Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Penanganan Sampah Medis Pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku

Menurut Skinner (1938) yang dikutip oleh Notoadmodjo (2003), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Respon ini meliputi respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu dan respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh perangsang tertentu.

Menurut Notoadmodjo (2003), perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung.

2.1.1 Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Notoadmodjo, 2007).


(2)

Sedangkan menurut Notoadmodjo (2007), tahap-tahap pengetahuan tercakup didalam domain kognitif yang mempunyai 6 tahapan yaitu: 1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk dapat menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.

3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya, dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip pemecahan masalah


(3)

(problem solving circle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita


(4)

ukur dapat disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas (Notoadmodjo, 2007).

2.1.2 Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Azwar (2007), sikap adalah suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Notoadmodjo (2003), membagi sikap ke dalam 3 (tiga) komponen pokok yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak.

Menurut Notoatmodjo, seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).

2. Menanggapi (responding)

Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.


(5)

3. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau memengaruhi orang lain.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab adalah tingkatan sikap yang paling tinggi, yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan menerima segala resiko.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pada pendapat responden (Notoatmodjo, 2007).

2.1.3 Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoatmodjo, 2007).

Tindakan yang tercakup dalam domain psikomotorik mempunyai 4 (empat) tingkatan (Notoadmodjo, 2003) :


(6)

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai ojek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anaknya. 2. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua. Misalnya, seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari mencuci, memotong, lamanya memasak, menutup pancinya dan sebagainya.

3. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu yang sudah biasa mengimunisasikan bayi pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah dari orang lain.

4. Adaptasi (adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Seseorang sudah dapat memodifikasi tindakan tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya, ibu dapat mengolah makanan bergizi tinggi dengan bahan yang lebih murah.

2.2 Umur

Menurut Wawan dan Dewi (2010), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur,


(7)

tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih matang dalam berpikir dan bekerja.

Umur mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemauan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Menurut teori psikologi perkembangan kerja, umur dapat digolongkan menjadi dewasa awal dan dewasa lanjut. Umur pekerja dewasa awal diyakini dapat membangun kesehatannya dengan cara mencegah suatu penyakit atau menanggulangi gangguan penyakitnya. Untuk melakukan kegiatan tersebut, pekerja muda akan lebih disiplin menjaga kesehatannya. Sedangkan pada umur dewasa lanjut akan mengalami kebebasan dalam kehidupan bersosialisasi, kewajiban pekerja dewasa lanjut akan berkurang terhadap kehidupan bersama.

2.3 Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih baik, lebih matang dan lebih dewasa pada diri individu, kelompok ataupun masyarakat (Notoatmodjo,2007).

Pendidikan formal memberikan pengaruh besar dalam membuka wawasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai baru yang ada dalam lingkungnnya. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah untuk memahami perubahan yang terjadi dilingkungannya dan orang tersebut akan menyerap perubahan tersebut apabila merasa bermanfaat bagi dirinya. Seseorang yang pernah mengenyam pendidikan formal diperkirakan akan lebih mudah


(8)

menerima dan mengerti tentang peranan kesehatan yang disampaikan melalui penyuluhan maupun media masa (Notoatmodjo, 2003).

2.4 Masa Kerja

Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja dari pertama mulai masuk hingga sekarang masih bekerja. Masa kerja dapat diartikan sebagai sepenggal waktu yang cukup lama dimana seseorang tenaga kerja masuk dalam satu wilayah tempat usaha sampai batas waktu tertentu (Suma’mur P.K., 1996).

Masa kerja merupakan keseluruhan pelajaran yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa yang dilalui dalam perjalanan hidupnya. Semakin lama tenaga kerja bekerja, semakin banyak pengalaman yang dimiliki tenaga kerja yang bersangkutan. Sebaliknya semakin singkat masa kerja, maka semakin sedikit pengalaman yang diperoleh. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian dan keterampilan kerja, sebaliknya terbatasnya pengalaman kerja mengakibatkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki makin rendah.

Tenaga kerja baru biasanya belum mengetahui secara mendalam seluk-beluk pekerjaan dan keselamatannya. Selain itu, mereka sering mementingkan dahulu selesainya sejumlah pekerjaan tertentu yang diberikan kepada mereka, sehingga keselamatan tidak cukup mendapatkan perhatian.

2.5 Alat Pelindung Diri (APD)

2.5.1 Pengertian Alat Pelindung Diri (APD)

Alat pelindung diri adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau seabagian tubuhnya dari kemungkinan


(9)

adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2008).

Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja.

APD adalah seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau kecelakaan kerja. Upaya mencegah penyakit khususnya pada tenaga kerja dapat dilakukan dengan berbagai cara pengendalian secara teknik, administrasi, dan penggunaan alat pelindung diri. Penggunaan atau pemakaian alat pelindung diri merupakan cara terakhir guna menanggulangi bahaya yang terjadi di tempat kerja (Budiono, 2003).

Suma’mur (1996) menunjukkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian alat pelindung diri, yaitu:

1. Pengujian mutu

Alat pelindung diri harus memenuhi standar yang telah ditentukan untuk menjamin bahwa alat pelindung diri akan memberikan perlindungan sesuai dengan yang diharapkan. Semua alat pelindung diri sebelum dipasarkan harus diuji lebih dahulu mutunya.

2. Pemeliharaan alat pelindung diri

Alat pelindung diri yang akan digunakan harus benar-benar sesuai dengan kondisi tempat kerja, bahaya kerja dan tenaga kerja sendiri agar


(10)

benar-benar dapat memberikan perlindungan semaksimal mungkin pada tenaga kerja.

