Pembuatan Dan Karakterisasi Semi Interpenetrating Polymer Network (IPN) Dari Lateks Pekat Karet Alam - Tepung Ampas Tahu
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Polimer
Polimer merupakan molekul besar (giant molecules) yang terbentuk dari unit ulang
sederhana. Nama polimer diturunkan dari bahasa Yunani Poly yang berarti banyak,
dan mer yang berarti bagian. Makromolekul merupakan istilah yang sinonim dengan
polimer (Stevens. 2001). Bahan yang dewasa ini disebut polimer sebenarnya telah
dikenal sejak permulaan kebudayaan manusia baik sebagai bahan makanan, maupun
bahan keperluan perlindungan, pakaian, transportasi dan sebagainya (Wirjosentono,
1994).
Proses polimerisasi secara umum dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
polimerisasi kondensasi dan polimerisasi adisi. Polimererisasi adisi radikal bebas
merupakan reaksi rantai dengan pembawa rantai berupa zat reaktif yang mempunyai
satu elektron bebas tidak berpasangan atau radikal bebas (Cowd, l99l).
Paduan karet mengalami perlakuan panas dengan berbagai metode dan
vulkanisasi untuk menghasilkan produk karet. Pada saat vulkanisasi terjadi perubahan
signifikan pada sifat fisika dan kimia paduan karet karena terjadi perubahan struktur
molekul oleh adanya ikat silang.
2.2. Paduan Polimer (Blend Polymer)
Paduan kimia yaitu pencampuran antara dua jenis polimer atau lebih yang memiliki
struktur berbeda dan ditandai dengan terjadinya ikatan-ikatan kovalen antara polimerpolimer penyusunnya. Paduan kimia akan menghasilkan kopolimer. Interaksi yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi dalam poliblen adalah ikatan Van der Waals, ikatan hidrogen atau interaksi
dipol-dipol.
Tabel 2.1 Tipe Polipaduan (Stevent, 2001)
Tipe
Deskripsi
Paduan Mekanik
Polimer dicampurkan pada suhu diatas Tg
atau Tm, berurutan untuk polimer amorfus
dan semi kristal
Paduan Mekanokimia
Polimer dicampurkan pada laju geser yang
cukup tinggi untuk menghasilkan degradasi.
Radikal bebas yang terjadi berkombinasi
membentuk campuran kompleks yang
mengandung komponen blok dan cangkok.
Paduan tuang-larutan
Polimer dilarutkan dalam pelarut biasa,
kemudian pelarutnya dihilangkan.
Paduan lateks
Dispersi-dispersi halus dari polimer dalam air
(lateks) dicampur, dan polimer-polimer yang
bercampur dikoagulasi
Paduan kimia
1.
Jaringan polimer
interpenetrasi (IPN atau
Interenetrating Polymer
Network)
Polimer ikat silang digembungkan dengan
monomer-monomer yang berbeda, kemudian
monomer dipolimerisasi dan diikat silangkan.
2.
Jaringan polimer semi
interpenetrasi (semi IPN)
Monomer polifungsi dicampur dengan
polimer
termoplastik,
kemudian
dipolimerisasi ke polimer jaringan.
3.
Jaringan polimer
interpenetrasi simultan
Monomer yang berbeda dicampur, kemudian
dihomopolimerisasi dan diikat silangkan
secara simultan, tetapi melalui mekanisme
non interaksi.
4.
Jaringan elastomer
interpenetrasi
Polipaduan lateks diikat silangkan setelah
koagulasi.
Universitas Sumatera Utara
Paduan polimer ini bertujuan untuk mendapatkan sifat-sifat material yang
diinginkan dan disesuaikan dengan keperluan. Poliblen komersial dapat dihasilkan
dari polimer sintetik dengan polimer sintetik, polimer sintetik dengan polimer alam,
dan polimer alam dengan polimer alam. Poliblen yang dihasilkan berupa poliblen
homogen dan poliblen heterogen. Poliblen homogen terlihat homogen dan transparan,
mempunyai titik leleh tunggal dan sifat fisiknya sebanding dengan komposisi masingmasing komponen penyusunnya, sedangkan poliblen heterogen terlihat tidak jelas dan
mempunyai beberapa titik leleh Berikut merupakan tipe polipaduan yang ditunjukkan
melalui Tabel 2.1
2.3. Interpenetrasi Jaringan Polimer
Interpenetrating Polymer Networks atau IPN adalah gabungan dari dua polimer yang
menunjukkan variasi karakteristik, yang diperoleh dari sintesis satu polimer jaringan
atau silang secara independen. Atau dengan kata lain IPN adalah Kombinasi dari
paling sedikit dua rantai polimer dalam bentuk jaringan tanpa ikatan kovalen antar
jaringan. Dapat dibayangkan sebagai dua atau lebih jaringan akan terjerat sedemikian
rupa dan tidak dapat dipisahkan, tetapi tidak terikat satu sama lain oleh ikatan kimia
(Banerjee, at al., 2010).
Campuran polimer dan IPN berbeda dari kopolimer tetapi kopolimer
digunakan untuk menghasilkan perbedaan sifat polimer. Total dari semua paduan
polimer sekitar 3% merupakan jumlah keseluruhan dari produksi. Ini merupakan
kegiatan besar pada ilmu pengetahuan produk baru yang dapat mengahasilkan dan
memperluas pasar dari pencampuran fisik untuk menghasilkan produk terbaik (Odian.
2004).
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Klasifikasi IPN
a.
Berdasarkan ikatan Kimia
Ikat silang Kovalen menyebabkan pembentukan hidrogel dengan struktur jaringan
permanen, karena terbentuk ikatan kimia yang irreversibel.
1.
Semi IPN Kovalen
Semi IPN kovalen berisi dua bagian sistem polimer yang terikat silang untuk
membentuk jaringan polimer tunggal. Gambar Semi IPN Kovalen dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Semi IPN kovalen
2. Semi IPN Non kovalen
Semi IPN Non kovalen adalah salah satu di antara satu sistem polimer yang
terikat silang. Gambar 2.2 merupakan struktur semi IPN non kovalen.
Gambar 2.2 Semi IPN Non kovalen
Universitas Sumatera Utara
3. IPN Penuh Non kovalen
IPN penuh non kovalen adalah salah satu di antara dua bagian polimer yang
terikat silang. Gambar IPN penuh non kovalen dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 IPN penuh non kovalen
(Shivashankar. 2012).
b.
Berdasarkan Pengaturan Pola
1. IPN Sequential
Pada IPN Sequential komponen Jaringan polimer kedua dipolimerisasi setelah
polimerisasi jaringan komponen pertama selesai.
2. Novel IPN
Polimer yang terdiri dari dua atau lebih jaringan polimer yang setidaknya
sebagian saling bertautan pada skala molekul tetapi tidak terikat secara
kovalen satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan kecuali ikatan kimia yang
rusak.
3. Semi IPN
Jika hanya satu komponen yang terikat silang sedangkan yang lain dalam
bentuk linier, sistem ini didefinisikan sebagai semi IPN.
4. Simultaneously IPN
Simultaneously IPN disiapkan oleh proses di mana kedua komponen jaringan
dipolimerisasi bersamaan, IPN dapat disebut sebagai simultan IPN.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Semi IPN
Sebuah polimer yang terdiri dari satu atau lebih jaringan, atau satu atau lebih linear
atau polimer bercabang, penetrating ditandai pada skala molekul setidaknya salah
satu jaringan dengan beberapa makromolekul linear atau bercabang. Semi-IPN
dibedakan dari IPN karena digunakan polimer linear atau polimer bercabang, pada
prinsipnya merupakan bagian dari konstituen jaringan polimer tanpa melanggar
ikatan kimia, yang merupakan campuran molekul. Gambar Struktur Semi IPN dapat
dilihat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Struktur Semi IPN
(Banerjee, at al., 2010).
