Gambaran Forgiveness ODHA Perempuan yang Terinfeksi dari Suami

BAB II
LANDASAN TEORI

A.

FORGIVENESS
1.

Forgiveness dan Interpersonal Transgression
Forgiveness merupakan konstruk multidimensional, sehingga tidak

ada konsep tunggal yang menjelaskan konstruk ini dengan sempurna.
Namun, konsep-konsep tersebut saling menunjang dan melengkapi.
(McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).
Snyder

dan

Thompson

(dalam


Lopez

&

Snyder,

2003)

mendefinisikan forgiveness sebagai bentuk penerimaan transgression yang
berhubungan dengan attachement (kelekatan) dengan transgressor,
transgression, dan sisa-sisa dari transgression yang berubah dari negatif
menjadi netral atau positif. Enright dan kawan-kawan (dalam McCullough,
Pargament, & Thoresen, 2000; Lopez & Snyder, 2003) menyatakan bahwa,
forgiveness merupakan suatu kerelaan melepas hak untuk membenci,
memberikan penilaian negatif, dan tidak peduli terhadap seseorang yang
bertindak

tidak


adil

dan

menyakiti,

diwaktu

yang

bersamaan

mengembangkan kasih sayang, kemurahan hati, dan bahkan cinta.
McCullough mengatakan bahwa forgiveness merupakan suatu keadaan
intraindividual (intrapersonal), yang tercermin pada perubahan prososial
terhadap transgressor terkait dengan konteks interpersonal yang spesifik
(McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).

11
Universitas Sumatera Utara


Transgression (transgresi) merupakan tindakan yang salah atau
secara moral menyinggung dan menimbulkan luka atau rasa sakit baik fisik
maupun psikologis (McCullough, 2001; McCullough, Pargament, &
Thoresen, 2000; Worthington & Wade, 1999) dan transgressor merupakan
orang yang melakukan transgresi (McCullough, Pargament, & Thoresen,
2000; Lopez & Snyder, 2003).
Menurut McCullough (dalam McCullough, 2001), untuk membahas
forgiveness perlu ditinjau transgresi yang terjadi berdasarkan konteks
hubungan interpersonal. Transgresi dalam hubungan interpersonal juga
biasa disebut dengan interpersonal transgression (transgresi interpersonal)
(McCullough & Witvliet, 2002; McCullough, Pargament, & Thoresen,
2000). McCullough & Witvliet (2002) mengungkapkan bahwa, saat
seseorang menghadapi transgresi, mereka akan menghindari (avoidance)
atau

membalas

(revenge)


transgressor

dengan

tindakan

yang

memungkinkan transgressor merasakan rasa sakit dan luka yang sama
dengan apa yang dirasakannya. Namun, tindakan membalas transgressor
kadang berujung pada tindakan yang lebih desktruktif dan sangat
membahayakan (McCullough & Witvliet, 2002).
Transgresi berbeda dengan agresi. Pada agresi tindakan destruktif
merupakan suatu yang disengaja, bermaksud merusak atau menyakiti orang
lain dan bertujuan menunjukkan kekuatan, mempengaruhi orang lain,
mendapatkan pengakuan sosial atau sekedar menyalurkan perasaan negatif
(Kenrick, Neuberg, & Cialdini, 2010). Sedangkan, pada transgresi unsur

12
Universitas Sumatera Utara


destruktif malah muncul akibat dari perasaan tersinggung atau luka atas
tindakan

transgressor.

Walaupun

keduanya

bersifat

destruktif

(Worthington & Wade, 1999; Kenrick, Neuberg, & Cialdini, 2010),
transgresi tidak memiliki tujuan menekan atau menguasai orang lain seperti
halnya agresi. Worthington & Wade (1999) mengungkapkan bahwa,
transgresi dapat menjadi destruktif apabila transgresi cukup parah, terjadi
berulang kali, dipenuhi dengan emosi negatif, dan tidak disertai rasa
bersalah atau permintaan maaf dari transgresor.

Menurut McCullough (dalam Snyder & Lopez, 2002), forgiveness,
merupakan salah satu mekanisme untuk menyelesaikan dampak dari
interpersonal transgression. McCullough dan kawan-kawan (dalam Lopez
& Snyder, 2003), mengungkapkan, perubahan prososial ditentukan oleh
motivasi interpersonal seseorang, sehingga forgiveness merupakan suatu
pilihan internal (intrapersonal process) baik sengaja maupun tidak. Saat
seseorang memilih untuk forgive, dia menjadi kurang termotivasi untuk
membahayakan transgressor (atau hubungannya dengan transgressor) dan
bersamaan lebih termotivasi untuk bertindak dalam cara yang lebih
menguntungkan transgressor (McCullough, 2001).
Jadi forgiveness merupakan satu set perubahan-perubahan prososial
dalam hubungan interpersonal yang muncul karena adanya motivasi
interpersonal dalam diri individu, yakni dimana individu menjadi semakin
menurun motivasi bertindak membahayakan, semakin termotivasi oleh niat

13
Universitas Sumatera Utara

baik dan keinginan untuk berdamai, dan diwaktu yang bersamaan
mengembangkan kasih sayang dan kemurahan hati.

