Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri Mahasiswi STAI As-Sunnah Tanjung Morawa)

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/ Paradigma Kajian

2.1.1 Konstruktivisme

Paradigma merupakan sebuah perspektif atau sudut pandang yang merupakan sebuah acuan atau pola pikir seorang peneliti dalam melakukan sebuah penelitian. Paradigma terbagi dalam berbagai bentuk yakni paradigma positivis, paradigma konstruktivisme dan paradigma kritis, terkait paradigma mana yang lebih baik, tergantung pada penelitian yang sedang dilakukan. Metodologi penelitian yang digunakan peneliti dalam pembahasannya adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Asumsi ontologis pada paradigma konstruktivisme menganggap realitas sebagai konstruksi sosial, kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Selain itu realitas juga dianggap sebagai hasil konstruksi mental dari individu pelaku sosial, sehingga realitas dipahami secara beragam dan dipengaruhi oleh pengalaman, konteks dan waktu (Kriyantono,2008: 51).

Paradigma konstruksivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber menilai, perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku, Weber menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa setiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.

Implikasi dari paradigma konstruktivisme menerangkan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk mengerti. Konstruktivisme adalah filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardianto, 2007:154). Paradigma ini digambarkan dengan komunikasi yang berbasis pada “konsep diri” berdasarkan teori Bernstein, yang menyatakan bahwa individu dalam melakukan sesuatu


(2)

dikonstruksikan pada orientasi kehidupannya sendiri atau disebut juga orientasi subjek, dimana individu yang berbasis subjek akan menggunakan elaborasi kode yang menghargai kecenderungan, perasaan, kepentingan dan sudut pandang orang lain (Ardianto, 2007:159)

Menurut Ardianto (2007:161) prinsip dasar konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh konstruksi diri sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri. Sehingga komunikasi itu dapat dirumuskan, dimana ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar. Pada titik ini kita dapat mengemukakan teori Ron Herre mengenai perbedaan antara person dan self. Person adalah diri yang terlibat dalam lingkup publik, pada dirinya terdapat atribut sosial budaya masyarakatnya, sedangkan self adalah diri yang ditentukan oleh pemikiran khasnya di tengah sejumlah pengaruh sosial budaya masyarakatnya.

Berdasarkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif maka peneliti akan menggunakan paradigma konstruktivisme dalam penelitiannya mengingat paradigma konstruktivisme memandang suatu realitas dan perilaku manusia merupakan suatu konstruksi yang dibentuk oleh dirinya sendiri beserta pengaruh lingkungan luar dan bukan merupakan hasil yang alami. Dengan begitu peneliti memandang penelitian yang akan diteliti ini berkenaan dengan konsep diri, dimana konsep diri ini yang akan mempengaruhi perilaku individu baik bagi dirinya maupun di lingkungan masyarakat sesuai dengan konstruksi konsep diri yang dibentuknya, sehingga apa yang ditampilkan sesuai dengan bentukan yang diinginkannya.

2.2 Kajian Pustaka

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalah atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39).

Berdasarkan hal tersebut, fungsi teori dalam riset atau penelitian adalah membantu peneliti menerangkan fenomena sosial atau fenomena yang dialami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah himpunan konstruk (konsep), defenisi, dan


(3)

proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala tersebut (Kryantono, 2006:43). Dalam penelitian ini teori-teori yang dianggap relevan adalah :

2.2.1 Komunikasi

Secara etimologi, komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berakar dari perkataan latin “communts”, yang artinya sama, communico, communication atau communicare yang berarti membuat sama (to make common), yang dimaksud dengan sama adalah sama makna atau sama arti (Mulyana, 2007:41). Komunikasi berasal dari kata Latin communis atau yang dalam bahasa inggris disebut juga dengan communication yang memiliki arti “sama”. maksudnya bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan sesuatu pihak, maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan dengan pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya agar memperoleh suatu kesepakatan arti (Lubis, 2011:6).

Komunikasi merupakan dasar interaksi antar manusia. Kesepakatan atau kesepahaman dibangun melalui sesuatu yang berusaha bisa dipahami bersama hingga interaksi berjalan dengan baik. Kegiatan komunikasi pada prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau gagasan. Secara sederhana, kegiatan komunikasi dipahami sebagai kegiatan menyampaikan dan penerimaan pesan dari pihak satu ke pihak lain dengan tujuan mencapai kesamaan pandangan atas ide yang dipertukarkan (Fajar, 2009:30). Sementara Harold lasswell mengatakan bahwa cara baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut : who says what in which channel to whom with effect?. Paradigma Lasswell tersebut menunjukkan bahwa komunikasi meliput 5 unsur sebagai jawaban dari pertanyaan itu, yakni : komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media), komunikan dan efek. Berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendi, 2003:10).

2.2.1.1 Faktor-faktor Penghambat Komunikasi

Gangguan atau hambatan komunikasi dapat terjadi karena beberapa faktor, adapun faktor-faktor yang dapat menjadi penghambat proses komunikasi adalah (Effendi, 1992:11):


(4)

1. Hambatan sosio-antro-psikologis a. Hambatan sosiologis

Hambatan sosiologis berasal dari pelaku komunikasi tersebut. Ini dikarenakan masayarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan, yang menimbulkan perbedaan dalam status sosial, agama, ideologi, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan dan sebagainya yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi. b. Hambatan antropologis

Dalam melancarkan komunikasinya seorang komunikator tidak akan berhasil apabila ia tidak mengenal siapa komunikan yang dijadikan sasarannya. Yang dimaksudkan dengan “siapa” disini bukan nama yang disandang, melainkan ras apa, bangsa apa atau suku apa. Dengan mengenal dirinya akan mengenal pula kebudayaannya, gaya hidup dan norma kehidupannya, kebiasaan dan bahasanya.

c. Hambatan psikologis

Faktor psikologis sering kali menjadi hambatan dalam komunikasi. Hal ini umumnya disebabkan si komunikator sebelum melancarkan komunikasinya tidak mengkaji diri komunikan. Komunikasi sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologis lainnya; juga jika komunikasi menaruh prasangka (prejudice) kepada komunikator. Prasangka merupakan salah satu hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap menentang komunikator. Apalagi jika prasangka itu sudah berakar, seseorang tidak dapat lagi berfikir objektif, dan apa saja yang dilihat atau didengarnya selalu akan dinilai negatif.