3. Ukuran harus tepat

Adapun untuk memberikan perlindungan yang maksimum pada tenaga kerja, maka ukuran alat pelindung diri harus tepat. Ukuran yang tidak tepat akan menimbulkan gangguan pada pemakaiannya.

4. Cara pemakaian yang benar

Sekalipun alat pelindung diri disediakan oleh perusahaan, alat-alat ini tidak akan memberikan manfaat yang maksimal bila cara memakainya tidak benar.

Tenaga kerja harus diberikan pengarahan tentang :

a) Manfaat dari alat pelindung diri yang disediakan dengan potensi bahaya yang ada.

b) Menjelaskan bahaya potensial yang ada dan akibat yang akan diterima oleh tenaga kerja jika tidak memakai alat pelindung diri yang diwajibkan. c) Cara memakai dan merawat alat pelindung diri secara benar harus

dijelaskan pada tenaga kerja.

d) Perlu pengawasan dan sanksi pada tenaga kerja menggunakan alat pelindung diri.

e) Pemeliharaan alat pelindung diri harus dipelihara dengan baik agar tidak menimbulkan kerusakan ataupun penurunan mutu.

f) Penyimpanan alat pelindung diri harus selalu disimpan dalam keadaan bersih ditempat yang telah tersedia, bebas dari pengaruh kontaminasi.


(11)

2.5.2 Kriteria Alat Pelindung Diri (APD)

Beberapa kriteria dalam pemilihan alat pelindung diri sebagai berikut (Tarwaka, 2008) :

1) Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif kepada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi ditempat kerja.

2) Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin, nyaman dipakai dan tidak menjadi beban tambahan bagi pemakainya.

3) Bentuknya cukup menarik, sehingga tenaga kerja tidak malu memakainya. 4) Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena jenis

bahayanya maupun kenyamanan dan pemakiannya. 5) Mudah untuk dipakai dan dilepas kembali.

6) Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernafasan serta gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam waktu yang cukup lama.

7) Tidak mengurangi persepsi sensoris dalam menerima tanda-tanda peringatan.

8) Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia dipasaran.

9) Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.

10) Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai dengan standar yang ditetapkan dan sebagainya.


(12)

2.5.3 Macam-macam Alat Pelindung Diri (APD)

Menurut Tarwaka yang dikutip oleh Harwanti (2009), Alat Pelindung Diri (APD) ada berbagai macam yang berguna untuk melindungi seseorang dalam melakukan pekerjaan yang fungsinya untuk mengisolasi tubuh tenaga kerja dari potensi bahaya di tempat kerja. Berdasarkan fungsinya, ada beberapa macam APD yang digunakan oleh tenaga kerja, antara lain:

1. Alat Pelindung Kepala (Headwear)

Alat pelindung kepala ini digunakan untuk mencegah dan melindungi rambut terjerat oleh mesin yang berputar dan untuk melindungi kepala dari bahaya terbentur benda tajam atau keras, bahaya kejatuhan benda atau terpukul benda yang melayang, melindungi jatuhnya mikroorganisme, percikan bahan kimia korosif, panas sinar matahari dll. Jenis alat pelindung kepala antara lain:

a) Topi pelindung (Safety Helmets)

Alat ini berfungsi untuk melindungi kepala dari benda-benda keras yang terjatuh, benturan kepala, terjatuh dan terkena arus listrik. Topi pelindung harus tahan terhadap pukulan, tidak mudah terbakar, tahan terhadap perubahan iklim dan tidak dapat menghantarkan arus listrik. Topi pelindung dapat terbuat dari plastik (Bakelite), serat gelas (fiberglass) maupun metal.

b) Tutup kepala

Alat ini berfungsi untuk melindungi/mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat/daerah steril


(13)

dan percikan bahan-bahan dari pasien. Tutup kepala ini biasanya terbuat dari kain katun.

c) Topi/Tudung

Alat ini berfungsi untuk melindungi kepala dari api, uap-uap korosif, debu, dan kondisi cuaca buruk. Tutup kepala ini biasanya terbuat dari asbestos, kain tahan api/korosi, kulit dan kain tahan air.

2. Alat Pelindung Mata

Alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari percikan bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di udara, gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi gelombang elegtromagnetik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau benturan benda keras, dll. Jenis alat pelindung mata antara lain:

a) Kaca mata biasa (spectacle goggles)

Alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari partikel-partikel kecil, debu dan radiasi gelombang elegtromagnetik.

b) Goggles

Alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari gas, debu, uap, dan percikan larutan bahan kimia. Goggles biasanya terbuat dari plastik transparan dengan lensa berlapis kobalt untuk melindungi bahaya radiasi gelombang elegtromagnetik mengion.

