Vektor ... 18

2.2.5. Ekologi Vektor... 21

2.3. Lingkungan Rumah ... 27

2.3.1. Rumah Sehat dan Persyaratannya ... 27

2.4. Perilaku Kesehatan ... 31

2.4.1. Pengetahuan ... 31

2.4.2. Sikap ... 32

2.4.3. Tindakan ... 33

2.5. Pencegahan dan Pengendalian Vektor Chikungunya ... 34

2.5.1. Pengelolaan Lingkungan ... 35


(14)

2.5.3. Pengendalian Biologi ... 37

2.5.4. Pengendalian Kimia ... 38

2.5.5. Pendekatan Pemberantasan Terpadu ... 40

2.6. Penanggulangan KLB Chikungunya ... 40

2.7. Landasan Teori ... 43

2.8. Kerangka Konsep ... 44

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Jenis Penelitian ... 45

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 46

3.2.2. Waktu Penelitian ... 46

3.3. Populasi dan Sampel ... 46

3.3.1. Populasi ... 46

3.3.2. Sampel ... 47

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 49

3.4.1. Data Primer ... 49

3.4.2. Data Sekunder ... 49

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas... 50

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 52

3.5.1. Variabel ... 52

3.5.2. Definisi Operasional ... 52

3.6. Metode Pengukuran ... 55

3.6.1. Pengukuran Lingkungan Rumah ... 55

3.6.2. Pengukuran Perilaku Masyarakat ... 57

3.7. Metode Analisis Data ... 60

3.7.1. Analisis Univariat ... 60

3.7.2. Analisis Bivariat ... 60

3.7.3. Analisis Multivariat ... 60

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 62

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 62

4.2. Analisis Univariat ... 63

4.2.1. Karakteristik Responden ... 63

4.2.2. Lingkungan Rumah Responden ... 65

4.2.3. Distribusi Perilaku Responden ... 67

4.3. Analisis Bivariat ... 75

4.4. Analisis Multivariat ... 80

4.5. Population Attribute Risk (PAR) ... 85

BAB 5. PEMBAHASAN ... 86

5.1. Pengaruh Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Chikungunya... 86


(15)

5.1.1. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Kerapatan

Dinding terhadap Kejadian Chikungunya ... 86

5.1.2. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Kawat Kasa pada Ventilasi terhadap Kejadian Chikungunya .. 87

5.1.3. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Langit-langit Rumah terhadap Kejadian Chikungunya ... 89

5.1.4. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Tempat Penampungan Air terhadap Kejadian Chikungunya... 91

5.1.6. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Kelembaban terhadap Kejadian Chikungunya ... 92

5.2. Pengaruh Perilaku Responden terhadap Kejadian Chikungunya... 94

5.2.1. Pengaruh Perilaku Responden Berdasarkan Pengetahuan terhadap Kejadian Chikungunya ... 94

5.2.2. Pengaruh Perilaku Responden Berdasarkan Sikap terhadap Kejadian Chikungunya... 96

5.2.3. Pengaruh Perilaku Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan terhadap Kejadian Chikungunya ... 99

5.3. Keterbatasan Penelitian ... 102

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

6.1. Kesimpulan ... 103

6.2. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian ... 51 3.2 Aspek Pengukuran Variabel ... 54 4.1 Distribusi Karakteristik Responden di Kecamatan Nisam Kabupaten

Aceh Utara Tahun 2013 ... 64 4.2 Distribusi Lingkungan Rumah Responden di Kecamatan Nisam

Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 66 4.3 Distribusi Frekuensi Pendapat Responden Berdasarkan Pengetahuan

terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 68 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan terhadap

Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 69 4.5 Distribusi Frekuensi Pendapat Responden Berdasarkan Sikap

terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 71 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap terhadap

Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 72 4.7 Distribusi Frekuensi Pendapat Responden Berdasarkan Tindakan

terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 73 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Tindakan terhadap

Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 74 4.9 Lingkungan Rumah dan Perilaku Responden dengan Kejadian

Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 75


(17)

4.10 Hasil Analisis Bivariat yang dijadikan Model Analisis Multivariat .... 81 4.11 Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Kawat Kasa pada

Ventilasi, Sikap dan Tindakan terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013... 83


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat Pernyataan Kesediaan menjadi Responden ... 110

2. Kuesioner Penelitian ... 111

3. Tabel Skor ... 115

4. Jadwal Penelitian ... 116

5. Master Data Penelitian ... 117

6. Analisis Univariat ... 119

7. Analisis Bivariat ... 133

8. Analisis Multivariat ... 141

9. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 145

10. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 146

11. Surat Telah Selesai Penelitian dari Puskesmas Nisam... 147

12. Peta Kecamatan Nisam ... 149


(19)

ABSTRAK

Chikungunya adalah salah satu penyakit menular yang menyebabkan tingginya angka kesakitan serta masalah kesehatan masyarakat di sebagian daerah di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus CHIK melalui gigitan nyamuk

Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejalanya adalah demam mendadak, nyeri pada persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan yang disertai ruam pada kulit. Pada tahun 2012, telah terjadi kejadian Chikungnya sebanyak 34 kasus di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh lingkungan rumah dan perilaku masyarakat terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Metode penelitian adalah survei analitik observasional dengan disain case control. Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga yang dijumpai anggota keluarganya menderita Chikungunya dan rumah tangga yang anggota keluarganya tidak menderita Chikungunya dengan sampel sebanyak 68 orang terdiri dari 34 kasus dan 34 kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi yang berpedoman pada kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan variabel lingkungan rumah yaitu kawat kasa pada ventilasi dan variabel perilaku masyarakat yaitu sikap dan tindakan berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya, sedangkan kerapatan dinding, langit-langit rumah, TPA dan kelembaban tidak berpengaruh. Hasil uji regresi logistik berganda diketahui bahwa variabel yang dominan berpengaruh terhadap Chikungunya adalah tindakan dengan nilai koefisien Exp (B) 4,779.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas sebaiknya tetap mempertahankan upaya health promotion yang telah dilakukan terutama peningkatan informasi tentang Chikungunya. Meningkatkan penyuluhan yang lebih intensif sehingga dapat mengugah minat masyarakat dalam upaya partisipasi aktif dan peran serta masyarakat. Menganjurkan kepada masyarakat untuk menggunakan kawat kasa pada lubang angin dan jendela.


(20)

ABSTRACT

Chikunguya is one of the contageous diseases causing high morbidity rate and problem of community health in some areas in Indonesia. This disease is caused the CHIK virus through the bites of Aedes aegypti and Aedes albopictus with the symptoms of sudden fever, pain in the joints especially in knee joints, ankles, toes and fingers accompanied with a skin rash. In 2012, there were 34 cases of Chikungunya in Nisam Subdistrict, Aceh Utara District.

