Kepuasan Perkawinan Pada Suami/Istri Yang Pasangannya Odha

(1)

KEPUASAN PERKAWINAN PADA SUAMI/ISTRI

YANG PASANGANNYA ODHA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

STEFANI ANASTASIA

041301115

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Kepuasan Perkawinan pada Suami/Istri yang Pasangannya ODHA.

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Maret 2009 Materai

6000

Stefani Anastasia 041301115


(3)

Kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA. Stefani Anastasia dan Raras Sutatminingsih, M.Si., psikolog

ABSTRAK

Human immunodeficiency virus yang sering disingkat dengan HIV merupakan

virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino, 2006). Virus HI tidak sama dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency

Symdrome. Perbedaan yang jelas antara HIV dan AIDS, yaitu AIDS merupakan

kumpulan simptom yang terjadi karena terjangkit HIV. AIDS adalah penyakit infeksi yang disebabkan virus HI yang menyebar melalui kontak darah dan semen (Sarafino, 2006). Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan (Sugiyati, 2008). Sesuai dengan hierarki kebutuhan Maslow (dalam Lahey, 2004) yang menyatakan terdapat lima kebutuhan dasar manusia dimana kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan untuk mencintai/dicintai (need of loving). Hubungan cinta merupakan bentuk ketertarikan antar pribadi yang menjadi dasar dari suatu perkawinan (Ahmadi, 1999). Menurut Bhrem (2002), perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Perkawinan mungkin merupakan hal yang berat untuk penderita penyakit terminal termasuk AIDS, dimana perkawinan menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pasangan dan tanggung jawab terhadap masyarakat (Duvall dan Miller, 1985), yang jelas sulit untuk dipenuhi oleh penderita AIDS yang memiliki banyak keterbatasan dan dengan kemungkinan kematian yang sangat tinggi (Sarafino, 2006).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh partisipan. Karakteristik partisipan adalah suami atau istri yang memiliki pasangan ODHA dan partisipan tidak mengidap HIV. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct

sampling). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (in-depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi psikologis suami/istri ketika mengetahui pasangannya mengidap HIV yaitu terkejut. Aspek kepuasan perkawinan yang terganggu berbeda pada setiap partisipan. Aspek kepuasan perkawinan yang dilihat adalah aspek, komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, resolusi konflik, manejemen keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran. Partisipan I dan partisipan II sama-sama belum merasakan kepuasan perkawinan.

Kata kunci: kepuasan perkawinan, suami/istri yang memiliki pasangan ODHA.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang begitu baik. Terima kasih atas berkat dan penyertaan yang Engkau berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan seminar ini guna memenuhi persyaratan mata kuliah seminar bidang psikologi klinis. Tanpa kasih setia-Mu kepada penulis, penulis tidak mungkin dapat menyelesaikan seminar ini.

Rasa terima kasih yang tidak terhingga penulis berikan kepada papa (Joseph Eduard Nagel) dan mama (Maria Siburian) atas doa yang tiada hentinya kepada penulis dan dukungan yang mereka berikan kepada penulis baik moriil maupun materiil.

Dengan penuh rasa hormat penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian seminar ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chaerul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si., selaku dosen pembimbing dan penguji I dalam penyusunan seminar ini. Terima kasih atas waktu, pengertian, dukungan, kesabaran, dan kesungguhan Ibu dalam membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Untuk Pak Is yang telah melancarkan surat-surat keluar. Terima kasih ya pak.


(5)

4. Untuk Pak Rahmat, tante Hafni dan kak Dedek yang telah membantu penulis mendapatkan subjek untuk wawancara pralapangan.

5. Untuk Tika yang selalu memberikan informasi tentang jadwal bimbingan dan untuk semangat yang diberikan. Semangat ya Tik. Terima kasih untuk semua anak seminar klinis yang memberikan semangat.

6. Untuk Rayez, Bima, Renny, dan teman-teman lainnya yang turut

membantu dan mendukung penulis.

7. Untuk abang (Martin Patrick, S.H.) dan adek-adek penulis (Gerard William Nagel dan Olivia Fransiska Nagel) yang telah banyak memberikan dukungan serta membantu penulis dalam menyusun seminar ini.

8. Untuk subjek penelitian, terima kasih atas kesediaan dan waktunya dalam membantu penulis ketika wawancara dan memberikan jawaban-jawaban yang penulis butuhkan untuk data dalam penulisan ini. Tetap semangat dalam mendampingi pasangannya, jangan menyerah dan putus asa. Tuhan selalu beserta kalian.

9. Teman-teman angkatan 2004 terima kasih atas segala dukungan kalian semua.

Kepada seluruh pembaca, terima kasih telah menyempatkan untuk membaca seminar penulis. Bahkan yang sekarang sedang membaca seminar ini semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.


(6)

Syalom,

Stefani Anastasia

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR TABEL ………ix

DAFTAR LAMPIRAN ……….x BAB I PENDAHULUAN


(7)

A. Latar Belakang masalah ……….. 1

B. Perumusan Masalah ………. 10

C. Tujuan Penelitian ………... 11

D. Manfaat Penelitian ………... 11

E. Sistematika penulisan ………... 12

BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan ... 13

2. Pengertian Kepuasan Perkawinan ... 14

3. Area-area dalam Perkawinan ... 15

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan.. 20

B. ODHA 1. Pengertian ODHA dan HIV/AIDS ... 23

2. Penularan HIV ... 25

3. Reaksi Psikologis Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)... 25

II.C. Paradigma ... 28

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ……….. … 29

B. Partisipan Penelitian ………... … 30

1. Karakteristik Partisipan Penelitian ……… 30

2. Jumlah Partisipan Penelitian ……….. 30


(8)

4. Lokasi Penelitian ………... 31

C. Metode Pengambilan Data ………. 32

1. Wawancara ……….. 32

D. Alat Bantu Pengambilan data ………. 33

1. Alat Perekam (Tape Recorder)………... 33

2. Pedoman Wawancara ………... 34

E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ……….. 34

F. Prosedur penelitian ……….. 35

1. Tahap Pralapangan ………... 35

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ………. 37

3. Tahap pencatatan data ………. 37

4. Prosedur analisa data ……….. 37

BAB IV HASIL ANALISA DATA A. Partisipan I ……… 40

1. Analisa Data ………. 40

a. Identitas Diri Partisipan I ……… 40

b. Deskripsi Data Partisipan I ………. 40

2. Observasi Umum Partisipan I ………. 42

3. Data Wawancara Partisipan I ……….. 46

a. Gambaran Penyebab Pasangan Partisipan Mengidap HIV……….………... 46

b. Gambaran Masalah Psikologis pada Partisipan I ………. 48


(9)

c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan I… 50

4. Interpretasi Data Partisipan I ………. 67

B. Partisipan II ……… 74

1. Analisa Data ………. 74

a. Identitas Diri Partisipan II………. 74

b. Deskripsi Data Partisipan II………. 74

2. Observasi Umum Partisipan II………. 76

3. Data Wawancara Partisipan II……….. 80

a. Gambaran Penyebab Pasangan Partisipan Mengidap HIV……….………... 80

b. Gambaran Masalah Psikologis pada Partisipan II ………. 83

c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan II… 84 4. Interpretasi Data Partisipan II ……….101

C. Analisa Data Antar Partisipan ……… 110

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan ……… 114

B. Saran ……….. 119

DAFTAR PUSTAKA ……….. 121 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I ... ... 40 Tabel 2. Jadwal Wawancara Partisipan I ………... 42 Tabel 3. Gambaran masalah Psikologis Partisipan I ... 72 Tabel 4. Gambaran Area-area Kepuasan Perkawinan pada Partisipan I… 72 Tabel 5. Gambaran Umum Partisipan II ... 74 Tabel 6. Jadwal Wawancara Respopnden II ... 76 Tabel 7. Gambaran masalah Psikologis Partisipan II ... 108 Tabel 8. Gambaran Area-area Kepuasan Perkawinan pada Partisipan II..108 Tabel 9. Analisa Banding Antar Partisipan ... 110


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Verbatim Subjek I

Verbatim Subjek II

LAMPIRAN 2. Pedoman Wawancara


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Human immunodeficiency virus yang sering disingkat dengan HIV merupakan

virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino, 2006). Virus HI tidak sama dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency

Symdrome), walaupun masyarakat atau media massa mencampur-adukkan

keduanya. Perbedaan yang jelas antara HIV dan AIDS, yaitu AIDS merupakan kumpulan simptom yang terjadi karena terjangkit HIV. AIDS adalah penyakit infeksi yang disebabkan virus HI yang menyebar melalui kontak darah dan semen (Sarafino, 2006).

Pertama kali AIDS ditemukan di Indonesia pada tahun 1983 oleh dokter Zubairi Djoerban yang meneliti dua orang waria penghuni taman lawang dan dipublikasikan Oktober 1983 (Djoerban, 2001). Secara umum, AIDS diidentifikasi sejak tahun 1981 yang dipandang sebagai penyakit homoseksual. Pada tahun 1982, AIDS muncul pada penderita hemofilia. Ilmuwan memperbaharui teori AIDS dan mempersepsikan bahwa AIDS diakibatkan oleh virus yaitu virus HI (dalam Ogden, 2000).