3. Alat Pelindung Pernafasan (Respiratory Protection)

Alat pelindung pernafasan digunakan untuk melindungi pernafasan dari resiko paparan gas, uap, debu, atau udara terkontaminasi atau beracun, korosi atau


(14)

yang bersifat rangsangan. Sebelum melakukan pemilihan terhadap suatu alat pelindung pernafasan yang tepat, maka perlu mengetahui informasi tentang potensi bahaya atau kadar kontaminan yang ada di lingkungan kerja. Hal-hal yang perlu diketahui antara lain:

a. Bentuk kontaminan di udara, apakah gas, uap, kabut, fume, debu atau kombinasi dari berbagai bentuk kontaminan tersebut.

b. Kadar kontaminan di udara lingkungan kerja.

c. Nilai ambang batas yang diperkenankan untuk masing-masing kontaminan.

d. Reaksi fisiologis terhadap pekerja, seperti dapat menyebabkan iritasi mata dan kulit.

e. Kadar oksigen di udara tempat kerja cukup tidak, dll. Jenis alat pelindung pernafasan antara lain:

a) Masker

Alat ini digunakan untuk mengurangi paparan debu atau partikel-partikel yang lebih besar masuk kedalam saluran pernafasan.

b) Respirator

Alat ini digunakan untuk melindungi pernafasan dari paparan debu, kabut, uap logam, asap, dan gas-gas berbahaya. Jenis-jenis respirator ini antara lain:

a. Chemical Respirator

Merupakan catridge respirator terkontaminasi gas dan uap dengan tiksisitas rendah. Catridge ini berisi adsorban dan karbon aktif, arang


(15)

dan silicagel. Sedangkan canister digunakan untuk mengadsorbsi khlor dan gas atau uap zat organik.

b. Mechanical Filter Respirator

Alat pelindung ini berguna untuk menangkap partikel-partikel zat padat, debu, kabut, uap logam dan asap. Respirator ini biasanya dilengkapi dengan filter yang berfungsi untuk menangkap debu dan kabut dengan kadar kontaminasi udara tidak terlalu tinggi atau partikel yang tidak terlalu kecil. Filter pada respirator ini terbuat dari fiberglas atau wol dan serat sintetis yang dilapisi dengan resin untuk memberi muatan pada partikel.

4. Alat Pelindung Tangan (Hand Protection)

Alat pelindung tangan digunakan untuk melindungi tangan dan bagian lainnya dari benda tajam atau goresan, bahan kimia, benda panas dan dingin, kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung tangan antara lain:

a) Sarung tangan bersih

Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang di disinfeksi tingkat tinggi, dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir misalnya tindakan medik pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka. Sarung tangan bersih dapat digunakan untuk tindakan bedah bila tidak ada sarung tangan steril.


(16)

b) Sarung tangan steril

Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak tersedia sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tinggi. c) Sarung tangan rumah tangga (gloves)

Sarung tangan jenis ini bergantung pada bahan-bahan yang digunakan: a. Sarung tangan yang terbuat dari bahan asbes, katun, wool untuk

melindungi tangan dari api, panas, dan dingin.

b. Sarung tangan yang terbuat dari bahan kulit untuk melindungi tangan dari listrik, panas, luka, dan lecet.

c. Sarung tangan yang terbuat dari bahan yang dilapisi timbal (Pb) untuk melindungi tangan dari radiasi elegtromagnetik dan radiasi pengion. d. Sarung tangan yang terbuat dari bahan karet alami (sintetik) untuk

melindungi tangan dari kelembaban air, zat kimia.

e. Sarung tangan yang terbuat dari bahan poli vinyl chlorida (PVC) untuk melindungi tangan dari zat kimia, asam kuat, dan dapat sebagai oksidator.

5. Baju Pelindung (Body Potrection)

Baju pelindung digunakan untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh dari percikan api, suhu panas atau dingin, cairan bahan kimia, dll. Jenis baju pelindung antara lain:


(17)

a) Pakaian kerja

Pakaian kerja yang terbuat dari bahan-bahan yang bersifat isolasi seperti bahan dari wool, katun, asbes, yang tahan terhadap panas.

b) Celemek

Pelindung pakaian yang terbuat dari bahan-bahan yang bersifat kedap terhadap cairan dan bahan-bahan kimia seperti bahan plastik atau karet. c) Apron

Pelindung pakaian yang terbuat dari bahan timbal yang dapat menyerap radiasi pengion.

6. Alat Pelindung Kaki (Feet Protection)

Alat pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dan bagian lainnya dari benda-benda keras, benda tajam, logam/kaca, larutan kimia, benda panas, kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung kaki antara lain:

a) Sepatu steril

Sepatu khusus yang digunakan oleh petugas yang bekerja di ruang bedah, laboratorium, ICU, ruang isolasi, ruang otopsi.

b) Sepatu kulit

Sepatu khusus yang digunakan oleh petugas pada pekerjaan yang membutuhkan keamanan oleh benda-benda keras, panas dan berat, serta kemungkinan tersandung, tergelincir, terjepit, panas, dingin.


(18)

c) Sepatu boot

Sepatu khusus yang digunakan oleh petugas pada pekerjaan yang membutuhkan keamanan oleh zat kimia korosif, bahan-bahan yang dapat menimbulkan dermatitis, dan listrik.

7. Alat Pelindung Telinga (Ear Protection)

Alat pelindung telinga digunakan untuk mengurangi intensitas suara yang masuk ke dalam telinga. Jenis alat pelindung telinga antara lain:

a) Sumbat telinga (Ear plug)

Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan untuk kedua telinga dari orang yang sama adalah bebeda. Untuk itu sumbat telinga (Ear plug) harus dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ukuran dan bentuk saluran telinga pemakainya. Pada umumnya diameter saluran telinga antara 5-11 mm dan liang telinga pada umumnya berbentuk lonjong dan tidak lurus. sumbat telinga (Ear plug) dapat terbuat dari kapas plastik, karet alami dan bahan sintetis. Untuk Ear plug yang terbuat dari kapas, spons, dan malam (wax) hanya dapat digunakan untuk sekali pakai (Disposable). Sedangkan yang terbuat dari bahan karet plastik yang dicetak dapat digunakan berulang kali (Non Disposable). Alat ini dapat mengurangi suara sampai 20 dB.

