Fingerprinting kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeats (SSR) dan Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)

TNJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit
Kelapa sawit berasal dari daerah yang terletak di antara Guinea dan
Angola di Afrika Barat. Tanaman kelapa sawit diintroduksi ke Indonesia pada
Tahun 1848. Sebanyak empat bibit kelapa sawit ditanam di Kebun Raya Bogor.
Dari keempat bibit tersebut, dua bibit ditanam oleh Bourbon atau Mauritius pada
Februari 1848 dan dua bibit yang lain diperoleh dari Amsterdam pada Maret 1848
(Pamin, 1998). Saat ini, kelapa sawit sudah berkembang pesat, khususnya di
Indonesia dan Malaysia.

Secara bersamaan, saat ini Indonesia dan Malaysia

menguasai lebih dari 95% produksi kelapa sawit di dunia (Bakar, 2003).
Tanaman kelapa sawit termasuk dalam famili Arecaceae, subfamili
Cocoideae, tribe Cocoineae, dan genus Elaeis. Genus Elaeis terdiri dari dua
sepesies yaitu E. guineensis yang dikenal sebagai kelapa sawit dari Afrika dan E.
oleifera Cortez yang dikenal juga dengan kelapa sawit asal Amerika Latin.
Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil menyerbuk silang dengan genom
diploid mempunyai 16 pasang kromosom (2n = 2x = 32). Ukuran genom sawit
yang diestimasi berdasarkan teknik flow cytometry adalah sebesar 3,79 pico
gram/2C setara dengan sekitar 1,8 x 109 pasang basa (Rival et al.1997).

Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763
berdasarkan pengamatan pohon–pohon kelapa sawit yang tumbuh di Martinique,
kawasan Hindia Barat, Amerika Tengah. Kata Elaeis (Yunani) berarti minyak,
sedangkan kata Guineensis dipilih berdasarkan keyakinan Jacquin bahwa kelapa
sawit berasal dari Guinea (Pahan, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Tanaman kelapa sawit tumbuh tegak lurus dan dapat mencapai ketinggian
pohon sampai 20 m. Bagian tanaman yang perlu diketahui adalah akar, batang,
daun, bunga, buah dan biji serta perkecambahan. Akar yang pertama muncul dari
biji yang telah berkecambah adalah radikula yang panjangnya 15 cm. Selanjutnya
akan keluar akar primer yang keluar dari bagian bawah batang dengan arah
45º dari permukaan akar. Dari akar primer ini akan tumbuh akar sekunder dengan
arah horizontal. Dari akar sekunder tumbuh akar tertier dan kwarter yang berada
dekat dengan permukaan tanah. Akar tertier dan akar kuarter adalah akar yang
paling aktif dalam mengambil air dan hara. Penyebaran akar sangat dipengaruhi
oleh kondisi tanah. Sebagian besar akar cenderung berkembang ke bagian dalam
tanah (positif geotropism) (Soehardjo, 1999).
Batang kelapa sawit tumbuh tegak (phototropi) dibalut pangkal pelepah

daun. Batang berbentuk silinderis dan mempunyai diameter 45 cm-60 cm pada
tanaman dewasa. Bagian bawah umumnya lebih besar dan mempunyai diameter
45 cm - 60 cm pada tanaman dewasa. Bagian bawah umumnya lebih besar yang
disebut dengan bongkol batang. Bagian dalam batang merupakan serabut, yang
dilengkapi jaringan pembuluh sebagai penguat batang dan untuk menyalurkan
hara (Soehardjo, 1999).
Daun pertama yang keluar dari stadia bibit berbentuk lanceolate,
kemudian muncul bifurcate dan selanjutnya bentuk pinnate. Pada bibit berumur 5
bulan misalnya akan dijumpai 5 lanceolate 4 bifurcate dan 3 pinnate. Pada bibit
yang berumur 12 bulan dijumpai 5lanceolate, 4 bifurcate dan 10 pinnate. Daun
kelapa sawit terdiri atas rachis (pelepah daun), pinnae (anak daun) dan spines

Universitas Sumatera Utara

(lidi). Panjang pelepah daun bervariasi dengan rataan pada tanaman dewasa bisa
mencapai sembilan meter. Pelepah daun pada batang menurut spiral, ada yang ke
arah kiri (bagian atas kiri ke kanan bawah) dan umumnya ke arah kanan
(bagian atas kanan ke kiri bawah). Letak susunan daun ini disebut phyllotaxis
(Soehardjo, 1999).
Tanaman kelapa sawit setelah ditanam di lapangan mulai berbunga pada

umur 12-14 bulan tergantung dari varietas dan tipe umur bibit yang ditanam serta
kondisi lingkungan. Pada satu pohon kelapa sawit, dari setiap ketiak pelepah
daun akan keluar tandan bunga jantan atau bunga betina. Pada tanaman muda
terutama pada saat tanaman mulai berbunga sering dijumpai bunga banci
(hermaprodit). Pada bunga ini dalam satu tandan dijumpai bunga jantan dan
bunga betina.Selain itu juga dapat dijumpai bunga andromorpic (androgynous)
yaitu bunga yang secara morfologi adalah bunga jantan tapi sebagian spikeletnya
dijumpai bunga betina yang dapat membentuk buah sawit kecil (Soehardjo, 1999).
Tandan bunga jantan dibungkus oleh seludang bunga dan akan pecah jika
akan anthesis. Tandan bunga yang sedang anthesis akan berbau khas. Setiap
tandan bunga jantan, sesuai dengan umurnya dapat menghasilkan tepung sari
sebanyak 25-60 gram dan jumlah ini dihasilkan dalam waktu 2-3 hari. Setelah
anthesis selesai seluruh tandan bunga akan berwarna agak abu-abu dan ditumbuhi
cendawan. Tandan bunga betina dibungkus oleh seludang bunga yang akan pecah
15-30 hari sebelum anthesis. Satu tandan bunga betina akan anthesis secara
bertahap dan umumnya memerlukan waktu 3-5 hari. Bunga betina yang siap
diserbuki pada waktu mekar berwarna putih dan hari kedua akan menjadi kuning