The purpose of this observational analytical survey study with case-control design was to analyze the influence of home environment and behavior of community on the incident of Chikunguya in Nisam Subdistrict, Aceh Utara District. The population of this study was all of the families whose family members were suffering or not suffering from Chikunguya. The samples for this study were 68 persons consisting 34 for case group and 34 for control group. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-square test, and multivariate analysis with multiple logistic regression tests at level of confidence of 95%.

The result of this study showed that the variable of home environment (wire netting and ventilation) and the variable of behavior of community (attitude and action) had influence on the incident of Chikunguya, while wall density, house ceiling, garbage dump site, and humidity didi have any influence on the incident of Chikunguya. The result of multiple logistic regression tests showed that action with Exp coefficient value (B) of 4.779 was the variable which dominantly influenced the incident of Chikunguya.

The management of Aceh Utara District Health Service and Puskesmas (Community Health Center) should maintain the attempt of health promotion done especially the improvement of information about Chikunguya, should provide a more intensive extension that it can encourage the interest of community in active community participation, and the use of wire nettings on their ventilation and windows.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Chikungunya sampai saat ini masih tetap menjadi salah satu penyakit menular yang berisiko menyebabkan tingginya angka kesakitan serta masalah kesehatan masyarakat di sebagian daerah di Indonesia. Chikungunya adalah suatu jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK) termasuk dalam genus Alphavirus dari famili Togaviridae. Penyebaran virus Chikungunya bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor potensial dalam penyebaran Chikungunya (Depkes, 2007).

Chikungunya merupakan suatu penyakit dimana keberadaannya sudah ada sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Dari sejarahnya, diduga penyakit Chikungunya pertama kali ditemukan di dunia tahun 1952 di Afrika pada suatu tempat yang dinamakan Makonde Plateau. Tempat ini merupakan daerah perbatasan Tanzania and Mozambique, kemudian terjadi di Uganda tahun 1963. Dari tahun 1952 sampai kini virus telah tersebar luas di daerah Afrika, menyebar ke Amerika dan Asia. Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1954. Pada akhir tahun 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja, Vietnam, Manila dan Burma. Tahun 1965 terjadi KLB di Srilanka (Balitbangkes Depkes, 2005).


(22)

Angka insidensi di Indonesia sangat terbatas. Di Indonesias, KLB Chikungunya dilaporkan dan tercatat pertama kali di Samarinda pada tahun 1973. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1983, suatu rentetan epidemi CHIK terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan attack rate sekitar 70 – 90%. Dalam kurun waktu 5 tahun (2001 – 2005) kasus Chikungunya telah menyebar ke 11 Provinsi, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat, dengan jumlah kasus sebanyak 12.695 penderita, yang tersebar di 38 kabupaten/kota, 90 kecamatan dan 134 desa/kelurahan. Pada tahun 2007 di Jawa Tengah, KLB Chikungunya yang ditemukan di 85 desa/kelurahan merupakan KLB dengan frekuensi tertinggi ketiga dengan angka serangan kasus (AR) 0,86% dan tidak ada yang meninggal (Depkes, 2007).

Selama tahun 2008, di Indonesia terjadi KLB Chikungunya di beberapa provinsi, ditemukan di Jawa Barat (718 kasus), Jawa Tengah (26 kasus) dan Jawa Timur (368 kasus). di Kalimantan (32 kasus), di Lampung (99 kasus) dan di Sumatera Selatan (581 kasus) serta di Sumatera Utara tercatat (444 kasus) (Aditama, 2009).

Penyebaran Chikungunya di Indonesia terjadi pada daerah endemis penyakit demam berdarah dengue karena vektor pembawa virus ditularkan oleh nyamuk yang sama yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sangat


(23)

berbahaya sekali karena bisa mempengaruhi peningkatan kejadian Chikungunya dan juga kedekatan tempat perindukan nyamuk tersebut dengan tempat tinggal manusia merupakan faktor risiko terjadinya Chikungunya (Depkes, 2007).

Di Propinsi Aceh, Chikungunya masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan, dimana KLB Chikungunya pernah dilaporkan pada tahun 2001 kemudian hilang dan muncul kembali pada tahun 2009. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Aceh,

bulan Agustus tahun 2009 penderita Chikungunya mencapai 3.355 kasus di seluruh kabupaten/kota. Angka tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Tamiang

dengan jumlah 1.200 kasus, menyusul berikutnya Kabupaten Aceh Timur dengan jumlah 1.100 kasus. Sementara di Kabupaten Pidie Jaya tercatat 128 kasus, di Lhokseumawe 212 kasus dan di Kabupaten Aceh Utara 715 kasus tanpa ada laporan kematian (Dinkes Propinsi Aceh, 2009).

Pada tahun 2010, di Aceh Subulussalam ditemukan kasus Chikungunya sebanyak 20 kasus, dimana prevalens rate 1,68 per 1000 penduduk dan pada tahun

2011, di Kabupaten Aceh Utara ditemukan kasus Chikungunya sebanyak 132 kasus dengan prevalens rate 0,27 per 1000 penduduk dan tidak ada yang

meninggal. Sedangkan pada tahun 2012 di Kabupaten Bireuen ditemukan kasus Chikungunya sebanyak 123 kasus dengan prevalens rate 0,30 per 1000 penduduk dan tidak ada yang meninggal.


(24)

Pada bulan November – Desember tahun 2012, berdasarkan laporan Puskesmas Nisam, ditemukan kasus Chikungunya sebanyak 34 kasus tanpa ada laporan kematian, sebagian besar kasus berumur ≥ 18 tahun yaitu 25 kasus (74%). Dengan perbandingan penderita Chikungunya antara laki-laki dan perempuan yaitu 13 kasus (38%) dan 21 kasus (62%). Dengan ditemukannya kasus baru Chikungunya tersebut, dikhawatirkan dapat memperburuk keadaan karena daerah tersebut termasuk daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD) yang tiap tahunnya terjadi kasus DBD sehingga perlu mendapat perhatian dalam upaya penanggulangan (Puskesmas Nisam, 2012).

Kasus Chikungunya yang ditemukan di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara walaupun tidak menyebabkan kematian akan tetapi angka kesakitan cukup tinggi karena kondisi lingkungan yang mendukung sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Masyarakat menjadi cemas karena penyebaran Chikungunya yang cepat, dalam waktu singkat bisa menyerang banyak orang disertai dengan keluhan nyeri sendi yang hebat sehingga mengakibatkan penduduk mengalami kelumpuhan sementara dan produktivitas kerja menurun yang akhirnya berdampak pada faktor ekonomi masyarakat (Depkes, 2008).

Dalam setiap masalah kesehatan termasuk dalam upaya pemberantasan Chikungunya bahwasanya faktor lingkungan dan perilaku senantiasa sangat berperan penting khususnya dalam upaya pencegahan penyakit. Selain kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, upaya pengendalian vektor dalam mencegah kejadian Chikungunya bisa dilakukan dengan menghindari terjadinya kontak


(25)

dengan nyamuk dewasa dan dengan memperhatikan faktor kebiasaan keluarga antara lain; kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai yang bisa diubah ataupun disesuaikan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kasus Chikungunya terhadap salah satu anggota keluarga.

Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kasus Chikungunya pada KLB yang dilakukan oleh Rumatora (2011) di Dusun Mentubang Desa Harapan Mulia Kabupaten Kayong Utara. Hasil penelitian diperoleh dua faktor berhubungan dengan kejadian Chikungunya, yaitu kebiasaan menggunakan kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar. Variabel yang paling dominan pada kejadian Chikungunya adalah kebiasaan menggunakan kelambu.

Harahap (2012), dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengetahuan, sikap dan peran petugas kesehatan berhubungan terhadap pemberantasan sarang nyamuk Chikungunya melalui metode PSN. Variabel yang paling dominan adalah peran petugas kesehatan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh lingkungan rumah dan perilaku masyarakat terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.


(26)

1.2. Permasalahan

Angka kejadian Chikungunya yang terjadi di Kecamatan Nisam merupakan suatu fenomena yang harus diketahui secara pasti tentang berbagai faktor risiko yang memengaruhi kejadian Chikungunya. Ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Chikungunya diantaranya adalah kondisi lingkungan rumah dan perilaku masyarakat dalam pengendalian penyakit tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh lingkungan rumah (kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, tempat penampungan air (TPA), kelembaban) dan perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap, tindakan) terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh lingkungan rumah (kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, tempat penampungan air, kelembaban) dan perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap, tindakan) terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.


(27)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ke berbagai pihak antara lain:

1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara dan Puskesmas Nisam sebagai bahan masukan dalam meningkatkan penyuluhan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dan juga sebagai bahan referensi dalam penyusunan program pengendalian Chikungunya.

2. Bagi masyarakat, sebagai informasi mengenai pentingnya upaya pengendalian Chikungunya terhadap lingkungan di tempat tinggal mereka.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri yang berkaitan dengan kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.

4. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian diharapkan dapat menambah sumber kepustakaan dan sebagai data dasar dalam melakukan penelitian sejenis pada masa-masa yang akan datang berkaitan dengan Chikungunya.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Chikungunya

2.1.1. Definisi Chikungunya

Chikungunya adalah sejenis demam virus yang disebabkan alphavirus

yang disebarkan oleh gigitan nyamuk dari spesies Aedes aegypti. Namanya berasal dari sebuah kata dalam bahasa Swahili yang berarti yang melengkung ke atas merujuk kepada tubuh yang membungkuk akibat gejala-gejala arthritis (Anies, 2006).

Chikungunya adalah penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oleh virus Chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes africanus. Chikungunya dalam bahasa Swahili berarti kejang urat. Istilah lain penyakit ini adalah dengue, dyenge, abu rokap dan demam tiga hari. Penyakit ini ditandai dengan demam, mialgia atau artralgia, ruam kulit, leukopenia dan

imfadenopati karena vektornya nyamuk maka Chikungunya tergolong

arthropod-borne disease yaitu penyakit yang disebabkan oleh artropoda (Widoyono, 2008).

Menurut Soedarto (2009), Chikungunya adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang menimbulkan gejala mirip demam

dengue tetapi jarang menyebabkan pendarahan. Penderita mengeluh nyeri hebat pada tulang-tulangnya (break-bone fever) sehingga penyakit ini di masyarakat


(29)

dikenal sebagai flu tulang. Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti

vektor utama dan Aedes albopictus vektor potensial.

Chikungunya adalah penyakit yang mirip dengan Dengue hemorrhagic fever. Penyakit ini diidentifikasi dengan timbulnya panas yang disertai arthritis

(radang sendi) yang terjadi pertama pada pergelangan tangan, lutut, pergelangan kaki dan sendi kecil pada ekstremitas yang berlangsung selama beberapa hari sampai bulanan (Sarudji, 2010).

2.1.2. Etiologi dan Patogenesis

Virus Chikungunya adalah virus yang termasuk dalam genus virus alfa

dari family Togaviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran diameter sekitar 42 nm. Virus Chikungunya bersama dengan virus O’nyong-nyong dari genus virus alfadan virus penyebab penyakit „Demam Nil Barat‟ dari genus virus flavi menyebabkan gejala penyakit mirip dengue.

Sebelum menyerang manusia 200 – 300 tahun yang lalu, virus ini telah menyerang primata di hutan dan padang Savana di Afrika. Hewan primata yang sering terjangkit adalah baboon (Papio sp) dan Cercopithecus sp. Siklus di hutan diantara satwa primata dilakukan oleh Aedes sp (Widoyono, 2008).

Menurut Soedarto (2009), virus penyebab Chikungunya termasuk kelompok virus RNA yang mempunyai selubung merupakan anggota grup A

arbovirus, yaitu alphavirus dari Togaviridae. Dengan mikroskop elektron virus ini menunjukkan bentuk virion yang sferis dan kasar atau berbentuk polygonal


(30)

Penyebaran virus Chikungunya tersebar luas di Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Vektor utama penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes aegypti, sedangkan sumber penularan adalah manusia dan primata.

2.1.3. Gejala Klinis

Masa inkubasi 3 – 5 hari. Permulaan penyakit biasanya; tiba-tiba timbul panas tinggi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri persendian dan timbul bercak pendarahan (rash). Nyeri sendi pada penderita dewasa umumnya lebih berat daripada anak-anak. Sendi bekas trauma lebih mudah diserang. Sendi yang diserang Chikungunya, bengkak dan nyeri bila ditekan. Tanda-tanda peradangan sendi lain biasanya tidak ditemukan. Rash kulit biasa ditemukan pada permulaan sakit tetapi biasa juga timbul beberapa hari kemudian. Rash seringnya ditemukan pada badan dan anggota Limpa dan Liver biasanya tidak teraba (Yatim, 2007).

Demam Chikungunya atau flu tulang (break-bone fever) mempunyai gejala dan keluhan penderita mirip demam dengue, namun lebih ringan dan jarang menimbulkan pendarahan. Keluhan utama yang dialami penderita adalah artralgia

yang merasakan nyeri pada tulang-tulang. Selain itu pembuluh konjungtiva mata penderita tampak nyata dan disertai demam mendadak selama 2 – 3 hari. Pemeriksaan serum penderita pada uji hemaglutinasi inhibisi atau uji netralisasi menunjukkan tingginya titer antibodi terhadap virus Chikungunya (Soedarto, 2009).

Menurut Widoyono (2008), masa inkubasi Chikungunya adalah 1 – 6 hari. Gejala penyakit diawali dengan demam mendadak kemudian diikuti munculnya


(31)

ruam kulit dan limfadenopati, artralgia, mialgia atau arthritis yang merupakan tanda dan gejala khas Chikungunya. Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau ngilu bila berjalan kaki karena serangan pada sendi-sendi kaki. Dibandingkan dengan DBD, gejala Chikungunya muncul lebih dini. Perdarahan jarang terjadi, diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium yaitu adanya antibodi IgM dan IgG dalam darah.

