Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum (RSUD) Gunungsitoli Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Mellitus
DM atau sering disebut dengan kencing manis adalah suatu penyakit
kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau
tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan di diagnosa melalui
pengamatan kadar glukosa di dalam darah. Insulin merupakan hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berperan dalam memasukkan glukosa dari
aliran darah ke sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2015).
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, penurunan efektivitas
insulin, atau keduanya. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa dalam
darah yang tinggi pada rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100ml darah
(Riyadi dan Sukarmin, 2008). Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang dan disfungsi beberapa organ tubuh seperti
mata, ginjal, saraf, jantung, maupun pembuluh darah (Purnamasari, 2009).
DM tipe 2 merupakan kondisi saat gula darah dalam tubuh tidak terkontrol
akibat gangguan sensitivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan hormon insulin
yang berperan sebagai pengontrol kadar gula darah dalam tubuh (Dewi, 2014).
Pankreas masih bisa membuat insulin, tetapi kualitas insulinnya buruk, tidak dapat
berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan glukosa ke dalam sel.

Akibatnya glukosa dalam darah meningkat. Kemungkinan lain terjadinya DM tipe
2 adalah bahwa sel-sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah

7

Universitas Sumatera Utara

8

resisten terhadap insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan
akhirnya tertimbun dalam peredaran darah (Tandra, 2007).
2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2016, klasifikasi
DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. Namun jenis
DM yang paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.
2.2.1

Diabetes Mellitus Tipe 1
DM tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan


metabolik glukosa yang ditandai dengan hiperglikemia kronik. Keadaan ini
disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idiopatik. Proses autoimun ini menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan untuk
memproduksi insulin karena sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel yang
bertugas memproduksi insulin sehingga produksi insulin berkurang atau terhenti
(Rustama dkk, 2010).
DM tipe 1 dapat menyerang orang semua golongan umur, namun lebih
sering terjadi pada anak-anak. Penderita DM tipe 1 membutuhkan suntikan insulin
setiap hari untuk mengontrol glukosa darahnya (IDF, 2015). DM tipe ini sering
disebut juga Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), yang berhubungan
dengan antibody berupa Islet Cell Antibodies (ICA), Insulin Autoantibodies
(IAA), dan Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). 90% anak-anak
penderita IDDM mempunyai jenis antibodi ini (Bustan, 2007).

Universitas Sumatera Utara

9

2.2.2


Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 atau yang sering disebut dengan Non Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah jenis DM yang paling sering terjadi,
mencakup sekitar 85% pasien DM. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif. DM tipe ini lebih sering terjadi pada usia diatas
40 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada orang dewasa muda dan anak-anak
(Greenstein dan Wood, 2010).
2.3 Patofisiologi Diabetes Mellitus
Gangguan-gangguan patofisiologi DM dikaitkan dengan ketidakmampuan
tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya
produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan yang
dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam
sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada penderita DM, insulin
yang dihasilkan tidak mencukupi sehingga gula menumpuk dalam darah (Agoes
dkk, 2013).
Patofisiologi pada DM tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun. Pada
autoimun-mediated DM, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan menjadi
faktor pemicu kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini disebut tipe 1A. Sedangkan
tipe non-imun, lebih umun daripada autoimun. Tipe non-imun terjadi sebagai

akibat sekunder dari penyakit lain seperti pankreatitis atau gangguan idiopatik
(Brashers dkk, 2014).
DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin
yang tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan predominan resistensi insulin

Universitas Sumatera Utara

10

sampai dengan predominan kerusakan sel beta. Kerusakan sel beta yang ada
bukan suatu autoimun mediated. Pada DM tipe 2 tidak ditemukan pertanda
autoantibodi. Pada resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin
tinggi tetapi pada keadaan gangguan fungsi sel beta yang berat kondisinya dapat
rendah. Pada dasarnya resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-perubahan
yang mencegah insulin untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan dalam
pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam salah
satu tahap kerja insulin pascareseptor. Semua kelainan yang menyebabkan
gangguan

transport


glukosa

dan

resistensi

insulin

akan

menyebabkan

hiperglikemia sehingga menimbulkan manifestasi DM (Rustama dkk, 2010).
2.4 Gejala Diabetes Mellitus
DM sering muncul dan berlangsung tanpa timbulnya tanda dan gejala
klinis yang mencurigakan, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya
gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita DM setelah timbulnya
komplikasi. DM tipe 1 yang dimulai pada usia muda memberikan tanda-tanda
yang mencolok seperti tubuh yang kurus, hambatan pertumbuhan, retardasi

mental, dan sebagainya (Agoes dkk, 2013). Berbeda dengan DM tipe 1 yang
kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita DM tipe 2 seringkali
mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya
metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu (Mahendra dkk,
2008).
Tiga serangkai yang klasik tentang gejala DM adalah poliuria (sering
kencing), polidipsia (sering merasa kehausan), dan polifagia (sering merasa lapar).

