Embriogenesis Somatik dari Salak Padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.) pada Media MS Diperkaya dengan Lisin
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi alam Indonesia sangat mendukung upaya pengembangan tanaman buahbuahan tropis untuk menjadi komoditas unggulan (Barus dan Syukri, 2008).
Buah-buahan Indonesia selain bergizi tinggi juga dapat dimanfaatkan untuk terapi
kesehatan, salah satunya adalah salak. Kandungan kalsium, fosfor dan besi pada
buah salak dibandingkan beberapa buah lainnya termasuk tinggi. Salak
merupakan tanaman asli Indonesia. Oleh karena itu, bila kita bertanam salak
berarti kita melestarikan dan meningkatkan produksi negeri sendiri (Soetomo,
2001).
Salak telah dibudidayakan secara luas di Indonesia karena buahnya yang
enak dimakan dan mempunyai nilai ekonomi relatif tinggi. Di Indonesia ada 2
jenis salak yang banyak dibudayakan, yaitu spesies Salacca sumatrana Becc.
(salak padangsidempuan) dan Salacca zalacca (Ashari, 2005). Salak yang ditanam
orang di Bali adalah Salacca zalacca var amboinensis, sedangkan di Pulau Jawa
orang menanam Salacca zalacca var zalacca (salak pondoh), dan selanjutnya di
Pulau Sumatera adalah salak padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.)
(Ashari, 2006). Produksi salak di Indonesia masih rendah karena budidaya salak
yang dilakukan sekarang ini masih sederhana (tradisional), selain itu tanaman
yang dibudidayakan umumnya tidak berasal dari bibit yang unggul (Soetomo,
2001).
Embriogenesis somatik salah satu teknik in vitro yang dapat digunakan
untuk penggandaan bibit bermutu dalam jumlah banyak (Purnamaningsih, 2002).
Embriogenesis somatik dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara langsung
dan tidak langsung (melewati fase kalus). Embriogenesis somatik langsung ialah
proses perkembangan embrio yang terjadi secara langsung. Penelitian ini
menggunakan teknik embriogenesis tidak langsung, ialah proses perkembangan
Universitas Sumatera Utara
2
embrio melalui pembentukan kalus terlebih dahulu sebelum membentuk kalus
embriogenik (Chawla, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan embriogenesis melalui
kultur in vitro menurut Jimenez (2001), adalah: (1) genotip tanaman donor, (2)
kondisi fisiologis tanaman donor, menurut Utami et al. (2007) (3) jenis medium
dan kondisi fisik medium, (4) Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan (5) lingkungan
kultur. Media kultur merupakan campuran berbagai garam mineral, air, pemadat,
vitamin, gula, zat pengatur tumbuh, dan asam amino (Gunawan, 1995). Asam
amino umumnya ditambahkan untuk meningkatkan induksi kalus, regenerasi,
pertumbuhan tunas (Winarto, 2011) dan meningkatkan keberhasilan pembentukan
kalus embriogenik (Gunawan, 1995).
Asam amino yang sering diberikan pada media kultur in vitro adalah
glisin, lisin dan treonin (Yusnita, 2004). Lisin dapat membantu dalam ikatan
hidrogen dan sebagai dasar umum dalam mengubah kecepatan reaksi kimia.
Konsentrasi asam amino yang tepat dapat memberikan pengaruh yang positif
terhadap keberhasilan kultur tanaman, tetapi pada konsentrasi yang tidak sesuai
dapat menimbulkan keracunan sel dan menghambat regenerasinya (Winarto,
2011).
Pada penelitian Pongtongkam et al. (2004), pertumbuhan kalus dari kultur
embrio padi KDML 105 menggunakan media Murashige dan Skoog (MS) dengan
penambahan 1mg/L kinetin, 1 g/L L–prolin, 300 mg/L kasein hidrolisat dan L–
lisin pada konsentrasi 0, 5, 10, 20 dan 40 μM. Pembentukan kalus yang terbaik
dengan rata-rata 95,16% pada media MS yang berisi 2 mg/l 2,4–D, 1 g/L L-prolin,
1 g/L kasein hidrolisat dan konsentrasi 20 μM lisin. Pada regenerasi kalus menjadi
planlet yang terbaik dengan rata-rata 63,87% yang berisi 1 mg/L kinetin, 1 g/L L–
prolin, 300 mg/L kasein hidrolisat dan konsentrasi 20 μM lisin.
Pada penelitian Ruangsak dan Dheeranupattana (2014), pertumbuhan
planlet pada Stemona sp. di media kultur cair MS yang berisi 2 mg/L IBA, L–
ornithin dan L-lisin dengan konsentrasi yang bervariasi 0, 10, 20, 30, 50 mg/L.
Produksi alkaloid tertinggi disebabkan oleh L-lisin yang dikultur pada media cair
MS dengan 20 mg/L L–lisin untuk 1 minggu.
Universitas Sumatera Utara
3
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah keterbatasan jumlah bibit
klonal salak padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.).
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh konsentrasi lisin yang optimal
dalam pembentukan embrio somatik salak padangsidempuan ( Salacca sumatrana
Becc.).
1.4 Hipotesis
Lisin dapat mempercepat pembentukan embrio somatik pada salak
padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.).
1.5 Manfaat
Manfaat penelitian ini memberikan pengetahuan dan informasi dalam
teknik embriogenesis somatik pada salak padangsidempuan (Salacca sumatrana
Becc.) dengan penambahan lisin.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi alam Indonesia sangat mendukung upaya pengembangan tanaman buahbuahan tropis untuk menjadi komoditas unggulan (Barus dan Syukri, 2008).