2.1.4. Cara Penularan

Penularan Chikungunya dapat terjadi bila penderita yang mengandung virus Chikungunya digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita (extrinsic incubation period), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya sehingga selain menjadi vektor juga menjadi reservoir dari virus Chikungunya (Depkes, 2001).

Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum nyamuk menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus Chikungunya dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Seseorang yang telah terinfeksi oleh virus Chikungunya melalui gigitan nyamuk akan mengalami masa inkubasi selama 2 – 12 hari tetapi umumnya 3 – 7 hari, selama masa inkubasi ini virus berada di dalam darah yang disebut dengan fase akut/viremia


(32)

(5 – 7 hari). Penderita yang dalam masa viremia inilah yang dapat menularkan Chikungunya ke orang lain selama terdapat vektor penular penyakit (Depkes, 2001).

Faktor-faktor yang memegang peranan dalam penularan infeksi virus Chikungunya yaitu manusia, vektor perantara dan lingkungan. Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus tersebut dapat mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembangbiak dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit (Depkes, 2001).

2.1.5. Diagnosis Pasti dan Banding

Diagnosis Chikungunya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis ditemukan keluhan demam, nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, fotofobia serta daerah tempat tinggal penderita yang berisiko terkena Chikungunya. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya ruam makulopapuler, limfadenopati servikal dan injeksi konjungtiva. Pada pemeriksaan hitung lekosit, beberapa penderita mengalami lekopenia dengan limfositosis relatif. Jumlah trombosit dapat


(33)

menurun sedang dan laju endap darah akan meningkat. C-reactive protein positif pada kasus-kasus akut (Eppy, 2010).

Berbagai pemeriksaan laboratorium tersedia untuk membantu menegakkan diagnosis seperti isolasi virus dari darah, tes serologi klasik seperti uji hambatan aglutinasi/HI, complement fixation/CF dan serum netralisasi; tes serologi modern dengan teknik IgM capture ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay); teknik super modern dengan pemeriksaan PCR serta teknik yang paling baru dengan RT-PCR (2002). Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis sangat tergantung pada penemuan peningkatan titer antibodi sesudah sakit. Biasanya pada serum yang diambil saat hari ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF ataupun netralisasi. Antibodi netralisasi dan HI baru ditemukan pada serum yang diambil saat 2 minggu atau lebih sesudah serangan panas timbul. Diagnosis yang akurat dapat diperoleh dari serum yang sudah diambil sesudah sakit dengan metode IgM capture ELISA. Isolasi virus dapat dibuat dengan menyuntikkan serum akut dari kasus tersangka pada mencit atau kultur jaringan. Diagnosis pasti adanya infeksi virus Chikungunya ditegakkan bila didapatkan salah satu hal antara lain: 1) Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat pada uji hambatan aglutinasi (HI); 2) Virus Chikungunya (CHIK) pada isolasi virus; 3) IgM capture ELISA.

Viral arthropaty dapat diketahui dan dijumpai pada beberapa infeksi virus seperti dengue, Mayora (Mayora fever, Uruma fever), Ross River, Sindbiss (Ockelbo), Baermah forest dan O`nyong-nyong serta penyakit virus lainnya (penyakit pogosta, demam karelian). Infeksi virus tersebut merupakan diagnosis


(34)

banding dari penyakit Chikungunya. Diagnosis banding Chikungunya yang paling mendekati adalah demam dengue atau demam berdarah dengue (Soegijanto, 2004).

2.1.6. Pengobatan

Chikungunya pada dasarnya bersifat self limiting disease artinya penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Hingga saat ini, belum ada vaksin maupun obat khusus untuk Chikungunya, oleh karenanya pengobatan ditujukan untuk mengatasi gejala yang mengganggu (simtomatis). Obat-obatan yang dapat digunakan adalah obat antipiretik, analgetik (non-aspirin analgetik; non steroid anti inflamasi drug parasetamol, antalgin, natrium diklofenak, piroksikam, ibuprofen, obat anti mual dan muntah adalah dimenhidramin atau metoklopramid). Aspirin dan steroid harus dihindari. Terapi lain disesuaikan dengan gejala yang dirasakan (Soedarto, 2007).

Bagi penderita dianjurkan untuk makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Memperbanyak konsumsi buah-buahan segar, sebaiknya minum jus buah segar. Vitamin peningkat daya tahan tubuh dapat bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini. Selain vitamin, makanan yang mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat juga meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik dan istirahat cukup bisa membuat rasa ngilu pada persendian cepat hilang. Disarankan juga minum banyak air putih untuk menghilangkan gejala demam (Anies, 2006).


(35)

2.2. Nyamuk Penular Chikungunya 2.2.1. Klasifikasi Nyamuk

Nyamuk yang menjadi vektor penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti yang paling berperan utama (primary vector) dalam penularan Chikungunya karena nyamuk tersebut hidup di dalam dan sekitar tempat tinggal manusia sehingga banyak kontak dengan manusia.

Aedes aegypti adalah spesies nyamuk yang hidup di dataran rendah beriklim tropis sampai sub tropis (Anggraeni, 2010).

Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut:

Filum : Arhropoda

Kelas : Insecta

Bangsa : Diptera

Suku : Culicidae

Marga : Aedes

Jenis : Aedes aegypti L

2.2.2. Morfologi Nyamuk

Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Ukuran badan 3 – 4 mm, berwarna hitam dengan hiasan bintik-bintik putih di badannya dan pada kakinya warna putih melingkar. Nyamuk dapat hidup berbulan-bulan. Nyamuk jantan tidak menggigit manusia, ia makan buah. Hanya nyamuk betina yang menggigit yang diperlukan untuk membuat


(36)

telur. Telur nyamuk Aedes aegypti diletakkan induknya menyebar berbeda dengan telur nyamuk lain yang dikeluarkan berkelompok. Nyamuk bertelur di air bersih. Telur menjadi pupa beberapa minggu. Nyamuk Aedes aegypti bila terbang hampir tidak berbunyi sehingga manusia yang diserang tidak mengetahui kehadirannya, menyerang dari bawah atau dari belakang dan terbang sangat cepat. Telur nyamuk

Aedes aegypti dapat bertahan lama dalam kekeringan. Nyamuk Aedes aegypti

dapat tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008). 2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk

Siklus hidup nyamuk adalah proses perkembangbiakan dan pertumbuhan nyamuk mulai dari telur, jentik, kepompong sampai dengan dewasa. Siklus hidup nyamuk dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti/Aedes albopictus

Sumber : Anggraeni, 2010

Nyamuk dewasa

Pupa (Kepompong) 1 – 2 hari

1 – 2 hari 5 – 7 hari

Telur


(37)

a. Telur

Menurut Anggraeni (2010), nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang 0,50 mm. Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur dapat menetas menjadi jentik. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari.

b. Jentik

Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi jentik saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan

perkembangan jentik tersebut yaitu: Instar I berukuran paling kecil yaitu 1 – 2 mm; 2) Instar II 2,5 – 3,8 mm; 3) Instar III berukuran besar sedikit dari

larva instar II; 4) Instar IV berukuran paling besar 5 mm. Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi pupa dalam 5 sampai 7 hari.

c. Pupa

Pupa berbentuk seperti „koma‟. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa.