Universitas Sumatera Utara


gading, hari ketiga berwarna jingga, dan hari keempat berwarna merah kehitaman.
Selama bunga anthesis, bunga berbau harum dan mengeluarkan lendir untuk
menarik serangga (Soehardjo, 1999).
Buah akan matang 5-6 bulan setelah penyerbukan. Buah tersusun pada
spikelet dan karena kondisi terjepit maka buah yang terletak dibagian dalam akan
lebih kecil dan kurang sempurna bentuknya dibandingkan buah yang terletak di
bagian luar. Kematangan buah khusunya yang digunakan sebagai kriteria matang
panen di perkebunan lepasnya buah secara alami atau biasa disebut membrondol.
Buah yang telah lepas disebut dengan brondolan (Soehardjo, 1999).

Fingerprinting
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam lokus terdapat alel yang memuat
DNA dalam jumlah yang bervariasi dan berbeda antara satu individu dengan
individu lainnya. Hal ini dikenal dengan sebutan DNA polymorphisme yang dapat
dideteksi dengan PCR. Untuk mendeteksi DNA tersebut dikenal dengan nama
DNA fingerprinting atau “DNA profilling” atau “DNA typing”. DNA
fingerprinting bekerja dengan cara mendeteksi pola pita yang terbentuk dari hasil
PCR (Bathusha, 2013).
Fingerprinting diperkenalkan pertama kali oleh Jeffery pada tahun 1985
untuk menggambarkan barcode fragment DNA yang terdiri dari multilocus

setelah elektoforesis genomik fragmen DNA. Kemunculan pola dari fragment
DNA tersebut memperlihatkan pola yang unik. Selanjutnya, DNA fingerprinting
digunakan untuk mendeteksi sistem single locus. Salah satu marka yang

Universitas Sumatera Utara

digunakan adalah mikrosatelit untuk mendeteksi kultivar, membedakan genotipe
yang hampir mirip seperti padi dan gandum (ICAR, 2007).
DNA fingerprinting adalah teknik untuk mengidentifikasi seseorang
berdasarkan pada profil DNA-nya. Ada dua aspek DNA yang digunakan dalam
DNA fingerprinting yaitu di dalam satu individu terdapat DNA yang seragam dan
variasi genetik terdapat diantara individu. Prosedur DNA fingerprinting memiliki
kesamaan dengan mencocokkan sidik jari seseorang dengan orang lain. Hanya
saja perbedaannya adalah prosesnya tidak menggunakan sidik jari, tetapi
menggunakan DNA individu karena secara individu DNA seseorang itu unik
(Abaii, 2014).
Penggunaan

fingerprinting


dalam

marka

DNA

adalah

untuk

mengidentifikasi karakter-karakter spesifik pada tanaman yang diuji. Identifikasi
pita-pita spesifik tersebut akan sangat bermanfaat dalam identifikasi karakter
tertentu yang terdapat pada tanaman yang diuji (Istino et al. 2012). Selanjutnya,
berdasarkan hasil penelitian Istinoet al. (2012) terhadap tanaman gambir
menunjukkan bahwa terjadinya polimorfisme antara gambir katekin tinggi dengan
katekin rendah menggunakan penanda RAPD disebabkan oleh kemampuan
sekuen primer acak tersebut menghasilkan produk sesuai dengan binding site yang
kompatibel dengan DNA templet pada katekin tinggi, serta adanya sekuen tertentu
yang keberadaannya dapat digunakan sebagai penciri kadar katekin pada gambir.
Marka DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi sidik jari genetik,

memperkirakan keragaman genetik, menyeleksi tanaman dan ternak berbasis
molekuler serta membuat peta kloning berbasis gen. Studi keragaman genetik

Universitas Sumatera Utara

dapat dilakukan dengan berbagai metode, bergantung pada tujuan dan kemudahan
dalam menginterpretasikan data. Metode yang sering digunakan untuk tujuan
sidik jari genetik seperti marka berbasis PCR (Makful et al. 2010).
Pembentukan fingerprinting melalui penggunaan marka mikrosatelit akan
membentuk suatu pola motif tertentu. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh
Nyoman et al. (2008) melalui penanda molekul DNA mikrosatelit untuk
karakterisasi bibit jamur kuping telah menghasilkan 18 motif mikrosatelit.
Namun, untuk karakterisasi bibit jamur kuping dipilih yang jumlah pengulangan
motifnya lebih dari 3 kali dan kemunculan motif tersebut cukup sering untuk
beberapa klon. Kriteria motif DNA mikrosatelit seperti yang telah dipaparkan oleh
Weber (1990) terdiri dari 4 motif, yakni sempurna; tidak sempurna; campuran
sempurna dan campuran tidak sempurna.
Penanda genetik hanya berguna apabila polimorfik dan terpaut dengan
sifat yang akan diamati atau dengan penanda genetik lain. Syarat polimorfik
diperlukan karena penanda genetik harus bisa membedakan individu-individu

dalam populasi yang diteliti. Suatu penanda genetik paling tidak harus bisa
mengelompokkan individu dalam dua kelompok. Syarat terpaut dengan penanda,
gen atau sifat lain diperlukan karena fungsi penanda genetik adalah sebagai tanda
pengenal yang harus melekat pada sifat yang diteliti (Sharma et al. 2008).

Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR adalah teknik biologi molekuler yang melakukan proses replikasi
pada DNA dengan kuantitas yang kecil biasanya sampai 10 kb. Teknik ini
ditemukan pada Tahun 1983 oleh Kary Mullis. Teknik ini secara berkelanjutan

Universitas Sumatera Utara

terus mengalami pengembangan danpada Tahun 1993 Kary Mullis memperoleh
penghargaan Nobel atas penemuannya tersebut. Akan tetapi, prosedur standar
PCR

pertama

kali


dideskripsikan

oleh

Kleppe

pada

Tahun

1968

(Semagn et al. 2006).
PCR adalah proses amplifikasi enzim pada fragmen DNA. Penemuan PCR
tersebut memungkinkan peneliti untuk membuat jutaan copy DNA baru dengan
hanya menggunakan satu copy DNA. Cara kerja mendasar dari teknik PCR yaitu
dengan menggunakan enzim untuk mengamplifikasi fragmen DNA dengan
cara

melipatgandakannya


dengan

menggunakan

primer

oligonukleutida

(Acquaah, 2007).
Aplikasi dari PCR telah banyak digunakan secara luas, diantaranya untuk
digunakan dalam menggandakan DNA spesifik, untuk menggandakan gen
spesifik, kegunaan lain dari teknik PCR adalah berperan proses forensik, dan juga
digunakan untuk penapisan sumberdaya genetik (Nicholl, 2002).
Salah satu alasan dari kelebihan teknik PCR ini adalah dapat
menggunakan berbagai jenis primer, tergantung dari tujuan studi yang sedang
dilakukan.Sebagai contoh banyak bagian dari sekuen DNA yang menarik seperti
primer-primer spesifik. Primer spesifik tersebut sebagai strategi untuk memilih
dari gen yang diisolasi atau ditransfer ke suatu organisme. Dari sisi lainnya
adalah penggunaan primer acak yang dapat digunakan untuk mengontruksi

anonimus genomik DNA sekuen, primer acak digunakan pada proses
eksperimen.

Jenis

primer

selanjutnya

yaitu

semi-spesifik

primer

yang

merupakan sekuen elemen yang kurang atau dapat teramplifikasi dalam genome.

Universitas Sumatera Utara

Spesifik, semi-spesifik dan primer acak dapat digunakan pada berbagai variasi
(Weising et al. 2005).
Metode PCR sangat efisien digunakan untuk menggandakan molekul
DNA.Selain itu, DNA yang dibutuhkan tidak perlu murni, karena hanya yang
sesuai dengan primer yang disiapkan untuk digandakan. Secara umum bahwa
proses PCR terdiri atas proses denaturasi, anneling, dan ekstension, ketiga
langkah ini terus berulang dan setiap siklus membutuhkan waktu empat sampai
lima menit. Menurut Irawan (2008) secara umum ada tiga tahapan dalam proses
PCR antara lain sebagai berikut :
1. DNA yang akan digandakan didenaturasi dengan pemanasan, biasanya sekitar
90°C-95°C, selama lebih kurang 5 menit. Perlu diperhatikan bahwa waktu
dan suhu tidaklah bersifat baku dalam penerapannya terdapat perbedaan
karena dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
2. Langkah kedua adalah proses anneling. Pada proses ini, suhu kemudian akan
diturunkan antara 50° dan 70°C. Pada tahapan ini primer akan menempel
pada tempat yang tepat di pita tunggal DNA, yaitu segmen dengan ukuran
komplemennya.
3. Tahapan selanjutnya disebut dengan tahapan elongasi, pada tahapan ini suhu
dijaga tetap stabil yaitu pada suhu optimal untuk ADN polymerase. Enzim
polymerase yang digunakan biasanya berasal dari bakteri Thermus aquaticus.
Bakteri ini hidup di sumber air panas sehingga enzimnya juga tahan terhadap
suhu tinggi yang mencapai 75°C.

Universitas Sumatera Utara

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari teknik
PCR dalam mengamplifikasi DNA diantaranya adalah tingkat kemurnian DNA.
Jika DNA yang akan diperbanyak tidak murni maka akan menyebabkan gangguan
pada saat proses penempelan primer dan hal tersebut juga akan dapat
menyebabkan terganggunya aktifitas enzim polymerase (Weising et al. 2005).

Simple Sequences Repeats (SSR)
Marka SSR saat ini masih merupakan marka yang popular digunakan
dalam studi genetik dan pemuliaan karena berbagai keunggulannya, diantaranya
lokasinya yang menyebar di seluruh genom tanaman, multialelik, dan mudah
diamplifikasi dengan teknik PCR. Untuk kelapa sawit, saat ini marka SSR
merupakan marka yang paling prospektif untuk menganalisis populasi dan
mengetahui struktur genetik populasi kelapa sawit. Marka SSR ini juga telah
digunakan secara luas untuk mengkarakterisasi koleksi plasma nutfah kelapa sawit
(Tasma dan Sekar, 2013).
SSR telah ditemukan sekitar tahun 1960 yang dibedakan kedalam dua tipe
yaitu mikrosatelit dan minisatelit. Mikrosatelit dikenal dengan sebutan SSR yang
terbuat dari pengulangan nukleotida dengan panjang antara 2-6 bp sedangkan
minissatelit

berikisar

antara

10-100

bp.

