Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Audit Dengan Etika Auditor Sebagai Moderating Variabel Pada auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Kota Medan
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Kualitas Audit
Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka
akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar
pengambilan keputusan. Selain itu adanya kekhawatiran akan merebaknya
sekandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan
keuangan auditan dan profesi akuntan publik.
Kusharyanti (2003:25), kualitas audit adalah kemungkinan (joint
probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan
pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Adapun kemampuan
untuk menemukan salah saji yang material dalam laporan keuangan perusahaan
tergantung dari kompetensi auditor sedangkan kemauan untuk melaporkan temuan
salah saji tersebut tergantung pada independensinya. Christiawan (2002)
menyatakan bahwa “Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi
(keahlian) dan independensi.
Sedangkan Alim et al. (2007) meneliti 7 atribut yang dapat dijadikan
ukuran dalam mengukur kualitas audit, yaitu 1. Deteksi salah saji, 2. Kesesuaian
dengan SPAP, 3. Kepatuhan terhadap SOP, 4. Risiko Audit, 5. Prinsip kehatihatian, 6. Proses pengendalian atas pekerjaan oleh supervisor, dan 7. Perhatian
yang diberikan oleh manajer atau partner. Penelitian tersebut menghasilkan
13
kesimpulan, bahwa ketujuh atribut tersebut dapat digunakan dalam mengukur
kualitas audit.
Akuntan publik atau auditor independen dalam menjalankan tugasnya
harus memegang prinsip-prinsip profesi. Menurut Simamora (2002:47) ada 8
prinsip yang harus dipatuhi akuntan publik yaitu :
1. Tanggung jawab profesi.
Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan professional
dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan publik.
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka
pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan
komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas.
Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan
intregitas setinggi mungkin.
4. Objektivitas.
Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional.
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati,
kompetensi
dan
ketekunan
serta
mempunyai
kewajiban
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional.
untuk
14
6. Kerahasiaan.
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.
7. Perilaku Profesional.
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang
baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8. Standar Teknis.
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis
dan standar profesional yang relevan.
Selain itu akuntan publik juga harus berpedoman pada Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),
dalam hal ini adalah standar auditing. Standar auditing terdiri dari standar umum,
standar pekerjaan lapangan dan standard pelaporan (SPAP,2001;150:1):
1. Standar Umum.
a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi
dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
15
2. Standar Pekerjaan Lapangan.
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten
harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus dapat
diperoleh untuk merencanakan audit dan menetukan sifat saat lingkup
pengujian yang akan dilakukan.
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus dapat diperoleh melalui inspeksi,
pengamatan, pengajuan, pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3. Standar Pelaporan.
a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidak
konsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan
keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip
akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
d. Laporan auditor harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan
keuangan secara keseluruhan atas suatu asersi.
Sehingga berdasarkan uraian di atas, audit memiliki fungsi sebagai proses
untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan
para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan
16
pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan
terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada
laporan yang telah dibuat oleh auditor. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan
penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu
auditor harus menghasilkan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi
ketidakselarasan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik.
Moizer (1986) menyatakan bahwa pengukuran kualitas proses audit
terpusat pada kinerja yang dilakukan auditor dan kepatuhan pada standard yang
telah digariskan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang
dilakukan auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan
standar pengendalian mutu.
AAA Financial Accounting Commite (2000)
menyatakan bahwa
“Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi (keahlian) dan
independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit.
Lebih lanjut, persepsi pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan
fungsi dari persepsi mereka atas independensi dan keahlian auditor“.
Dari pengertian tentang kualitas audit di atas maka dapat disimpulkan
bahwa kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor
pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang
terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan
auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada
standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan.
17
Sehingga berdasarkan definisi di atas dapat terlihat bahwa auditor dituntut
oleh pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat
tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen
perusahaan dan untuk menjalankan kewajibannya ada 3 komponen yang harus
dimiliki oleh auditor yaitu kompetensi (keahlian), independensi dan due
professional care. Tetapi dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami
konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen ingin operasi
perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil, salah satunya tergambar melalui laba
yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan.
Berbagai penelitian tentang kualitas audit pernah dilakukan, salah satunya
oleh Deis dan Giroux (1992) mereka meneliti faktor penentu kualitas audit di
sektor publik dengan menggunakan sampel KAP yang mengaudit institusi sektor
publik. Studi ini menganalisis temuan-temuan Quality Control Review. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa lama hubungan dengan klien (audit tenure),
jumlah klien, telaah dari rekan auditor (peer review), ukuran dan kesehatan
keuangan klien serta jam kerja audit secara signifikan berhubungan dengan
kualitas audit.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas audit adalah pendidikan,
struktur audit, kemampuan pengawasan (supervisor), profesionalisme dan beban
kerja. Semakin lama audit tenure, kualitas audit akan semakin menurun.
Sedangkan kualitas audit akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
klien, reputasi auditor, kemampuan teknis dan keahlian yang meningkat.
18
2.1.2. Kompetensi Auditor
Lasmahadi (2002), kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi
dari seseorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior.
Aspek-aspek pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap,
pengetahuan dan keterampilan dimana kompetensi akan mengarahkan tingkah
laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Kompetensi juga
merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan
dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan
non rutin.
Kompetensi juga dapat diartikan sebagai suatu tingkah laku atau setiap
tingkah laku yang mementingkan suatu kinerja yang baik dari suatu konteks
pekerjaan. Kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasar perilaku
yang menggambarkan motif dasar perilaku yang menggambarkan motif,
karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang
dibawa seseorang yang unggul di tempat kerja. Kompetensi terdiri dari beberapa
karakteristik yang berbeda, yang mendorong perilaku.
Pencapaian kompetensi dimulai dengan pendidikan formal, yang diperluas
melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Untuk
memenuhi persyaratan sebagai akuntan publik yang pertama yaitu harus lulus
Sarjana Ekonomi jurusan Akuntansi, mengikuti Pendidikan Profesi Akuntan
(PPA), mengikuti Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP), dan memiliki gelar
sertifikasi lisensi untuk praktik yaitu Certified Public Accountant (CPA). Selain
19
persyaratan tersebut auditor juga harus menjalani pelatihan teknis yang cukup,
pelatihan ini harus secara memadai mencakup aspek teknis maupun pendidikan
umum. Pendidikan formal dan pengalaman profesional saling melengkapi satu
sama lain.
Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP 2001) menyebutkan
bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga
(SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit
dan
penyusunan
laporannya,
auditor
wajib
menggunakan
kemahiran
profesionalitasnya dengan cermat dan seksama (due professional care).
Menurut Christiawan (2002), kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan
pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan
akuntansi. Sedangkan menurut Mayangsari (2003) dalam Alim et al. (2007),
kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang
berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk
pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Ashton (1991) dalam Alim et al. (2007)
menunjukkan bahwa dalam literatur psikologi, pengetahuan spesifik dan lama
pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi.
Pendapat ini didukung oleh Kusharyanti (2003) yang menemukan bahwa auditor
yang lebih berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan
keuangan sehingga keputusan yang diambil bisa lebih baik. Sementara itu, Alim
et al. (2007) mendapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengetahuan
20
mengenai spesifik tugas dapat meningkatkan kinerja auditor berpengalaman,
walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis.
Lee dan Stone (1995), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang
cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara
objektif. Pendapat lain adalah dari Dreyfus dan Dreyfus (1986), mendefinisikan
kompetensi sebagai keahlian seseorang yang berperan secara berkelanjutan yang
mana pergerakannya melalui proses pembelajaran, dari “ mengetahui sesuatu “ ke
“ mengetahui bagaimana “.Seperti misalnya dari sekedar pengetahuan yang
tergantung pada aturan tertentu kepada suatu pernyataan yang bersifat intuitif.
Adapun Sri lastanti (2005:88) mengartikan keahlian atau kompetensi
sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang
luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Sementara itu dalam artikel yang
sama, Shanteau (1987) mendefinisikan keahlian sebagai orang yang memiliki
keterampilan dan kemampuan pada derajat yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi
auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan
eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.
2.1.2.1 Pengetahuan
SPAP 2001 tentang standar umum, menjelaskan bahwa dalam melakukan
audit, auditor harus memiliki keahlian dan struktur pengetahuan yang cukup.
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena
dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan
21
(pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui
berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan lebihs mudah
dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987
dalam Harhinto, 2004:35).
Harhinto (2004) menemukan bahwa pengetahuan akan mempengaruhi
keahlian audit yang pada gilirannya akan menentukan kualitas audit. Adapun
secara umum ada 5 pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor
(Kusharyanti, 2003), yaitu :
(1) Pengetahuan pengauditan umum,
(2) Pengetahuan area fungsional,
(3) Pengetahuan mengenai isuisu akuntansi yang paling baru,
(4) Pengetahuan mengenai industri khusus,
(5) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah.
Berdasarkan Murtanto dan Gudono (1999) terdapat 2 (dua) pandangan
mengenai keahlian, yaitu
1. Pandangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan pada paradigma
einhorn. Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak criteria
objektif dalam mendefinisikan seorang ahli.
2. Pandangan kognitif yang menjelaskan keahlian dari sudut pandang
pengetahuan.
Pengetahuan
diperoleh
melalui
pengalaman
langsung
(pertimbangan yang dibuat di masa lalu dan umpan balik terhadap kinerja) dan
pengalaman tidak langsung (pendidikan).
22
2.1.2.2 Pengalaman
Audit menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian
tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi banyak faktor lain
yang mempengaruhi antara lain adalah pengalaman. Tubbs (1992) dalam
Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal :
1.Mendeteksi kesalahan, 2. Memahami kesalahan secara akurat, 3. Mencari
penyebab kesalahan.
Kusharyanti (2002 : 5) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman
mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu memberi
penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan
dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur
dari sistem akuntansi yang mendasari (Libby et. al, 1985) dalam Mayangsari
(2003:4). Sedangkan Harhinto (2004) menghasilkan temuan bahwa pengalaman
auditor berhubungan positif dengan kualitas audit.
2.1.3. Independensi Auditor
Menurut penelitian yang dikumpulkan AAA Financial Accounting
Standards Committee (2000) tentang independensi menunjukkan bahwa dalam
mengambil keputusan akuntan publik dipengaruhi oleh dorongan untuk
mempertahankan klien auditnya. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa
pengaruh budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi akuntan publik akan
mempengaruhi sikap independensinya.
