PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP REAKSI PASAR (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur Sub Sektor Food and Beverages yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2011-2016) - UMBY repository

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Landasan Teori 2.1.1.

  Teori Keagenan Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak diantara para anggota perusahaan, terutama hubungan antara pemilik (principal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu orang atau lebih pemilik (principal) yang menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Michelson et al (1995) mendefinisikan keagenan sebagai suatu hubungan berdasarkan persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (principal). Pemilik akan mendelegasikan tanggungjawab kepada manajemen, dan manajemen setuju untuk bertindak atas perintah atau wewenang yang diberikan pemilik.

  Principal dan agent diasumsikan sebagai pihak-pihak yang

  mempunyai rasio ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga, walau terdapat kontrak, agent tidak akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Pemilik akan mendorong agent agar memkasimalkan nilai perusahaan. Alasannya, kesejahteraan pemilik akan meningkat seiring dengan peningkatan nilai perusahaan itu. Sedangkan, manajer akan berperilaku oportunis karena menguasai informasi keuangan perusahaan. Artinya, perilaku oportunis seorang manajer mengimplikasikan upaya manajer dalam metransfer kemaksmukan pemilik perusahaan kepada dirinya. Hal ini sejalan dengan teori agensi yang menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan akan mendorong setiap pihak berusaha memaksimalkan kesejahteraan masing-masing.

  Informasi dalam teori agensi digunakan untuk pengambilan keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi dan membagi hasil sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi agen untuk berusaha seoptimal mungkin dan menyajikan laporan akuntansi sesuai dengan harapan prinsipal sehingga dapat meningkatkan kepercayaan prinsipal kepada agen (Faozi, 2002).

  Dalam hubungan antara agen dan prinsipal, akan timbul masalah jika terdapat informasi yang asimetri (information asymetry). Scott (1997) menyatakan apabila beberapa pihak yang terkait dalam transaksi bisnis lebih memiliki informasi daripada pihak lainnya, maka kondisi tersebut dikatakan sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi dapat berupa informasi yang terdistribusi dengan tidak merata diantara agen dan prinsipal, serta tidak mungkinnya prinsipal untuk mengamati secara cenderung melakukan perilaku yang tidak semestinya (disfunctional

  behaviour ). Salah satu disfunctional behaviour yang dilakukan agen

  adalah pemanipulasian data dalam laporan keuangan agar sesuai dengan harapan prinsipal meskipun laporan tersebut tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya.

2.1.2. Manajemen Laba 2.1.2.1.

  Definisi manajemen laba Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, dan menambah bias dalam laporan keuangan serta mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Achmad, et al., 2007). Assih (2000) mengemukakan bahwa manajemen laba merupakan proses yang dilakukan manajer dalam batasan general accepted accounting principles, yang sengaja mengarah pada suatu tingkatan yang diinginkan atas laba yang dilaporkan. Manajemen laba dapat muncul ketika manajer lebih menggunakan keputusan tertentu dalam pellaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan untuk menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk memperngaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu (Healy & Wahlen, 1998 dalam Sri Sulistytanto, 2008). Sedangkan menurut Scott

  (2000),manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus.

  Schipper (1989) dalam Sri Sulistyanto (2008:49) mendefinisikan manajemen laba sebagai campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi (pihak yang tidak setuju mengatakan baahwa hal ini hanyalah upaya untuk memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari sebuah proses).

  Stockholder akan diuntungkan jika manajemen laba digunakan untuk

  memberi sinyal mengenai informasi privat yang dimiliki manajer (Healy & Palepu, 1993) serta jika digunakan untuk mengurangi biaya politik (political cost) (Watts & Zimmerman, 1986). Tetapi stockholder akan dirugikan jika manajemen laba digunakan untuk menghasilkan keuntungan pribadi bagi manajer, seperti untuk menaikkan kompensasi (Healy,1985) dan mengurangi kemungkinan pemecatan ketika kinerja manajer yang bersangkutan rendah (Weisbach, 1988). Sedang menurut Sri Sulistyanto (2008:22) manajemen laba adalah upaya untuk mempermainkan informasi dalam laporan keuangan dengan menyembunyikan, menunda pengungkapan, dan mengubah informasi.

2.1.2.2. Motivasi manajemen laba

  Hepworth (1953) menyatakan bahwa motivasi manajemen melakukan praktik manajemen laba adalah ingin memperoleh keuntungan ekonomis dan psikologis, yaitu untuk mengurangi pajak terutang dan diri manajer dapat meningkat karena penghasilan yang stabil dapat mendukung kebijakan deviden yang juga stabil. Selain itu, manajemen laba dapat meningkatkan hubungan antara manajer dengan karyawan karena pelaporan laba yang meningkat dapat meningkatkan kemungkinan kenaikan gaji dan upah.

  Healy dan Wahlen (1998) membagi motivasi yang mendasari manajemen laba dalam tiga kelompok. Pertama, motivasi dari pasar modal yang ditunjukkan dengan return saham. Kedua, motivasi kontrak yang dapat berupa kontrak hutang maupun kontrak kompensasi manajemen.

  Ketiga, motivasi regulatory berupa motivasi untuk menghindari biaya politik.

  Scott (1997) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mendorong manajer melakukan manajemen laba.

  1. Rencana bonus (bonus scheme). Manajer yang bekerja berdasarkan kontrak bonus akan mengatur laba yang dilaporkan agar bonus yang diterima maksimal serta dapat memperoleh bonus yang diinginkan di masa yang akan datang.

2. Kontrak hutang (debt covenant). Perusahaan akan menaikkan laba agar rasio debt to equity berada pada posisi yang diinginkan.