Karakterisasi

dari

mikoratelit

ataupun minisatelit sangat bermanfaat untuk indentifikasi adanya polimorfik
(Amrital, 2006).
Tanaman menyimpan informasi genetikanya di dalam genom inti,
kloroplas dan mitokondria. Beberapa mekanisme seperti delesi, invers,
translokasi, dan transposisi dapat terjadi secara alami maupun diinduksi yang

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan terjadinya perubahan basa nukleotida pada sekuen DNA.
Perubahan tersebut tidak selalu mengubah karakter morfologi sehingga
penggunaan penanda yang langsung berintegrasi dengan sistem genetika akan
lebih mampu menggambarkan keadaan genom yang sesungguhnya. Untuk
menanggulangi keterbatasan penanda morfologi maka penggunaan penanda
molekular yang didasari oleh adanya polimorfisme pada tingkat protein atau DNA
(Donata, 2010).
Mikrosatelit dikenal dengan beberapa nama seperti simple sequence repeat
(SSR), simple tandem repeat (STR), sekuen tagged microsatelit site (STMS), dan
simple sequence length polimorphism (SSLP). SSR memberikan kandungan
informasi yang tinggi, pada umumnya single lokus, bersifat kodominan,
membutuhkan jumlah DNA yang sangat sedikit, relatif sederhana, dan deteksi
yang didasarkan pada PCR menandakan bahwa SSR merupakan alat ideal untuk
banyak aplikasi genetika. Mikrosatelit mempunyai kandungan informasi
polimorfisme (PIC) atau tingkat heterozigositas yang tinggi. Mikrosatelit dapat
digunakan untuk membandingkan genotipe dari individu yang memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat. Penanda mikrosatelit sudah digunakan secara luas pada
tanaman untuk fingerprinting, pemetaan gen dan analisis genetik (Donata, 2010).
DNA ruas berulang yang memiliki variasi paling tinggi dalam genom
tanaman adalah sekuen berulang dengan fragmen berulang sederhana atau pendek.
Fragmen ini dikenal dengan nama minisatelit dan mikrosatelit. Minisatelit adalah
DNA yang memiliki pengulangan biasanya antara 10-60 pasang basa, yang pada
awal penemuannya banyak diaplikasikan pada genom manusia. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara

mikrosatelit (SSR) memiliki unit berulang lebih sedikit berkisar antara 1 – 6
pasang basa, terdapat dalam jumlah sangat banyak dan menyebar di dalam genom,
dan banyak digunakan pada tanaman. Penanda atau marka molekuler berbasis
DNA telah banyak digunakan karena memiliki kelebihan dalam hal sensitivitas
dan kecepatan mengidentifikasi spesies yang berbeda serta dapat membedakan
individu yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat (Ilbi, 2003).
Karakterisasi genetik yang akurat adalah dengan menggunakan penanda
molekul. Mikrosatelit atau SSR merupakan salah satu penanda genetik molekuler
yang didasarkan pada urutan DNA pendek yang tiap unit ulangannya terdiri dari
satu sampai enam nukleotida. Lokus mikrosatelit diapit oleh suatu urutan
nukleotida yang terkonservasi, sehingga urutan DNA pengapit ini dapat dijadikan
primer spesifik yang bisa diamplifikasi menggunakan PCR (Treuren, 2000).
Mikrosatelit merupakan runutan nukleutida sederhana, di-, tri- atau
tetranukleotida, yang berulang dalam genom adalah segmen dari materi genetik
DNA,

sehingga

penggunaannya

sebagai

marka

molekuler

akan

lebih

mencerminkan struktur genetik populasi. Mikrosatelit pada umumnya bersifat
netral yaitu tidak menimbulkan kematian pada individu yang membawa alelnya.
Genotip individu dalam populasi merupakan kombinasi antar alel mikrosatelit
tetuanya (Jefri et al. 2013).
Mikrosatelit DNA terdapat dalam jumlah banyak dan menyebar di dalam
genom. Bentuk umum pengulangan mikrosatelit DNA adalah pengulangan dua
basa sederhana seperti (CA)n; (AC)n; (GT)n; (GA)n; (CT)n; (CG)n; (GC)n;
(AT)n; dan (TA)n, dalam hal ini -n adalah jumlah pengulangan. Mikrosatelit

