BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum - BAB II LAELI TRI RAHMAWATI HUKUM'16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata

  lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi. Sedangkan perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan, penjagaan, asilun, dan bunker. Beberapa unsur kata perlindungan:

  1. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/ tampak, menjaga, memelihara, merawat, menyelamatkan;

  2. Perlindungan: proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal (perbuatan) memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan berlindung);

  3. Pelindung: orang yang melindungi, alat untuk melindungi;

  4. Terlindung: tertutup oleh sesuatu hingga tidak kelihatan;

  5. Lindungan: yang dilindungi, cak tempat berlindung, cak perbuatan;

  6. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung; 7. Melindungkan: membuat diri terlindungi.

  Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan. Aturan hukum tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek saja,akan tetapi harus berdasarkan kepentingan jangka panjang.

  Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial (http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/01/seputar-pengertian perlindungan-hukum.html).

  Menurut Sumodiningrat (1996), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

  Hukum menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto adalah Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Menurut R. Soeroso, hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan

  (http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/01/seputar-pengertian perlindungan-hukum.html).

  Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain (Uti Ilmu Royen, 2009: 52).

  Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum (Uti Ilmu Royen, 2009: 53).

  Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian (http // www.artikata.com/ artiperlindunganhukum.html ).

  Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat atau konsep Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, konsep Rechtstaat muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl.Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of Law ) yang dipelopori oleh A.V.Dicey.

  Konsep rechtstaat menurut Julius Stahl secara sederhana dimaksudkan dengan negara hukum adalah negara yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya didasarkan pada hukum. Konsep Negara hukum atau

  Rechtstaa t menurut Julius Stahl mencakup 4 elemen, yaitu :

  1. Perlindungan hak asasi manusia;

  2. Pembagian kekuasaan;

  3. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang; 4. Peradilan tata usaha Negara (Philips M. Hadjon 1987: 2).

  Sedangkan menurut A.V.Dicey menguraikan adanya 3 (tiga) ciri penting negara hukum yang disebut dengan Rule of Law , yaitu :

  1. Supermasi hukum, artinya tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;

  2. Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat biasa atau pejabat pemerintah;

  3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam Undang-undang atau keputusan pengadilan.

  Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya mentaati imperatif yang terkandung sebagai subtansi maknawi didalamnya imperatif. Hak-hak asasi warga harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, ataupun juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik (Sudikno Mertokusumo, 2003: 22).

  Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip negara hukum, yaitu :

  1. Perlindungan hukum yang preventif, perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan Pemerintah menjadi bentuk yang menjadi

  definitife ;

  2. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

  Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan pada prinsip Negara hukum (Zahirin Harahap, 2001: 2).

B. Tinjauan Umum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) 1. Sejarah Perundang-undangan HAKI di Indonesia a. Perundang-undangan HAKI Masa Penjajahan Belanda

  Hak Kekayaan Intelektual bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang HAKI yang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang diberlakukan di Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda dengan prinsip konkordansi (Adrian Sutedi, 2009: 1).

  Permasalahn perlindungan HAKI tidak lagi menjadi urusan satu negara saja, tetapi sudah menjadi urusan masyarakat Internasional.

  Terlebih sejak ditandatanganinya Agreement Establishing the World

  Trade Organization (WTO). Untuk mewujudkan perlindungan HAKI

  yang efisien, efektif dan menguntungkan semua anggota WTO, diperlukan adanya kerja sama antara anggota WTO baik yang bersifat regional maupun Internasional (Tim Lindsey, 2011: 23).

  Pada masa itu, bidang HAKI mendapat pengakuan baru 3 (tiga) bidang HAKI, yaitu bidang hak cipta, merek dagang dan industri, serta paten. Adapun Peraturan Perundang-undangan Belanda bidang HAKI adalah sebagai berikut.

  a. Auterswet 1912 (UU Hak Pengarang 1912, UU Hak Cipta;S. 1912- 600);

  b. Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912;S. 1912-545 jo. S. 1913-214); c. Octooiwet 1910 (UU Paten 1910; S. 1910-33, yis S. 1911-33, S.