  3. Motivasi politik (political motivation). Perusahaan-perusahaan selama periode kemakmuran tinggi cenderung melakukan manajemen laba dengan menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, agar dapat

  4. Motivasi pajak (taxation motivation). Perusahaan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menghasilkan laba dilaporkan lebih rendah, sehingga pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah juga menjadi lebih rendah.

  5. Perubahan Chief Executive Officer (CEO). CEO yang mendekati akhir jabatannya cenderung melakukan income maximization untuk meningkatkan bonus mereka.

6. Penawaran saham perdana (IPO). Perusahaan yang akan melakukan

  IPO cenderung melakukan income increasing untuk menarik calon investor.

2.1.2.3. Pola manajemen laba

  Menurut Sri Sulistyanto(2008:177) manajemen terbagi ke dalam 3 pola, berupa peningkatan laba, penurunan laba dan perataan laba.

  a.

  Income increasing (peningkatan laba) : upaya perusahaan mengatur agar laba periode berjalan menjadi lebih tinggi daripada laba sesungguhnya. Upaya ini dilakukan untuk mempermainkan pendapatan periode berjalan menjadi lebih tinggi daripada pendapatan sesungguhnya dan atau biaya periode berjalan menjadi lebih rendah dari biaya sesungguhnya.

  b.

  Income decreasing (penurunan laba) : upaya perusahaan mengatur agar laba periode berjalan menjadi lebih rendah daripadz laba sesungguhnya. Upaya ini dilakukan dengan mempermainkan pendapatan sesungguhnya dan atau biaya periode berjalan menjadi lebih tinggi dari biaya sesungguhnya.

  c.

  Income smoothing (perataan laba) : upaya perusahaan mengatur agar labanya relatif sama selama beberapa periode. Upaya ini dilakukan dengan mempermainkan pendapatan dan biaya periode berjalan menjadi lebih tinggi atau lebih rendah daripada pendapatan atau biaya yang sesungguhnya.

  Bagaimana pola rekayasa yang digunakan sangat tergantung pada apa yang ingin dicapai oleeh manajer bersangkutan. Manajer bisa merekayasa labanya menjadi lebih tingi atau lebih rendah daripada sebelumnya tergantung motivasi apa yang mendasarinya. Demikian juga apabila manajer merekayasa laba agar cenderung selalu sama selama beberapa periode sebelumnya.

2.1.2.4. Teknik manajemen laba

  Scott (1997) mengemukakan bahwa manajemen laba dapat berupa : 1.

  Taking a bath : Manajemen melakukan metode taking a bath dengan mengakui biaya-biaya dan kerugian periode yang akan datang pada periode berjalan ketika pada periode berjalan terjadi keadaan buruk yang tidak menguntungkan.

  2. Income minimization : Manajer melakukan praktik manajemen laba berupa income minimization dengan mengakui secara lebih cepat biaya-biaya, seperti biaya pemasaran, riset dan pengembangan, ketika perusahaan memperoleh profit yang cukup besar dengan tujuan untuk mengurangi perhatian politis.

3. Income maximization : Merupakan upaya manajemen untuk memaksimalkan laba yang dilaporkan.

  4. Income smoothing : Merupakan praktik manajemen laba yang dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan laba, dengan tujuan untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan, sehingga perusahaan tampak lebih stabil dan tidak beresiko.

2.1.3. Manajemen Akrual

  Akrual secara teknis merupakan selisih laba dengan kas. Akrual merupakan metode akuntansi dimana penerimaan dan pengeluaran diakui atau dicatat ketika transaksi terjadi, bukan ketika uang kas untuk transaksi

  • transaksi tersebut diterima atau dibayarkan. Menurut Harahap (2010: 22) yang dimaksud dengan akrual adalah: “...penentuan pendapatan dan biaya dari posisi harta dan kewajiban ditetapkan tanpa melihat apakah transaksi kas telah dilakukan atau tidak”. Menurut Halim dan Kusufi (2012: 53): “Akrual adalah suatu basis akuntansi dimana transaksi ekonomi atau peristiwa lainnya diakui, dicatat, dan disajikan dalam laporan keuangan pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa memperhatikan waktu kas atau setara kas diterima atau dibayarkan.” Model akuntansi berbasis akrual menggunakan komponen kas dan akrual dalam laporan keuangan. Alasannya ada dua macam transaksi yang selama ini biasa dilakukan
nonkas(nontunai). Komponen kas merupakan komponen yang relatif sulit untuk direkayasa, sebab komponen ini menunjukkan berapa jumlah kas yang dirterima perusahaan dalam periode tertentu. Artinya, transaksi komponen kas harus disertai dengan bukti berupa uang atau setara uang yang secara fisik ada. Sebaliknya, transaksi akrual merupakan transaksi yang tidak harus dsertai dengan uang atau sejenisnya.

  Manajemen laba berbasis akrual dilakukan karena adanya keleluasaan kebijakan dari manajemen dalam menentukan suatu praktik akuntansi. Menurut Sulistyanto (2008) praktik akrual dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai keinginan orang yang melakukan pencatatan dan penyusunan laporan keuangan, 2.1.3.1. Discretionery Accruals

  Praktik laba yang bersifat akrual atau biasa disebut manajemen laba akrual dapat didentifikasi dengan mengeluarkan komponen kas dari model akuntansi sehingga di dapat komponen akrual. Komponen akrual atau dalam model penghitungannya disebut total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas berasal dari aktivitas operasi.