b) Tutup telinga (Ear muff)

Alat pelindung tangan jenis ini terdiri dari dua buah tutup telinga dan sebuah headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi. Pada pemakaian untuk


(19)

waktu yang cukup lama, efektivitas ear muff dapat menurun karena bantalannya menjadi mengeras dan mengerut sebagai akibat reaksi dari bantalan dengan minyak dan keringat pada permukaan kulit. Alat ini dapat mengurang intensitas suara sampai 30 dB dan juga dapat melindungi bagian luar telinga dari benturan benda keras atau percikan bahan kimia. 8. Sabuk Pengaman Keselamatan (Safety Belt)

Alat pelindung tangan digunakan untuk melindungi tubuh dari kemungkinan terjatuh dari ketinggian, seperti pada pekerjaan mendaki, memanjat dan pada pekerjaan konstruksi bangunan.

2.5.4 Jenis Alat Pelindung Diri Bagi Petugas Cleaning Service

Menurut KepMenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit bahwa petugas pengelola sampah harus menggunakan alat pelindung diri yang terdiri :

a) Topi/helm; b) Masker;

c) Pelindung mata;

d) Pakaian panjang (coverall); e) Apron untuk industri;

f) Pelindung kaki/sepatu boot; dan

g) Sarung tangan khusus (disposable gloves atau heavy duty gloves). 2.6 Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan


(20)

rawat inap, rawat jalan, dann gawat darurat (Undang-Undang No. 44 Tentang Rumah Sakit Tahun 2009).

Rumah Sakit mempunyai fungsi (Undang-Undang No. 44 Tentang Rumah Sakit Tahun 2009) :

a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Rumah sakit berfungsi untuk menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan non medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan serta administrasi umum dan keuangan. Secara tradisional, maksud dasar keberadaan rumah sakit adalah mengobati dan perawatan penderita sakit dan terluka. Sehubungan dengan fungsi dasar ini, rumah sakit melakukan pendidikan terutama bagi mahasiswa kedokteran, perawat dan personel lainnya. Penelitian telah juga merupakan fungsi penting. Dalam zaman modern ini fungsi keempat yaitu, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan masyarakat juga telah menjadi


(21)

fungsi rumah sakit. Jadi empat fungsi dasar rumah sakit adalah pelayanan penderita, pendidikan, penelitian dan kesehatan masyarakat (Siregar, 2004).

Berbagai kegiatan rumah sakit menghasilkan bermacam-macam limbah yang berupa benda cair, padat, dan gas. Hal ini mempunyai konsekuensi perlunya pengelolaan limbah rumah sakit sebagai bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit (Adisasmito, 2009).

2.7 Sampah Medis

Sampah rumah sakit adalah bahan yang tidak berguna, tidak digunakan atau yang terbuang dapat dibedakan menjadi sampah medis dan non medis dan dikategorikan sampah radioaktif, sampah infeksius, sampah citoktoksis dan sampah umum atau domestik (Depkes RI, 2002).

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) sekitar 10-25% limbah layanan kesehatan digolongkan sebagai limbah berbahaya. Sampah medis atau limbah klinis adalah limbah berasal dari pelayanan medik, perawatan gigi, farmasi, penelitian, perawatan, pengobatan atau pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun, infeksius, berbahaya atau bisa membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu (Fauziah dkk., 2005;. Marinkovic et al., 2008).

Menurut Wicaksono yang dikutip oleh Widiartha (2012), bentuk sampah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :


(22)

1. Sampah benda tajam

Sampah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.

2. Sampah Infeksius

Sampah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut:

a. Sampah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif).

b. Sampah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular.

3. Sampah Jaringan Tubuh

Sampah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.

4. Sampah Sitotoksik

Sampah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik.


(23)

5. Sampah Farmasi

Sampah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi yang bersangkutan dan sampah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.

6. Sampah Kimia

Sampah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.

7. Sampah Radioaktif

Sampah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida. Sampah ini dapat berasal dari antara lain : tindakan kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis; dapat berbentuk padat, cair atau gas.

2.7.1 Penanganan Sampah Medis

Pengelolaan sampah harus dilakukan dengan benar dan efektif dan memenuhi persyaratan sanitasi. Sebagai sesuatu yang tidak digunakan lagi, tidak disenangi, dan yang harus dibuang maka sampah tentu harus dikelola dengan baik. Syarat yang harus dipenuhi dalam pengelolaan sampah ialah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak menimbulkan bau (segi estetis) tidak menimbulkan kebakaran, dan sebagainya. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang


(24)

Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah (Siahaan, 2010).

Menurut KepMenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit didalam pelaksanaan pengelolaan sampah setiap rumah sakit harus melakukan reduksi limbah dimulai dari sumber, harus mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun, harus melakukan pengelolaan stok bahan kimia dan farmasi. Setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan limbah medis mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang. Hal ini dapat dilaksanakan dengan melakukan :

1. Menyeleksi bahan-bahan yang kurang menghasilkan limbah sebelum membelinya.

2. Menggunakan sedikit mungkin bahan-bahan kimia.

3. Mengutamakan metode pembersihan secara fisik daripada secara kimiawi. 4. Mencegah bahan-bahan yang dapat menjadi limbah seperti dalam kegiatan

perawatan dan kebersihan.

