PKL Ari revisi 8 terbaru

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman yang penting di
dunia dan diproduksi di semua benua. Salah satu pusat asal-usul pembudidayaan
padi diperkirakan adalah Asia Tenggara yaitu India Timur, Indo Cina, Cina
Selatan, dan Afrika.
Indonesia mengenal padi sejak abad ke-7, bahkan mungkin lebih awal.
Sampai saat ini kehidupan sosial, ekonomi, dan budidaya petani seakan tidak
dapat dipisahkan dari padi. Padi juga telah mendorong berkembangnya teknologi
budidaya pertanian, mulai dari tradisional sampai modern. Sejalan dengan proses
tersebut, beras telah menjadi bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat
secara turun temurun, yang tidak mudah tergantikan oleh pangan lain. Tingkat
konsumsi beras yang cukup tinggi, saat ini telah mencapai 135 kg per kapita per
tahun, mengindikasikan beratnya tantangan dalam memasyarakatkan diversifikasi
pangan (Apriantono, 2008).
Beras di Indonesia bukan hanya sekedar komoditas pangan, tetapi juga
merupakan komoditas strategis yang memiliki sensitivitas politik, ekonomi, dan
kerawanan sosial yang sangat tinggi. Penduduk Indonesia bergantung pada beras

karena pertanian sebagai penyedia pangan dan merupakan basis perekonomian
Indonesia. Maka sedikit saja terjadi gangguan pada produksi beras akan
menyebabkan pasokan menjadi terganggu dan harga jual meningkat.
Kebijakan peningkatan kesejahteraan petani padi mempunyai arti yang
sangat strategis, mengingat peran beras dalam perekonomian Indonesia masih
cukup besar. Ada empat indikator yang dapat digunakan untuk menilai peran

1

tersebut yaitu (a) usaha tani menghidupi sekitar 20 juta keluarga petani dan buruh
tani, serta menjadi urat nadi perekonomian pedesaan; (b) permintaan terhadap
beras terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk karena
belum berhasilnya diversifikasi pangan; (c) produksi beras di Indonesia masih
menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif akibat bencana alam, serangan hama
penyakit dan kenaikan beras, harga pupuk dan pestisida; dan (d) usaha tani padi
masih menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan. Bahkan tahun
2007,

pemerintah


melalui

Departemen

Pertanian

meluncurkan

Program

Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Program P2BN tersebut dapat
tercapai dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi. Program ekstensifikasi
di Jawa kecil kemungkinan dapat dilakukan karena lahan pertanian semakin
terbatas akibat pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman.
Pergeseran fungsi ini sebagai dampak semakin bertambahnya jumlah penduduk,
baik penduduk asli maupun pendatang. Program P2BN di Pulau Jawa terutama di
Yogyakarta dapat tercapai dengan cara intensifikasi (BPTP, 2008).
Cara intensifikasi ini terdiri dari beberapa kegiatan dan salah satu kegiatan
yang penting adalah penggunaan varietas unggul. Saat ini sebagian besar petani
menanam varietas unggul, varietas unggul baru (VUB) maupun padi hibrida dan

hanya sebagian kecil petani yang menanam padi lokal.
Berdasarkan ciri-cirinya padi dibedakan menjadi dua kelompok yaitu padi
varietas unggul dan padi varietas lokal. Varietas unggul memegang peranan yang
menonjol baik terhadap kontribusinya maupun peningkatan hasil per satuan luas
karena memiliki banyak anakan maupun sebagai salah satu komponen utama

2

dalam pengendalian hama dan penyakit. Padi unggul umumnya berumur lebih
pendek dan mempunyai tinggi tanaman yang lebih pendek dibandingkan dengan
padi lokal, sehingga keberadaan padi varietas lokal pada saat ini sudah jarang
dijumpai (Sari dan Waluyo, 2008).
Padi lokal biasanya mempunyai potensi produksi yang rendah dan umur
yang panjang. Walaupun demikian ada jenis padi lokal dengan produksi rendah
dan umur panjang akan tetapi mempunyai keunggulan lain seperti rasa enak,
pulen bahkan ada yang memiliki fungsi untuk kesehatan seperti padi Merah.
Dengan keunggulan-keunggulan tersebut diharapkan padi lokal memiliki harga
yang lebih tinggi. Keunggulan-keunggulan tersebut dan keunggulan/karakter lain
yang belum diketahui tidak menutup kemungkinan dapat digunakan sebagai
sumber gen/tetua (Diwyanto dan Setiadi, 2003). Mengingat pentingnya pelestarian

sumberdaya genetik maka perlu dicegah punahnya padi lokal DIY ini. Tahun 2006
BPTP Yogyakarta telah mengadakan penelitian uji adaptasi beberapa jenis padi
Merah lokal di Dusun Duwetsari Padasan, Pakembinangun, Pakem, Kabupaten
Sleman. Usahatani padi Merah lokal diharapkan dapat menguntungkan dari segi
ekonomi dan sekaligus sebagai usaha pelestarian sumberdaya genetik lokal.
Plasma nutfah atau sumberdaya genetik harus dikelola dan dimanfaatkan
sebaik-baiknya tanpa mengabaikan unsur kelestariannya guna mencegah
kepunahan. Hilangnya plasma nutfah disebabkan karena Adanya kebijakan
pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Menurut
Kristamtini (2003) bahwa, sekali musnah suatu plasma nutfah maka plasma

3

nutfah tersebut tidak dapat diketemukan kembali dan tidak dapat dihidupkan
kembali.
Adanya erosi genetik akibat praktek pertanian modern menyebabkan
semakin terasa pentingnya koleksi dan konservasi plasma nutfah. Daerah-daerah
penghasil padi biasanya memiliki varietas lokal yang mengandung keragaman
genetik akan tetapi semakin terdesak ke wilayah-wilayah pedalaman yang sulit
dijangkau (Rabbani et al., 2008). Untuk mengantisipasi erosi gen tanaman perlu

dilakukan pelestarian bahan genetik tanaman melalui kegiatan eksplorasi,
karakterisasi, rejuvinasi, dan dokumentasi (Hanarida et al., 2005).

B. Tujuan Praktik Kerja Lapangan
Praktik kerja lapangan yang akan dilaksanakan mempunyai tujuan:
1. Mengetahui dan mempelajari keadaan umum daerah, sejarah, tugas dan
fungsi, struktur organisasi, sarana dan prasarana yang terdapat di Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
2. Mengetahui berbagai koleksi kultivar padi lokal Yogyakarta yang terdapat di
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
3. Mengetahui dan mempelajari karakterisasi kultivar-kultivar padi lokal yang
terdapat di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
4. Mengetahui pengelolaan padi lokal di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Yogyakarta
C. Sasaran Praktik Kerja Lapangan
Sasaran Praktik Kerja Lapangan ini adalah:

4

1. Memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan keterangan lebih lanjut

mengenai karakterisasi kultivar padi lokal di Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Yogyakarta
2. Memperoleh pengalaman kerja secara langsung dan wawasan di lapangan
mengenai karakterisasi kultivar padi lokal di Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Yogyakarta

D. Manfaat Praktik Kerja Lapangan
Manfaat yang diharapkan dari kegiatan praktik kerja lapangan ini
diantaranya, yaitu:
1. Mengetahui ciri/karakter dari masing-masing kultivar padi lokal
2. Dapat melestarikan plasma nutfah padi lokal, serta dapat mengenali varietas
padi lokal
3. Mengenali varietas atau jenis padi lokal kemudian diketahui keunggulan dan
keunikan masing-masing varietas atau jenis sehingga dapat digunakan sebagai
rujukan bagi petani atau bagi para pemulia sebagai materi genetik
4. Hasil praktik kerja lapangan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk melaksanakan penelitian
5. Menjalin relasi dan kerjasama yang lebih luas guna menunjang Karir pasca
kelulusan nanti.