  Sahabu (2009) total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyususnan laporan keuangan, disebut normal accruals atau non- akuntansi yang disebut dengan abnormal accruals atau discretionary

  accruals . Sri Sulistyanto (2008:164) yang dimaksud dengan discretionary accruals adalah komponen akrual hasil rekayasa manajerial dengan

  memanfaatkan kebebasan dan keleluasaan dalam estimasi dan pemakaian standar akuntansi. Disinilah kelemahan dari dasar akrual yang menimbulkan peluang untuk menajer untuk melakukan praktik laba dengan tujuan tertentu. Sedang yang dimaksud dengan non-discretionary

  accruals adalah komponen akrual diperoleh secara alamiah dari dasar

  pencatatan akrual dengan mengikuti standar akuntansi yang diterima secara umum (Sri Sulistyanto ,2008:164).

  Ada beberapa metode yang bisa dipakai manajer perusahaan untuk merekayasa besar kecilnya discretionary accruals ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya, misalkan kebebasan menentukan estimasi dan memilih metode depresiasi aktiva tetap, menentukan estimasi prosentase jumlah piutang tak tertagih, atau memilih metode penentuan jumlah persediaan.

2.1.4. Manipulasi aktivitas riil

  Manipulasi aktivitas riil ini merupakan teknik manipulasi laba yang dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas perusahaan sehari-hari selama periode akuntansi. Kegiatan manipulasi aktivitas riil dimulai dari kegiatan praktek operasional normal, hal ini yang dimotivasi oleh manajer untuk mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Manipulasi aktivitas riil dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan manajemen yang menyimpang dari praktek bisnis yang normal yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mencapai target laba (Cohen dan Zarowin, 2010). Menurut Roychowdhury (2006) menyatakan bahwa campur tangan manajer dalam proses pelaporan keuangan tidak hanya melalui metode- metode atau estimasi-estimasi akuntansi saja tetapi juga dilakukan melalui keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kegian operasional.

  Pengeseran dari manajemen akrual ke manipulasi aktivitas riil ini menurut Roychowdhury (2006) disebabkan karena:

  1. Manipulasi akrual kemungkinan besar akan menarik perhatian auditor atau regulatory scrutiny dibandingkan dengan keputusan-keputusan riil, seperti yang dihubungkan dengan penetapan harga dan produksi.

2. Mengandalkan pada manipulasi akrual saja membawa resiko.

  Realisasi akhir tahun yag defisit antara laba yang tidak dimanipulasi dengan target laba yang diinginkan dapat melebihi jumlah yang dimungkinkan untuk memanipulasi akrual setelah akhir periode fiskal.jika laba dilaporka turun dari target hal ini menjadi lemah.

  Dengan demikian melakukan praktek manipulasi melalui aktivitas riil merupakan jalan aman dalam mencapai target laba. Graham et al.

  (2005) memberikan bukti pendukung bahwa para manjer menyukai manajemen laba riil dibanding manajemen laba akrual, karena aktivitas manajemen laba riil sulit dibedakan dari keputusan bisnis optimal dan lebih sulit diseleksi, meskipun biaya-biaya yang digunakan dalam aktivitas tersebut secara ekonomik signifiksn bagi perusahaan.

  Manajemen laba riil dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu: 1.

  Manipulasi penjualan. Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk meningkatkan penjualan secara temporer dalam periode tertentu dengan menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak. Strategi ini dapat meningkatkan volume penjualan dan laba periode saat ini, dengan mengasumsikan marginnya positif. Namun pemberian diskon harga dan syarat kredit yang lebih lunak akan menurunkan aliran kas periode saat ini.

2. Penurunan beban-beban diskresionari (dicretionary expenditures).

  Perusahaan dapat menurunkan discretionary expenditures seperti beban penelitian dan pengembangan, iklan, dan penjualan, adminstrasi, dan umum terutama dalam periode di mana pengeluaran tersebut tidak langsung menyebabkan pendapatan dan laba. Strategi ini dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini namun dengan resiko menurunkan arus kas periode mendatang.

  3. Produksi yang berlebihan (overproduction). Untuk meningkatkan laba, manajer perusahaan dapat memproduksi lebih banyak daripada yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih tinggi akan menyebabkan biaya tetap per unit produk lebih rendah.

  Strategi ini dapat menurunkan kos barang terjual (cost of goods sold) dan meningkatkan laba operasi.

  Manajemen laba riil merupakan penyimpangan dari praktek operasional perusahaan yang normal. Ketiga cara manipulasi aktivitas riil di atas mungkin merupakan keputusan yang optimal dalam kondisi ekonomi tertentu. Namun, jika manajer melakukan aktivitas- aktivitas tersebut secara lebih intensif daripada yang optimal dengan tujuan mencapai target laba, maka tindakan tersebut dapat didefinisikan sebagai teknik manajemen laba (Roychowdhury, 2006; Cohen et al., 2008; Cohen dan Zarowin, 2010) .

  Ketiga cara manipulasi aktivitas riil di atas biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahan dengan kinerja yang buruk sehingga tidak banyak memiliki akrual untuk dimanipulasi. Satu-satunya cara adalah dengan manipulasi aktivitas riil tersebut terutama untuk mencapai laba sedikit di atas nol. Dengan ketiga cara di atas perusahaan-perusahaan yang diduga (suspect) melakukan manipulasi aktivitas riil akan mempunyai abnormal

  cash flow operations (CFO) dan abnormal discretionary expenses yang

  lebih kecil serta abnormal production cost yang lebih besar dibandingkan perusahaan-perusahaan lain.