2.

Dimensi Forgiveness
Forgiveness

sejatinya

merupakan

refleksi

dari

perubahan

intrapersonal terkait konteks hubungan (relationship) yang spesifik.
Forgiveness tidak sama halnya dengan resolusi konflik, melainkan sebagai
bentuk perubahan-perubahan motivasi dalam diri yang dipengaruhi oleh
karakteristik hubungan interpersonal (McCullough & Witvliet, 2002).
Semakin dekat hubungan interpersonal, maka semakin memungkinkan

munculnya forgiveness dalam hubungan tersebut (McCullough & Witvliet,
2002). Ketika seseorang forgive, mereka akan memunculkan respon (baik
tentang pikiran dan perasaan, apa yang ingin mereka lakukan, atau
bagaimana mereka berperilaku) terhadap orang orang yang menyakitinya.
Selanjutnya, McCullough (dalam Snyder & Lopez, 2002)
mengungkapkan forgiveness sebagai perubahan tiga dimensi motivasi
terhadap transgressor, yaitu dari negatif ke arah yang lebih positif, yang
ditandai dengan rendahnya dorongan untuk menghindari (avoidance
motivations); rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam
(revenge motivations); dan meningkatnya dorongan untuk berperilaku
positif (benevolence motivations) terhadap transgressor. Lebih jelasnya,
aspek-aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:

14
Universitas Sumatera Utara

a)

Avoidance Motivation.
Merupakan motivasi untuk menjauhi transgressor ditandai dengan


individu yang memiliki kecenderungan perilaku menarik diri (withdrawal)
dari hubungan terhadap transgressor (Worthington, 2005). Semakin tinggi
motivasi seseorang untuk menjauh dan senantiasa menjaga jarak maka
diartikan semakin sulit mereka dapat memaafkan orang yang telah
menyakitinya,

dan

sebaliknya

semakin

menurun

motivasi

untuk

menghindari pelaku, membuang keinginan untuk menjaga kerenggangan

(jarak) dengan orang yang telah menyakitinya maka semakin mungkin
mereka memaafkan (forgiveness).
b)

Revenge Motivation.
Revenge Motivation merupakan kecenderungan seseorang untuk

melakukan pembalasan (balas dendam) atau mengharapkan hukuman yang
setimpal terhadap transgressor. Secara sederhana, motivasi ini dapat
diartikan sebagai kecenderungan perilaku untuk melakukan sesuatu yang
menyakitkan seseorang yang pernah menyakitinya. Motivasi untuk
melakukan pembalasan biasanya sesuai dengan derajat transgresi yang
dirasakan terhadap transgressor. Namun, aksi pembalasan kadang tidak
equivalent (seimbang), bahkan balas dendam banyak berujung pada
penghakiman yang begitu berat, oleh karenanya tak jarang siklus saling
balas dendam akan senantiasa berkelanjutan (McCullough & Witvliet,
2002).

15
Universitas Sumatera Utara


Semakin menurun motivasi untuk membalas dendam terhadap
transgressor, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap
orang yang telah menyakiti maka seseorang akan semakin cenderung dapat
memaafkan (forgiveness). Namun sebaliknya, apabila meningkat keinginan
membalas dendam dan berharap transgressor mendapatkan hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya, kemungkinan untuk dapat forgive menjadi
lebih sulit (Worthington & Wade, 1999).
c)

Benevolence Motivation.
Benevolence motivations ditandai dengan dorongan untuk berbuat

baik terhadap transgressor (McCullough, 2001). Adanya sikap rela
menerima masalah agar hubungan dengan transgressor menjadi lebih baik.
Apabila seseorang semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk
berdamai dengan transgressor, meskipun pelanggarannya termasuk
tindakan berbahaya, maka peluang forgive menjadi lebih memungkinkan,
dan sebaliknya. Oleh karena itu individu yang memaafkan, memiliki
benevolence motivations yang tinggi, namun di sisi lain memiliki avoidance
dan revenge motivations yang rendah (McCullough, Pargament, &
Thoresen, 2000; Lopez & Snyder, 2003).
Berdasarkan dimensi diatas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness
merupakan konstruk motivasional, yang mengindikasikan seseorang
memiliki potensi untuk kurang avoidance dan revenge dan lebih
benevolence terhadap transgressor.

16
Universitas Sumatera Utara

3.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Forgiveness
Saat transgresi terjadi, keadaan intrapersonal (proses internal) dan

interpersonal memainkan peranan penting terhadap peluang terjadinya
forgiveness (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000). Ada banyak
faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk memilih
forgive atau tidak (unforgive).
Wardhati dan Faturochman (2001), mengemukakan bahwa ada
beberapa faktor forgiveness, diantaranya adalah empati, atribusi terhadap
transgresi dan transgressor, tingkat kelukaan, karakteristik kepribadian dan
kualitas hubungan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh McCullough
(2001) bahwa kepribadian seperti aggreableness (Big Five Personality)
dapat mempengaruhi forgiveness. Selain itu, stabilitas emosi, agama dan
spiritualitas juga mempengaruhi forgiveness. Kemudian dalam studi
lanjutan, McCullough (200) menambahkan bahwa empathy, attributions
dan appraisals, dan rumination turut mempengaruhi forgiveness. Dari
penjelasan tersebut, berikut faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness:
a)