5

II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Padi
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan
yang berupa rumput dan bersifat berumpun. Tanaman padi merupakan tanaman
pertanian kuno yang berasal dari benua Asia dan Afrika Barat. Berdasarkan
sejarah penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3.000 tahun SM.
Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar
100-800 SM. Selain Cina dan India, ada juga beberapa wilayah asal padi yaitu,
Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, dan Vietnam. Terdapat 25 spesies padi
yang dikenal adalah padi dengan subspesies Indica (padi bulu) yang ditanam di
Indonesia dan Japanica (padi cere), dan padi juga dibedakan dalam dua tipe yaitu
padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran
rendah (Yoshida, 1981).

6

Menurut Herawati (2012), padi merupakan tanaman pertanian kuno yang

sampai sekarang menjadi penghasil bahan pangan pokok di kebanyakan Negara
daerah tropis, terutama di Asia dan Afrika. Berdasarkan literatur Grist (1960) cit.
Hanum (2008), padi dalam sistematika tumbuhan, tanaman padi diklasifikasikan
sebagai berikut:
Divisio

: Spermatophyta

Sub division : Angiospermae
Kelas

: Monocotyledoneae

Ordo

: Poales

Famili

: Graminae


Genus

: Oryza Linn

Spesies

: Oryza sativa L (Luh, 1991).
Tanaman padi dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu padi kering yang

tumbuh di lahan kering dan padi sawah yang memerlukan air menggenang dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Genus Oryza L. meliputi kurang lebih 25
spesies, tersebar di daerah tropik dan subtropik seperti Asia, Afrika, Amerika, dan
Australia (Herawati, 2012).
Menurut Hasanah (2007) padi berasal dari dua benua yaitu Oryza fatua
Koening dan Oryza sativa L. berasal dari benua Asia dan Oryza stapfii Rroschev
dan Oryza glaberima Steund berasal dari Afrika Barat. Padi yang sekarang ini
merupakan persilangan antara Oryza officinalis dan Oryza satifa f spontania.
Tanaman padi yang dapat tumbuh baik di daerah tropis ialah Indica, sedangkan
Japonica banyak diusahakan di daerah subtropics.


7

Padi yang dibudidayakan hingga sekarang ini telah banyak mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi, bukan hanya bentuk luar atau morfologisnya,
tetapi segi fisiologisnya juga berubah. Perubahan morfologis ini meliputi daun:
jumlah daun menjadi lebih banyak. Daun berubah menjadi lebih panjang, lebih
besar dan tebal. Anakan bertambah banyak: malai terbentuk sesuai dengan jumlah
dan perkembangan anakan, cabang malai menjadi lebih banyak. Perubahan
fisiologis padi antara lain: laju pertumbuhan tanaman menjadi lebih cepat,
demikian pula laju pertumbuhan bibitnya: dormansi biji menjadi lebih pendek.
Tanaman padi dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu:
1. Menurut sifat-sifat morfologisnya dan fisiologisnya, padi dibedakan:
a. Di Indonesia
 Padi cereh (cerai, kretek, dan cempo)
 Padi bulu
b. Di luar negeri
 Padi Sinica
 Padi Indica
 Padi Brevendica

 Padi Brevis Gustchin
2. Menurut keadaan besarnya dibedakan:
a. Padi biasa
b. Padi ketan
3. Menurut cara dan tempat bertanam dibedakan:
a. Padi sawah
b. Padi gogo
c. Padi gogorancah
d. Padi pasang surut
e. Padi lebak
f. Padi apung
4. Menurut umur tanaman padi dibedakan
a. Padi genjah
b. Padi tengahan
c. Padi dalam

8

Tanaman padi dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu bagian vegetatif
dan bagian generatif. Bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun. Sedangkan
bagian generatif terdiri dari malai, bunga dan buah padi (Hasanah, 2007).
Hanum (2008) menyatakan bahwa akar adalah bagian tanaman yang
berfungsi menyerap air dan zat makanan dari dalam tanah, kemudian diangkut ke
bagian atas tanaman. Bagian akar yang telah dewasa (lebih tua) dan telah
mengalami perkembangan akan berwarna cokelat. Sedangkan akar yang baru atau
bagian akar yang masih muda berwarna putih.
Akar pada tanaman padi yang tumbuh pertama adalah akar serabut yang
keluar dari lembaga sehingga tumbuh terus-menerus masuk kedalam tanah kurang
lebih 5-8 hari berikutnya baru tumbuh akar dari batang yang pendek dalam
bentuk akar serabut yang terdiri dari akar-akar kecil dan bulu-bulu akar berwarna
putih (Yoshida, 1981).
Padi memiliki bentuk batang yang membulat, berlubang, bersekat-sekat
dan tidak berambut. Tanaman padi mempunyai batang utama dan sejumlah anakan
tergantung varietas dan kondisi budidaya. Masing-masing batang mempunyai
buku dan ruas. Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas. Ruas-ruas batang
padi memiliki panjang yang berbeda-beda. Ruas yang terpendek terdapat pada
bagian bawah dari batang dan ruas-ruas yang berdiri sendiri, batang padi muncul
pada ketiak daun (Utomo dan Nazarudin, 2000).
Tanaman yang termasuk jenis rumput-rumputan memiliki daun yang
berbeda-beda, baik dari segi bentuk maupun susunan atau bagian-bagiannya.
Setiap tanaman memiliki daun yang khas. Ciri khas daun padi adalah adanya sisik

9

dan daun telinga. Hal ini yang menyebabkan daun padi dapat dibedakan menjadi
jenis rumput yang lain. Daun padi memiliki bagian-bagian, yaitu helaian daun
terletak pada batang padi serta berbentuk memanjang seperti pita. Pelepah daun
(upih) merupakan bagian daun yang menyelubungi batang. Pelepah daun
berfungsi memberi dukungan pada bagian ruas yang jaringannya lunak. Lidah
daun terletak pada perbatasan antara helai daun (left blade) dan upih (Herawati,
2012).
Bunga tanaman padi terdiri atas beberapa ruas yang dibatasi oleh buku dan
tunas (anakan) tumbuh pada buku. Jumlah buku sama dengan jumlah daun
ditambah dua yakni satu buku untuk tumbuhnya koleoptil dan yang satu lagi buku
terakhir yang menjadi dasar malai. Ruas yang terpanjang adalah ruas yang teratas
dan panjangnya berangsur menurun sampai keruas yang terbawah dekat
permukaan tanah. Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Malai terdiri dari
8-10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer selanjutnya menghasilkan
cabang-cabang sekunder. Dari buku pangkal malai pada umumnya akan muncul
hanya satu batang primer, tetapi dalam keadaan tertentu buku tersebut dapat
menghasilkan 2-3 cabang primer (Purnomo dan Purnamawati, 2007).
Malai padi merupakan sekumpulan butir atau spikelet yang muncul pada
buku batang padi pada bagian atas. Malai terdiri dari cabang primer, sekunder, dan
kadang tersier. Dimana pada cabang-cabang itu terdapat bulir dengan sistem
percabangan kadang berpasangan atau menyebelah. Pada waktu berbunga, malai
berdiri tegak dan kepala putik terkuak keluar. Sedangkan pada waktu berbunga
menutup kembali, kedua kepala putik tadi masih tertinggal diluar, hingga pada

