PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA SALATIGA - Test Repository

  

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK

LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN

PELAKSANA PEMILU

DI KOTA SALATIGA

Disusun Oleh;

Farkhani, S.HI., S.H., M.H

  

NIP.: 19760524 200604 1 002

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2018

KEMENTERIAN AGAMA

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN

MASYARAKAT (LP2M)

Jln. Lingkar Salatiga Km. 2 Pulutan Sidorejo Kota Salatiga Telp.

  (0298) 323706

  

PENGESAHAN

Judul :

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK

  

LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN

PELAKSANA PEMILU

DI KOTA SALATIGA

Peneliti: Farkhani, S.HI., S.H., M.H Tema Penelitian: 1. Pendidikan

  2. Hukum

  3. Ekonomi

  4. Budaya

  5. Sosial Salatiga, 30 September 2018 Kepala LP2M Dr. AdangKuswaya, M.Ag

  

ABSTRAK

  Secara garis besar, sistem pemilihan (pemilu dan pilkada) terbagi dua; secara langsung dan secara tidak langsung atau perwakilan melalui lembaga legislatif. Indonesia sebagai negara demokrasi dan menjunjung kedaulataan rakyat pun menerapkan sistem pemilihan. Dalam hal pemilihan kepala daerah, Indonesia pernah melaksanakan beberapa sistem, pada awal tahun 2018, muncul keinginan dari para elit politik untuk melaksanakan pilkada dengan sistem pemilihan tidak langsung. Untuk kepentingan ini, mengetahui pandangan dan argumentasi pegiat dan pelaksana pemilu daerah (Kota Salatiga) penting untuk diketahui untuk mengukur sebarapa kebernerimaan pada sistem pemilihan yang akan dilakukan.

  Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data melalui wawancara mendalam (indept interview) dan observasi lapangan. Obyek yang diteliti adalah para pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga.

  Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa munculnya wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari sistem langsung kepada sistem perwakilan (pemilihan melalui DPRD) adalah; a. dalam pemilihan langsung “energi” yang dikeluarkan dalam perhelatan pesta demokrasi itu tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh,

  b. ada “luka” yang tidak cepat sembuh dari hasil kontestasi yang melibatkan partisipasi langsung warga negara, c. anggaran negara yang sangat terkuras untuk pembiayaan pemilihan kepala daerah langsung di seluruh Indonesia serta pertimbangan untung rugi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan tidak langsung.

  Pandangan seluruh pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga seluruhnya tidak sepakat pada wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD. Argumentasi ketidaksetujuan mereka lebih dikarenakan; a. keterbatasan atau ketidaktahuan mereka tentang makna demokrasi dan kedaulatan rakyat yang hanya terbatas pada pengertian leterlijke dengan tidak mengimbangi pada perkembangan makna serta praktiknya di negara-negara modern. b. membatasi pemahaman partisipasi warga negara hanya pada keterlibatan mereka pada pesta demokrasi secara langsung, dalam artian memberikan suara langsung pada kontestan calon kepala daerah yang dipilihnya. c. kekhawatiran yang berlebihan terhadap akibat dari sistem pemilihan perwakilan, seperti politik transaksional antara kontestan dan anggota legislatif, perilaku koruptif yang akan tumbuh subur dan bagi-bagi proyek pembangunan daerah.

KATA PENGANTAR

  Segala puji bagi Allah swt dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman

  Penelitian ini mengangkat tema tentang pandangan pegiat dan pelaksana pemilu di Kotas Salatiga terhadap pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Oleh karenanya memahami makna demokrasi dan kedaulatan rakyat dari awal muunculnya ide dan teori itu serta aplikasinya dalam sistem ketatanegaraan harus utuh. Utuh dalam artian tidak sebatas pada makna etimologi kebahasaan tetapi juga pada perkembangan pemaknaanya serta aplikasinya dalam sistem dan bentuk negara modern. Keengganan untuk memahaminya secara baik dan “pemaksaan” paham bahwa demokrasi itu harus sesuai dengan apa yang telah dilaksanakan pada zaman lama dan telah berlalu akan mempersempit cara pandangan dan menutup kontektualitas atas aplikasi ide dan teori pada zaman yang telah berubah.

  Pegiat dan pelaksana pemilu wajib memiliki pengetahuan yang holistik terhadap ide dan teori demokrasi dan kedaulatan rakyat, sehingga ia akan dapat memahami dinamika dan variasi penerapannya di berbagai sistem ketatanegaraan yang ada, termasuk di Indonesia.

  Akhirnya, peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang membantu terselesaikannya penelitian ini, terutama kepada mahasiswa sebagai asisten peneliti yang bertugas menggali data di lapangan (Alvika, Heru dan kawan-kawan) dan semoga penelitian ini bermanfaat.

