Rata-Rata Hari Pemasangan Infus dalam Terjadinya Flebitis pada Pasien yang Dipasang Infus di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Flebitis
2.1.1 Definisi Flebitis
Flebitis adalah daerah bengkak, kemerahan, panas, dan nyeri pada kulit
sekitar tempat kateter intravaskular dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis
disertai dengan tanda-tanda infeksi lain seperti demam dan pus yang keluar dari
tempat tusukan, ini digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Tietjen, dkk,
2004).
Secara sederhana flebitis berarti peradangan vena. Flebitis berat hampir
diikuti bekuan darah, atau thrombus pada vena yang sakit. Kondisi demikian
dikenal sebagai tromboflebitis. Dalam istilah yang lebih teknis lagi, flebitis
mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri tekan, bengkak, pengerasan,
eritema, dan hangat. Semua ini diakibatkan peradangan, infeksi dan/atau
thrombosis (Darmawan, 2008).
2.1.2 Etiologi Flebitis
Menurut Francombe (1998) dalam Brooker dan Gould (2003) mengatakan,
flebitis (peradangan vena), merupakan penyulit tersering yang berkaitan dengan
terapi intravaskular, biasanya terjadi akibat iritasi kimiawi atau mekanis. Faktor
predisposisi utama adalah infus larutan hipertonik dan adanya benda berbentuk

partikel yang berasal dari obat yang belum larut sempurna, potongan karet atau
kaca dari vial, dan plastik dari kanula. Terbentuk eritema di bagian proksimal dari

Universitas Sumatera Utara

tempat pungsi vena, disertai nyeri. Flebitis jarang disebabkan oleh bakteri, tetapi
septikemia lebih sering dijumpai pada pasien yang mengalami flebitis.
Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis, antara
lain:
a) Faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan
b) Faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi
c) Agen infeksius
Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup, usia,
jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni: diabetes mellitus, infeksi, luka bakar).
Suatu penyebab yang sering luput perhatian adalah adanya mikropartikel dalam
larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan penggunaan filter (Darmawan, 2008).
Flebitis bisa disebabkan berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas:
1. Flebitis Kimia
a) pH dan osmolaritas cairan infus yang tinggi selalu diikuti risiko flebitis
tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, dimana keasaman

diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses
sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino
dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih
flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa
menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida,
vancomycin, amphotrecin B, chepalosporins, diazepam, midazolam dan
banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas >900 mOsm/L
harus diberikan melalui vena sentral.

Universitas Sumatera Utara

b) Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna
selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis.
Jadi, kalau diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan
penggunaan filter 1 sampai 5 µm.
c) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat
dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >500 mOsm/L.
hindarkan vena pada punggung tangan bila anda memberikan: Asam
amino+glukosa; Glukosa+elektrolit; D5 atau NS yang telah dicampurkan
dengan obat suntik atau Meylon dan lain-lain.

d) Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi
dibanding politetrafluoroetilen (Teflon) karena permukaan lebih halus,
lebih thermoplastic dan lentur. Risiko tinggi untuk flebitis dimiliki kateter
yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.
e) Dulu dianggap pemberian infus lambat kurang menyebabkan iritasi
daripada pemberian cepat.
2. Flebitis Mekanis
Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang
dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis.
Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan
baik.
3. Flebitis Bakterial
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:
a. Teknik pencucian tangan yang buruk

Universitas Sumatera Utara

b. Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau
robek mengundang bakteri
c. Teknik aseptik tidak baik

d. Teknik pemasangan kanula yang buruk
e. Kanula dipasang terlalu lama
f. Tempat suntik jarang diinspeksi visual (Darmawan, 2008).
Berikut merupakan skor visual flebitis untuk menentukan derajat
keparahan flebitis:
Tempat suntikan tampak sehat
Salah satu dari berikut jelas:
1. Nyeri pada tempat suntikan
2. Eritema pada tempat suntikan
Dua dari berikut jelas:
1. Nyeri 2. Eritema
3. pembengkakan
Semua dari berikut jelas:
1. Nyeri sepanjang kanula
2. Eritema, 3. Indurasi
Semua dari berikut jelas:
1. Nyeri sepanjang kanula
2. Eritema, 3. Indurasi
4. Venous cord teraba
Semua dari berikut jelas:

1. Nyeri sepanjang kanula
2. Eritema, 3. Indurasi
4.Venous cord teraba 5. Demam

0

1
2
3
4
5

Tak ada tanda flebitis
Observasi kanula
Mungkin tanda dini flebitis
Observasi kanula
Stadium dini flebitis
Ganti tempat kanula
Stadium moderat flebitis
1. Ganti kanula

2. Pikirkan terapi
Stadium lanjut atau awal
tromboflebitis
1. Ganti kanula
2. Pikirkan terapi
Stadium lanjut
tromboflebitis
1. Lakukan terapi
2. Ganti kanula

Skema 1. Skor Visual Flebitis VIP score (Visual Infusion Phlebitis score)

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Mencegah dan Mengatasi Flebitis
a. Mencegah flebitis bakterial
Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan
daerah infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan
chlorhexidine-2%, tinctura yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa
digunakan.

b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik.
Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian
infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman
yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan
terjadi kira-kira 45 – 50% dalam serangkaian besar kajian.
c. Rotasi kanula
May, dkk (2005) dalam Darmawan (2008) melaporkan hasil 4 teknik
pemberian nutrisi parenteral perifer (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi)
kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas
flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi oleh Webster dkk
(1996) disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih
dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control
and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk
membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti
yang cukup.

Universitas Sumatera Utara

d. Aseptic dressing
Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa setril diganti

setiap 24 jam.
e. Laju pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik
diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk
pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh
mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya
kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif
dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 –
330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan
sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan,
dengan filter 0.45 mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri
atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus
juga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi
parenteral.
f. Titrable acidity
Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan
dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang
dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan
infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri.
Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan


Universitas Sumatera Utara

karena titrable acidity-nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian
makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.
g. Heparin & hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1
unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko
flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium
klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian
aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien
penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan
flebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada
dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah
mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang
mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.
h. In-line filter
In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang
mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat
intravaskular dan sistem infus (Darmawan, 2008).


2.2 Terapi Cairan Intravena (Infus)
2.2.1 Definisi
Terapi cairan intravena merupakan pemberian cairan untuk penggantian
cairan, pemberian obat, dan penyediaan nutrien jika tidak ada pemberian dengan
cara lain (Smeltzer & Bare, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Tujuan
Umumnya cairan intravena diberikan untuk mencapai satu atau lebih
tujuan berikut ini:
a. Untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari
b. Untuk menggantikan air dan memperbaiki kekurangan elektrolit
c. Untuk menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena
2.2.3 Jenis-jenis larutan Intravena
Larutan elektrolit dianggap isotonik jika kandungan elektrolit totalnya
(anion ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L. Larutan dianggap hipotonik jika
kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250 mEq/L dan hipertonik jika

kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L. Perawat juga harus
mempertimbangkan osmolalitas suatu larutan, bahwa osmolalitas plasma adalah
kira-kira 300 mOsm/L.
a. Cairan isotonis: cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolalitas
total yang mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan sel darah
merah mengkerut atau membengkak. Contohnya saline normal (0,9% natrium
klorida), larutan ringer lactate.
b. Cairan hipotonik: tujuannya adalah untuk menggantikan cairan seluler, karena
larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya
adalah untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saatsaat tertentu, larutan natrium hipotonik digunakan untuk mengatasi

Universitas Sumatera Utara

hipernatremia dan kondisi hiperosmolar yang lain. Contohnya salin
berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%).
c. Cairan hipertonik: dekstrosa 5% dalam air diberikan untuk membantu
memenuhi kebutuhan kalori. Larutan salin juga tersedia dalam konsentrasi
osmolar yang lebih tinggi daripada CES. Larutan-larutan ini menarik air dari
kompartemen intraseluler ke ekstraseluler dan menyebabkan sel-sel
mengkerut. Jika diberikan dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat
menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler dan mencetuskan kelebihan
cairan sirkulatori dan dehidrasi.