Agreeableness (Big Five Personality)
Agreeableness adalah salah satu dimensi kepribadian dari Big Five

Personality, dimensi ini merupakan gabungan dari trait altruism
(kebajikan), empathy (empati), care (kepedulian), dan generosity
(kemurahan hati) (McCullough, 2001). Dimensi ini memiliki korelasi yang
positif terhadap forgiveness. McCullough (2001) menjelaskan bahwa,

17
Universitas Sumatera Utara

seseorang yang agreeableness memiliki kecenderungan yang tinggi untuk
forgiving (memaafkan) dan rendah untuk vengeful (dendam).
b)

Emotional Stability (Stabilitas Emosi)
Stabilitas emosi merupakan dimensi kepribadian yang ditandai

dengan rendahnya kerentanan pengalaman emosi yang negatif, tidak moody
(emosi mudah berubah-ubah), dan tidak mudah sensitif (MuCullough,
2001). McCullough (2001) menjelaskan bahwa, stabilitas emosi merupakan
disposisi munculnya forgiveness.
c)

Religiousness dan Spirituality
Faktor agama dan spiritual menurut McCullough dan kawan-kawan

(2000), memainkan peranan penting dalam kecenderungan seseorang untuk
memaafkan. Berdasarkan berbagai penelitian mengungkapkan bahwa,
orang yang lebih religius atau dalam hal spiritual cenderung memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk forgive terhadap orang lain (McCullough,
2001). Hal ini dibenarkan oleh McCulluogh, namun McCullough (2001)
lebih menyebut faktor ini sebagai indikasi adanya forgiveness. Menurutnya,
religiusitas dan spiritualitas memungkin orang lebih termotivasi untuk
memaafkan (berdasarkan nilai-nilai agama) (McCullough, Pargament, &
Thoresen, 2000), tapi hal ini hanya bermain dalam tatanan belief atau sebuah
harapan untuk dapat memaafkan (McCullough, 2001).
d)

Empathy for the Transgressor
Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan

perasaan atau pengalaman orang lain (vicarious experience) dalam konteks

18
Universitas Sumatera Utara

yang spesifik, ditandai dengan kasih sayang, kelembutan, dan simpati
(McCullough, 2001). Menurut Wardhati & Faturochman, (2001)
kemampuan ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran, yakni ketika
berempati seseorang dapat memahami perasaan transgressor yang merasa
bersalah dan tertekan akibat transgresi yang dilakukannya.
Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis

yang

mempengaruhi forgiveness yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak
yang menyakiti (McCullough, 2001). Ketika pelaku meminta maaf kepada
pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan
kemudian termotivasi untuk memaafkannya (McCullough, 2001; Wardhati
& Faturochman, 2001).
e)

Generous Attributions (Atribusi) dan Appraisals (Penilaian)
Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Setiap

perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku
individu (termasuk forgiveness) di masa mendatang (Wardhati &
Faturochman, 2001). Orang yang forgive terhadap transgresi cenderung
menilai transgressor dengan penilaian yang lebih menyenangkan hal ini
menurut McCullough disebabkan oleh kausalitas antara attributions dan
appraisals (McCullough, 2001). Orang yang pemaaf (forgiving people),
biasanya mengatribusikan transgresi yang terjadi bukanlah merupakan
tanggungjawab transgressor atau mungkin tidak bermaksud menyakiti
(McCullough, 2001). Atribusi tersebut memunculkan perubahan penilaian
terhadap peristiwa yang menyakitkan ini memberikan reaksi emosi yang

19
Universitas Sumatera Utara

positif, sehingga akan memunculkan forgiveness terhadap transgressor
(Wardhati & Faturochman, 2001).
f)

Rumination (Perenungan) terhadap Transgression
Rumination merupakan perenungan kembali terhadap transgresi

yang terjadi. Perenungan ini akan mengulang kembali kejadian (transgresi)
dimasa lalu yang mengganggu pikiran dan afeksi, sehingga akan
menghambat seseorang untuk forgive (McCullough, 2001). Menurut
McCullough (2001) semakin sering seseorang mengingat-ingat transgresi,
semakin cenderung seseorang termotivasi untuk menghindari (avoidance)
atau melakukan pembalasan (revenge) terhadap transgressor.
B.

PERNIKAHAN
1.

Pernikahan dan Intimate Relationship
Setiap manusia, suatu saat akan menghadapi sebuah pernikahan.