  Peneliti Farkhani, S.HI., S.H., M.H

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ….……………………………………. i

PENGESAHAN PENELITIAN ... ……………………….. ii

ABSTRAK …………………………………………………. iii

KATA PENGANTAR ……………………………………… iv

DAFTAR ISI .

  ……………………………………………… v

  BAB I PENDAHULUAN

  ………………………………….... 1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………. 1 B. Rumusan Masalah …………………………………… 8 C.

  Tujuan Penelitian…………………………………….... 8 D.

  Signifikansi Penelitian……………………………….... 9 E. Kerangka Teoritik ......................................................... 11 F. Tinjauan Pustaka ………………………………….... 13 G.

  Metodologi Penelitian …… .……………………. 15

  1. Jenis Penelitian ….………………………….. 15

  2. Metode Pengumpulan Data ........................... 16

  3. Teknik Analisis ...... ….……………………….. 16 H.

  Sistematika Pembahasan………………...……………….. 16

  BAB II PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA....................

  18 A. Negara dan Demokrasi …………………………... 18 B. Pemilihan Umum di Indonesia ..........… …………. 29

  1. Pemilihan Umum ...................................................... 31 2.

  Pemilukada ................................................................. 32 C. Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia ....................... 34

  1. Sejarah pemilihan kepala daerah ............................. 35 2.

  Sistem pemilihan kepala daerah ........................... 41

  

BAB III PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA

SALATIGA DAN PANDANGANNYA TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …………….. . 45 A. Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota Salatiga ....... 45

  1. JPPR Kota Salatiga .............................................. 47

  2. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Salatiga ................................................................ 48

  3. Badan Pengawas Pemilu Daerah (bawaslu) Kota Salatiga ................................................................. 53

  B. Pandangan Pegiat dan Pelaksana Pemilu Kota Salatiga terhadap Pemilihan Kepala Daerah Secara Tidak Langsung ...................................................................... 59

  BAB IV ANALISIS PANDANGAN PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU KOTA SALATIGA TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG .......................... 67

A. Praktik Demokrasi di Indonesia dan Teori Kedaulatan

Rakyat.................................................................................... 67 1. Praktik demokrasi di Indonesia ................................ 67 2. Teori kedaulatan rakyat ............................................. 69 B. Analisi Pandangan Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota Salatiga Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Tidak Langsung ............................................................................ 72

  1. Pemilihan kepala daerah langsung dianggap sebagai manifestasi makna demokrasi dan kedaulatan rakyat .......................................................................................... 73

  2. Kekhawatiran terhadap pemilihan perwakilan ..... 82 3.

  Traumatik pemilihan perwakilan semu ................... 84

  

BAB V PENUTUP………………………………………… 85

A. Kesimpulan .................................................................. 85 B. Saran .............................................................................. 86

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………… 87

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara adi kodrati, manusia disamping sebagai

  makhluk individu juga mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur jiwa dan raga. Unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut lagi sebagai individu yang hidup. Sebagai makhluk individu memiliki kebebasan yang tidak terbatas pada untuk mengekspresikan kehendak pribadinya dan segala apa yang melakat secara inhern dalam lahiriyah dan batiniyahnya. Sebagai makhluk sosial seseorang individu harus hidup berdampingan dengan orang lain, bahkan makhluk hidup lainnya (Ni Wayan Suarmini, Ni Gusti Made Rai, Marsudi, 2016).

  Sebab sebagai makhluk sosial, yang menjadikan individu manusia menjadi bagian dari sebuah sistem sosial. Setiap individu manusia harus menata dirinya, melepaskan atau mengambil, membuang atau menerima dan lain sebagainya dalam tingkah tutur dan tingkah laku dalam komunitas manusia dimana ia menjadi bagiannya.

  Dalam kehidupan bermasyarakat inilah individualisme yang menjadi bagian dari hak sebagai makhluk indvidu menjadi terbatasi secara alamiah maupun mengikuti konstruk sosial yang dibangun. Kebebasan individu yang diumbar sedemikian bebasnya akan merusak tatanan sosial yang dibangun dan menjadikan manusia liar seperti hewan yang tidak memiliki tata aturan atau kaidah luhur dalam kehidupan bersama. Aturan dalam dunia hewan hanya bagaimana tetap survive dan berkembang dengan cara mempergunakan kekuatan yang ada pada dirinya. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa atas segalanya.

  Manusia bukanlah hewan, manusia adalah makhluk termulia yang diciptakan Tuhan untuk memakmurkan bumi (QS. al-Tin: 5 dan al- Baqarah: 30). Bekal akal yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa, digunakan untuk memikirkan bagaimana menyeimbangkan antara manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.