Virus HI belakangan ini menjadi salah satu krisis kesehatan karena dapat mengancam kestabilan negara. Virus HI menjadi masalah besar karena diidentifikasi sebagai penyakit yang melibatkan lapisan masyarakat yang paling produktif, yaitu yang berusia sekitar 15 – 49 tahun (Lek, 2008). Perlunya


(13)

perhatian akan penyakit ini disebabkan oleh kenyataan bahwa virus ini sangat membahayakan nyawa banyak orang dan menyerang semua kalangan yang mungkin bersentuhan langsung dengan virus ini (Sarafino, 2006). Saat ini AIDS menduduki peringkat keempat penyebab kematian terbesar di dunia (Sugiyati, 2008).

Virus HI sangat mengkhawatirkan karena kemampuan virus untuk bertahan dalam tubuh manusia dan hingga sekarang belum ditemukan formula yang paling ampuh untuk mengatasinya (Sugiyati, 2008). Pengetahuan medis saat ini hanya sanggup untuk menahan perkembangan virus ini dengan mengkonsumsi obat

antiretroviral yang biasa disebut ARV, sehingga HIV menjadi salah satu virus

yang paling ditakuti (Sarafino, 2006).

Penyebaran virus HI dapat terjadi melalui pertukaran jarum suntik, transfusi darah, dan hubungan seksual. Perilaku seksual yang menjadi bagian cara penularan HIV/AIDS belum dijadikan sebagai suatu hal yang penting dalam masyarakat (Sugiyati, 2008).

Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan (Sugiyati, 2008). Sesuai dengan hierarki kebutuhan Maslow (dalam Lahey, 2004) yang menyatakan terdapat lima kebutuhan dasar manusia dimana kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan untuk mencintai/dicintai (need of loving). Setiap manusia dan tidak terlepas ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) juga mempunyai kebutuhan yang sama yaitu kebutuhan untuk mencintai/dicintai. Hubungan cinta merupakan


(14)

bentuk ketertarikan antar pribadi yang menjadi dasar dari suatu perkawinan (Ahmadi, 1999).

Menurut Bhrem (2002), perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Perkawinan didefinisikan secara akurat sebagai hubungan yang diakui secara sosial antara seorang pria dan seorang wanita yang menyediakan hubungan seksual dan kemampuan atau keinginan mempunyai anak. Sangat penting membuat konsep perkawinan dan keluarga sejelas mungkin (Duvall dan Miller, 1985).

Perkawinan bukanlah peristiwa hidup yang tunggal, tetapi merupakan satu set tahapan dimana pasangan mencoba untuk mencapai keseimbangan antara ketergantungan dan otonomi sebagaimana mereka bernegosiasi terhadap masalah kontrol, kekuasaan dan otoritas (Kovacs, dalam Kurdeck, 1999). Setiap orang mungkin mempunyai pertimbangan yang berbeda ketika harus memutuskan untuk memasuki lembaga perkawinan, yang dikategorikan ke dalam dua faktor utama,

push factor, yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk segera

memasuki perkawinan; dan pull factors, yaitu faktor-faktor daya tarik yang menetralisir kekhawatiran seseorang untuk terikat dalam perkawinan yang akan mengurangi kebebasan (Turner & Helms, dalam Domikus, 1999).

Perkawinan mungkin merupakan hal yang berat untuk penderita penyakit terminal termasuk AIDS, dimana perkawinan menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pasangan dan tanggung jawab terhadap masyarakat (Duvall dan Miller,


(15)

1985), yang jelas sulit untuk dipenuhi oleh penderita AIDS yang memiliki banyak keterbatasan dan dengan kemungkinan kematian yang sangat tinggi (Sarafino, 2006).

Keterbatasan itu berhubungan dengan menurunnya kekebalan tubuh mereka, ODHA akan menghadapi banyak masalah fisik (Dimatteo, 1991). Masalah fisik yang mungkin akan dialami oleh ODHA, yaitu seperti warna kulit yang berubah dan infeksi dari penyakit yang membuat penderita HIV/AIDS semakin takut akan kematian, yang dipaparkan dalam kutipan hasil wawancara berikut:

“….aku melihat istriku makin lama kulitnya makin gosong kayak terbakar gitu, apalagi semenjak konsumsi ARV, makin parah... istriku dek, gampang kali sakit, sariawan terus batuk-batuk… yang aku tahu, orang kena HIV/AIDS mudah kali diserang penyakit, kan kekebalan kita yang diserangnya…. tadi aku lihat banyak kali orang yang kurus-kurus datang ke sini, nanti istriku gitu juga gak ya?” (Komunikasi Personal, 08 Mei 2008). Selain itu, ODHA juga mengalami tekanan psikologis karena HIV/AIDS termasuk salah satu penyakit yang mengakibatkan kematian (terminal illness). Kondisi yang biasanya menyertai terminal illness antara lain ketakutan akan kematian, penyangkalan, marah, menutup diri (diam) dan stress (Dimatteo, 1991). Selain itu, AIDS seringkali membawa implikasi yang berat terhadap orang yang dekat dengan penderita terutama pasangan penderita penyakit terminal yang turut merasakan penderitaan yang dialami pasangannya (Pence dkk, 2006).

Sejalan dengan pernyataan di atas yang mengatakan bahwa dampak penyakit terminal bisa berupa stress yang diakibatkan oleh tekanan yang datang dari masyarakat yang menganggap HIV/AIDS sebagai ‘penyakit kaum nakal’, ‘penyakit gay’ dan ‘penyakit kutukan’. Perlakuan ini menyebabkan penderita mengalami pengucilan, penindasan dan diskriminasi (Fazidah, 1998). Penolakan


(16)

ini bahkan datang dari keluarga penderita itu sendiri, sesuai dalam kutipan wawancara berikut:

“…kemarin itu waktu dia diopname disini, dia kena sariawan, aku bilang ama dia, dek maaf ya, abang megang adek pake sarung tangan karena abang takut bukan karena abang jijik ama adek. Jadi kemarin itu kan dek, istri abang ini bibirnya pecah-pecah semua....” (Komunikasi Personal, 8 Mei 2008).

Dampak stress juga dialami oleh pasangan penderita penyakit. Penelitian oleh Dehle dkk juga menemukan bahwa tekanan stress yang dialami pasangan dapat menyebabkan penurunan dalam kepuasan perkawinan. (Hollist dkk, 2007).

Penelitian oleh Pence dkk (2006) juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara cinta, komunikasi dan keintiman fisik terhadap kepuasan dalam perkawinan. Kurangnya cinta, komunikasi dan keintiman fisik berpengaruh terhadap penurunan kualitas kepuasan dalam perkawinan.

Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Huges & Noppe, 1985). Sementara itu, terkadang pasangan penderita AIDS sulit untuk menerima kenyataan bahwa mereka dituntut untuk menjadi pengasuh pasangannya yang mengalami keterbatasan setelah menderita AIDS (Pence dkk, 2006).

Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun


(17)

seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.

Campbell (dalam Domikus, 1999) menemukan bahwa orang-orang yang terikat dalam perkawinan seharusnya merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan ketika mereka menduda, menjanda atau sebelum menikah. Kepuasan hidup yang diperoleh melalui perkawinan ini disebabkan karena hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dapat dipenuhi melalui perkawinan, sebagaimana dikemukakan oleh Walgito (dalam Domikus, 1999) bahwa melalui perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis atau biologis, psikologis, sosial, dan religious.

Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat area-area dalam perkawinan, seperti komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, dan kesetaraan peran.

Terdapat beberapa area dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan perkawinan dimana salah satunya adalah komunikasi yang melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya yang berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya (Olson & Fowers, dalam Saragih, 2003) Masalah dalam perkawinan akan muncul ketika komunikasi tidak terjalin dengan baik ( Kelly, dalam Sawitri, 2005) karena komunikasi yang baik dalam perkawinan erat


(18)

hubungannya dengan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh kedua individu (Sawitri, 2005).

Area perkawinan yang kedua yang dapat mengukur kepuasan perkawinan menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) adalah kegiatan di waktu luang untuk melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi (Newman & Newman, 2006).

Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa area yang ketiga untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah orientasi keagamaan. Landis & Landis (dalam Wahyuningsih, 2002) menyatakan tingkat religiusitas dalam perkawinan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan. Pria dan wanita menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang pernah diperoleh sebelumnya (Hurlock, 1999), sehingga untuk mencapai kepuasan perkawinan, seseorang harus mendapat kepuasan beragama (Jane, 2006).

Penyelesaian konflik yang merupakan persepsi suami atau istri terhadap konflik dan penyelesaiannya dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) sebagai area yang keempat dalam perkawinan untuk mengukur kepuasan perkawinan. Kemampuan untuk mengatasi konflik bisa diwujudkan bila semua anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah dan mendiskusikan dengan baik (Henslin, 1985).