2.4. Lateks Pekat Karet Alam (LPKA)
Lateks merupakan polimer yang terdispersi dalam air, dengan ukuran partikel kecil
dengan ukuran 60-1000 nm dan dapat mengalir bebas. Lateks harus tetap sebagai
dispersi koloid yang stabil hingga proses pengolahan menjadi padat. (Indian Rubber
Institute. 1998). Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat, tidak
berbentuk lembaran atau padatan lainnya. Lateks pekat komersil dibuat melalui
proses pendadihan (Creamed lateks) dan melalui proses pemusingan (centrifuged
lateks). Biasanya lateks pekat banyak digunakan untuk pembuatan bahan-bahan karet
yang tipis dan bermutu tinggi. Standar mutu lateks pekat baik lateks pusingan atau
lateks dadih menurut Thio Goan Lio (1980) dapat dilihat dalam Tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Standar Mutu Lateks Pekat
Lateks Pusingan
(Centrifuged
Lateks)
Lateks dadih
(Creamed Lateks)
Jumlah padatan (total solid)
minimum
61.5%
64.0%
Kadar Karet Kering (KKK)
minimum
60.0%
62,00%
Kadar Amoniak (berdasarkan jumlah
air yang terdapat dalam lateks pekat)
minimum
1,60%
1,60%
Viskositas maksimum pada suhu
25oC
50 centipoise
50 centipoise
Endapan (sludge) dari berat basah
maksimum
0,10%
0,10%
Kadar koagulum dari jumlah padatan
maksimum
0,08%
0,08%
Bilangan KOH maksimum
0,80%
0,80%
475 detik
475 detik
Persentasi kadar Tembaga dari
jumlah padatan maksimum
0,01%
0,01%
Persentasi kadar Mangan dari jumlah
padatan maksimum
0,01%
0,01%
Tidak biru
Tidak kelabu
Tidak biru
Tidak kelabu
Tidak boleh berbau
busuk
Tidak boleh berbau
busuk
Kemantapan mekanis (mechanical
stability) minimum
Warna
Bau setelah dinetralkan dengan asam
Borat
(Rini, 1992).
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Komposisi Lateks
Bahan-bahan yang terkandung dalam lateks segar masih terdapat fraksi kuning Latoid
(2-10 ppm), enzim peroksidase dan tyrozinase. Fraksi kuning dianggap normal bila
mencapai 0,1-1,0 mg tiap 100 gram lateks kering.
Tabel 2.3 Kandungan bahan-bahan dalam lateks segar dan lateks yang dikeringkan
Bahan
Lateks Segar (%)
Lateks yang dikeringkan (%)
Karet
35,62
88,28
Resin
1,65
4,10
Protein
2,03
5,04
Abu
0,70
0,84
Zat Gula
0.34
0,84
Air
59,62
1,00
2.4.2 Kualitas karet
Lateks sebagai bahan baku berbagai hasil karet, harus memiliki kualitas yang baik.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lateks, diantaranya:
1.
Faktor di kebun (jenis klon, sistem sadap, kebersihan pohon dan lainnya)
2.
Iklim (musim hujan mendorong terjadinya prakoagulasi, musim kemarau
keadaan lateks tidak stabil)
3.
Alat-alat yang digunakan dalam penggumpalan dan pengangkutan (yang baik
terbuat dari aluminium atau baja tahan karat).
4.
Pengangkutan (goncangan, keadaan tangki, jarak dan jangka waktu)
5.
Kualitas air dalam pengolahan
6.
Bahan kimia yang digunakan, dan
7.
Komposisi lateks
(Setyamidjaja, 1993).
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Pengolahan Lateks Pekat
Lateks merupakan bahan baku industri karet yang paling fleksibel dibandingkan
dengan karet lain. Namun lateks memiliki beberapa kerugian karena volume yang
besar dan masih mengandung kadar air yang cukup tinggi, yang menimbulkan
kesulitan dalam pengangkutan dan meningkatkan biaya transportasi.
Proses pembuatan lateks pekat secara garis besar dapat dilakukan dengan tiga
cara yaitu pemusingan (centrifuging), pendadihan (creaming) dan penguapan
(evaporating). Proses pembuatan lateks pekat dengan cara pemusingan dapat
dilakukan dengan memasukkan lateks kedalam alat pusingan misalnya “Separator
A.B” kemudian dialirkan kedalam pusingan oleh daya sentrifuge yang berputar
dengan kecepatan 6000-7000 rpm, dipisahkan menjadi dua bagian yaitu lateks pekat
dan serum. Lateks pekat hasil pemusingan mengalir menuju tangki pencampuran
yang dibubuhi dengan bahan pemantap. Bahan pemanatap yang umum digunakan
berupa larutan 10-20% NH4- Laurat dengan dosis 0,05%. Kemudian ditambahkan
NH3 sehingga kadar NH3 dalam lateks menjadi 0,7% atau lebih (Setyamidjaja, 1993).
2.5 Kompon karet
Dalam pengolahan bahan karet alam banyak sekali digunakan bahan-bahan kimia.
Sesuai dengan proses pengolahan bahan karet, bahan kimia pokok berupa bahan
vulkanisasi, bahan pencepat reaksi, bahan pengisi, antiokidan dan antiozon. Bahan
kimia tambahan berupa bahan pewangi dan pewarna. Penyusunan kompon karet
merupakan tahap yang menentukan keberhasilan dalam membuat barang jadi karet
yang memenuhi persyaratan.
Universitas Sumatera Utara
2.5.1 Bahan Vulkanisasi
Bahan kimia ini diperlukan dalam proses vulkanisasi agar kompon karet terikat
silang. Yang biasa digunakan sebagai bahan vulkanisasi adalah belerang. Belerang
juga digunakan untuk vulkanisasi karet sintetis. Selain belerang bahan-bahan seperti
damar fenolik, peroksida organik, radiasi sinar gamma dan uretan sering digunkan
(Tim penulis, 1992)
Belerang menjadi jembatan antara rantai-rantai molekul karet sehingga
terbentuk ikatan tiga dimensi. Belerang dapat berbentuk belerang bebas atau belerang
yang terikat dan lepas saat proses vulkanisasi berlangsung.
Mekanisme Radikal Vulkanisasi Sulfur
Inisiasi:
Panas
R-Sx-Sy-R
Propagasi:
R-Sx ● + R-Sy ●
R-Sx + RH
R- Sx- H + R ●
R ● + S-S6-S
R-Sx-S● + Sa
R-Sx-S● + RH
R-Sx-SH + R●
Ikat Silang:
R-Sx-SH + RH2
R-S-Sx-RH2
Proses vulkanisasi secara konvensional menggunakan belerang seperti terlihat pada
reaksi berikut:
Universitas Sumatera Utara
(Andriyanti, dkk. 2010)
Beberapa Ikat silang dari Vulkasisasi Karet Alam dengan Sulfur ditunjukkan pada
Gambar 2.5
Gambar 2.5 Vulkasisasi Karet Alam dengan Sulfur
Universitas Sumatera Utara
Keterangan
1
:
Ikat silang monosulfida
2
:
Ikat silang disulfida
3
:
Ikat silang polisulfida
4
:
Ikat silang dengan sejumlah sulfida, n= 1 sampai 6
5
:
Ikat silang yang pada atom karbon yang berdekatan
6
:
Ikatan monosulfida intra molekul membentuk siklik
7
:
Ikatan disulfida intra molekul membentuk siklik
8
:
Ikatan polisulfida yang mengikat akselerator
9
:
Diena terkonjugasi
10
:
Triena terkonjugasi
11
:
Material aditif
12
:
Karbon yang terikat silang
(Arvind Mafatlal Grup).
2.5.2 Sistem vulkanisasi
Dikenal tiga tipe khusus untuk sistem vulkanisasi menggunakan sulfur yaitu sistem
vulkanisasi efesien (EV), sistem vulkanisasi semi-efisien (SEV) dan sistem
vulkanisasi konvensional (CV). Sistem vukanisasi efisien memiliki bagian sulfur
kecil dan bagian pencepat yang tinggi. Pada sistem vulkanisasi konvensional
mengandung sulfur yang lebih tinggi dibandingkan bahan pencepat, sehingga jenis
ikatan silang yang dominan adalah polisulfida, sedangkan pada sistem vulaknisasi
efisien jumlah pencepat lebih besar dari pada jumlah sulfur, sehingga jenis ikatan
silang yang dominan adalah monosulfida. Sistem vulkanisasi sulfur ditampilkan pada
tabel 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 sistem vulkanisasi sulfur
Tipe
Sulfur (S/phr)
Pencepat (A/phr)
Rasio A/S
CV
2,0-3,5
1,2-0,4
0,1-0,6
SEV
1,0-1,7
2,4-1,2
0,7-2,5
EV
0,4-0,8
5,0-2,0
2,5-12
2.5.3 Bahan Pencepat
Vulkanisasi dalam industri pengolahan lateks biasanya lambat, sehingga agar efisien
perlu penambahan bahan pencepat. Banyak jenis bahan pencepat reaksi yang biasa
digunakan.
Berikut merupakan beberapa golongan bahan pencepat :
a.
Golongan
silfenamida,
misalnya
N-cyclohexylbenzothiazole-2-sulfenamida
(CBS) dan santocure NS
b.
Golongan dithiokarbanat antara lain Zink dibuthyldithiocarbamate (ZDBC) dan
Zink dithiocarbamate (ZDC)
c.
Golongan tiuransulfida adalah tetramethylthiuram monosulfide (TMTM) dan
tetramethylthiuram disulfide (TMTD)
d.
Golongan
tiazol
adalah
2-mercaptobenzothiazole
(MBT)
dan
2,2’-
dithibenzothiazylsulphide (MBTS).
e.