2.2.4 Penatalaksanaan Keperawatan pada Pasien yang mendapat Terapi
Intravena
a. Pungsi vena
Kemampuan untuk mendapat akses ke sistem vena guna memberikan cairan
dan obat.
1) Pemilihan tempat: vena yang sering digunakan adalah vena ekstremitas
atas karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki. Vena ekstremitas
bawah lebih berisiko mengalami tromboflebitis. Vena sentral yang sering
digunakan dokter termasuk vena subclavia dan vena jugularis interna tapi
mengalami risiko yang tinggi terhadap infeksi. Fosa antekubital
dihindari. Berikut pertimbangan yang harus diperhatikan untuk memilih
tempat penusukan vena: kondisi vena; jenis cairan atau obat yang akan

Universitas Sumatera Utara

diinfuskan; lamanya terapi; usia dan ukuran pasien; riwayat kesehatan
dan status kesehatan sekarang serta keterampilan tenaga kesehatan.
2) Perlengkapan pungsi vena: jalur akses PICC (Peripherally Inserted
Central Catheter) dan Midline Catheter (MLC). PICC merupakan terapi
parenteral jangka menengah sampai jangka panjang sering kali harus
dipasang kateter sentral yang terpasang secara perifer. MLC digunakan
untuk pasien yang tidak mempunyai akses perifer tetapi membutuhkan
antibiotika IV, darah dan nutrisi parenteral
3) Menginformasikan pasien tentang lamanya infus yang diperkirakan, dan
pembatasan aktivitas.
4) Persiapan letak infus meliputi tindakan aseptik sebelum melakukan
pungsi vena.
5) Entri vena: dilakukan berdasarkan keterampilan yang dipunyai seorang
perawat.
b. Pemantauan terapi intravena
1) Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran gravitasi IV: (1) aliran
berbanding langsung dengan ketinggian bejana cairan; (2) aliran
berbanding langsung dengan diameter selang; (3) aliran berbanding
terbalik dengan panjang selang; dan (4) aliran berbanding terbalik dengan
viskositas cairan.
2) Memantau aliran: menggunakan rumus:
Gtt/ml dari set yang ditentukan/60 (menit dalam jam) x volume total per
jam = gtt/mnt

Universitas Sumatera Utara

c. Penghentian infus
Pelepasan kateter intravena berkaitan dengan dua kemungkinan bahaya
perdarahan dan emboli kateter (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2.5 Memasang Infus Intravena
Persiapan
1. Pastikan program medis untuk terapi IV, periksa label larutan dan identifikasi
pasien
2. Jelaskan prosedur pada pasien
3. Cuci tangan dan kenakan sarung tangan sekali pakai
4. Pasang turniket dan identifikasi vena yang sesuai
5. Pilih letak insersi
6. Pilih kanula IV
7. Hubungkan kantong infus dan selang, dan alirkan larutan sepanjang selang
untuk mengeluarkan udara, tutup ujung selang
8. Tinggikan tempat tidur sampai ketinggian kerja dan posisi pasien yang
nyaman, atur pencahayaan. Posisikan lengan pasien di bawah ketinggian
jantung untuk meningkatkan pengisian kapiler. Letakkan bantal pelindung di
atas tempat tidur di bawah lengan pasien.
Prosedur
1. Tergantung pada kebijakan dan prosedur rumah sakit, lidokain 1% (tanpa
epinefrin) 0,1-0,2 cc mungkin disuntikkan secara lokal ke tempat IV.