(19)

Area yang kelima dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan perkawinan menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) adalah pengelolaan keuangan yang menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Kesulitan dalam bidang ekonomi sehingga mengurangi pendapatan keluarga dapat muncul karena adanya masalah kesehatan (Emmanuel et all., 2000). Kesulitan ekonomi merupakan masalah yang menyebabkan pengaruh negatif dalam perkawinan, dimana hal ini dapat menyebabkan penurunan terhadap kepuasan perkawinan (Conger et al., 1990).

Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), hubungan seksual merupakan salah satu area yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka.

Keluarga dan teman termasuk dalam area perkawinan untuk mengukur kepuasan perkawinan (Olson & Fowers dalam saragih, 2003). Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarga sendirinya, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama (Hurlock, 1999).

Area berikutnya dalam perkawinan untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah kehadiran anak dan pengasuhan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak


(20)

serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan. Kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama pasangannya yang juga mempengaruhi waktu senggang antara istri dengan suami (Hendrick & Hendrick, 1992).

Kepribadian merupakan salah satu area dalam perkawinan yang juga mengukur kepuasan perkawinan (Olson & Fowers dalam Saragih, 2003). Matthews (1996) mengatakan bahwa tingkah laku dan kepribadian pasangan dapat menyebabkan kekecewaan terhadap pasangan jika tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, namun jika tingkah laku pasangan sesuai dengan apa yang diharapkan dapat menimbulkan perasaan puas (Matthews, 1996).

Kesetaraan peran merupakan area terakhir dalam pengukuran kepuasan perkawinan yang telah dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam saragih, 2003). Agoestinelli menyatakan bahwa peran dalam kehidupan perkawinan berkaitan dengan pekerjaan, tugas rumah tangga, peran jenis kelamin dan peran sebagai orangtua (Kail & Cavanaugh, 2000).

Terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Duvall (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa salah satu dari faktor-faktor tersebut adalah kehadiran anak.

Peneliti melakukan wawancara pada seorang suami yang istrinya terinfeksi virus HI, berikut kutipan wawancara tersebut:

“…aku aneh juga gitu kan dek, masak kami pake kondom gitu, orang nikah supaya mau ada keturunan ini kok malah gak mau ada keturunan… saya risih juga makenya, bingung gitu napa, apa dia gak suka ma aku ya, atau dia jijik ma aku… waktu saya tahu dia HIV barulah saya sadar napa dia gitu, saya


(21)

jadinya pikir positiflah, rupanya dia gitu karena sayang ma aku, dia gak mau aku kena juga kayak dia…. sejujurnya ya pasti pernahlah gak pake kondom cuma dia agak aneh gitu, takut-takut dia buatnya…” (Komunikasi Personal, 08 Mei 2008).

Peneliti juga melakukan wawancara pada seorang istri yang suaminya terserang virus HI, berikut kutipan wawancara tersebut:

“……saya bahagia kok, orangtua saya mendukung saya dan suami saya… saya udah mikirin masak-masak sebelum saya menikah, jadi nggak ada penyesalan bagi saya… memang kami belum punya anak, bukan karena nggak bisa, siapa bilang kami nggak bisa punya anak, tapi kami sedang menunggu waktu aja, kami sekarang fokus ke finansial dulu, nanti anak saya gimana kalau kami sendiri belum mapan… memang kami selalu kontrol ke dokter, jadi dokter selalu mengecek kapan harinya virus itu tidak sedang aktif-aktifnya jadi saya bisa punya anak tanpa saya dan anak saya terkena virus itu…” (Komunikasi Personal, 08 Maret 2008).

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pasangan ODHA memerlukan perawatan yang intensif agar memiliki anak yang tidak terkena virus HI begitu juga dengan pasangannya. Keterbatasan pencapaian salah satu aspek pemenuhan kepuasan perkawinan tersebut memunculkan pertanyaan apakah pasangan ODHA kesulitan untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan secara keseluruhan. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana kepuasan perkawinan pada pasangan ODHA”. Proses tersebut dilihat dari:


(22)

2. Bagaimana reaksi psikologis yang dialami oleh suami/istri ketika mengetahui pasangannya mengidap HIV/AIDS?

3. Bagimana kepuasan perkawinan pada suami/istri apabila pasangannya mengidap HIV/AIDS?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepuasan perkawinan

pada pasangan ODHA. Hal ini penting untuk diketahui mengingat pentingnya kepuasan perkawinan pada manusia termasuk pada ODHA.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah khasanah ilmu pada psikologi klinis bidang kesehatan mengenai kepuasan perkawinan pada pasangan ODHA.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan penelitian ini memberikan masukan ataupun sumbangan informasi kepada pasangan ODHA agar mereka mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan.

b. Sebagai wacana/pengetahuan mengenai kepuasan perkawinan pada

pasangan ODHA, selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi peneliti selanjutnya.


(23)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah, yang berisi kepuasan perkawinan: pengertian perkawinan, pengertian kepuasan perkawinan, area-area dalam perkawinan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan; ODHA: pengertian ODHA dan HIV/AIDS, penularan HIV, reaksi psikologis ODHA.

Bab III : Metodologi Penelitian

Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif; metode pengumpulan data: wawancara; alat pengumpulan data: alat perekam, pedoman wawancara; subjek dan lokasi penelitian: karakteristik subjek penelitian, jumlah subjek penelitian, teknik pengampilan subjek, lokasi penelitian; prosedur penelitian: tahap pralapangan, tahap pelaksanaan penelitian, tahap pencatatan data; dan metode analisa data.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEPUASAN PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan

Bhrem (2002) menyatakan bahwa perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Duvall (1985) menyatakan bahwa perkawinan adalah persetujuan masyarakat atas penyatuan suami dan istri dengan harapan mereka akan menerima tanggung jawab dan melakukan peran sebagai pasangan suami istri dalam kehidupan perkawinan.

Undang-Undang RI tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Astuti, 2003).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka perkawinan disimpulkan sebagai suatu hubungan yang diawali ketika dua orang individu yang berlainan jenis saling mengucapkan janji di depan umum untuk hidup bersama sebagai suami istri dan membentuk keluarga atas keinginan dan harapan untuk menetapkan hubungan yang bahagia dan kekal sepanjang hidup berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan dimasukkan peneliti dalam penelitian ini agar peneliti sendiri mengetahui arti dari perkawinan itu sebagai dasar dalam penelitian ini.


(25)

2. Pengertian Kepuasan Perkawinan

Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) mendefinisikan kepuasan perkawinan

sebagai evaluasi terhadap area-area dalam perkawinan yang mencakup komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, dan kesetaraan peran.

Symonds & Horvath (dalam Judge dkk, 2006) menyebutkan pengertian kepuasan perkawinan sebagai:

“an attitude of greater or lesser favorability toward one’s own marital

relationship”.

Menurut Roach, dkk (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) kepuasan perkawinan merupakan persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu.

Secara umum, Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.

Hendrick & Hendrick (1992) mengemukakan istilah-istilah yang termasuk dalam kepuasan perkawinan: kebahagiaan dan penyesuaian dalam perkawinan, kesepakatan akan nilai, prioritas dan “peraturan” keluarga bagi pasangan dalam


(26)

perkawinan, frekuensi berhubungan seksual, frekuensi perbedaan pendapat, ada atau tidak ada penyesuaian tentang perkawinan, ketelibatan emosional dengan anak-anak, dan berbagai perasaan lain, ekspresi verbal dan tingkah laku yang menjadi ciri evaluasi dari suatu hubungan.

Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Huges & Noppe, 1985).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan adalah evaluasi mengenai kehidupan perkawinan yang dapat diukur dengan melihat area-area dalam perkawinan yang mencakup: komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian dan kesetaraan peran.

Pengertian kepuasan perkawinan dimasukkan peneliti dalam penelitian ini agar peneliti mengetahui arti dari kepuasan perkawinan sebelum melakukan penelitian.