Golongan guanidines adalah diphenyl guanidine (DPG) dan di-o-tolylguanidine
(DOTG)
Bahan pencepat berdasarkan tingkat kecepatan vulkanisasi yaitu
a.
Bahan pencepat sangat cepat : golongan Thiutams dan dithiocarbamates
b.
Bahan pencepat cepat : golongan dithiohoshates
c.
Bahan pencepat aktif diperlambat : golongan sulfenamides
Universitas Sumatera Utara
d.
Bahan pencepat semi cepat : golongan Thiazhole
e.
Bahan pencepat medium : golongan Guanidines
f.
Bahan pencepat lambat : golongan Aldehide-amine.
(Datta, 20002)
Penggunaan bahan pemercepat reaksi ini bisa dalam bentuk tunggal atau
gabungan dari beberapa bahan tersebut. Bahan pencepat berklsifikasi cepat dan
sangat cepat umumnya digunakan sebagai bahan pencepat kedua, yaitu ditambahakan
dalam dosis rendah kedalam bahan pencepat utama untuk dapat meningkatkan
kecepatan matang karet.
2.5.4 Bahan Pengaktif
Bahan pengaktif disebut juga sebagai bahan penggiat. Fungsi bahan penggiat adalah
untuk menambah cepat bahan pencepat. Barang ini tidak termasuk bahan vital, namun
cukup menentukan dalam proses pengolahan karet. Seng oksida dan asam stearat
merupakan bahan penggiat yang paling banyak di pakai (Setiawan dkk, 2005).
2.5.5 Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengirit biaya, memberi bentuk,
mempercepat pengerasan, mengurangi pengerutan, menekan rekatan, meningkatkan
ketahanan panas, memperbaiki sifat mekaniknya.
Bahan pengisi dapat digolongkan atas bahan pengisi:
-
Reinforcement (memperkuat)
-
Non reinforcement (bukan penguat)
(Morton,1987)
Universitas Sumatera Utara
Bahan pengisi ada dua jenis, yaitu bahan pengisi aktif atau menguatkan dan
bahan pengisi tidak aktif. Bahan pengisi aktif mampu menambah kekerasan,
ketahanan dari sobek, ketahanan kikis dan ketahanan dari tegangan putus yang tinggi.
Adapun bahan pengisi aktif adalah karbon hitam, silika, aluminium silikat dan
magnesium silikat. Bahan pengisi tidak aktif hanya menambah kekakuan dan
kekerasan karet yang dihasilkan. Bahan pengisi tidak aktif biasanya untuk menekan
harga karet karena harganya murah. Bahan pengisi yang tidak aktif berupa tanah liat,
kaolin, kalium karbonat, dan magnesium karbonat (Setiawan dkk, 2005).
2.6 Ampas Tahu
Salah satu limbah industri rumah tangga bidang pangan yang banyak ditemukan
adalah limbah pengolahan tahu. Limbah tahu berkorelasi dengan kebiasaan makan
masyarakat Indonesia yang mengandalkan sumber protein nabati dari kacangkacangan terutama kedele dan hasil olahnya seperti tahu dan tempe yang sama-sama
menghasilkan limbah pangan.
Limbah padat (ampas tahu) merupakan hasil sisa perasan bubur kedelai.
Ampas ini mempunyai sifat cepat basi dan berbau tidak sedap kalau tidak segera
ditangani dengan cepat. Ampas tahu akan mulai menimbulkan bau yang tidak sedap
12 jam setelah dihasilkan (Suprapti, 2005). Limbah padat atau disebut ampas yang
dihasilkan belum dirasakan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan karena
dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak sapi, serta dibuat produk makanan yang
bermanfaat meskipun masih sangat terbatas yaitu menjadi tempe gembus. Kandungan
gluten pada tepung terigu dan pati pada tapioka serta amilopektin pada ketan yang
menyebabkan kapasitas gelatinisasi, sedangkan ampas tahu tahu merupakan bahan
non gluten (Yustina and Rakhmat. 2012). Pati dapat terikat silang dengan
Universitas Sumatera Utara
mereaksikan pati dengan epiklorogidrin, fosfor oksiklorida dan natrium trimetafosfat
dengan katalis basa (Deman, 1989).
Pembuatan bubur ampas tahu dapat dilakukan jika ampas yang dihasilkan
berlimpah dan belum sempat digunakan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan
penjemuran langsung dibawah sinar matahari ataupun dalam alat pengering “cabinet
dryer” dengan suhu sesuai suhu matahari. Cara pengeringan cukup mudah, dimana
ampas padat diletakkan diatas tampah atau loyang dan keringkan sampai betul-betul
mengering sempurna. Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar antara 25-35%
dari produk tahu yang dihasilkan (Kaswinarni. 2007). Komposisi kimia ampas tahu
didasarkan pada jenis dan kualitas kedelai yang digunakan. Berikut adalah
karakteristik Kimia Bubur Ampas Kedelai dari Limbah Pembuatan tahu yang
ditunjukkan dalan Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Karakteristik Kimia Bubur ampas Kedelai dari Limbah Pembuatan Tahu
Sumber : Sulistiani (2004)
Air
Ampas Kedelai Basah
(%)
89,88
Ampas Kedelai Kering
(%)
5,74
Protein
1,32
10,80
Lemak
2,2
14,49
Abu
0,32
9,02
Karbohidrat
6,33
59,95
Serat Pangan tidak Larut
0,96
9,46
Serat Pangan Larut
4,73
47,72
Karakteristik Kimia
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Hernaman, dkk (2005)
Karakteristik Kimia
Ampas Kedelai (%)
Bahan Kering
8,69
Abu
3,42
Protein Kasar
22,23
Lemak Kasar
9,43
Serat Kasar
29,08
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
35,84
(BETN)
2.7
Teknik pencelupan
Prosses pencelupan merupakan teknik yang menghasilkan produk lateks yang
dilakukan dengan mencelupkan suatu pembentuk ke dalam Formula lateks.
Pembentuk dicelupkan ke dalam Formula lateks maka partikel-partikel lateks akan
bersentuhan dengan permukaan pembentuk, sehingga mengalami proses hilangnya
kestabilan lateks dan membentuk suatu lapisan atau film. Film yang terbentuk
mempunyai bentuk yang sama dengan pembentuk yang dicelup ke dalam kompon
lateks tersebut dan apabila film ini dikeringkan maka akan menghasilkan produk
lateks sesuai pembentuk.
Proses pencelupan merupakan suatu teknik penting dalam industri lateks karet
alam. Teknik pencelupan ini digunakan untuk menghasilkan produk yang tipis dan
berongga seperti sarung tangan, balon, dan sebagainya. Teknik pencelupan terdiri dari
3 (tiga) cara utama yaitu pencelupan langsung (straight dipping), pencelupan
berkoagulan (coagulant dipping), dan pencelupan pengaktifan panas (heat sensitized
dipping). Setiap pencelupan ini digunakan untuk menghasilkan produk lateks yang
berbeda (Blackley, 1966; Hannam, 1973).
Universitas Sumatera Utara
1.
Pencelupan langsung
Pencelupan langsung merupakan teknik yang paling mudah dan selalu dipakai
untuk menghasilkan produk yang sangat tipis (ketebalan ~0,05 mm) seperti pada
pembuatan kondom. Teknik pencelupan langsung, tidak menggunakan bahan
pemantap lateks. Hanya pembentuk yang telah bersih dan dikeringkan
dimasukkan ke dalam kompon lateks yang kemudian dikeringkan untuk
mendapatkan produk.
2.
Pencelupan berkoagulan
Pencelupan berkoagulan merupakan teknik pencelupan yang digunakan untuk
menghasilkan produk yang mempunyai ketebalan sederhana yaitu 0,2-0,8 mm
seperti sarung tangan. Pada teknik ini, bahan kimia yang disebut dengan
koagulan dilapisi pada permukaan pembentuk. Apabila pembentuk yang dilapisi
koagulan dicelupkan ke dalam lateks, maka akan terbentuk suatu lapisan film
pada permukaan tersebut.
Pencelupan berkoagulan pada umumnya ada dua jenis utama, yaitu
pencelupan berkoagulan basah dan pencelupan berkoagulan kering. Pencelupan
berkoagulan kering merupakan teknik pencelupan yang lebih sering digunakan,
karena teknik pencelupan berkoagulan basah, pada saat dilakukan pencelupan ke
dalam kompon lateks maka koagulan akan menetes ke dalam tangki Formula
lateks, yang menyebabkan hilangnya kestabilan lateks, dan menyebabkan
partikel kecil karet tidak dapat digunakan untuk menghasilkan produk, karena
partikel karet ini akan melekat pada permukaan produk lateks dan
mengakibatkan kecacatan pada produk (Harahap dkk, 2006).
3.