  Agar terjadi keharmonisan dalam melakukan interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial, tingkah laku manusia perlu diatur sedemikian rupa dalam kehidupan sosialnya. Hukum adalah pranata terbaik itu kepentingan itu. Karena hukum adalah aturan-aturan kongkret yang membatasi pola-tingkah individu dalam masyarakat. Awal keberadaan hukum memang tidak dapat diprediksi, namun jika ungkapan klasik ubi societes ibi ius, hukum itu ada sejak masyarakat ada (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41). Dalam al- Qur’an pun menyebutkan bahwa hukum itu untuk manusia ketika manusia (Adam) berdampingan dengan manusia lainnya (Hawa) (QS. al- Baqarah: 35).

  Sebagai satu konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial -Plato: zoon politicon, Ibnu Khaldun: al-insanu

  bi al- thabi’i- keberadaan seorang pemimpin dalam barisan

  entitas sosial manusia adalah sebuah keniscayaan. Bahkan menjadi persoalan yang paling esensial dan krusial dalam kehidupan mereka. Persoalan ini sesungguhnya telah menjadi bagian dari hukum alam (sunnatullah) pada setiap makhluk hidup ciptaan Tuhan. Perhatikanlah dunia binatang, setiap kali ada sebuah koloni binatang tertentu, niscaya di tengah-tengah mereka ada satu yang menjadi pemimpinnya. Pempimpin dari mereka biasanya yang paling besar atau paling kuat, paling cantik, paling produktif atau karena sebab-sebab lain yang sesuai dengan/dalam kebiasaan koloni binatang tersebut.

  Apalagi manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dalam penciptaannya, dari awal penciptaannya sudah dilengkapi berbagai perangkat hidup pada dirinya guna menjalankan misinya sebagai pemakmur bumi. Menjadi pemakmur bumi yang begitu luas tidak dapat dilakukan sendiri, butuh kawan, ada menejerial dan yang lebih penting dari itu adalah perlu adanya pemimpin, yang bekerja, mengorganisir dan memenej individu dan masyarakat untuk bekerja, berbuat dalam rangka memakmurkan bumi.

  Lain dari pada itu, pada saat kita memperbincangkan sejarah peradaban manusia, bercerita tentang kemajuan budaya, teknologi, ilmu pengetahuan, kekuasaan dan kejayaan sebuah kaum, dinasti, kerajaan, bangsa dan negara atau kegemilangan ekspedisi dan invasi ataupun kolonialisasi, tidak akan pernah lengkap kisah sejarah itu tanpa menyertakan nama-nama pemimpinya. Bila berbicara berkenaan dengan pemimpin maka akan berbicara pula dengan kepemimpinan, cara pemilihannya bahkan sampai berakhir kekuasaannya dan terpilih pemimpin yang baru.

  Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan lahir sebagai suatu konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang lahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial (Plato: zoon politicon) yang sangat tinggi dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia kemudian menyusun organisasi dari yang terkecil sampai yang terbesar sebagai media pemenuhan kebutuhan serta menjaga berbagai kepentingannya. Bermula dari hanya sebuah kelompok, berkembang hingga menjadi suatu bangsa. (Farkhani: 2016).

  Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state), semenjak kelahirannya mamandang penting keberadaan pemimpin negara. Oleh karena setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara Indonesia, pada hari berikutnya saat sidang BPUPKI, selain berisi pengesahan konstitusi negara (UUD 1945) juga ikut ditunjuk Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden atas usulan Otto Iskandardinata.

  Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi berasaskan Pancasila dan UUD 1945, mengatur sedemikian rupa sistem dan teknis pemilihan pemimpin negara dan pemimpin daerah. Pada masa-masa awal terbentuknya negara digunakan mekanisme penunjukan sebagai upaya untuk menghindari kondisi facum of power dan untuk memperteguh Indonesia sebagai sebuah negara juga agar roda pemerintahan berjalan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Pada fase berikutnya, pemilihan pemimpin negara dan daerah dilakukan dengan cara perwakilan dalam sidang-sidang parlemen, pada masa reformasi pemilihan kepala negara (presiden dan wakil presiden) dilakukan dengan cara langsung atas amanat Amandemen UUD 1945 dan terealisasi dalam pemilu tahun 2004 (Farkhani, 2011: 31). Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah baru dapat direalisasikan pada bulan Juni 2005.

  Sejak bulan Juni 2005 itulah, Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan ditingkat lokal. Kepala daerah baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, mulai Juni 2005 dipilih langsung oleh rakyat, melalui proses pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan pilkada langsung. Untuk kepentingan ini, pemerintah telah mensahkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 (Muhammad Asfar: 2005).

  Dalam negara demokrasi, sistem pemilihan kepala negara, kepala pemerintahan, senator (wakil rakyat), lembaga atau institusi pemerintahan yang merepresentasikan rakyatnya hanya dikenal dengan dua sistem; pertama sistem pemilihan lewat perwakilan dan kedua, sistem pemilihan langsung.