Universitas Sumatera Utara

11

Gejala awal tersebut berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi. Jika kadar gula lebih tinggi dari normal, ginjal akan membuang air
tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Oleh karena
ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, penderita sering
berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuria). Akibat lebih lanjut adalah
penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsia).
Selain itu, penderita mengalami penurunan berat badan karena sejumlah besar
kalori hilang ke dalam air kemih. Untuk mengompensasikan hal tersebut,

penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan atau
polifagia (Krisnatuti dkk, 2014).
Kadang-kadang penderita DM tidak menunjukkan gejala klasik tetapi
penderita tersebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa
tahun mengidap penyakit DM. Gejala ini disebut gejala kronik atau menahun.
Gejala kronik ini yang paling sering membawa penderita DM berobat pertama
kali. Gejalanya berupa kesemutan, kulit terasa panas, terasa tebal dikulit sehingga
kalau berjalan seperti di atas bantal atau kasur, kram, mudah mengantuk, mata
kabur, gatal disekitar kemaluan terutama wanita, serta gigi mulai goyah dan
mudah lepas (Tjokroprawiro, 2011).
2.5 Diagnosis Diabetes Mellitus
DM ditandai oleh kadar glukosa yang meningkat secara kronis. Kadar
glukosa darah puasa pada berbagai keadaan adalah sebagai berikut: DM ≥ 7,0
mmol/L, toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance) 6-7 mmol/L,
normal 200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal
dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali
pemeriksaan.
Informasi yang diperoleh dari kadar glukosa darah dapat dihubungkan
dengan kadar HbA1C dan parameter klinis untuk menilai dan memodifikasi tata
laksana DM dalam rangka memperbaiki kontrol metabolik. HbA1C merupakan

alat yang tepat untuk menilai kontrol glukosa darah jangka lama. HbA1C
menggambarkan kadar glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya (Rustama
dkk, 2010).
2.6 Epidemiologi Diabetes Mellitus
2.6.1

Distribusi dan Frekuensi

a. Menurut Orang
Berdasarkan data dari IDF (2015), proporsi penderita DM di seluruh dunia
pada laki-laki lebih tinggi (51,9%) dari pada perempuan (48,1%) dan 1 dari 11

Universitas Sumatera Utara

13

orang dewasa terkena DM. Meskipun begitu, DM dapat menyerang orang semua
usia. Sedangkan menurut ADA (2016), 9,3% dari populasi orang Amerika terkena
DM pada tahun 2012 dengan persentase penderita DM pada usia diatas 65 tahun
sebesar 25,9%.

Di Indonesia, prevalensi DM pada orang dewasa berusia 20-79 tahun
sebanyak 6,2%. Sedangkan kematian yang diakibatkan oleh DM pada orang
dewasa berjumlah 184.985 (IDF, 2015). Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi
DM pada perempuan sebesar 7,3% dan pada laki-laki sebesar 6,6% (WHO, 2016).
b. Menurut Tempat
Menurut data dari IDF, proporsi penderita DM di daerah urban di dunia
pada tahun 2015 cenderung lebih tinggi (65%) daripada di daerah rural (35%).
Berdasarkan tipenya, negara dengan proporsi penderita DM tipe 1 terbanyak
adalah Amerika (15,5%). Sedangkan untuk DM tipe 2, negara dengan penderita
terbanyak adalah Cina dengan jumlah penderita sebanyak 109,6 juta orang
(26,4%). Kemudian diikuti oleh India, Amerika, Brazil, Rusia, Meksiko, dan
Indonesia pada urutan ketujuh dengan jumlah penderita sebanyak 10 juta orang
(2,4%).
Di Indonesia, prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di
DI Yogyakarta (2,6%). Dan prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau
berdasarkan gejala, tertinggi terdapat di daerah Sulawesi Tengah (3,7%)
(Kemenkes RI, 2013). Sedangkan menurut Riskesdas tahun 2007, diperoleh
bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun

Universitas Sumatera Utara


14

di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan,
DM menduduki rangking ke-6 yaitu 5,8% (Kemenkes RI, 2009).
c. Menurut Waktu
Jumlah penderita DM telah terus meningkat selama beberapa dekade
terakhir, karena pertumbuhan penduduk, peningkatan usia rata-rata penduduk, dan
kenaikan prevalensi DM pada setiap usia. Secara global, prevalensi penderita DM
telah meningkat dari 4,7% pada tahun 1980 menjadi 8,5% pada tahun 2014
(WHO, 2016). IDF memperkirakan pada tahun 2035 jumlah penderita DM akan
meningkat menjadi 592 juta orang (Kemenkes, 2014).
2.6.2