10

waktu bulir berisi dan matang menjadi gabah, maka malai akan terkulai (Yoshida,
1981).
Ada tiga stadia umum proses pertumbuhan tanaman padi dari awal
penyemaian hingga pemanenan:
1. Stadia vegetatif ; dari perkecambahan sampai terbentuknya bulir. Pada varietas
padi yang berumur pendek (120 hari) stadia ini lamanya sekitar 55 hari,.
Sedangkan pada varietas padi berumur panjang (150 hari) lamanya sekitar 85
hari.
2. Stadia produktif ; dari terbentuknya bulir sampai pembungaan. Pada varietas
berumur pendek lamanya sekitar 35 hari dan pada varietas berumur panjang
sekitar 35 hari juga.
3. Stadia pembentukan gabah atau biji ; dari pembungaan sampai pemasakan biji.
Lamanya stadia sekitar 30 hari, baik untuk varietas padi berumur pendek
maupun berumur panjang.
Apabila ketiga stadia dirinci lagi, maka akan diperoleh sembilan stadia.
Masing-masing stadia mempunyai ciri dan nama tersendiri. Stadia tersebut adalah:
1. Stadia 0 ; dari perkecambahan sampai timbulnya daun pertama, biasanya
membutuhkan waktu sekitar 3 hari
2. Stadia 1 ; stadia bibit, stadia ini lepas dari terbentuknya daun pertama sampai
terbentuknya anakan pertama, lamanya sekitar 3 minggu atau sampai pada
umur 24 hari.
3. Stadia 2 ; stadia anakan, ketika jumlah anakan semakin bertambah sampai
batas maksimum, lamanya sampai 2 minggu atau saat padi berumur 40 hari.
4. Stadia 3 ; stadia perpanjangan batang, lamanya sekitar 10 hari, yaitu sampai
terbentuknya bulir saat padi berumur 52 hari.

11

5. Stadia 4 ; stadia saat mulai terbentuknya bulir, lamanya sekitar 10 hari atau
sampai padi berumur 62 hari.
6. Stadia 5 ; perkembangan bulir, lamanya sekitar 2 minggu saat padi sampai
berumur 72 hari. Bulir tumbuh sempurna sampai terbentuknya biji.
7. Stadia 6 ; pembungaan, lamanya 10 hari, saat mulai muncul bunga, polinasi,
dan fertilasi.
8. Stadia 7 ; stadia biji berisi cairan menyerupai susu, bulir kelihatan berwarna
hijau, lamanya sekitar 2 minggu, yaitu padi berumur 94 hari.
9. Stadia 8 ; ketika biji yang lembek mulai mengeras dan berwarna kuning,
sehingga seluruh pertanaman berumur 102 hari (Suparyono dan Setyono,
1993).

B. Syarat Tumbuh
1. Iklim
Tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas
dan banyak mengandung uap air. Dengan kata lain, padi dapat hidup baik di
daerah beriklim panas yang lembab. Pengertian iklim ini menyangkut curah
hujan, temperatur, ketinggian tempat, sinar matahari, angin dan musim.
a. Curah hujan
Tanaman padi membutuhkan curah hujan yang baik, rata-rata curah
hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau lebih, dengan distribusi selama
4 bulan. Sedangkan yang dikehendaki pertahun sekitar 1500-2000
mm/tahun. Curah hujan yang baik akan membawa dampak positif dalam
pengairan, sehingga genangan air yang diperlukan tanman padi di sawah
dapat tercukupi.
b. Temperatur

12

Termperatur sangat mempengaruhi pengisian biji padi. Temperatur
yang rendah dan kelembaban yang tinggi pada waktu pembungaan akan
mengganggu proses pembuahan yang mengakibatkan gabah menjadi
hampa. Hal ini terjadi akibat tidak membukanya bakal biji. Temperatur
yang rendah pada waktu bunting dapat menyebabkan rusaknya pollen dan
menunda pembukaan tepung sari. Temperatur yang tepat untuk dataran
rendah pada ketinggian 0-650 m dpl adalah 22ºC-27ºC. Sedangkan di
dataran tinggi 650-1500 m dpl adalah 19ºC-23ºC (Hanum, 2008).
c. Tinggi tempat
Menurut Junghun, hubungan antara tinggi tempat dengan tanaman
padi adalah sebagai berikut:


Daerah antara 0-650 meter dengan suhu antara termasuk 96% dari



luas tanah Jawa, cocok untuk tanaman padi.
Daerah antara 650-1500 meter dengan suhu antara masih cocok untuk

tanaman padi.
d. Intensitas cahaya matahari
Tanaman padi memerlukan penyinaran matahari penuh tanpa
naungan. Sinar matahari diperlukan padi untuk melangsungkan proses
fotosintesis, terutama pada pembungaan dan pemasakan buah akan
tergantung terhadap fotosintesis sinar matahari (Herawati, 2012).
e. Angin
Angin mempunyai pengaruh positif dan negatif terhadap
pertumbuhan tanaman padi. Pengaruh positifnya, terutama pada proses
penyerbukan dan pembuahan. Tetapi angin juga berpengaruh negatif,

13

karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau jamur dapat ditularkan
oleh angin dan apabila terjadi angin kencang pada saat tanaman berbunga,
buah dapat menjadi hampa dan tanaman roboh. Hal ini akan lebih terasa
lagi apabila penggunaan pupuk N berlebihan, sehingga tanaman tumbuh
terlalu tinggi.
f. Musim
Padi dapat ditanam dimusim kemarau atau hujan. Pada musim
kemarau produksi meningkat asalkan irigasi selalu tersedia. Di musim
hujan, walaupun air melimpah produksi dapat menurun karena
penyerbukan kurang intensif. Pertumbuhan tanaman padi sangat
dipengaruhi oleh musim. Musim di Indonesia ada dua yaitu musim
kemarau dan musim hujan. Penanaman padi pada musim kemarau akan
lebih baik dibandingkan pada musim hujan, asalkan sistem pengairannya
baik. Proses penyerbukan dan pembuahan padi pada musim kemarau tidak
akan terganggu oleh hujan sehingga padi yang dihasilkan menjadi lebih
banyak. Akan tetapi, apabila padi ditanam pada musim hujan, proses
penyerbukan dan pembuahan menjadi terganggu oleh hujan. Akibatnya,
banyak biji padi yang hampa (Hanum, 2008: Hasanah, 2007).
2. Tanah
Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi yang dapat digunakan
sebagai tempat tumbuh suatu tanaman, sebab pada tanah terkandung zat-zat
makanan

yang

perkembangannya.