2. Hambatan semantis

Kalau hambatan sosioligis-antropologis-psikologis terdapat pada pihak komunikan, maka hambatan sematis terdapat pada diri komunikator. Faktor


(5)

semantis menyangkut bahasa yang digunakan komunikator sebagai alat untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada komunikan. Gangguan semantis kadang-kadang disebabkan pula oleh aspek antropologis, yakni kata-kata yang sma bunyinya dan tulisannya tetapi memiliki makna yang berbeda.

3. Hambatan mekanis

Hambatan mekanis dijumpai pada media yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi. Banyak contoh yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari; suara telepon yang krotokan, ketikan huruf yang buram pada surat, suara yang hilang muncul pada pesawat radio, berita surat kabar yang sulit dicari sambungan kolomnya, gambar yang meliuk-liuk pada pesawat televisi dan lain-lain.

4. Hambatan ekologis

Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi, jadi datangnya dari lingkungan. Contoh hambatan ekologis adalah suara riuh orang-orang atau kebisingan lalu-lintas, suara hujan atau petir, suara pesawat terbang lewat dan lain-lain pada saat komunikator sedang berpidato.

2.2.2 Komunikasi Intrapersonal

Beberapa pengertian komunikasi Intrapersonal antara lain:

1. Komunikasi intrapribadi adalah komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Komunikasi disini merujuk pada proses pengolahan dan pembentukan informasi melalui sistem syaraf dan otak manusia sehubungan dengan adanya stimulus yang ditangkap melalui panca indera. Jalan proses komunikasi intrapribadi menurut Barnlund dapat digambarkan dengan menjelaskan bahwa pada dasarnya tingkah laku nonverbal seseorang, apakah bervalensi positif, netral, negatif dipengaruhi oleh isyarat-isyarat dan publik yang dialami atau yang sampai pada dirinya. Dalam kenyataannya, seseorang tentu saja akan mengalami berbagai isyarat (baik pribadi maupun publik) yang bervalensi positif, netral maupun negatif. Namun menurut model Barnlund ini, semua


(6)

isyarat ini telah didecode, atau membentuk encode suatu isyarat tingkah laku nonverbal tertentu (positif, netral atau negatif) (Fajar, 2009:93).

2. Komunikasi intrapribadi adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang. Orang itu berperan baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Dia berbicara kepada dirinya sendiri dan dijawab oleh dirinya sendiri (Effendi, 2003:57).

3. Komunikasi dengan diri sendiri adalah proses komunikasi yang terjadi dalam diri individu, atau dengan kata lain proses komunikasi dengan diri sendiri. Terjadinya proses komunikasi disini karena adanya seseorang yang memberi arti terhadap suatu objek yang diamatinya atau terbetik dalam pikirannya. Objek dalam hal ini bisa saja dalam bentuk benda, kejadian alam, peristiwa, pengalaman, fakta yang mengandung arti bagi manusia baik yang terjadi di luar maupun yang terjadi dalam diri seseorang. Objek yang diamati mengalami proses perkembangan dalam pikiran manusia setelah mendapat rangsangan dari panca indera yang dimilikinya. Hasil kerja dari proses pikiran tadi setelah dievaluasi pada gilirannya akan memberi pengaruh pada pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang (Cangara, 2005:30).

4. Intra-personal communication adalah proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Yang jadi pusat perhatian adalah bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan inderanya. Teori komunikasi intra-pribadi umumnya membahas mengenai proses pemahaman, ingatan, dan interpretasi terhadap simbol-simbol yang ditangkap melalui panca indera (Bungin,2008:252).

Jadi, komunikasi intrapersonal adalah suatu proses dialog yang berlangsung di dalam diri individu yang melibatkan kemampuan intelektual dan emosional terhadap suatu informasi yang dibicarakan. Dengan menjadikan individu sebagai komunikator sekaligus komunikan dalam proses berdialog, memberikan kemampuan pada individu tersebut untuk lebih mengenal dirinya sendiri. Komunikasi intrapersonal sangat dibutuhkan oleh individu dalam mengambil sebuah keputusan dalam segala hal khususnya mengenai jalan hidup yang ingin dijalani sebelum


(7)

membicarakannya dengan orang lain. Ini dikarenakan, dengan lebih mengenal diri kita, kita akan lebih mudah mengetahui apa yang kita inginkan sesuai dengan apa yang sudah kita konsep kan dalam diri kita.

2.2.2.1 Proses Komunikasi Intrapersonal

Adapun proses komunikasi intrapersonal antara lain sebagi berikut (Rakhmat, 2005:49):

1. Sensasi

Sensasi adalah tahap paling awal dalam penerimaan informasi atau proses menangkap stimuli yang diterima oleh sensor atau alat indera kita. Melalui alat indera, manusia dapat memahami kualitas fisik lingkungannya.

2. Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan atau proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru.

3. Memori

Memori adalah sistem yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya atau merupakan proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali. Memori melibatkan 3 proses yaitu perekaman (encoding), penyimpanan (storage) dan pemanggilan (retrieval).

4. Berfikir

Berfikir adalah proses keempat yang mempengaruhi penafsiran kita terhadap stimuli atau mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons. Seseorang individu berfikir dengan tujuan untuk mengambil keputusan (decision making), memecahkan masalah (problem solving) dan menghasilan yang baru (creativity).


(8)

Sebagai makhluk rohani, kita memiliki kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri. Kita dapat membuat pemisahan antar diri kita sebagai subjek dan objek. Karena itu, kita dapat mengadakan komunikasi dengan diri sendiri. Komunikasi inilah yang kita sebut komunikasi intrapersonal. Sementara itu, manusia merupakan makhluk rohani yang dianugerahi daya cipta, karsa dan rasa. Oleh daya cipta manusia mempunyai daya pikir, akal dan imajinasi. Daya karsa membuat manusia mempunyai dorongan dan motivasi untuk mengejar dan mencapai sesuatu yang dianggap baik. Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan manusia dalam mendayagunakan daya kesadaran dirinya antara lain (Hardjana,2003:50):

Pertama, untuk bermeditasi atau merenung. Meditasi adalah kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk menganalisis, menarik kesimpulan dan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan atau penyelesaian masalah pribadi, hidup dan perilaku.