Faktor Risiko

a. Aktivitas Fisik dan Pola Makan yang Salah
Olahraga dapat membantu menurunkan berat badan, mempertahankan
berat badan ideal, dan meningkatkan rasa percaya diri. Pada penderita DM
berolahraga dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah, menimbulkan

perasan ‘sehat’, dan meningkatkan sensitivitas terhadapat insulin sehingga
mengurangi kebutuhan akan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa
olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya
komplikasi DM jangka panjang (Rustama dkk, 2010).
Perubahan pola makan yang telah bergeser dari pola makan tradisional
yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran ke pola makan
dangan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak,
gula, garam, dan sedikit serat menyebabkan tingginya kekerapan penyakit DM

Universitas Sumatera Utara

15

(Suyono, 2009). Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga
berperan pada ketidakstabilan kerja pankreas (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
b. Genetik
Penyakit DM merupakan penyakit yang cenderung diturunkan bukan
ditularkan. Biasanya jika orangtua menderita DM, kemungkinan besar anaknya
juga menderita penyakit yang sama. Ini terjadi karena DNA pada orang DM akan
ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi
insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008).
Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola
familial yang kuat. Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir
100%. Risiko berkembangnya DM tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40%
dan 33% untuk anak cucunya (Schteingart, 2006).
c. Stres
Sukar bagi kita menghubungkan pengaruh stres dengan timbulnya DM.
Namun, yang pasti adalah bahwa stres yang hebat, seperti halnya infeksi hebat,
trauma hebat, operasi besar, atau penyakit berat lainnya, menyebabkan hormon
counter-insulin (yang kerjanya berlawanan dengan insulin) lebih aktif. Akibatnya,
glukosa darah meningkat (Tandra, 2007).
d. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara dramatis
menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini akan beresiko
pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin (Riyadi dan
Sukarmin, 2008).

Universitas Sumatera Utara

16

e. Obesitas
Obesitas merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan
penyebab tunggal DM tipe 2. Penyebab yang lebih penting adalah adanya
disposisi genetik yang menurunkan sensitivitas insulin. Sering kali, pelepasan
insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen
yang meningkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe 2 (Silbernagl dan Lang,
2007).
Obesitas dikaitkan dengan sejumlah konsekuensi metabolik yang ditandai
oleh resistensi insulin dan hiperlipidemia. Hal ini memberi kontribusi terhadap
peningkatan resiko penyakit kardiovaskular dan DM (Greenstein dan Diana,
2010). Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang
akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin,
2008).
2.7 Komplikasi Diabetes Mellitus
Pada penderita DM yang gula darahnya tidak terkontrol dengan baik,
berbagai penyakit dapat muncul sebagai akibat atau komplikasi dari adanya
penyakit

DM

ini.

Berdasarkan

penyebabnya

komplikasi

DM

dapat

dikelompokkan atas infeksi kronis dan non-infeksi
2.7.1

Infeksi Kronis
Penderita DM rentan terhadap infeksi banyak tipe. Sejak infeksi terjadi,

infeksi sulit untuk diobati. Tiga faktor yang meungkin berkontribusi terhadap
perkembangan infeksi adalah fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN) terganggu,

Universitas Sumatera Utara

17

neuropati diabetik, dan ketidakcukupan pembuluh darah. Kontrol glikemik yang
jelek juga memperbesar pentingnya faktor-faktor ini (Black dan Hawks, 2014).
Infeksi juga dapat terjadi karena glukosa darah yang tinggi mengganggu
fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau bakteri. Paruparu merupakan salah satu tempat yang mudah terkena infeksi (Ndraha, 2014).
Penderita DM yang kurang terkontrol akan cenderung mengalami pertumbuhan
bakteri, terutama bakteri golongan Mycobacterial dan Anaerobik serta infeksi
fungi. Infeksi dapat menyebabkan terjadinya pneumonia, penyakit paru obstruksi
kronik, maupun tuberkulosis (TBC) pada penderita DM. Dibanding orang nonDM, penderita DM lebih mudah menderita TBC dan lebih rentan (sekitar 12,8%)
terhadap infeksi kuman TBC, terlebih lagi jika DM yang dideritanya tidak
terkendali, tidak terawat dengan baik (Misnadiarly, 2006).
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM.
Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit
infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol
yang non-DM (Cahyadi dan Venty, 2011). Diabetes memperberat infeksi paru,
demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).
2.7.2

Non-Infeksi
Penyakit non-infeksi pada penderita DM dapat terjadi karena adanya

gangguan pada darah maupun pada pembuluh darah. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik sehingga
menyebabkan berbagai penyakit seperti hipoglikemia, hiperglikemia, penyakit
jantung koroner, dll.