Menurut Papalia dan kawan-kawan (2011), pernikahan merupakan
kebutuhan dasar setiap manusia. Mayorittas masyarakat beranggapan,
pernikahan merupakan cara terbaik dalam menjamin keteraturan
membesarkan anak dan membentuk keluarga (Papalia, Olds, & Feldman,
2011).
Santrock (1995) mendefinisikan pernikahan sebagai penyatuan dua
individu dari dua keluarga yang berbeda untuk membentuk satu sistem
keluarga yang baru. Kemudian Olson dan DeFrain (dalam Handayani,
Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008) menyatakan pernikahan

20
Universitas Sumatera Utara

sebagai komitmen emosional dan legalitas antara dua orang untuk berbagi
kedekatan fisik, kedekatan emosional, tugas dan sumber ekonomi.
Duvall dan Miller (1985) dengan jelas menjabarkan bahwa,
pernikahan merupakan suatu hubungan yang sah sebagai unit sosial antara
laki-laki dan perempuan yang didalamnya terdapat relasi seksual, keabsahan
memiliki anak, dan penetapan pembagian tugas dan peran diantara
keduanya. Sebagai unit sosial, pernikahan mendapatkan pengakuan
masyarakat dan diatur oleh undang-undang atau agama. Sebagai relasi
seksual, pernikahan di dalamnya memuat pemenuhan hasrat dan biologis.
Pernikahan juga dianggap sebagai cara yang sah memiliki anak dan
bertanggung jawab sepenuhnya dalam peran orang tua terhadap anak.
Terakhir, pernikahan memuat penetapan tugas dan peran dalam membangun
keluarga yang berbeda antara suami dan istri.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, pernikahan merupakan kebutuhan
dasar setiap manusia yang menyatukan laki-laki dan perempuan dari
keluarga yang berbeda membentuk unit sosial baru, memuat hak dan
kewajiban sebagai suami istri, dan disahkan oleh undang-undang dan
agama.
2.

Motif Pernikahan
Pada mulanya, keputusan pernikahan merupakan masalah bersama

antara dua keluarga dari masing-masing pasangan yang akan dinikahkan.
Kemudian, ada pergeseran dimana keputusan ini juga merupakan
merupakan hak perseorangan atau individual. Handayani dan kawan-kawan

21
Universitas Sumatera Utara

(2008) memberikan beberapa alasan menikah menjadi dua bagian, yakni
alasan positif dan negatif. Alasan-alasan tersebut, sebagai berikut:
a.

Alasan Positif
1) Persahabatan; ingin menjalani kehidupan bersama.
2) Cinta (intimacy); saling mencintai merupakan alasan yang cukup
bagi pasangan memutuskan untuk menikah.
3) Pasangan yang suportif; alasan saling mendukung pasangan.
4) Pasangan seksual; melegitimasi hubungan seksual.
5) Sharing pengasuhan anak; memiliki anak dan mengasuh
merupakan alasan yang popular.

b.

Alasan Negatif
1) Hamil diluar nikah; menikah karena terlanjut hamil.
2) Protes terhadap orang tua atas keluarga yang kurang harmonis.
3) Ingin mandiri; menikah untuk belajar mandiri.
4) Untuk mengatasi kekecewaan atas hubungan sebelumnya.
5) Tekanan keluarga dan sosial; dibeberapa budaya, alasan menikah
dapat terjadi hanya karena faktor usia yang mengharuskan
seseorang menikah.
6) Kebutuhan keuangan; dengan menikah berharap terpenuhinya
kebutuhan keuangan.

3.

Tipe Pernikahan
Pernikahan secara umum terdiri dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan (monogamous). Namun, di beberapa budaya tertentu, ada

22
Universitas Sumatera Utara

pernikahan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan banyak perempuan
(polygyny) dan seorang perempuan dengan banyak laki-laki (polyandry)
dalam waktu yang bersamaan (Duvall & Miller, 1985; Papalia, Olds, &
Feldman, 2011).
Olson dan DeFrain (dalam Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian,
& Hartini, 2008) mengidentifikasi beberapa tipe pernikahan berdasarkan
pencapaian kepuasaan pernikahan dari yang paling tinggi hingga yang
terendah. Secara berurutan tipe pernikahan tersebut sebagai berikut:
a)

Vitalized Couples
Tipe ini mencapai kepuasan di seluruh aspek pernikahan. Konflik

dan komunikasi dapat dikelola dengan baik. Pasangan pernikahan
cenderung lebih berpendidikan, status pekerjaan yang tinggi, dan menikah
dalam waktu yang lama.
b)

Harmonious Couples
Tipe ini memiliki kepuasaan pada tinggkat kedua setelah tipe

sebelumnya. Tingkat pendidikan status pekerjaan yang cukup tinggi.
Cenderung sedikit memiliki anak dan kurang puas dalam hal pengasuhan
anak.
c)

Traditional Couples
Kelemahan tipe ini, kurang mampu membangun komunikasi dan

menyeleseikan konflik. Pasangan cukup berpendidikan dan biasanya istri
tidak bekerja atau bekerja paruh waktu. Cenderung menikah pada usia muda

23
Universitas Sumatera Utara

dan jumlah anak lebih banyak. Meskipun tidak puas dengan pernikahan, tipe
ini cenderung tetap mempertahankan pernikahan.
d)

Conflicted Couples
Hampir sama dengan tipe sebelumnya, namun kecenderungan untuk

mempertahankan pernikahan lebih rendah, bahkan separuh dari tipe ini
lebih memilih untuk bercerai.
e)

Devitalized Couples
Tipe ini memiliki ketidakbahagiaan hampir di seluruh aspek

pernikahan. Memiliki kecenderungan 10 kali lebih besar untuk mengakhiri
pernikahan dibandingkan tipe pernikahan lainnya.
4.