  1922-54.

  UU Hak Cipta pertama di Belanda diundangkan pada tahun 1803, yang kemudian diperbarui dengan UU Hak Cipta tahun 1817 dan diperbarui lagi sesuai dengan konvensi Bern 1886 menjadi Auterurswet 1912, Indonesia (Hindia Belanda saat itu) sebagai negara jajahan Belanda, terikat dalam konvensi Bern tersebut, sebagaimana diumumkan dalam S. 1914-797. Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912 merupakan UU Merek tertua di Indonesia, yang ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda berlaku sejak tanggal 1 Maret 1913 terhadap wilayah-wilayah jajahannya Indonesia, Suriname, dan Curacao. UU Paten 1910 tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1912 (Adrian Sutedi, 2009: 2).

  Lingkup berlakunya Perundang-undangan hak kekayaan intelektual pada zaman Belanda terdapat dalam Indische Staatsregeling Pasal 131, pada pokoknya mengatur sebagai berikut:

  a. Hukum perdata dan hukum dagang (termasuk hukum pidana maupun hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifikasi;

  b. Untuk golongan bangsa Eropa, dianut (dicontoh) Perundang- undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi); c. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa,

  Arab, dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2); d. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa

  Eropa, diperbolehkan menundukan diri (onderwerpen) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4); e. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam Undang- undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat 6).

  Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat itu bersifat pluralistis sesuai dengan golongan penduduknya, sehingga ada Peraturan Perundang-undangan Eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang Bumiputra (Indonesia), ada pula Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan secara khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia Asli (Bumiputra). Peraturan perundang- undangan Eropa di bidang HAKI yang diatur dalam Reglement

  Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial

  Kolonial 1912;S.1912-545 jo. S.1913-214), Auterswet 1912 (UU Hak Pengarang 1912, UU Hak Cipta, S. 1912-600) dan Octrooiwet 1910 (UU Paten 1910; S. 1910-33, yis S. 1911-33, S. 1922-54), merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk golongan bukan Eropa. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan Eropa di bidang HAKI merupakan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku bagi semua golongan penduduk Indonesia (Adrian Sutedi, 2009: 3).

b. Perundang-undangan HAKI Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

  HAKI merupakan suatu hal yang baru dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat, pengakuan terhadap karya intelektual sudah ada, tetapi hanya berupa pengakuan secara moral dan etika. Masyarakat Indonesia pada dasarnya merupakan suatu komunitas yang komunal dengan tingkat kebersamaan yang tinggi, sehingga hak- hak individu meskipun ada masih kalah oleh kepentingan bersama. Hak-hak individu tetap dihormati, tetapi pengaturannya sebatas pada aturan dan norma yang tidak tertulis (Much. Nurachmad, 2012: 17).

  Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia memperlihatkan keengganan untuk menerapkan UU Hak Cipta warisan Pemerintah Kolonial. Indonesia menarik diri dari keikut-sertaannya di Konvensi Bern pada tahun 1958, dengan alasan Indonesia masih perlu memperbanyak karya-karya asing demi peningkatan standar pendidikan, serta bahwa Indonesia tidak layak menjadi anggota konvensi karena hukum HAKI yang berlaku masih berupa warisan Belanda. Pemerintah Indonesia saat itu juga tampaknya tidak begitu tertarik untuk memberlakukan UU Hak Ciptanya sendiri. Banyak rancangan UU Hak Cipta yang diajukan oleh instansi-instansi Pemerintah pada tahun 1958, 1968 dan 1972, tetapi tidak ada yang disetujui dan diterapkan. Barulah pada tahun 1982 Indonesia memiliki UU Hak Ciptanya sendiri (Simon Butt, 2011: 66).

  UU merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 dengan diundangkannya UU Merek Dagang dan Merek Perniagaan, pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961, yang dikenal juga dengan nomenklatur UU No. 21 Tahun 1961. Dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut, maka Reglement Industriele

  Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial

  1912; S. 1912-545 jo. S. 1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia, dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan UU No. 21 Tahun 1961.