Kedua, untuk mendengarkan hati nurani yang bertujuan mempertajam kesadaran moral. Hati nurani adalah kesadaran akan baik atau buruknya secara moral perbuatan-perbuatan konkret kita. Sebagai kesadaran, hati nurani tidak hanya tahu bahwa perbuatan yang telah kita lakukan di tempat, waktu dan situasi tertentu baik atau buruk secara moral, tetapi juga bersikap terhadap pebuatan-perbuatan konkret kita. Hati nurani juga menilai perbuatan yang akan kita lakukan. Terhadap perbuatan yang akan kita lakukan hati nurani akan bereaksi. Jika perbuatan itu baik secara moral, maka hati nurani menganjurkan tetapi jika buruk secara moral makan hati nurani akan melarang.

Ketiga, kehendak bebas untuk menentukan diri. Manusia memiliki kebebasan psikologis yang biasa disebut kehendak bebas. Dengan kebebasan psikologis kita dapat memilih dan menentukan sikap serta tindakan yang akan kita ambil. Bukan seperti makhluk-makhluk dari dunia lain, kita sebagai manusia tidak hidup berdasarkan naluri. Artinya, bila kita menghadapi stimulus atau rangsangan dari luar, kita tidak secara otomatis menanggapi dengan langsung memberi reaksi atau respons. Kita dapat mengambil sikap dan tindakan yang tepat. Kita akan menanggapi berdasarkan penilaian cocok-tidaknya, pantas-tidaknya, baik-buruknya dan


(9)

untung-ruginya. Jadi, kita mempunyai kehendak bebas dalam menghadapi rangsangan dan kita pun dapat mendayagunakannya. Kita mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan tindakan dan memiliki cara yang kita gunakan untuk melaksanakan tindakan yang sudah kita pilih itu.

Keempat, untuk imajinasi kreatif untuk merancang hidup di masa depan. Imajinasi kreatif merupakan daya manusia untuk mereka-reka hal yang belum ada, membayangkan hal ynag baru, dan menggambarkan hal dari dunia asing, dunia antah-berantah. Daya imajinasi kreatif dapat digunakan sekedar untuk berkhayal, melamun atau berfantasi, terbatas diangan-angan dan tetap diangan-angan dan tidak akan diwujudkan atau terwujud. Tetapi daya itu juga dapat digunakan untuk membayangkan sesuatu yang belum ada, sesuatu yang baru untuk diwujudkan. Kemampuan berimajinasi itu dapat digunakan untuk berkomunikasi intrapersonal guna mengubah diri dan hidup kita.

2.2.3 Konsep Diri

Konsep diri adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri mengenai diri sendiri yang terorganisir. Diri memberikan kerangka berfikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita sendiri, termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan dan banyak hal lainnya (Baron dan Byrne, 2005 : 165). Menurut Stuart dan Sundeen (1998) konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.

Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa Anda bersedia membuka diri, bagaimana kita mempersepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat (Rakhmat, 2005: 109). Untuk mengetahui seperti apa bentuk pengetahuan diri kita? Bagaimana keyakinan kita tentang diri kita dipresentasikan secara kognitif? diperlukan suatu konsep skema. Skema adalah struktur kognisi tentang beberapa konsep atau stimulus yang terorganisir. Selain punya skema tentang sifat orang lain dan kejadian, seseorang juga punya skema tentang dirinya sendiri. Self-schemas (skema diri) mendeskripsikan dimensi-dimensi diri Anda. Orang punya skema tentang dimensi yang penting bagi


(10)

mereka, sebagai dasar pemikiran dan keyakinan (Taylor, 2009: 131). Skema diri mungkin jauh lebih kompleks dan detail daripada yang dapat digali melalui pertanyaan tentang siapakah Anda. Hal ini terjadi atas dasar beberapa kemungkinan. Lebih dari sekedar kerangka berfikir, sebuah skema diri akan mencakup pengalaman masa lalu Anda, pengetahuan detail Anda tentang bagaimanakah Anda sekarang berbeda dengan Anda yang dulu, dan harapan Anda terhadap perubahan yang akan Anda lakukan di masa depan. Dengan kata lain skema diri adalah rangkuman dari semua yang dapat diingat oleh seseorang, pengetahuannya, dan imajinasinya tentang diri sendiri. Sebuah skema diri juga memainkan peran dalam memandu tingkah laku (Baron dan Byrne, 2005: 166).

Selain membahas tentang skema diri dalam menentukan seperti apa konsep diri kita, kita juga membutuhkan pemahaman yang konsisten tentang diri kita, hampir semua orang punya kebutuhan untuk melihat dirinya sebagai sosok yang konsisten. Diri kita tentu tidak akan berubah secara dramatis dari satu situasi ke situasi lainnya; kita perlu yakin bahwa kita punya kualitas intrinsik yang relatif stabil dari waktu ke waktu (Swann, 1983). Orang mencari tahu tentang situasi dan menginterpretasikan perilakunya dengan cara yang sesuai dengan konsep dirinya yang sudah ada, dan mereka mneghindari atau menolak situasi yang bertentangan dengan konsep diri yang sudah ada. Proses ini dinamakan self-verification (verifikasi diri) (Taylor dkk, 2009: 139).


(11)

2.2.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri antara lain (Rakhmat, 2005: 101):

1. Orang Lain

Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana Anda menilai diri saya, akan membentuk konsep diri saya. Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita.

2. Kelompok Rujukan (Reference Group)

Dalam pergaulan bermasyarakat, kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok: RT, Persatuan Bulutangkis, Ikatan Warga Bojongkaso, atau Ikatan sarjana Komunikasi. Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang yang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau Anda memilih kelompok rujukan Anda Ikatan Dokter Indonesia, Anda menjadikan norma-norma dalam ikatan ini sebagai ukuran perilaku Anda. Anda juga merasa diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap dengan seluruh sifat-sifat dokter menurut persepsi Anda.

Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan, lebih cenderung menghindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain. Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada


(12)

pesan apa Anda bersedia membuka diri, bagaimana kita mempersepsikan pesan itu, dan apa yang kita ingat (Rakhmat, 2005: 109).