Manfaat Pernikahan
Pernikahan memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan

orang yang tidak menikah. Olson dan DeFrain (dalam Handayani, Suminar,
Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008) dalam penelitiannya, menuturkan
beberapa dampak positif pernikahan menurut Linda Waite, yakni:
a)

Memiliki gaya hidup yang lebih sehat.
Pernikahan membuat orang lebih banyak menghindari perilaku yang

berbahaya dibandingkan dengan orang yang melajang, duda, dan janda.
Umumnya mereka memiliki gaya pola hidup sehat dalam hal makanan, olah
raga dan perilaku sehat lainnya.

24
Universitas Sumatera Utara

b)

Harapan hidup lebih panjang.
Orang yang menikah memiliki harapan hidup yang lebih panjang,

karena adanya dukungan emosional dari pasangan dan tersedianya sumber
keuangan yang cukup.
c)

Kehidupan seksual yang sehat dan memuaskan.
Kepuasan seksual yang dicapai oleh orang yang telah menikah lebih

tinggi dibandingkan dengan yang tidak menikah.
d)

Memiliki aset ekonomi yang lebih baik.
Pernikahan akan mengumpulkan dua sumber pendapatan dari

sepasangan suami-istri menjadi satu, sehingga aset yang dimiliki akan
semakin banyak.
e)

Anak-anak akan berkembang lebih baik.
Anak yang tinggal bersama kedua orangtuanya, memiliki

kecenderungan tinggi dalam prestasi akademik, cenderung rendah untuk
drop out dari sekolah, prosentase yang rendah untuk hamil diluar nikah, dan
memiliki keterampilan pengelolaan emosi yang lebih baik.
C.

ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
1.

HIV/AIDS
AIDS dan HIV adalah dua hal yang berbeda. AIDS (Acquired

Immune Deficiency Syndrome) atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh
merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
setelah terinfeksi HIV (Djoerban, 2001). Sedangkan, HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat melemahkan sistem

25
Universitas Sumatera Utara

kekebalan tubuh manusia, yakni suatu mekanisme tertentu dari tubuh atau
biasa disebut dengan respon imun, yang berfungsi menangkal ancaman
infeksi dan penyakit dari luar (Sarafino & Smith, 2011). Saat respon imun
menurun, tubuh menjadi mudah terserang penyakit infeksi baik dari virus,
bakteri, dan mikroba lainnya.
Orang dengan status positif HIV (seropositive), sangat rentan
terhadap serangan infeksi lanjutan yang disebut dengan opportunistic
infection (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997), seperti paru-paru basah
(pneumocystis carinii pneumonia) dan bahkan kanker (kaposi’s sarcoma)
(Sarafino & Smith, 2011). Pada hakikatnya, infeksi oportunistik tidaklah
berbahaya. Infeksi ini merupakan infeksi yang biasa dialami oleh setiap
orang dan tidak menyebabkan gangguan yang berarti jika kekebalan tubuh
dalam kondisi normal. Namun jika imunitas kian menurun, infeksi tersebut
dapat menjadi sekumpulan penyakit terminal (terminal illness) yang
berujung pada kematian (Sarafino & Smith, 2011).
HIV ditularkan dengan cara yang sangat terbatas, yakni melalui
kontak seksual atau pertukaran cairan tubuh. Dinyatakan terbatas, karena
HIV dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi hanya dapat ditemukan
dalam darah, air mani, dan cairan vagina, sedangkan melalui cairan-cairan
tubuh yang lain (air mata, keringat, air liur, dan air seni) tidak pernah
dilaporkan adanya kasus penularan (Djoerban, 2001). Pertukaran cairan
tubuh dapat terjadi melalui seks penetratif, yakni penis masuk kedalam
vagina atau anus saat melakukan aktifitas seksual, melalui ibu yang

26
Universitas Sumatera Utara

seropositif kepada bayinya secara perinatal (Tuapattinaja, 2004), transfusi
dari produk darah yang telah tercemar HIV (Muninjaya, 1999; Djoerban,
2001), dan penggunaan jarum suntik bergantian dengan orang yang telah
terinfeksi (Spiritia, 2004).
Seperti virus pada umumnya, HIV membutuhkan sel inang untuk
berkembang biak. Dengan menginfeksi sel inang, jumlah HIV akan
bertambah. Semakin banyak jumlah virus di dalam tubuh, imunitas tubuh
akan semakin memburuk. Sehingga, perkembangan penyakit menjadi AIDS
semakin cepat (Djoerban, 2001; Sarafino & Smith, 2011). Sampai saat ini
belum ada yang dapat memastikan kapan AIDS akan muncul. Menurut
Kaplan (dalam Tuapattinaja, 2004), kemunculan AIDS bervariasi antara 110 tahun, dengan kisaran rata-rata waktu 7-8 tahun. Kemudian Djoerban
(2001) menambahkan, dari semua orang yang seropositif, terdapat
kemungkinan 50% dari penderita akan mengidap AIDS setelah 10 tahun,
selanjutnya setelah 13 tahun hampir semuanya menunjukkan gejala AIDS,
dan meninggal dunia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, HIV merupakan “agen” yang
menyebabkan lemahnya kekebalan tubuh manusia, membuat tubuh menjadi
rentan terhadap penyakit dan infeksi sekunder lainnya. Virus ini masuk ke
dalam tubuh melalui pertukaran cairan tubuh dengan hubungan seksual, dari
ibu hamil ke pada janinnya, dan penggunaan jarum suntik bersama (sharing
needle) dengan pengidap HIV. Infeksi sekunder yang dimaksud adalah