Pencelupan pengaktifan panas
Pencelupan pengaktifan panas merupakan teknik yang digunakan untuk
menghasilkan produk yang sangat tebal yaitu ~4 mm. Sejumlah pengaktifan
panas yang sesuai akan dimasukkan ke dalam kompon lateks. Pengaktifan panas
yang selalu digunakan ialah kumpulan bahan polimer yang dapat melarut dalam
Universitas Sumatera Utara
lateks pada suhu kamar dan mengendap apabila suhu ditingkatkan. Apabila
pembentuk yang dipanaskan dicelupkan ke dalam Formula lateks, agen pengaktif
panas yang berdekatan dengan permukaan pembentuk akan mengendap dan
menangkap partikel-partikel lateks, dan akan menghasilkan film lateks yang tebal
(Azahari, 2000).
2.8
Karakterisasi Campuran Polimer
Mengkarakterisasi polimer jauh lebih rumit daripada mengkarakterisasi senyawasenyawa dengan berat molekul rendah. Metode yang paling sering dilakukan
kimiawan untuk mengkarakterisasi senyawa polimer yaitu dengan metode-metode
spektroskopik dan termal. Disini juga akan menyinggung analisis permukaan maupun
pengujian mekanik.
Karakterisasi yang dilakukan untuk mengetahui dan menganalisa campuran
polimer pada penelitian ini adalah menggunakan analisa morfologi permukaan
dengan SEM, uji penentuan gugus fungsi dengan FTIR, daya serap Air, uji persen
ikat silang, degradasi dengan panas dengan TGA dan uji biodegradasi dengan
penanaman di tanah.
2.8.1
Scanning Electron Microscopy
Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk
bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda yang akan diuji dapat
dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah untuk
mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada dasarnya, SEM
menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron dan dipantulkan atau berkas sinar
elektron sekunder.
Universitas Sumatera Utara
SEM menggunakan prinsip scanning yaitu berkas elektron diarahkan pada
titik permukaan spesimen. Gerakan elektron diarahkan dari satu titik ke titik lain pada
permukaan spesimen. Jika seberkas sinar elektron ditembakkan pada permukaan
spesimen maka sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi
diteruskan. Jika permukaan spesimen tidak merata, banyak lekukan, lipatan atau
lubang-lubang, maka tiap bagian permukaan itu akan memantulkan elektron dengan
jumlah dan arah yang berbeda dan kemudian akan ditangkap oleh detektor dan akan
diteruskan ke sistem layar. Hasil yang diperoleh merupakan gambaran yang jelas dari
permukaan spesimen dalam bentuk tiga dimensi.
Dalam morfologi permukaan dengan menggunakan SEM, pemakaiannya
sangat terbatas tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi
permukaan dengan resolusi sekitar 100 Å (Stevens, 2001).
2.8.2
Uji Daya Serap Air
Nilai Daya Serap
Air mencerminkan kemampuan untuk menyerap air setelah
Perendaman. Uji Daya Serap air dilakukan dengan perendaman spesimen (2 cm x
2cm x 0,5 mm) dalam aquades (suhu 20-30oC) dengan interval waktu 24 dan 720
jam. Kemudian spedimen dibersihkan dari sisa aquades pada permukaan spesimen
dan ditimbang. Spesimen selanjutnya dikeringkan pada suhu 60oC hingga mencapai
berat Konstan. Rasio penggembungan dalam air dan perubahan berat dapat dilihat
pada persamaan berikut:
���� ����� ��� =
(�2 − �1 )
�1
× 100
(2.1)
Vudjung, C (2014)
Universitas Sumatera Utara
2.8.3
Uji Persen Ikat Silang
Derajat ikat silang dalam karet dapat ditentukan setelah sokletasi dengan
sikloheksana mendidih selama 8 jam. Sampel dikeringkan pada suhu 80oC selama 30
menit dan ditimbang. Persentase ikat silang dalam campuran kemudian dihitung
dengan rumus sebagai berikut sesuai ASTM D2765
��
% ikat silang = �� x 100%
(2.2)
Dimana Wg dan Wo adalah berat sampel setelah dan sebelum sokletasi. Persentase
ikat silang yang dihasilkan menandakan adanya interaksi yang kuat antara komponen
campuran (Halimatuddahliana, 2007).
2.8.4 Fourier Transform Infrared (FTIR)
Fourier Transform Infrared adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan
spektrum penyerapan infrared, emisi, fotokonduktivitas atau hamburan raman dari
keadaan padat, cair atau gas. Spektrometer FTIR secara bersamaan mengumpulkan
data spektral dalam berbagai sektrum yang luas. Ini mendapat keuntungan yang
signifikan atas spektrometer dispersip yang mengukur intensitas sedikit rentang
panjang gelombang pada suatu waktu.
Hasil spektrum memperlihatkan absorpsi dan transmitansi molekuler
membentuk sidik jari molekul sampel. Seperti halnya sidik jari, tidak ada dua struktur
molekul berbeda yang memiliki spektrum inframerah yang sama (Lawson, 2001).
Hampir semua molekul menyerap sinar inframerah dan masing-masing molekul
hanya menyerap sinar inframerah pada frekuensi tertentu. Hal ini menunjukkan
karakteristik khas untu setiap molekul. Masing- masing molekul hanya menyerap
Universitas Sumatera Utara
pada frekuensi tertentu dan akan terbentuk pola spektrum absorpsi yang khas atau
sidik jari pada spektrum inframerah (Silverio, 2010).
Spektroskopi FTIR didasarkan pada prinsip bahwa hampir semua molekul
mengadsorpsi sinar inframerah monoatomik dan molekul diatomik homopolar yang
tidak mengadsorpsi sinar inframerah. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang
dari 100 cm-1 diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran
molekul. Spektrum rotasi moekul garis-garis yang tersendiri (Rong, 2011).
2.8.5 Uji Biodegradasi
Pengukuran biodegradasi semi IPN dari LPKA yang divulkanisasi dengan sistem
semi efisien dengan BAT dilakukan dengan penanaman ke dalam tanah. Spesimen 2
cm x 2 cm ditanam dengan kedalaman 7 cm dari permukaan tanah. Dilakukan
penyiraman setiap minggu hingga 9 minggu. Kehilangan berat spesimen dihitung
dengan setiap 3 minggu dan dilakukan pencucian dengan akuades dan dikeringkan
pada suhu 45oC hingga mencapai berat konstan Vudjung, at al., (2014).
2.8.6
Thermogravimetric Analysis
Metode termal adalah sebuah bagian dari teknik dimana sifat fisik dan kimia dari zat
atau produk reaksi tersebut diukur sebagai fungsi temperatur, zat/substansi sebagai
objek yang dikontrol temperaturnya. Aplikasinya untuk kualiti kontrol, penelitian
produk industri seperti polimer, farmasi, tanah, mineral, dan logam. Teknik-teknik
yang dicakup dalam metode analisis termal adalah analisis termogravimetri yang
didasari pada perubahan berat akibat pemanasan.
Thermogravimetri analysis (TGA) adalah teknik yang digunakan untuk
mengukur perbedaan massa sebagai fungsi temperatur dan waktu sebagai isothermal.
Metode analisis termal ini berguna untuk mengetahui Formula materi hasil
dekomposisi termal. Dapat dilakukan dengan memvariasikan laju pemanasan dan
Universitas Sumatera Utara
mencatat perubahan beratnya (Hatakeyam, 1998). Metode TGA yang paling banyak
dipakai didasarkan pada pengukuran berat kontinyu terhadap suatu neraca sensitif
(disebut neraca panas) ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam suatu
atmosfer yang inert. TGA ini dinyatakan sebagai TGA nonisothermal. Data dicatat
sebagai berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari evaporasi lembab
yang tersisa atau pelarut. Tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi terjadi dari
terurainya bahan polimer, selain itu memberikan informasi mengenai stabilitas panas
(Stivens, 2001).
2.8.7 Uji Kekuatan Tarik
Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σt) terhadap
suatu material yang diberikan tekanan menggunakan alat pengukur yang disebut
tensiometer atau dinamometer. Kekuatan tarik dapat diartikan sebagai besarnya beban
maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi
dengan luas penampang bahan. Karena selama di bawah pengaruh tegangan,
spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik
dinyatakan dengan luas penampang semula (A0).
σt
=
Fmaks
Ao
(2.3)
Selama perubahan bentuk, dapat diasumsikan bahwa volume spesimen tidak
berubah. Perpanjangan tegangan pada saat bahan terputus disebut kemuluran. Besaran
kemuluran (ε) menurut Wirjosentono dapat didefenisikan sebagai berikut:
ε=
�−��
��
x 100 %
(2.4)
Universitas Sumatera Utara
keterangan :
ε = kemuluran (%)
lo = panjang spesimen mula-mula (mm)
l = panjang spesimen saat putus (mm) (Munirah, 2007).