2.1.5. Pergeseran Klasifikasi

  Classification shifting merupakan alat manajemen laba yang lain diluar manajemen akrual dan manipulai aktivitas ekonomi riil. laba rugi. Classification shifting dapat juga diartikan menggeser atau merubah biaya inti/core expenses (harga pokok penjualan, dan biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi) ke special items. Pergerakan vertikal dari biaya tidak akan mengubah bottom line earnings, tetapi core earnings akan overstatement. Para manajer dalam memaksimumkan pelaporan kinerja akan menurunkan biaya atau akan menaikkan pendapatan dalam laporan laba rugi untuk menyajikan suatu gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan ekonomi. Classification

  

shifting berbeda dengan manajemen akrual dan manipulasi aktivitas

  ekonomi riil dalam beberapa hal. Pertama classification shifting tidak mengubah laba GAAP, dan yang kedua adalah classification shifting memudahkan analisis dengan mengelompokkan items yang mempunyai karakteristik serupa. Selain terdapat perbedaan antara manajemen akrual dan manipulasi aktivitas ekonomi riil dengan classification shifting, terdapat pula persamaan di antara ketiga metode manajemen laba tersebut, yaitu: sama

  • –sama mempunyai harapan yang tinggi terhadap kinerja masa depan. Untuk metode classification shifting, penelitian ini memusatkan pada alokasi biaya antara biaya inti (harga pokok penjualan, dan biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi) dan special items, metode dilakukan dengan pengujian atas core earnings dan

  classification shifting

special items . Mc Vay (2006) dan Pratama dan Rahmawati (2007) telah

  menguji classification shifting (pengujian atas core earnings dan special terhadap 76.901 perusahaan dari tahun 1989 sampai tahun 2003. Mc Vay (2006) membagi core earnings perusahaan menjadi dua, yaitu: expected dan unexpected komponen, yang disajikan dalam model expected core

  

earnings serupa dengan model akrual Jones (1991), sedangkan Pratama

  dan Rahmawati (2007) menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.

  Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa unexpected core

  

earnings (reported core earnings less predicted core earnings) meningkat

  di dalam special items. Asosiasi ini konsisten dengan para manajer yang mengklasifikasikan core expenses sebagai special items, peningkatan ini terjadi pada core earnings dan income decreasing special items. Di dalam penelitiannya mengenai alat manajemen laba classification shifting (pengujian atas core earnings dan special items), penelitian tersebut menguji apakah para manajer mengklasifikasikan core expenses sebagai

  

special items dan apakah special items mempunyai pengaruh terhadap core

earnings . Penelitian-penelitian tersebut mengenai classification shifting

  (pengujian atas core earnings dan special items) memusatkan pada alokasi biaya antara core expenses (harga pokok penjualan, dan biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi) dan special items. Penelitian mengenai

  (pengujian atas core earnings dan special items)

  classification shifting

  karena jarang ada peneliti yang mengangkat tema mengenai classification

  

shifting , kebanyakan dari mereka meneliti alat manajemen laba yang sudah para manajer, yaitu: manajemen akrual dan manipulasi aktivitas ekonomi riil secara parsial-parsial. Sebenarnya classification shifting (pengujian atas core earnings dan special items) tidak kalah bagus dengan alat manajemen laba yang lain, bahkan clssification shifting mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan alat manajemen laba yang lain, tetapi mengapa sangat jarang ada peneliti yang mengangkat tema

  classification shifting sebagai objek penelitiannya. Oleh karena itu,

  penelitian ini lebih memilih classification shifting (pengujian atas core

  earnings dan special items) sebagai objek penelitiannya dibandingkan

  dengan alat manajemen laba yang lain yang sudah sering dijadikan objek penelitian, semisal: manajemen akrual dan manipulasi aktivitas ekonomi riil. Selain itu, penelitian ini memberikan gambaran kepada kita bahwa para manajer dalam kenyataanya selalu ingin memperlihatkan core

  earnings perusahaan yang tinggi dengan menggeser atau merubah biaya

  yang seharusnya biaya tersebut diklasifikasikan sebagai core expenses akan tetapi biaya tersebut akhirnya dimasukkan ke special items.

2.1.5.1. Core Earnings

  Yang dimaksud dengan core earnings di sini adalah laba yang dihitung atau diperoleh dari penjualan dikurangi harga pokok penjualan dikurangi biaya penjualan dan biaya umum dan adminstrasi, di mana harga pokok penjualan dan biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi tidak termasuk depresiasi dan amortisasi.

2.1.5.2. Special Items

  Special items didefinisikan sebagai pos - pos material yang jarang

  muncul, yang secara signifikan berbeda dengan aktivitas bisnis utama perusahaan. Special items adalah kejadian dan transaksi yang dibedakan oleh sifatnya yang tidak biasa atau khusus dan oleh kejarangan terjadinya. Kriteria untuk special items adalah sebagai berikut: a.

  Bersifat tidak biasa Kejadian atau transaksi yang mendasari harus memiliki tingkat abnormalitas yang tinggi dan merupakan jenis yang jelas tidak berhubungan, atau hanya bersifat insidentil berkaitan dengan aktivitas normal dan umum perusahaan, dengan memperhitungkan lingkungan di mana perusahaan beroperasi.

  b.

  Kejarangan terjadinya Kejadian atau transaksi yang mendasari harus merupakan jenis yang tidak diharapkan akan terjadi kembali di masa mendatang, dengan memperhitungkan lingkungan di mana perusahaan beroperasi.