  Selanjutnya pada tahun 1997, terjadi lagi penyempurnaan terhadap UU No. 19 Tahun 1992, dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No.

  14 Tahun 1997. Pada Tahun 2001, UU No. 19 Tahun 1992 jo. UU No.

  14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 2001 (Adrian Sutedi, 2009: 4).

  UU Hak Cipta pertama Indonesia pasca kemerdekaan baru ada pada tahun 1982, dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 6 Tahun 1982. Kemudian pada tahun 1987, UU No. 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1987. Selanjutnya pada tahun 1997, UU No. 12 Tahun 1997 jo. UU No. 7 Tahun 1987 tersebut. Dan terakhir pada tahun 2001, UU No. 12 Tahun 1997 jis. UU No. 7 Tahun 1987, UU No. 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan UU No. 19 Tahun 2002 serta yang terbaru UU No. 28 Tahun 2014. UU paten Indonesia pertama baru ada pada tahun 1989 dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 6 Tahun 1989. Kemudian pada tahun 1997, UU No. 6 Tahun 1989 tersebut diperbarui dengan UU No. 13 Tahun 1997 jo. UU No. 6 Tahun 1989 tersebut, diubah dan disempurnakan serta diganti dengan UU No. 14 Tahun 2001 (Adrian Sutedi, 2009: 5).

  Dengan demikian, sejak tahun 1961 s.d. tahun 1999, yang berarti selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, bidang HAKI yang telah mendapat perlindungan dan pengaturan dalam tata hukum Indonesia baru 3 (tiga) bidang, yaitu merek, hak cipta, dan paten. Adapun 4 (empat) bidang HAKI lainnya varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, serta desain tata sirkuit terpadu, baru mendapat pengaturan dalam hukum positif Indonesia pada tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Adrian Sutedi, 2009: 5).

2. Hukum HAKI di Indonesia

  Pada dasarnya tidak ada satu pun definisi tentang HAKI atau

  

Intellectual Property Rights yang diterima secara umum/universal. Namun

  untuk dipakai sebagai pedoman dalam melakukan pembahasan selanjutnya, berikut ini beberapa definisi mengenai HAKI sebagai berikut. a. Menurut W.R. Cornish:

  Traditionally “the term “intellectual

property” was used to refer to the rights conferred by the grant of

a copying in literary, artistic, and musical works. In more recent

times, however, it has been used to refer to a wide range of

disparate rights, including a number of more often known as

“industrial property”, such as patent and trademarks;

  b. Menurut David Brainbridge: Intellectual property law is that area

  

of law which concern legal rights assorted with creative effort or

commercial reputation and goodwill . Adapun HAKI sebenarnya

  bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai Undang- undang tentang HAKI yaitu Octrooiwet (UU Paten) Stb. No. 33 jjs S 11-33, S 22-54, Auterswet (UU Hak Pengarang) Stb. 1912 No. 600 serta Reglement Industriele Eigendom (Reglemen Milik Perindustrian) yang dimuat dalam S. 1912 No. 545 jo. S. 1913 No.

  214, yang mulai berlaku sejak tahun 1913.

  Sama halnya dengan Undang-undang tentang merek maupun paten, Undang-undang tentang hak cipta juga telah beberapa kali mengalami perubahan, yaitu UU No. 6 Tahun 1982 yang telah diubah pada tahun 1987 (UU No. 7 Tahun 1987), tahun 1997 (UU No. 12 Tahun 1997), dan UU No.19 Tahun 2002 serta yang terbaru adalah UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Adrian Sutedi, 2013: 26-27).

