Pengaruh Komponen Fisik Rumah Susun, Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa di Kota Medan Tahun 2015

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Saat ini penduduk dunia yang tinggal di perkotaan bertambah banyak. Pada
tahun 2008 dilaporkan ada separuh penduduk dunia tinggal diperkotaan. Proses
urbanisasi tidak hanya mengakibatkan pertambahan penduduk kota, akan tetapi
mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin di kota dan perluasan pemukiman
kumuh kota. Berdasarkan data keadaan penduduk dunia, dilaporkan bahwa pada
tahun 2010 ada 505 juta penduduk pemukiman kumuh di dunia, separuh dari itu ada
di daerah Asia Pasifik. Daerah pemukiman kumuh menjadi perhatian global dan
menjadi salah satu komponen

MDG, yaitu menunjukkan peningkatan 100 juta

penduduk pemukiman kumuh tahun 2020 (Surjadi, 2012).
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa jumlah
penduduk


Indonesia berdasarkan sensus penduduk terakhir tahun 2010 adalah

237.641.326 dengan penyebaran yang kurang merata. Jumlah penduduk meningkat di
pulau Sumatera adalah Provinsi Sumatera Utara 12.982.204, di Pulau Jawa adalah
Jawa Barat 43.053.732, Jawa Tengah 32.382.657 dan jawa Timur 37.476.757.
Kondisi ini terus meningkat dari tahun ketahun ditandai dengan hasil proyeksi dari
BPS pada tahun 2020 sebesar 255461,70.
Berdasarkan hal kepemilikan rumah, jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2013 yang memiliki rumah sendiri adalah 79,47%, khususnya di Medan daerah

1
Universitas Sumatera Utara

2

pedesaan sebesar 74,79% dan diperkotaan 60,07%. Beberapa dasawarsa terakhir telah
dilakukan beberapa program untuk meningkatkan kepemilikan rumah sehat di
Indonesia, antara lain dengan memberikan bantuan guna pembangunan rumah sehat
sederhana dan beberapa tahun terakhir digalakkan pembangunan rumah susun sewa
sederhana sehat.

Berdasarkan data Kemenpera, perkembangan pembangunan perumahan
selama tahun 1993-1998 realisasi rumah sehat sederhana (RSH) sebanyak 680.000
unit untuk 138 keluarga pertahunnya. Sedangkan selama tahun 2000-2004 perumahan
RSH yang terealisasi sekitar 250.000 unit atau rata-rata 50.000 unit pertahunnya.
Selama tahun 2012, Kementerian Perumahan Rakyat telah membangun
Rusunawa sebanyak 126 Twin Block (TB). Pencapaian jumlah rusunawa terbangun
selama periode 2010 s.d 2012 adalah sebanyak 175 TB. Rusunawa tersebut
diperuntukan bagi para pekerja/buruh, TNI, POLRI, mahasiswa dan pondok
pesantren. Pembangunan Rusunawa ini telah meningkatkan jumlah MBR yang
menempati rumah layak huni yang dekat dengan tempat kerja/tempat belajar sehingga
dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, di samping mengurangi kemacetan dan
konsumsi BBM. Kepercayaan masyarakat juga bertambah atas usaha pemerintah
membangun rumah susun sewa di seluruh Indonesia (Kemenpera, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Murbaintoro (2009), diketahui
bahwa masyarakat Kota Depok memiliki potensi minat yang besar terhadap hunian
vertikal namun tingkat keterjangkauan terutama MBR masih sangat rendah. Untuk
meningkatkan keterjangkauan masyarakat dalam memiliki hunian, maka peran

Universitas Sumatera Utara


3

pemerintah sangat diperlukan terutama dalam pemberian bantuan dan insentif
kepemilikan hunian.
Rumah merupakan lingkungan yang paling erat kaitannya dengan kesehatan.
Berdasarkan penelitian Safitri dan Soedjajadi (2007), terdapat tiga variabel kesehatan
rumah yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita yaitu variabel
dinding, ventilasi, dan sarana pembuangan kotoran. Dari ketiga variabel tersebut,
variabel ventilasi rumah yang paling berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada anak
Balita dibandingkan

dengan dua variabel lainnya. Disisi lain berdasarkan hasil

penelitian Farich (2011) diketahui adanya hubungan lingkungan dan rumah sehat
dengan kejadian diare.
Skabies merupakan salah satu penyakit yang terkait dengan kualitas
lingkungan perumahan. Skabies banyak tersebar khususnya di negara-negara
berkembang. Di India dilaporkan insidentertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Di
Rumah Sakit Palang Merah Jepang 1,96% pasien rawat jalan merupakan pasien
skabies sejumlah 496 pasien, dengan rasio jenis kelamin adalah 1,33 (laki-laki): 1

(perempuan) dengan distribusi usia tertinggi pada anak-anak (Zasshi, 2009). Skabies
mempengaruhi 300 juta orang diseluruh dunia sertiap tahunnya. Jumlah kasus skabies
tinggi di Fuji yaitu sebuah negara kepulauan di selatan samudra pasifik (Haar, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Iran yang dilakukan oleh dr. Jalayer
dari tahun 1996 – 2003 dari 2899 sampel diketahui pada tahun 1996 dilaporkan 25%
terkena skabies dan pada tahun 2002 ada 5.6% yang terkena skabies. Hasil penelitian