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Polimer
Polimer merupakan molekul besar (giant molecules) yang terbentuk dari unit ulang
sederhana. Nama polimer diturunkan dari bahasa Yunani Poly yang berarti banyak,
dan mer yang berarti bagian. Makromolekul merupakan istilah yang sinonim dengan
polimer (Stevens. 2001). Bahan yang dewasa ini disebut polimer sebenarnya telah
dikenal sejak permulaan kebudayaan manusia baik sebagai bahan makanan, maupun
bahan keperluan perlindungan, pakaian, transportasi dan sebagainya (Wirjosentono,
1994).
Proses polimerisasi secara umum dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
polimerisasi kondensasi dan polimerisasi adisi. Polimererisasi adisi radikal bebas
merupakan reaksi rantai dengan pembawa rantai berupa zat reaktif yang mempunyai
satu elektron bebas tidak berpasangan atau radikal bebas (Cowd, l99l).
Paduan karet mengalami perlakuan panas dengan berbagai metode dan
vulkanisasi untuk menghasilkan produk karet. Pada saat vulkanisasi terjadi perubahan
signifikan pada sifat fisika dan kimia paduan karet karena terjadi perubahan struktur
molekul oleh adanya ikat silang.
2.2. Paduan Polimer (Blend Polymer)
Paduan kimia yaitu pencampuran antara dua jenis polimer atau lebih yang memiliki
struktur berbeda dan ditandai dengan terjadinya ikatan-ikatan kovalen antara polimerpolimer penyusunnya. Paduan kimia akan menghasilkan kopolimer. Interaksi yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi dalam poliblen adalah ikatan Van der Waals, ikatan hidrogen atau interaksi
dipol-dipol.
Tabel 2.1 Tipe Polipaduan (Stevent, 2001)
Tipe
Deskripsi
Paduan Mekanik
Polimer dicampurkan pada suhu diatas Tg
atau Tm, berurutan untuk polimer amorfus
dan semi kristal
Paduan Mekanokimia
Polimer dicampurkan pada laju geser yang
cukup tinggi untuk menghasilkan degradasi.
Radikal bebas yang terjadi berkombinasi
membentuk campuran kompleks yang
mengandung komponen blok dan cangkok.
Paduan tuang-larutan
Polimer dilarutkan dalam pelarut biasa,
kemudian pelarutnya dihilangkan.
Paduan lateks
Dispersi-dispersi halus dari polimer dalam air
(lateks) dicampur, dan polimer-polimer yang
bercampur dikoagulasi
Paduan kimia
1.
Jaringan polimer
interpenetrasi (IPN atau
Interenetrating Polymer
Network)
Polimer ikat silang digembungkan dengan
monomer-monomer yang berbeda, kemudian
monomer dipolimerisasi dan diikat silangkan.
2.
Jaringan polimer semi
interpenetrasi (semi IPN)
Monomer polifungsi dicampur dengan
polimer
termoplastik,
kemudian
dipolimerisasi ke polimer jaringan.
3.
Jaringan polimer
interpenetrasi simultan
Monomer yang berbeda dicampur, kemudian
dihomopolimerisasi dan diikat silangkan
secara simultan, tetapi melalui mekanisme
non interaksi.
4.
Jaringan elastomer
interpenetrasi
Polipaduan lateks diikat silangkan setelah
koagulasi.
Universitas Sumatera Utara
Paduan polimer ini bertujuan untuk mendapatkan sifat-sifat material yang
diinginkan dan disesuaikan dengan keperluan. Poliblen komersial dapat dihasilkan
dari polimer sintetik dengan polimer sintetik, polimer sintetik dengan polimer alam,
dan polimer alam dengan polimer alam. Poliblen yang dihasilkan berupa poliblen
homogen dan poliblen heterogen. Poliblen homogen terlihat homogen dan transparan,
mempunyai titik leleh tunggal dan sifat fisiknya sebanding dengan komposisi masingmasing komponen penyusunnya, sedangkan poliblen heterogen terlihat tidak jelas dan
mempunyai beberapa titik leleh Berikut merupakan tipe polipaduan yang ditunjukkan
melalui Tabel 2.1
2.3. Interpenetrasi Jaringan Polimer
Interpenetrating Polymer Networks atau IPN adalah gabungan dari dua polimer yang
menunjukkan variasi karakteristik, yang diperoleh dari sintesis satu polimer jaringan
atau silang secara independen. Atau dengan kata lain IPN adalah Kombinasi dari
paling sedikit dua rantai polimer dalam bentuk jaringan tanpa ikatan kovalen antar
jaringan. Dapat dibayangkan sebagai dua atau lebih jaringan akan terjerat sedemikian
rupa dan tidak dapat dipisahkan, tetapi tidak terikat satu sama lain oleh ikatan kimia
(Banerjee, at al., 2010).
Campuran polimer dan IPN berbeda dari kopolimer tetapi kopolimer
digunakan untuk menghasilkan perbedaan sifat polimer. Total dari semua paduan
polimer sekitar 3% merupakan jumlah keseluruhan dari produksi. Ini merupakan
kegiatan besar pada ilmu pengetahuan produk baru yang dapat mengahasilkan dan
memperluas pasar dari pencampuran fisik untuk menghasilkan produk terbaik (Odian.
2004).
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Klasifikasi IPN
a.
Berdasarkan ikatan Kimia
Ikat silang Kovalen menyebabkan pembentukan hidrogel dengan struktur jaringan
permanen, karena terbentuk ikatan kimia yang irreversibel.
1.
Semi IPN Kovalen
Semi IPN kovalen berisi dua bagian sistem polimer yang terikat silang untuk
membentuk jaringan polimer tunggal. Gambar Semi IPN Kovalen dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Semi IPN kovalen
2. Semi IPN Non kovalen
Semi IPN Non kovalen adalah salah satu di antara satu sistem polimer yang
terikat silang. Gambar 2.2 merupakan struktur semi IPN non kovalen.
Gambar 2.2 Semi IPN Non kovalen
Universitas Sumatera Utara
3. IPN Penuh Non kovalen
IPN penuh non kovalen adalah salah satu di antara dua bagian polimer yang
terikat silang. Gambar IPN penuh non kovalen dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 IPN penuh non kovalen
(Shivashankar. 2012).
b.
Berdasarkan Pengaturan Pola
1. IPN Sequential
Pada IPN Sequential komponen Jaringan polimer kedua dipolimerisasi setelah
polimerisasi jaringan komponen pertama selesai.
2. Novel IPN
Polimer yang terdiri dari dua atau lebih jaringan polimer yang setidaknya
sebagian saling bertautan pada skala molekul tetapi tidak terikat secara
kovalen satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan kecuali ikatan kimia yang
rusak.
3. Semi IPN
Jika hanya satu komponen yang terikat silang sedangkan yang lain dalam
bentuk linier, sistem ini didefinisikan sebagai semi IPN.
4. Simultaneously IPN
Simultaneously IPN disiapkan oleh proses di mana kedua komponen jaringan
dipolimerisasi bersamaan, IPN dapat disebut sebagai simultan IPN.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Semi IPN
Sebuah polimer yang terdiri dari satu atau lebih jaringan, atau satu atau lebih linear
atau polimer bercabang, penetrating ditandai pada skala molekul setidaknya salah
satu jaringan dengan beberapa makromolekul linear atau bercabang. Semi-IPN
dibedakan dari IPN karena digunakan polimer linear atau polimer bercabang, pada
prinsipnya merupakan bagian dari konstituen jaringan polimer tanpa melanggar
ikatan kimia, yang merupakan campuran molekul. Gambar Struktur Semi IPN dapat
dilihat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Struktur Semi IPN
(Banerjee, at al., 2010).
2.4. Lateks Pekat Karet Alam (LPKA)
Lateks merupakan polimer yang terdispersi dalam air, dengan ukuran partikel kecil
dengan ukuran 60-1000 nm dan dapat mengalir bebas. Lateks harus tetap sebagai
dispersi koloid yang stabil hingga proses pengolahan menjadi padat. (Indian Rubber
Institute. 1998). Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat, tidak
berbentuk lembaran atau padatan lainnya. Lateks pekat komersil dibuat melalui
proses pendadihan (Creamed lateks) dan melalui proses pemusingan (centrifuged
lateks). Biasanya lateks pekat banyak digunakan untuk pembuatan bahan-bahan karet
yang tipis dan bermutu tinggi. Standar mutu lateks pekat baik lateks pusingan atau
lateks dadih menurut Thio Goan Lio (1980) dapat dilihat dalam Tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Standar Mutu Lateks Pekat
Lateks Pusingan
(Centrifuged
Lateks)
Lateks dadih
(Creamed Lateks)
Jumlah padatan (total solid)
minimum
61.5%
64.0%
Kadar Karet Kering (KKK)
minimum
60.0%
62,00%
Kadar Amoniak (berdasarkan jumlah
air yang terdapat dalam lateks pekat)
minimum
1,60%
1,60%
Viskositas maksimum pada suhu
25oC
50 centipoise
50 centipoise
Endapan (sludge) dari berat basah
maksimum
0,10%
0,10%
Kadar koagulum dari jumlah padatan
maksimum
0,08%
0,08%
Bilangan KOH maksimum
0,80%
0,80%
475 detik
475 detik
Persentasi kadar Tembaga dari
jumlah padatan maksimum
0,01%
0,01%
Persentasi kadar Mangan dari jumlah
padatan maksimum
0,01%
0,01%
Tidak biru
Tidak kelabu
Tidak biru
Tidak kelabu
Tidak boleh berbau
busuk
Tidak boleh berbau
busuk
Kemantapan mekanis (mechanical
stability) minimum
Warna
Bau setelah dinetralkan dengan asam
Borat
(Rini, 1992).