2.1.6. Reaksi Pasar

  Penelitian studi peristiwa meneliti reaksi pasar karena terdapat suatu peristiwa. Pasar akan bereaksi pada peristiwa yang mengandung informasi. Suatu peristiwa dapat diibaratkan sebagai suatu kejutan (surprise) atau sesuatu yang tidak diharapkan (unexpected). Semakin besar kejutannya, semakin besar reaksi pasarnya. Reaksi pasar dari suatu bernilai nol menunjukkan bahwa pasar tidak bereaksi terhadap peristiwa yang terjadi. Jika pasar bereaksi terhadap peristiwa yang terjadi, maka akan diperoleh abnormal return signifikan berbeda dengan nol. Tanda dari

  

abnormal return positif atau negatif menunjukkan arah reaksi pasar terjadi

  akibat kabar baik atau buruk. Peristiwa kabar baik diharapkan akan direaksi secara positif oleh pasar, begitu juga sebaliknya kabar buruk akan direaksi secara negatif oleh pasar.

  Suatu peristiwa atau informasi dianggap sebagai kabar baik atau kabar buruk dihubungkan dengan nilai ekonomis yang dikandungnya. Jika suatu peristiwa atau informasi mengandung nilai ekonomis meningkatkan nilai perusahaan, maka dikategorikan sebagai kabar baik. Jika peristiwa tersebut mengandung nilai ekonomis menurunkan nilai perusahaan, maka termasuk sebagai kabar buruk.

  Selain menggunakan abnormal return, reaksi pasar juga dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan volume perdagangan saham yang diukur dengan trading volume activity (TVA). Dengan menggunakan volume perdagangan saham, maka dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman yang mengandung informasi mengakibatkan tingkat permintaan saham akan lebih tinggi daripada tingkat penawaran saham sehingga volume perdagangan saham mengalami peningkatan. Sebaliknya, jika pengumuman tidak mengandung informasi maka tingkat permintaan saham akan lebih rendah dibandingkan tingkat penawaran saham sehingga

  Semakin cepat informasi baru tercermin pada harga sekuritas, semakin efisien pasar modal tersebut maka akan sangat sulit bagi para pemodal untuk memperoleh tingkat keuntungan diatas normal secara konsisten dengan melakukan transaksi perdagangan di bursa efek.

  Efisiensi dalam artian ini sering juga disebut sebagai efisiensi pasar secara informasi yaitu bagaimana pasar bereaksi terhadap informasi yang tersedia (Hartono, 2008). Jadi harga saham yang berlaku di pasar modal sudah merefleksikan semua informasi yang terjadi. Perubahan keyakinan investor atas informasi disebut juga dengan reaksi pasar yang berkaitan dengan konsep pasar efisien (Efficient markets hypothesis). Umumnya reaksi pasar ditunjukkan oleh perubahan harga saham melebihi kondisi normal sehingga menimbulkan return yang tidak normal atau abnormal

  

return. Dengan demikian, return dapat menggambarkan reaksi investor

  terhadap adanya informasi. maka kondisi pasar seperti ini disebut dengan pasar efisien (Hartono, 2010: 517).

  Reaksi pasar ditunjukkan dengan adanya perubahan harga dari sekuritas yang bersangkutan. Reaksi ini dapat diukur dengan menggunakan return sebagai nilai perubahan harga atau dengan menggunakan abnormal return. Jika digunakan abnormal return, maka dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman yang mempunyai kandungan informasi akan memberikan abnormal return kepada pasar. Sebaliknya return yang tidak mengandung informasi tidak memberikan abnormal

2.1.6.1. Abnormal Return

  Abnormal return merupakan salah satu indikator yang dapat

  dipakai guna melihat keadaan pasar yang sedang terjadi. Efisiensi pasar diuji dengan melihat return tidak normal (abnormal return) yang terjadi.

  Pasar dikatakan tidak efisien jika satu atau beberapa pelaku pasar dapat menikmati return yang tidak normal dalam jangka waktu yang cukup lama.

  (Hartono, 2009) mendefinisikan Abnormal return atau excess return sebagai selisih antara actual return dan expected return. Abnormal return akan positif jika return yang didapatkan lebih besar dari return yang diharapkan. Sedangkan abnormal return akan negatif jika return yang didapatkan lebih kecil dari return yang diharapkan.

  a) Return Realisasi (Actual return). Tujuan investor berinvestasi adalah memaksimalkan return, tanpa melupakan faktor resiko investasi yang harus dihadapinya. Menurut Tandelilin (2001: 47) return merupakan salah satu faktor yang memotivasi investor berinvestasi dan juga merupakan imbalan atas keberanian investor menanggung resiko atas imbalannya.

  b) Return yang diharapkan (Expected return). Menurut Brown dan

  Warner (1985) dalam Hartono (2008: 550) return ekspektasi (expected

  return

  ) adalah return yang diharapkan akan diperoleh investor di masa mendatang. Berbeda dengan return realisasi yang sifatnya sudah terjadi, return ekspektasi sifatnya belum terjadi. Untuk menghitung

  expected return dapat menggunakan model estimasi mean-adjusted model , market model, dan market adjusted model.

  1. Model disesuaikan rata-rata (mean adjusted model) menganggap bahwa return ekspektasi bernilai konstan yang sama dengan rata-rata

  return realisasi sebelumnya selama periode estimasi. Return yang

  diharapkan dihitung dengan cara membagi return realisasi suatu perusahaan pada periode estimasi dengan lamanya periode estimasi.