  Hukum kekayaan intelektual bersifat asing bagi kepercayaan yang mendasari hukum adat, sehingga kemungkinan besar tidak akan berpengaruh atau kalaupun ada pengaruhnya kecil di kebanyakan wilayah Indonesia. Banyak konstruksi abstrak yang umum di sistem hukum barat tidak diakui oleh kebanyakan hukum adat. Salah satu diantaranya adalah perbedaan antara harta yang berwujud dan tidak berwujud. Hukum adat berdasar pada konstruksi keadilan yang konkret, nyata dan dapat dilihat, sehingga tidak mengakui penjualan barang yang tidak berwujud. Dengan demikian, hukum adat sama sekali tidak dapat mengakui keberadaan hukum hak kekayaan intelektual. Sangat mungkin bahwa HAKI yang individualistis akan disalahtafsirkan atau diabaikan karena tidak dianggap relevan (Tomi Suryo Utomo, 2011: 71).

C. Tinjauan Umum Hak Cipta 1. Peraturan yang berlaku tentang Hak Cipta

  Pertama kali peraturan hak cipta yang berlaku ketika Indonesia merdeka adalah Auteurswet 1912 Staatsblad No. 600 Tahun 1912.

  Peraturan tersebut merupakan peraturan peninggalan zaman penjajahan Belanda dan diberlakukan sesuai dengan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945, bahwa sebelum dibentuknya peraturan baru maka peraturan yang lama masih tetap diberlakukan.

  Auteurswet 1912 pada pokoknya mengatur perlindungan hak cipta terhadap ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra (Gatot Supramono, 2009: 5).

  Dalam waktu lima tahun sejak pengundangannya, UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta telah mengalami perubahan pada tahun 1987, yang menjadi latar belakang perubahan tersebut karena meluasnya pelanggaran hak cipta, dengan pengamatan terhadap keadaan yang mendorong pelanggaran secara lebih besar untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang besar secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pemilik atau pemegang hak cipta (Suyud Margono, 2010: 58).

  Salah satu kelemahan dari UU No. 6 Tahun 1982 dalam menanggulangi pelanggaran hak cipta karena peraturan pidananya sebagai delik aduan. Penyidik baru dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya setelah adanya pengaduan dari pihak korban. Oleh karena itu, dalam UU No. 7 Tahun 1987 peraturan pidananya diubah menjadi delik biasa. Warga masyarakat dapat melaporkan adanya peristiwa pelanggaran hak cipta. Tanpa perlu ada pengaduan dari korban, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya (Gatot Supramono, 2010: 5- 6).

  Perubahan kedua terhadap pengaturan hak cipta di Indonesia terjadi pada tahun 1997, yaitu UU No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987. Disamping itu, pada tahun 1997 juga dengan Keppres No. 18 Tahun 1997, Indonesia mengesahkan Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Kesusasteraan dan Artistik. UU Hak Cipta Tahun 1997 adalah Undang-undang hak cipta pertama setelah penandatanganan TRIPs Agreement dengan beberapa perubahan dengan penyesuaian minimum standar pengaturan dapat terlihat dalam dasar menimbang (konsiderans) (Suyud Margono, 2010: 66).

  Meskipun UU Hak Cipta sudah diubah dengan mengikuti ketentuan TRIPs, namun lima tahun kemudian Undang-undang tersebut diganti dengan yang baru yaitu UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

  Kemudian mengalami Perubahan lagi dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 2014, UU baru ini memiliki 126 pasal.

2. Pengertian Ciptaan, Pencipta, Hak Cipta, dan Pemegang Hak Cipta

  Dalam membahas hukum hak cipta tidak cukup hanya memberi pengertian tentang hak cipta saja akan tetapi perlu juga memberi pengertian tentang ciptaan, pencipta dan pemegang hak cipta karena masing-masing berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya.

  Pengertian tentang ciptaan, pencipta, hak cipta dan pemegang hak cipta masing-masing telah dirumuskan dalam UU No. 28 Tahun 2014.

  a. Ciptaan Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta 2014, Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. b. Pencipta Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta 2014, Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama- sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Dari hal diatas, diketahui bahwa siapa saja ataupun beberapa orang atau kelompok yang dapat menghasilkan karya baik dalam bentuk seni atau pun yang lain disebut sebagai Pencipta.

  c. Hak Cipta Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta 2014, Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Hak eksklusif adalah hak yang hanya diperuntukan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta. Pemegang hak cipta yang bukan pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi.

  d. Pemegang Hak Cipta Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Hak Cipta 2014, Pemegang hak cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.