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Komposisi Lateks
Bahan-bahan yang terkandung dalam lateks segar masih terdapat fraksi kuning Latoid
(2-10 ppm), enzim peroksidase dan tyrozinase. Fraksi kuning dianggap normal bila
mencapai 0,1-1,0 mg tiap 100 gram lateks kering.
Tabel 2.3 Kandungan bahan-bahan dalam lateks segar dan lateks yang dikeringkan
Bahan
Lateks Segar (%)
Lateks yang dikeringkan (%)
Karet
35,62
88,28
Resin
1,65
4,10
Protein
2,03
5,04
Abu
0,70
0,84
Zat Gula
0.34
0,84
Air
59,62
1,00
2.4.2 Kualitas karet
Lateks sebagai bahan baku berbagai hasil karet, harus memiliki kualitas yang baik.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lateks, diantaranya:
1.
Faktor di kebun (jenis klon, sistem sadap, kebersihan pohon dan lainnya)
2.
Iklim (musim hujan mendorong terjadinya prakoagulasi, musim kemarau
keadaan lateks tidak stabil)
3.
Alat-alat yang digunakan dalam penggumpalan dan pengangkutan (yang baik
terbuat dari aluminium atau baja tahan karat).
4.
Pengangkutan (goncangan, keadaan tangki, jarak dan jangka waktu)
5.
Kualitas air dalam pengolahan
6.
Bahan kimia yang digunakan, dan
7.
Komposisi lateks
(Setyamidjaja, 1993).
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Pengolahan Lateks Pekat
Lateks merupakan bahan baku industri karet yang paling fleksibel dibandingkan
dengan karet lain. Namun lateks memiliki beberapa kerugian karena volume yang
besar dan masih mengandung kadar air yang cukup tinggi, yang menimbulkan
kesulitan dalam pengangkutan dan meningkatkan biaya transportasi.
Proses pembuatan lateks pekat secara garis besar dapat dilakukan dengan tiga
cara yaitu pemusingan (centrifuging), pendadihan (creaming) dan penguapan
(evaporating). Proses pembuatan lateks pekat dengan cara pemusingan dapat
dilakukan dengan memasukkan lateks kedalam alat pusingan misalnya “Separator
A.B” kemudian dialirkan kedalam pusingan oleh daya sentrifuge yang berputar
dengan kecepatan 6000-7000 rpm, dipisahkan menjadi dua bagian yaitu lateks pekat
dan serum. Lateks pekat hasil pemusingan mengalir menuju tangki pencampuran
yang dibubuhi dengan bahan pemantap. Bahan pemanatap yang umum digunakan
berupa larutan 10-20% NH4- Laurat dengan dosis 0,05%. Kemudian ditambahkan
NH3 sehingga kadar NH3 dalam lateks menjadi 0,7% atau lebih (Setyamidjaja, 1993).
2.5 Kompon karet
Dalam pengolahan bahan karet alam banyak sekali digunakan bahan-bahan kimia.
Sesuai dengan proses pengolahan bahan karet, bahan kimia pokok berupa bahan
vulkanisasi, bahan pencepat reaksi, bahan pengisi, antiokidan dan antiozon. Bahan
kimia tambahan berupa bahan pewangi dan pewarna. Penyusunan kompon karet
merupakan tahap yang menentukan keberhasilan dalam membuat barang jadi karet
yang memenuhi persyaratan.
Universitas Sumatera Utara
2.5.1 Bahan Vulkanisasi
Bahan kimia ini diperlukan dalam proses vulkanisasi agar kompon karet terikat
silang. Yang biasa digunakan sebagai bahan vulkanisasi adalah belerang. Belerang
juga digunakan untuk vulkanisasi karet sintetis. Selain belerang bahan-bahan seperti
damar fenolik, peroksida organik, radiasi sinar gamma dan uretan sering digunkan
(Tim penulis, 1992)
Belerang menjadi jembatan antara rantai-rantai molekul karet sehingga
terbentuk ikatan tiga dimensi. Belerang dapat berbentuk belerang bebas atau belerang
yang terikat dan lepas saat proses vulkanisasi berlangsung.
Mekanisme Radikal Vulkanisasi Sulfur
Inisiasi:
Panas
R-Sx-Sy-R
Propagasi:
R-Sx ● + R-Sy ●
R-Sx + RH
R- Sx- H + R ●
R ● + S-S6-S
R-Sx-S● + Sa
R-Sx-S● + RH
R-Sx-SH + R●
Ikat Silang:
R-Sx-SH + RH2
R-S-Sx-RH2
Proses vulkanisasi secara konvensional menggunakan belerang seperti terlihat pada
reaksi berikut:
Universitas Sumatera Utara
(Andriyanti, dkk. 2010)
Beberapa Ikat silang dari Vulkasisasi Karet Alam dengan Sulfur ditunjukkan pada
Gambar 2.5
Gambar 2.5 Vulkasisasi Karet Alam dengan Sulfur
Universitas Sumatera Utara
Keterangan
1
:
Ikat silang monosulfida
2
:
Ikat silang disulfida
3
:
Ikat silang polisulfida
4
:
Ikat silang dengan sejumlah sulfida, n= 1 sampai 6
5
:
Ikat silang yang pada atom karbon yang berdekatan
6
:
Ikatan monosulfida intra molekul membentuk siklik
7
:
Ikatan disulfida intra molekul membentuk siklik
8
:
Ikatan polisulfida yang mengikat akselerator
9
:
Diena terkonjugasi
10
:
Triena terkonjugasi
11
:
Material aditif
12
:
Karbon yang terikat silang
(Arvind Mafatlal Grup).
2.5.2 Sistem vulkanisasi
Dikenal tiga tipe khusus untuk sistem vulkanisasi menggunakan sulfur yaitu sistem
vulkanisasi efesien (EV), sistem vulkanisasi semi-efisien (SEV) dan sistem
vulkanisasi konvensional (CV). Sistem vukanisasi efisien memiliki bagian sulfur
kecil dan bagian pencepat yang tinggi. Pada sistem vulkanisasi konvensional
mengandung sulfur yang lebih tinggi dibandingkan bahan pencepat, sehingga jenis
ikatan silang yang dominan adalah polisulfida, sedangkan pada sistem vulaknisasi
efisien jumlah pencepat lebih besar dari pada jumlah sulfur, sehingga jenis ikatan
silang yang dominan adalah monosulfida. Sistem vulkanisasi sulfur ditampilkan pada
tabel 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 sistem vulkanisasi sulfur
Tipe
Sulfur (S/phr)
Pencepat (A/phr)
Rasio A/S
CV
2,0-3,5
1,2-0,4
0,1-0,6
SEV
1,0-1,7
2,4-1,2
0,7-2,5
EV
0,4-0,8
5,0-2,0
2,5-12
2.5.3 Bahan Pencepat
Vulkanisasi dalam industri pengolahan lateks biasanya lambat, sehingga agar efisien
perlu penambahan bahan pencepat. Banyak jenis bahan pencepat reaksi yang biasa
digunakan.
Berikut merupakan beberapa golongan bahan pencepat :
a.
Golongan
silfenamida,
misalnya
N-cyclohexylbenzothiazole-2-sulfenamida
(CBS) dan santocure NS
b.
Golongan dithiokarbanat antara lain Zink dibuthyldithiocarbamate (ZDBC) dan
Zink dithiocarbamate (ZDC)
c.
Golongan tiuransulfida adalah tetramethylthiuram monosulfide (TMTM) dan
tetramethylthiuram disulfide (TMTD)
d.
Golongan
tiazol
adalah
2-mercaptobenzothiazole
(MBT)
dan
2,2’-
dithibenzothiazylsulphide (MBTS).
e.