(38)

Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak

mendukung.

d. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Sesaat setelah menjadi dewasa, nyamuk akan segera kawin

dan nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu 24 sampai 36 jam. Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan

telur (Depkes, 2005). 2.2.4. Bionomik Vektor

Bionomik vektor adalah kesenangan memilih tempat perindukan (breeding place), kesenangan menggigit (feeding habit), kesenangan tempat hinggap istirahat (resting place) dan jangkauan terbang (flight range) (Depkes, 2007).

a. Tempat Perindukan (Breeding Place)

Tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan-genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer dan bukan pada genangan-genangan air di tanah. Pada waktu survai larva/jentik, kontainer dibedakan: 1) Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan sehari-hari seperti: drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember dan lain-lain; 2) Bukan tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat yang biasa menampung air tetapi bukan keperluan sehari-hari


(39)

seperti: tempat minum hewan piaraan (ayam, burung dan lain-lain), barang bekas (kaleng, ban, botol, pecahan gelas dan lain-lain), vas kembang, perangkap semut, penampungan air dispenser dan sebagainya; 3) Tempat penampungan air buatan alam (alamiah/natural) seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu dan lain-lain (Depkes, 2007).

Tempat kebiasaan bertelur dari kedua vektor nyamuk Chikungunya agak

berbeda. Untuk Aedes aegypti, tempat yang disenangi untuk bertelur adalah di Tempat Penampungan Air (TPA) yang jernih dalam rumah dan yang terlindung

dari sinar matahari seperti bak di kamar kecil (WC), bak mandi, tandon air minum, ember, tempayan, drum dan sejenisnya. Penampungan ini biasanya dipakai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, sedangkan Aedes albopictus

lebih senang bertelur pada tempat penampungan air yang berada di luar rumah seperti kaleng, botol, ban bekas yang di buang, lubang pohon, lekukan tanaman, potongan batang bambu dan buah kelapa yang sudah terbuka. Penampungan ini bukan dipakai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, hal itu sesuai dengan sifat Aedes aegypti yang mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah dan

Aedes albopictus yang merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004). b. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)

Nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik yang berarti lebih menyukai menghisap darah manusia dibandingkan dengan darah hewan, sedangkan nyamuk


(40)

Aedes albopictus merupakan penghisap darah yang acak dan lebih zoofagik

(WHO, 2005).

Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi hari, yaitu sekitar pukul 08.00 – 10.00 dan sore hari 15.00 – 17.00. Nyamuk yang aktif menghisap darah adalah yang betina untuk mendapatkan protein. Protein tersebut digunakan untuk keperluan produksi dan proses pematangan telur. Tiga hari setelah menghisap darah, nyamuk betina menghasilkan telur sampai 100 butir telur kemudian siap diletakkan pada media (Suroso, 2003).

Menurut Depkes (2007), kebiasaan menggigit dari Aedes aegypti pada pagi hingga sore hari yaitu pada pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00 lebih banyak menggigit di dalam rumah dari pada di luar rumah. Nyamuk ini sangat menyukai darah manusia dan biasanya menggigit berulang kali, hal ini disebabkan pada siang hari orang sedang aktif sehingga nyamuk yang mengigit seseorang belum tentu kenyang. Orang tersebut sudah bergerak, nyamuk terbang menggigit orang lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya.

c. Tempat Istirahat (Resting Place)

Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin. Aedes aegypti lebih menyukai tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan sebagai tempat peristirahatannya termasuk di kamar tidur, di kamar mandi maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tanaman atau tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan permukaan istirahat yang


(41)

disukai nyamuk adalah di bawah perabotan, benda-benda yang bergantung seperti baju dan tirai serta dinding. Sementara nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai tempat di luar rumah yaitu hidup di lubang-lubang pohon, lekukan tanaman dan kebun atau kawasan pinggir hutan. Oleh karena itu, Aedes albopictus sering disebut nyamuk kebun (forest mosquito) (WHO, 2005).

Kebiasaan hinggap istirahat lebih banyak di dalam rumah yaitu pada benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempat-tempat lain yang terlindung juga di dalam sepatu (Depkes, 2007).

d. Jarak Terbang (Flight Range)

Pergerakan nyamuk Aedes aegypti dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Jarak terbang (flight range) rata-rata nyamuk Aedes aegypti adalah sekitar 100 m tetapi pada keadaan tertentu nyamuk ini dapat terbang sampai beberapa kilometer dalam usahanya untuk mencari tempat perindukan untuk

meletakkan telurnya. Nyamuk Aedes albopictus jarak terbang berkisar antara 400 – 600 m (Soegijanto, 2006).

2.2.5. Ekologi Vektor

Ekologi vektor adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara vektor dan lingkungannya. Lingkungan merupakan interaksi vektor penular Chikungunya dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya Chikungunya. Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lingkungan biologik.


(42)

a. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik adalah lingkungan sekeliling manusia yang terdiri dari benda-benda yang tidak hidup (non living things) dan kekuatan-kekuatan fisik lainnya. Dalam hal ini lingkungan fisik dapat menjadi enviromental reservoir dan ikut berperan menentukan pola populasi nyamuk. Lingkungan fisik sebagai berikut:

1. Jarak antara rumah

Jarak rumah memengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin mudah menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk. Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit (Depkes, 1998).

Penelitian Roose (2008), di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru menunjukkan bahwa ada hubungan jarak antar rumah ≤ 5 m memberikan kontribusi dampak/risiko dengan kejadian DBD sebesar 1,79 kali dibanding dengan jarak antar rumah > 5 m.

2. Macam kontainer

Macam kontainer disini antara lain: jenis/bahan kontainer, letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup kontainer dan asal air memengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.


(43)

3. Ketinggian tempat

Keadaan geografis seperti ketinggian memengaruhi penularan penyakit. Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Kadar oksigen juga memengaruhi daya tahan tubuh seseorang, semakin tinggi letak pemukiman maka akan semakin rendah kadar oksigennya. Dataran tinggi juga berhubungan dengan temperatur udara (Widoyono, 2008).

Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian daerah ± 1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat berkembangbiak karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes, 2005).

Tiap kenaikan 100 m maka selisih suhu udara tempat semula adalah 0,5oC. Bila perbedaan tempat cukup tinggi maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan akan memengaruhi faktor-faktor lain seperti penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dan musim penularan (Depkes, 2007).