diperlukan
Dalam

oleh
usaha

14

tanaman

untuk

pemanfaatan

pertumbuhan

tanah

oleh

dan

manusia,

pengetahuan tentang sifat-sifat fisik tanah sangat diperlukan sebagai dasar.
Sebab penyimpanan unsur hara (nutrisi) yang diperlukan tanaman dan
kapasitas penyediaan air dalam tanah dapat diketahui. Selain itu dapat
diketahui juga pertumbuhan akar dan aerasinya. Dari data tersebut dapat
ditentukan penggunaan tanah yang dimiliki, sehingga dapat disebutkan bahwa
sifat fisik tanah mencakup terkstur tanah, struktur tanah, air serta udara dalam
tanah.
a. Tekstur tanah
Tekstur tanah merupakan sifat fisik tanah yang sukar berubah
(permanen). Tekstur tanah berarti komposisi antara bermacam-macam
fraksi tanah yaitu fraksi pasir, debu, dan lempung. Kasar atau halusnya
tanah dapat ditentukan dari perbandingan ketiga fraksi tersebut.
Tanah sawah yang mempunyai presentase fraksi pasir dalam
jumlah besar, kurang baik untuk tanaman padi, sebab tekstur ini mudah
meloloskan air. Pada tanah sawah dituntut adanya lumpur, terutama untuk
tanaman padi yang memerlukan tanah subur, dengan kandungan ketiga
fraksi dalam perbandingan tertentu. Lumpur adalah butir-butir tanah halus
yang seluruhnya diselubungi oleh air, sehingga pada tanah sawah
diperlukan air dalam jumlah yang cukup dan butir tanah dapat
mengikatnya.
b. Struktur tanah
Dalam pertanian, sifat tanah sangat berbeda-beda dan hal ini
berhubungan dengan keadaan susunan tanah atau struktur tanahnya. Di

15

pulau Jawa, menurut penelitian, padi dapat tumbuh dengan baik pada
tanah yang ketebalan lapisan atasnya antara 18-22 cm, terutama tanah
muda dengan pH antara 4-7. Sedangkan lapisan olah tanah sawah, menurut
IRRI ialah dengan kedalaman 18 cm.
c. Air dan udara dalam tanah
Kebutuhan air dan udara didalam tanah merupakan kebutuhan yang
harus terpenuhi untuk kehidupan, baik tanaman maupun jasad renik yang
ada didalam tanah. Air dan udara yang diperlukan biasanya dalam jumlah
yang berimbang.

C. Padi Lokal
Akhir tahun 1960-an, usaha pertanian padi dibeberapa Negara kawasan
Asia Tenggara, khususnya Indonesia banyak mengalami perubahan akibat
introduksi varietas padi unggul (High Yielding Rice Varieties = HYVs), yang
merupakan salah satu program dari revolusi hijau. Selain memberikan dampak
positif,

revolusi

hijau

juga

memberikan

dampak

negatif,

diantaranya

menimbulkan kesenjangan ekonomi yang makin besar antara petani miskin dan
petani kaya, punahnya varietas padi lokal secara massal, pencemaran air dan
tanah, serta kerusakan kesuburan tanah (Iskandar, 2001).
Sejak tahun 1970-an, sebagian besar petani padi di Indonesia
menggunakan varietas lokal yang jumlahnya ribuan seperti Panda Kuning, Surya,
Cina Putih dan menyebar diseluruh wilayah Republik Indonesia. Penyebarannya
mengikuti areal yang sempit sesuai dengan keadaan yang berbeda. Varietas-

16

varietas ini telah ditanam petani secara turun temurun berabad-abad yang lampau
dan telah beradaptasi pada berbagai kondisi lahan dan iklim. Selain itu varietas
padi lokal secara alami telah teruji ketahanannya terhadap berbagai cekaman
lingkungan serta hama dan penyakit, sehingga merupakan sumberdaya genetik
yang tak ternilai harganya. (Siwi dan Kartowinoto, 1989).
Indonesia tercatat lebih dari 8000 varietas padi lokal atau tradisional yang
bisa ditanam petani. Akan tetapi, dengan adanya program revolusi hijau yang
mengintroduksikan varietas padi unggul, keanekaragaman padi menurun secara
drastis (Irawan dan purbayanti, 2008).
Varietas lokal mempunyai sifat adaptasi/kesesuaian daerah tertentu,
produksi rendah, berbatang tinggi dan kuat, berumur dalam/panjang, tidak respon
terhadap input/pemupukan dan berpenampilan masih beragam, mempunyai rasa
nasi enak dan disenangi banyak konsumen serta mempunyai harga pasar tinggi.
Karakteristik varietas padi tradisional (lokal) belum teridentifikasi dengan baik
sehingga potensi dan peluang pengembangannya sebagai varietas padi lokal
unggul belum diketahui. Penampilan populasi varietas lokal dilapangan terlihat
masih beragam terutama karakter tinggi tanaman, umur masak, bentuk dan warna
gabah. Hal ini akan berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan petani selain
itu benih varietas lokal yang digunakan petani bermutu rendah karena diperoleh
dari hasil panen padi petani secara terus menerus dan diwarisi turun temurun
(BPTP Sumbar, 2009).
Negara Republik Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang memiliki
iklim dan tanah yang sangat beragam, sehingga memungkinkan varietas padi

17

dapat beradaptasi pada lingkungan tertentu saja. Di antara ribuan varietas padi
lokal ternyata masih ada yang cukup menonjol seperti padi Batubara dan bahkan
sampai sekarang masih dibudidayakan oleh petani pada lokasi-lokasi tertentu.
Varietas-varietas ini mempunyai kelebihan tertentu yang belum dimiliki varietas
lain. Salah satu kelebihan yang dimiliki yaitu mutu rasa nasi yang enak dan aroma
yang wangi (Soemartono et al., 1992). Menurut Harahap et al dalam Munandar et
al., (1996), padi lokal yang sering ditanam petani merupakan padi yang telah
puluhan tahun ditanam dan diseleksi petani. Hasil padi lokal umumnya tidak
terlalu tinggi, padi-padi tersebut mempunyai adaptasi yang baik terhadap
lingkungan pertumbuhan yang kurang optimal serta kualitas beras (rasa nasi) yang
disukai masyarakat karena memiliki yang wangi seperti varietas Harum Curup .
Padi lokal (land rice) merupakan plasma nutfah yang potensial sebagai
sumber gen-gen yang mengendalikan sifat-sifat penting pada tanaman padi.
Keragaman genetik yang tinggi pada padi lokal dapat dimanfaatkan dalam
program pemuliaan padi secara umum. Identifikasi sifat-sifat penting yang
terdapat pada padi lokal perlu terus dilakukan agar dapat diketahui potensinya
dalam program pemuliaan (Hairmansis et al., 2005).
Padi lokal memiliki beberapa kelebihan ditinjau dari sisi kepentingan
petani, karena mudah diperoleh, pemeliharaan yang sangat minim, dan berbatang
tinggi, sehingga tidak perlu membungkuk ketika memanen (Wingin, 1976). Selain
itu varietas lokal hasilnya stabil, input rendah, bentuk gabah kecil ramping yang
disukai petani dan konsumen (Iskandar, 2001).