3. Area-area dalam Perkawinan

Kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat area-area dalam

perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003). Adapun area-area tersebut adalah sebagai berikut:


(27)

a. Komunikasi

Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya yang membagi komunikasi perkawinan dalam lima elemen dasar, yaitu:

openness (adanya keterbukaan antar pasangan), honesty (kejujuran

terhadap pasangan), ability to trust (kemampuan untuk mempercayai satu sama lain), emphaty (kemampuan mengidentifikasi emosi dan pasangan),

listening skill (kemampuan menjadi pendengar yang baik).

b. Kegiatan di waktu luang

Area ini menilai pilihan kegiatan unutk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat menikmati kebersamaan yang mereka ciptakan.

c. Orientasi keagamaan

Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan perkawinan. Menurut Landis & Landis (dalam Wahyuningsih, 2002), tingkat religiusitas dalam perkawinan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan. Jika seseorang memiliki


(28)

keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya, dan merasa bahwa mereka wajib memberi teladan kepada anaknya dengan membiasakan diri beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembahyang secara teratur, ikut dalam kegiatan atau organisasi agama (Hurlock, 1999).

d. Penyelesaian konflik

Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Sebagaimana dinyatakan oleh Kail & Cavanaugh (2000) bahwa kebahagiaan dalam perkawinan dapat terbina dengan melakukan komunikasi yang konstruktif dan positif mengenai masalah yang sedang dihadapi.

e. Pengelolaan keuangan

Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Henslin (1985) mengemukakan bahwa pasangan yang senang dengan pemasukan yang mereka peroleh akan cenderung puas terhadap perkawinannya, tetapi mungkin saja keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang buruk dapat bahagia dan langgeng selama tercipta kesepakatan bersama dalam pengelolaan keuangan. Konflik dapat muncul jika salah seorang dari


(29)

pasangan menunjukkan otoritas terhadap pasangannya dan meragukan kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

f. Hubungan seksual

Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam kasih sayang dan hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan dan memilih waktu yang tepat untuk berhubungan seksual dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan perkawinan. g. Keluarga dan teman

Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman dapat dilihat dalam area ini. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dan mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian


(30)

waktunya bersama keluarga sendirinya, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama (Hurlock, 1999).

h. Anak dan pengasuhan anak

Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimna pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan jika itu dapat tercapai. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan.

i. Kepribadian

Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuain diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya, sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan pura-pura menjadi orang lain. Namun setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul dan perbedaan dari apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dalam menimbulkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku


(31)

pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

j. Kesetaraan peran

Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya adalah para pekerja, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock (1999) menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

Peneliti memasukkan teori mengenai area-area dalam perkawinan agar peneliti mengetahui bagian-bagian apa saja yang penting atau yang utama dalam perkawinan sehingga peneliti dapat mengetahui bagian mana yang terpenuhi dan yang tidak terpenuhi pada pasangan ODHA.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan antara lain, sebagai


(32)

a. Kehadiran anak

Duvall (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa hadirnya anak di kemudian hari terbukti potensial dalam mengurangi kepuasan perkawinan, mengingat keakraban dan perhatian suami istri terbagi dengan anak. Selain itu, anak menuntut banyak energi dan juga uang dalam banyak hal akan menambah kompleks beban keluarga. Ditambahkan oleh Kurdek (dalam Bhrem, 2002) bahwa anak adalah pekerjaan yang tidak ada akhirnya, dan sebagian besar orangtua mengalami penurunan yang drastis dan tidak diharapkan dalam menikmati waktu berdua. Ketika bayi lahir, konflik meningkat dan kepuasan perkawinan (dan cinta terhadap pasangan) menurun, khususnya pada wanita (Belsky, dalam Bhrem, 2002). Selain menambah stress pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992), kehadiran anak dalam keluarga juga meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian (Katvetz, Warner & Acock, dalam Bhrem, 2002).

b. Tingkat pendidikan

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Kurdek (dalam Lefrancois, 1993), ditemukan bahwa bagi pria dan wanita, rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan terjadinya persengketaan dalam perkawinan. Hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan akan mengurangi kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan verbal dan sosial dalam menyelesaikan konflik, dan persiapan yang kurang baik terjadi pada awal perkawinan. Ditambahkan oleh Hendrick & Hendrick (1992) bahwa pasangan yang memiliki tingkat


(33)

pendidikan rendah merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran dan tingkat penghasilan yang rendah.

c. Latar belakang sosial ekonomi

Status sosial ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan perkawinan (Hendrick & Hendrick, 1992). Umumnya, individu dengan status pekerjaan rendah, kurang pendidikan, dan pendapatan yang rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk bercerai (Kitson et al; Karney & Brabury, dalam Bhrem, 2002).

d. Usia ketika menikah

Pada wanita, usia ketika pertama kali menikah merupakan faktor penting yang berhubungan dengan kepuasan perkawinan. Pada umumnya, semakin dewasa wanita ketika menikah, maka akan semakin bahagia ia dalam perkawinannya. Selain itu, ditemukan juga bahwa remaja yang menikah memiliki frekuensi dua kali lebih besar untuk bercerai dibandingkan dengan wanita yang lebih dewasa (Lefrancois, 1993).

e. Lama perkawinan

Sebagaimana dikemukakan oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993) bahwa tingkat kepuasan tertinggi terjadi awal perkawinan, menurun setelah kelahiran anak pertama, dan meningkat kembali setelah anak terakhir meninggalkan rumah.


(34)

Peneliti memasukkan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan agar di dalam penelitian, peneliti dapat melihat kepuasan perkawinan pada pasangan ODHA.

B. ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) 1. Pengertian ODHA dan HIV/AIDS

ODHA yang merupakan singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS adalah seseorang yang setelah menjalankan tes atau pemeriksaan darah dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS (Tuapattinaja, 2004).

Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih sering disingkat dengan AIDS adalah penyakit menular yang disebabkan oleh suatu virus yang disebut dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu virus yang melumpuhkan sistem kekebalan tubuh manusia. Individu yang AIDS rentan terjangkit berbagai penyakit yang mengancam (Sarafino, 1998).

Sebenarnya penyebutan AIDS sebagai penyakit (disease) tidaklah tepat karena penyakit yang menyerang sangat bervariasi. Oleh karena itu lebih tepat kalau AIDS disebut sindrom atau kumpulan gejala penyakit (Pusdiknakes, 1997).

Virus HI ditularkan khususnya dengan pertukaran cairan tubuh yaitu cairan seksual dan darah (Taylor, 1995). Agar berpindah dari satu orang ke yang lain, HIV umumnya butuh kontak dengan sel yang memiliki molekul CD-4. Sel tersebut ditemukan dalam sistem kekebalan tubuh yang disebut sel T-Hepler. Proses penularan dari HIV mengikuti tahapan sebagai berikut (Ogden, 2000):


(35)

b. Virus HI masuk dalam sitoplasma.

c. Sel itu sendiri menghasilkan DNA pro-viral yang adalah kopian dari sel tuan rumah (host cell).

d. Pro-virus ini memasuki inti sel tuan rumah (host cell).

e. Sel tuan rumah (host cell) memproduksi partikel viral baru dengan membaca kode viral dari DNA viral.

f. Partikel viral ini mulai keluar dan mempengaruhi sel baru.

g. Akhirnya, setelah memperbanyak diri, sel tuan rumah (host cell) mati. HIV menyerang dan merusak tipe khusus dari sel darah putih, yaitu limposit T4. Sel T4 disebut “gelandang” sistem kekbalan tubuh. Sel T4 mengenali zat-zat asing lain dalam tubuh (patogen) yang menyerang dan memerintahkan sel darah putih tipe lain untuk membentuk antibodi untuk menyerang sel yang tertular (Nevid, Rathus, & Greene, 1994). Dengan adanya HIV, sel T4 menjadi rusak sehingga mengakibatkan sistem kekebalan tubuh berangsur-angsur menurun. Karena sistem kekebalan menurun, seseorang yang telah terinfeksi HIV akan mudah diserang bibit penyakit (Santrock, 2002).

Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah semakin parah, seseorang pengidap HIV akan berkembang menjadi AIDS, yang ditandai oleh sekumpulan gejala, dan kondisinya akan terus menerus memburuk sampai akhirnya kemudian meninggal (Santrock, 2002).

Peneliti menguraikan arti dari ODHA dan HIV/AIDS untuk mengetahui apa sebenarnya ODHA dan HIV/AIDS.


(36)

2. Penularan HIV

Para ahli mengatakan bahwa HIV dapat ditularkan melalui (Kalichman dalam Santrock, 2002):

a. Hubungan seksual b. Pertukaran jarum suntik c. Transfusi darah

d. Kontak lain secara langsung dari luka atau selaput lender dengan darah dan cairan seksual.

Peneliti memasukkan teori tentang penularan HIV/AIDS dikarenakan hal ini memberikan informasi kepada peneliti tentang penyebab ODHA yang merupakan pasangan dari subjek penelitian terkena HIV/AIDS.