27
Universitas Sumatera Utara

sekumpulan penyakit oportunistik yang menjadi indikator kemunculan
AIDS dalam rentang waktu tertentu.
a)

Gambaran Imunitas
Imunitas merupakan respon adaptif untuk melindungi tubuh dari

invasi virus (termasuk HIV), bakteri dan mikroba lainnya yang berpotensi
merusak dan menyerang sel atau pertahanan tubuh (Muma, Lyons, Borucki,
& Pollard, 1997). Organ utama dalam fungsi kekebalan ini adalah lymphoid,
yang selalu aktif memproduksi dan meyimpan lymphocyte (sel darah putih)
sel T (helper) atau biasa dikenal dengan CD4+, yakni salah satu partikel sel
darah putih yang berperan aktif dalam imunitas tubuh (Nursalam &
Kurniawati, 2007).
HIV termasuk dalam kategori retrovirus, karena keunikannya dalam
melakukan transkripsi informasi genetik secara terbalik dari RNA ke DNA
(Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997). Apabila virus telah tertanam
dalam DNA, cukup sekali saja terinfeksi HIV, seumur hidup penderita akan
membawa virus tersebut (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997;
Djoerban, 2001).
Sejak terinfeksi, secara bertahap HIV menguasai dan kemudian
merusak sel CD4+. Jumlah sel CD4+ semakin berkurang dalam darah,
sehingga ketahanan tubuh untuk mengantisipasi serangan berbagai kuman
penyakitpun ikut melemah. Selama masa inkubasi, sel CD4+ mengalami
penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum infeksi, menjadi 200-300/µl dalam
waktu 2-10 tahun (Nursalam & Kurniawati, 2007).

28
Universitas Sumatera Utara

Tahapan rusaknya sistem imun, awalnya tercermin pada keadaan
klinik tanpa gejala. Gejala-gejala klinik biasanya baru disadari penginap
HIV setelah beberapa waktu lamanya, karena adanya masa jeda yang
disebut dengan window period (Tuapattinaja, 2004). Window period
merupakan periode infeksi yang tidak menunjukkan gejala apapun, yang
berlangsung sejak infeksi pertama hingga penderita dinyatakan positif HIV.
Selanjutnya, disusul dengan gejala yang tidak berat, seperti pembesaran
kelenjer getah bening, diare, penurunan berat badan, dan sariawan. Biasanya
gejala klinik yang berat, sesuai dengan kriteria AIDS, baru muncul setelah
jumlah limfosit CD4+ kurang dari 200/µl (Djoerban, 2001).
Berdasarkan penjabaran tingkat klinik diatas, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa ada fase yang dilalui oleh pengidap HIV sampai dengan
berkembang menjadi AIDS. Fase tersebut dapat terjadi dalam rentang waktu
yang cukup lama (sekitar 2-10 tahun).
b)

Pengobatan HIV/AIDS
Infeksi HIV bersifat permanen. Apabila sekali terinfeksi, virus ini

akan diderita sumur hidup (Djoerban, 2001). Untuk mengatahui keberadaan
HIV, saat ini ada beberapa metode pemeriksaan yang dapat dilakukan, yakni
metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), Western Blot, dan
IFA (Immunofluorescence Antibody Assay) (DeVita, Hellman, &
Rosenberg, 1988). Biasanya tes baru dapat dilakukan setelah 2 atau bahkan
sampai dengan 12 minggu sejak infeksi awal.

29
Universitas Sumatera Utara

Siapa saja dapat terkecoh dengan hasil tes yang negatif HIV
(seronegatif) dan merasa aman dari ancaman. Transmisi virus dapat terus
terjadi saat penderita masih dalam periode asimptomatik (Muma, Lyons,
Borucki, & Pollard, 1997). Oleh karena itu perlu diwaspadai dan sebaiknya
melakukan pemeriksaan ulang 3-6 bulan berikutnya. Kemudian, apabila
hasil pemeriksaan positif, tindakan-tindakan yang tepat harus segera
dilakukan untuk mencegah perkembangan HIV di dalam tubuh. Tindakan
yang paling utama adalah melalui pengobatan dengan antiretroviral agents,
atau yang biasa disebut dengan ARV (antiretroviral).
ARV yang pertama kali ditemukan adalah AZT (azidothymidine)
yang berfungsi menghambat enzim reserve transcriptase (transkripsi
terbalik) untuk berkembang biak. Kemudian, pada tahun 1990an,
pengobatan HIV semakin berkembang dengan lahirnya proteinase inhibitor,
yakni jenis ARV yang menghambat enzim protase, sehingga mengakibatkan
virus HIV generasi baru akan cacat dan tidak mampu menginfeksi
(Djoerban, 2001).
Enzim protase sendiri berfungsi untuk memberikan kemampuan
terhadap HIV generasi berikutnya melanjutkan infeksi ke sel limfosit.
Dengan adanya proteinase inhibitor ini, akhirnya dapat mengurangi jumlah
infeksi yang mungkin terjadi terhadap sel limfosit lainnya secara dramatis
(Tuapattinaja, 2004). Kemudian, setelah tahun 1998, muncul ARV dengan
nama Sustiva yang dinyatakan lebih ampuh jika dikombinasikan dengan
ARV generasi sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian terhadap