18

Varietas lokal yang telah beradaptasi pada kondisi lingkungan ekstrim
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada berbagai kondisi lingkungan
tercekam seperti suhu rendah, salinitas, lahan masam, kekeringan, dan kondisi
lingkungan suboptimal lainnya. Varietas lokal Tejo dan Mota yang masing-masing
dibudidayakan oleh petani dataran tinggi Kalibening, Banjarnegara dan Ciwidey,
Bandung dilaporkan toleran terhadap suhu rendah (Sasmita et al., 2011).
Padi lokal yang memiliki sifat-sifat spesifik umumnya memiliki potensi
hasil rendah, umur dalam, mudah rebah, dan kurang respons terhadap pemupukan.
Oleh sebab itu, varietas lokal kurang bernilai ekonomis dibanding varietas unggul.
Di lain pihak, sejumlah varietas lokal telah terindentifikasi sebagai sumber gen
untuk sifat mutu, ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan toleransi terhadap
cekaman lingkungan suboptimal (Singh et al., 2000). Sifat-sifat unggul spesifik
yang dimiliki varietas lokal perlu diinkorporasikan ke dalam genom varietas
unggul agar memiliki sifat unggul yang unik.
Sejarah pemuliaan padi di Indonesia tercatat 40-an varietas lokal yang
telah dimanfaatkan sebagai tetua persilangan (Tabel 1), relatif sedikit
dibandingkan dengan koleksi plasma nutfah yang ada. Hal ini mungkin
dilatarbelakangi oleh banyaknya plasma nutfah unggul sumber donor gen yang
berupa galur-galur unggul hasil program pemuliaan nasional sebelumnya atau
galur asal introduksi, yang telah memiliki karakter agronomis yang baik dan
karakter spesifik lainnya. Di samping itu, persilangan menggunakan tetua varietas
lokal diperkirakan akan memerlukan seleksi yang lebih lama, kemungkinan

19

memerlukan silang balik (back cross) dan tidak selalu menghasilkan varietas
unggul baru (Sitaresmi et al., 2013).
Tabel 1. Varietas lokal yang telah
varietas unggul
Varietas ungggul
Varietas lokal
sebagai tetua
Si gadis
Blue Bonnet
dan Benong
Remaja
Balang, cina,
Latisail
PB5
Peta, Tangkai,
Rotan
PB8
Peta
Dewi ratih
Randak Cupak
Si Ampat
Peta
Pelita I-1
Shinta
Pelita I-2
Shinta
Gemar
Jerak
Gati
Si Gadis
Batang Agam
Sirendah
Merah
Tondano
Gati dan
Genjah
Lampung
Kelara
R. Henati
Batang Ombilin
Kuning
Galung
Ranau
Si Ampat dan
Arias
Maninjau
Shintha,
Genjah
Lampung, dan
Si Gadis
Danau Bawah
Aria
Danau Atas
Seratus Malam
(Radiasi)
Laut Tawar
Seratus Malam
Mutan
Danau Tempe
Carreon
Way Rarem
Carreon
Maros
Markoti
Widas
Sentani dan
Singkarak

digunakan sebagai tetua dalam perakitan
Agroekosistem

Tahun dilepas

Kelompok

Sawah

1953

VUL

Sawah

1954

VUL

Sawah

1967

VUL

Sawah
Sawah
Sawah
Sawah
Sawah
Dataran Tinggi
Gogo
Dataran Tinggi

1967
1969
1969
1971
1971
1976
1976
1981

VUL
VUL
VUL
VUL
VUL
VUL
VUL
VUB

Gogo

1983

VUB

Sawah
Dataran Tinggi

1983
1984

VUB
VUB

Gogo

1984

VUB

Gogo

1985

VUB

Gogo
Gogo

1987
1988

VUB
VUB

Gogo

1989

VUB

Gogo
Gogo
Sawah
Sawah

1991
1994
1996
1999

VUB
VUB
VUB
VUB

20

Limboto
Dendang
Indragiri
Margasari
Martapura
Tukad Unda
Wera
Mendawak

Papah Aren
dan Dogo
Osok
Barumun dan
Rojolele
Siam Ununs
dan cisokan
Siam Unus
dan Cisokan
Balimun Putih
Hawara Bunar
Mahsuri dan
Kelara
Simariti
Sitali
Cisanggarung
Ketan Lumbu

Gogo

1999

VUB

Rawa
Rawa

1999
2000

VUB
VUB

Rawa

2000

VUB

Rawa

2000

VUB

Sawah
Sawah
Rawa

2000
2001
2001

VUB
VUB
VUB

Pepe
Sawah
2003
Aek Sibundong
Sawah
2006
INPARI 2
Rawa
2008
INPARI 5
Sawah
2008
Merawu
INPARI 14
Cipeundeuy C
Sawah
2011
Pakuan
INPARI 7
Beras Merah
Rawa
2012
INPARI 21
Sitali
Sawah
2012
Batipuah
INPARI 24
Beras Merah
Sawah
2012
Gabusan
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan (2009), BB
(2013)

VUB
VUB
VUB
VUB
VUB
VUB
VUB
VUB
Padi

Penggunaan plasma nutfah varietas lokal yang memiliki gen-gen unggul
mempermudah pemulia tanaman untuk memperoleh genotip rekombinan yang
memiliki karakter unggul sesuai dengan target perbaikan varietas. Ketersedian
calon tetua persilangan yang telah teruji keunggulannya memungkinkan pemulia
tanaman menggunakan teknik silang balik, sehingga program perbaikan varietas
menjadi lebih efisien. Pada umumnya penggunaan varietas lokal sebagai tetua
persilangan menghasilkan turunan dengan karakteristik morfologis dan agronomis
yang sangat beragam, sehingga diperlukan proses seleksi yang lebih intensif. Pada
masa yang akan datang, program perbaikan karakter varietas yang memiliki sifat

21

spesifik akan lebih banyak menggunakan varietas lokal, seperti halnya dalam
perbaikan karakter malai lebat, anakan sedikit, ukuran malai yang panjang, lebar,
dan ketebalan daun pada pembentukan padi tipe ideal (IRRI, 1995).
Varietas padi lokal yang belum mengalami pemurnian berpenampilan tidak
seragam, karena populasinya heterogen homozigot. Varietas lokal seperti itu
memiliki genetik dengan sejumlah karakter yang berbeda sehingga penampilan
agronomisnya tidak seragam seperti varietas padi modern (Sitaresmi et al., 2013).
Penggunaan varietas lokal dalam program pemuliaan telah sering dianjurkan,
dengan tujuan untuk memperluas latar belakang genetik varietas unggul yang
akan dihasilkan (Cooper et al., 2001, Spoor and Simmonds, 2001, Berthaud et al,
2001). Penggunaan gen-gen tahan terhadap berbagai cekaman yang dimiliki
varietas lokal dalam pemuliaan tanaman dapat meningkatkan keunggulan varietas
unggul yang akan dihasilkan.
Penggunaan varietas yang kurang murni dalam sistem budidaya tanaman
secara intensif tidak dianjurkan, karena menyulitkan dalam pengelolaan tanaman
dengan tepat. Oleh karena itu, perlu diupayakan proses seleksi galur murni untuk
mengekstrak komponen pembentukan varietas lokal yang memiliki keseragaman
umur matang, kemampuan membentuk anakan, jumlah gabah per malai, dan
fertilitas malai yang tinggi, sehingga produktivitasnya dapat diperbaiki. Seleksi
sejumlah karakter tersebut pada komponen-komponen pembentuk varietas lokal
dengan teknik seleksi galur murni diharapkan dapat memperbaiki penampilan
galur yang dihasilkan. Galur terbaik dari hasil seleksi ini diharapkan memiliki
produktivitas yang lebih baik dibanding varietas lokal asalnya (Sitaresmi et al.,