Dalam komunikasi dengan orang lain, kita dan orang lain saling mempengaruhi. Orang lain dapat mempengaruhi hasil, proses, dan jalannya komunikasi. Tetapi pengaruh kunci ada pada diri kita yang mengadakan komunikasi dengan orang lain. Karena apa yang kita sampaikan, bagaimana kita mengemasnya, dan bagaimana kita menyampaikannya ditentukan oleh diri kita sendiri. Dari pihak kita, salah satu hal yang amat mempengaruhi komunikasi kita dengan orang lain dan berdampak pada keberhasilannya adalah konsep diri (self-concept) kita.

2.2.3.2 Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif

Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert dalam (Rakhmat, 2005:105) ada lima tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu:

1. Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri.

2. Bersikap respponsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapatkan penghargaan.

3. Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif

4. Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain.

5. Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang lain.

Sedangkan orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal yaitu dalam (Rakhmat, 2005:105):

1. Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi.

2. Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan


(13)

didapat dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain. 3. Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian atau

penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya.

4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.

5. Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.

Konsep diri adalah dari bagaimana kita melihat diri kita, merasai diri kita, yang menginginkan diri kita. Dalam konsep diri itu tercakup 3 hal yaitu (Hardjana, 2003: 96):

Pertama, gambaran diri (self-image) kita. Gambaran ini adalah gambaran yang kita bentuk dari pemikiran kita berdasarkan peran hidup yang kita pegang, watak, kemampuan dan kecakapan, dan lain-lain. Gambaran diri kita dapat positif dan negatif. Citra diri adalah sikap atau cara pandang seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan, tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart And Sundeen, 1998). Citra diri sering dikaitkan dengan karakteristik-karakteristik fisik termasuk didalamnya penampilan seseorang secara umum, ukuran tubuh, cara berpakaian, model rambut dan pemakaian kosmetik (Burns, 1993).

Kedua, penilaian diri (self-evaluation). Penilaian diri adalah penilaian atas „harga‟ kita. Jika kita menilai tinggi diri sendiri, maka kita akan mendapatkan harga diri (self-esteem) yang tinggi pula. Jika kita menilai rendah, maka kita akan mendapat harga diri yang rendah. Self-esteem merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi ( Stuart And Sundeen, 1998).


(14)

Ketiga, kita mempunyai cita-cita diri (self-ideal). Kita pasti mempunyai cita-cita ingin menjadi seseorang seperti yang kita inginkan di kemudian hari tanpa memperhatikan apakah kita mempunyai gambaran diri positif atau negatif dan harga diri yang tinggi atau rendah. Self-ideal adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan, atau penilaian personal tertentu. Standart tersebut dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi cita-cita, nilai-nilai yang ingin dicapai.

2.2.3.3 Aspek-Aspek Konsep Diri

Menurut Fitts dalam (Nashori, 2000: 31) menyatakan bahwa ada lima aspek kategori umum dalam konsep diri antara lain:

1. Konsep diri fisik, yaitu cara seseorang dalam memandang dirinya dari sudut pandang fisik, kesehatan, penampilan keluar dan gerak motoriknya. Konsep diri seseorang dianggap positif apabila ia memiliki pandangan yang positif terhadap kondisi fisiknya, penampilannya, kondisi kesehatannya, kulitnya, tampan atau cantiknya, serta ukuran tubuh yang ideal. Dianggap sebagai konsep diri yang negatif apabila ia memandang rendah atau memandang sebelah mata kondisi yang melekat pada fisiknya, penampilannya, kondisi kesehatannya, kulitnya, tampan atau cantiknya, serta ukuran tubuh yang ideal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Moreno Cervello (2005) membuktikan bahwa terdapat relevansi yang signifikan antara intensitas melakukan kegiatan – kegiatan yang bersifat fisik dengan tinggi rendahnya konsep diri fisik individu. Semakin sering individu melakukan kegiatan-kegiatan fisik seperti olahraga dan bekerja maka akan semakin tinggi pula konsep diri fisiknya, demikian pula sebaliknya.

2. Konsep diri pribadi, yaitu cara seseorang dalam menilai kemampuannya yang ada pada dirinya dan menggambarkan identitas dirinya. Konsep diri seseorang dapat dianggap positif apabila ia memandang dirinya sebagai pribadi yang penuh kebahagiaan, memiliki optimisme dalam menjalani hidup, mampu mengontrol diri sendiri dan sarat akan potensi. Dapat dianggap konsep diri yanga negatif apabila ia memandang dirinya sebagai individu yang tidak


(15)

pernah (jarang) merasakan kebahagiaan, pesimis dalam menjalani hidup, kurang memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri dan potensi diri yang tidak ditumbuhkembangkan secara optimal.

3. Konsep diri sosial, yaitu persepsi, pikiran, perasaan dan evaluasi seseorang terhadap kecenderungan sosial yang ada pada dirinya sendiri, berkaitan dengan kapasitasnya dalam berhubungan dengan dunia diluar dirinya, perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosialnya. Konsep diri dapat dianggap positif apabila ia merasa sebagai pribadi yang hangat, penuh keramahan, memiliki minat terhadap orang lain, memiliki sikap empati, supel, merasa diperhatikan, memiliki sikap tenggang rasa, peduli akan nasib orang lain, dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial dilingkungannya. Dapat dianggap konsep diri yang negatif apabila ia merasa tidak berminat dengan keberadaan orang lain, acuh tak acuh, tidak memiliki empati pada orang lain, tidak (kurang) ramah, kurang peduli terhadap perasaan dan nasib orang lain dan jarang atau bahkan tidak pernah melibatka diri dalam aktivitas – aktivitas sosial.

4. Konsep diri moral etik, konsep ini berarti pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian remaja terhadap moralitas diri sendiri. Konsep ini berkaitan dengan nilai dan prinsip yang berarti memberi arti dan arah bagi seseorang. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri moral etik positif apabila memandang dirinya sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai etik moral. Sebaliknya digolongkan memiliki konsep diri moral etik negatif apabila seseorang memandang dirinya sebagai orang yang menyimpang dari standar nilai moral yang seharusnya diikuti.