Universitas Sumatera Utara

4

menunjukkan penyakit skabies di pengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin,
kepadatan, cuaca dan usia reproduksi (Dehgani, 2009).
Prevalensi skabies di negara berkembang dilaporkan sebanyak 6-27% dari
populasi umum dan insidens tertinggi pada anak usia sekolah. Penyakit skabies
banyak terjadi di Indonesia karena Indonesia beriklim tropis, pada wilayah yang
beriklim tropis perkembangan parasit sangat mudah sehingga memperbesar risiko
terjadinya penyakit skabies (Soedarto, 2003).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi
penyakit skabies di seluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4,6 – 12,95 % dan

skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit (Kusnoputranto, 2000).
Berdasarkan pengumpulan data KSDAI tahun 2001 dari sembilan rumah sakit di kota
besar Indonesia, jumlah penderita skabies yang tertinggi ditemukan di Ibu kota
Jakarta sebanyak 335 kasus. Hal ini disebabkan Kota Jakarta memiliki jumlah
penduduk terbanyak sebagai salah satu faktor pendukung perkembangan skabies
(Boediardja, 2003).
Data gambaran sepuluh (10) penyakit terbanyak pada penderita rawat jalan di
Rumah Sakit Umum di Indonesia yang diperoleh dari Ditjen Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan tahun 2004, ditemukan jumlah kasus penyakit kulit dan
jaringan subkutan lainnya sebesar 419.724 kasus atau dengan prevalensi sebesar
2,9%, 501.280 kasus pada tahun 2005 dengan prevalensi 3,16%, dan pada tahun 2006
ditemukan sebanyak 403.270 kasus dengan prevalensi 3,91% (Profil Kesehatan
Indonesia 2004-2006).

Universitas Sumatera Utara

5

Penelitian Gloria (2013) diketahui bahwa ada pengarauh antara personal
hygiene (kebersihan kulit, kebersihan tangan, kebersihan kaki, kebersihan pakaian

dan kebersihan handuk) dan sanitasi lingkungan (ketersediaan air bersih, kebersihan
tempat tidur, kebersihan kamar tidur, pencahayaan, kelembaban, ventilasi, dan
kepadatan penghuni kamar) terhadap terjadinya penyakit scabies.
Pada pelaksanaan program rumah susun di kota Medan mengalami beberapa
hambatan. Berdasarkan studi yang telah dilakukan sebelumnya pada Kajian Sistem
Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Berdasarkan Aspek Teknis
Bangunan Dan Kesehatan Di Kota Medan (2013), diketahui bahwa kondisi rumah
susun dalam keadaan buruk. Menyangkut sanitasi, kondisi fisik rumah, air bersih dan
pengelolaan sampah. Keluhan kesehatan yang banyak dirasakan adalah gatal-gatal.
Hasil survey pendahuluan yang dilakukan di Rusunawa Wisma Labuhan dan Amplas
ditemuakan adanya penghuni yang menderita scabies.

1.2. Permasalahan
Rumah susun merupakan salah satu program yang dilakukan pemerintah
untuk mengatasi masalah pemukiman kumuh. Program rumah susun diharapkan agar
masyarakat dapat hidup sejahtera dan sehat. Sehat merupakan kondisi yang akan
tercapai jika kondisi lingkungan sehat khususnya berkaitan dengat beberapa penyakit
berbasis lingkungan. Kondisi rumah yang kumuh dengan situasi udara ruang lembab
menyebabkan ruang hunian pengap, kurangnya sinar matahari yang masuk
menyebabkan suhu ruangan yang rendah dan sanitasi lingkungan buruk disertai


Universitas Sumatera Utara

6

perilaku penghuni yang tidak baik dapat menyebabkan penyakit yang berkaitan
dengan infeksi bakteri, virus, dan jenis arthropoda . Bakteri, virus, dan jenis
arthropoda sangat cepat hidup dan berkembang dalam kondisi yang kumuh tersebut.

Skabies merupakan salah satu arthropoda yang menyebabkan penyakit kulit yang
terjadi karena terinfeksi oleh Sarcoptis skabei. Arthropoda ini hidup nyaman dan
berkembang di kondisi rumah yang kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat,
sanitasi lingkungan buruk dan perilaku individu yang tidak higyne. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian pengaruh kondisi fisik rumah, sanitasi lingkungan dan
perilaku penghuni terhadap kejadian skabies.

1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kondisi fisik rumah susun sederhana sewa.
2. Untuk mengetahui sanitasi lingkungan rumah susun sederhana sewa.
3. Untuk mengetahui perilaku penghuni rumah susun sederhana sewa.

4. Untuk mengetahui kejadian skabies di rumah susun sederhana sewa.
5. Untuk mengetahui pengaruh kondisi fisik rumah, sanitasi lingkungan, perilaku
penghuni terhadap kejadian skabies.

1.4. Hipotesis
Ha : Ada pengaruh kondisi fisik rumah susun terhadap kejadian skabies.
Ha: Adapengaruh sanitasi lingkungan rumah susun terhadap kejadian skabies.
Ha: Adapengaruh perilaku penghuni rumah susun terhadap kejadian skabies.

Universitas Sumatera Utara

7

1.5. Manfaat Penelitian
1. Menjadi bahan masukan untuk perencanaan program rumah susun sederhana
sewa berikutnya.
2. Bahan pertimbangan untuk melaksanakan perbaikan di rumah susun sederhana
sewa.
3. Mengetahui


besarnya

pengaruh

lingkungan

rumah

terhadap

kesehatan

penghuninya.
4. Sebagai bahan masukan terhadap instansi terkait untuk melakukan kerja sama
dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan rumah susun sederhana
sewa.

Universitas Sumatera Utara