22

2013). Nafisah et al., (2007) menggunakan padi lokal sebagai tetua persilangan
untuk memperoleh sifat ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri
(Xanthomonas oryzae). Dari kegiatan tersebut telah dihasilkan galur-galur yang
memiliki ketahanan terhadap hawar daun bakteri yang bersifat multigenik.
Abdullah (2008, 2009) menggunakan padi liar dan padi lokal sebagai tetua untuk
memperoleh padi tipe baru dan telah diperoleh galur-galur harapan yang
mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang lebih baik, seperti gabah hampa
lebih sedikit dan lebih tahan terhadap hama dan penyakit utama. Subandi (1984)
menyilangkan beberapa varietas lokal jagung dengan varietas unggul untuk
memperoleh populasi dasar bahan seleksi yang berlatar belakang genetik luas.
Dari persilangan tersebut telah dihasilkan beberapa varietas unggul komposit
maupun sintetik.
Kaitan penyediaan benih varietas lokal yang telah dimurnikan, galur-galur
yang memiliki produktivitas terbaik dapat diusulkan untuk dilepas sebagai
varietas baru memenuhi ketentuan peraturan perbenihan tanaman sebagai berikut
(Badan Benih Nasional, 2004): 1) merupakan varietas yang sudah ditanam secara
luas oleh masyarakat di suatu wilayah, 2) memiliki keunggulan spesifik yang
bernilai agronomis dan ekonomis, dan 3) telah dibudidayakan lebih dari 5 tahun
(Sitaresmi et al., 2013).
Hingga tahun 2012, sebanyak sepuluh varietas lokal padi yang telah
mendapat pemurnian telah dilepas sebagai varietas unggul baru (Tabel 2). Tujuan
dari pelepasan varietas lokal adalah: 1) memperoleh legalitas bahwa varietas lokal
layak menjadi varietas unggul regional yang bersifat spesifik lokasi; 2)

23

memperoleh legalitas bagi upaya produksi benih bersertifikat dari varietas
tersebut; 3) memperoleh kesetaraan hak dalam pemanfaatan benih bermutu dari
varietas lokal sebagaimana halnya varietas unggul yang telah dilepas pemerintah;
dan 4) meningkatkan nilai manfaat dan nilai ekonomis benih varietas lokal bagi
masyarakat dan pemerintah daerah (Sitaresmi et al., 2013).
Keberhasilan pemutihan 10 varietas lokal tersebut merupakan komitmen
pemerintah daerah, dorongan peneliti dan penyuluh, serta peran para petani di
sentra produksi varietas yang bersangkutan. Proses pemurnian varietas lokal
tersebut dilakukan melalui tahapan pemilihan varietas lokal yang masih
dibudidayakan petani di lokasi yang memiliki tipe agroekosistem yang mirip.
Penggunaan materi penelitian yang berasal dari berbagai daerah dengan
agroekosistem yang sama memberi peluang dalam perakitan “varietas lokal baru”
yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi riil di daerah target
pengembangan. Selain itu, dalam proses pemilihan galur untuk dijadikan materi
tanaman pada tahapan seleksi selanjutnya, para petani perlu diikutsertakan dalam
menentukan tipe dan karakter morfologi tanaman dan butiran gabah.
Keikutsertaan petani dalam penentuan galur terpilih pada setiap tahap seleksi
memungkinkan diperolehnya materi genetik baru calon varietas yang miliki
karakteristik morfologi tanaman dan bentuk gabah yang sesuai dengan preferensi
petani dan konsumen. Kedua hal ini menjadi faktor pendorong bagi adopsi
varietas “lokal baru” oleh petani setempat (Sitaresmi et al., 2013).
Tabel 2. Varietas padi lokal yang telah dimurnikan dan dilepas pemerintah
Varietas lokal
Pengusul
Provinsi
Dasar pelepasan
Pandawangi
Pemerintah
Jawa Barat Keputusan Menteri Pertanian

24

Rojolele
Anak Daro

Kuriek Kusuik

Junjung

Caredek Merah

Siam Mutiara

Siam Saba

Cekow

Kabupaten
Cianjur/Dinas
Pertanian Tanaman
Pangan dan
Hortikultura
Kabupaten Cianjur,
dan BPSB TPH
Disperta Klaten
Dinas Pertanian
Kota Solok, BPTP
Sumatera Barat dan
BPSB Sumatera
Barat
Dinas Pertanian
Kabupaten Agam
bersama BPTP
Sumatera Barat dan
BPSB Sumbar
Dinas Pertanian
Tanaman Pangan
Kabupaten Lima
Puluh Kota dan
BPSB Sumatera
Barat
Dinas Pertanian
Kabupaten Solok
bersama BPTP
Sumatera Barat dan
UPTD BPSB TPH
Sumatera Barat
Pemprov
Kalimantan Selatan,
BPSBTPH, Dinas
Pertanian dan
Peternakan
Kabupaten Batola
Pemprov
Kalimantan Selatan,
BPSBTPH, Dinas
Pertanian dan
Peternakan
Kabupaten Batola
Pemerintah Daerah
Pelalawan, Dinas

Nomor
163/Kpts/LB.240/30/2004

Jawa
Tengah
Sumatera
Barat

Keputusan Menteri Pertanian
Nomor
126/Kpts/Tp.240/2/2003
Keputusan Menteri Pertanian
Nomor
73/Kpts/SR.120/2/2007

Sumatera
Barat

Keputusan Menteri Pertanian
Nomor
2229/Kpts/SR.120/5/2009

Sumatera
Barat

Keputusan Menteri Pertanian
Nomor
2229/Kpts/SR.120/5/2009

Sumatera
Barat

Keputusan Menteri Pertanian
Nomor
1229/Kpts/SR.120/3/2010

Kalimantan Keputusan Menteri Pertanian
Selatan
Nomor
959/Kpts/SR.120/7/2008

Kalimantan Keputusan Menteri Pertanian
Selatan
Nomor
961/Kpts/SR.120/7/2008

Riau

25

Keputusan Menteri Pertanian
Nomor

Pertanian Tanaman
1109/Kpts/SR.120/3/2012
Pangan Kab.
Pelalawan, dan
BPTP Riau
Karya
Pemerintah Daerah
Riau
Keputusan Menteri Pertanian
Pelalawan, Dinas
Nomor
Pertanian Tanaman
1110/Kpts/SR.120/3/2012
Pangan Kab.
Pelalawan, dan
BPTP Riau
Sumber: Sitaresmi et al., 2013. Pemanfaatan plasma nutfah padi varietas lokal
dalam perakitan varietas unggul