30
Universitas Sumatera Utara

pasien dengan jumlah virus yang amat banyak, sekitar 100.000 kopi RNAHIV/ml darah. (Djoerban, 2001). Hasilnya sangat menggembirakan, setelah
pengobatan selama 24 minggu pada 90% kasus, jumlah virus dalam darah
berkurang sampai dengan tidak terdeteksi lagi (kurang dari 400 kopi/ml).
Dari seluruh penjabaran diatas, disimpulkan bahwa antiretroviral
(ARV) merupakan obat yang dapat menghambat perkembangan restrovirus
di dalam tubuh. Obat ini tidak dapat menangkal transmisi HIV dan bukan
suatu tindakan medis yang dapat menyembuhkan dan membunuh virus.
ARV hanya dapat mencegah reproduksi virus, mempertahankan jumlah
virus seminimal mungkin dalam darah, dan menjaga kestabilan sistem imun
akibat invasi HIV, sehingga pengidap dapat menjalankan kehidupan dengan
“normal”.
2.

ODHA Perempuan
Siapa saja dapat terinfeksi HIV, baik laki-laki maupun perempuan,

tergantung seberapa banyak peluang dan seberapa besar faktor resiko
penularan. Dalam hal ini, perhatian utama lebih mengarah kepada
perempuan, karena adanya kasus infeksi terhadap perempuan yang
kesehariannya hanya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT).
Amelia (2015) melalui media SindoNews.com mengabarkan bahwa,
HIV telah merebak menjangkiti sekitar 617 orang IRT di Kota Medan,
jumlah ini tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah PSK (pekerja
seks komersial) yang terinfeksi HIV saat itu. Fenomena ini mengejutkan,
karena keseharian berada dirumah, peluang terinfeksi dan faktor resiko

31
Universitas Sumatera Utara

terkait penularan HIV sangat tidak memungkinkan bagi IRT. Infeksi
tersebut, menurut pengamatan Eban Totonta Kaban (dalam Amelia, 2015)
berasal dari suami yang suka “jajan” alias tidak setia kepada istrinya.
Kondisi ini mematahkan anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa
HIV/AIDS adalah penyakit akibat perilaku yang menyimpang. Buktinya,
tidak hanya orang-orang yang berperilaku menyimpang saja, bahkan IRT
dapat terdampak akibat penularan yang disinyalir berasal dari suami.
Perhatian kepada perempuan menjadi begitu dikedepankan, karena
perempuan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan
perawatan, baik untuk mereka yang terinfeksi maupun untuk penderita
AIDS (Muninjaya, 1999). Apabila ada salah seorang anggota keluarga,
seperti halnya suami terinfeksi HIV/AIDS, orang yang paling bertanggung
jawab untuk merawat dan manjaga adalah kaum perempuan, yakni istrinya
sendiri. Dibalik itu, sorotan negatif masyarakat akan langsung menjurus
kepada istri ketimbang kepada suami, terlepas siapa sebenarnya pembawa
infeksi tersebut kedalam rumah-tangga (Dalimoenthe, 2011).
Selain fokus diatas, ketidakmampuan perempuan sebagai istri dalam
rumah-tangga untuk menolak kewajibannya melayani suami dalam
hubungan badan merupakan faktor resiko tertinggi bagi mereka
(Dalimoenthe, 2011). Dalimoenthe (2011) menuturkan bahwa, jika istri
sudah terjangkiti, pintu masuk semakin besar bagi HIV untuk menggerogoti
rumah-tangga. Penularan semakin melebar kepada anggota keluarga
lainnya, yakni anak-anak.

32
Universitas Sumatera Utara

Penularan pada anak dapat terjadi dari kehamilan dari ibu yang
seropositif kepada bayinya, baik in utero (dalam kandungan), selama
persalinan, maupun setelah bayi lahir. Kemungkinan penularan dari Ibu
seropositif terhadap bayi berkisar 30-40% (Muninjaya, 1999). Selain itu,
Muninjaya (1999) menambahkan bahwa, ada kemungkinan ASI (Air Susu
Ibu) turut menjadi media transmisi terhadap bayi, karena HIV juga dijumpai
dalam ASI meskipun dalam dosis kecil.
Demikian besarnya dampak apabila perempuan telah masuk dalam
lingkaran HIV/AIDS, terlebih lagi apabila sudah terkait dengan
keberlangsungan hidup berumah-tangga. Ada ketakutan mengenai
kehilangan suami, mencemaskan keadaan anak-anak atau bayi yang
dikandungnya, bahkan akan berimbas kepada eksistensi keluarga dalam
kehiduapan sosial di masyarakat (Dalimoenthe, 2011).
Dari seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, ODHA
perempuan merupakan seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi HIV
melalui diagnosa dari seperangkat tes atau pemeriksaaan darah, dengan
jenis kelamin perempuan. Istilah ODHA biasa digunakan untuk menyatakan
serostatus perempuan tersebut yang positif HIV, baik pada tahap tanpa
gejala maupun yang sudah menunjukkan gejala AIDS.
D.