3. Reaksi Psikologis Suami/Istri yang Pasangannya ODHA

Kubler-Ross (dalam Santrock, 2002) mengemukakan lima tahapan reaksi

psikologis dalam menghadapi kematian pada pasien-pasien terminal illness (penyakit yang mengakibatkan kematian). AIDS termasuk salah satu penyakit yang mengakibatkan kematian. Tahapan reaksi psikologis tersebut, yaitu:

a. Penyangkalan dan isolasi (denial and isolation)

Seseorang menyangkal bahwa kematian benar-benar terjadi. Seseorang berkata, “Tidak, bukan saya. Ini tidak mungkin.” Ini adalah reaksi pada penyakit kematian (terminal illness). Penyangkalan biasanya hanya pertahanan sementara dan akhirnya digantikan dengan meningkatnya kesadaran ketika seseorang dihadapkan dengan beberapa masalah seperti


(37)

pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai dan khawatir mengenai anggota keluarga yang masih hidup.

b. Marah (anger)

Seseorang menyadari bahwa penyangkalan tidak dapat lagi dipertahankan. Penyangkalan sering memunculkan kemarahan, kebencian, kegusaran, iri hati. Pertanyaan yang biasanya muncul pada orang yang menghadapi kematian adalah, “Mengapa saya?” pada tahap ini seseorang menjadi semakin sulit untuk dirawat karena kemarahan seringkali salah sasaran dan diproyeksikan terhadap dokter, perawat, anggota keluarga dan Tuhan. c. Tawar-menawar (bargaining)

Seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian dapat ditunda. Beberapa orang masuk ke dalam tawar-menawar atau negosiasi – seringkali dengan Tuhan– sambil mencoba untuk menunda kematian. Secara psikologis seseorang berkata, “Ya, saya, tetapi ….” Dalam usaha mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan dari kehidupan, seseorang berjanji untuk merubah kehidupan dan mendedikasikannya pada Tuhan atau melayani orang lain.

d. Depresi (depression)

Pada tahap ini, periode depresi dan kesedihan muncul. Seseorang yang menghadapi kematian menjadi pendiam, menolak pengunjung dan meluangkan banyak waktu untuk menangis atau bersedih. Perilaku ini normal pada keadaan ini dan sebenarnya adalah usaha unutk memisahkan diri dari semua objek yang disayangi. Usaha untuk menggembirakan orang


(38)

yang menghadapi kematian ini mengecilkan hati karena mereka butuh untuk merenungkan kematian yang akan datang.

e. Penerimaan (acceptance)

Seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir. Pada tahap ini, perasaan dan rasa sakit dan fisik hilang. Kubler-Ross menjelaskan tahap kelima ini sebagai akhir dari pergumulan kematian, istirahat terakhir sebelum meninggal.

Tetapi tidak semua individu mengikuti urutan yang sama. Beberapa individu berjuang hingga akhir, mencoba mati-matian untuk tetap berpegang pada hidup mereka. Mereka tidak pernah menerima datangnya kematian tersebut (Santrock, 2002).

Sebuah pandangan menunjukkan fakta dari beberapa pasien kematian yang mengikuti rangkaian penyesuaian dengan rapi dan terprediksi, tetapi sebagian besar emosi, dan koping seseorang seseorang berubah-ubah, dapat kembali ketahapan sebelumnya dan berlanjut ke tahapan selanjutnya. Beberapa orang melewati tahap spesifik seperti marah lebih dari masa penyesuain mereka; yang lain menjalani lebih dari satu reaksi emosi secara bersamaan dan beberapa tampaknya melewati tahapan yang melompat-lompat (Reed et all, dalam Sarafino, 2006).

Peneliti memasukkan teori mengenai reaksi psikologis ODHA untuk mengetahui bagaimana dampak psikologis pada ODHA dan pasangannya serta bagaimana perilaku-perilaku mereka. Gejala psikologis yang ada pada ODHA dan pasangannya juga dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan mereka.


(39)

C. PARADIGMA

Menikah

ODHA

Pasangan

ODHA

Kepuasan perkawinan (Olson &

Fower dalam Saragih, 2003):

1.

Komunikasi

2.

Kegiatan di waktu luang

3.

Orientasi keagamaan

4.

Penyelesaian konflik

5.

Pengelolaan keuangan

6.

Hubungan seksual

7.

Keluarga dan teman

8.

Anak dan pengasuhan anak

9.

Kepribadian

10. Kesetaraan peran

Reaksi


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000), metode penelitian

kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia responden secara keseluruhan dari perspektif subjek sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994). Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan hal ini lebih bermakna daripada penjumlahan bagian-bagian kecil (Patton dalam Poerwandari, 2007). Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997), metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam dan detail, fakta berupa kumpulan data tidak dibatasi oleh kategori yang ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya dijelaskan bahwan kelebihan metode kualitatif adalah dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Penelitian kualitatif juga menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku teramati.


(41)

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk melihat pengalaman-pengalaman subjektif individu dalam kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA sehubungan dengan adanya virus HI pada pasangannya. Hal ini dikarenakan pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan perhatian pada apa yang dialaminya dan mengungkapkan pengalaman yang dijalaninya sehingga dapat memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh mengenai suatu fenomena yang di teliti.

B. RESPONDEN PENELITIAN 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini mempunyai kriteria: a. Individu yang sudah menikah.

b. Pasangan individu mengidap HIV/AIDS (ODHA). c. Individu tidak mengidap HIV/AIDS.

2. Jumlah Subjek Penelitian

Miles & Huberman (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa penelitian

kualitatif sedikit banyak dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan (investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus mendapat gambaran tentang fenomena yang dimilikinya.

Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada dasarnya, jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan secara


(42)

tegas di awal penelitian (Sarantakos, dalam Poerwandari, 2007). Pada penelitian ini, rencananya akan menggunakan tiga subjek penelitian.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Poerwandari (2007) mengungkapkan bahwa pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional dilakukan dengan memilih sampel dengan kriteria tertentu, berdasrkan teori atau sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yaiti merupakan individu yang memiliki pasangan pengidap HIV/AIDS dan telah menikah dengan ODHA tersebut. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar representatif artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan dilakukan di kota Medan, Sumatera Utara karena

dalam Harian Umum Analisa (2008) menyatakan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan dirawat 42 orang mengidap HIV+ dengan usia produktif antara 21 – 45 tahun dan warga tertinggi yang dirawat di RSUP Haji Adam Malik adalah warga Medan (Bara, 2008). Subjek yang akan diambil sesuai dengan karakteristik subjek di atas. Hal ini penting agar memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian.


(43)

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Menurut Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Metode pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis cacatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2001). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) sebagai metode utama dan observasi pada saat wawancara dilakukan dengan alasan yang akan diuraikan selanjutnya.

1. Wawancara

Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadapi isu tersebut. Hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif dibandingkan dengan pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara,


(44)

namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori dari Santrock (2002) tentang penularan HIV, dan reaksi psikologis ODHA oleh Kohler-Ross (1969) (dalam Santrock, 2002), teori mengenai kepuasan perkawinan yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) yang menyatakan bahwa terdapat area-area dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan perkawinan.

Berdasarkan teori-teori inilah, pedoman wawancara disusun untuk memperoleh data tentang kepuasan perkawinan suami/istri yang pasangannya ODHA. Peneliti akan menggali perasaan yang dihadapi suami/istri yang pasangannya ODHA akibat kondisi psikologis yang dideritanya, bagaimana pasangannya dapat mengidap HIV/AIDS dan area-area apa saja yang dapat memenuhi kepuasan perkawinannya.

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007) bahwa dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara, alat perekam (tape recorder).

1. Alat Perekam

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu


(45)

itu, peneliti menggunakan alat perekam agar tidak perlu terlalu sibuk mencatat dan dapat memfokuskan perhatian pada topik pembicaraan dan observasi. Dengan demikian diharapkan jalannya wawancara dapat berlangsung lebih lancar dalam konteks alami.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah bagaimana pasangan subjek terkena HIV/AIDS, apa reaksi psikologis subjek memiliki pasangan yang mengidap HIV/AIDS, dan area-area yang terdapat dalam perkawinan agar terjadi kepuasan perkawinan pada suami/istri yang memiliki pasangan ODHA tersebut. Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku karena tidak tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara supaya data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

E. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah pertama, paling banyak dipilih dan paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikankan konsep validitas yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan


(46)

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan area-area kepuasan perkawinan menurut Olson dan Fowers (dalam Saragih, 2003) pada suami/istri yang pasangannya ODHA .

F. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2000). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analis data.

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan peneltian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang berhubungan dengan HIV/AIDS, baik melalui orang-orang sekitar, teman-teman, dosen, artikel, dan internet untuk meyakinkan peneliti mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada suami/istri yang pasangannya ODHA. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang telah diperoleh.

b. Mempersiapkan landasan teori

Peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan HIV/AIDS dan kepuasan perkawinan.


(47)

c. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertantanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

d. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan criteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaanya (inform concent) untuk menjadi partisipan.

e. Membangun rapport

Setelah memperoleh kesediaan dan responden penelitian (tanda tangan responden pada lembaran inform concent), peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah itu peneliti dan responden penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak. Sebelum melakukan penelitian, peneliti menemui karyawan suatu LSM dimana temannya di LSM tersebut merupakan pasangan partisipan. Saat karyawan LSM tersebut mengenalkan peneliti dengan partisipan I, maka peneliti mencoba membangun rapport dengan partisipan dengan mulai beramah tamah dan menanyakan kabar partisipan. Setelah itu, peneliti menjelaskan tentang tujuan penelitian ini, partisipan dengan senang hati bersedia untuk membantu peneliti.


(48)

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Peneliti meminta persetujuan responden untuk dijadikan responden penelitian.