Universitas Sumatera Utara

2. Pasang turniket baru untuk setiap pasien atau manset tekanan darah 15
sampai 20 cm (6-8 inci) di atas tempat penusukan. Palpasi nadi di distal
turniket. Minta pasien untuk membuka dan menutup kepalan tangan beberapa
kali atau menggantungkan lengan pasien untuk melebarkan vena.
3. Pastikan apakah pasien alergi terhadap yodium. Siapkan tempat dengan
membersihkan menggunakan tiga swab betadine selama 2-3 menit dalam
gerakan memutar bergerak keluar dari tempat penusukan. Biarkan kering,
kemudian bersihkan dengan alkohol 70% untuk melihat dengan jelas vena
profunda.
a. Jika tempat yang dipilih sangat berambut, gunting rambut (periksa
kebijakan dan prosedur lembaga tentang hal ini).
b. Jika pasien alergi dengan providon-yodium, maka dapat digunakan alkohol
70% saja.
4. Dengan tangan yang tidak memegang peralatan akses vena, pegang tangan
pasien dan gunakan jari atau ibu jari untuk menegangkan kulit di atas
pembuluh darah.
5. Pegang jarum dengan bagian bevel ke atas dan pada sudut 25-45 derajat,
tergantung pada kedalaman vena, tusuk kulit tetapi tidak menusuk vena
6. Turunkan sudut jarum menjadi 10-20 derajat atau sampai hampir sejajar
dengan kulit, kemudian masuki vena baik langsung dari atas atau dari
samping dengan satu gerakan cepat
7. Jika tampak aliran darah balik, luruskan sudut dan dorong jarum

Universitas Sumatera Utara

8. Lepaskan turniket dan sambungkan selang infus, buka klem sehingga
memungkinkan tetesan
9. Sisipkan bantalan kasa steril berukuran 2x2 inchi di bawah ujung kateter
10. Rekatkan jarum dengan kuat di tempatnya dengan plester
11. Tempat penusukan kemudian ditutup dengan kasa steril, rekatkan pada plester
nonalergenik tetapi jangan melingkari ekstremitas
12. Plesterkan sedikit lengkungan selang IV ke atas balutan
13. Tutup tempat penusukan dengan balutan sesuai kebijakan prosedur rumah
sakit
14. Beri label balutan dengan jenis dan panjang kanula, tanggal dan inisial
15. Hitung kecepatan infus dan atur aliran infus
16. Dokumentasikan tempat, jenis dan ukuran kanula, waktu, larutan, kecepatan
IV dan respon pasien terhadap prosedur (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2.6 Komplikasi
a. Komplikasi sistemik meliputi: kelebihan beban cairan, emboli udara, dan
septikemia.
b. Komplikasi lokal meliputi: infiltrasi, flebitis, tromboflebitis dan hematoma.

2.2.7 Lama Hari Pemasangan Infus
Menurut Brooker (2003) lamanya penggunaan jarum intravena harus
diganti paling sedikit setiap 24 jam, ganti lokasi vena yang ditusuk jarum
intravena setiap 48 jam. Penelitian yang dilakukan oleh Masiyati (2000) dengan

Universitas Sumatera Utara

judul “waktu yang efektif untuk pemasangan infus agar tidak flebitis”, didapatkan
angka kejadian flebitis paling besar dalam waktu pemasangan infus 96-120 jam
sebesar 60%.
Secara teknis, lamanya penggunaan jarum kateter intravena (IV) tetap
steril selama 48 sampai dengan 72 jam, disamping itu juga teknik ini lebih
menghemat biaya dan tidak meningkatkan resiko infeksi (Metheny, (1996) dalam
Brooker (2003)). Berikut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
perawatan terapi intravena:
a. Brooker dan Gould mengatakan rotasi rutin tempat kanula harus dilakukan
setiap 48-72 jam.
b. Menurut Tjetjen, dkk (2004) rotasi tempat kanula setiap 72-96 jam
mengurangi flebitis dan infeksi lokal (teflon atau polikateter lebih baik dari
pada jarum logam karena tidak menembus vena saat rotasi).
c. Pada pemakaian jangka pendek (