  Tujuan yang hendak dicapai dari dua sistem atau model tersebut adalah pemimpin atau wakil-wakil yang terpilih benar-benar mencerminkan representasi rakyat (pemilih) dan mendapatkan legitimasi yang kuat dari pemilih serta dapat mengatasnamakan rakyat dan mempertanggungjawabkannya pada rakyat. Legitimasi tersebut mencakup legitimasi secara yuridis, artinya keterpilihan wakil-wakil rakyat (eksekutif maupun legislatif) betul-betul berlandaskan pada prosedur dan proses pemilihan yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, legitimasi sosiologis, artinya wakil- wakil rakyat itu terpilih dengan prosedur dan tata cara yang memelihara dan mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dan norma-norma sosial sebagai perwujudan mekanisme partisipasai, kontrol, pendukungan dan penagihan janji rakyat terhadap wakil-wakilnya. Juga legitimasi etis yang mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral (Joko J. Prihatmoko, 2005: 101). Model pemilukada yang baru ini, menjadi suhu politik di daerah bergairah, dinamis dalam dimensi positif dan negatif perpolitikan di daerah di seluruh wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak hanya suhu politik yang bergairah, sektor ekonomi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada juga ikut terkerek naik, warna dan corak politik pun bermunculan, baik sektarian maupun idelogis sampai pada politik transaksional.

  Setelah lebih dari satu dasawarsa penyelenggaraan pilkada langsung dengan ragam gegap gempita, keterlibatan langsung masyarakat pemilih dan para penggembiranya, budaya politik lokal yang bergairah dan berubah, hasil yang diperoleh dari produk pilkada langsung berupa pemimpin daerah yang beragam kapasitas, kapabilitas, dan integritasnya serta hasil pengelolaan otonomi daerah oleh pemimpin kepala daerah hasil pilkada langsung, kini tiba-tiba muncul wacana, diskursus tentang pembelokan kembali pada sistem pemilukada tidak langsung yang telah terkubur 14 tahun yang lalu.

  Sistem pemilukada tidak langsung yang diangkat lagi walau baru sebatas wacana ini bukan tanpa sebab. Pengalaman 14 tahun penyelenggaraan pemilukada langsung dengan hasil yang diperolah dari perhelatan tersebut di pandang tidak equivalen dengan “energi’ yang dikeluarkan oleh para penyelenggara negara, partai politik dan masyarakat pemilih. Ongkos, ekonomi, ongkos politik, dan ongkos sosial (budaya) nya terlalu tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dari pagelaran pilkada langsung.

  Bila kita memperhatikan diskurus para elit melalui ragam media, dapat disimpulkan beberapa alasan untuk menggeser sistem pemilihan kepala daerah langsung kepada sistem lama yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru dan awal masa Orde Reformasi, sebagai berikut; pertama, dari sisi penyelenggaraan negara; negara menciptan lembaga-lembaga baru yang berkaiatan dengan penyelenggaraan pemilu dari hulu sampai hilir, seperti KPU Daerah, Bawaslu Daerah, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sampai pada Pantarlih dan lain-

  

lain. Keberadaan lembaga-lembaga baru ini jelas membutuhkan

energi baik sumber daya manusianya sampai pada sumber daya

keuangan yang jelas memberi beban cukup signifikan bagi APBN.

Kedua bagi partai politik, pilkada langsung menguras banyak

“energi”; pencarian kader yang mumpuni dan memiliki eletablitas

tinggi yang tidak mudah, merancang koalisi, merancang

kampanye dan lain sebagainya yang membutuhkan banyak waktu,

biaya, pikiran, tenaga dan sumber daya lainnya. Ketiga, bagi

masyarakat pemilih ikut terkura s “energinya”; terbuang waktu,

terganggung oleh hingar bingar kampanye, perbedaan pilihan

dalam satu keluarga atau komunitas, terkuras emosi dan bahkan

dimanfaatkan oleh partai politik atau kontestan untuk bersitegang

dengan lembaga negara penyelenggara pemilu bahkan dengan

kawan sedaerah dan lain-lain.

  Wacana perubahan sistem pemilihan pemilu dari langsung

menjadi tidak langsung, pasti akan berimbas kepada keberadaan

para pegiat pemilu, terutama yang berada di daerah-daerah,

seperti KPU Daerah, Bawaslu Daerah dan lembaga swadaya

masyarakat pengawas dan pemantau pemilu daerah yang

independen.

  Penelitian ini dibuat untuk menggali bagaimana reaksi

  para pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga, terutama bagi mereka yang “bergiat” di lembaga-lembaga negara maupun lembaga swadaya masyarakat, terhadap wacana pengembalian sistem pemilu kada dari secara langsung menjadi tidak langsung.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasar pada latar belakang masalah yang disampaikan tersebut di atas, muncul beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan rumusan masalah untuk kepentingan penelitian ini, yaitu;

  1. Apakah yang mendorong wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari sistem secara langsung menjadi kembali pada sistem pemilihan secara tidak langsung?