5. Memonitor alur penggunaan bahan kimia dari bahan baku sampai menjadi limbah bahan berbahaya dan beracun.

6. Memesan bahan-bahan sesuai kebutuhan.

7. Menggunakan bahan-bahan yang diproduksi lebih awal untuk menghindari kadaluarsa.


(25)

9. Mengecek tanggal kadaluarsa bahan-bahan pada saat diantar oleh distributor.

Hal ini dilakukan agar sampah yang dihasilkan dari rumah sakit dapat dikurangi sehingga dapat menghemat biaya operasional untuk pengelolaan sampah (Dekpes RI, 2004).

Tietjen dan Bossemeyer (2004) mengatakan bahwa maksud pengelolaan sampah rumah sakit ialah :

1. Melindungi petugas pembuangan sampah dari perlukaan;

2. Melindungi penyebaran infeksi terhadap para petugas kesehatan; 3. Mencegah penularan infeksi pada masyarakat sekitarnya;

4. Membuang bahan-bahan berbahaya (bahan toksin dan radioaktif) dengan aman.

2.7.2 Tahapan Penanganan Sampah Medis

Menurut Depkes RI yang dikutip oleh Widiartha (2012), penanganan limbah medis terdiri dari beberapa tahapan, antara lain sebagai berikut:

1) Pemilahan sampah

Secara umum pemilahan adalah proses pemisahan limbah dari sumbernya, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1204 Tahun 2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit menjelaskan bahwa pemilahan jenis limbah medis padat mulai dari sumber yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat (Depkes RI, 2004).


(26)

Kunci pengelolaan sampah layanan kesehatan secara efektif adalah pemilahan dan identifikasi sampah. Pemilahan merupakan tanggung jawab yang dibebankan pada produsen atau penghasil sampah dan harus dilakukan sedekat mungkin dengan tempat dihasilkanya sampah. Cara yang tepat untuk mengidentifikasi kategori sampah/limbah adalah adalah dengan melakukan pemilahan sampah berdasarkan warna kantong dan kontainer yang digunakan (WHO, 2005). Pemilahan sampah harus dilakukan mulai dari sumber yang menghasilkan sampah (Depkes RI, 2004).

Tabel 2.1 Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Sesuai Kategorinya Kategori Warna

Tempat /

kantong plastik pembungkus sampah

Lambang Keterangan

1. Radioaktif Merah Kantong

boksimbale dengan simbol radioaktif

Infeksius Kuning Kantong plastik

kuat, anti bocor, atau kontainer yang dapat disterilisasi dengan otoklaf

Sitotoksis Ungu Kontainer

plastik kuat dan anti bocor Sampah

Kimia dan Farmasi

Cokelat Kantong plastik

atau kontainer


(27)

2) Pengumpulan sampah

Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa memperhatikan terkontaminasi atau tidaknya. Sedangkan limbah jarum suntik tidak dianjurkan untuk untuk dimanfaatkan kembali. Apabila rumah sakit maupun puskesmas tidak memiliki jarum sekali pakai (disposable), limbah jarum suntik dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui proses salah satu metode sterilisasi (Permenkes RI, 2004).

Tempat-tempat penampungan sampah hendaknya memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut (Depkes RI, 2004) :

a. bahan tidak mudah karat ;

b. kedap air, terutama untuk menampung sampah basah ; c. bertutup rapat ;

d. mudah dibersihkan ;

e. mudah dikosongkan atau diangkut ; f. tidak menimbulkan bising ;

g. tahan terhadap benda tajam dan runcing.

Berikut beberapa rekomendasi khusus yang harus dipatuhi oleh tenaga pendukung yang bertugas mengumpulkan limbah:

1. Limbah harus dikumpulkan setiap hari (atau sesuai frekuensi yang ditetapkan) dan diangkut ke pusat lokasi penampungan yang ditentukan. 2. Jangan memindahkan satu kantong limbah pun kecuali labelnya memuat

keterangan lokasi produksi (rumah sakit dan bangsal atau bagian-bagiannya) dan isinya.


(28)

3. Kantong dan kontainer harus diganti segera dengan kantong dan kontainer baru dari jenis yang sama (WHO, 2005).

3) Pengangkutan

Pengangkutan limbah medis dari setiap ruangan penghasil limbah medis ke tempat penampungan sementara menggunakan troli khusus yang tertutup. Penyimpanan limbah medis harus sesuai iklim tropis yaitu pada musim hujan paling lama 48 jam dan musim kemarau paling lama 24 jam (Permenkes RI, 2004).

Pengangkutan sampah ke luar rumah sakit menggunakan kendaraan khusus. Kantong sampah sebelum dimasukkan ke kendaraan pengangkut harus diletakkan dalam kontainer yang kuat dan tertutup. Kantong sampah juga harus aman dari jangkauan manusia maupun binatang (Depkes. RI, 2004).

a. Sampah medis hendaknya diangkut sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan. Sementara menunggu pengangkutan untuk dibawa ke insinerator, atau pengangkutan oleh Dinas Kesehatan hendaknya:

1. Disimpan dalam kontainer yang memenuhi syarat.

2. Ditempatkan dilokasi yang strategis, merata dengan ukuran disesuaikan dengan frekuensi pengumpulannya dengan kantong berkode warna yang telah ditentukan secara terpisah.

3. Diletakkan pada tempat kering/mudah dikeringkan, lantai tidak rembes, dan disediakan sarana pencuci.

4. Aman dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dari binatang dan bebas dari infestasi serangga dan tikus.


(29)

5. Terjangkau oleh kendaraan pengumpulan sampah.

b. Sampah yang tidak berbahaya dengan penanganan pendahuluan (bisa digolongkan dalam sampah medis) dapat data tampungan bersama sampah lain sambil menunggu pengangkutan.