Universitas Sumatera Utara

dengan pengulangan 3-basa dan 4-basa ditemukan juga tetapi frekuensinya lebih
rendah dibandingkan pengulangan 2-basa (Liu, 1998).
Selanjutnya, Noorhariza, et al. (2012) dalam penelitiannya tentang Elaies
olifeira Genomic-SSR Marker, telah menemukan beberapa motif hasil mikrosatelit
diantaranya adalah sebagai berikut (CT) 14 pada primer sMo00018, (AG) 15 pada
primer sMo00020, (GAA) 12 pada primer sMo00127, (AAT) 12 pada primer
sMo00128, (ATTA) 6 pada primer sMo00134, (AAAT) 6 pada primer sMo00137,
(TTTTC) 6 pada primer sMo000138, dan (AAAAG) 5 pada primer sMo00147.
Lokasi sekuen berulang sederhana seperti mikrosatelit yang terletak di
antara gen atau yang berdekatan dengan suatu gen sangat penting dapat digunakan
sebagai penanda sifat yang disandi oleh gen tersebut. Beberapa fragmen sekuen
berulang (SSR) yang terletak di dalam atau berdekatan dengan gen fungsional
sudah ditemukan. Kirkpatrick (1992) melaporkan penggunaan keberadaan
ulangan mikrosatelit (AC)n di dalam gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1)
manusia dan tikus.
Problem teknis pada SSR antara lain: 1) Pemilihan primer untuk
mikrosatelit, banyak jenis primer yang telah didesain untuk analisis mikrosatelit
pada tanaman. Primer-primer itu perlu diskrining dan dioptimasi sebelum
diaplikasikan pada jenis tanaman tertentu, karena setiap tanaman mempunyai
karakteristik spesifik yang berbeda satu sama lain. 2) Slippage selama proses
amplifikasi, termopolimerase dapat slip sehingga menghasilkan produk yang
berbeda dalam ukurannya. 3) Ukuran produk amplifikasi berbeda dari ukuran
produk sebenarnya. Ketidakakuratan dalam identifikasi alel mungkin juga

Universitas Sumatera Utara

disebabkan oleh taq-polimerase yang menambah nukleotida adenosin pada ujung
3’ produk amplifikasi (Asep, 2010).

Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)
RAPD merupakan salah satu marka molekuler yang bersifat dominan.
Fragmen DNA yang telah dihasilkan tidak dapat dibedakan antara genotipe
homozigot (AA) dengan heterozigot (Aa), sedangkan yang tidak ada pita secara
jelas menunjukkan genotipe resesif (aa). Fragmen DNA hasil amplifikasi RAPD
diskoring dengan ketentuan (1) untuk ada pita dan (0) untuk tidak ada pita, data
tersebut kemudian digunakan untuk menghasilkan matrik biner untuk analisis
statistik selanjutnya. Keuntungan utama penanda RAPD adalah secara teknik
lebih

sederhana

dan

cepat

dalam

pengujiannya,

tidak

memerlukan

informasi sekuen DNA sehingga penanda ini dapat digunakan secara luas, jumlah
sampel DNA yang dibutuhkan sedikit dan primer tersedia secara komersial
(Zulfahmi, 2013).
Pemilihan primer dalam aplikasi RAPD adalah salah satu hal yang sangat
mempengaruhi keberhasilan proses amplifikasi DNA target. Primer yang
digunakan dalam teknik RAPD merupakan DNA pendek yang terdiri atas
beberapa nukleotida sebagai pemula pada proses sintesis DNA sehingga tidak
membutuhkan primer forward dan reverse. Primer RAPD bersifat tunggal yang
memiliki

rangkaian

nukleotida

yang

bersifat

random

sehingga

dapat

dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan polimorfisme DNA pada suatu
genom (Surahman et al. 2007).

Universitas Sumatera Utara

Marka RAPD merupakan marka yang menggunakan oligonukleotida
tunggal pendek (primer), sepanjang 10-12 basa, untuk membentuk fragmenfragmen DNA. RAPD akan dapat menunjukkan jumlah karakter yang tidak
terbatas sehingga sangat membantu dalam analisis keragaman genetik
(Pramudi et al. 2013).
Kelebihan penggunaan marka RAPD adalah lebih mudah dalam aplikasi,
lebih cepat, dan lebih murah jika dibandingkan dengan marka lainnya.Selain itu
juga, marka RAPD telah digunakan secara luas untuk penelitian diversitas genetik
dari suatu individu. Teknik RAPD telah digunakan untuk melihat perbedaan
antara individu dalam proses persilangan dan untuk memformulasikan strategi
pemuliaan (Gunereen et al. 2010).
Salah satu kelemahan dari penggunaan marka RAPD dapat menyebabkan
terjadinya multilokus dan RAPD bersifat dominan sehingga akan menyebaban
keterbatasan pada kegiatan studi populasi genetik dan studi mapping. RAPD juga
sangat sensitif terhadap perubahan kondisi reaksi yang menyebakan gangguan
pada pola pita pada saat melakukan eksperimen. Tingkat sensivitas yang tinggi
tersebut akan menyebabkan perbedaan pada hasil PCR. Oleh sebab itu, pengujian
primer yang berulang sangat dianjurkan dan kemunculan multilokus pada RAPD
dapat dibandingkan dengan hasil studi lainnya (Weising et al.2005).