D. Karakterisasi Kultivar Padi Lokal
Berdasarkan penelitian Iskandar dan Ellen (1999) dalam Iskandar (2001),
di daerah Baduy tercatat ada 89 kultivar padi lokal. Jumlah tersebut sangat tinggi
jika dibandingkan dengan kultivar padi lokal di lahan sawah irigasi masyarakat
Ifugao, Dataran Tinggi Luzon, Filipina (Conklin, 1980 dalam Iskandar, 2001).
Data kultivar padi di kawasan lainnya menunjukkan bahwa sedikitnya ada 44
kultivar padi ladang lokal di daerah Kantu, Kalimantan Timur (Dove, 1985 dalam
Iskandar 2001); 25 kultivar padi lokal di dua desa, Kecamatan Pujungan,
Kalimantan Timur (Soedjito, 1999 dalam Iskandar, 2001); dan 88 kultivar padi
sawah di DAS Citarum hulu masa lampau sebelum adanya program revolusi hijau
(Parikesit et al., 1997 dalam Iskandar, 2001).
Banyaknya varietas ataupun kultivar padi menyebabkan kesulitan untuk
membedakannya, maka dari itu diperlukan suatu pengelompokkan varietas atau
kultivar tersebut dengan menggunakan taksonomi numerik. Dalam taksonomi
numerik baisanya dilakukan dengan pendekatan fenetik (Tjitrosoepomo, 1998).
Pendekatan yang dipakai dapat berupa ciri morfologi, anatomi, kimia, sitologi,

26

isozim, ataupun DNA (Rugayah, et al., 2004). Namun ciri morfologi dan anatomi
merupakan ciri yang paling sering dilakukan dalam penelitian taksonomi
(Lawrence, 1964).
Menurut Lesmana et al., (2004), ciri morfologi yang sering digunakan
sebagai pembeda kultivar padi adalah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif,
warna batang, warna daun, permukaan daun, jumlah gabah per malai, bentuk
gabah, warna gabah, dan permukaan gabah. Selain itu, karakter perbungaan dapat
membedakan kultivar padi (Wet et al., 1986). Epidermis daun termasuk
didalamnya stomata merupakan ciri anatomi yang biasa digunakan untuk
membedakan kultivar padi. Hal ini dikarenakan padi yang termasuk suku
gramineae memiliki struktur epidermis yang khas (Backer dan Bakhuizen, 1968).
Penampakan epidermis, yang terdiri atas sel panjang dan sel pendek, serta tipe
stomata merupakan ciri yang dapat dipakai untuk membedakan tiap jenis
tumbuhan golongan suku Gramineae (Esau, 1965). Buitr pati/amilum pada jenis
tanaman yang berbeda dapat bervariasi, baik dari bentuk, ukuran, ataupun warna
dari reagen tertentu. Amilum padi pada kultivar yang berbeda memiliki
kandungan karbohidrat yang berbeda. Hal ini dapat memungkinkan ukuran atau
warna dari reagen tertentu menampakkan perbedaan.
Karakter yang diamati mengikuti petunjuk Daradjat et al., (2006) dan
Anonim (1994 dan 2006) yaitu: warna pelepah (hijau, ungu muda, garis-garis
ungu dan ungu); warna daun (hijau muda, hijau, hijau tua); bulu pada permukaan
daun (tidak ada, lemah, sedang, kuat, sangat kuat); telinga daun ( tidak ada, ada);
leher daun (tidak ada, ada); lidah daun/Ligula (tidak ada, ada); bentuk lidah daun

27

(truncate, acute, cleff); warna lidah daun (tidak berwarna, hijau, ungu muda,
garis-garis ungu, ungu); panjang helai daun; lebar helai daun; perilaku helai daun
(tegak, agak tegak, horizontal, melengkung); perilaku batang (tegak, agak tegak,
terbuka, agak terbuka, menyebar); ketebalan batang; tinggi tanaman (tidak
termasuk malai); dan jumlah anakan per rumpun
Setiap kultivar padi lokal memiliki persamaan ataupun perbedaan
ciri/karakter. Adanya persamaan ataupun perbedaan tersebut dapat digunakan
untuk mengetahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan antara kultivar-kultivar
padi. Semakin banyak persamaan ciri, maka semakin dekat hubungan
kekerabatannya. Sebaliknya, semakin banyak perbedaan ciri, maka semakin jauh
hubungan kekerabatannya (Irawan dan Purbayanti, 2008).
Penampilan karakter agronomik adalah penampilan sifat tanaman pada
suatu lingkungan tumbuh yang merupakan hasil dari kerjasama antara faktor
genetik dan lingkungan. Penampilan suatu genotip tanaman pada lingkungan yang
berbeda dapat berbeda pula, sehingga faktor interaksi genotip dan lingkungan
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diketahui dalam program
pemuliaan tanaman dalam merakit suatu varietas.
Salah satu unsur teknologi yang diterapkan dalam intensifikasi adalah
introduksi varietas unggul baru. Penemuan dan introduksi varietas unggul baru
tersebut ternyata memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi kelestarian
varietas padi lokal. Areal penanaman varietas lokal makin lama makin berkurang
dan makin terdesak oleh varietas unggul baru. Padahal diketahui bahwa varietas
lokal sebagai sumber plasma nutfah, mengandung berbagai sifat unggul yang

28

tidak dimiliki oleh varietas unggul, yang jika terjadi kepunahan tidak dapat
digantikan oleh teknologi (Anhar, 1996). Pada kenyataannya, erosi benih padi
lokal telah mulai menggejala dan besar kemungkinan berbagai varietas benih padi
lokal akan lenyap. Identifikasi dan deskripsi mengenai keberadaan padi lokal
sangat diperlukan untuk mencegah kepunahan varietas padi lokal (Cicin, 2011).
Karakterisasi sumberdaya genetik akan memberikan hasil nilai tambah
dalam memperkaya "gene pool" dengan keragaman baru dari varietas lokal
tersebut untuk perakitan varietas baru (Neeraj et al., 2005). Sumberdaya genetik
tersebut sangat penting untuk mendukung ketahanan pangan dan pertanian
berkelanjutan.
Sumberdaya genetik terus menerus mengalami kemerosotan akibat
rendahnya perhatian dan pemanfaatan sumberdaya genetik serta berubahnya
praktik pertanian tradisional. Introduksi varietas berumur genjah ke sentra
produksi padi di berbagai wilayah dapat menyebabkan erosi genetik dari varietas
lokal yang ada di daerah tertentu (Mishra et al., 2009).
Keragaman genetik dapat diketahui melalui karakterisasi dan identifikasi.
Varietas-varietas unggul masa kini baik yang dibentuk melalui program pemuliaan
konvensional atau pemuliaan bioteknologi pada dasarnya merupakan rakitan
plasma nutfah dengan menggunakan benih dari sumberdaya genetik yang ada.
Masing-masing varietas tersebut memiliki sifat tertentu yang karakteristiknya
dapat digunakan untuk persilangan antara varietas yang satu dengan varietas yang
lain (Liu et al., 2007).

29

III.
METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN
A. Tempat Dan Waktu Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
Praktik Kerja Lapangan telah dilaksanakan selama ± 25 hari pada tanggal
24 bulan Juli sampai tanggal 28 bulan Agustus 2015, bertempat di Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman,
Yogyakarta.

B. Materi Praktik Kerja Lapangan

30

Materi atau objek yang dikaji dalam Praktik Kerja Lapangan ini adalah
mengenai bagaimana karakterisasi kultivar padi lokal di Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Ngemplak Sleman Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam
praktik kerja lapangan ini adalah toples, ember, klip plastik, kertas, air, nampan,
bak perkecambahan, bambu, hand sprayer, alat tulis, kamera, penggaris, kertas
label. Bahan yang digunakan adalah benih kultivar padi lokal Yogyakarta, pupuk
kandang, dan tanah.

C. Metode Praktik Kerja Lapangan
Metode pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan ini dengan magang yaitu ikut
aktif dalam proses kegiatan yang dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Yogyakarta dan melakukan wawancara untuk memperoleh data
sekunder dan primer. Kegiatan yang dilakukan adalah pengamatan terhadap ciri
morfologi kultivar padi lokal di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.