4) Penanganan Akhir (Pembuangan dan Pemusnahan)

Dalam metode penanganan sampah sebelum dibuang untuk sampah yang berasal dari rumah sakit perlu mendapat perlakuan agar limbah infeksius dapat dibuang ke landfill yakni (dalam Siahaan, 2010):

1. Autoclaving

Autoclaving sering dilakukan untuk perlakuan limbah infeksius. Limbah dipanasi dengan uap dibawah tekanan. Namun dalam volume sampahyang besar saat dipadatkan, penetrasi uap secara lengkap pada suhu yang diperlukan sering tidak terjadi dengan demikian tujuan autoclaving (sterilisasi) tidak tercapai. Perlakuan dengan suhu tinggi pada periode singkat akan membunuh bakteri vegetatif dan mikroorganisme lain yang bisa membahayakan penjamah sampah.

Kantong limbah plastik biasa hendaknya tidak digunakan karena tidak tahan panas dan akan meleleh selama autoclaving. Karena itu diperlukan kantong autoclaving. Pada kantong ini terdapat indikator, seperti pita autoclave yang menunjukkan bahwa kantong telah mengalami perlakuan panas yang cukup. Autoclave yang digunakan secara rutin untuk limbah biologis harus diuji minimal setahun sekali untuk menjamin hasil yang optimal.


(30)

2. Disinfeksi dengan Bahan Kimia

Peranan disinfeksi untuk institusi yang besar tampaknya terbatas penggunanya, misalnya digunakan setelah mengepel lantai atau membasuh tumpahan dan mencuci kendaraan limbah. Limbah infeksius dengan jumlah kecil dapat didesinfeksi (membunuh mikroorganisme tapi tidak membunuh spora bakteri) dengan bahan kimia seperti hypochloite atau permanganate. Limbah dapat menyerap cairan disinfeksi sehingga akan menambah masalah penanganan.

Pemusnahan sampah rumah sakit dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut:

a. Sanitary Landfill

Metode sanitary landfill dapat mencegah kontaminasi tanah dan air permukaan serta air tanah dan mengurangi pencemaran udara, bau serta kontak langsung dengan masyarakat umum (WHO, 2005). Beberapa unsur penting dalam desain dan penerapan sanitary landfill, antara lain (WHO, 2005):

1) Akses ke lokasi dan area kerja dapat dijangkau oleh kendaraan pengantar dan pengangkut limbah medis.

2) Keberadaan petugas di tempat yang mampu mengontrol secara efektif kegiatan operasional setiap hari.

3) Pembagian lokasi mejadi fase-fase yang dapat ditangani dan dipersiapkan dengan tepat sebelum landfill mulai dioperasikan.

4) Penutupan yang adekuat bagian dasar dan sisi lubang di lokasi untuk meminimalkan pergerakan cairan dari sampah (leachate) keluar lokasi.


(31)

5) Mekanisme yang adekuat untuk penampungan leachate dan sistem pengolahan yang memadai jika perlu.

6) Pembuangan limbah yang terkelola disebuah lokasi yang kecil, memungkinkan limbah untuk disebar merata. Dipadatkan dan ditimbun (ditutup dengan tanah) setiap hari.

7) Selokan kecil untuk menampung air permukaan di sekitar perbatasan lokasi pembuangan.

8) Konstruksi lapisan penutup paling atas untuk meminimalkan masuknya air hujan jika setiap fase landfill sudah selesai.

b. Incinerator

Incinerator merupakan proses oksidasi kering bersuhu tinggi. Proses ini biasanya dipilih untuk mengolah sampah yang tidak dapat didaur ulang, dimanfaatkan kembali, atau dibuang di lokasi landfill (WHO, 2005). Incinerator hanya digunakan untuk memusnahkan sampah klinis (Depkes RI, 2002). Perlengkapan incinerator harus dipilih dengan cermat berdasarkan sarana dan prasarana yang tersedia dan situasi setempat.

Insinerator bervariasi mulai dari yang sangat canggih bersuhu tinggi, sampai kepada unit dasar yang beroperasi dengan suhu lebih rendah. Semua jenis incinerator dapat membunuh mikroorganisme dalam sampah menjadi abu, jika dikerjakan dengan benar (Tietjen dan Bossemeyer, 2004).

2.8 Petugas Cleaning Service

Pelayanan sanitasi rumah sakit diselenggarakan dalam kaitan untuk menciptakan kondisi lingkungan rumah sakit yang bersih, nyaman, dan


(32)

mengutamakan faktor keselamatan sebagai pendukung usaha penyembuhan penderita, mencegah pemaparan terhadap bahaya-bahaya lingkungan rumah sakit termasuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, dan menghindarkan pencemaran ke lingkungan luar rumah sakit (Siahaan, 2010).

Petugas diberi latihan khusus mengenai proses pengangkutan sampah, sedangkan pengawasan dan pengolahan sampah rumah sakit maupun dilakukan oleh tenaga sanitasi terdidik. Limbah dari setiap unit layanan fungsional rumah sakit maupun dikumpulkan oleh tenaga perawat, khususnya jika berkaitan dengan pemisahan limbah medis dan non medis, sedangkan diruang lain dapat dilakukan oleh tenaga kebersihan. Petugas pengangkut harus dibekali dengan alat pelindung diri (APD) atau pakaian kerja yang memadai, seperti sepatu, baju, celana, sarung tangan, topi dan masker (Chandra, 2007).