Pemanfaatan Primer SSR pada Kelapa Sawit
Penelitian terkait dengan penggunaan marka SSR telah banyak dilakukan
oleh penelitian terdahulu. Hal ini menunjukkan bahwa marka SSR merupakan
salah satu marka yang mudah untuk diaplikasikan. Penelitian terkait dengan

Universitas Sumatera Utara

penggunaan marka SSR telah banyak diaplikasikan untuk berbagai kegiatan
molekuler.
Penelitian

yang

dilakukan

oleh

Tasma

dan

Arumsari

(2013)

menyimpulkan bahwa dua puluh marka yang diuji pada 49 aksesi sawit Kamerun
menghasilkan alel total sebanyak 175 dengan rataan jumlah alel per lokus 8,75
berkisar antara 4-15 alel per lokus SSR. Tingkat polimorfisme marka SSR yang
diuji tergolong tinggi dengan rataan nilai PIC 0,80 berkisar antara 0,63-0,91.
Diversitas genetik dari 49 aksesi kelapa sawit dianalisis dengan 20 marka SSR
berkisar antara 12,5- 57,72%. Uji filogenetik pada koefisien kemiripan genetik
52,28% membagi aksesi menjadi tujuh kelompok. Aksesi diversitas genetik tinggi
dan berada pada klaster berbeda potensial digunakan sebagai calon tetua dalam
program pemuliaan kelapa sawit.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Taeprayon et al. (2015) untuk
mengidentifikasi latar belakang genetik terhadap tiga populasi hasil persilangan di
Thailand dengan menggunakan marka SSR menunjukan adanya keragaman serta
dikelompokkan menjadi empat kelompok. Penggunaan marka SSR juga telah
digunakan untuk mempelajari tingkat heterozigositas dan tingkat transfer marka
SSR pada tanaman kopi. Penelitian oleh Priyono (2010) menunjukkan bahwa
dengan menggunakan marka SSR tingkat heterozigositas kopi Robusta klon BP
409, BP 961 dan Q 121 berturut-turut 52%, 53% dan 40%. Dengan menyeleksi
marka SSR dari peta genetik referensi dapat dibuat tiga peta genetik persilangan
terbuka kopi Robusta, tiga peta genetik tipe silang balik dan satu peta konsensus.
Hampir semua marka SSR pada tujuh peta genetik tersebut menempati urutan

Universitas Sumatera Utara

yang sama dengan peta genetik referensi. Hasil ini menunjukkan bahwa marka
SSR mempunyai tingkat transfer yang tinggi pada peta genetik kopi Robusta.
Selain marka SSR dikenal sebagai marka polimorfisme atau kodominan,
marka SSR juga dapat juga bersifat monomorfik. Hasil penelitian Emad dan Soon
(2014) menyimpulkan bahwa marka SSR monomorphic dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya illegitimate palms sehingga marker SSR yang bersifat
monomorphic dapat dijadikan sebagai marker untuk pengujian illegitimacy pada
tanaman kelapa sawit. Selain itu, marka SSR juga dapat digunakan untuk
mendeteksi kemurnian suatu benih, hal ini berdasarkan penelitian Mulsanti et al.
(2013) yang menyatakan bahwa identifikasi kebenaran suatu genotipe tanaman
menggunakan marka SSR monomorfik merupakan salah satu metode yang dapat
digunakan untuk menguji kemurnian benih hibrida. Hasil penelitian lain terkait
dengan SSR dapat dilihat pada Tabel 1.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Pemakaian marka SSR dalam penelitian keragaman genetik
Hasil Penelitian
No

1

Peneliti

Judul

Zulkifli, et al. (2007)

Genetic Diversity
Study of Elaeis
guineensis
Germplasm Using
EST-SSRs

2

Boukome et al.
(2009)

Screening Oil Palm
(Elaeis guineensis
Jacq.) Population
Using SSR Markers

Objek
Germplasm Nigeria
Germplasm Cameroon
Germplasm Zaire
Germplasm Tanzania
Germplasm
Madagascar
Germplasm Angola
Germplasm Senegal
Germplasm Gambia
Germplasm Sierra
Leone
Germplasm Guinea
Germplasm Ghana
Negara Senegal
Negara Guine-Conakry
Negara Sierra Leone
Negara Ghana
Negara Nigeria
Negara Cameroon
Negara Madagascar
Deli MPOB
Negara Zaire
Negara Angola
Negara Tanzania

Variabel Penelitian
Jumlah Jumlah Rataan
Jumlah
Sampel/
Alel jumlah
Ho
Populasi
Populasi Efektif Alel
4.200
0.49
3.800
0.503
3.800
0.477
3.900
0.46

He

PIC

0.569
0.556
0.574
0.582

-

-

-

-

3.700

0.162

0.372

-

-

-

-

3.500
3.600
2.700

0.513
0.387
0.327

0.537
0.495
0.363

-

-

-

-

4.000

0.343

0.49

-

13
12
13
13
45
13
4
16
36
8
9

11
11
12
10
12
11
7
10
10
11
10

2.4
3.5
3.7
3.9
4.7
3.9
1.1
2.9
3.3
3.6
4.4

4.000
3.800
-

0.341
0.376
-

0.515
0.48
0.526
0.688
0.731
0.729
0.739
0.751
0.055
0.65
0.668
0.714
0.77

-

Universitas Sumatera Utara

3

Noorhariza et al.
(2010)

4

Araya et al. (2010)

5

6

Putri (2010)

Diana et al. (2012)

Development and
Characterization of
Elaeis oleifera
Microsatelite
Markers
Use of DNA Markers
for Fingerprinting
Compact Clones and
Determining the
Genetic Relationship
between Elaeis
oleifera Germaplasm
Origins
Pendugaan Parameter
Genetik dan
Karakterisasi
Molekuler
Keragaman Genetik
dengan Marka
Mikrosatelir pada
kelapa Sawit
Genetic Similiarity
among Commercial
Oil Palm Materials
Based on
Microsatellite
Markers