5. Konsep diri keluarga, konsep ini berarti pandangan, pikiran, penilaian dan pikiran remaja terhadap keluarganya sendiri. Konsep diri keluarga berkaitan dengan keberadaan diri seseorang dalam keluarga. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri keluarga positif apabila memandang dirinya mencintai dan dicintai keluarga, bahagia bersaam keluarga. Sebaliknya jika digolongkan memiliki konsep diri keluarga negatif jika seseorang memandang dirinya


(16)

sebagai orang yang tidak nyaman dalam situasi kekeluargaan, membenci keluarganya sendiri dan tidak pernah adanya dorongan dari keluarganya sendiri.

Konsep diri sangat berpengaruh pada komunikasi. Jika konsep diri positif, maka kita dibantu untuk dapat menjalin komunikasi dengan orang lain secara baik karena kita dapat berpikir, berperasaan, dan berperilaku wajar. Tetapi jika kita berkonsep diri negatif, maka hal itu dapat mengacaukan komunikasi kita dengan orang lain. Karena dengan konsep diri yang negatif, kita menjadi rendah diri, minder dan penakut. Orang yang berkonsep diri negatif tidak mampu merumuskan dan mengemas hal yang hendak dikomunikasikan denagn baik, tidak bisa menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang baik. Pesan yang tidak dikemas dan disampaikan dengan baik tentu sjaja tidak dapat sampai dengan baik, tidak dapat diterima dengan baik, dan tidak ditanggapi dengan baik pula (Hardjana, 2003: 96).

2.2.4 Self Disclosure Theory

Self Disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses pengungkapan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya (Bungin, 2008: 262). Pengungkapan diri atau keterbukaan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears dkk, 2006: 254). Percakapan adalah aspek penting dalam interaksi manusia. Ketika seseorang kawan mengungkapkan kisah sedihnya di masa lalu, maka kita secara emosional mungkin akan merasa dekat dengannya.

Terkadang kita mengungkapkan fakta tentang diri kita yang tersembunyi, apa pekerjaan kita, dimana kita tinggal, apa pilihan kita dalam pemilu. Ini disebut sebagai “pengungkapan deskriptif” karena mendeskripsikan beberapa hal tentang diri kita. Tipe pengungkapan diri lainnya adalah pengungkapan opini pribadi dan perasaan terdalam, perasaan kita pada orang lain, kesalahan kita, atau betapa bencinya kita pada pekerjaan kita. Ini dinamakan “pengungkapan evaluatif” karena berisi penilaian personal terhadap orang lain atau situasi. Kita membuka informasi kepada orang lain


(17)

karena berbagai alasan. Misalnya, kita mungkin mengatakan rahasia kita pada orang lain untuk menciptakan kedekatan hubungan. Berikut ini merupakan beberapa alasan utama dari pengungkapan diri (Taylor dkk, 2009: 334) :

1. Penerimaan sosial. Kita mengungkap informasi tentang diri kita guna meningkatkan penerimaan sosial dan agar kita disukai orang lain.

2. Pengembangan hubungan. Berbagi informasi pribadi dan keyakinan pribadi adalah salah satu cara untuk mengawali hubungan dan bergerak ke arah intimasi.

3. Ekspresi diri. Terkadang kita berbicara tentang perasaan kita untuk “melepaskan himpitan di dada”. Setelah bekerja keras seharian, kita mungkin ingin memberitahu kawan kita tentang betapa jengkelnya kita pada bos kita dan bagaimana kesalnya perasaan kita tak dihargai. Mengekspresikan perasaan dapat mengurangi stress.

4. Klarifikasi diri. Dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman pribadi kepada orang lain, kita mungkin mendapatkan pemahaman dan kesadaran yang lebih luas. Berbicara kepada kawan tentang problem kita mungkin bisa membantu kita menjelaskan pemikiran kita tentang situasi. Orang lain mungkin akan mengatakan adalah “wajar” atau mungkin mengatakan kita “terlalu berfikir yang bukan-bukan”. Pendengar akan memberi informasi yang berguna tentang realitas sosial.

5. Kontrol sosial. Kita mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang diri kita sebagai alat kontrol sosial misalnya, kita mungkin sengaja tidak berbicara tentang diri kita untuk melindungi privasi. Kita mungkin menekankan topik atau ide yang menciptakan kesan baik di mata pendengar. Dalam kasus ekstrem, orang mungkin sengaja berbohong untuk mengeksploitasi orang lain, seperti penipu yang mengaku-aku tentara padahal hanya buruh bangunan.

Pengungkapan diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Proses pengungkapan diri dilakukan


(18)

dalam dua bentuk; pertama, dilakukan secara tertutup, yaitu seseorang mengungkapkan informasi diri kepada orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi melalui ungkapan dan tindakan, dimana ungkapan dan tindakan itu merupakan sebuah keterbukaan tentang apa yang terjadi pada diri seseorang. Namun pengungkapan diri yang semacam ini jarang dipahami orang lain, kecuali orang lain yang mempunyai perhatian terhadap orang yang melakukan pengungkapan diri itu. Dalam teori-teori interaksi simbolis bahwa semua tindakan, perkataan, dan ungkapan-ungkapan seseorang memiliki makna interaksi tentang apa yang sedang dipikirkan. Jadi, tindakan adalah ekspresi dari apa yang ada dalam pikiran seseorang (Bungin, 2008: 263).

Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diir menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cenderung menghindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain. Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Johari Window. Dalam Johari Window diungkapkan tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran tentang diri kita. Berikut gambar Johari Window:

Gambar 2.1 Konsep Johari Window

Kita Ketahui Tidak Kita Ketahui

Publik

Privat

Terbuka Buta


(19)

Sumber: Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Kamar pertama disebut daerah terbuka (open area), meliputi perilaku dan motivasi yang kita ketahui dan diketahui orang lain. Pada daerah inilah kita sering melakukan pengelolaan pesan yang sudah kita bicarakan. Kita berusaha menampilkan diri kita dalam bentuk topeng. Gejolak hati Anda, kejengkelan Anda pada dia, diri yang Anda tutup-tutupi, adalah daerah tersembunyi (hidden area). Seringkali diri kita menggunakan topeng sehingga kita sendiri tidak menyadarinya tetapi sebaliknya orang lain mengetahuinya, ini termasuk daerah buta (blind area). Tentu ada diri kita yang sebenarnya, yang hanya Allah yang tahu, ini adalah daerah tidak dikenal (unknown area). Makin luas diri publik kita, makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan orang lain. Untuk komunikasi interpersonal yang efektif terjadi pada daerah publik. Makin baik Anda mengetahui seseorang, makin akrab hubungan Anda dengan dia, makin lebar daerah terbuka jendela Anda (Rakhmat, 2007: 108).