23
Dengan demikian independensi akuntan publik sangat diperlukan karena
publik sebagai penilai laporan keuangan melaksanakan audit bukan hanya untuk
kepentingan klien yang membayar fee tetapi juga untuk pihak ketiga atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap laporan keuangan klien yang
diaudit atau diperiksa seperti: pemegang saham, kreditur, investor, calon kreditur,
calon investor, dan instansi pemerintah (terutama instansi pajak). Oleh karena itu,
independensi auditor dalam melaksanakan keahliannya merupakan hal yang
pokok, meskipun auditor tersebut dibayar oleh kliennya karena jasa yang telah
diberikan.
Warta ekonomi.com (2002) mengungkapkan adanya kekhawatiran bahwa
independensi bisa terganggu ini dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, akuntan
atau KAP terlalu lama mengaudit di suatu perusahaan yang sama. Kedua,
independensi bisa terganggu karena pada saat akuntan mengaudit suatu
perusahaan, ternyata pada waktu yang sama dia juga memberikan jasa lain.
Tujuan dan kepentingan manajemen perusahaan dalam menyiapkan dan
menyajikan laporan keuangan bertentangan dengan tujuan dan kepentingan pihakpihak tertentu yang menggunakan laporan keuangan. Sehubungan dengan posisi
yang unik tersebut, maka akuntan publik dituntut dapat mempertahankan
kepercayaan yang telah mereka terima dari klien dan pihak ketiga dengan cara
mempertahankan independensinya. Dalam memberikan pendapat terhadap
kewajaran laporan keuangan klien yang diauditnya, akuntan publik harus bersikap
independen terhadap tujuan dan kepentingan klien, para pemakai laporan
keuangan, maupun diri mereka sendiri.
24
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit
perusahaan klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam
lingkungan perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan
tanggung jawab dari manajemen untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan
yang dikelolanya. Dalam hal ini manajemen inigin supaya kinerjanya terlihat
selalu baik dimata pihak eksternal perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan
tetapi disisi lain, pemilik (prinsipal) menginginkan supaya auditor melaporkan
dengan sejujurnya keadaan yang ada pada perusahaan yang telah dibiayainya.
Dari uraian di atas terlihat adanya suatu kepentingan yang berbeda antara
manajemen dan pemakai laporan keuangan.
Akuntan publik sebagai salah satu profesi yang diandalkan untuk menilai
kewajaran laporan keuangan. Oleh karena itu profesionalitas akuntan publik
dituntut untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta dapat
mengatasi pergerakan dalam dunia usaha yang kian berkembang dan mengalami
berbagai macam peristiwa.
Independensi akuntan publik sama pentingnya dengan keahlian dalam
praktik akuntansi dan prosedur audit yang harus dimiliki oleh setiap akuntan
publik. Akuntan publik harus independen dari setiap kewajiban atau independen
dari pemilikan kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Di samping
akuntan publik harus benar-benar independen, ia juga harus menimbulkan
persepsi di kalangan masyarakat bahwa ia benar-benar independen.
Menurut Mulyadi (1998) faktor yang dapat mempengaruhi independensi
akuntan publik beberapa diantaranya adalah hubungan keuangan dengan klien,
25
kedudukan dalam perusahaan, keterlibatan dalam usaha yang tidak sesuai dengan
klien dan tidak konsisten, pelaksanaan jasa lain untuk klien audit, hubungan
keluarga dan pribadi, imbalan atas jasa profesional, penerimaan barang atau jasa
dari klien, pemberian barang atau jasa kepada klien. Penelitian sebelumnya
Shockley (1981) meneliti empat faktor yang mempengaruhi independensi akuntan
publik yang meliputi: persaingan antar akuntan publik, pemberian jasa konsultasi
manajemen kepada klien, ukuran kantor akuntan publik, hubungan yang lama
antara kantor akuntan publik dengan klien. Sedangkan dalam penelitian ini faktor
yang akan diteliti adalah audit fee, jasa selain audit yang diberikan oleh kantor
akuntan publik, profil dari kantor akuntan publik, dan hubungan audit yang lama
antara kantor akuntan publik dengan klien. Pemilihan keempat faktor tersebut
disebabkan karena dari semua faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
independensi akuntan publik, keempat faktor tersebut paling dominan dan dalam
kenyataannya sering menjadi masalah bagi kantor akuntan publik, klien maupun
pihak ketiga pengguna laporan keuangan klien.
Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan
publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik
berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan,
namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas
pekerjaan akuntan publik (Christiawan, 2002).
Independensi adalah sikap auditor tidak memihak kepada kepentingan
pihak tertentu. Auditor mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur tidak saja
kepada pihak manajemen, tetapi juga terhadap pihak ketiga sebagai pemakai
26
laporan keuangan seperti kreditor, pemilik maupun masyarakat. Di dalam standar
umum kedua, disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas profesional, auditor
harus selalu mempertahankan sikap mental independen dimana tidak mudah
dipengaruh oleh pihak lain dan bebas dari suatu kepentingan dengan klien.
Indah, (2010) mengkategorikan independensi kedalam dua aspek, yaitu
independensi dalam kenyataan (independence in fact) dan independensi dalam
penampilan (independence in appearance). Harhinto (2004), mengkategorikan
independensi auditor mencakup dua aspek, yaitu independensi dalam sikap mental
berarti adanya kejujuran dalam diri auditor untuk mempertimbangkan yang
objektif, tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya;
independensi penampilan berarti adanya kesan masyarakat bahwa auditor
independen bertidak bebas atau independen, sehingga auditor harus menghindari
keadaan atau faktor yang menyebabkan masyarakat meragukan kebebasannya.
Dengan demikian auditor tidak dibenarkan untuk memihak dan bebas dari suatu
kepentingan. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk sikap jujur tidak
hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor
dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas hasil pengujian laporan
keuangan.
Menurut Standar Profesi Akuntan Publik 2001 seksi 220 PSA No.04
Alinea 2, independensi itu berarti tidak mudah dipengaruhi, karena ia
melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal
berpraktik sebagai auditor intern). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak
kepada kepentingan siapapun, sebab bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis
27
yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak yang justru paling penting
untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.
Dalam Kode Etik Akuntan Publik disebutkan bahwa independensi adalah
sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai
kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan
prinsip integritas dan objektivitas.
Penelitian mengenai independensi sudah cukup banyak dilakukan baik itu
dalam negeri maupun luar negeri. Lavin (1976) meneliti 3 faktor yang
mempengaruhi independensi akuntan publik, yaitu : (1) Ikatan keuangan dan
hubungan usaha dengan klien, (2) Pemberian jasa lain selain jasa audit kepada
klien, dan (3) Lamanya hubungan antara akuntan publik dengan klien. Shockley
(1981) meneliti 4 faktor yang mempengaruhi independensi, yaitu 1. Persaingan
antar akuntan publik, 2. Pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien, 3.
Pengalaman kerja, dan 4. Lamanya hubungan audit.
1. Lama Hubungan Dengan Klien (Audit Tenure)
Di Indonesia, masalah audit tenure atau masa kerja auditor dengan klien
sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang
jasa akuntan publik. Keputusan menteri tersebut membatasi masa kerja auditor
paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan
Publik (KAP) boleh sampai 5 tahun. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor
tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal
akuntansi. Penugasan audit yang terlalu lama kemungkinan dapat mendorong
28
akuntan publik kehilangan independensinya karena akuntan publik tersebut
merasa puas, kurang inovasi, dan kurang ketat dalam melaksanakan prosedur
audit. Sebaliknya penugasan audit yang lama kemungkinan dapat pula
meningkatkan independensi karena akuntan publik sudah familiar, pekerjaan
dapat dilaksanakan dengan efisien dan lebih tahan terhadap tekanan klien (
Supriyono, 1988:6).
2. Tekanan dari klien
Dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik
kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen mungkin ingin operasi
perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil yakni tergambar melalui laba yang
lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen perusahaan
melakukan tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang
dihasilkan itu sesuai dengan keinginan klien. Pada situasi ini, auditor mengalami
dilema. Pada satu sisi, jika auditor mengikuti keinginan klien maka ia melanggar
standar profesi. Tetapi jika auditor tidak mengikuti klien maka klien dapat
menghentikan penugasan atau mengganti KAP auditornya. Selain itu, persaingan
antar kantor akuntan (KAP) semakin besar. KAP semakin bertambah banyak,
sedangkan pertumbuhan perusahaan tidak sebanding dengan pertumbuhan KAP.
Terlebih lagi banyak perusahaan yang melakukan merjer atau akuisisi dan akibat
krisis ekonomi di Indonesia banyak perusahan yang mengalami kebangkrutan.
29
Sehingga oleh karena itu KAP akan lebih sulit untuk mendapatkan klien baru
sehingga KAP enggan melepas klien yang sudah ada.
Kondisi keuangan klien berpengaruh juga terhadap kemampuan auditor
untuk mengatasi tekanan klien ( Knapp,1985) dalam (Harhinto,2004:44). Klien
yang mempunyai kondisi keuangan yang kuat dapat memberikan fee audit yang
cukup besar dan juga dapat memberikan fasilitas yang baik bagi auditor. Selain itu
probabilitas terjadinya kebangkrutan klien yang mempunyai kondisi keuangan
baik relatif kecil. Pada situasi ini auditor menjadi puas diri sehingga kurang teliti
dalam melakukan audit.
Berdasarkan uraian di atas, maka auditor memiliki posisi yang strategis
baik di mata manajemen maupun dimata pemakai laporan keuangan. Selain itu
pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil
pekerjaan auditor dalam mengaudit laporan keuangan. Untuk dapat memenuhi
kualitas audit yang baik maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai
pemeriksa harus berpedoman pada kode etik, standar profesi dan standar
akuntansi
keuangan
yang
berlaku
di
Indonesia.
Setiap
auditor
harus
mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menjalankan tugasnya dengan
bertindak jujur, tegas, tanpa pretensi sehingga dia dapat bertindak adil, tanpa
dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan
pribadinya.