3. Ciptaan yang Dilindungi a. Ruang lingkup perlindungannya

  Sejalan dengan pengertian ciptaan di atas bahwa ruang lingkup ciptaan berada dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, maka sejalan dengan itu Pasal 40 Ayat (1) UU Hak Cipta 2014 mengatur ciptaan yang dilindungi hanyalah ketiga bidang tersebut yang mencakup ciptaan-ciptaan yang berupa sebagai berikut:

  a. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

  c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

  e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; g. Karya seni terapan;

  h. Karya arsitektur; i. Peta; j. Karya seni batik atau seni motif lain; k. Karya fotografi; l. Potret; m. Karya sinematografi; n. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; o. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; p. Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya; q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; r. Permainan video; s. Program komputer.

  Terhadap semua bentuk ciptaan di atas perlindungannya termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya tersebut.

b. Ciptaan yang tidak diketahui penciptanya

  Suatu ciptaan yang tidak diketahui siapa penciptanya pada prinsipnya negara sebagai pemegang hak cipta, hal ini dimaksudkan untuk melindungi karya cipta tersebut dengan tujuan agar pihak lain tidak meniru atau menggandakan seenaknya dan menjual kepada umum untuk meraih keuntungan pribadi (Gatot Supramono, 2010: 11). Berdasarkan Pasal 38 Ayat (1) UU Hak Cipta 2014 mengenai ciptaan yang dimaksud seperti Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

  Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan status hak cipta dalam hal suatu karya yang penciptanya tidak diketahui dan belum diterbitkan misalnya, dalam hal karya tulis yang belum diterbitkan dalam bentuk buku atau karya musik yang belum direkam (Penjelasan Pasal 39 UU No. 28 Tahun 2014). Negara di sini dalam kedudukannya sebagai pemegang hak cipta karena undang-undang, tujuannya untuk kepentingan melindungi kepentingan umum dan pencipta yang tidak diketahui siapa orangnya (Gatot Supramono, 2010: 12).

c. Pembatasan hak cipta

  Pembatasan hak cipta pada dasarnya bahwa orang dapat mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dengan syarat harus menyebutkan atau mencantumkan dengan jelas sumbernya, sehingga perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

  Perbuatan tersebut diatur pada Pasal 43 UU Hak Cipta 2014, yaitu meliputi: a. Pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau Penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli; b. Pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali dinyatakan dilindungi oleh Peraturan Perundang- undangan, pernyataan pada ciptaan tersebut, atau ketika terhadap ciptaan tersebut dilakukan pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan; c. Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap; atau d. Pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut;

  e. Penggandaan, pengumuman, dan/atau pendistribusian potret Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden, mantan Wakil Presiden, Pahlawan Nasional, Pimpinan Lembaga Negara, Pimpinan Kementerian/Lembaga Pemerintah non Kementerian, dan/atau Kepala Daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan.

  Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta (Much. Nurachmad, 2012: 27). Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri Hukum dan HAM setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat:

  1. Mewajibkan pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;

  2. Mewajibkan pemegang hak cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;

  3. Menunjukan pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut;

  4. Kewajiban untuk menerjemahkan dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia;

  5. Kewajiban untuk memperbanyak dilaksanakan setelah lewat jangka waktu: a. 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia; b. 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;

  c. 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.

  6. Penerjemahan atau perbanyakan hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah negara lain.

  Pemerintah berhak untuk melarang pengumuman setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.