2.2.5 Cadar

Pengertian cadar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kain penutup kepala atau muka (http://kbbi.web.id/cadar (diakses pada hari senin, 26 Januari 2015 pukul 15.12 wib)). Cadar dalam bahasa arab disebut niqab, yang berarti pakaian wanita yang menutup wajah. Cadar merupakan versi lanjutan dari jilbab, penggunaan cadar menambahkan penutup wajah sehingga hanya terlihat mata mereka saja, bahkan telapak tangan dan kaki harus ditutupi. Penggunaan cadar selalu diidentikkan dengan wanita muslim. Padanan kata untuk cadar sangat beraneka ragam, antara lain: hijab, niqab, burqah atau purdah. Intinya ialah selembar kain tipis yang menutupi wajah wanita, saat dirinya berada di luar rumah (Waskito, 2009).

Sejarah telah menyimpan begitu banyak catatan tentang diskriminasi jilbab diseluruh pelosok dunia. Terlebih di Barat, jilbab seolah menjadi monster mengerikan yang harus dienyahkan dari kehidupan sosial, budaya ataupun politik. Sehingga tak heran, pembatasan dan pelarangan terhadap jilbab dituangkan dalam ranah peraturan perundang-undangan negara. Atas pemikiran Geert Wilders, anggota parlemen sayap


(20)

kanan di Belanda, peraturan yang melarang pemakaian burqa atau cadar secara nasional di seluruh wilayah Belanda ditetapkan pada Desember 2006. Larangan pemakaian jilbab meluas di Jerman, 8 dari 16 negara bagian di negeri menerapkan larangan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum Jerman. Larangan memakai jilbab juga berlaku di negara Swedia, Belgia dan Spanyol. Bahkan, larangan terhadap busana yang memuliakan kaum muslimah tidak hanya terjadi di negara-negara Barat saja. Republik Tunisia, sebuah negara Arab Muslim yang terletak di Afrika Utara, tepatnya di pesisir Laut Tengah memiliki sejarah panjang dalam mendiskreditkan jilbab. Dalam perkembangannya, pada tahun 2006, pemerintah Tunisia tidak hanya melarang murid-murid perempuan dan mahasiswinya memakain jilbab di sekolah dan di kampus, tapi juga mengsayamkan perempuan berjilbab masuk dan dirawat di rumah sakit negara, melarang ibu-ibu hamil melahirkan anaknya di rumah sakit negara lantaran berilbab, bahkan pada September 2006, pemerintah Tunisia menggelar sebuah operasi pengamanan dengan mengobrakpabrik berbagai toko yang didalamnya menjual boneka berjilbab (Ratri, Lintang. 2011. Cadar, Media dan Identitas Perempuan Muslim.http:///Ejournal,undip.ac.id. Jurnal Universitas Diponegoro. Volume 39 no 02. (diakses pada hari jumat, 03 Juli 2015, pukul 21.11).

Indonesia sendiri termasuk salah satu negara muslim terbesar di dunia, namun demikian fenomena berjilbab dan bercadar baru mulai mendapatkan perhatian masyarakat beberapa tahun terakhir. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah orde baru yang sempat melarang penggunaan jilbab di sekolah maupun di ruang kerja. Pasca reformasi jilbab mulai mendapatkan kebebasannya sebagai identitas perempuan muslim, meskipun masih ada kontroversi mengenai pemaknaan penggunaan jilbab. Cadar merupakan versi lanjutan dari penggunaan jilbab, dalam studi tafsir Islam sendiri dalil-dalil yang mengatur mengenai wajib atau tidaknya penggunaan cadar masih diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti, penggunaan cadar membawa konsekuensi penolakan lebih besar dari jilbab. Selain persoalan stigma yang dilekatkan pada perempuan bercadar yakni aliran Islam fundamental, fanatik, garis keras yang erat juga kaitannya dengan terorisme. Dari perkembangan budaya, jilbab memiliki potensi diterima oleh sebagian masyarakat, sayangnya tidak demikian


(21)

dengan cadar. Apalagi paska aksi terorisme, perempuan bercadar serta merta memiliki keterbatasan baru, tidak hanya harus menerima kodrat sebagai perempuan, bentuk diskriminasi baru, baik eksplisit maupun implisit menjadi hal yang tak terelakkan, artinya perempuan bercadar mengalami diskriminasi ganda (Ratri, Lintang. 2011. Cadar, Media dan Identitas Perempuan Muslim.http:///Ejournal,undip.ac.id. Jurnal Universitas Diponegoro. Volume 39 no 02. (diakses pada hari jumat, 03 Juli 2015, pukul 21.11). Penggunaan cadar sendiri dimaknai dengan berbagai alasan, namun pada dasarnya bercadar dipilih wanita muslimah sebagai bentuk ketakwaan seorang muslimah dengan menggunakan pakaian yang paling baik dimata sang Pencipta. Penggunaan cadar memiliki perspektif yang berbeda bagi setiap ulama maupun seorang muslimah, sebagian ulama menganggap penggunaan cadar itu wajib bagi wanita muslimah dan sebagian lagi menganggap sunnah untuk digunakan. Hal itu tergantung dari dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama. Dengan begitu alasan wanita muslimah menggunakan cadar juga beragam, mulai dari kewajiban, keinginan pribadi, ketentuan dari sekolah atau kampus dan terhindar dari fitnah.


(1)

sebagai orang yang tidak nyaman dalam situasi kekeluargaan, membenci keluarganya sendiri dan tidak pernah adanya dorongan dari keluarganya sendiri.