3. Telaah dari rekan auditor (Peer Review)
30
Tuntutan pada profesi akuntan untuk memberikan jasa yang berkualitas
menuntut tranparansi informasi mengenai pekerjaan dan operasi Kantor Akuntan
Publik. Kejelasan informasi tentang adanya sistem pengendalian kualitas yang
sesuai dengan standar profesi merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban
terhadap klien dan masyarakat luas akan jasa yang diberikan. Oleh karena itu
pekerjaan akuntan publik dan operasi Kantor Akuntan Publik perlu dimonitor dan
di “audit“ guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan
kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang
dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai
mekanisme monitoring dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas
jasa akuntansi dan audit. Peer
review dirasakan memberikan manfaat baik bagi klien, Kantor Akuntan Publik
yang direview dan auditor yang terlibat dalam tim peer review. Manfaat yang
diperoleh dari peer review antara lain mengurangi resiko litigation, memberikan
pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge
dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan.
4. Jasa Non Audit
Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga
jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa
akuntansi seperti jasa penyusunan laporan keuangan (Kusharyanti, 2002:29).
Adanya dua jenis jasa yang diberikan oleh suatu KAP menjadikan independensi
auditor terhadap kliennya dipertanyakan yang nantinya akan mempengaruhi
31
kualitas audit. Pemberian jasa selain audit ini merupakan ancaman potensial bagi
independensi auditor, karena manajemen dapat meningkatkan tekanan pada
auditor agar bersedia untuk mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh
manajemen, yaitu wajar tanpa pengecualian (Barkes dan Simnet (1994), Knapp
(1985) dalam Harhinto (2004:45)). Pemberian jasa selain jasa audit berarti auditor
telah terlibat dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian
laporan keungan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang
diberikan auditor tersebut. Kemudian auditor tidak mau reputasinya buruk karena
dianggap memberikan alternatif yang tidak baik bagi kliennya. Maka hal ini dapat
mempengaruhi kualitas audit dari auditor tersebut.
Sedangkan hasil penelitian Kusharyanti (2003), independensi ditentukan
oleh tiga hal, yaitu (1) Jangka waktu auditor memberikan jasa kepada klien
(auditor tenure), (2) Penetapan harga (pricing), dan (3) Pemberian jasa non audit.
Selain itu, Shockley (1981) dalam Alim et al. (2007) juga mengemukakan hasil
penelitian yaitu terdapat empat faktor yang mempengaruhi independensi akuntan
publik, yaitu (1) Pemberian jasa konsultasi kepada klien, (2) Persaingan antar
KAP, (3) Pengalaman kerja, dan (4) Lama hubungan audit dengan klien.
Hasil penelitian mengenai independensi yang telah dilakukan oleh Alim et
al. (2007) mengemukakan bahwa tidak mudah menjaga tingkat independensi agar
tetap sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kerjasama dengan klien yang terlalu
lama bisa menimbulkan kerawanan atas independensi yang dimiliki oleh auditor.
Belum lagi berbagai fasilitas yang disediakan klien selama penugasan audit untuk
32
auditor. Bukan tidak mungkin, auditor menjadi “mudah dikendalikan” klien
karena auditor berada dalam posisi yang dilematis.
2.1.4. Pengalaman Kerja Auditor
Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit
laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan
yang pernah ditangani. Libby and Frederick (1990) menemukan bahwa semakin
banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan
dalam menjelaskan temuan audit. Dalam hal pengalaman, penelitian penelitian
dibidang psikologi yang telah dikutip oleh Jeffrey (1996) memperlihatkan bahwa
seseorang yang lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang substantif memiliki
lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan
suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwaperistiwa.
Penerapan dan pengembangan penelitian masalah pengalaman ini dalam
bidang auditing juga mengungkapkan hasil yang serupa. Butt (1988)
mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman akan membuat
judgment yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesional ketimbang akuntan
pemeriksa yang belum berpengalaman, Marchant G.A. (1989) menemukan bahwa
akuntan pemeriksa yang berpengalaman mampu mengidentifikasi secara lebih
baik mengenai kesalahan-kesalahan dalam telaah analitik. Akuntan pemeriksa
yang berpengalaman juga memperlihatkan tingkat perhatian selektif yang lebih
tinggi terhadap informasi yang relevan (Davis 1996). Tubbs (1992) menemukan
33
dalam salah satu penelitiannya bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman
menjadi sadar mengenai kekeliruan-kekeliruan yang tidak lazim.
Walaupun demikian pengaruh pengalaman yang banyak dalam bidang
audit dapat dikacaukan oleh rendahnya kesadaran etis para auditor yang
memegang posisi yang tinggi dalam organisasi KAP (Ponemon 1990).
Pengalaman kerja dapat diukur melalui jumlah rekan, jumlah auditor,
jumlah klien, dan jumlah pendapatan. Menurut Halim (2008, h.16) hirarki staf
organisasi Kantor Akuntan Publik pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Partner, merupakan top legal client relationship, yang bertugas me-review
(menelaah) pekerjaan audit, menandatangani laporan audit, menyetujui
masalah fee dan penagihannya, dan penanggungjawab atas segala hal yang
berkaitan dengan pekerjaan audit.
2. Manajer, merupakan staf yang banyak berhubungan dengan klien, mengawasi
langsung pelaksanaan tugas-tugas audit, me-review lebih rinci terhadap
pekerjaan audit, dan melakukan penagihan atas fee audit.
3. Akuntan senior, merupakan staf yang bertanggungjawab langsung terhadap
perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan audit, dan me-review pekerjaan para
akuntan yunior yang dibawahinya.
4. Akuntan yunior, merupakan staf pelaksana langsung dan bertanggungjawab
atas pekerjaan lapangan. Para yunior ini penugasannya dapat berupa bagianbagian dari pekerjaan audit, dan bahkan bila memungkinkan memberikan
pendapat atas bagian yang diperiksanya.
34
Riyatno (2007) menggunakan indikator Pengalaman kerja sebagai proksi
kualitas dengan membedakan KAP menjadi KAP besar (Big Four Accounting
Firms) dan KAP kecil (Non Big Four Accounting Firms). Indikator Pengalaman
kerja tersebut dilakukan berdasarkan jumlah klien yang dilayani oleh suatu KAP,
jumlah rekan/anggota yang bergabung, serta total pendapatan yang diperoleh.”
Sedangkan menurut Wibowo dkk. dalam penelitian Hamid (2013) yang berjudul
“Pengaruh Tenur dan Pengalaman kerja terhadap Kualitas Audit” ada empat
penentu Pengalaman kerja, yaitu:
1. Besarnya jumlah dan ragam klien yang ditangani KAP,
2. Banyaknya ragam jasa yang ditawarkan,
3. Luasnya cakupan geografis, termasuk afiliasi internasional, dan
4. Banyaknya jumlah staf audit dalam suatu KAP.
DeAngelo (1981) menunjukkan KAP besar (big 4 accounting firms) akan
melakukan audit dengan lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP kecil (non
big 4 accounting firms). Francis & Yu (2009) memberikan bukti empiris yang
mendukung hubungan positif antara Pengalaman kerja dan kualitas audit. Francis
& Yu (2009) meneliti apakah Pengalaman kerja khususnya KAP Big 4, yang
diproksikan dengan pendapatan audit dan jumlah klien, akan mempengaruhi
kualitas audit. Kualitas audit dilihat dari kualitas akrual klien yang disajikan
dalam laporan keuangan dan laporan audit going concern yang diterbitkan oleh
KAP.
Francis & Yu (2009) berargumen bahwa hanya KAP Big 4 yang berukuran
besar yang akan menghasilkan kualitas audit yang tinggi dengan menunjukkan
35
kemampuannya dalam membatasi perilaku manajemen laba dan menerbitkan
laporan audit going concern. Francis & Yu (2009) membuktikan bahwa KAP Big
4 dengan ukuran besar mampu menghasilkan kualitas audit yang lebih baik
dibandingkan KAP Big 4 yang berukuran kecil. Sejalan dengan Francis & Yu
(2009), penelitian Choi et al. (2010) juga membuktikan bahwa ukuran auditor
merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas audit.
Herusetya (2009) menemukan bahwa reputasi auditor (yang diukur
berdasarkan Pengalaman kerja) berhubungan positif dengan kualitas pelaporan
keuangan, termasuk kualitas laba. Kualitas pelaporan keuangan disini dapat
dianggap sebagai kualitas audit karena kemampuan menghasilkan pelaporan
keuangan yang berkualitas bertujuan untuk melindungi reputasi nama KAP. Oleh
karenanya ketika reputasi auditor baik seperti Big 4, auditor tersebut cenderung
menghasilkan kualitas audit yang baik pula agar reputasi mereka tetap baik.
Selain itu, Novita (2009) terinspirasi dari Li et al. (2008) melakukan
penelitian mengenai hubungan antara Pengalaman kerja dan kualitas audit dengan
menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2005–2007. Penelitian ini menggunakan indikator fee auditor dan
reputasi KAP sebagai variabel Pengalaman kerja. Sedangkan kualitas audit diukur
dengan proksi opini auditor. Hasilnya kedua faktor tersebut tidak mempengaruhi
opini audit. Pardede (2010) juga menemukan bahwa Pengalaman kerja tidak
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas audit.
Penelitian yang dilakukan Francis & Yu (2009), menemukan semakin
besar Pengalaman kerja, kualitas audit yang dihasilkan akan semakin tinggi.
36
Penelitian Choi et al. (2010) juga menemukan hasil yang konsisten. Penelitian
tersebut menggunakan ukuran akrual diskresioner untuk kualitas audit dan untuk
Pengalaman kerja menggunakan jumlah klien serta pendapatan audit.
2.1.5. Etika Auditor
Secara umum etika didefinisikan sebagai nilai-nilai tingkah laku atau
aturan aturan tingkah laku yang diterima dan digunakan oleh suatu golongan
tertentu atau individu (Sukamto , 1991 : 1). Menurut Suseno Magnis (1989 : 14)
dan Sony Keraf (1991 : 20) bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan
moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus
hidup sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas
memberi manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana harus hidup,
bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan
bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika
berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia
dalam hidupnya.
Dimensi etika yang sering digunakan dalam penelitian adalah 1)
kepribadian yang terdiri dari locus of control external dan locus of control
internal; 2) kesadaran etis dan 3) kepedulian pada etika profesi, yaitu kepedulian
pada Kode Etik IAI yang merupakan panduan dan aturan bagi seluruh anggota,
baik yang berpraktek sebagai Akuntan Publik, bekerja dilingkungan usaha pada
instansi pemerintah maupun dilingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan
tanggung jawab profesionalnya. Untuk tujuan itu terdapat empat kebutuhan dasar
37
yang harus dipenuhi yaitu kredibilitas, profesionalisme, kualitas jasa dan
kepercayaan.
Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik IAI adalah sebagai berikut :
1). Tanggung jawab professional
2). Kepentingan publik
3). Integritas
4). Objektifitas
5). Kompetensi dan kehati-hatian profesional
6). Kerahasiaan
7). Perilaku professional
8). Standar teknis, harus melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar teknis
dan standar profesional yang telah ditetapkan.
Etika dapat didefinisikan secara luas sebagai seperangkat prinsip-prinsip
moral atau nilai-nilai (Alvin A. Arens,at all, 2008). Sedangkan Maryani dan
Ludigdo (2001) dalam Alim et al. (2007) mendefinisikan etika sebagai
seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia,
baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh
sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi. Menurut
Alvin A. Arens,at all (2008: 68), alasan adanya harapan yang begitu tinggi pada
penerapan etika bagi profesi akuntan publik yaitu dikarenakan merupakan hal
yang penting bahwa klien dan pihak-pihak eksternal pengguna laporan keuangan
untuk memiliki kepercayaan dalam kualitas audit dan jasa lainnya yang diberikan
oleh akuntan publik.
38
Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan diatur oleh suatu kode
etik akuntan. Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik) berisi prinsip dasar
dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor
akuntan publik (KAP) atau jaringan KAP, baik yang merupakan anggota Ikatan
Akuntan Publik Indonesia (IAPI) maupun yang bukan merupakan anggota IAPI,
yang memberikan jasa professional yang meliputi jasa assurance dan jasa selain
assurance. Dalam penelitiannya, Alim et al. (2007) mengemukakan empat hal
yang digunakan sebagai indikator etika auditor yaitu (1) imbalan yang diterima,
(2) pengaruh organisasional, (3) lingkungan keluarga, dan (4) emotional quotient.
Teori egoisme termasuk dalam etika deontologi yang mengukur baik
buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan
itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu sendiri. Inti dari
pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya
bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri.
Karena itu, satu-satunya tujuan dan juga kewajiban moral setiap pribadi adalah
untuk mengejar kepentingannya dan memajukan diri sendiri. Teori egoisme
sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan egoisme psikologis.
Egoisme etis didefinisikan sebagai teori etika yang menyatakan bahwa
satu-satunya tolak ukur mengenai baik buruknya suatu tindakan seseorang adalah
kewajiban untuk mengusahakan kebahagiaan dan kepentingannya diatas
kebahagiaan dan kepentingan orang lain. Sedangkan egoisme psikologis adalah
pandangan yang mengatakan bahwa semua orang harus selalu dimotivasi oleh
39
tindakan, demi kepentingan dirinya belaka (Sonny Keraf dan Robert Haryono,
1995).
Teori eogisme atau egotisme yang diasaskan oleh Friedrich Wilhelm
Nietche mengungkapkan bahwa setiap orang mestilah bersifat keakuan, yaitu
melakukan sesuatu yang bermatlamat memberikan faedah kepada diri sendiri.
Dalam teori ini, setiap perbuatan yang memberikan keuntungan akan dianggap
sebagai perbuatan yang baik dan sebaliknya, perbuatan yang merugikan diri
sendiri dianggap sebagai perbuatan yang buruk.
Dalam kenyataannya, auditor sebagai pihak ketiga yang independen dan
bertugas menjadi penengah antara pihak agen dan principal, memiliki ego dalam
dirinya sendiri. Sehingga, walaupun memiliki kompetensi dan independensi yang
tinggi, terkadang auditor lupa akan etika profesi (Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia) yang harus ia jaga dikarenakan adanya ego tersebut. Bahkan, tidak
jarang, akibat tingginya tingkat kompetensi dan independensi yang dimiliki
auditor tersebutlah yang menyebabkan semakin tinggi pula rasa egois yang ada di
dalam dirinya sehingga dalam menjalankan tugasnya, auditor tidak lagi bekerja
sesuai etika profesi yang ada dan alhasil akan menghasilkan kualitas audit yang
rendah.
2.2. Review Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian yang dapat peneliti kumpulkan sebagai bahan
rujukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada table berikut :
40
Tabel : 2.1
Review Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti &
Tahun
Judul
Variabel
Hasil
1
Teguh
Harhinto
(2004)
Pengaruh
Keahlian dan
Independensi
Terhadap
Kualitas Audit
Studi Empiris
Pada KAP di
Jawa Timur
Keahlian,
independensi,
kualitas audit
Keahlian dan
independensi
Berpengaruh
signifikan
Terhadap kualitas
audit.
2
Riska Utami & Pengaruh Ukuran Pengalaman
Masa
Betri Sirajuddin Kantor
Akuntan kerja,
Perikatan,
Publik
(KAP),
(2005)
Tekanan Waktu.
Masa Perikatan dan
Kualitas Audit
Tekanan
Waktu
Terhadap Kualitas
Audit (Studi Kasus
KAP
di
Palembang)
3
Kusharyanti.
(2003)
Faktor factor yang Pengalaman
mempengaruhi
kerja,
kualitas audit
Kompetensi,
Pengalaman,
Kualitas Audit
4
Elfarini,
Eunike
Christina.
(2007)
Pengaruh
Kompetensi dan
Independensi
terhadap Kualitas
Audit (Studi
Kompetensi,
Independensi,
Kualitas Audit
Ada
pengaruh
signifikan
antara
Pengalaman kerja,
masa perikatan, dan
tekanan
waktu
terhadap kualitas
audit
Secara
parsial
disimpulkan bahwa
hanya
variabel
masa
perikatan
yang berpengaruh
signifikan terhadap
audit.
kualitas
Sedangkan,
variabel
Pengalaman kerja
dan tekanan waktu
tidak
memiliki
pengaruh
yang
signifikan terhadap
kualitas audit.
Pengalaman kerja,
Kompetensi,
Pengalaman
berpengaruh
terhadap kualitas
audit.
Kompetensi,Indepe
ndensi berpengaruh
terhadap
kualitas
audit
secara
41
Empiris pada
Kantor Akuntan
Publik Di Jawa
Tengah)
parsial
simultan
dan
5
Adi
Purnomo
(2007)
Persepsi Auditor
Keahlian,
Tentang Pengaruh Independensi,
FaktorFaktor Kualitas Audit
Keahlian Dan
Independensi
Terhadap Kualitas
Audit
pengalaman
dan
pengetahuan
berpengaruh
terhadap kualitas
audit. Sedangkan
faktorfaktor
independensi
menurut persepsi
auditor
hanya
tekanan klien yang
berpengaruh
terhadap
kualitas audit.
6
Bambang
Hartadi (2009)
Pengaruh
Fee
Audit, Rotasi KAP,
Dan
Reputasi
Auditor Terhadap
Kualitas Audit Di
Bursa
Efek
Indonesia
Fee
Audit,
Rotasi KAP Dan
Reputasi
Auditor,
Kualitas Audit
Fee
audit
berpengaruh
signifikan terhadap
kualitas
audit,
sementara
rotasi
dan reputasi audit
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
kualitas audit.
7
Marsellia,
2009
dkk.
Pengaruh
Kompetensi
dan
Independensi
Terhadap Kualitas
Audit
Dengan
Etika
Auditor
Sebagai Variabel
Moderator
(Studi
Empiris
Pada Auditor Di
KAP Big Four
Jakarta)
Kualitas Audit,
Kompetensi,
Independensi,
Etika Auditor
kompetensi,
independensi,
interaksi
antara
kompetensi
dan
etika auditor, serta
interaksi
antara
independensi dan
etika
auditor
memiliki pengaruh
yang
signifikan
terhadap kualitas
audit.
8
Icuk
Rangga,
Bawono Elisha
dan
Muliani
Singgih (2010)
Faktor-faktor
Dalam Diri Auditor
Dan
Kualitas
Audit: Studi Pada
KAP BIG FOUR
Di Indonesia
independensi,
pengalaman,
due professional
care,
akuntabilitas,
kualitas audit
independensi,penga
laman,
due
professional care
dan akuntabilitas
mempengaruhi
kualitas
audit
secara
42
berkelanjutan.
9
Bondan
Dwi Pengaruh
client
Utomo (2010)
contracting
environment,
reputasi klien, dan
Pengalaman kerja
terhadap pergantian
kap
pada
perusahaan
manufaktur yang
terdaftar di BEI
Client
Contracting
Environment,
Reputasi Klien,
Pengalaman
kerja terhadap
Pergantian KAP
10
Karina
Aningdita
Pratiwi (2013)
Pengaruh
Audit
Tenure, Reputasi
KAP, Disclosure,
Ukuran Perusahaan
Klien dan Opini
Audit Sebelumnya
Terhadap
Opini
Audit
Going
Concern
(Studi
Empiris
pada
Perusahaan
Manufaktur yang
Listing di BEI
Tahun 2007- 2011
opini
audit
going concern,
audit
tenure,
reputasi KAP,
disclosure,
ukuran
perusahaan
klien, dan opini
audit
sebelumnya
11
Diana Mostafa
Mohamed and
Magda Hussien
Habib
(2012)
Auditor
independence,
audit quality and
the mandatory
auditor rotation in
Egypt
Auditor
independence,
Audit quality,
Audit rotation
Perubahan
manajemen
dan
ukuran
KAP
adalah
penentu signifikan
pergantian
KAP.
Namun,
rapid
growth, opini
audit,
financial
distress, dan ukuran
perusahaan bukan
faktor
penentu
pergantian
auditor (KAP)
Disclosure
dan
opini
audit
sebelumnya
berpengaruh
signifikan terhadap
opini audit going
concern.
Disclosure
memiliki
nilai
signifikan berada,
dan opini audit
sebelumnya
memiliki
nilai
signifikan.
Audit
tenure,
reputasi
KAP, dan ukuran
perusahaan
klien
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
opini audit going
concern.
First,the
poor
structure
of
corporations
of
being closely held.
Second,the
voluntary switching
of auditors are for
43
12
.
Robert Houmes, Audit quality and
Maggie
Foley overvalued equity
and Richard J.
Cebula
(2013)
Auditing, Equity
capital,
Price
earning
ratio,
Audit quality,
Highly valued
equity,
Discretionary
accruals
purposes improving
the quality Third,
auditor rotation was
suggested by the
practitioners
in
order to overcome
the problems of
lack
of
independence and
that the mandatory
firm rotation is
suggested instead
of the mandatory
partner rotation.
of
tests
show
positive
and
statistically
significant
coefficients
for
each of the highlyvalued equity-audit
quality interaction
terms, suggesting
that when a firm is
highly valued the
accruals’
decreasing effect of
high
quality
auditors is reduced.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Kualitas Audit
Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka
akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar
pengambilan keputusan. Selain itu adanya kekhawatiran akan merebaknya
sekandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan
keuangan auditan dan profesi akuntan publik.