  2. Bagaimanakah pandangan para pegiat dan pelaksana pemilukada di Kota Salatiga terhadap wacana perubahan sistem pemilukada dari pemilihan secara langsung mengjadi secara tidak langsung?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah;

  1. Untuk mengetahui indikasi atau argumentasi apakah yang mendorong wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari sistem secara langsung menjadi kembali pada sistem pemilihan secara tidak langsung? 2. Untuk mengetahui bagaimanakah tanggapan atau reaksi dari para pegiat pemilukada di Kota Salatiga terhadap wacana perubahan sistem pemilukada dari pemilihan secara langsung mengjadi secara tidak langsung?

D. Signifikansi

  Signifikansi dari penelitian ini adalah: 1. Teoritik

  Secara teoritik penelitian ini mengetahui tentang segala hal yang berkaitan dengan pemilihan umum secara umum dan secara khusus tentang pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pengetahuan tentang hal ini dapat bermula dari pengetahuan tentang negara hukum dan demokrasi model Indonesia, pemilihan umum yang menjadi sebuah keharusan dalam negara demokrasi, pemilihan sistem yang digunakan dalam pemilihan serta perubahan bolak-balik yang mungkin terjadi dalam pemilihan sebuah sistem dalam penyelenggaran pemilihan kepala daerah khususnya.

  Dalam penelitian ini juga kita bisa mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukan sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung berhadapan secara biner dengan makna demokrasi, terutama dalam tataran etimologis, serta melihat sejarah dan pemilihan kepala daerah yang pernah berlaku di Indonesia.

  Dalam penelitian ini pula, kita bisa melihat ragam argumentasi ilmiah dan/atau unsur-unsur pendorong apa saja yang membuat satu sistem pemilihan dapat berganti-ganti dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia.

2. Praktis:

  a. Bagi IAIN Salatiga Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan oleh

  IAIN Salatiga sebagai bukti bahwa para akademisinya tidak henti melakukan salah satu tanggung jawab tri darma perguruan tinggi, yakni di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

  Penelian ini diharapkan akan menjadi pemicu untuk lahirnya karya-karya baru yang sejenis atau bahkan muncul variasi lain yang akan memperkaya khazanah keilmuan di IAIN Salatiga, memunculkan sifat kritis dalam bentuk falsifikasi, negasi atau bentuk penguatan dari penelitian ini.

  Hasil dari penelitian ini bisa juga dijadikan bukti tertulis dan dipublish dalam jurnal hukum yang terakreditasi, sehingga menjadi bukti bahwa di

  IAIN Salatiga ada dosen yang cukup konsen dan kompeten dalam bidang hukum. Show of force kompetensi keilmuan dari para dosen ini diharapkan dapat dijadikan entry point sebagai pendulang banyaknya masyarakat Salatiga dan sekitarnya atau bahkan seluruh Indonesia tertarik untuk kuliah di

  IAIN Salatiga.

  b.

  Bagi Masyarakat Masyarakat akan mengetahui, mengerti sistem pemilihan kepala daerah yang menjadi bagian dari kehidupan sosial-politiknya guna mendapatkan pemimpin daerah yang dapat diharapaka kinerja dan kerjanya untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Dari sini juga masyarakat diharap dapat membandingkan apakah perubahan sistem yang nantinya bisa dilaksanakan akan mendapatkan hasil yang sama dengan sistem sebelumnya atau tidak, sehingga ke depan masyarakat dapat memberikan sumbangan dalam bentuk partisipasi pemikiran disertai dengan fakta yang dirasakan di daerah atas pilihan sistem pemilihan kepala daerah yang berubah-ubah.

E. Kerangka Teoritik

  Sejak keberhasilan Pemilu tahun 2004 yang berjalan lancar dan dan damai serta tingkat partisipasinya yang sangat tinggi, dunia internasional menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Puja-puji datang dari seluruh penjuru dunia dan ada keingin belajar demokrasi dengan Indonesia dengan penduduk yang sangat besar dan sangat heterogen dari segi bahasa, adat- istiadat, dan agamanya.