Konsep diri sangat berpengaruh pada komunikasi. Jika konsep diri positif, maka kita dibantu untuk dapat menjalin komunikasi dengan orang lain secara baik karena kita dapat berpikir, berperasaan, dan berperilaku wajar. Tetapi jika kita berkonsep diri negatif, maka hal itu dapat mengacaukan komunikasi kita dengan orang lain. Karena dengan konsep diri yang negatif, kita menjadi rendah diri, minder dan penakut. Orang yang berkonsep diri negatif tidak mampu merumuskan dan mengemas hal yang hendak dikomunikasikan denagn baik, tidak bisa menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang baik. Pesan yang tidak dikemas dan disampaikan dengan baik tentu sjaja tidak dapat sampai dengan baik, tidak dapat diterima dengan baik, dan tidak ditanggapi dengan baik pula (Hardjana, 2003: 96).

2.2.4 Self Disclosure Theory

Self Disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses pengungkapan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya (Bungin, 2008: 262). Pengungkapan diri atau keterbukaan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears dkk, 2006: 254). Percakapan adalah aspek penting dalam interaksi manusia. Ketika seseorang kawan mengungkapkan kisah sedihnya di masa lalu, maka kita secara emosional mungkin akan merasa dekat dengannya.

Terkadang kita mengungkapkan fakta tentang diri kita yang tersembunyi, apa pekerjaan kita, dimana kita tinggal, apa pilihan kita dalam pemilu. Ini disebut sebagai “pengungkapan deskriptif” karena mendeskripsikan beberapa hal tentang diri kita. Tipe pengungkapan diri lainnya adalah pengungkapan opini pribadi dan perasaan terdalam, perasaan kita pada orang lain, kesalahan kita, atau betapa bencinya kita pada pekerjaan kita. Ini dinamakan “pengungkapan evaluatif” karena berisi penilaian personal terhadap orang lain atau situasi. Kita membuka informasi kepada orang lain


(2)

karena berbagai alasan. Misalnya, kita mungkin mengatakan rahasia kita pada orang lain untuk menciptakan kedekatan hubungan. Berikut ini merupakan beberapa alasan utama dari pengungkapan diri (Taylor dkk, 2009: 334) :

1. Penerimaan sosial. Kita mengungkap informasi tentang diri kita guna meningkatkan penerimaan sosial dan agar kita disukai orang lain.

2. Pengembangan hubungan. Berbagi informasi pribadi dan keyakinan pribadi adalah salah satu cara untuk mengawali hubungan dan bergerak ke arah intimasi.

3. Ekspresi diri. Terkadang kita berbicara tentang perasaan kita untuk “melepaskan himpitan di dada”. Setelah bekerja keras seharian, kita mungkin ingin memberitahu kawan kita tentang betapa jengkelnya kita pada bos kita dan bagaimana kesalnya perasaan kita tak dihargai. Mengekspresikan perasaan dapat mengurangi stress.

4. Klarifikasi diri. Dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman pribadi kepada orang lain, kita mungkin mendapatkan pemahaman dan kesadaran yang lebih luas. Berbicara kepada kawan tentang problem kita mungkin bisa membantu kita menjelaskan pemikiran kita tentang situasi. Orang lain mungkin akan mengatakan adalah “wajar” atau mungkin mengatakan kita “terlalu berfikir yang bukan-bukan”. Pendengar akan memberi informasi yang berguna tentang realitas sosial.

5. Kontrol sosial. Kita mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang diri kita sebagai alat kontrol sosial misalnya, kita mungkin sengaja tidak berbicara tentang diri kita untuk melindungi privasi. Kita mungkin menekankan topik atau ide yang menciptakan kesan baik di mata pendengar. Dalam kasus ekstrem, orang mungkin sengaja berbohong untuk mengeksploitasi orang lain, seperti penipu yang mengaku-aku tentara padahal hanya buruh bangunan.

Pengungkapan diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Proses pengungkapan diri dilakukan


(3)

dalam dua bentuk; pertama, dilakukan secara tertutup, yaitu seseorang mengungkapkan informasi diri kepada orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi melalui ungkapan dan tindakan, dimana ungkapan dan tindakan itu merupakan sebuah keterbukaan tentang apa yang terjadi pada diri seseorang. Namun pengungkapan diri yang semacam ini jarang dipahami orang lain, kecuali orang lain yang mempunyai perhatian terhadap orang yang melakukan pengungkapan diri itu. Dalam teori-teori interaksi simbolis bahwa semua tindakan, perkataan, dan ungkapan-ungkapan seseorang memiliki makna interaksi tentang apa yang sedang dipikirkan. Jadi, tindakan adalah ekspresi dari apa yang ada dalam pikiran seseorang (Bungin, 2008: 263).

Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diir menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cenderung menghindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain. Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Johari Window. Dalam Johari Window diungkapkan tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran tentang diri kita. Berikut gambar Johari Window:

Gambar 2.1 Konsep Johari Window

Kita Ketahui Tidak Kita Ketahui

Publik

Privat

Terbuka Buta


(4)

Sumber: Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Kamar pertama disebut daerah terbuka (open area), meliputi perilaku dan motivasi yang kita ketahui dan diketahui orang lain. Pada daerah inilah kita sering melakukan pengelolaan pesan yang sudah kita bicarakan. Kita berusaha menampilkan diri kita dalam bentuk topeng. Gejolak hati Anda, kejengkelan Anda pada dia, diri yang Anda tutup-tutupi, adalah daerah tersembunyi (hidden area). Seringkali diri kita menggunakan topeng sehingga kita sendiri tidak menyadarinya tetapi sebaliknya orang lain mengetahuinya, ini termasuk daerah buta (blind area). Tentu ada diri kita yang sebenarnya, yang hanya Allah yang tahu, ini adalah daerah tidak dikenal (unknown area). Makin luas diri publik kita, makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan orang lain. Untuk komunikasi interpersonal yang efektif terjadi pada daerah publik. Makin baik Anda mengetahui seseorang, makin akrab hubungan Anda dengan dia, makin lebar daerah terbuka jendela Anda (Rakhmat, 2007: 108).

2.2.5 Cadar

Pengertian cadar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kain penutup kepala atau muka (http://kbbi.web.id/cadar (diakses pada hari senin, 26 Januari 2015 pukul 15.12 wib)). Cadar dalam bahasa arab disebut niqab, yang berarti pakaian wanita yang menutup wajah. Cadar merupakan versi lanjutan dari jilbab, penggunaan cadar menambahkan penutup wajah sehingga hanya terlihat mata mereka saja, bahkan telapak tangan dan kaki harus ditutupi. Penggunaan cadar selalu diidentikkan dengan wanita muslim. Padanan kata untuk cadar sangat beraneka ragam, antara lain: hijab, niqab, burqah atau purdah. Intinya ialah selembar kain tipis yang menutupi wajah wanita, saat dirinya berada di luar rumah (Waskito, 2009).