Setelah itu, mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya peneliti membina

rapport agar partisipan penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing.

Wawancara akan dilakukan di tempat yang telah ditentukan dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir peneliti juga akan mencacat bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung.

Proses wawancara dilakukan dalam jangka waktu 1 minggu, dari tanggal 22 Januari 2009 sampai dengan 29 Januari 2009. Pelaksanaan pengambilan data partisipan I (Sahrul) dilakukan pada hari Kamis, 22 Januari 2009 pada pukul 16.00-17.30 WIB. Pelaksanaan pengambilan data partisipan II (Dewi) dilakukan pada hari Kamis, 29 Januari 2009 pada pukul 11.00-12.00 WIB.

3. Tahap Pencatatan Data

Data yang telah diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk verbatim berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode observasi berupa data deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

4. Prosedur Analisa Data

Beberapa tahapan dalam menganalisi data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu:


(49)

a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2007).

b. Organisasi data

Highlen & Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh data yang baik, (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta (c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah selesai diproses, data yang sudah ditandai/ dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.


(50)

c. Analisis tematik

Penggunaan analis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

d. Tahapan interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta memasukkan data ke dalam konteks konseptual yang khusus.


(51)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA, maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per subjek. Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

A. PARTISIPAN I (SAHRUL) 1. Analisa Data

a. Identitas Diri Partisipan I (Sahrul)

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I Keterangan Partisipan I

Nama Samaran Sahrul

Jenis Kelamin Pria

Usia 32 tahun

Pekerjaan Montir

Jumlah Anak 1 anak

Lama Perkawinan 3 tahun

Lama Pasangan Terinfeksi HIV/AIDS 6 bulan

b. Deskripsi Data Partisipan I (Sahrul)

Partisipan I dalam penelitian ini adalah Sahrul, seorang pria yang berusia 32 tahun. Sahrul menikah pada tahun 2005 dengan seorang wanita yang sangat dicintainya dan dapat menerima status istrinya sebagai seorang janda yang telah memiliki 1 anak. Mereka telah membina rumah tangga selama 3 tahun. Istri


(52)

partisipan telah mengidap virus HI sejak 6 bulan lalu, yaitu semenjak bulan Oktober tahun 2008 hingga saat ini bulan Februari tahun 2009. Istri partisipan mengidap virus HI karena menggunakan narkoba. Istri partisipan mengalami

stress berat karena ditinggal oleh suami pertamanya. Peneliti mengenal partisipan

dari suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang telah ditunjukkan oleh seorang karyawan di LSM itu sendiri. Nama LSM tidak dapat diberitahukan oleh peneliti untuk menjaga kerahasiaan data partisipan dan istrinya karena istri partisipan bekerja di LSM tersebut.

Sahrul mengenal istrinya yang pada saat itu istrinya sebagai tukang masak di tempat partisipan bekerja di Seribu Dolok, di daerah pegunungan dan di sanalah awal mula pertemuan mereka sampai akhirnya mereka menikah. Istri partisipan menjadi pendamping hidup partisipan selama 3 tahun. Untuk dapat mengetahui identitas partisipan I dapat dilihat dari tabel 1 di atas.

Sahrul memiliki 1 orang anak tiri yang merupakan hasil dari pernikahan istri partisipan yang pertama, namun anak tersebut tidak tinggal dengan partisipan dan istrinya melainkan dengan mertua partisipan. Istri partisipan sudah dua kali mengandung anak Sahrul namun kedua anaknya keguguran. Sahrul tidak menceritakan penyebab anak pertamanya keguguran, tetapi Sahrul menceritakan penyebab anak keduanya keguguran. Anak keduanya keguguran karena janinnya berada di luar kandungan dan istri partisipan harus operasi yang juga dikarenakan adanya kista di dalam rahimnya.

Sahrul memiliki kulit kuning langsat dan rambutnya panjang bergelombang. Sahrul bekerja di suatu perusahaan yang bergerak di bidang layanan jasa bengkel.


(53)

Partisipan tinggal di daerah Deli Tua bersama istrinya. Sahrul bekerja setiap hari kecuali hari Minggu dan hari libur umum. Sahrul berangkat dari rumah pukul 08.00 dan pulang pada sore hari pukul 17.00. Penghasilan partisipan dihitung per hari sebesar Rp.55.000 dan diperoleh pada akhir bulan. Penghasilan rata-rata yang diperoleh Sahrul sebesar Rp1.500.00/bulan.

2. Observasi Umum Partisipan I (Sahrul)

Tabel 2. Jadwal Wawancara Partisipan I No Partisipan Hari/Tanggal

Wawancara

Waktu Wawancara

Tempat Wawancara

1 Sahrul Kamis, 22 Januari 2009 16.00-17.30 Ruangan LSM

Peneliti mengenal Sahrul dari seorang karyawan di suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Medan. Pertama kali peneliti datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada tanggal 16 Januari 2009 pukul 10.00 untuk mengajukan surat ijin pengambilan data. Setelah surat ijin diserahkan ke bagian tata usaha, seorang pegawai dari rumah sakit umum tersebut membawa peneliti ke Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus). Pusyansus merupakan tempat masyarakat yang ingin melakukan tes HIV dan tempat para penderita HIV mendapatkan obat dan melakukan konseling. Pegawai rumah sakit umum tersebut menjumpai seorang pria pengidap HIV dan menanyakan apakah istrinya juga pengidap HIV dan pria tersebut mengatakan bahwa istrinya juga pengidap HIV, dan menyarankan agar datang ke suatu LSM tempat pria tersebut biasanya menghabiskan aktivitasnya sehari-hari.


(54)

Peneliti kemudian pulang ke rumahnya dan pegawai tersebut mengatakan akan menghubungi peneliti jika telah mendapatkan partisipan. Pada hari yang sama, tepatnya pukul 15.00, peneliti dan pegawai rumah sakit umum tersebut mendatangi LSM yang ditunjuk oleh pria yang berada di Pusyansus pagi itu. Kemudian pria tersebut mengenalkan peneliti dan pegawai rumah sakit umum kepada seorang pengurus LSM tersebut. Pengurus tersebut memanggil seorang karyawan di LSM tersebut ke suatu ruangan tempat biasanya para anggota LSM mengadakan rapat. Setelah karyawan tersebut datang, pengurus menanyakan kepada peneliti apa yang ingin diteliti oleh peneliti dan karakteristik subjek penelitian yang sesuai dengan penelitian ini. Peneliti memberikan penjelasan mengenai penelitian dan karakteristik subjek penelitian kepada pengurus dan karyawan LSM tersebut. Pengurus dan karyawan mengatakan bahwa LSM tersebut memiliki karyawan yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian ini. Karyawan LSM tersebut kemudian mengatakan akan menghubungi karyawan yang akan menjadi partisipan penelitian ini apakah mereka bersedia untuk diwawancarai. Pada hari Selasa tanggal 20 Januari, peneliti menghubungi karyawan LSM dan menanyakan tentang kesediaan calon partisipan untuk diwawancarai. Karyawan LSM mengatakan bahwa mereka bersedia untuk diwawancarai pada hari Kamis pukul 15.00.

Peneliti datang ke LSM tersebut pada hari yang telah ditentukan, yaitu Kamis, tanggal 22 Januari 2009 pukul 15.00. Saat peneliti sampai ke LSM tersebut, subjek penelitian sedang pergi menemani istrinya ke Rumah Sakit Umum Pringadi untuk menemui kliennya. Setelah menunggu selama 45 menit, yaitu


(55)

pukul 15.45, Sahrul dan istrinya datang. Karyawan lainnya di LSM tersebut menunjuk Sahrul dan istrinya dan mengatakan bahwa merekalah yang peneliti tunggu. Peneliti berkenalan dengan Sahrul dan istrinya. Sahrul kemudian langsung mengajak peneliti untuk melakukan wawancara. Sahrul dan peneliti masuk ke dalam suatu ruangan di LSM tersebut.

Pada pertemuan ini, Sahrul menggunakan kemeja berwarna biru langit yang merupakan baju dinas dari perusahaan tempat Sahrul bekerja dan menggunakan celana panjang. Rambut Sahrul panjang bergelombang dan berwarna hitam yang diikat dengan model ekor kuda. Wawancara dilakukan di suatu ruangan yang ukurannya kira-kira 2x3 m2 dan cacat dinding yang berwarna putih. Ruangan tersebut terdiri dari 4 meja dan 3 kursi. Pada meja panjang yang berwarna coklat muda tepat di samping pintu yang berwarna coklat tua, terdapat sebuah komputer dan terdapat kumpulan arsip-arsip yang tersusun di rak di bawah meja tersebut. Sebuah printer hitam terdapat di atas meja coklat berukuran kecil dan pendek berada di sudut ruangan, tepatnya di sebelah meja komputer dan di dinding di atas meja kecil tersebut terdapat sebuah whiteboard. Tepat di depan pintu ruangan terdapat sebuah meja coklat tua yang kosong yang bersebelahan dengan meja yang digunakan untuk wawancara. Ketika memasuki ruangan, Sahrul langsung duduk di kursi menghadap meja dan membelakangi komputer, di atas meja tersebut terdapat sebuah tas milik Sahrul dan dua gelas teh manis. Sahrul mempersilahkan peneliti untuk duduk. Peneliti duduk membelakangi jendela dan terdapat sebuah kursi plastik berwarna biru tua tepat di samping meja yang digunakan untuk wawancara.