  2. Model pasar (market model), perhitungan return ekspektasi dilakukan dengan dua tahap yaitu membentuk model ekspektasi dengan menggunakan data realisasi selama periode estimasi dan menggunakan model ekspektasi ini untuk mengestimasi return ekspektasi selama periode window. Model ekspektasi dihitung dengan menjumlahkan nilai ekspektasi return yang tidak dipengaruhi oleh perubahan pasar, tingkat keuntungan indeks pasar, dan bagian return yang tidak dipengaruhi oleh perubahan pasar.

  3. Model disesuaikan pasar (market adjusted model) menganggap bahwa penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat tersebut. Periode estimasi tidak perlu digunakan untuk membentuk model estimasi, karena return sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar.

2.2. Penelitian Terdahulu

  Terdapat beberapa penelitian sebelumnya mengenai pengaruh klasifikasi terhadap reaksi pasar, dimana nantinya penelitian-penelitian tersebut akan dijadikan referensi oleh peneliti. Beberapa penelitian tersebut antara lain : 1.

  Roychowdhury (2006) mengenai Earnings Management Through Real Activities Manipulation. Hasil penelitan tersebut adalah aktivitas manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil berpengaruh negatif terhadap arus kas kegiatan operasi.

  2. Rahmawati, Anastasia Riana Suprapti, dan Sri Seventi (2007) mengenai Model Strategi Manajemen Laba Pada Perusahaan Publik Di Bursa Efek Indonesia : Suatu Pemeriksaan Pergeseran Klasifikasi Serta Dampaknya Terhadap Kinerja Saham, Pemilihan Metoda Akuntansi, Dan Pengaturan Waktu Transaksi. Hasil peneltian tersebut adalah 1) investor tidak bereaksi terhadap strategi manajemen laba pergeseran klasifikasi. 2) strategi manajemen laba pemilihan metoda akuntansi dan pengaturan waktu transaksi berpengaruh terhadap akrual diskresioner.

3. Annisaa’Rahman dan Yanthi Hutagaol (2008) mengenai Manajemen

  Laba Melalui Akrual dan Aktivitas Real Pada Penawaran Perdana dan Hubungannya dengan Kinerja Jangka Panjang. Hasil penelitian tersebut adalah manajemen laba melalui akrual terbukti mempengaruhi kinerja pasar dalam jangka pendek. Kemampuan manajemen laba memprediksi kinerja saham dalam jangka waktu yang perbedaan kinerja saham pada setiap jangka waktu yang disebabkan oleh praktek manajemen laba yang konservatif dan agresif.

  4. Zirman dan Lily (2009) mengenai Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Abnormal Return. Hasil penelitian tersebut adalah 1) Akrual diskresioner (manajemen akrual) berpengaruh negatif terhadap

  abnormal return . 2) Arus kas operasi (manipulasi aktivitas riil) berpengaruh negatif terhadap abnormal return.

  5. Dwi Ratmono (2010) mengenai Manajemen Laba Riil dan Berbasis Akrual: Dapatkah Auditor yang Berkualitas Mendeteksinya?. Hasil penelitian tersebut adalah manajer lebih cenderung memilih memanipulasi laba melalui akitivitas riil daripada pengaturan akrual.

  6. Equivalent Armando dan Aria Farahmita (2011) mengenai Manajemen Laba Melalui Akrual dan Aktivtas Riil di Sekitar Penawaran Saham Tambahan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perusahaan. Hasil penelitan tersebut adalah manajemen laba melalui kebijakan akrual yang dilakukan perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan. Diduga dampak manajemen laba akrual terhadap kinerja perusahaan belum terlihat dalam satu tahun pengamatan pasca SEO.

  7. Koyuimirsa (2011) mengenai Dampak Manajemen Laba Akrual dan Manajemen Laba Riil Terhadap Kinerja Pasar. Hasil penelitan tersebut adalah adanya hubungan positif antara perusahaan yang cenderung melakukan manipulasi aktivitas riil melalui arus kas operasi terhadap kinerja pasar.

  8. Maria Arunjati (2011) mengenai Manajemen Laba Melalui Manipulasi Aktivitas Riil Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI. Hasil penelitan tersebut adalah sebagian besar perusahaan manufaktur menerapkan manajemen laba dengan cara memanipulasi aktivitas riil melalui arus kas operasi dan biaya diskresioner.

  9. Nurainun Bangun dan Priska Dwicahya Safei (2011) mengenai Pengaruh Manajemen Laba terhadap Return Saham pada perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four dan Non-Big Four. Hasil penelitan tersebut adalah secara parsial maupun simultan terapat pengaruh yang signifikan antara manajemen laba dengan return saham pada perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four maupun Non- Big Four walaupun arah pengaruhnya berlawanan.

  10. Sri Hastuti (2011) mengenai Titik Kritis Manajemen Laba Pada Perubahan Tahap Life Cycle Perusahaan : Analisis Manajemen Laba Riil Dan Manajemen Laba Akrual. Hasil penelitan tersebut adalah perusahaan-perusahaan yang berada pada titik kritis growth-mature dan mature-stagnant memilih discretionary accrual yang menaikkan laba. Namun, penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan yang berada pada titik kritis growth-mature dan mature-stagnant melakukan manajemen laba riil.

  11. Eka Hariyani (2012) mengenai Pengaruh Manipulasi Aktivitas Riil Terhadap Profitabilitas Perusahaan LQ 45 di Bursa Efek Indonesia.

  Hasil penelitan tersebut adalah 1) Terdapat manipulasi aktivitas riil pada perusahaan LQ 45 yang dilakukan melalui arus kas operasi karena arus kas operasi menunjukan 24 nilai rendah dibawah 0 rerata. 2) Tidak terdapat pengaruh manipulasi aktivitas riil terhadap profitabilitas perusahaan LQ 45. 3) Perusahaan yang melakukan manipulasi aktivitas riil menunjukan lebih rendah profitabilitasnya dibandingkan dengan profitabilitas perusahaan yang tidak melakukan manipulasi aktivitas riil.