Universitas Sumatera Utara

18

a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan oleh
penurunan glukosa darah dibawah normal atau kurang dari 60 mg/100 ml yang
timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah
penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin
seperti sulfonylurea. Dalam keadaan hipoglikemik ini, penderita akan mengalami
keadaan seperti badan lemas, rasa lapar, gemetar, pucat, keringat dingin, gelisah,
detak

jantung

cepat/berdebar-debar

sampai

pada

keadaan

penurunan

kesadaran/pingsan (Maryunani, 2008).
Hipoglikemia pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 merupakan faktor
penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau
mendekati normal. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia adalah
ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Glukosa
merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Oleh karena otak
hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat
sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi.
Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat
menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma
(Soemadji, 2009).
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah peningkatan gula darah melebihi 120 mg/ 100 ml.
keadaan ini disebabkan karena gula tidak bisa ditransportasikan ke sel-sel karena

Universitas Sumatera Utara

19

kurangnya insulin. Hiperglikemia dapat mengakibatkan ketoasidosis diabetik
(KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HHNK).
1.

Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan

metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009). Keadaan
ini disebabkan karena kadar gula darah terlalu tinggi, kurang hormon insulin
sehingga tubuh menggunakan lemak sebagai energi yang menghasilkan benda
keton didarah dan urin. Pencetus keadaan ketoasidosis diantaranya adalah infeksi,
stres atau trauma, penghentian insulin dan dosis insulin yang kurang (Maryunani,
2008).
Ketoasidosis merupakan komplikasi yang cukup serius yang dalam
keadaan darurat dapat menyebabkan kematian. Pada pasien yang telah diketahui
menderita DM, KAD dapat dicurigai bila terdapat keluhan nyeri perut, muntahmuntah atau malaise. Tetapi pada pasien yang belum terdiagnosis DM,
diagnosisnya akan lebih sulit. Kriteria penegakan KAD menurut pemeriksaan
laboratorium adalah hiperglikemia (gula darah >11 mmol/L); pH vena 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati
serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis. Obat
ini tidak mempunyai efk samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonylurea, tetapi mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)
namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan (Ndraha, 2014).
4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa/Acarbose

Universitas Sumatera Utara

28

Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Obat ini memperlambat pemecahan dan penyerapan
karbohidrat kompleks dengan menghambat enzim alpha glukosidase yang
terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus
halus. Hasil akhirnya adalah penurunan glukosa darah post prandial.
Sebagai moniterapi tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak
dapat menyebabkan hipoglikemia (Soegondo, 2009).
5. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like-peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 atau memberikan hormon asli atau
analognya. Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dapat melaksanakan
fungsinya (PERKENI, 2011).
b. Insulin
Insulin diklasifikasikan sebagai insulin masa kerja pendek, masa kerja
sedang, atau masa kerja panjang, berdasarkan waktu yang digunakan untuk
mencapai efek penurunan glukosa plasma yang maksimal. Terapi insulin yang
lebih tepat dapat dicapai dengan suntikan insulin yang lebih sering atau sistem
infus insulin subkutan yang terus menerus (Schteingart, 2006). Insulin digunakan

Universitas Sumatera Utara

29

pada semua pasien dengan DM tipe 1 dan sebagian pasien dengan DM tipe 2
(Davey, 2006).
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek
samping lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan
alergi insulin atau resistensi insulin (PERKENI, 2011).
2.8.3

Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan

mengadakan rehabilitas. Upaya pencegahan tersier ini dapat dilakukan dengan
memaksimalkan fungsi organ yang cacat, membuat protesa ekstremitas akibat
amputasi, dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik. Pencegahan penyakit ini
terus diupayakan selama orang yang menderita belum meninggal dunia (Budiarto
dan Anggraeni, 2003).
Salah satu cara dalam pencegahan tersier yang paling penting adalah
senam kaki DM. Kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronik yang paling
ditakuti. Angka amputasi akibat DM masih tinggi, sedangkan biaya pengobatan
juga sangat tinggi dan sering tidak terjangkau oleh masyarakat umum. Ada tiga
alasan mengapa orang dengan DM lebih tinggi resikonya mengalami masalah kaki
yaitu:
1. Sirkulasi darah dari tungkai yang menurun (gangguan pembuluh darah)
2. Berkurangnya perasaan pada kedua kaki (gangguan saraf)
3. Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Senam kaki dapat membantu sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot
kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki.

Universitas Sumatera Utara

30

2.9 Kerangka Konsep
Karakteristik penderita DM tipe 2 dengan komplikasi
1. Sosiodemografi:
Umur
Jenis Kelamin
Suku
Agama
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Status Perkawinan
Tempat Tinggal
2. Kadar Gula Darah Puasa
3. Keluhan Utama
4. Jenis Komplikasi
5. Penatalaksanaan Medis
6. Sumber Biaya
7. Lama Rawatan rata-rata
8. Keadaan Sewaktu Pulang

Universitas Sumatera Utara