Kusharyanti (2003:25), kualitas audit adalah kemungkinan (joint
probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan
pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Adapun kemampuan
untuk menemukan salah saji yang material dalam laporan keuangan perusahaan
tergantung dari kompetensi auditor sedangkan kemauan untuk melaporkan temuan
salah saji tersebut tergantung pada independensinya. Christiawan (2002)
menyatakan bahwa “Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi
(keahlian) dan independensi.
Sedangkan Alim et al. (2007) meneliti 7 atribut yang dapat dijadikan
ukuran dalam mengukur kualitas audit, yaitu 1. Deteksi salah saji, 2. Kesesuaian
dengan SPAP, 3. Kepatuhan terhadap SOP, 4. Risiko Audit, 5. Prinsip kehatihatian, 6. Proses pengendalian atas pekerjaan oleh supervisor, dan 7. Perhatian
yang diberikan oleh manajer atau partner. Penelitian tersebut menghasilkan
13
kesimpulan, bahwa ketujuh atribut tersebut dapat digunakan dalam mengukur
kualitas audit.
Akuntan publik atau auditor independen dalam menjalankan tugasnya
harus memegang prinsip-prinsip profesi. Menurut Simamora (2002:47) ada 8
prinsip yang harus dipatuhi akuntan publik yaitu :
1. Tanggung jawab profesi.
Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan professional
dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan publik.
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka
pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan
komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas.
Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan
intregitas setinggi mungkin.
4. Objektivitas.
Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional.
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati,
kompetensi
dan
ketekunan
serta
mempunyai
kewajiban
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional.
untuk
14
6. Kerahasiaan.
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.
7. Perilaku Profesional.
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang
baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8. Standar Teknis.
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis
dan standar profesional yang relevan.
Selain itu akuntan publik juga harus berpedoman pada Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),
dalam hal ini adalah standar auditing. Standar auditing terdiri dari standar umum,
standar pekerjaan lapangan dan standard pelaporan (SPAP,2001;150:1):
1. Standar Umum.
a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi
dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
15
2. Standar Pekerjaan Lapangan.
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten
harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus dapat
diperoleh untuk merencanakan audit dan menetukan sifat saat lingkup
pengujian yang akan dilakukan.
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus dapat diperoleh melalui inspeksi,
pengamatan, pengajuan, pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3. Standar Pelaporan.
a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidak
konsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan
keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip
akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
d. Laporan auditor harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan
keuangan secara keseluruhan atas suatu asersi.
Sehingga berdasarkan uraian di atas, audit memiliki fungsi sebagai proses
untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan
para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan
16
pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan
terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada
laporan yang telah dibuat oleh auditor. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan
penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu
auditor harus menghasilkan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi
ketidakselarasan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik.
Moizer (1986) menyatakan bahwa pengukuran kualitas proses audit
terpusat pada kinerja yang dilakukan auditor dan kepatuhan pada standard yang
telah digariskan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang
dilakukan auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan
standar pengendalian mutu.
AAA Financial Accounting Commite (2000)
menyatakan bahwa
“Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi (keahlian) dan
independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit.
Lebih lanjut, persepsi pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan
fungsi dari persepsi mereka atas independensi dan keahlian auditor“.
Dari pengertian tentang kualitas audit di atas maka dapat disimpulkan
bahwa kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor
pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang
terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan
auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada
standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan.
17
Sehingga berdasarkan definisi di atas dapat terlihat bahwa auditor dituntut
oleh pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat
tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen
perusahaan dan untuk menjalankan kewajibannya ada 3 komponen yang harus
dimiliki oleh auditor yaitu kompetensi (keahlian), independensi dan due
professional care. Tetapi dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami
konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen ingin operasi
perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil, salah satunya tergambar melalui laba
yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan.
Berbagai penelitian tentang kualitas audit pernah dilakukan, salah satunya
oleh Deis dan Giroux (1992) mereka meneliti faktor penentu kualitas audit di
sektor publik dengan menggunakan sampel KAP yang mengaudit institusi sektor
publik. Studi ini menganalisis temuan-temuan Quality Control Review. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa lama hubungan dengan klien (audit tenure),
jumlah klien, telaah dari rekan auditor (peer review), ukuran dan kesehatan
keuangan klien serta jam kerja audit secara signifikan berhubungan dengan
kualitas audit.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas audit adalah pendidikan,
struktur audit, kemampuan pengawasan (supervisor), profesionalisme dan beban
kerja. Semakin lama audit tenure, kualitas audit akan semakin menurun.
Sedangkan kualitas audit akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
klien, reputasi auditor, kemampuan teknis dan keahlian yang meningkat.
18
2.1.2. Kompetensi Auditor
Lasmahadi (2002), kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi
dari seseorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior.
Aspek-aspek pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap,
pengetahuan dan keterampilan dimana kompetensi akan mengarahkan tingkah
laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Kompetensi juga
merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan
dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan
non rutin.
Kompetensi juga dapat diartikan sebagai suatu tingkah laku atau setiap
tingkah laku yang mementingkan suatu kinerja yang baik dari suatu konteks
pekerjaan. Kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasar perilaku
yang menggambarkan motif dasar perilaku yang menggambarkan motif,
karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang
dibawa seseorang yang unggul di tempat kerja. Kompetensi terdiri dari beberapa
karakteristik yang berbeda, yang mendorong perilaku.
Pencapaian kompetensi dimulai dengan pendidikan formal, yang diperluas
melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Untuk
memenuhi persyaratan sebagai akuntan publik yang pertama yaitu harus lulus
Sarjana Ekonomi jurusan Akuntansi, mengikuti Pendidikan Profesi Akuntan
(PPA), mengikuti Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP), dan memiliki gelar
sertifikasi lisensi untuk praktik yaitu Certified Public Accountant (CPA). Selain
19
persyaratan tersebut auditor juga harus menjalani pelatihan teknis yang cukup,
pelatihan ini harus secara memadai mencakup aspek teknis maupun pendidikan
umum. Pendidikan formal dan pengalaman profesional saling melengkapi satu
sama lain.
Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP 2001) menyebutkan
bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga
(SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit
dan
penyusunan
laporannya,
auditor
wajib
menggunakan
kemahiran
profesionalitasnya dengan cermat dan seksama (due professional care).
Menurut Christiawan (2002), kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan
pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan
akuntansi. Sedangkan menurut Mayangsari (2003) dalam Alim et al. (2007),
kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang
berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk
pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Ashton (1991) dalam Alim et al. (2007)
menunjukkan bahwa dalam literatur psikologi, pengetahuan spesifik dan lama
pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi.
Pendapat ini didukung oleh Kusharyanti (2003) yang menemukan bahwa auditor
yang lebih berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan
keuangan sehingga keputusan yang diambil bisa lebih baik. Sementara itu, Alim
et al. (2007) mendapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengetahuan
20
mengenai spesifik tugas dapat meningkatkan kinerja auditor berpengalaman,
walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis.
Lee dan Stone (1995), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang
cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara
objektif. Pendapat lain adalah dari Dreyfus dan Dreyfus (1986), mendefinisikan
kompetensi sebagai keahlian seseorang yang berperan secara berkelanjutan yang
mana pergerakannya melalui proses pembelajaran, dari “ mengetahui sesuatu “ ke
“ mengetahui bagaimana “.Seperti misalnya dari sekedar pengetahuan yang
tergantung pada aturan tertentu kepada suatu pernyataan yang bersifat intuitif.
Adapun Sri lastanti (2005:88) mengartikan keahlian atau kompetensi
sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang
luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Sementara itu dalam artikel yang
sama, Shanteau (1987) mendefinisikan keahlian sebagai orang yang memiliki
keterampilan dan kemampuan pada derajat yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi
auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan
eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.
2.1.2.1 Pengetahuan
SPAP 2001 tentang standar umum, menjelaskan bahwa dalam melakukan
audit, auditor harus memiliki keahlian dan struktur pengetahuan yang cukup.
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena
dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan
21
(pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui
berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan lebihs mudah
dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987
dalam Harhinto, 2004:35).
Harhinto (2004) menemukan bahwa pengetahuan akan mempengaruhi
keahlian audit yang pada gilirannya akan menentukan kualitas audit. Adapun
secara umum ada 5 pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor
(Kusharyanti, 2003), yaitu :
(1) Pengetahuan pengauditan umum,
(2) Pengetahuan area fungsional,
(3) Pengetahuan mengenai isuisu akuntansi yang paling baru,
(4) Pengetahuan mengenai industri khusus,
(5) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah.
Berdasarkan Murtanto dan Gudono (1999) terdapat 2 (dua) pandangan
mengenai keahlian, yaitu
1. Pandangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan pada paradigma
einhorn. Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak criteria
objektif dalam mendefinisikan seorang ahli.
2. Pandangan kognitif yang menjelaskan keahlian dari sudut pandang
pengetahuan.
Pengetahuan
diperoleh
melalui
pengalaman
langsung
(pertimbangan yang dibuat di masa lalu dan umpan balik terhadap kinerja) dan
pengalaman tidak langsung (pendidikan).
22
2.1.2.2 Pengalaman
Audit menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian
tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi banyak faktor lain
yang mempengaruhi antara lain adalah pengalaman. Tubbs (1992) dalam
Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal :
1.Mendeteksi kesalahan, 2. Memahami kesalahan secara akurat, 3. Mencari
penyebab kesalahan.
Kusharyanti (2002 : 5) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman
mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu memberi
penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan
dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur
dari sistem akuntansi yang mendasari (Libby et. al, 1985) dalam Mayangsari
(2003:4). Sedangkan Harhinto (2004) menghasilkan temuan bahwa pengalaman
auditor berhubungan positif dengan kualitas audit.
2.1.3. Independensi Auditor
Menurut penelitian yang dikumpulkan AAA Financial Accounting
Standards Committee (2000) tentang independensi menunjukkan bahwa dalam
mengambil keputusan akuntan publik dipengaruhi oleh dorongan untuk
mempertahankan klien auditnya. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa
pengaruh budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi akuntan publik akan
mempengaruhi sikap independensinya.