4. Iklim

Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik yang terdiri dari suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, pencahayaan dan kecepatan angin.


(44)

a. Suhu udara

Nyamuk termasuk binatang berdarah dingin karenanya proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungannya. Nyamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25°C – 27°C. Nyamuk dapat bertahan hidup dalam suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan berhenti bila suhu turun sampai di bawah suhu kritis pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologinya.

Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10ºC atau lebih dari 40ºC. Toleransinya terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuknya tetapi pada umumnya suatu spesies tidak akan tahan lama bila suhu lingkungan meninggi 5ºC – 6ºC di atas, dimana spesies secara normal dapat beradaptasi.

Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses metabolisme sebagian diatur oleh suhu, oleh karena kejadian-kejadian biologis tertentu seperti lamanya masa pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap, pematangan idung telur, frekuensi mencari makanan atau menggigit dan lamanya pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dipengaruhi oleh suhu (Depkes, 2007).


(45)

b. Kelembaban udara

Menurut Gobler dalam Depkes (1998), umur nyamuk dipengaruhi oleh kelembaban udara. Pada suhu 20ºC kelembaban nisbi 27% umur nyamuk betina 101 hari dan umur nyamuk jantan 35 hari, kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah.

Menurut Depkes (2007), kelembaban udara adalah banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan rumah menjadi basah dan lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit. Kelembaban yang baik berkisar antara 40% – 70%. Pada keadaan ini nyamuk tidak dapat bertahan hidup akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek sehingga nyamuk tersebut tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk.

c. Curah hujan

Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan menambah kelembaban udara. Temperatur dan kelembaban selama musim hujan sangat kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Suroso, 2000).


(46)

Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan. Curah hujan yang lebat menyebabkan bersihnya tempat perkembangbiakan vektor, oleh karena jentiknya hanyut dan mati. Kejadian penyakit yang ditularkan nyamuk biasanya meninggi beberapa waktu sebelum musim hujan lebat. Pengaruh hujan berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah. Terlalu banyak hujan akan menyebabkan kekeringan, mengakibatkan berpindahnya tempat perkembangbiakan vektor tetapi keadaan ini akan segera pulih cukup bila keadaan kembali normal. Curah hujan yang cukup dengan jangka waktu lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembangbiak secara optimal (Depkes, 2007).

d. Pencahayaan

Cahaya merupakan faktor utama yang memengaruhi nyamuk beristirahat pada suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk intensitas cahaya merupakan faktor terbesar yang memengaruhi aktivitas terbang nyamuk. Intensitas pencahayaan untuk kehidupan nyamuk adalah < 60 lux (Depkes, 2007).

e. Kecepatan angin

Kecepatan angin secara langsung berpengaruh pada penguapan (evaporasi) air dan suhu udara (konveksi), disamping itu angin berpengaruh terhadap arah penerbangan nyamuk. Bila kecepatan angin


(47)

11 – 14 meter perdetik atau 25 – 31 mil per jam akan menghambat penerbangan nyamuk. Dalam keadaan udara tenang mungkin suhu nyamuk ada beberapa fraksi atau derajat lebih tinggi dari suhu lingkungan, bila ada angin evaporasi baik dan konveksi baik maka suhu nyamuk akan turun beberapa fraksi atau derajat lebih rendah dari suhu lingkungan (Depkes, 2007).

b. Lingkungan biologik

Lingkungan biologik yang memengaruhi penularan Chikungunya adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan dan kelembaban di dalam rumah dan halaman. Bila banyak tanaman hias dan tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk hinggap istirahat dan juga menambah umur nyamuk (Soegijanto, 2003).

2.3. Lingkungan Rumah

2.3.1. Rumah Sehat dan Persyaratannya

Dalam UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman terdapat istilah rumah, perumahan dan pemukiman. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaaan keluarga, sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana lingkungan.


(48)

Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Menurut WHO dan American Public Health Association (APHA), perumahan/pemukiman yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain: (1) Syarat fisiologis, rumah yang dibangun harus dapat terpenuhi kebutuhan fisik dasar dari penghuninya diantaranya adalah rumah tersebut harus terjamin penerangannya yang dibedakan atas cahaya matahari dan lampu, rumah harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara segar dapat terpelihara dan rumah tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipertahankan suhu lingkungan. (2) Syarat psikologis, rumah yang dibangun harus dapat terpenuhi kebutuhan kejiwaan dasar dari penghuninya diantaranya adalah terjamin berlangsungnya hubungan yang serasi antara anggota keluarga yang tinggal bersama, tersedianya sarana yang memungkinkan dalam pelaksanaan pekerjaan rumah tangga tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan. (3) Mencegah penularan penyakit, rumah yang dibangun harus dapat melindungi penghuni dari penularan penyakit atau berhubungan dengan zat-zat yang membahayakan kesehatan diantaranya adalah rumah tersebut di dalamnya tersedia air bersih yang cukup, ada tempat pembuangan sampah dan tinja yang baik, terlindung dari pengotoran terhadap makanan, tidak menjadi tempat bersarang binatang melata ataupun penyebab penyakit lainnya. (4) Mencegah terjadinya kecelakaan, rumah


(49)

yang dibangun harus dapat melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan, jadi rumah tersebut harus kokoh, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang terlindungi dan juga terlindung dari kecelakaan lalu lintas.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 929/Menkes/SK/VII/1999 persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan meliputi parameter diantaranya (Sarudji, 2010): (1) Lokasi, lokasi perumahan/pemukiman tersebut tidak terletak pada daerah rawan bencana alam, tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang dan tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan. (2) Prasarana dan sarana lingkungan, meliputi adanya taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan, memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit, memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak menganggu kesehatan, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan, tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan, pengelolaan pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian dan lain sebagainya, pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya dan tempat pengelolaan makanan (TPM) harus


(50)

menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan. (3) Vektor penyakit, meliputi indeks lalat harus memenuhi syarat dan indeks nyamuk di bawah 5%. (4) Kualitas udara, diantaranya suhu udara nyaman antara 18 – 300C dan kelembaban udara 40 – 70%.

Menurut Azwar (1996), rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan. Hal ini perlu diperhatikan juga kondisi fisik rumah berkaitan dengan kejadian Chikungunya terutama berkaitan dengan mudah atau tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah ventilasi yang tidak dipasang kawat kasa dapat mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah.

Langit-langit atau pembatas ruangan dinding atas dengan atap yang terbuat dari kayu, internit maupun anyaman bambu halus sebagai penghalang masuknya nyamuk dilihat dari ada tidaknya langit-langit pada semua atau sebagian ruangan rumah. Kualitas dinding yang tidak rapat bila terbuat dari anyaman bambu kasar ataupun kayu/papan yang terdapat lubang lebih dari 1,5 mm2 akan mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah (Darmadi, 2002).