10 Primer SSR

-

10
Lokus
SSR

5.1

-

0.371

0.563

-

Bra x CR F1
F1 Brazil
Surinam

1
1
1

-

-

4.33
4.88
1.88

0.8
0.33
0.15

0.53
0.32
0.16

0.88
0.5
0.5

F1 Bra x CR

1

-

-

2.13

0.56

0.38

0.75

Origin Avros
Origin Nigeria
Origin Ekona
Origin Ghana
Origin Yangambi
Origin Dami
Origin La Me

8
3
3
3
2
2
1

8
3
3
3
2
2
1

-

3.050
4.500
3.850
2.850
3.500
3.000
1.550

0.279
0.482
0.604
0.373
0.356
0.463
0.25

0.401
0.663
0.645
0.471
0.567
0.52
0.225

0.348
0.587
0.56
0.396
0.48
0.423
0.225

17 Marker SSR

-

10

-

4.5

-

-

0.129-0.822

Universitas Sumatera Utara

7

8

9

Ajambang et al.
(2012)

Nida et al. (2014)

Microsatellite
Markers Reveal
Comeroon's Wild Oil
Palm Population as a
Possible Solution to
Broaden the Genetic
Base in The
Indonesia-Malaysia
Oil Palm Breeding
Programs
Genetic Diversity
DxP PopUlation
Yield Component in
Oil Palm's Paternal
Half-Sib Family
Based on
Microsatellite
Markers

Rajanaidu (2015)
Oil Palm Breeding
for Past 50 Years

14 Markers SSR

180

139

-

-

0.72

0.6

0.21-0.84

2.31

2.67

0.82

0.55

-

2.37

2.83

0.8

0.55

-

2.35

2.72

0.84

0.54

-

Oil to Bunch
Population
Bunch Number
Population
Oild Yield Population

1

10

1
1

10
10

Fresh Fruit to Bunch

1

10

2.5

2.92

0.88

0.57

-

Origin Colombia
Origin Brazil
Origin Peru
Origin Ecuador
Origin Coarix La Me
Cerete x La Me

1
1
1
1
1
1

43
103
267
24
9
10

2.416
2.219
2.042
1.209
2.956
3.188

4.692
4.6
3.769
1.231
3.796
4.538

0.343
0.343
0.372
0.121
0.667
0.692

0.526
0.453
0.425
0.113
0.6
0.636

-

Keterangan : heterosigositas teramati (Ho), heterozigositas harapan (He) dan kandungan informasi polimorfisme (PIC)

Universitas Sumatera Utara

Pemanfatan Primer RAPD pada Kelapa Sawit

Penerapan RAPD untuk kegiatan analisis molekuler telah digunakan untuk
berbagai keperluan. Hal ini disebabkan oleh marka RAPD relatif mudah dalam
penggunaannya, efisien, ekonomis, dan efektif digunakan untuk mengidetifikasi
keragaman genetik suatu individu tanaman. RAPD dapat digunakan untuk
mempelajari keragaman genetik, hal ini dilakukan oleh penelitian yang dilakukan
oleh Yurna et al. (2002) yang melihat bagaimana keragaman genetik 24 individu
dari 2 famili kelapa sawit tenera origin binga menunjukkan hasil bahwa tanaman
kelapa sawit tenera origin binga memiliki kesamaan genetik sebesar 36% yang
dapat dibagi menjadi lima kelompok.
Penggunaan RAPD untuk membedakan varietas Dura, Pisifera, Tenera,
dan Virescenes dilakukan oleh Odenore et al. (2015) menggunakan 6 primer
RAPD telah mampu menunjukkan perbedaan genetik antar varietas Dura, Tenera,
Pisifera dan Varietas Virescens. Hasil penelitian ini menunjukkan primer OP-OBI
menunjukkan band 500 bp pada Dura dan Tenera dikonfirmasi dengan lapisan
shell, sehingga membedakannya dengan Pisifera. Band 220 bp varietas Virescens
juga teramplifikasi pada Dura tetapi tidak teramplifikasi pada Tenera dan Pisifera,
yang menunjukkan secara genetik varietas Virescens lebih mitip dengan Dura.
Pada primer OP-A02, Dura dan Tenera dapat mengamplifikasi band 850 bp tetapi
tidak teramplifikasi pada Pisifera dan Virescens. Dua unik band 250 bp dan 900
bp pada Varietas Virescens yang juga terdapat pada Dura, Tenera dan Pisifera.
Pada primer OP-CO9 menunjukkan hybrid Tenera (H1) band terlihat paling jelas

