Morfologi Bahasa Melayu Tamiang

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di titik koordinat 6o08‟ LU
hingga 11o15‟ LS dan dari 94o45‟ BT hingga 141o05‟ BT. Memiliki wilayah
kepulauan sebanyak 17.508 pulau (citra satelit terakhir terpantau 18.108 pulau)
dengan luas wilayahnya itu, Indonesia dihuni oleh ±1.128 suku bangsa (data BPS)
dengan ragam bahasa, agama dan budayanya masing-masing.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut
culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1992:149) pengertian dari budaya adalah pikiran, akal budi, adat
istiadat dan sesuatu yang sudah berkembang atau suatu yang sudah menjadi
kebiasaan yang sukar diubah.

Taylor (dalam Robert 2004:2) mengatakan kebudayaan adalah sebagai

keseluruhan bidang yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat dan kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota

1
Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Sedangkan menurut Wilson (dalam Robert 2004:2) kebudayaan
adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan secara sosial, baik bersifat
eksistensial, normatif maupun simbolis, yang tercermin dalam tindakan (act) dan
benda-benda hasil karya manusia. Selain pendapat dua pakar tersebut, pada tahun
1952 Kroeber dan Kluckholn memberi kurang lebih 160 definisi tentang kebudayaan
(Robert 2004:3).
Robert (2004:8) menyebutkan relativisme1 kebudayaan tergambar juga dalam
hakikat kebudayaan. Telah diketahui bersama, hakikat kebudayaan ada tujuh yakni
(1) terjabarkan melalui komponen biologis, lingkungan, psikologis dan historis dari
eksisitensi manusia, (2) diperoleh dan diwariskan secara sosial dengan proses belajar,
(3) berstruktur, (4) terbagi dalam aspek-aspek atau unsur-unsur, (5) dinamis, (6)
sangat beragam dan (7) relative.
Baik dari covert culture maupun overt culture memiliki ketujuh hakikat
kebudayaan itu. Dengan demikian, unsur-unsur kebudayaan universal, yakni (1)

bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup, (5)
sistem mata pencaharian, (6) sistem religi dan (7) kesenian juga memiliki ketujuh
hakikat kebudayaan itu (Robert 2004:8)
Ketujuh urutan kebudayaan tersebut memiliki makna. Dapat kita lihat bahasa
ditempatkan pada urutan yang pertama. Hal ini bermakna bahwa manusia sebagai
makhluk sosial harus berinteraksi serta berkomunikasi. Untuk melakukan interaksi
dan komunikasi dengan sesamanya, manusia membutuhkan bahasa. Bahasa adalah

1

Winick 1956 (dalam Robert 2004:8) cultural relativisme is the principle that experience is
interpreted by each person in terms of his own background, frame of referece, and social norms, and
that these factors will influence percepction and evaluation, so that there is no single scale of values
applicable.

2
Universitas Sumatera Utara

kebudayaan yang pertama sekali diperoleh manusia kemudian bahasa itu
berkembang karena akal dan sistem pengetahuan manusia. Brooks (dalam Chaer

2009:32) memperkenalkan satu teori mengenai asal-usul bahasa sejalan dengan
perkembangan psikolinguistik. Brooks menyebutkan bahasa itu lahir pada waktu
yang sama dengan kelahiran manusia.
Dari 1.128 suku bangsa yang ada di Indonesia yang terletak di 17.508 gugus
pulau. Dengan wilayah yang luas dan suku yang bermacam-macam sudah pasti sukusuku yang ada di Indonesia memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Salah
satunya adalah gugusan pulau Sumatera dan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
yang merupakan bagian dari pulau Sumatera. Terdapat satu daerah di provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang dihuni oleh suku Melayu Tamiang yang secara
geografis berbatasan dengan kabupaten Langkat yang juga dihuni oleh suku Melayu.
Nama Tamiang sendiri berasal dari kata “Te-Miyang” berdasarkan sumber
informasi legenda sejarah. Arti kata dari “Te-Miyang” sendiri adalah tidak kena
gatal atau kebal gatal dari miyang bambu, ini berdasarkan pada cerita sejarah
(legenda) tentang raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh. Pada zaman dahulu
ketika Pucook Sulooh masih bayi ditemukan oleh raja ketika itu yaitu raja Tan
Penok. Pucook Sulooh ditemukan di dalam rumpun bambu (dalam bahasa Tamiang
bambu = buloh). Setelah Pucook Sulooh telah dewasa maka ia dinobatkan sebagai
raja Tamiang dan diberi gelar “Pucook Sulooh Raja Te-Miyang” yang bermakna raja
yang berada dalam rumpun rebung tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal. Hal
tersebut di atas hanyalah merupakan legenda turun temurun dan tidak dapat diyakini
sebagai suatu kebenaran yang dapat merendahkan martabat suku Tamiang (Muntasir

2003:2).