Golongan guanidines adalah diphenyl guanidine (DPG) dan di-o-tolylguanidine
(DOTG)
Bahan pencepat berdasarkan tingkat kecepatan vulkanisasi yaitu
a.
Bahan pencepat sangat cepat : golongan Thiutams dan dithiocarbamates
b.
Bahan pencepat cepat : golongan dithiohoshates
c.
Bahan pencepat aktif diperlambat : golongan sulfenamides
Universitas Sumatera Utara
d.
Bahan pencepat semi cepat : golongan Thiazhole
e.
Bahan pencepat medium : golongan Guanidines
f.
Bahan pencepat lambat : golongan Aldehide-amine.
(Datta, 20002)
Penggunaan bahan pemercepat reaksi ini bisa dalam bentuk tunggal atau
gabungan dari beberapa bahan tersebut. Bahan pencepat berklsifikasi cepat dan
sangat cepat umumnya digunakan sebagai bahan pencepat kedua, yaitu ditambahakan
dalam dosis rendah kedalam bahan pencepat utama untuk dapat meningkatkan
kecepatan matang karet.
2.5.4 Bahan Pengaktif
Bahan pengaktif disebut juga sebagai bahan penggiat. Fungsi bahan penggiat adalah
untuk menambah cepat bahan pencepat. Barang ini tidak termasuk bahan vital, namun
cukup menentukan dalam proses pengolahan karet. Seng oksida dan asam stearat
merupakan bahan penggiat yang paling banyak di pakai (Setiawan dkk, 2005).
2.5.5 Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengirit biaya, memberi bentuk,
mempercepat pengerasan, mengurangi pengerutan, menekan rekatan, meningkatkan
ketahanan panas, memperbaiki sifat mekaniknya.
Bahan pengisi dapat digolongkan atas bahan pengisi:
-
Reinforcement (memperkuat)
-
Non reinforcement (bukan penguat)
(Morton,1987)
Universitas Sumatera Utara
Bahan pengisi ada dua jenis, yaitu bahan pengisi aktif atau menguatkan dan
bahan pengisi tidak aktif. Bahan pengisi aktif mampu menambah kekerasan,
ketahanan dari sobek, ketahanan kikis dan ketahanan dari tegangan putus yang tinggi.
Adapun bahan pengisi aktif adalah karbon hitam, silika, aluminium silikat dan
magnesium silikat. Bahan pengisi tidak aktif hanya menambah kekakuan dan
kekerasan karet yang dihasilkan. Bahan pengisi tidak aktif biasanya untuk menekan
harga karet karena harganya murah. Bahan pengisi yang tidak aktif berupa tanah liat,
kaolin, kalium karbonat, dan magnesium karbonat (Setiawan dkk, 2005).
2.6 Ampas Tahu
Salah satu limbah industri rumah tangga bidang pangan yang banyak ditemukan
adalah limbah pengolahan tahu. Limbah tahu berkorelasi dengan kebiasaan makan
masyarakat Indonesia yang mengandalkan sumber protein nabati dari kacangkacangan terutama kedele dan hasil olahnya seperti tahu dan tempe yang sama-sama
menghasilkan limbah pangan.
Limbah padat (ampas tahu) merupakan hasil sisa perasan bubur kedelai.
Ampas ini mempunyai sifat cepat basi dan berbau tidak sedap kalau tidak segera
ditangani dengan cepat. Ampas tahu akan mulai menimbulkan bau yang tidak sedap
12 jam setelah dihasilkan (Suprapti, 2005). Limbah padat atau disebut ampas yang
dihasilkan belum dirasakan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan karena
dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak sapi, serta dibuat produk makanan yang
bermanfaat meskipun masih sangat terbatas yaitu menjadi tempe gembus. Kandungan
gluten pada tepung terigu dan pati pada tapioka serta amilopektin pada ketan yang
menyebabkan kapasitas gelatinisasi, sedangkan ampas tahu tahu merupakan bahan
non gluten (Yustina and Rakhmat. 2012). Pati dapat terikat silang dengan
Universitas Sumatera Utara
mereaksikan pati dengan epiklorogidrin, fosfor oksiklorida dan natrium trimetafosfat
dengan katalis basa (Deman, 1989).
Pembuatan bubur ampas tahu dapat dilakukan jika ampas yang dihasilkan
berlimpah dan belum sempat digunakan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan
penjemuran langsung dibawah sinar matahari ataupun dalam alat pengering “cabinet
dryer” dengan suhu sesuai suhu matahari. Cara pengeringan cukup mudah, dimana
ampas padat diletakkan diatas tampah atau loyang dan keringkan sampai betul-betul
mengering sempurna. Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar antara 25-35%
dari produk tahu yang dihasilkan (Kaswinarni. 2007). Komposisi kimia ampas tahu
didasarkan pada jenis dan kualitas kedelai yang digunakan. Berikut adalah
karakteristik Kimia Bubur Ampas Kedelai dari Limbah Pembuatan tahu yang
ditunjukkan dalan Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Karakteristik Kimia Bubur ampas Kedelai dari Limbah Pembuatan Tahu
Sumber : Sulistiani (2004)
Air
Ampas Kedelai Basah
(%)
89,88
Ampas Kedelai Kering
(%)
5,74
Protein
1,32
10,80
Lemak
2,2
14,49
Abu
0,32
9,02
Karbohidrat
6,33
59,95
Serat Pangan tidak Larut
0,96
9,46
Serat Pangan Larut
4,73
47,72
Karakteristik Kimia
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Hernaman, dkk (2005)
Karakteristik Kimia
Ampas Kedelai (%)
Bahan Kering
8,69
Abu
3,42
Protein Kasar
22,23
Lemak Kasar
9,43
Serat Kasar
29,08
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
35,84
(BETN)
2.7
Teknik pencelupan
Prosses pencelupan merupakan teknik yang menghasilkan produk lateks yang
dilakukan dengan mencelupkan suatu pembentuk ke dalam Formula lateks.
Pembentuk dicelupkan ke dalam Formula lateks maka partikel-partikel lateks akan
bersentuhan dengan permukaan pembentuk, sehingga mengalami proses hilangnya
kestabilan lateks dan membentuk suatu lapisan atau film. Film yang terbentuk
mempunyai bentuk yang sama dengan pembentuk yang dicelup ke dalam kompon
lateks tersebut dan apabila film ini dikeringkan maka akan menghasilkan produk
lateks sesuai pembentuk.
Proses pencelupan merupakan suatu teknik penting dalam industri lateks karet
alam. Teknik pencelupan ini digunakan untuk menghasilkan produk yang tipis dan
berongga seperti sarung tangan, balon, dan sebagainya. Teknik pencelupan terdiri dari
3 (tiga) cara utama yaitu pencelupan langsung (straight dipping), pencelupan
berkoagulan (coagulant dipping), dan pencelupan pengaktifan panas (heat sensitized
dipping). Setiap pencelupan ini digunakan untuk menghasilkan produk lateks yang
berbeda (Blackley, 1966; Hannam, 1973).
Universitas Sumatera Utara
1.
Pencelupan langsung
Pencelupan langsung merupakan teknik yang paling mudah dan selalu dipakai
untuk menghasilkan produk yang sangat tipis (ketebalan ~0,05 mm) seperti pada
pembuatan kondom. Teknik pencelupan langsung, tidak menggunakan bahan
pemantap lateks. Hanya pembentuk yang telah bersih dan dikeringkan
dimasukkan ke dalam kompon lateks yang kemudian dikeringkan untuk
mendapatkan produk.
2.
Pencelupan berkoagulan
Pencelupan berkoagulan merupakan teknik pencelupan yang digunakan untuk
menghasilkan produk yang mempunyai ketebalan sederhana yaitu 0,2-0,8 mm
seperti sarung tangan. Pada teknik ini, bahan kimia yang disebut dengan
koagulan dilapisi pada permukaan pembentuk. Apabila pembentuk yang dilapisi
koagulan dicelupkan ke dalam lateks, maka akan terbentuk suatu lapisan film
pada permukaan tersebut.
Pencelupan berkoagulan pada umumnya ada dua jenis utama, yaitu
pencelupan berkoagulan basah dan pencelupan berkoagulan kering. Pencelupan
berkoagulan kering merupakan teknik pencelupan yang lebih sering digunakan,
karena teknik pencelupan berkoagulan basah, pada saat dilakukan pencelupan ke
dalam kompon lateks maka koagulan akan menetes ke dalam tangki Formula
lateks, yang menyebabkan hilangnya kestabilan lateks, dan menyebabkan
partikel kecil karet tidak dapat digunakan untuk menghasilkan produk, karena
partikel karet ini akan melekat pada permukaan produk lateks dan
mengakibatkan kecacatan pada produk (Harahap dkk, 2006).
3.