23
Dengan demikian independensi akuntan publik sangat diperlukan karena
publik sebagai penilai laporan keuangan melaksanakan audit bukan hanya untuk
kepentingan klien yang membayar fee tetapi juga untuk pihak ketiga atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap laporan keuangan klien yang
diaudit atau diperiksa seperti: pemegang saham, kreditur, investor, calon kreditur,
calon investor, dan instansi pemerintah (terutama instansi pajak). Oleh karena itu,
independensi auditor dalam melaksanakan keahliannya merupakan hal yang
pokok, meskipun auditor tersebut dibayar oleh kliennya karena jasa yang telah
diberikan.
Warta ekonomi.com (2002) mengungkapkan adanya kekhawatiran bahwa
independensi bisa terganggu ini dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, akuntan
atau KAP terlalu lama mengaudit di suatu perusahaan yang sama. Kedua,
independensi bisa terganggu karena pada saat akuntan mengaudit suatu
perusahaan, ternyata pada waktu yang sama dia juga memberikan jasa lain.
Tujuan dan kepentingan manajemen perusahaan dalam menyiapkan dan
menyajikan laporan keuangan bertentangan dengan tujuan dan kepentingan pihakpihak tertentu yang menggunakan laporan keuangan. Sehubungan dengan posisi
yang unik tersebut, maka akuntan publik dituntut dapat mempertahankan
kepercayaan yang telah mereka terima dari klien dan pihak ketiga dengan cara
mempertahankan independensinya. Dalam memberikan pendapat terhadap
kewajaran laporan keuangan klien yang diauditnya, akuntan publik harus bersikap
independen terhadap tujuan dan kepentingan klien, para pemakai laporan
keuangan, maupun diri mereka sendiri.
24
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit
perusahaan klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam
lingkungan perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan
tanggung jawab dari manajemen untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan
yang dikelolanya. Dalam hal ini manajemen inigin supaya kinerjanya terlihat
selalu baik dimata pihak eksternal perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan
tetapi disisi lain, pemilik (prinsipal) menginginkan supaya auditor melaporkan
dengan sejujurnya keadaan yang ada pada perusahaan yang telah dibiayainya.
Dari uraian di atas terlihat adanya suatu kepentingan yang berbeda antara
manajemen dan pemakai laporan keuangan.
Akuntan publik sebagai salah satu profesi yang diandalkan untuk menilai
kewajaran laporan keuangan. Oleh karena itu profesionalitas akuntan publik
dituntut untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta dapat
mengatasi pergerakan dalam dunia usaha yang kian berkembang dan mengalami
berbagai macam peristiwa.
Independensi akuntan publik sama pentingnya dengan keahlian dalam
praktik akuntansi dan prosedur audit yang harus dimiliki oleh setiap akuntan
publik. Akuntan publik harus independen dari setiap kewajiban atau independen
dari pemilikan kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Di samping
akuntan publik harus benar-benar independen, ia juga harus menimbulkan
persepsi di kalangan masyarakat bahwa ia benar-benar independen.
Menurut Mulyadi (1998) faktor yang dapat mempengaruhi independensi
akuntan publik beberapa diantaranya adalah hubungan keuangan dengan klien,
25
kedudukan dalam perusahaan, keterlibatan dalam usaha yang tidak sesuai dengan
klien dan tidak konsisten, pelaksanaan jasa lain untuk klien audit, hubungan
keluarga dan pribadi, imbalan atas jasa profesional, penerimaan barang atau jasa
dari klien, pemberian barang atau jasa kepada klien. Penelitian sebelumnya
Shockley (1981) meneliti empat faktor yang mempengaruhi independensi akuntan
publik yang meliputi: persaingan antar akuntan publik, pemberian jasa konsultasi
manajemen kepada klien, ukuran kantor akuntan publik, hubungan yang lama
antara kantor akuntan publik dengan klien. Sedangkan dalam penelitian ini faktor
yang akan diteliti adalah audit fee, jasa selain audit yang diberikan oleh kantor
akuntan publik, profil dari kantor akuntan publik, dan hubungan audit yang lama
antara kantor akuntan publik dengan klien. Pemilihan keempat faktor tersebut
disebabkan karena dari semua faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
independensi akuntan publik, keempat faktor tersebut paling dominan dan dalam
kenyataannya sering menjadi masalah bagi kantor akuntan publik, klien maupun
pihak ketiga pengguna laporan keuangan klien.
Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan
publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik
berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan,
namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas
pekerjaan akuntan publik (Christiawan, 2002).
Independensi adalah sikap auditor tidak memihak kepada kepentingan
pihak tertentu. Auditor mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur tidak saja
kepada pihak manajemen, tetapi juga terhadap pihak ketiga sebagai pemakai
26
laporan keuangan seperti kreditor, pemilik maupun masyarakat. Di dalam standar
umum kedua, disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas profesional, auditor
harus selalu mempertahankan sikap mental independen dimana tidak mudah
dipengaruh oleh pihak lain dan bebas dari suatu kepentingan dengan klien.
Indah, (2010) mengkategorikan independensi kedalam dua aspek, yaitu
independensi dalam kenyataan (independence in fact) dan independensi dalam
penampilan (independence in appearance). Harhinto (2004), mengkategorikan
independensi auditor mencakup dua aspek, yaitu independensi dalam sikap mental
berarti adanya kejujuran dalam diri auditor untuk mempertimbangkan yang
objektif, tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya;
independensi penampilan berarti adanya kesan masyarakat bahwa auditor
independen bertidak bebas atau independen, sehingga auditor harus menghindari
keadaan atau faktor yang menyebabkan masyarakat meragukan kebebasannya.
Dengan demikian auditor tidak dibenarkan untuk memihak dan bebas dari suatu
kepentingan. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk sikap jujur tidak
hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor
dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas hasil pengujian laporan
keuangan.
Menurut Standar Profesi Akuntan Publik 2001 seksi 220 PSA No.04
Alinea 2, independensi itu berarti tidak mudah dipengaruhi, karena ia
melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal
berpraktik sebagai auditor intern). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak
kepada kepentingan siapapun, sebab bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis
27
yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak yang justru paling penting
untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.
Dalam Kode Etik Akuntan Publik disebutkan bahwa independensi adalah
sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai
kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan
prinsip integritas dan objektivitas.
Penelitian mengenai independensi sudah cukup banyak dilakukan baik itu
dalam negeri maupun luar negeri. Lavin (1976) meneliti 3 faktor yang
mempengaruhi independensi akuntan publik, yaitu : (1) Ikatan keuangan dan
hubungan usaha dengan klien, (2) Pemberian jasa lain selain jasa audit kepada
klien, dan (3) Lamanya hubungan antara akuntan publik dengan klien. Shockley
(1981) meneliti 4 faktor yang mempengaruhi independensi, yaitu 1. Persaingan
antar akuntan publik, 2. Pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien, 3.
Pengalaman kerja, dan 4. Lamanya hubungan audit.
1. Lama Hubungan Dengan Klien (Audit Tenure)
Di Indonesia, masalah audit tenure atau masa kerja auditor dengan klien
sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang
jasa akuntan publik. Keputusan menteri tersebut membatasi masa kerja auditor
paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan
Publik (KAP) boleh sampai 5 tahun. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor
tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal
akuntansi. Penugasan audit yang terlalu lama kemungkinan dapat mendorong
28
akuntan publik kehilangan independensinya karena akuntan publik tersebut
merasa puas, kurang inovasi, dan kurang ketat dalam melaksanakan prosedur
audit. Sebaliknya penugasan audit yang lama kemungkinan dapat pula
meningkatkan independensi karena akuntan publik sudah familiar, pekerjaan
dapat dilaksanakan dengan efisien dan lebih tahan terhadap tekanan klien (
Supriyono, 1988:6).
2. Tekanan dari klien
Dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik
kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen mungkin ingin operasi
perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil yakni tergambar melalui laba yang
lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen perusahaan
melakukan tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang
dihasilkan itu sesuai dengan keinginan klien. Pada situasi ini, auditor mengalami
dilema. Pada satu sisi, jika auditor mengikuti keinginan klien maka ia melanggar
standar profesi. Tetapi jika auditor tidak mengikuti klien maka klien dapat
menghentikan penugasan atau mengganti KAP auditornya. Selain itu, persaingan
antar kantor akuntan (KAP) semakin besar. KAP semakin bertambah banyak,
sedangkan pertumbuhan perusahaan tidak sebanding dengan pertumbuhan KAP.
Terlebih lagi banyak perusahaan yang melakukan merjer atau akuisisi dan akibat
krisis ekonomi di Indonesia banyak perusahan yang mengalami kebangkrutan.
29
Sehingga oleh karena itu KAP akan lebih sulit untuk mendapatkan klien baru
sehingga KAP enggan melepas klien yang sudah ada.
Kondisi keuangan klien berpengaruh juga terhadap kemampuan auditor
untuk mengatasi tekanan klien ( Knapp,1985) dalam (Harhinto,2004:44). Klien
yang mempunyai kondisi keuangan yang kuat dapat memberikan fee audit yang
cukup besar dan juga dapat memberikan fasilitas yang baik bagi auditor. Selain itu
probabilitas terjadinya kebangkrutan klien yang mempunyai kondisi keuangan
baik relatif kecil. Pada situasi ini auditor menjadi puas diri sehingga kurang teliti
dalam melakukan audit.
Berdasarkan uraian di atas, maka auditor memiliki posisi yang strategis
baik di mata manajemen maupun dimata pemakai laporan keuangan. Selain itu
pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil
pekerjaan auditor dalam mengaudit laporan keuangan. Untuk dapat memenuhi
kualitas audit yang baik maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai
pemeriksa harus berpedoman pada kode etik, standar profesi dan standar
akuntansi
keuangan
yang
berlaku
di
Indonesia.
Setiap
auditor
harus
mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menjalankan tugasnya dengan
bertindak jujur, tegas, tanpa pretensi sehingga dia dapat bertindak adil, tanpa
dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan
pribadinya.
3. Telaah dari rekan auditor (Peer Review)
30
Tuntutan pada profesi akuntan untuk memberikan jasa yang berkualitas
menuntut tranparansi informasi mengenai pekerjaan dan operasi Kantor Akuntan
Publik. Kejelasan informasi tentang adanya sistem pengendalian kualitas yang
sesuai dengan standar profesi merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban
terhadap klien dan masyarakat luas akan jasa yang diberikan. Oleh karena itu
pekerjaan akuntan publik dan operasi Kantor Akuntan Publik perlu dimonitor dan
di “audit“ guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan
kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang
dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai
mekanisme monitoring dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas
jasa akuntansi dan audit. Peer
review dirasakan memberikan manfaat baik bagi klien, Kantor Akuntan Publik
yang direview dan auditor yang terlibat dalam tim peer review. Manfaat yang
diperoleh dari peer review antara lain mengurangi resiko litigation, memberikan
pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge
dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan.