Universitas Sumatera Utara

di 600 bp yang tidak ditunjukkan oleh Parental Dura (P1), Pisifera (P2) dan
Varietas Virescens (H2), tetapi terindetifikasi pada Tenera.
Penelitian Satish dan Mohankumar (2007) menunjukkan hasil P7
(-GGCGGACTGT-) dan P10 (-GGACCCAACC-) mengidentifikasi Dura yang
membedakannya dengan Pisifera dan Tenera pada 700 bp dan 1000 bp, primer
P10 (-GGACCCAACC-) dapat mengidentifikasi pisifera pada 700 bp dan primer
P28 (-ACCCGGTCAC-) dapat mengidentifikasi varietas tenera pada 1100 bp.
RAPD dapat digunakan untuk melihat perbedaan genetik tanaman kelapa
sawit abnormal. Hal ini dilakukan oleh Nurita et al. (2001) yang menunjukkan
primer RAPD yaitu OPC-08, SC10-19, OPC-07 dan OPW-19 mampu
membedakan genotipe normal dan tidak normal dalam klon yang sama pada
seluruh klon uji. Kesamaan genetik antar klon normal lebih tinggi dibandingkan
dengan kesamaan genetik antar genotipe normal dan abnormal maupun antar
genotipe abnormal. Hasil analisis komponen utama menunjukkan dari 15 primer
yang diuji belum mampu menghasilkan pita DNA penciri untuk abnormalitas.
Penerapan RAPD untuk analisis genetik untuk mendeteksi kelapa sawit
abnormal juga telah dilakukan Hetharine (2010) menunjukkan hasil bahwa
Adanya perubahan sekuens DNA yang diamplifikasi oleh primer OPC-08, OPC09, OPD-15, SC10-19, dan W15 menunjukkan bahwa ada perubahan genetik
antara tanaman regeneran klon MK 152. Primer OPC-08, OPC-09 dan SC10- 19
mampu membedakan tanaman normal dan abnormal dengan pita-pita unik
berbeda pada tiap primer. Primer OPC-08 menunjukkan hanya satu pita unik
berukuran 800-1000 bp pada tanaman normal dan tidak terdapat pada dua

Universitas Sumatera Utara

regeneran abnormal. Primer OPC-09 menghasilkan tiga pita unik pada tanaman
normal.

Primer SC10-19 menghasilkan satu pita unik pada tanaman normal

meskipun diperoleh juga pita-pita unik pada regeneran abnormal. Primer OPC-08
sangat berpotensi digunakan untuk melacak tanaman normal dan abnormal namun
perlu diuji lebih lanjut pada klon-klon lain.
Selain telah diterapkan untuk kelapa sawit, marka RAPD telah diterapkan
pada tanaman Sengon (Paraseranthes falcataria (L) Nielsen) berdasarkan
penelitian Ulfah dan Ranny (2010) yang menyimpulkan nilai keragaman genetik
(He) sengon di Jawa tergolong tinggi dengan nilai rata-rata He= 0.2349. Nilai He
terendah terdapat pada populasi sengon berasal dari Wonosobo (He = 0.1328) dan
nilai He tertinggi terdapat pada populasi Kediri (He= 0.2946). Berdasarkan jarak
genetik terlihat bahwa populasi sengon Tasikmalaya dan populasi sengon
Lumajang memiliki jarak genetik terdekat (0.0123), sedangkan jarak genetik
terjauh pada Garut dan Kediri (0.0814).
Penggunaan penanda RAPD juga telah diterapkan pada tanaman tebu
(Putri, et al. 2016) yaitu untuk mengidentifikasi kemiripan genotipe tanaman tebu
di Sumatera Utara berdasarkan 8 penanda RAPD. Hasilnya menunjukkan bahwa
tanaman kelapa sawit di Sumatera Utara di kelompokkan menjadi 3 kelompok.
Kelompok I terdiri 8 genotipe (Gelagah Helvetia, G.Sunggal, G.Karo, PSCO 902,
PSBM 901, Merah Binjai Timur, Kuning Tanjung Jati, K . Hamparan perak),
kelompok II terdiri 8 genotipe (BZ 134 Tanjung Jati, BZ 134 Sunggal, BZ 134
Hmparan perak, K. Sunggal, VMC 76-16, Gambas Stabat, G. Hamparan Perak, G.

Universitas Sumatera Utara

Sunggal) dan Kelompok III terdiri dari 5 genotipe ( Merah Hamparan Perak,
Merah Kabanjahe, Berastagi Sibolangit, B. Kabanjahe, B. Berastagi).
Selanjutnya aplikasi RAPD pada tanaman Nilam oleh Chandra (2011)
menyimpulkan tanaman nilam hasil budidaya di Bali semuanya sekelompok
dengan nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth). Secara morfologi dan molekuler
nilam yang dibudidayakan di Bali memiliki kekerabatan dengan nilam Aceh
dengan jarak genetik dari 0,087 - 0,304. Penggunaan marka RAPD secara lebih
luas juga telah diterapkan untuk mengidentifikasi keragaman Salak (Kaidah,
1999), jeruk (Karsinah et al. 2002), durian sukun (Durio zibethenus) (Ismi, et al.
2009), Draba dorneri (Rodica et al. 2013), aren (Putri et al. 2013) dan manggis
(Putri et al. 2014).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Keragaman Genetik Tiga Populasi Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Tipe Pisifera Berdasarkan Marka RAPD

1 74 54

Keragaman genetik intra dan interpopulasi kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pisifera asal nigeria berdasarkan analisis marka simple sequence repeats (SSR)

1 21 332

Keragaman genetik intra dan interpopulasi kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq ) pisifera asal nigeria berdasarkan analisis marka simple sequence repeats (SSR)

0 33 161

Identifikasi Keragaman Genetik Pada Tanaman kelapa Sawit (Elaeis gineensis Jacq.) Asal Klon Berdasarkan Marka RAPD (Random Amplified Polimorphism DNA)

3 14 78

Fingerprinting kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeats (SSR) dan Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)

0 0 17

Fingerprinting kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeats (SSR) dan Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)

0 0 2

Fingerprinting kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeats (SSR) dan Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)

0 0 6

Fingerprinting kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeats (SSR) dan Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) Chapter III V

0 0 45

Fingerprinting kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeats (SSR) dan Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)

1 3 10

Fingerprinting kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeats (SSR) dan Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)

0 0 12