4. Hak Cipta Atas Seni Batik Tradisional

  Berkembangnya perdagangan internasional dan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan terhadap HAKI yang sifatnya tidak lagi timbal balik, tetapi sudah bersifat antarnegara secara global. Pada akhir abad ke-19, perkembangan pengaturan HAKI mulai melewati batas-batas negara. Tonggak sejarahnya diawali dengan dibentuknya Paris Convention for The Protection of

  

Industrial Property (disingkat Paris Convention) atau Konvensi Paris

  yang merupakan suatu Perjanjian Internasional mengenai perlindungan terhadap hak kekayaan perindustrian yang diadakan pada tanggal 20 Maret

  1883 di Paris. Tidak lama kemudian pada tahun 1886, dibentuk pula sebuah konvensi untuk perlindungan di bidang hak cipta yang dikenal dengan International Convention for the Protection of Literary and

  

Artistic Works (disingkat Bern Convention) yang ditandatangani di Bern

(Afrillyanna Purba, 2009: 32).

  Atas desakan Amerika Serikat dan beberapa negara berkembang, topik perlindungan HAKI di negara-negara berkembang muncul sebagai suatu isu baru dalam sistem perdagangan Internasional (Robert M. Sherwood, 1994: 3). HAKI sebagai isu baru muncul di bawah topik

  Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs) atau Aspek Perdagangan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

  Perjanjian tersebut merupakan sesuatu yang kompleks, komprehensif, dan ekstensif (H.S. Kartadjoemena: 253).

  TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum HAKI guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat bersama membuat dan pemakaian pengetahuan teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Untuk itu, perlu dikurangi gangguan dan hambatan dalam perdagangan Internasional dengan mengingat kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap HKI, serta untuk menjamin agar tindakan dan prosedur untuk menegakkan HKI tidak kemudian menjadi penghalang bagi perdagangan yang sah (Rooseno Harjowidigdo, 1994: 37).

  Upaya Indonesia untuk menyesuaikan Perundang-undangan nasional di bidang HAKI adalah dengan meratifikasi Perjanjian TRIPs melalui UU Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement

  Establishing The World Trade Organization (WTO).Khusus bagi karya

  seni batik, baik di dalam Konvensi Bern maupun TRIPs tidak menyebutkan tidak menyebutkan secara eksplisit. Namun, apabila memperhatikan lebih lanjut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi Bern yang mengatur mengenai lingkup “karya-karya cipta seni dan sastra”, yang termasuk dalam karya-karya cipta yang dilindungi antara lain meliputi karya-karya cipta gambar sehingga dapat dikemukakan bahwa karya seni batik pun sebenarnya mendapat perlindungan melalui Hak Cipta secara Internasional. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa pada karya seni batik terkandung nilai seni berupa ciptaan gambar atau motif dan komposisi warna yang digunakan.

  Sekalipun Konvensi Bern dan TRIPs tidak menyebutkan secara eksplisit perlindungan terhadap karya seni batik, tidak berarti bahwa negara anggota konvensi tidak memiliki kewenangan untuk mengakomodasi seni batik sebagai suatu karya yang layak diberikan perlindungan melalui hak cipta. Hal ini disebabkan setiap negara mengatur jenis-jenis ciptaan yang dilindungi selain harus berdasarkan kesesuaian dengan ketentuan-ketentuan Internasional yang berlaku (Konvensi Bern) juga diberikan kebebasan menentukan ciptaan-ciptaan tertentu yang lain untuk diberikan perlindungan (Eddy Damian, 2002: 101).

  Di dalam praktik, banyak karya seni batik yang tidak diketahui penciptanya. Hal seperti ini tidak diatur dalam TRIPs. Namun Konvensi Bern Pasal 7 ayat (3) sebagai acuan TRIPs justru mengaturnya. Jangka waktu perlindungan yang diberikan bagi karya cipta tanpa nama oleh Konvensi Bern adalah berakhir selama 50 tahun setelah karya cipta tersebut secara hukum telah tersedia untuk umum. Namun demikian jangka waktu perlindungan terhadap karya cipta tersebut memiliki pengecualian dan pembatasan terhadap hak eksklusif yang diberikan sepanjang tidak bertentangan dengan pemanfaatan secara wajar atas karya yang bersangkutan dan tidak mengurangi secara tidak wajar kepentingan sah dari pemegang hak, tercantum pada Pasal 13 TRIPs (Afrillyanna Purba, 2009: 37).