Menurut Machfoed (2008), rumah berdasarkan bahan bangunannya terdiri dari: 1) Rumah Non Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu, bambu; 2) Rumah Semi Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu dan campuran batu, pasir dan semen; 3) Rumah Permanen yaitu rumah yang keseluruhan bahan bangunan terbuat dari campuran batu, pasir dan semen.


(51)

2.4. Perilaku Kesehatan

Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2012), perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan yang diuraikan antara lain: a) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia merespon baik secara pasif maupun secara aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut; b) Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap sistem kesehatan pelayanan kesehatan baik yang modern maupun yang tradisional; c) Perilaku terhadap makanan adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan; d) Perilaku terhadap lingkungan adalah respon terhadap lingkungan sebagai determinan.

Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku yang berhubungan dengan kejadian Chikungunya. Perilaku kesehatan tersebut didasarkan pada 3 (tiga) domain perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.4.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, (2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan


(52)

seseorang. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda termasuk dalam hal ini kemampuan masyarakat dalam menjaga kesehatan individu dalam pencegahan terjadi keluhan penyakit maupun dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan perseorangan untuk memelihara kesehatan diri sendiri, memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan serta mencegah timbulnya penyakit. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang berkaitan dengan Chikungunya.

2.4.2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dapat dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang ada dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Menurut Wawan (2011), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berbeda, sedangkan pada sikap


(53)

negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/pernyataan responden terhadap sesuatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo (2007). Sikap dalam penelitian ini adalah pencegahan yang berkaitan dengan Chikungunya.

2.4.3. Tindakan

Domain terakhir dari perilaku kesehatan adalah tindakan. Tindakan tersebut didasari pada penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahuinya kemudian disikapi dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukannya. Tindakan dalam penelitian ini adalah segala bentuk nyata yang dilakukan dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya Chikungunya.

Tindakan yang tercakup dalam domain psikomotorik mempunyai 4 (empat) tingkatan (Notoatmodjo, 2003): 1) Persespsi (perception) yaitu

mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama; 2) Respon terpimpin (guided response) yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan

sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua; 3) Mekanisme (mecanism) yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu


(54)

sudah mencapai praktek tingkat tiga; 4) Adaptasi (adaptation) yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Seseorang sudah dapat memodifikasi tindakan tanpa mengurangi kebenaran tindakan (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan dan sikap masyarakat yang kurang mengetahui tentang tentang tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan Chikungunya mempunyai risiko terkena Chikungunya. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan serta pemberantasan Chikungunya perlu mendapatkan perhatian utama agar masyarakat lebih berperan dalam pemberantasan sarang nyamuk (Depkes, 2007).

2.5. Pencegahan dan Pengendalian Vektor Chikungunya

Mengingat vektor penular virus Chikungunya dan virus dengue (DBD) sama, yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus maka upaya pencegahan Chikungunya hampir sama dengan pencegahan untuk penyakit DBD. Upaya pencegahan dititikberatkan pada pengendalian nyamuk penular dapat dilakukan terhadap jentiknya dan nyamuk dewasa. Upaya terpadu perlu diterapkan untuk pengendalian nyamuk penular vektor Chikungunya dengan menggunakan metode yang tepat, antara lain dengan pengelolaan lingkungan, perlindungan diri, pengendalian biologi, pengendalian kimiawi dan pendekatan pemberantasan terpadu.


(55)

2.5.1. Pengelolaan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan meliputi berbagai perubahan yang berkaitan dengan upaya pencegahan, ditujukan untuk mengurangi perkembangbiakan vektor sehingga mengurangi kontak vektor dengan manusia. Metode pengelolaan lingkungan untuk mengendalikan Aedes aegypti dan Aedes albopictus serta mengurangi kontak vektor dengan manusia dengan melakukan kegiatan antara lain: Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan buatan manusia dan perbaikan desain rumah (Sukamto, 2007).

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya adalah pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak. Pencegahan yang dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan di tempat-tempat umum dengan melaksanakan PSN meliputi: 1) Menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa perkembangan telur menjadi nyamuk selama 7 – 10 hari; 2) Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum dan tempat air lain; 3) Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung sekurang-kurangnya seminggu sekali; 4) Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barang-barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga tidak menjadi sarang nyamuk; 5) Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang pohon dengan tanah; 6) Membersihkan air yang tergenang di atap rumah; 7) Memelihara ikan (Chahaya, 2003).


(56)

2.5.2. Perlindungan Diri

Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk

antara lain seperti: 1) Membersihkan halaman atau kebun di sekitar rumah; 2) Membersihkan saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak; 3) Membuka

pintu dan jendela rumah setiap pagi hari sampai sore agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang

sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk; 4) Memakai pakaian pelindung dari gigitan nyamuk Aedes aegypti dapat

merupakan alternatif penting dalam memutus kontak antara nyamuk dewasa dengan manusia. Pakaian tersebut cukup tebal atau longgar berlengan panjang dan celana panjang dengan kaos kaki dapat melindungi tangan dan kaki dari tusukan nyamuk karena merupakan bagian tubuh yang rawan; 5) Memakai repellent.

Repellent atau penolak serangga merupakan sarana pelindung diri terhadap nyamuk dan serangga yang umumnya digunakan. Bahan ini secara garis besar dibagi menjadi 2 kategori yaitu penolak alami dan penolak kimiawi. Minyak esensial dan ekstrak tanaman merupakan bahan pokok penolak alami misalnya minyak neem (pada kayu mahoni). Penolak kimiawi misalnya DEET (N,N-Diethyl-m-Taluamide) dapat memberikan perlindungan terhadap nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Repellent dioleskan seperlunya pada bagian tubuh yang terbuka; 6) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian. Kebiasaan meletakkan pakaian digantungkan yang terbuka misalnya di belakang pintu kamar. Melipat pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk


(57)

tidak hinggap pada pakaian tersebut; 7) Tidur siang dengan menggunakan kelambu. Kebiasaan orang tidur pada siang hari akan mempermudah penyebaran Chikungunya karena nyamuk betina mencari umpannya pada siang hari (Anies, 2006).

2.5.3. Pengendalian Biologi

Menurut Soegijanto (2006), pengendalian biologi dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Pengendalian biologi dapat berperan sebagai patogen dan parasit. Beberapa jenis ikan seperti ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing Nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan R.culiciforax merupakan parasit pada larva nyamuk. Sebagai patogen seperti dari golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat dikembangkan sebagai pengendalian hayati larva nyamuk di tempat perindukannya. (3) Cara Fisik, pemberantasan secara fisik ini dikenal dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yaitu: 1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi/wc, drum dan lain-lain seminggu sekali; 2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti gentong air/tempayan dan lain-lain; 3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.