D. Teknik Pengambilan Data
Jenis dan teknik pengambilan data adalah sebagai berikut:
1. Data primer
Data primer diperoleh dari:
a. Pengamatan secara visual dari pengamatan dan praktik secara langsung
serta pencatatan data di lapangan. Dilakukan pengamatan beberapa sifat
agronomis dari kultivar padi lokal yang terdiri dari 5 kategori yaitu (1)
benih padi yang baru disemai, (2) tanaman padi dari fase anakan sampai

31

pemanjangan batang, (3) tanaman padi dari fase pertumbuhan bunting,
(4) tanaman padi dari fase pembungaan dan (5) tanaman padi dari fase
matang susu. Benih yang baru disemai terdiri dari 16 kultivar padi lokal
dan yang akan diamati dan dicata adalah tinggi bibit (cm). Tanaman padi
dari fase anakan sampai pemanjangan batang ada 20 kultivar padi lokal
yang akan diamati dan dicatat yaitu Tinggi tanaman (cm), warna leher
daun, warna telinga daun, warna lidah daun, bentuk lidah daun, panjang
lidah daun, warna pelepah daun, dan warna helaian daun. Tanaman padi
yang sudah mencapai fase bunting ada 7 kultivar padi lokal dan yang
akan diamati dan dicatat adalah kemampuan beranak dan permukaan
daun. Tanaman padi yang sudah mencapai fase pembungaan terdiri dari
19 kultivar padi lokal dan yang akan diamati dan dicatat adalah jumlah
anakan, sudut daun bendera, panjang daun dan lebar daun. Sedangkan
tanaman padi yang telah mencapai fase matang susu terdiri dari 33
kultivar padi lokal dan yang akan diamati dan dicatat adalah tinggi
tanaman generatif, keluarnya malai, panjang malai, tipe malai, dan
cabang malai sekunder.
b. Foto atau dokumentasi yang diambil saat pelaksanaan kerja praktik.
2. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari arsip atau dokumentasi instansi, literatur,
buku dan tela’ah pustaka lain yang berhubungan dengan karakterisasi kultivar
padi lokal.

E. Analisis Data

32

Praktik Kerja Lapangan ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif
yang bersifat deskriptif analisis meliputi eksplorasi, koleksi, dan karakterisasi.
Eksplorasi dilakukan dengan mengumpulkan kultivar padi lokal yang terdapat di
daerah Yogyakarta. Setiap kultivar padi lokal diamati ciri morfologinya
(dikarakterisasi) (Irawan dan Purbayanti, 2008). Kultivar padi lokal yang diambil
dari daerah Yogyakarta kemudian di karakterisasi berdasarkan Panduan Sistem
Karakterisasi dan Evaluasi Tanaman Padi (Departemen Pertanian, 2003) dan
Panduan

Pengujian

Individual

Kebaruan,

Keunikan,

Keseragaman,

dan

Kestabilan, Departemen Pertanian Republik Indonesia, Pusat Perlindungan
Varietas Tanaman (Departemen Pertanian, 2006).
Kategori data pengamatan terdiri dari benih yang baru di semai, fase
pertumbuhan anakan sampai pemanjangan batang, fase bunting, fase pembungaan
dan fase matang susu. Variabel yang diamati untuk setiap parameter sebanyak 19
variabel. Parameter yang diamati adalah:
1. Tinggi bibit
2. Tinggi tanaman vegetatif
3. Warna leher daun
4. Warna lidah daun
5. Warna helaian daun
6. Warna telinga daun
7. Warna pelepah daun
8. Bentuk lidah
9. Panjang lidah
10. Permukaan daun

10. Sudut daun bendera
11. Panjang daun
12. Lebar daun
13. Kemampuan beranak
14. Jumlah anakan
15. Tinggi tanaman generatif
16. Keluarnya malai
17. Panjang malai
18. Tipe malai
19. Cabang malai sekunder

33

IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Daerah/Profil Institusi
1. Letak Geografis BPTP Yogyakarta
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Yogyakarta beralamat di
Jl. Stadion Maguwoharjo, No. 28, Demangan Baru.Terletak di dusun
Karangsari, Kelurahan Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten
Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak antara kantor BPTP
dengan Ibukota Propinsi sekitar 6-7 km. BPTP Yogyakarta berbatasan
langsung dengan :
1)
2)
3)
4)

Sebelah Timur
Sebelah Selatan
Sebelah Barat
Sebelah Utara

: Rumah penduduk dan tegalan
: Lahan tegalan
: Rumah penduduk
: Jalan Karangsari

BPTP Yogyakarta terletak pada ketinggian 115 m dpl dan suhunya
mencapai 28ºC. Tekstur tanah di BPTP Yogyakarta adalah jenis tanah
pasir berdebu dengan pH=6,5. Tanah di BPTP Yogyakarta mengandung abu
vulkanik karena terletak dekat dengan lereng Gunung Merapi. Tanaman yang
dibudidayakan di daerah tersebut beranekaragam seperti padi, palawija,
sayuran dan tanaman hortikultura lainnya.
2. Sejarah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta

34

BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Yogaykarta adalah Unit
Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian, Departemen
Pertanian,

yang

dibentuk

berdasarkan

SK

Menteri

Pertanian

No.

350/Kpts/OT.210/6/2001 yang telah direvisi dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 633/Kpts/OT.21O/12/2003 terdiri dari satu pejabat eselon
IIIa yaitu Kepala Balai dan dua pejabat eselon Iva yaitu Kepala sub bagian
Tata Usaha dan Kepala Seksi Pelayanan Teknis serta Pejabat Fungsional
(Peneliti/Penyuluh/fungsional lainnya).
Sebelum SK Menteri Pertanian No. 350/Kpts/OT.210/6/2001, BPTP
Yogyakarta semula bernama Instansi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian (IPPTP) Yogyakarta, yaitu sejak 13 Desember 1994 - 13 Juni 2001.
Balai ini awalnya merupakan penggabungan antara Balai Informasi Pertanian
(Fungsi Penyulahan Pertanian), Stasiun Penelitian Tanah dan Agroklimat
(Fungsi Penelitian), dan Laboratorium Hortikultura Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pada periode waktu tersebut BPTP Yogyakarta merupakan unit
pelaksana teknis dari BPTP Jawa Tengah.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta dibentuk
berdasarkan SK Menteri Nomor 350/Kpts/OT.210/6/2001 tanggal 14 Juni
2001. Selanjutnya, seiring dengan penyempurnaan organisasi dan tata kerja
Balai

yang

tertuang

dalam

Peraturan

Menteri

Pertanian

Nomor

16/Permentan/OT.140/3/2006 tanggal 1 Maret 2006, BPTP Yogyakarta adalah
Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

35

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan dalam
pelaksanaan sehari-hari dikoordinasikan oleh Kepala Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP).
Perubahan status dari IPPTP menjadi BPTP Yogyakarta merupakan
realisasi program pemerintah dalam menyediakan institusi penghasilan
teknologi disetiap provinsi di seluruh Indonesia. Tujuan utama pembentukan
BPTP Yogyakarta adalah untuk menghasilkan teknologi pertanian spesifik
lokasi dan memperpendek rantai informasi serta m