GAMBARAN FORGIVENESS ODHA PEREMPUAN
Pernikahan memuat tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban sebagai
tujuan bersama dalam peran suami dan istri. Peran tersebut, bertujuan
menciptakan pernikahan yang harmonis dan bahagia. Suami dituntut untuk

33
Universitas Sumatera Utara

dapat mengayomi, memimpin, melindungi, dan mencari nafkah, dan istri
mengemban peran pengasuhan, pemeliharan, dan menenangkan atau
menghibur (Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008).
Banyak hal yang dapat menghambat tujuan pernikahan dan menjadi
sumber masalah dalam pernikahan. Masalah yang biasa dihadapi dalam
pernikahan, diantaranya adalah masalah finansial, gaya komunikasi,
keluarga, tugas-tugas rumah tangga, dan selera pribadi (Handayani,
Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Selain itu, ketidaksetiaan
pasangan juga menjadi masalah yang sering terjadi (Dalimoenthe, 2011).
Handayani dan kawan-kawan (2008) mengungkapkan bahwa, lakilaki lebih cenderung memiliki kemungkinan berselingkuh dari pada
perempuan. Berselingkuh, berganti-ganti pasangan seksual atau hanya
sekedar menggunakan jasa pekerja seks komersial (PSK). Hal ini membuat
laki-laki beresiko tinggi terdampak berbagai infeksi penyakit menular
seksual, termasuk HIV (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).
Disamping itu, trend seks sebelum menikah (premarital sexual behavior)
(Santrock, 1995), dan penggunaan narkoba jarum suntik juga dapat
membuat seseorang beresiko tertular HIV (Spiritia, 2004).
Saat kembali kerumah, suami dengan segala penyakit menular
termasuk HIV dapat menginfeksi keluarga. Istri beresiko tinggi tertular
pertama kali. Apabila istri telah tertular, penularan akan melebar kepada
anggota keluarga lainnya, yakni anak-anak (Muninjaya, 1999). Istri (ODHA
Perempuan) akan sangat tersakiti saat mengetahui dirinya tertular HIV dari

34
Universitas Sumatera Utara

suaminya sendiri. Perasaan tersakiti dalam hubungan interpersonal menurut
McCullough (McCullough & Witvliet, 2002) disebut dengan interpersonal
transgression. Seperti kebanyakan perempuan lainnya, dalam pernikahan
ODHA perempuan juga menuntut berbagai perasaan dan kepercayaan
(Papalia, Olds, & Feldman, 2011). Oleh karena itu, saat transgresi terjadi,
ODHA perempuan merasa dikhianati dan diperlakukan tidak adil oleh
suami, karena telah melanggar kepercayaannya. Keadaan ini jika dibiarkan
berlarut-larut akan menjadi masalah berkepanjangan (Widhikora & Rusli,
2013) dan mengakibatkan kegagalan pernikahan.
Permasalahan dalam penikahan tidak selalu berujung buruk. Apabila
dapat diseleseikan dengan baik, pernikahan akan semakin kuat bertahan
(Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Oleh karenanya,
dalam menghadapi transgresi oleh suami, ODHA perempuan perlu
menyelesaikan permasalahan dengan cara yang baik. Salah satu cara terbaik
menghadapi transgresi menurut McCullough (dalam McCullough,
Pargament, & Thoresen, 2000) adalah forgiveness. ODHA perempuan dapat
memilih untuk forgiveness terhadap apa yang telah dilakukan suami
terhadapnya agar keutuhan rumah tangga dapat terjaga.
Banyak alasan mengapa forgiveness perlu dalam konteks
pernikahan, McCullough (dalam McCullough, Pargament, & Thoresen,
2000) mengungkapkan bahwa, dengan forgiveness seseorang dapat
mempertahankan

komitmen

dalam

keluarga.

Dengan

melakukan

forgiveness dalam mengatasi masalah pernikahan, suami istri dapat lebih

35
Universitas Sumatera Utara

terbuka, mengakui kesalahan, menyusun kembali harapan-harapan dan
tujuan pernikahan (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000;
(Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Selain itu,
dengan forgiveness, ODHA perempuan sebagai dalam perannya sebagai
istri seperti pengasuhan dan pemeliharaan dapat berjalan dengan baik.
Sehingga, harapan membesarkan anak dalam keluarga yang harmonis lebih
mungkin dapat dilaksanakan.
E.

KERANGKA TEORITIS

PERNIKAHAN

Istri terinfeksi
HIV

Suami dengan
HIV

Interpersonal
Transgression

FORGIVENESS

Unforgive

HIV/AIDS

Forgive

Avoidanceforgiving

Avoidanceforgiving

Revengeforgiving

Revengeforgiving

Benevolence
-forgiving

Benevolence
-forgiving

36
Universitas Sumatera Utara