(58)

2.5.4. Pengendalian Kimia

Pengendalian secara kimia terhadap vektor Chikungunya ditujukan pada jentik dan nyamuk dewasa.

a. Pemberantasan Jentik

Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti dilakukan dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida) atau dikenal dengan

larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah granula (sand granula). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect growth regulator (Depkes, 2005).

b. Pemberantasan Nyamuk Dewasa

Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan (fogging) dengan insektisida, hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda yang bergantungan maka penyemprotan tidak dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria (Depkes, 2005).

Insektisida yang digunakan adalah insektisida golongan organophospat

misalnya malathion dan feritrothion. Golongan pyrectic syntetic misalnya lamda

sihalotrin dan parmietrin. Golongan karbamat. Alat yang digunakan untuk menyemprot ialah mesin fog atau mesin ultra low volume (ULV) karena


(59)

penyemprotan dilakukan dengan cara pengasapan maka tidak mempunyai efek residu (Suroso, 2003).

Penyemprotan insektisida dilakukan interval 1 minggu untuk membatasi penularan virus Chikungunya. Penyemprotan siklus pertama semua nyamuk mengandung virus Chikungunya (nyamuk inaktif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Penyemprotan insektisida ini dalam waktu singkat dapat membatasi penularan akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan pemberantasan jentik agar populasi nyamuk dapat ditekan serendah-rendahnya (Suroso, 2003).

2.5.5. Pendekatan Pemberantasan Terpadu

Penggunaan insektisida sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan vektor Chikungunya sedapat mungkin harus dipadukan dengan metode pengelolaan lingkungan. Selama periode tidak ada atau sedikit aktifitas virus Chikungunya. Langkah rutin dari pemberantasan sarang nyamuk dapat dipadukan dengan penggunaan larvasida untuk wadah yang tidak dapat dikuras isinya, tak dapat ditutup. Sebagai upaya pengendalian darurat dalam menekan KLB/wabah, dilakukan program pemberantasan populasi Aedes aegypti dengan cepat, menyeluruh dengan menggunakan insektisida dan menerapkan teknik-teknik secara terpadu (Sukamto, 2007).

2.6. Penanggulangan KLB Chikungunya

Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) adalah upaya yang meliputi: pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular Chikungunya,


(60)

penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB (Depkes, 2005).

Tujuan penanggulangan KLB adalah untuk membatasi penularan Chikungunya sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Kegiatan yang dilakukan bila terjadi KLB/wabah, dilakukan penyemprotan insektisida (2 siklus dengan interval 1 minggu), PSN Chikungunya, larvasida, penyuluhan di seluruh wilayah terjangkit dan kegiatan penanggulangan, penyelidikan KLB, pengumpulan dan pemeriksaan spesimen serta kegiatan surveilans kasus dan vektor.

1. Pengobatan/perawatan penderita

Penderita Chikungunya yang berat dirawat di rumah sakit atau puskesmas yang mempunyai fasilitas perawatan.

2. Pemberantasan vektor

a. Pengasapan (fogging/ULV) meliputi: 1) Pelaksana, dilakukan oleh petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan tenaga lain yang telah dilatih; 2) Lokasi meliputi seluruh daerah yang terjangkit; 3) Sasarannya adalah rumah dan tempat-tempat umum; 4) Insektisida, sesuai dengan dosis; 5) Menggunakan alat yaitu mesin fog atau ULV; 6) Cara pengasapan/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval 1 minggu.

b. Pemberantasan sarang nyamuk Chikungunya meliputi: 1) Pelaksana, dilakukan oleh masyarakat di lingkungan masing-masing;


(61)

dan merupakan satu kesatuan epidemiologis; 3) Sasarannya adalah semua tempat potensial bagi perindukan nyamuk; tempat penampungan air, barang bekas, lubang pohon/tiang pagar, tempat minum burung dan sebagainya, di rumah/bangunan dan tempat umum; 4) Dengan cara melakukan kegiatan 3M plus.

c. Larvasidasi meliputi: 1) Pelaksana, Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/kota; 2) Lokasi meliputi seluruh wilayah yang terjangkit; 3) Sasarannya adalah tempat penampungan air di rumah dan tempat-tempat umum; 4) Larvasida sesuai dengan dosis; 5) Cara, larvasida dilaksanakan di seluruh wilayah KLB. 3. Penyuluhan kesehatan masyarakat

Dinas kesehatan kabupaten/kota bersama puskesmas menyusun rencana kegiatan penyuluhan. Pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota setempat. Kegiatan penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) meliputi: 1) Pertemuan dengan lintas sektor terkait (Departemen Pendididikan Nasional, Departemen Agama, Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Keluarahan/Desa dan lain-lain; 2) Penyuluhan melalui media elektronik (televisi, radio Pemda/swasta lokal, bioskop, media cetak (surat kabar, pemasangan spanduk, poster, stiker); 3) Penyuluhan dilaksanakan di sekolah (melalui guru UKS), tempat ibadah, tempat pemukiman (melalui organisasi wanita PKK dan organisasi lainnya), pasar, tempat-tempat umum


(62)

lainnya; 4) Penyuluhan melalui Ketua RT/RW misalnya dengan membagikan

leaflet kepada warga.

4. Penilaian penanggulangan KLB

Penilaian penanggulangan KLB meliputi: (a) Penilaian Operasional ditujukan untuk mengetahui presentase (coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Pada kunjungan tersebut dilakukan wawancara apakah rumah sudah dilakukan pengasapan larvasidasi dan pemeriksaan jentik serta penyuluhan (b) Penilaian Epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan terhadap jumlah penderita Chikungunya. Penilaian ini dilakukan dengan membandingkan data kasus Chikungunya sebelum dan sesudah penanggulangan Chikungunya. Data-data tersebut digambarkan dalam grafik per mingguan, 4 mingguan atau bulanan dan dibandingkan pula dengan keadaan tahun sebelumnya pada periode yang sama.


(63)

2.7. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada faktor risiko kejadian Chikungunya dan teori simpul determinan penyakit dapat digambarkan sebagai berikut:

Nyamuk Manusia

(Bionomik) (Perilaku)

Lingkungan Suhu, kelembaban

Gambar 2.2 Faktor Risiko Kejadian Chikungunya

Sumber : Achmadi, 2010

Adapun Teori Simpul dari timbulnya kejadian Chikungunya sebagai berikut:

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3

Simpul 4

Gambar 2.3 Kerangka Teori

Sumber : Achmadi, 2010 Sumber

Penularan

Media

Transmisi Manusia

Dampak Kesehatan

Penderita


(1)

(2)

(3)

DOKUMENTASI PENELITIAN

PENELITI SEDANG MELAKUKAN WAWANCARA DENGAN RESPONDEN


(4)

RUMAH RESPONDEN YANG MEMASANG KAWAT KASA


(5)

RUMAH RESPONDEN YANG ADA LANGIT-LANGIT


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 18

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 2

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 8

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 35

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016 Chapter III VI

0 0 85

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 5

Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2016

0 0 75

Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

0 0 44

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chikungunya 2.1.1. Definisi Chikungunya - Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

0 0 37

PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA

0 0 18