  12. Ferdiansyah dan Dian Purnamasari (2012) mengenai Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Return Saham Dengan Kecerdasan Investor Sebagai Variabel Moderating. Hasil penelitan tersebut adalah manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham, sedangkan manajemen laba berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham ketika mempertimbangkan kecerdasan investor sebagai variabel moderating.

  13. Reza Anggraini (2014) mengenai Dampak Manipulasi Aktivitas Riil Melalui Arus Kas Operasi Terhadap Kinerja Pasar. Hasil penelitian tersebut adalah manipulasi aktivitas riil melalui arus kas operasi tidak berpengaruh terhadap kinerja pasar.

  14. Rizal Dewangga Phalevi (2015) mengenai Pengaruh Manajemen Laba

  Saham. Hasil penelitian tersebut adalah 1) Terdapat pengaruh positif manajemen laba berbasih akrual terhadap return saham. 2) Terdapat pengaruh positif manipulasi aktivitas riil terhadap return saham.

15. Elsa Imelda dan Agnes Palauw (2015) mengenai Analisis Manajemen

  Laba Melalui Akrual Diskresioner Dan Manipulasi Aktivitas Riil Pada Penawaran Publik Perdana Dan Efeknya Terhadap Kinerja Pasar Jangka Panjang. Hasil penelitian ini adalah perusahaan memilih melakukan manajemen laba melalui akrual diskresioner daripada manipulasi aktivitas riil saat IPO dan perbedaan ini menjadi lebih kecil cenderung kebalikannya.

  Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu

  No Peneliti dan Judul Metode Hasil Penelitian Tahun Analisis

  1 Roychowdhury Earnings Regresi Aktivitas manajemen (2006) Management Linear laba melalui manipulasi

  Through Real Sederhana aktivitas riil Activities berpengaruh negatif Manipulation terhadap arus kas

  kegiatan operasi

  2 Rahmawati, Model Strategi Regresi 1. strategi manajemen

  Riana Suprapti, Pada Perusahaan Berganda klasifikasi tidak dan Sri Seventi Publik Di Bursa berpengaruh (2007) Efek Indonesia : terhadap kinerja Suatu saham.

  Pemeriksaan 2. strategi manajemen

  Pergeseran laba pemilihan Klasifikasi Serta metoda akuntansi Dampaknya dan pengaturan Terhadap Kinerja waktu transaksi Saham, Pemilihan berpengaruh Metoda terhadap akrual Akuntansi, Dan diskresioner.

  Pengaturan Waktu Transaksi

  3 Manajemen Laba Regresi Manajemen laba Annisaa’Rahm an dan Yanthi Melalui Akrual Linear melalui akrual terbukti Hutagaol dan Aktivitas Real Berganda mempengaruhi kinerja (2008) Pada Penawaran pasar dalam jangka

  Perdana dan pendek. Kemampuan Hubungannya manajemen laba dengan Kinerja memprediksi kinerja Jangka Panjang. saham dalam jangka panjang menjadi menurun. Penelitian ini juga tidak menemukan perbedaan kinerja saham pada setiap jangka waktu yang disebabkan oleh praktek manajemen laba yang konservatif dan agresif.

  4 Zirman dan Lily (2009)

  Pengaruh Manajemen Laba Terhadap

  Abnormal Return

  Regresi Linear Berganda 1.

  Akrual diskresioner (manajemen akrual) berpengaruh negatif terhadap

  abnormal return .

  2. Arus kas operasi (manipulasi aktivitas riil) berpengaruh negatif terhadap

  abnormal return .

  (2010) Riil dan Berbasis Akrual: Dapatkah Auditor yang Berkualitas Mendeteksinya?

  Linear Berganda cenderung memilih memanipulasi laba melalui akitivitas riil daripada pengaturan akrual.

  6 Equivalent Armando dan Aria Farahmita (2011)

  Manajemen Laba Melalui Akrual dan Aktivtas Riil di Sekitar Penawaran Saham Tambahan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perusahaan

  Regresi Linear Berganda manajemen laba melalui kebijakan akrual yang dilakukan perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan

  7 Koyuimirsa (2011)

  Dampak Manajemen Laba Akrual dan Manajemen Laba Riil Terhadap Kinerja Pasar

  Regresi Linear Berganda adanya hubungan positif antara perusahaan yang cenderung melakukan manipulasi aktivitas riil melalui arus kas operasi terhadap kinerja pasar.

  (2011) Melalui Linear perusahaan manufaktur Manipulasi Berganda menerapkan Aktivitas Riil manajemen laba dengan Pada Perusahaan cara memanipulasi Manufaktur yang aktivitas riil melalui Terdaftar di BEI. arus kas operasi dan biaya diskresioner

  9 Nurainun Pengaruh Regresi secara parsial maupun Bangun dan Manajemen Laba Linear simultan terapat Priska terhadap Return Berganda pengaruh yang Dwicahya Saham pada signifikan antara Safei (2011) perusahaan yang manajemen laba dengan diaudit oleh KAP return saham pada

  Big Four dan perusahaan yang diaudit Non-Big Four oleh KAP Big Four maupun Non- Big Four walaupun arah pengaruhnya berlawanan

  10 Sri Hastuti Titik Kritis Regresi perusahaan-perusahaan (2011) Manajemen Laba Linear yang berada pada titik

  Pada Perubahan Berganda kritis growth-mature

  Perusahaan : memilih discretionary Analisis accrual yang menaikkan Manajemen Laba laba. Namun, penelitian Riil Dan ini tidak dapat Manajemen Laba membuktikan bahwa Akrual perusahaan-perusahaan yang berada pada titik kritis growth-mature dan mature-stagnant melakukan manajemen laba riil.