(56)

Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang penelitian ini, apa tujuannya dan bagaimana Sahrul akan terlibat dalam penelitian ini. Peneliti memberitahukan kepada Sahrul bahwa peneliti menjaga kerahasiaan data partisipan. Peneliti juga meminta ijin kepada Sahrul untuk menggunakan tape

recorder dan Sahrul mengijinkan peneliti untuk merekam hasil wawancara.

Setelah Sahrul mengerti akan tujuan penelitian, wawancara pun dimulai pada pukul 16.00. Lebih jelasnya jadwal wawancara yang telah dilakukan dapat di lihat pada tabel 2 di atas.

Pada saat dilakukan wawancara, LSM tersebut memiliki banyak tamu yang sedang bercerita-cerita di teras LSM. Ruangan tempat dilakukan wawancara memiliki jendela yang mengarah ke teras tersebut, sehingga ruangan tersebut menjadi ribut, tetapi hal tersebut tidak mengganggu jalannya wawancara. Pada pertengahan wawancara, ada seorang wanita yang masuk ke dalam ruangan untuk mengambil tasnya yang berada di dalam laci di sebelah meja wawancara, dan wawancara dihentikan kira-kira 1 menit, setelah wanita itu mengambil tasnya, wanita itu permisi kepada kami. Beberapa saat kemudian, karyawan yang mempertemukan saya dengan partisipan mendatangi ruangan dan mengatakan bahwa ia mau pergi karena ada keperluan lainnya, karyawan tersebut menanyakan apakah semua baik-baik saja dan apa yang peneliti perlukan lagi, wawancara menjadi terhenti kira-kira selama 3 menit.

Pada saat awal wawancara, Sahrul duduk dengan menyenderkan badan di kursi sambil memperhatikan peneliti dan melihat apa yang ditulis oleh peneliti jika peneliti sedang menulis. Sahrul menghentikan pembicaraannya saat peneliti


(57)

sedang menulis dan melanjutkan pembicaraannya setelah peneliti selesai menulis. Sahrul melipat tangannya saat bercerita pada awal wawancara dan terkadang juga menggerak-gerakkan tangannya secara leluasa untuk membantunya menerangkan sesuatu. Sahrul mengusap dadanya saat bercerita tentang kesabarannya terhadap sikap mertuanya kepadanya. Sahrul tertawa saaat bercerita bahwa partisipan dari dulu memang banyak bersabar terhadap istrinya. Tatapan mata partisipan tetap tertuju kepada peneliti ketika bercerita, walaupun sesekali ia melihat ke tape

recorder atau melihat ke langit-langit ruangan.

3. Data Wawancara Partisipan I (Sahrul)

a. Gambaran Penyebab Pasangan Partisipan Mengidap HIV

Istri Sahrul mengidap HIV sejak bulan Agustus tahun 2008. Virus HI yang

diidap oleh istri Sahrul dikarenakan jarum suntik yang digunakan secara berganti-gantian. Istri Sahrul pernah menggunakan narkoba ketika suami pertama dari istri Sahrul meninggalkannya. Istri partisipan sudah memiliki anak dari hasil perkawinannya yang pertama yang berusia 2 tahun pada saat istri partisipan ditinggalkan oleh suaminya yang pertama. Pada saat itu, istri partisipan bekerja sebagai pelayan di suatu diskotik. Istri partisipan menceritakan masalahnya kepada orangtuanya, tetapi orangtuanya tidak memberikan jalan keluar atau memberikan dukungan moral kepada istri partisipan, melainkan menekan istri partisipan. Istri partisipan merasa tidak ada yang memberikan dukungan terhadapnya, sehingga istri partisipan mengalami stress yang berat dan mencoba


(58)

untuk menggunakan narkoba sebagai pelarian dari masalah yang sedang dihadapinya.

“…menikah, punya anak, bubaran. Ada masalah dalam rumah tangga,bubaran orang itu. Anak udah lahir, umur-umur 2 tahun, udah kerja-kerja-kerja dulu di diskotik. Stress dia kan, curhat sama orang tuanya, mamak angkatnya ini menekan dia. Iya, semua menekan dia, ya kan? Jadi, teman bicara dia gak ada untuk curhat dia, jadi dia lari ke narkoba. Udah ke narkoba, terus-terus-terus-terus-terus…”

(R1W1/b.323-334/hal 8).

Ketika Sahrul mengetahui bahwa istrinya mengidap HIV, sedangkan Sahrul sendiri tidak mengidap HIV, Sahrul bertanya kepada istrinya apa yang menjadi penyebab istrinya tertular virus tersebut. Sahrul berpikir bahwa istrinya hanya pernah melakukan hubungan seksual dengan Sahrul, tetapi mengapa Sahrul tidak mengidap HIV sedangkan istrinya mengidap HIV. Partisipan juga menanyakan apakah istrinya pernah bertukaran jarum suntik ketika menggunakan narkoba. “Tertular dari mana, kan gitu kan, sementara cuma saya aja. Kalau masalah dulu sama suaminya ya kan.”

(R1W1/b.255-258/hal 6)

“Memang saya pernah tanya sama dia, memang pernah dulu ganti-ganti jarum suntik, kadang make, dananya gak ada. Dananya untuk beli itu tertahan jadi kongsi-kongsian, ada 4 orang umpanya kan. Merekakan ganti-gantian, mungkin ada yang udah terjangkit virus HIV/AIDS dari make 4 orang itu ya kan. Jadi tertular dari orang itu.”

(R1W1/b.263-272/ hal 5-6)

Partisipan diberikan penjelasan oleh pihak rumah sakit bahwa penyebaran HIV lambat, sehingga disaat virus tersebut masuk ke dalam darah, virus tersebut tidak langsung dapat dideteksi. Virus HI dapat dideteksi dalam jangka waktu tertentu yang tidak dapat diprediksi oleh siapa pun.

“…karena gini kata orang ini, kalo penyakit ini memang lambat dia. Ada yang 10 tahun, ada yang 8 tahun, ada yang 3 tahun. Pas tahun 2008 ini dia baru


(59)

terasanya. Kalo dia berhenti udah 6 tahun, berhenti narkoba. Jadi selama 6 tahun ini baru jadi, jatuh dia.”

(R1W1/b.273-279/ hal 7)

Setelah Sahrul mendapat penjelasan oleh pihak rumah sakit mengenai perkembangan HIV, Sahrul mengetahui bahwa HIV tidak langsung dapat dideteksi. Sahrul akhirnya menerima kenyataan bahwa istrinya telah mengidap HIV.

b. Gambaran Masalah Psikologis pada Partisipan I (Sahrul)

Saat pertama kali mengetahui istrinya mengidap penyakit HIV, Sahrul merasa sangat terkejut akan apa yang terjadi pada istrinya. Sahrul sempat kehilangan semangat ketika mengetahui hal tersebut. Sahrul menjadi bimbang antara percaya dengan tidak percaya akan hasil pemeriksaan HIV di rumah sakit Hidayah tersebut. Sahrul merasa bahwa hasil tersebut tidaklah benar dan akurat. Sahrul memeriksakan dirinya dan istrinya di rumah sakit Hidayah Deli Tua dan hasilnya didapatkan pada hari itu juga, sedangkan di rumah sakit umum hasilnya baru dapat diketahui setelah dua hari.

“Saya pun terkejut ya kan. Tertular dari mana…” (R1W1/b.255-256/ hal 6)

“…cuma kita kan terkejut…” (R1W1/b.247/ hal 6)

“Semangat saya udah habis sebenarnya, saya antara percaya nggak percaya, pertamanya, waktu di Deli Tua. Saya nggak percayanya karena diperiksa darahnya satu hari itu, diambil pagi, siangnya udah tahu jenis penyakitnya. Jadi saya kan nggak percaya kan…”


(60)

“Apakah fasilitas di situ lengkap? Alatnya disitu ada semua? Sedangkan yang di rumah sakit besar aja 2 hari baru keluar hasilnya saya bilang gitu, hasilnya baru keluar 2 hari.”

(R1W1/b.237-242/ hal 6)

Sahrul merasa marah kepada dokter spesialis penyakit dalam yang memeriksakan Sahrul dan istrinya di rumah sakit Hidayah karena dokter tersebut sangat cepat mendiagnosa bahwa istrinya terinfeksi HIV. Sahrul tidak percaya akan hasil yang diberikan oleh dokter tersebut.

“…sempat marah juga saya pada malam itu. Mana dokternya saya bilang gitukan. Bisa-bisanyanya dia memvonis seperti itu, sementara dari tadi siang keluar hasilnya itu nggak mungkin.”