  Adanya penyelenggaan pemilu seperti itu sebenarnya sebuah konsekuensi dari deklarasi Indonesia sebagai negara demokrasi dan sekaligus perintah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Para founding fathers negara banyak yang tahu bahwa konsep demokrasi ini selalu diperdebatkan dan perdebatannya tak kunjung berhenti. Walaupun demikian mereka memilih konsep ini sebagai upaya untuk menjadi negara yang baik dan mencapai cita dan tujuan negara. Contoh konsep demokrasi selalu diperdebatkan baik dalam konsep maupun praktik adalah sebagaimana yang pernah dikatakan oleh W.B. Gallie;

  “demokrasi merupakan suatu konsep yang pada prinsipnya masih diperdebatkan. Ia memandang bahwa ada perselisihan pandangan menyangkut konsep-konsep semacam itu.....yang benar-benar asli...konsep-konsep yang pemanfaatannya yang mau tak mau mengundang perselisihan tak henti-hentinya di pihak penggunanya. .....Pengakuan bahwa suatu konsep pada dasarnya masih diperdebatkan menyiratkan pula pengakuan tentang pemanfaatan yang berbeda- beda... (John L. Esposito dan John O. Voll, 1999: 14-15).

  Begitu pula dalam memberikan kriteria negara demokrasi, tidak ada yang tunggal dan sama, masing- masing ahli berbeda. Amien Rais memberikan 10 kriteria negara demokratis; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi pendapat secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan

  

fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu, (9)

  semangat kerja sama dan (10) hak untuk protes (Mahfud MD, 1999: 183-185). Kriteria negara demokrasi yang paling singkat disampaikan oleh John Waterbury, yaitu negara yang menjamin kesetaraan dalam bernegoisasi (a bargained aquilibrium) (Ghassan Salame [Ed.], 1996).

  Dari semua sarjana yang memperbincangkan negara demokrasi, semua tak ada yang menolak mempersyaratkan adanya pemilihan umum yang digelar untuk mendapatkan pemimpin negara.

  Indonesia dalam perjalanan evolusi demokratisasi, dari mulai edisi demokrasi liberal (1945-1949) sampai Orde Reformasi (Farkhani, 2011) penyelenggaraan pemilu diakui dan dilaksanakan, pelaksanaan pemilu pertama kali pada tahun 1955.

  Terhadap penyelenggaraan pemilu daerah ada problem interpretasi terhadap klausul “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Perdebatan dilasnakan dengan sistem pemilihan secara langsung dan secara tidak langsung akhirnya diakhiri dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada

  pasal 24 ayat (5) disebutkan; “kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Akhirnya pilkada pada tahun 2005 dimulai dengan sistem langsung, setelah pada zaman Orde Baru sampai pada awal Orde Reformasi dilaksanakan dengan sistem perwakilan (tidak langsung), di pilih dalam rapat paripurna DPRD.

  Kini wacana untuk kembali pada sistem perwakilan (pemilihan tidak langsung) sedang digulirkan dengan ragam argumentasi yang diberikan. Sebab negara Indonesia adalah negara hukum, maka problem hukum seharusnya diselesaikan terlebih dahulu jika secara hukum ada hambatan-hambatan. Misalanya merubah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 khusus pada pasal yang berbicara tentang pemilihan kepala daerah.

F. Tinjauan Pustaka

  Berkenaan dengan sistem pemilu secara umum ataupun yang berbicara tentang pemilihan kepala daerah cukup banyak dilakukan, diantaranya; 1.

  Disertasi Siti Hasanah (2018) dengan judul Sistem Pemilu dan Kualitas Produk Legislasi di Indonesia.

  Hasil penelitiannya menyatakan bahwa produk ligislasi DPR yang kaitannya dengan penyelenggaraan (sistem) pemilu telah banyak dilakukan sejak rezim Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi yang isinya tentang pengaturan sistem pemilu yang berubah-ubah dari satu sistem ke sistem yang lain dari satu model ke model lainnya, dan produk legislasi tentang pemilu dari satu rezim bisa mencapai lebih dari 500 produk. Disertasi ini juga memberikan tawaran sistem baru yang disebut Four Sieve Election System (Sistem Pemilu Empat Saringan). Yaitu tawaran sistem pemilu efektif yang terbangun sebagai upaya pemetaan kelemahan sistem pemilu proporsional tertutup dan proporsional terbuka, yang keduanya dapat dikatakan belum sebagai sistem yang baik. Sebab sistem pemilu yang baik adalah sistem pemilu yang terselenggara secara demokratis dan menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas.

  Four Sieve Election System (Sistem Pemilu Empat

  Saringan) adalah integrasi dari sistem distrik, sistem proporsional, dan sistem transverable vote, kemudian dipadu-padankan untuk menutupi kelemahan- kelemahan yang ada pada masing-masing sistem.

2. Tesis Farkhani (1999) dengan judul Model

  Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) (Studi tentang Legal Formal Pilkada Gabungan). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pilkada langsung menemukan praktek dan wacana yang menguat untuk melaksanakan pilkada gabungan dengan cukup berlandasankan aturan hukum pasal 235 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Prakteknya beberapa pilkada gabungan menuai sukses dan ada efesiensi penggunaan anggaran yang cukup signifikan dan mengurangi volumi pemilihan di wilayah Indonesia.