  11 Eka Hariyani Pengaruh Regresi 1.

  Terdapat (2012) Manipulasi Linear manipulasi

  Aktivitas Riil Berganda aktivitas riil Terhadap pada perusahaan Profitabilitas LQ 45 yang Perusahaan LQ 45 dilakukan di Bursa Efek melalui arus kas Indonesia. operasi karena arus kas operasi menunjukan 24 nilai rendah rerata.

  2. Tidak terdapat pengaruh manipulasi aktivitas riil terhadap profitabilitas perusahaan LQ 45.

  3. Perusahaan yang melakukan manipulasi aktivitas riil menunjukan lebih rendah profitabilitasnya dibandingkan dengan profitabilitas perusahaan yang tidak melakukan manipulasi

  12 Ferdiansyah dan Dian Purnamasari (2012)

  Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Return Saham Dengan Kecerdasan Investor Sebagai Variabel Moderating

  Regresi Linear Berganda manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham, sedangkan manajemen laba berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham ketika mempertimbangkan kecerdasan investor sebagai variabel moderating

  13 Reza Anggraini (2014)

  Dampak Manipulasi Aktivitas Riil Melalui Arus Kas Operasi Terhadap Kinerja Pasar

  Regresi Linear Berganda manipulasi aktivitas riil melalui arus kas operasi tidak berpengaruh terhadap kinerja pasar

  14 Rizal Dewangga

  Pengaruh Manajemen Laba

  Regresi Linear 1.

  Terdapat pengaruh positif manajemen dan Manipulasi akrual terhadap Aktivitas Riil return saham.

  Terhadap Return 2.

  Terdapat pengaruh Saham positif manipulasi aktivitas riil terhadap return saham

  15 Elsa Imelda Analisis Regresi perusahaan memilih dan Agnes Manajemen Laba Linear melakukan manajemen Palauw (2015) Melalui Akrual Berganda laba melalui akrual

  Diskresioner Dan diskresioner daripada Manipulasi manipulasi aktivitas riil Aktivitas Riil saat IPO dan perbedaan Pada Penawaran ini menjadi lebih kecil Publik Perdana cenderung Dan Efeknya kebalikannya.

  Terhadap Kinerja Pasar Jangka Panjang Dari beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan antara lain :

  1. Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba akrual , manipulasi aktivitas riil, pergeseran klasifikasi dan reaksi pasar.

  2. Studi kasus penelitian Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur sektor food and beverages yang terdaftar di BEI .

  3. Tahun penelitian Data-data yang digunakan dalam penelitian ini data dengan kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2015.

2.3. Kerangka Pemikiran

  Kerangka penelitian ini didasarkan pada hubungan manajemen laba dengan reaksi pasar. Dimana manajemen laba pada penelitian ini dipecah menjadi tiga model strategi yaitu manajemen laba berbasis akrual, manajemen laba manipulasi aktivitas riil, dan manajemen laba pergeseran klasifikasi. Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu yang menganalisis pengaruh manajemen laba terhadap rekasi pasar, maka model empiris daripenelitian ini digambarkan sebagai berikut :

  Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

  2.4. Pengembangan Hipotesis 2.4.1.

  Manajemen laba akrual terhadap reaksi pasar Berdasarkan kenyataan yang ada, investor dan calon investor cenderung memperhatikan laba yang terdapat dalam laporan keuangan tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut didapatkan. Oleh karena itu,

  Reaksi Pasar

  Strategi Manajemen Laba Pergeseran Klasifikasi

  Strategi Manajemen Laba Manipulasi Aktivitas Riil

  Strategi Manajemen Laba Pergeseran Klasifikasi

  Strategi Manajemen Laba Manajemen Akrual

  Manajemen Laba Manipulasi Aktivitas Riil

  Manajemen Laba Pergeseran Klasifikasi

  Manajemen Laba Akrual keputusan oleh pemakai laporan keuangan. Situasi ini disadari oleh manajemen terutama dari kalangan manajemen yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi tersebut, sehingga mendorong timbulnya

Dokumen yang terkait

PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2012-2014)

11 58 15

PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN KONSERVATISME AKUNTANSI TERHADAP KUALITAS LABA (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2011-2013)

2 50 25

ANALISIS PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Listing di Bursa Efek Indonesia)

0 14 20

PENGARUH LEVERAGE, PROFITABILITAS DAN CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2011 – 2013)

1 12 21

PENGARUH HUTANG TERHADAP PROFITABILITAS PERUSAHAAN (Studi Pada Perusahaan Food and Beverages yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

5 53 17

Pengaruh Net Profit Margin (NPM) dan Price Earning Ratio (PER) Terhadap Return Saham (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Food and Beverages yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2007-2012)

1 8 1

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA AKRUAL DAN REAL (Study Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

2 7 64

PENGARUH LEVERAGE, LIKUIDITAS, PROFITABILITAS, UKURAN PERUSAHAAN, MANAJEMEN LABA DAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP AGRESIVITAS PAJAK (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013- 2016)

0 0 15

ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI BONUS, UKURAN PERUSAHAAN, MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2011)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - PENGARUH KUALITAS AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA AKTIVITAS RIIL (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013-2015) - UNS Institutional Repository

0 0 13