4. Jasa Non Audit
Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga
jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa
akuntansi seperti jasa penyusunan laporan keuangan (Kusharyanti, 2002:29).
Adanya dua jenis jasa yang diberikan oleh suatu KAP menjadikan independensi
auditor terhadap kliennya dipertanyakan yang nantinya akan mempengaruhi
31
kualitas audit. Pemberian jasa selain audit ini merupakan ancaman potensial bagi
independensi auditor, karena manajemen dapat meningkatkan tekanan pada
auditor agar bersedia untuk mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh
manajemen, yaitu wajar tanpa pengecualian (Barkes dan Simnet (1994), Knapp
(1985) dalam Harhinto (2004:45)). Pemberian jasa selain jasa audit berarti auditor
telah terlibat dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian
laporan keungan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang
diberikan auditor tersebut. Kemudian auditor tidak mau reputasinya buruk karena
dianggap memberikan alternatif yang tidak baik bagi kliennya. Maka hal ini dapat
mempengaruhi kualitas audit dari auditor tersebut.
Sedangkan hasil penelitian Kusharyanti (2003), independensi ditentukan
oleh tiga hal, yaitu (1) Jangka waktu auditor memberikan jasa kepada klien
(auditor tenure), (2) Penetapan harga (pricing), dan (3) Pemberian jasa non audit.
Selain itu, Shockley (1981) dalam Alim et al. (2007) juga mengemukakan hasil
penelitian yaitu terdapat empat faktor yang mempengaruhi independensi akuntan
publik, yaitu (1) Pemberian jasa konsultasi kepada klien, (2) Persaingan antar
KAP, (3) Pengalaman kerja, dan (4) Lama hubungan audit dengan klien.
Hasil penelitian mengenai independensi yang telah dilakukan oleh Alim et
al. (2007) mengemukakan bahwa tidak mudah menjaga tingkat independensi agar
tetap sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kerjasama dengan klien yang terlalu
lama bisa menimbulkan kerawanan atas independensi yang dimiliki oleh auditor.
Belum lagi berbagai fasilitas yang disediakan klien selama penugasan audit untuk
32
auditor. Bukan tidak mungkin, auditor menjadi “mudah dikendalikan” klien
karena auditor berada dalam posisi yang dilematis.
2.1.4. Pengalaman Kerja Auditor
Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit
laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan
yang pernah ditangani. Libby and Frederick (1990) menemukan bahwa semakin
banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan
dalam menjelaskan temuan audit. Dalam hal pengalaman, penelitian penelitian
dibidang psikologi yang telah dikutip oleh Jeffrey (1996) memperlihatkan bahwa
seseorang yang lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang substantif memiliki
lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan
suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwaperistiwa.
Penerapan dan pengembangan penelitian masalah pengalaman ini dalam
bidang auditing juga mengungkapkan hasil yang serupa. Butt (1988)
mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman akan membuat
judgment yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesional ketimbang akuntan
pemeriksa yang belum berpengalaman, Marchant G.A. (1989) menemukan bahwa
akuntan pemeriksa yang berpengalaman mampu mengidentifikasi secara lebih
baik mengenai kesalahan-kesalahan dalam telaah analitik. Akuntan pemeriksa
yang berpengalaman juga memperlihatkan tingkat perhatian selektif yang lebih
tinggi terhadap informasi yang relevan (Davis 1996). Tubbs (1992) menemukan
33
dalam salah satu penelitiannya bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman
menjadi sadar mengenai kekeliruan-kekeliruan yang tidak lazim.
Walaupun demikian pengaruh pengalaman yang banyak dalam bidang
audit dapat dikacaukan oleh rendahnya kesadaran etis para auditor yang
memegang posisi yang tinggi dalam organisasi KAP (Ponemon 1990).
Pengalaman kerja dapat diukur melalui jumlah rekan, jumlah auditor,
jumlah klien, dan jumlah pendapatan. Menurut Halim (2008, h.16) hirarki staf
organisasi Kantor Akuntan Publik pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Partner, merupakan top legal client relationship, yang bertugas me-review
(menelaah) pekerjaan audit, menandatangani laporan audit, menyetujui
masalah fee dan penagihannya, dan penanggungjawab atas segala hal yang
berkaitan dengan pekerjaan audit.
2. Manajer, merupakan staf yang banyak berhubungan dengan klien, mengawasi
langsung pelaksanaan tugas-tugas audit, me-review lebih rinci terhadap
pekerjaan audit, dan melakukan penagihan atas fee audit.
3. Akuntan senior, merupakan staf yang bertanggungjawab langsung terhadap
perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan audit, dan me-review pekerjaan para
akuntan yunior yang dibawahinya.
4. Akuntan yunior, merupakan staf pelaksana langsung dan bertanggungjawab
atas pekerjaan lapangan. Para yunior ini penugasannya dapat berupa bagianbagian dari pekerjaan audit, dan bahkan bila memungkinkan memberikan
pendapat atas bagian yang diperiksanya.
34
Riyatno (2007) menggunakan indikator Pengalaman kerja sebagai proksi
kualitas dengan membedakan KAP menjadi KAP besar (Big Four Accounting
Firms) dan KAP kecil (Non Big Four Accounting Firms). Indikator Pengalaman
kerja tersebut dilakukan berdasarkan jumlah klien yang dilayani oleh suatu KAP,
jumlah rekan/anggota yang bergabung, serta total pendapatan yang diperoleh.”
Sedangkan menurut Wibowo dkk. dalam penelitian Hamid (2013) yang berjudul
“Pengaruh Tenur dan Pengalaman kerja terhadap Kualitas Audit” ada empat
penentu Pengalaman kerja, yaitu:
1. Besarnya jumlah dan ragam klien yang ditangani KAP,
2. Banyaknya ragam jasa yang ditawarkan,
3. Luasnya cakupan geografis, termasuk afiliasi internasional, dan
4. Banyaknya jumlah staf audit dalam suatu KAP.
DeAngelo (1981) menunjukkan KAP besar (big 4 accounting firms) akan
melakukan audit dengan lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP kecil (non
big 4 accounting firms). Francis & Yu (2009) memberikan bukti empiris yang
mendukung hubungan positif antara Pengalaman kerja dan kualitas audit. Francis
& Yu (2009) meneliti apakah Pengalaman kerja khususnya KAP Big 4, yang
diproksikan dengan pendapatan audit dan jumlah klien, akan mempengaruhi
kualitas audit. Kualitas audit dilihat dari kualitas akrual klien yang disajikan
dalam laporan keuangan dan laporan audit going concern yang diterbitkan oleh
KAP.
Francis & Yu (2009) berargumen bahwa hanya KAP Big 4 yang berukuran
besar yang akan menghasilkan kualitas audit yang tinggi dengan menunjukkan
35
kemampuannya dalam membatasi perilaku manajemen laba dan menerbitkan
laporan audit going concern. Francis & Yu (2009) membuktikan bahwa KAP Big
4 dengan ukuran besar mampu menghasilkan kualitas audit yang lebih baik
dibandingkan KAP Big 4 yang berukuran kecil. Sejalan dengan Francis & Yu
(2009), penelitian Choi et al. (2010) juga membuktikan bahwa ukuran auditor
merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas audit.
Herusetya (2009) menemukan bahwa reputasi auditor (yang diukur
berdasarkan Pengalaman kerja) berhubungan positif dengan kualitas pelaporan
keuangan, termasuk kualitas laba. Kualitas pelaporan keuangan disini dapat
dianggap sebagai kualitas audit karena kemampuan menghasilkan pelaporan
keuangan yang berkualitas bertujuan untuk melindungi reputasi nama KAP. Oleh
karenanya ketika reputasi auditor baik seperti Big 4, auditor tersebut cenderung
menghasilkan kualitas audit yang baik pula agar reputasi mereka tetap baik.
Selain itu, Novita (2009) terinspirasi dari Li et al. (2008) melakukan
penelitian mengenai hubungan antara Pengalaman kerja dan kualitas audit dengan
menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2005–2007. Penelitian ini menggunakan indikator fee auditor dan
reputasi KAP sebagai variabel Pengalaman kerja. Sedangkan kualitas audit diukur
dengan proksi opini auditor. Hasilnya kedua faktor tersebut tidak mempengaruhi
opini audit. Pardede (2010) juga menemukan bahwa Pengalaman kerja tidak
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas audit.
Penelitian yang dilakukan Francis & Yu (2009), menemukan semakin
besar Pengalaman kerja, kualitas audit yang dihasilkan akan semakin tinggi.
36
Penelitian Choi et al. (2010) juga menemukan hasil yang konsisten. Penelitian
tersebut menggunakan ukuran akrual diskresioner untuk kualitas audit dan untuk
Pengalaman kerja menggunakan jumlah klien serta pendapatan audit.
2.1.5. Etika Auditor
Secara umum etika didefinisikan sebagai nilai-nilai tingkah laku atau
aturan aturan tingkah laku yang diterima dan digunakan oleh suatu golongan
tertentu atau individu (Sukamto , 1991 : 1). Menurut Suseno Magnis (1989 : 14)
dan Sony Keraf (1991 : 20) bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan
moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus
hidup sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas
memberi manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana harus hidup,
bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan
bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika
berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia
dalam hidupnya.
Dimensi etika yang sering digunakan dalam penelitian adalah 1)
kepribadian yang terdiri dari locus of control external dan locus of control
internal; 2) kesadaran etis dan 3) kepedulian pada etika profesi, yaitu kepedulian
pada Kode Etik IAI yang merupakan panduan dan aturan bagi seluruh anggota,
baik yang berpraktek sebagai Akuntan Publik, bekerja dilingkungan usaha pada
instansi pemerintah maupun dilingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan
tanggung jawab profesionalnya. Untuk tujuan itu terdapat empat kebutuhan dasar
37
yang harus dipenuhi yaitu kredibilitas, profesionalisme, kualitas jasa dan
kepercayaan.
Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik IAI adalah sebagai berikut :
1). Tanggung jawab professional
2). Kepentingan publik
3). Integritas
4). Objektifitas
5). Kompetensi dan kehati-hatian profesional
6). Kerahasiaan
7). Perilaku professional
8). Standar teknis, harus melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar teknis
dan standar profesional yang telah ditetapkan.
Etika dapat didefinisikan secara luas sebagai seperangkat prinsip-prinsip
moral atau nilai-nilai (Alvin A. Arens,at all, 2008). Sedangkan Maryani dan
Ludigdo (2001) dalam Alim et al. (2007) mendefinisikan etika sebagai
seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia,
baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh
sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi. Menurut
Alvin A. Arens,at all (2008: 68), alasan adanya harapan yang begitu tinggi pada
penerapan etika bagi profesi akuntan publik yaitu dikarenakan merupakan hal
yang penting bahwa klien dan pihak-pihak eksternal pengguna laporan keuangan
untuk memiliki kepercayaan dalam kualitas audit dan jasa lainnya yang diberikan
oleh akuntan publik.
38
Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan diatur oleh suatu kode
etik akuntan. Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik) berisi prinsip dasar
dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor
akuntan publik (KAP) atau jaringan KAP, baik yang merupakan anggota Ikatan
Akuntan Publik Indonesia (IAPI) maupun yang bukan merupakan anggota IAPI,
yang memberikan jasa professional yang meliputi jasa assurance dan jasa selain
assurance. Dalam penelitiannya, Alim et al. (2007) mengemukakan empat hal
yang digunakan sebagai indikator etika auditor yaitu (1) imbalan yang diterima,
(2) pengaruh organisasional, (3) lingkungan keluarga, dan (4) emotional quotient.
Teori egoisme termasuk dalam etika deontologi yang mengukur baik
buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan
itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu sendiri. Inti dari
pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya
bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri.
Karena itu, satu-satunya tujuan dan juga kewajiban moral setiap pribadi adalah
untuk mengejar kepentingannya dan memajukan diri sendiri. Teori egoisme
sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan egoisme psikologis.
Egoisme etis didefinisikan sebagai teori etika yang menyatakan bahwa
satu-satunya tolak ukur mengenai baik buruknya suatu tindakan seseorang adalah
kewajiban untuk mengusahakan kebahagiaan dan kepentingannya diatas
kebahagiaan dan kepentingan orang lain. Sedangkan egoisme psikologis adalah
pandangan yang mengatakan bahwa semua orang harus selalu dimotivasi oleh
39
tindakan, demi kepentingan dirinya belaka (Sonny Keraf dan Robert Haryono,
1995).
Teori eogisme atau egotisme yang diasaskan oleh Friedrich Wilhelm
Nietche mengungkapkan bahwa setiap orang mestilah bersifat keakuan, yaitu
melakukan sesuatu yang bermatlamat memberikan faedah kepada diri sendiri.
Dalam teori ini, setiap perbuatan yang memberikan keuntungan akan dianggap
sebagai perbuatan yang baik dan sebaliknya, perbuatan yang merugikan diri
sendiri dianggap sebagai perbuatan yang buruk.
Dalam kenyataannya, auditor sebagai pihak ketiga yang independen dan
bertugas menjadi penengah antara pihak agen dan principal, memiliki ego dalam
dirinya sendiri. Sehingga, walaupun memiliki kompetensi dan independensi yang
tinggi, terkadang auditor lupa akan etika profesi (Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia) yang harus ia jaga dikarenakan adanya ego tersebut. Bahkan, tidak
jarang, akibat tingginya tingkat kompetensi dan independensi yang dimiliki
auditor tersebutlah yang menyebabkan semakin tinggi pula rasa egois yang ada di
dalam dirinya sehingga dalam menjalankan tugasnya, auditor tidak lagi bekerja
sesuai etika profesi yang ada dan alhasil akan menghasilkan kualitas audit yang
rendah.
2.2. Review Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian yang dapat peneliti kumpulkan sebagai bahan
rujukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada table berikut :
40
Tabel : 2.1
Review Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti &
Tahun
Judul
Variabel
Hasil
1
Teguh
Harhinto
(2004)
Pengaruh
Keahlian dan
Independensi
Terhadap
Kualitas Audit
Studi Empiris
Pada KAP di
Jawa Timur
Keahlian,
independensi,
kualitas audit
Keahlian dan
independensi
Berpengaruh
signifikan
Terhadap kualitas
audit.
2
Riska Utami & Pengaruh Ukuran Pengalaman
Masa
Betri Sirajuddin Kantor
Akuntan kerja,
Perikatan,
Publik
(KAP),
(2005)
Tekanan Waktu.
Masa Perikatan dan
Kualitas Audit
Tekanan
Waktu
Terhadap Kualitas
Audit (Studi Kasus
KAP
di
Palembang)
3
Kusharyanti.
(2003)
Faktor factor yang Pengalaman
mempengaruhi
kerja,
kualitas audit
Kompetensi,
Pengalaman,
Kualitas Audit
4
Elfarini,
Eunike
Christina.
(2007)
Pengaruh
Kompetensi dan
Independensi
terhadap Kualitas
Audit (Studi
Kompetensi,
Independensi,
Kualitas Audit
Ada
pengaruh
signifikan
antara
Pengalaman kerja,
masa perikatan, dan
tekanan
waktu
terhadap kualitas
audit
Secara
parsial
disimpulkan bahwa
hanya
variabel
masa
perikatan
yang berpengaruh
signifikan terhadap
audit.
kualitas
Sedangkan,
variabel
Pengalaman kerja
dan tekanan waktu
tidak
memiliki
pengaruh
yang
signifikan terhadap
kualitas audit.
Pengalaman kerja,
Kompetensi,
Pengalaman
berpengaruh
terhadap kualitas
audit.
Kompetensi,Indepe
ndensi berpengaruh
terhadap
kualitas
audit
secara
41
Empiris pada
Kantor Akuntan
Publik Di Jawa
Tengah)
parsial
simultan
dan
5
Adi
Purnomo
(2007)
Persepsi Auditor
Keahlian,
Tentang Pengaruh Independensi,
FaktorFaktor Kualitas Audit
Keahlian Dan
Independensi
Terhadap Kualitas
Audit
pengalaman
dan
pengetahuan
berpengaruh
terhadap kualitas
audit. Sedangkan
faktorfaktor
independensi
menurut persepsi
auditor
hanya
tekanan klien yang
berpengaruh
terhadap
kualitas audit.
6
Bambang
Hartadi (2009)
Pengaruh
Fee
Audit, Rotasi KAP,
Dan
Reputasi
Auditor Terhadap
Kualitas Audit Di
Bursa
Efek
Indonesia
Fee
Audit,
Rotasi KAP Dan
Reputasi
Auditor,
Kualitas Audit
Fee
audit
berpengaruh
signifikan terhadap
kualitas
audit,
sementara
rotasi
dan reputasi audit
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
kualitas audit.
7
Marsellia,
2009
dkk.
Pengaruh
Kompetensi
dan
Independensi
Terhadap Kualitas
Audit
Dengan
Etika
Auditor
Sebagai Variabel
Moderator
(Studi
Empiris
Pada Auditor Di
KAP Big Four
Jakarta)
Kualitas Audit,
Kompetensi,
Independensi,
Etika Auditor
kompetensi,
independensi,
interaksi
antara
kompetensi
dan
etika auditor, serta
interaksi
antara
independensi dan
etika
auditor
memiliki pengaruh
yang
signifikan
terhadap kualitas
audit.
8
Icuk
Rangga,
Bawono Elisha
dan
Muliani
Singgih (2010)
Faktor-faktor
Dalam Diri Auditor
Dan
Kualitas
Audit: Studi Pada
KAP BIG FOUR
Di Indonesia
independensi,
pengalaman,
due professional
care,
akuntabilitas,
kualitas audit
independensi,penga
laman,
due
professional care
dan akuntabilitas
mempengaruhi
kualitas
audit
secara
42
berkelanjutan.
9
Bondan
Dwi Pengaruh
client
Utomo (2010)
contracting
environment,
reputasi klien, dan
Pengalaman kerja
terhadap pergantian
kap
pada
perusahaan
manufaktur yang
terdaftar di BEI
Client
Contracting
Environment,
Reputasi Klien,
Pengalaman
kerja terhadap
Pergantian KAP
10
Karina
Aningdita
Pratiwi (2013)
Pengaruh
Audit
Tenure, Reputasi
KAP, Disclosure,
Ukuran Perusahaan
Klien dan Opini
Audit Sebelumnya
Terhadap
Opini
Audit
Going
Concern
(Studi
Empiris
pada
Perusahaan
Manufaktur yang
Listing di BEI
Tahun 2007- 2011
opini
audit
going concern,
audit
tenure,
reputasi KAP,
disclosure,
ukuran
perusahaan
klien, dan opini
audit
sebelumnya
11
Diana Mostafa
Mohamed and
Magda Hussien
Habib
(2012)
Auditor
independence,
audit quality and
the mandatory
auditor rotation in
Egypt
Auditor
independence,
Audit quality,
Audit rotation
Perubahan
manajemen
dan
ukuran
KAP
adalah
penentu signifikan
pergantian
KAP.
Namun,
rapid
growth, opini
audit,
financial
distress, dan ukuran
perusahaan bukan
faktor
penentu
pergantian
auditor (KAP)
Disclosure
dan
opini
audit
sebelumnya
berpengaruh
signifikan terhadap
opini audit going
concern.
Disclosure
memiliki
nilai
signifikan berada,
dan opini audit
sebelumnya
memiliki
nilai
signifikan.
Audit
tenure,
reputasi
KAP, dan ukuran
perusahaan
klien
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
opini audit going
concern.
First,the
poor
structure
of
corporations
of
being closely held.
Second,the
voluntary switching
of auditors are for
43
12
.
Robert Houmes, Audit quality and
Maggie
Foley overvalued equity
and Richard J.
Cebula
(2013)
Auditing, Equity
capital,
Price
earning
ratio,
Audit quality,
Highly valued
equity,
Discretionary
accruals
purposes improving
the quality Third,
auditor rotation was
suggested by the
practitioners
in
order to overcome
the problems of
lack
of
independence and
that the mandatory
firm rotation is
suggested instead
of the mandatory
partner rotation.
of
tests
show
positive
and
statistically
significant
coefficients
for
each of the highlyvalued equity-audit
quality interaction
terms, suggesting
that when a firm is
highly valued the
accruals’
decreasing effect of
high
quality
auditors is reduced.