(R1W1/b.232-237/ hal 6) “…sempat emosi juga…” (R1W1/b.243/ hal 6)

Sahrul memiliki kesabaran yang cukup besar untuk menerima kenyataan bahwa istrinya telah mengidap HIV. Pada akhirnya Sahrul berusaha untuk tetap kuat dan tabah akan apa yang terjadi pada istrinya. Sahrul hanya bisa berpasrah diri.

“…cuma saya sabar…” (R1W1/b.246-247/ hal 6) “…cuma saya sabar.” (R1W1/b.243/hal 6)

“…kita ya pasrah aja, tetapi ya cuma berusaha aja, kuat, tabah.” (R1W1/b.283-285/ hal 7)

Pada saat ini, partisipan sudah dapat menerima kenyataan dan memberikan dukungan moral yang cukup kuat kepada istrinya yang tercinta untuk tetap berjuang dalam hidup karena istrinya sempat merasa putus asa dan berpikir dia akan pergi mendahului Sahrul.


(1)

R2W1B1139 R2W1B1140 R2W1B1141 R2W1B1142 R2W1B1143 R2W1B1144 R2W1B1145 R2W1B1146 R2W1B1147 R2W1B1148 R2W1B1149 R2W1B1150 R2W1B1151 R2W1B1152 R2W1B1153 R2W1B1154 R2W1B1155 R2W1B1156 R2W1B1157 R2W1B1158 R2W1B1159 R2W1B1160 R2W1B1161 R2W1B1162 R2W1B1163 R2W1B1164 R2W1B1165 R2W1B1166 R2W1B1167 R2W1B1168 R2W1B1169 R2W1B1170 R2W1B1171 R2W1B1172 R2W1B1173 R2W1B1174 R2W1B1175 R2W1B1176 R2W1B1177 R2W1B1178 R2W1B1179 R2W1B1180 R2W1B1181 R I R I

dia. Kedua kalinya sama kau. Berhubungan suami istri cuma sama kau, sama yang lain-lainnya nggak ada. Demi Tuhan, dicabut Tuhan pun sekarang nyawa aku ini, aku bersedia. Apakah ada perubahan peran menurut Kakak?

Iya adalah. Sekarang ini aku juga jadi kepala rumah tangga juga. Aku yang cari duit. Abang masih sakit kayak gini. Apakah peran dalam rumah tangga itu penting menurut Kakak?

Pentinglah. Ibaratnya aku sekarang yang jadi mamak tapi aku juga jadi bapak untuk nyari nafkah, harus kerja. Abang itu nggak bisa apa-apa, belum sanggup dia. Dia juga nggak berani megang anak-anak sama sekali. Takut kali dia anak-anaknya kena. Aku harus nyayangi anak-anakku lebih ekstra lagi ya kan. Kadang-kadang emosi kalau anak-anak ini nggak bisa diatur. Kadang mau juga sih aku marahin, kadang aku pukul kakinya. Itulah pikiran itu kalau lagi emosi. Itulah, mukul anak-anak juga aku akhirnya kalau udah nggak bisa diatur, kadang-kadang nggak bisa diatur ya. Bukan gara-gara pikiran aku ini tapi karena nggak bisa diatur anak ini. Ha…itu kadang-kadang aku mukul anak-anak ya kan tapi mukulnya bukan berlebihan. Kadang aku mikir, kasiannya anakku aku pukul. Udah nggak dapat kasih sayang dari bapaknya. Kadang aku mau nangis sendiri, tahu. Abang itu jadi yang marah sama aku. Dia marah kalau aku marah sama anak-anak ini. Kalau salah dimarahin tapi jangan sampai dipukul. Pernah aku pukul anak kami yang paling besar ini kan, aku giniin kepalanya, terus dia marah, tangan kau itu, biasa kali kau apain kepalanya itu.

Partisipan mengalami perubahan peran karena ia harus mengurus rumah dan keluarga dan juga harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pasangan partisipan belum sanggup mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk bekerja. Peran ganda yang dijalankan oleh partisipan membuatnya lelah dan terkadang anak-anaknya juga susah diatur dan membuat partisipan lepas kontrol,


(2)

R2W1B1185 R2W1B1186 R2W1B1187 R2W1B1188 R2W1B1189 R2W1B1190 R2W1B1191 R2W1B1192 R2W1B1193 R2W1B1194 R2W1B1195 R2W1B1196 R2W1B1197 R2W1B1198 R2W1B1199 R2W1B1200 R2W1B1201 R2W1B1202 R2W1B1203 R2W1B1204 R2W1B1205 R2W1B1206 R2W1B1207 R2W1B1208

R I

R

I

otak kau itu kotor kali. Kau ini udah punya anak 3. Ya… kita itu udah punya anak 3, jadi otak kau itu harus bersih-bersih dikit pikirannya, sampai kayak gitu katanya. Karena kadang aku kalau lagi marah itu mau bilang, iyalah mungkin ada di sana gini-gini. Otak itu jangan kotor, udah punya anak 3 jadi jangan ada punya pikiran lain-lain. Kalau sayangnya sama aku ya sayanglah karena kalau dipikir-pikir, kalau lagi umur kayak gitu, lagi ini-ininya,lagi muda-mudanyalah gitu. Lagi mau suka kayak gitu.

Apa Kakak ada merasakan kepuasan dalam perkawinan kakak?

Kepuasan perkawinan? Nggak adalah. Belum puaslah. Masih 5 tahun kami nikah langsung sakit pula abang ini kayak gini.

Kalau begitu, sekian aja wawancara kita hari ini ya Kak. Terima kasih banyak atas waktunya.

Iyalah. Sama-samalah ya, Fan.

Partisipan belum puas dengan perkawinannya karena pada tahun ke-5 perkawinannya, pasangannya mengidap HIV.

Kepuasan Perkawinan.


(3)

PEDOMAN WAWANCARA

“KEPUASAN PERKAWINAN SUAMI/ISTRI YANG PASANGANNYA ODHA”

I. Data Diri Partisipan

1. Nama partisipan :

2. Usia partisipan :

3. Usia pernikahan :

4. Usia pernikahan saat suami terserang HIV/AIDS :

5. Usia ketika menikah :

6. Pekerjaan partisipan :

7. Jumlah anak :

8. Riwayat pekerjaan pasangan : II. Riwayat Kesehatan Pasangan Partisipan

1. Darimana pasangan tertular HIV?

2. Apa gejala psikologis yang dialami pasangan setelah terserang HIV? 3. Berapa lama pasangan terserang HIV?

III.Gambaran Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan pada Partisipan 1. Komunikasi

a. Bagaimana partisipan berkomunikasi dengan pasangan? b. Apakah ada perubahan komunikasi?


(4)

2. Kegiatan mengisi waktu luang

a. Kegiatan apa saja yang pasangan dan partisipan lakukan ketika waktu senggang?

b. Apakah waktu senggang menjadi berkurang?

c. Apakah ada masalah dengan pengisian waktu senggang? 3. Orientasi keagamaan

a. Bagaimana keagamaan partisipan saat ini?

b. Apakah ada perubahan pada partisipan dari segi keagamaan? 4. Penyelesaian konflik

a. Bagaimana partisipan mengatasi konflik dalam perkawinan?

b. Apakah ada perubahan dalam mengatasi konflik setelah pasangan terserang HIV?

5. Pengelolaan keuangan

a. Apakah ada perubahan pendapatan dalam keluarga? b. Bagaimana pengaturan keuangan dalam keluarga? 6. Hubungan seksual

a. Bagaimana penilaian partisipan akan pentingnya hubungan seksual dalam perkawinan?

b. Bagaimana hubungan seksual setelah pasangan terserang HIV? c. Apa dampak yang partisipan rasakan?

7. Keluarga dan teman


(5)

b. Apakah mendapat dukungan dari keluarga dan teman? Bagaimana bentuk dukungan tersebut?

8. Anak dan pengasuhan anak

a. Apa yang partisipan rasakan saat hadirnya anak?

b. Bagaimana cara partisipan membagi waktu antara mengurus anak dengan merawat pasangan yang terserang HIV?

9. Kepribadian

a. Bagaimana kepribadian pasangan?

b. Apakah ada perubahan kepribadian pada pasangan yang partisipan rasakan?

10. Kesetaraan peran

a. Bagaimana peran yang dijalankan partisipan?

b. Apakah terdapat perubahan peran partisipan setelah pasangan terserang HIV?

c. Bagaimana pembagian peran antara partisipan dan pasangan dalam perkawinan?

d. Bagaimana pendapat partisipan mengenai keseimbangan peran dalam perkawinan setelah pasangan terserang HIV?


(6)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Kepuasan Perkawinan pada Suami/Istri yang Pasangannya ODHA.

Peneliti : Stefani Anastasia

NIM : 041301115

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagi subjek penelitian mengenai kepuasan perkawinan pada suami/istri yang pasangannya ODHA.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 22 Januari 2009