2.8.1 Tugas Pokok Petugas Cleaning Service

Menurut Rumekso yang dikutip oleh Lestari (2010), petugas cleaning

service atau petugas kebersihan mempunyai tugas pokok untuk menjaga

kebersihan, kerapian, keindahan dan kenyamanan seluruh area baik yang ada di dalam gedung maupun yang ada di luar gedung.

2.8.2 Sistem Kerja Petugas Cleaning Service di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

Jam kerja petugas cleaning service atau petugas kebersihan di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dimulai pukul 07.00 WIB - 22.00 WIB. Terbagi menjadi 2 shift, yaitu:


(33)

b. Shit 2 (Pukul 14.00 WIB-22.00 WIB).

Petugas cleaning service di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan memiliki beberapa tugas, antara lain:

1. Membersihkan setiap ruangan kantor, poliklinik, kamar pasien, kamar mandi/wc, dan koridor yang ada di area rumah sakit (in side).

2. Membersihkan seluruh taman dan halaman yang ada di area rumah sakit (out side).

3. Mengangkut sampah non medis yang terdapat di area rumah sakit ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sampah yang ada di area rumah sakit, dan mengangkut sampah medis rumah sakit ke incinerator rumah sakit. Untuk melaksanakan tugas-tugas di atas, maka setiap harinya dibentuk tim yang terdiri atas 3 (tiga) tim, yaitu:

1. Tim pembersih ruangan, yang bertugas melaksanakan pembersihan pada setiap ruangan yang ada di area rumah sakit.

2. Tim sampah, yang bertugas melaksanakan pengangkutan sampah medis ke incinerator rumah sakit dan sampah non medis ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sampah, serta membersihkan halaman dan taman di area rumah sakit.

3. Tim khusus, yang bertugas untuk membersihkan bagian-bagian khusus seperti langit-langit ruangan, kaca, dan karat yang memerlukan penanganan khusus, serta area kerja dengan ketinggian > 5 meter.

Dalam pengaturan penugasan petugas cleaning service, pihak Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi memberlakukan sistem kerja rotasi mingguan.


(34)

2.9 Kerangka Konsep

Petugas Cleaning Service dalam Penanganan Sampah Medis

1) Pengetahuan 2) Sikap

3) Tindakan

Pemakaian APD


(1)

5. Terjangkau oleh kendaraan pengumpulan sampah.

b. Sampah yang tidak berbahaya dengan penanganan pendahuluan (bisa digolongkan dalam sampah medis) dapat data tampungan bersama sampah lain sambil menunggu pengangkutan.

4) Penanganan Akhir (Pembuangan dan Pemusnahan)

Dalam metode penanganan sampah sebelum dibuang untuk sampah yang berasal dari rumah sakit perlu mendapat perlakuan agar limbah infeksius dapat dibuang ke landfill yakni (dalam Siahaan, 2010):

1. Autoclaving

Autoclaving sering dilakukan untuk perlakuan limbah infeksius. Limbah dipanasi dengan uap dibawah tekanan. Namun dalam volume sampahyang besar saat dipadatkan, penetrasi uap secara lengkap pada suhu yang diperlukan sering tidak terjadi dengan demikian tujuan autoclaving (sterilisasi) tidak tercapai. Perlakuan dengan suhu tinggi pada periode singkat akan membunuh bakteri vegetatif dan mikroorganisme lain yang bisa membahayakan penjamah sampah.

Kantong limbah plastik biasa hendaknya tidak digunakan karena tidak tahan panas dan akan meleleh selama autoclaving. Karena itu diperlukan kantong autoclaving. Pada kantong ini terdapat indikator, seperti pita autoclave yang menunjukkan bahwa kantong telah mengalami perlakuan panas yang cukup. Autoclave yang digunakan secara rutin untuk limbah biologis harus diuji minimal setahun sekali untuk menjamin hasil yang optimal.


(2)

2. Disinfeksi dengan Bahan Kimia

Peranan disinfeksi untuk institusi yang besar tampaknya terbatas penggunanya, misalnya digunakan setelah mengepel lantai atau membasuh tumpahan dan mencuci kendaraan limbah. Limbah infeksius dengan jumlah kecil dapat didesinfeksi (membunuh mikroorganisme tapi tidak membunuh spora bakteri) dengan bahan kimia seperti hypochloite atau permanganate. Limbah dapat menyerap cairan disinfeksi sehingga akan menambah masalah penanganan.

Pemusnahan sampah rumah sakit dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut:

a. Sanitary Landfill

Metode sanitary landfill dapat mencegah kontaminasi tanah dan air permukaan serta air tanah dan mengurangi pencemaran udara, bau serta kontak langsung dengan masyarakat umum (WHO, 2005). Beberapa unsur penting dalam desain dan penerapan sanitary landfill, antara lain (WHO, 2005):

1) Akses ke lokasi dan area kerja dapat dijangkau oleh kendaraan pengantar dan pengangkut limbah medis.

2) Keberadaan petugas di tempat yang mampu mengontrol secara efektif kegiatan operasional setiap hari.

3) Pembagian lokasi mejadi fase-fase yang dapat ditangani dan dipersiapkan dengan tepat sebelum landfill mulai dioperasikan.

4) Penutupan yang adekuat bagian dasar dan sisi lubang di lokasi untuk meminimalkan pergerakan cairan dari sampah (leachate) keluar lokasi.


(3)

5) Mekanisme yang adekuat untuk penampungan leachate dan sistem pengolahan yang memadai jika perlu.