  Penilitian yang dilakukan peneliti ini berbeda dengan penelitian-penelitian dimuka, titik tekannya lebih khusus pada pandangan atau pendapat dari para pegiat pemilu di Kota Salatiga atas kembali menguatnya wacana pengembalian sistem pemilukada pada sistem perwakilan, dipilih oleh para anggota ligislator di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

G. Metodologi

  1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian lapangan (field research), atau penelitian hukum non-doktrinal. Dalam penelitian non doktrinal ini ada dua kemungkinan yang diambil, masuk dalam genre sociolgy of law (sosiologi hukum),

  basic keilmuannya ilmu sosiologi dan hukum menjadi

  kajiannya atau sociological jurisprudence (sosiologi jurisprudensi), basic keilmuannya hukum dan obyek yang dikaji adalah masyarakat.

  Penelitian non doktrinal yang sedang dilakukan ini termasuk dalam sociological

  jurisprudence , sebab yang dikaji adalah wacana yang

  kontennya berkaitan erat dengan norma, dalam hal ini tata aturan dalam peraturan perundang- undangan yang selama ini dijadikan pijakan dalam penyelenggaraan pemilukada dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa pasca reformasi dan melihat bagaimana kebernerimaan, respon atau umpan balik masyarakat terhadap problem yang sedang dihadapi soal wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi secara tidak langsung (sistem perwakilan).

  2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi.

  Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara, yaitu dengan jalan menjalin komunikasi melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden). Komunikasi ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan ragam media yang mungkin dapat digunakan untuk terkumpulnya data yang diinginkan (Rianto Adi, 2005: 72).

3. Teknik Analisis

  Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif dengan model deskriptif-analitis, yaitu data yang diperoleh akan diuraikan dalam penelitian ini dengan memberikan gambaran tentang sistem pemilukada yang berlaku dengan landasan hukum yang menyertainya dan wacana yang sedang tren diperbincangkan kemudian mempertemukannya dengan ragam reaksi, tanggapan atau umpan balik dari para pegiat pemilu di Kota Salatiga (model induktif).

H. Sistematika Pembahasan

  Laporan penelitian yang akan disampaikan adalah menurut sistematika sebagai berikut: Bab pertama tentang pendahuluan, pada bab ini dipaparkan secara argumentatif latar belakang masalah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang hal ini. Selanjutnya rumusan masalah yang ada yang menjadi obyek eksplorasi yang urgen untuk dijawab dalam pembahasan penelitian selanjutnya yang harus dijawab, tujuan dan manfaat dari penelitian, kajian pustaka, kerangka penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

  Bab dua, pada bab ini akan di bahas mengenai pemilihan umum dalam negara demokrasi Indonesia, sistem pemilukada yang berlaku di Indonesia.

  Bab tiga, pada bab ini akan dibahas tentang para pegiat pemilu yang ada di Kota Salatiga seperti para komisoner KPU Daerah, Bawaslu Daerah.

  Bab empat, berisi tentang hasil penelitian, pengkajian dan analisis terhadap cara pandang (persepektif) para pegiat pemilu di Kota Salatiga terhadap wacana pemilukada secara langsung, apa akibatnya dan landasan yuridis apa yang mungkin dapat dijadikan pijakan untuk perubahan tersebut.

  Bab lima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran penulis berdasar ada hasil penelitian.

BAB II PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA A. Negara dan Demokrasi Para ahli memberikan gambaran lembaga negara

  dengan berbagai macam tamsil. Pertama; Plato, sebagai ahli yang diyakini pertama kali memperkenalkan konsep negara dalam kehidupan komunal manusia, menjelakan bahwa organisasi negara tidak berbeda jauh dalam tujuan filosofisnya dengan manusia (naturlijke person), yaitu mengedepankan dan menjunjung tinggi moralitas. Karena moral menjadi sesuatu yang paling hakiki dalam negara, maka menurut Plato, para penguasa negara dan rakyatnya pun harus berada pada posisi menunjung nilai moral dalam bernegara. Nilai moral yang paling dikedapankan Plato adalah kebajikan. Kebajikan akan diperoleh bila para penguasa negaranya mengerti betul tentang nilai-nilai kebajikan. Pengertian tersebut hanya akan diperoleh apabila penguasa itu memiliki ilmu yang luas. Untuk menjembatani ketersedian calon penguasa yang berwawasan luas adalah tersedia lembaga pendidikan yang memadai (Farkhani, 2017: 21-22).