Buah-buahan Indonesia selain bergizi tinggi juga dapat dimanfaatkan untuk terapi
kesehatan, salah satunya adalah salak. Kandungan kalsium, fosfor dan besi pada
buah salak dibandingkan beberapa buah lainnya termasuk tinggi. Salak
merupakan tanaman asli Indonesia. Oleh karena itu, bila kita bertanam salak
berarti kita melestarikan dan meningkatkan produksi negeri sendiri (Soetomo,
2001).
Salak telah dibudidayakan secara luas di Indonesia karena buahnya yang
enak dimakan dan mempunyai nilai ekonomi relatif tinggi. Di Indonesia ada 2
jenis salak yang banyak dibudayakan, yaitu spesies Salacca sumatrana Becc.
(salak padangsidempuan) dan Salacca zalacca (Ashari, 2005). Salak yang ditanam
orang di Bali adalah Salacca zalacca var amboinensis, sedangkan di Pulau Jawa
orang menanam Salacca zalacca var zalacca (salak pondoh), dan selanjutnya di
Pulau Sumatera adalah salak padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.)
(Ashari, 2006). Produksi salak di Indonesia masih rendah karena budidaya salak
yang dilakukan sekarang ini masih sederhana (tradisional), selain itu tanaman
yang dibudidayakan umumnya tidak berasal dari bibit yang unggul (Soetomo,
2001).
Embriogenesis somatik salah satu teknik in vitro yang dapat digunakan
untuk penggandaan bibit bermutu dalam jumlah banyak (Purnamaningsih, 2002).
Embriogenesis somatik dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara langsung
dan tidak langsung (melewati fase kalus). Embriogenesis somatik langsung ialah
proses perkembangan embrio yang terjadi secara langsung. Penelitian ini
menggunakan teknik embriogenesis tidak langsung, ialah proses perkembangan
Universitas Sumatera Utara
2
embrio melalui pembentukan kalus terlebih dahulu sebelum membentuk kalus
embriogenik (Chawla, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan embriogenesis melalui
kultur in vitro menurut Jimenez (2001), adalah: (1) genotip tanaman donor, (2)
kondisi fisiologis tanaman donor, menurut Utami et al. (2007) (3) jenis medium
dan kondisi fisik medium, (4) Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan (5) lingkungan
kultur. Media kultur merupakan campuran berbagai garam mineral, air, pemadat,
vitamin, gula, zat pengatur tumbuh, dan asam amino (Gunawan, 1995). Asam
amino umumnya ditambahkan untuk meningkatkan induksi kalus, regenerasi,
pertumbuhan tunas (Winarto, 2011) dan meningkatkan keberhasilan pembentukan
kalus embriogenik (Gunawan, 1995).
Asam amino yang sering diberikan pada media kultur in vitro adalah
glisin, lisin dan treonin (Yusnita, 2004). Lisin dapat membantu dalam ikatan
hidrogen dan sebagai dasar umum dalam mengubah kecepatan reaksi kimia.
Konsentrasi asam amino yang tepat dapat memberikan pengaruh yang positif
terhadap keberhasilan kultur tanaman, tetapi pada konsentrasi yang tidak sesuai
dapat menimbulkan keracunan sel dan menghambat regenerasinya (Winarto,
2011).
Pada penelitian Pongtongkam et al. (2004), pertumbuhan kalus dari kultur
embrio padi KDML 105 menggunakan media Murashige dan Skoog (MS) dengan
penambahan 1mg/L kinetin, 1 g/L L–prolin, 300 mg/L kasein hidrolisat dan L–
lisin pada konsentrasi 0, 5, 10, 20 dan 40 μM. Pembentukan kalus yang terbaik
dengan rata-rata 95,16% pada media MS yang berisi 2 mg/l 2,4–D, 1 g/L L-prolin,
1 g/L kasein hidrolisat dan konsentrasi 20 μM lisin. Pada regenerasi kalus menjadi
planlet yang terbaik dengan rata-rata 63,87% yang berisi 1 mg/L kinetin, 1 g/L L–
prolin, 300 mg/L kasein hidrolisat dan konsentrasi 20 μM lisin.
Pada penelitian Ruangsak dan Dheeranupattana (2014), pertumbuhan
planlet pada Stemona sp. di media kultur cair MS yang berisi 2 mg/L IBA, L–
ornithin dan L-lisin dengan konsentrasi yang bervariasi 0, 10, 20, 30, 50 mg/L.
Produksi alkaloid tertinggi disebabkan oleh L-lisin yang dikultur pada media cair
MS dengan 20 mg/L L–lisin untuk 1 minggu.
Universitas Sumatera Utara
3
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah keterbatasan jumlah bibit
klonal salak padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.).
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh konsentrasi lisin yang optimal
dalam pembentukan embrio somatik salak padangsidempuan ( Salacca sumatrana
Becc.).
1.4 Hipotesis
Lisin dapat mempercepat pembentukan embrio somatik pada salak
padangsidempuan (Salacca sumatrana Becc.).
1.5 Manfaat
Manfaat penelitian ini memberikan pengetahuan dan informasi dalam
teknik embriogenesis somatik pada salak padangsidempuan (Salacca sumatrana
Becc.) dengan penambahan lisin.
Universitas Sumatera Utara