Pencelupan pengaktifan panas
Pencelupan pengaktifan panas merupakan teknik yang digunakan untuk
menghasilkan produk yang sangat tebal yaitu ~4 mm. Sejumlah pengaktifan
panas yang sesuai akan dimasukkan ke dalam kompon lateks. Pengaktifan panas
yang selalu digunakan ialah kumpulan bahan polimer yang dapat melarut dalam
Universitas Sumatera Utara
lateks pada suhu kamar dan mengendap apabila suhu ditingkatkan. Apabila
pembentuk yang dipanaskan dicelupkan ke dalam Formula lateks, agen pengaktif
panas yang berdekatan dengan permukaan pembentuk akan mengendap dan
menangkap partikel-partikel lateks, dan akan menghasilkan film lateks yang tebal
(Azahari, 2000).
2.8
Karakterisasi Campuran Polimer
Mengkarakterisasi polimer jauh lebih rumit daripada mengkarakterisasi senyawasenyawa dengan berat molekul rendah. Metode yang paling sering dilakukan
kimiawan untuk mengkarakterisasi senyawa polimer yaitu dengan metode-metode
spektroskopik dan termal. Disini juga akan menyinggung analisis permukaan maupun
pengujian mekanik.
Karakterisasi yang dilakukan untuk mengetahui dan menganalisa campuran
polimer pada penelitian ini adalah menggunakan analisa morfologi permukaan
dengan SEM, uji penentuan gugus fungsi dengan FTIR, daya serap Air, uji persen
ikat silang, degradasi dengan panas dengan TGA dan uji biodegradasi dengan
penanaman di tanah.
2.8.1
Scanning Electron Microscopy
Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk
bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda yang akan diuji dapat
dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah untuk
mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada dasarnya, SEM
menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron dan dipantulkan atau berkas sinar
elektron sekunder.
Universitas Sumatera Utara
SEM menggunakan prinsip scanning yaitu berkas elektron diarahkan pada
titik permukaan spesimen. Gerakan elektron diarahkan dari satu titik ke titik lain pada
permukaan spesimen. Jika seberkas sinar elektron ditembakkan pada permukaan
spesimen maka sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi
diteruskan. Jika permukaan spesimen tidak merata, banyak lekukan, lipatan atau
lubang-lubang, maka tiap bagian permukaan itu akan memantulkan elektron dengan
jumlah dan arah yang berbeda dan kemudian akan ditangkap oleh detektor dan akan
diteruskan ke sistem layar. Hasil yang diperoleh merupakan gambaran yang jelas dari
permukaan spesimen dalam bentuk tiga dimensi.
Dalam morfologi permukaan dengan menggunakan SEM, pemakaiannya
sangat terbatas tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi
permukaan dengan resolusi sekitar 100 Å (Stevens, 2001).
2.8.2
Uji Daya Serap Air
Nilai Daya Serap
Air mencerminkan kemampuan untuk menyerap air setelah
Perendaman. Uji Daya Serap air dilakukan dengan perendaman spesimen (2 cm x
2cm x 0,5 mm) dalam aquades (suhu 20-30oC) dengan interval waktu 24 dan 720
jam. Kemudian spedimen dibersihkan dari sisa aquades pada permukaan spesimen
dan ditimbang. Spesimen selanjutnya dikeringkan pada suhu 60oC hingga mencapai
berat Konstan. Rasio penggembungan dalam air dan perubahan berat dapat dilihat
pada persamaan berikut:
���� ����� ��� =
(�2 − �1 )
�1
× 100
(2.1)
Vudjung, C (2014)
Universitas Sumatera Utara
2.8.3
Uji Persen Ikat Silang
Derajat ikat silang dalam karet dapat ditentukan setelah sokletasi dengan
sikloheksana mendidih selama 8 jam. Sampel dikeringkan pada suhu 80oC selama 30
menit dan ditimbang. Persentase ikat silang dalam campuran kemudian dihitung
dengan rumus sebagai berikut sesuai ASTM D2765
��
% ikat silang = �� x 100%
(2.2)
Dimana Wg dan Wo adalah berat sampel setelah dan sebelum sokletasi. Persentase
ikat silang yang dihasilkan menandakan adanya interaksi yang kuat antara komponen
campuran (Halimatuddahliana, 2007).
2.8.4 Fourier Transform Infrared (FTIR)
Fourier Transform Infrared adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan
spektrum penyerapan infrared, emisi, fotokonduktivitas atau hamburan raman dari
keadaan padat, cair atau gas. Spektrometer FTIR secara bersamaan mengumpulkan
data spektral dalam berbagai sektrum yang luas. Ini mendapat keuntungan yang
signifikan atas spektrometer dispersip yang mengukur intensitas sedikit rentang
panjang gelombang pada suatu waktu.
Hasil spektrum memperlihatkan absorpsi dan transmitansi molekuler
membentuk sidik jari molekul sampel. Seperti halnya sidik jari, tidak ada dua struktur
molekul berbeda yang memiliki spektrum inframerah yang sama (Lawson, 2001).
Hampir semua molekul menyerap sinar inframerah dan masing-masing molekul
hanya menyerap sinar inframerah pada frekuensi tertentu. Hal ini menunjukkan
karakteristik khas untu setiap molekul. Masing- masing molekul hanya menyerap
Universitas Sumatera Utara
pada frekuensi tertentu dan akan terbentuk pola spektrum absorpsi yang khas atau
sidik jari pada spektrum inframerah (Silverio, 2010).
Spektroskopi FTIR didasarkan pada prinsip bahwa hampir semua molekul
mengadsorpsi sinar inframerah monoatomik dan molekul diatomik homopolar yang
tidak mengadsorpsi sinar inframerah. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang
dari 100 cm-1 diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran
molekul. Spektrum rotasi moekul garis-garis yang tersendiri (Rong, 2011).
2.8.5 Uji Biodegradasi
Pengukuran biodegradasi semi IPN dari LPKA yang divulkanisasi dengan sistem
semi efisien dengan BAT dilakukan dengan penanaman ke dalam tanah. Spesimen 2
cm x 2 cm ditanam dengan kedalaman 7 cm dari permukaan tanah. Dilakukan
penyiraman setiap minggu hingga 9 minggu. Kehilangan berat spesimen dihitung
dengan setiap 3 minggu dan dilakukan pencucian dengan akuades dan dikeringkan
pada suhu 45oC hingga mencapai berat konstan Vudjung, at al., (2014).
2.8.6
Thermogravimetric Analysis
Metode termal adalah sebuah bagian dari teknik dimana sifat fisik dan kimia dari zat
atau produk reaksi tersebut diukur sebagai fungsi temperatur, zat/substansi sebagai
objek yang dikontrol temperaturnya. Aplikasinya untuk kualiti kontrol, penelitian
produk industri seperti polimer, farmasi, tanah, mineral, dan logam. Teknik-teknik
yang dicakup dalam metode analisis termal adalah analisis termogravimetri yang
didasari pada perubahan berat akibat pemanasan.
Thermogravimetri analysis (TGA) adalah teknik yang digunakan untuk
mengukur perbedaan massa sebagai fungsi temperatur dan waktu sebagai isothermal.
Metode analisis termal ini berguna untuk mengetahui Formula materi hasil
dekomposisi termal. Dapat dilakukan dengan memvariasikan laju pemanasan dan
Universitas Sumatera Utara
mencatat perubahan beratnya (Hatakeyam, 1998). Metode TGA yang paling banyak
dipakai didasarkan pada pengukuran berat kontinyu terhadap suatu neraca sensitif
(disebut neraca panas) ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam suatu
atmosfer yang inert. TGA ini dinyatakan sebagai TGA nonisothermal. Data dicatat
sebagai berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari evaporasi lembab
yang tersisa atau pelarut. Tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi terjadi dari
terurainya bahan polimer, selain itu memberikan informasi mengenai stabilitas panas
(Stivens, 2001).
2.8.7 Uji Kekuatan Tarik
Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σt) terhadap
suatu material yang diberikan tekanan menggunakan alat pengukur yang disebut
tensiometer atau dinamometer. Kekuatan tarik dapat diartikan sebagai besarnya beban
maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi
dengan luas penampang bahan. Karena selama di bawah pengaruh tegangan,
spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik
dinyatakan dengan luas penampang semula (A0).
σt
=
Fmaks
Ao
(2.3)
Selama perubahan bentuk, dapat diasumsikan bahwa volume spesimen tidak
berubah. Perpanjangan tegangan pada saat bahan terputus disebut kemuluran. Besaran
kemuluran (ε) menurut Wirjosentono dapat didefenisikan sebagai berikut:
ε=
�−��
��
x 100 %
(2.4)
Universitas Sumatera Utara
keterangan :
ε = kemuluran (%)
lo = panjang spesimen mula-mula (mm)
l = panjang spesimen saat putus (mm) (Munirah, 2007).
Universitas Sumatera Utara