  Seni Batik di Indonesia mulai mendapat perlindungan hak cipta sejak UUHak Cipta 1987 hingga UUHak Cipta 2014, di dalam masing- masing Undang-undang tersebut seni batik terus mengalami perubahan pengertian. Adapun perkembangan pengaturan seni batik di Indonesia adalah sebagai berikut:

  a. Pasal 11 ayat (1) huruf f UUHak Cipta 1987 Di dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan seni batik adalah seni batik yang bukan tradisional. Sebab, seni batik yang tradisional seperti misalnya: parang rusak, sidomukti, truntum dan lain-lain, pada dasarnya telah merupakan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama yang dipelihara dan dilindungi oleh negara. b. Pasal 11 ayat (1) huruf k UUHak Cipta 1997 Di dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan

  “batik” adalah ciptaan baru atau yang bukan tradisional atau kontemporer. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Sedangkan untuk batik tradisional seperti parang rusak, sidomukti, truntum dan lain-lain menurut perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya memang telah berakhir dan menjadi

  

public domein . Karena itu, bagi orang Indonesia sendiri, pada dasarnya

bebas untuk menggunakannya.

  c. Pasal 12 ayat (1) huruf i UUHak Cipta 2002 Di dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa batik yang dibuat secara konvensional dilindungi sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain- lain yang dewasa ini terus dikembangkan.

  d. Pasal 40 ayat (1) huruf j UUHak Cipta 2014 Di dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa “karya seni batik” adalah motif batik kontemporer yang bersifat inovatif, masa kini, dan bukan tradisional. Karya tersebut dilindungi karena mempunyai nilai seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, corak, maupun komposisi warna.

  Maksud dari “karya seni motif lain” adalah motif yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, motif tenun ikat, motif tapis, motif ulos, dan seni motif lain yang bersifat kontemporer, inovatif, dan terus dikembangkan.

  Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa pada UU Hak Cipta 1987 dan 1997, seni batik yang mendapat perlindungan hak cipta adalah seni batik yang bukan tradisional dengan pertimbangan bahwa seni batik yang tradisional telah menjadi milik bersama (public domein). Konsekuensinya bagi orang Indonesia mempunyai kebebasan untuk menggunakannya tanpa dianggap sebagai suatu pelanggaran. Pada UU Hak Cipta 2002 dan 2014, unsur yang ditekankan adalah pada pembuatan batik secara konvensional. Adapun batik yang dianggap paling baik dan paling tradisional/konvensional adalah batik tulis (Afrillyanna Purba, 2009: 38-39).

  Sebagai ciptaan yang dilindungi, pemegang hak cipta seni batik memperoleh perlindungan selama hidupnya dan terus berlangsung hingga 70 (lima puluh) tahun setelah meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Selama jangka waktu perlindungan tersebut, pemegang hak cipta seni batik memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak lain mengumumkan dan memperbanyak ciptaanya, atau memberi izin kepada orang lain untuk melakukan pengumuman dan perbanyakan ciptaan yang dipunyai tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Afrillyanna Purba, 2009: 39).

  Jangka waktu perlindungan tersebut diberikan bagi seni batik yang bukan tradisional, sedangkan bagi seni batik tradisional, misalnya parang rusak, tidak memiliki jangka waktu perlindungan. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa batik-batik tradisional seperti itu diciptakan dan dihasilkan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya telah melewati jangka waktu perlindungan yang ditetapkan dalam Undang- undang (telah berakhir). Selain itu, hak cipta batik tradisional yang ada dipegang oleh negara. Hal ini berarti bahwa negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada. Perwakilan oleh negara dimaksudkan untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu, penguasaan oleh negara menjadi penting khususnya apabila terjadi pelanggaran hak cipta atas batik tradisional Indonesia yang dilakukan oleh warga negara asing dari negara lain karena akan menyangkut sistem penyelesaian sengketanya (Afrillyanna Purba, 2009: 39-40).

  Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa pemberian perlindungan terhadap seni batik dalam hukum hak cipta Indonesia bukan merupakan suatu pelanggaran terhadap ketentuan Internasional yang ada baik Konvensi Bern maupun TRIPs.

D. Tinjauan Umum Batik 1. Batik Sebagai Warisan Budaya

  Kata batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang mempunyai arti menulis dan “titik” yang berarti titik. Kata batik merujuk pada kain dengan corak atau gambar yang dihasilkan oleh bahan malam, yang digunakan untuk menahan masuknya bahan pewarna. Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya batik cap yang memungkinkan masuknya laki-laki kedalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak ”Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

  Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal, pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain, dalam literatur Internasional, teknik ini dikenal sebagai

  wax-resist dyeing . Pengertiaan kedua adalah kain atau busana yang dibuat

  dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia sebagai keseluruhan teknik teknologi serta pengembangan motif dan yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbetawi (Masterpieces of the Oral and Intangible of Humanity) sejak 2 Oktober 2009. Menurut asal pembuatannya batik Jawa adalah sebuah warisan keseniaan budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai orang Jawa dari turun-temurun. Batik Jawa mempunyai motif yang berbeda-beda. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarenakan motif- motif itu mempunyai makna, maksudnya bukan hanya sebuah gambar akan tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur mereka.

  Batik Jawa banyak berkembang di Solo atau biasa disebut dengan batik Solo.

  Kita perlu memperkenalkan batik pada generasi penerus bangsa, agar para penerus bangsa juga sadar bahwa mereka juga mempunyai kewajiban menjaga dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Batik sebagai warisan budaya sangat perlu sekali untuk dilestarikan, salah satunya dengan upaya ditemurunkan pada generasi penerus bangsa Indonesia. Hal ini harus dilakukan agar kebudayaan seni batik tidak punah dari bangsa Indonesia meskipun adanya perubahan zaman yang lebih modern, karena batik merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Selain itu batik sangat perlu dilestarikan agar tidak bisa diklaim oleh negara lain.

  Pemerintah Departemen Kebudayaan berusaha keras untuk mengembangkan kesenian batik, salah satu upayanya yaitu dengan memperbanyak produksi batik agar banyak konsumen yang menggunakan batik. Hal ini dilakukan agar mendapatkan pengakuan dari dunia bahwa batik merupakan kesenian atau kerajinan asli Indonesia serta agar mendapatkan piagam yang menyatakan batik itu milik Indonesia sepenuhnya. Karena akhir-akhir ini ada negara yang mengakui bahwa batik merupakan hasil dari kebudayaannya namun hal ini disangkal oleh Indonesia dan tidak didiamkan oleh bangsa Indonesia untuk melepaskannya begitu saja.

  Batik merupakan salah satu kesenian budaya yang bernilai tinggi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, jadi dengan cara apa pun semua generasi bangsa Indonesia wajib menjaga dan melestarikannya agar batik tidak diklaim oleh negara lain dan juga tidak akan pernah punah meskipun dihadang ganasnya era globalisasi seperti sekarang ini. Kenyataan saat ini hasil kerajinan batik banyak sekali peminatnya, tidak hanya dari orang Indonesia saja melainkan banyak orang luar negeri atau wisatawan asing yang kagum dan suka memakai batik. Bila diamati pasti masa dahulu hampir semua orang Indonesia merasa tidak bangga dengan batik malah seakan-akan lupa bahwa mereka mempunyai suatu kerajinan budaya batik yang begitu istimewa yang perlu untuk dijaga. Selain itu para generasi bangsa pun juga seperti itu, mereka malu bila menggunakan pakaian yang bercorak batik tapi semua itu kini telah berbalik setelah ada negara lain yang mengklaim batik atau mengakuinya bahwa batik merupakan budayanya. Kini antusias mereka untuk menjaga dan melestarikan batik sangat tinggi.