6) Pembuangan limbah yang terkelola disebuah lokasi yang kecil, memungkinkan limbah untuk disebar merata. Dipadatkan dan ditimbun (ditutup dengan tanah) setiap hari.

7) Selokan kecil untuk menampung air permukaan di sekitar perbatasan lokasi pembuangan.

8) Konstruksi lapisan penutup paling atas untuk meminimalkan masuknya air hujan jika setiap fase landfill sudah selesai.

b. Incinerator

Incinerator merupakan proses oksidasi kering bersuhu tinggi. Proses ini biasanya dipilih untuk mengolah sampah yang tidak dapat didaur ulang, dimanfaatkan kembali, atau dibuang di lokasi landfill (WHO, 2005). Incinerator hanya digunakan untuk memusnahkan sampah klinis (Depkes RI, 2002). Perlengkapan incinerator harus dipilih dengan cermat berdasarkan sarana dan prasarana yang tersedia dan situasi setempat.

Insinerator bervariasi mulai dari yang sangat canggih bersuhu tinggi, sampai kepada unit dasar yang beroperasi dengan suhu lebih rendah. Semua jenis incinerator dapat membunuh mikroorganisme dalam sampah menjadi abu, jika dikerjakan dengan benar (Tietjen dan Bossemeyer, 2004).

2.8 Petugas Cleaning Service

Pelayanan sanitasi rumah sakit diselenggarakan dalam kaitan untuk menciptakan kondisi lingkungan rumah sakit yang bersih, nyaman, dan


(4)

mengutamakan faktor keselamatan sebagai pendukung usaha penyembuhan penderita, mencegah pemaparan terhadap bahaya-bahaya lingkungan rumah sakit termasuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, dan menghindarkan pencemaran ke lingkungan luar rumah sakit (Siahaan, 2010).

Petugas diberi latihan khusus mengenai proses pengangkutan sampah, sedangkan pengawasan dan pengolahan sampah rumah sakit maupun dilakukan oleh tenaga sanitasi terdidik. Limbah dari setiap unit layanan fungsional rumah sakit maupun dikumpulkan oleh tenaga perawat, khususnya jika berkaitan dengan pemisahan limbah medis dan non medis, sedangkan diruang lain dapat dilakukan oleh tenaga kebersihan. Petugas pengangkut harus dibekali dengan alat pelindung diri (APD) atau pakaian kerja yang memadai, seperti sepatu, baju, celana, sarung tangan, topi dan masker (Chandra, 2007).

2.8.1 Tugas Pokok Petugas Cleaning Service

Menurut Rumekso yang dikutip oleh Lestari (2010), petugas cleaning service atau petugas kebersihan mempunyai tugas pokok untuk menjaga kebersihan, kerapian, keindahan dan kenyamanan seluruh area baik yang ada di dalam gedung maupun yang ada di luar gedung.

2.8.2 Sistem Kerja Petugas Cleaning Service di Rumah Sakit Umum Dr.

Pirngadi Medan

Jam kerja petugas cleaning service atau petugas kebersihan di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dimulai pukul 07.00 WIB - 22.00 WIB. Terbagi menjadi 2 shift, yaitu:


(5)

b. Shit 2 (Pukul 14.00 WIB-22.00 WIB).

Petugas cleaning service di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan memiliki beberapa tugas, antara lain:

1. Membersihkan setiap ruangan kantor, poliklinik, kamar pasien, kamar mandi/wc, dan koridor yang ada di area rumah sakit (in side).

2. Membersihkan seluruh taman dan halaman yang ada di area rumah sakit (out side).

3. Mengangkut sampah non medis yang terdapat di area rumah sakit ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sampah yang ada di area rumah sakit, dan mengangkut sampah medis rumah sakit ke incinerator rumah sakit. Untuk melaksanakan tugas-tugas di atas, maka setiap harinya dibentuk tim yang terdiri atas 3 (tiga) tim, yaitu:

1. Tim pembersih ruangan, yang bertugas melaksanakan pembersihan pada setiap ruangan yang ada di area rumah sakit.

2. Tim sampah, yang bertugas melaksanakan pengangkutan sampah medis ke incinerator rumah sakit dan sampah non medis ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sampah, serta membersihkan halaman dan taman di area rumah sakit.

3. Tim khusus, yang bertugas untuk membersihkan bagian-bagian khusus seperti langit-langit ruangan, kaca, dan karat yang memerlukan penanganan khusus, serta area kerja dengan ketinggian > 5 meter.

Dalam pengaturan penugasan petugas cleaning service, pihak Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi memberlakukan sistem kerja rotasi mingguan.


(6)

2.9 Kerangka Konsep

Petugas Cleaning Service dalam Penanganan Sampah Medis

1) Pengetahuan

2) Sikap

3) Tindakan

Pemakaian APD


Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Penanganan Sampah Medis Pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

40 525 116

Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Petugas Instalasi Radiologi RSU.Dr. Pirngadi Medan, Tahun 2004

6 83 101

Gambaran Pengetahuan Sikap Dan Tindakan Pekerja Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri di PT.Bandar Bunder Tebing Tinggi Tahun 2005

6 62 58

Gambaran Kesehatan Kerja Petugas Cleaning Service Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan Tahun 2009

29 154 94

Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dan Masa Kerja pada Petugas Cleaning Service dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

0 14 79

Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Penanganan Sampah Medis Pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

0 0 16

Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Penanganan Sampah Medis Pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

0 0 2

Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Penanganan Sampah Medis Pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

0 0 7

Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Penanganan Sampah Medis Pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

1 5 5

Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Penanganan Sampah Medis Pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

0 0 19