  Berkenaan dengan konsep tegas Plato tentang negara, baginya negara ideal adalah komunitas etikal untuk mencapai kebajikan dan kebaikan. Plato pernah mengatakan, “negara ideal hakekatnya adalah suatu keluarga, di dalam negara kamu semua bersaudara, siapapun yang dijumpai seseorang ia akan mengira ia sedang berjumpa dengan saudara lelaki atau saudara wanita, atau ayah atau ibu, atau seorang putra atau putri...., karena itu negara tidak terlalu kecil dan tidak terlalu luas.” (J.H. Rapar, 2001: 54-55). Artinya pergaualan dalam menjalankan negara harus dijalan dengan kesadaran etik (moralitas) yang tinggi, baik pemimpin maupun warga negaranya. Dalam keluarga tangung jawab pemimpin keluarga dijalankan dengan kesadaran etik bahwa ia harus dapat menjamin dan memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga dengan keadilan sesuai porsinya, yang dipimpin menghormati dan saling menjaga keadaran etik pula agar kondisi keluarga dalam tenteram dan damai serta bahagia bersama.

  Kiranya pandangan Plato tentang negara etik ini, dipengaruhi oleh ajaran luhur gurunya, Socrates. Buktinya adalah cuplikan pembelaan Socrates pada saat ia disidang oleh 500 Juri di Pengadilan Athena yang ditulis sangat baik oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Apologia;

  “Aku harus mengulang kata-kataku ini kepada siapapun yang kutemui, baik tua ataupun muda, warga di sini atau orang asing, tapi terutama kepada para warga karena merekalah saudara-saudara terdekatku. Bahwa ini adalah

  perintah Tuhan , dan aku yakin tak ada kebaikan

  yang lebih baik pada negeri ini selain pengabdianku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah mengajak kalian semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu! Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta, tapi bahwa dari kebajikan itulah — harta dan segala hal yang baik dari diri manusia akan muncul, baik di sisi publik maupun individu. Inilah yang aku ajarkan” diunduh pada tanggal 3 Juni 2014).

  Setelah selesai seluruh proses peradilan terhadap Socrates, ia dihukum mati dengan tuduhan meracuni pemikiran kaum muda Yunani. Bila memperhatikan cuplikan pembelaan Socrates tersebut, maka kesadaran etik yang dimaksud Plato adalah berdasar ajaran-ajaran ke- Tuhan-an atau moralitas transendental yang dielaborasi sedemikian rupa kemudian diejawantahkan dalam segala sendi kehidupan bernegara. Jadi bagi Plato, moralitas transendental harus melingkupi setiap relung kehidupan bernegara, baik negara itu kecil ataupun besar.

  Tamsil negara menurut Aristoteles mempertegas atau memperjelas cara berfikir Plato yang menginginkan negara yang tidak terlalu kecil tapi tidak juga terlalu besar. Bagi Aristoteles negara itu hendaknya berbentuk polis (negara kota). Karena negara kota adalah negara yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Negara yang terlalu kecil akan terlalu sulit untuk mempertahankan eksistensinya, sedangkan negara yang terlalu besar akan terlalu sulit untuk mengelolanya. Namun bagi Aristoteles, negara adalah persekutuan hidup dalam jenjang yang tertinggi, di atas apa yang disebut keluarga dan desa. Negara adalah persekutuan hidup yang paling berdaulat, melingkupi persekutuan-persekutuan hidup yang lebih kecil yang hidup dalam sebuah negara, negara menjadi pengendali, pengayom bagi seluruh manusia yang hidup didalamnya (Farkhani, 2017: 24).

  Dari pandangan guru-murid ini terlihat ada pergeseran, dari nilai luhur yang dikedepankan menuju pembentukan birokrasi dari struktur yang terendah sampai yang tertinggi. Walaupun tidak mengatakan bahwa moralitas transendental tersingkir dalam cara pandang Aristoteles dalam memaknai negara.

  Ilmuan Islam, al-Farabi memberikan tamsil negara bagaikan tubuh manusia. Tubuh manusia memiliki sistem kerja yang unik yang satu bagian dengan bagian lainnya saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing, dan jantung menjadi pusat dari segala organ yang ada.

  Jantung bertugas menyuplai kebutuhan darah keseluruh anggota tubuh yang ada. Jantung menjadi ibarat sebagai pemimpin sebuah negara, pelayan rakyat yang menjamin kesejahteraan seluruh warga negara. Warga negara sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya menjalankan fungsinya masing-masing, bekerja untuk menjaga keutuhan negara dan agar keadilan tercipta dalam negara itu. Konsep negara utama al-Farabi ini sangat jelas dipengaruhi oleh pandangan Plato, yang membagi warga negara dalam tiga kelas; kepala negara, militer dan rakyat (Farkhani, 2017: 57). Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di negara itu.

  Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya negera yang fasik, negara yang bodoh, atau negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam: pertama, negeri darurat (daruriah), yaitu negera yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, negeri kapitalis (baddalah), yaitu negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, negeri gila hormat (kurama), yaitub negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja. Ketiga, negeri hawa nafsu (khissah wa syahwah), yaitu negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat, negeri anarkis ( jami’iah), yaitu negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing (Al- Farabi, tt: 84).