Sejarah telah menyimpan begitu banyak catatan tentang diskriminasi jilbab diseluruh pelosok dunia. Terlebih di Barat, jilbab seolah menjadi monster mengerikan yang harus dienyahkan dari kehidupan sosial, budaya ataupun politik. Sehingga tak heran, pembatasan dan pelarangan terhadap jilbab dituangkan dalam ranah peraturan perundang-undangan negara. Atas pemikiran Geert Wilders, anggota parlemen sayap


(5)

kanan di Belanda, peraturan yang melarang pemakaian burqa atau cadar secara nasional di seluruh wilayah Belanda ditetapkan pada Desember 2006. Larangan pemakaian jilbab meluas di Jerman, 8 dari 16 negara bagian di negeri menerapkan larangan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum Jerman. Larangan memakai jilbab juga berlaku di negara Swedia, Belgia dan Spanyol. Bahkan, larangan terhadap busana yang memuliakan kaum muslimah tidak hanya terjadi di negara-negara Barat saja. Republik Tunisia, sebuah negara Arab Muslim yang terletak di Afrika Utara, tepatnya di pesisir Laut Tengah memiliki sejarah panjang dalam mendiskreditkan jilbab. Dalam perkembangannya, pada tahun 2006, pemerintah Tunisia tidak hanya melarang murid-murid perempuan dan mahasiswinya memakain jilbab di sekolah dan di kampus, tapi juga mengsayamkan perempuan berjilbab masuk dan dirawat di rumah sakit negara, melarang ibu-ibu hamil melahirkan anaknya di rumah sakit negara lantaran berilbab, bahkan pada September 2006, pemerintah Tunisia menggelar sebuah operasi pengamanan dengan mengobrakpabrik berbagai toko yang didalamnya menjual boneka berjilbab (Ratri, Lintang. 2011. Cadar, Media dan Identitas Perempuan Muslim.http:///Ejournal,undip.ac.id. Jurnal Universitas Diponegoro. Volume 39 no 02. (diakses pada hari jumat, 03 Juli 2015, pukul 21.11).

Indonesia sendiri termasuk salah satu negara muslim terbesar di dunia, namun demikian fenomena berjilbab dan bercadar baru mulai mendapatkan perhatian masyarakat beberapa tahun terakhir. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah orde baru yang sempat melarang penggunaan jilbab di sekolah maupun di ruang kerja. Pasca reformasi jilbab mulai mendapatkan kebebasannya sebagai identitas perempuan muslim, meskipun masih ada kontroversi mengenai pemaknaan penggunaan jilbab. Cadar merupakan versi lanjutan dari penggunaan jilbab, dalam studi tafsir Islam sendiri dalil-dalil yang mengatur mengenai wajib atau tidaknya penggunaan cadar masih diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti, penggunaan cadar membawa konsekuensi penolakan lebih besar dari jilbab. Selain persoalan stigma yang dilekatkan pada perempuan bercadar yakni aliran Islam fundamental, fanatik, garis keras yang erat juga kaitannya dengan terorisme. Dari perkembangan budaya, jilbab memiliki potensi diterima oleh sebagian masyarakat, sayangnya tidak demikian


(6)

dengan cadar. Apalagi paska aksi terorisme, perempuan bercadar serta merta memiliki keterbatasan baru, tidak hanya harus menerima kodrat sebagai perempuan, bentuk diskriminasi baru, baik eksplisit maupun implisit menjadi hal yang tak terelakkan, artinya perempuan bercadar mengalami diskriminasi ganda (Ratri, Lintang. 2011. Cadar, Media dan Identitas Perempuan Muslim.http:///Ejournal,undip.ac.id. Jurnal Universitas Diponegoro. Volume 39 no 02. (diakses pada hari jumat, 03 Juli 2015, pukul 21.11). Penggunaan cadar sendiri dimaknai dengan berbagai alasan, namun pada dasarnya bercadar dipilih wanita muslimah sebagai bentuk ketakwaan seorang muslimah dengan menggunakan pakaian yang paling baik dimata sang Pencipta. Penggunaan cadar memiliki perspektif yang berbeda bagi setiap ulama maupun seorang muslimah, sebagian ulama menganggap penggunaan cadar itu wajib bagi wanita muslimah dan sebagian lagi menganggap sunnah untuk digunakan. Hal itu tergantung dari dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama. Dengan begitu alasan wanita muslimah menggunakan cadar juga beragam, mulai dari kewajiban, keinginan pribadi, ketentuan dari sekolah atau kampus dan terhindar dari fitnah.


Dokumen yang terkait

Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri Mahasiswi STAI As-Sunnah Tanjung Morawa)

16 111 210

Konsep Diri Mahasiswi yang Menikah Muda (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Konsep Diri dengan Komunikasi Antarpribadi pada Mahasiswi Setelah Menikah Usia Muda di Kota Medan)

5 37 248

KONSEP DIRI PENGGUNA AKTIF JEJARING SOSIAL PATH KONSEP DIRI PENGGUNA AKTIF JEJARING SOSIAL PATH (Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Konsep Diri Siswa SMA Santo Bellarminus Bekasi Sebagai Pengguna Aktif Jejaring Sosial Path).

0 3 14

KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN DIRI MANTAN PENGGUNA NAPZA Konsep Diri dan Penyesuaian Diri Mantan Pengguna Napza.

0 0 16

Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri Mahasiswi STAI As-Sunnah Tanjung Morawa)

0 0 15

Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri Mahasiswi STAI As-Sunnah Tanjung Morawa)

0 0 2

Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri Mahasiswi STAI As-Sunnah Tanjung Morawa)

0 1 10

Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri Mahasiswi STAI As-Sunnah Tanjung Morawa)

0 0 2

Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Intrapersonal Pengguna Cadar dan Konsep Diri Mahasiswi STAI As-Sunnah Tanjung Morawa)

1 2 65

Komunikasi Interpersonal dan Konsep Diri Pengguna Sabu (Studi Kasus di Medan Denai)

0 0 28