3
Universitas Sumatera Utara

Sejalan dengan itu ada juga bukti sejarah lain tentang asal Tamiang yang
ditulis oleh Mohammad Said yaitu data kerajaan Tamiang yang terdapat pada
prasasti Sriwilaya yang diterjemahkan oleh Prof. Nikanta Sastri dalam buku The
Great Tamaralingga (Capable of) Strong Action in Dangerus Battle. Dalam buku
Wee Pei Sih oleh Mills 1937 (dalam Muntasir 2003:3) terdapat data kuno Tiongkok
Negeri Ken Pei Chiang (Tamiang). Data lain juga ditemukan yaitu kerajaan Islam
Tamiang yang tercatat dalam buku Geografical Notices yang disusun oleh
Rushiduddin‟s pada tahun 1310 M. selain sumber di atas ada pula sumber yang
mengatakan nama Tamiang (Tumihang) dalam buku Negara Kartagama yang ditulis
oleh Yamin pada tahun 1946 dan juga penemuan benda-benda budaya yang terdapat
pada situs Tamiang oleh Yacob dan Muhr. Dari keseluruhan data sejarah tersebut,
hingga saat ini masyarakat Tamiang masih mempercayai Te-Miyang sebagai asal
mula nama Tamiang (Muntasir 2003:3).
Bahasa Melayu Tamiang masih sama seperti bahasa lain di Indonesia
termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Dalam penggunaannnya, bahasa

Melayu Tamiang di daerah ini dikenal dengan bahasa kampong. Bahasa Melayu
Tamiang sendiri memiliki tiga dialek yaitu dialek Iler, dialek Tengah dan dialek
Hulu (Muntasir 2003:94). Namun demikian, walaupun bahasa Melayu Tamiang
terbagi menjadi tiga dialek, namun warganya saling memahami walaupun dalam
beberapa istilah terdapat perbedaan pengertian. Hal tersebut sesuai pesan raja Muda
Sedia yaitu Iler boleh pecah, Ulu boleh pecah, Tamiang tetap satu pesan ini
bermakana agar suku Melayu Tamiang tetap bersatu walau dalam dialek berbeda.
Bahasa daerah sangat unik dan sangat menarik untuk dikaji baik dari sudut
fonologi, morfologi, semantik maupun sintaksisnya. Penulis dalam penelitian ini

4
Universitas Sumatera Utara

akan mengkaji bahasa Melayu Tamiang dari sudut proses morfologinya. Alasan
mengapa penulis meneliti bahasa Melayu Tamiang karena bahasa Melayu Tamiang
sangat unik untuk dikaji dari sudut morfologinya dan penelitian bahasa Melayu
Tamiang sampai saat ini masih sedikit dilakukan, oleh karena itu, penulis juga ingin
memacu para peneliti agar melakukan penelitian bahasa daerah khususnya bahasa
Melayu Tamiang agar tidak terjadi kepunahan mengingat sifat bahasa yang dinamis.
Selain itu, penulis juga mengajukan penelitian ini untuk memenuhi persyaratan

dalam menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1 (S1) di departemen Sastra Daerah,
program studi Bahasa dan Sastra Melayu.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah:
1.

Bagaimanakah proses pembubuhan afiks pada bahasa Melayu
Tamiang?

2.

Bagaimanakah proses pengulangan pada bahasa Melayu Tamiang?

3.

Bagaimanakah proses pemajemukan pada bahasa Melayu Tamiang?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:

1.

Mendeskripsikan bagaimana proses pembubuhan afiks pada bahasa
Melayu Tamiang.

5
Universitas Sumatera Utara

2.

Mendeskripsikan bagaimana proses pengulangan pada bahasa Melayu
Tamiang.

3.

Mendeskripsikan bagaimana proses pemajemukan pada bahasa
Melayu Tamiang.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

dalam bidang linguistik. Secara umum, penelitian ini berkaitan dengan proses
morfologi yang ada di dalam bahasa Melayu Tamiang. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menambah jumlah penelitian bahasa daerah yang sudah ada.
Dengan menjawab semua permasalahan dari penelitian ini, diharapkan memunculkan
semangat untuk melakukan penelitian bahasa daerah, hal ini dimaksudkan guna
mengantisipasi (mencegah) kepunahan bahasa daerah. Dari segi praktisnya penelitian
ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi: (1) Pemerintah daerah untuk dijadikan
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kebijakan
budaya; (2) merancang kurikulum yang bermuatan lokal.

6
Universitas Sumatera Utara