Pengaruh Komponen Fisik Rumah Susun, Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa di Kota Medan Tahun 2015

(1)

PENGARUH KOMPONEN FISIK RUMAH SUSUN, SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT SKABIES

DI RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DI KOTA MEDAN TAHUN 2015

TESIS

Oleh

DIAN AKHFIANA FITRI LUBIS 137032016/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH KOMPONEN FISIK RUMAH SUSUN, SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT SKABIES

DI RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DI KOTA MEDAN TAHUN 2015

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN AKHFIANA FITRI LUBIS 137032016/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

THE INFLUENCE OF PHYSICAL COMPONENTS OF HIGH-RISES, ENVIRONMENTAL SANITATION, AND BEHAVIOR ON THE

INCIDENCE OF SCABIES AT THE RENTED HIGH-RISES IN MEDAN, IN 2015

THESIS

By

DIAN AKHFIANA FITRI LUBIS 137032016/IKM

MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

JudulTesis : PENGARUH KOMPONEN FISIK RUMAH, SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT SKABIES DI RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DI KOTA

MEDAN TAHUN 2015 Nama Mahasiswa : Dian Akhfiana Fitri Lubis Nomor Induk Mahasiswa : 137032016

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (Ir.Indra Chahaya S, M.Si)

Ketua Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 25 Mei 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Ir. Indra Chahaya, M.Si

2. drh. Hiswani, M.Kes 3. dr. Taufik Ashar, M.K.M


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMPONEN FISIK RUMAH SUSUN, SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT SKABIES

DI RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DI KOTA MEDAN TAHUN 2015

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Mei 2015

(Dian Akhfiana Fitri Lubis) 137032016/IKM


(7)

ABSTRAK

Pembangunan Rumah susun sederhana sewa pada awalnya bertujuan untuk mengurangi kawasan kumuh namun berubah menjadi daerah kumuh baru. Skabies dapat menular melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan yang kumuh dan perilaku yang tidak bersih dan tidak sehat meningkatkan resiko penyakit skabies di Rusunawa.

Metode penelitian adalah survei analitik observasional dengan desain case control. Populasi penelitian adalah seluruh penghuni Rusunawa Wisma Labuhan dan Amplas. Sampel sebanyak 100 penghuni yang terdiri dari 50 kasus dan 50 kontrol. Analisis data bivariat dengan uji Chi-square dan multivariat dengan regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berhubungan adalah pencahayaan, kepadatan hunian, kelembaban, dan perilaku kebersihan diri, sedangkan yang paling berpengaruh adalah kelembaban.

Disarankan kepada penghuni untuk menaati peraturan di rusunawa, bagi pengelola untuk meningkatkan pengawasan terhadap penghuni dan bagi Dinas Perumahan dan Pemukiman untuk memperbaiki fisik bangunan rusunawa dan bekerjasama dengan Dinas kesehatan untuk meningkatkan kebersihan diri penghuni. Kata Kunci: Rusunawa, Skabies, Fisik, Sanitasi, Perilaku.


(8)

ABSTRACT

The construction of Rusunwa (rented high-rises) was initially intended to reduce slum areas, but the fact was that they became new slum areas. Scabies can spread through direct and indirect contacts. Filthy environment and unclean and unhealthy behavior can increase the risk for being transmitted by scabies in Rusunwa.

The objective of the research was to analyze the influence of home physical

components, environmental sanitation, and the residents’ behavior on the incidence

of scabies at Rusunwa, Medan. The research was an observational analytic survey with case control design. The population was all residents of the Rusunwa Wisma Labuhan and Amplas. The samples were 100 respondents that were divided into 50 respondents in case group and the other 50 respondents in the control group. The data were analyzed by using chi square test and multivatriate analysis with logistic regression analysis.

The result of the research showed that the variables which were correlated with the incidence of scabies were lighting, density of the family members, moisture, and hygienic behavior. The variable of moisture had the most dominant influence on

the incidence of scabies at Exp (β) = 8.682.

It is suggested to the residents to obey the rules in rusunawa, the management of Rusunwa increase the supervision on the residents and for housing and settlement Department enhancing physical rusunawa building and collaboration with the Department of Health to improve personal hygiene occupants.


(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang tidak pernah berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayang-NYA dan shalawat kepada Rasulullah SAW. Adapun judul Tesis penulis berjudul “Pengaruh Komponen Fisik Rumah Susun, Sanitasi Lingkungan Dan Perilaku Terhadap Kejadian Penyakit Skabies Di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015”.

Dalam Penulisan Tesis ini, Penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan penulis sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.

Selama penulisan Tesis ini penulis telah banyak mendapat bantuan moril dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H dan Ir. Indra Chahaya S, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penulisan Tesis ini, yang telah meluangkan waktunya dengan keikhlasan hati untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

Selanjutnya tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada : 1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M,Sc (CTM), Sp.A.(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

3. Ir. Evi Naria, M.Kes, Selaku kepala Bagian Departemen Kesehatan Lingkungan di FKM-USU beserta Staf bagian kesehatan lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H dan Ir. Indra Chahaya S, M.Si, Selaku Dosen Pembimbing I dan II penulis

5. drh. Hiswani, M.Kes dan dr. Taufik Ashar, MKM selaku dosen penguji penulis. 6. Ucapan terima kasih kepada Ayahanda, Drs. Nurman Lubis dan Ibunda tercinta

Dra. Jahrona Sinaga yang selalu memotivasi penulis. Adik penulis, Dwi Khalisah Nur Lubis dan Dinda Hartami Lubis yang selalu menyemangati penulis serta teristimewa kepada suami, Ali Syahbana Sitompul yang telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis.

Akhir kata semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dan penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat.

Medan, Mei 2015


(11)

RIWAYAT HIDUP

Dian Akhfiana Fitri Lubis, lahir pada tanggal 17 Mei 1989 di Medan, anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Nurman Lubis dan Ibunda Jahrona Sinaga.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Sekolah dasar 142431 Kota Padangsidimpuan selesai pada tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Padangsidimpuan selesai pada tahun 2004, Sekolah Menengah Atas selesai pada tahun 2007, melanjutkan pendidikan D-3 di Politeknik Kesehatan Medan Program Studi Kebidanan Padangsidimpuan selesai pada tahun 2010, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara selesai pada tahun 2013.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2013 dan menyelasaikan pendidikan tahun 2015.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Sakbies ... 8

2.1.1. Definisi Penyakit Skabies ... 8

2.1.2. Etiologi Penyakit Skabies ... 8

2.1.3. Pathogenesis Penyakit Skabies ... 9

2.1.4. Gejala Klinis Penyakit Skabies ... 10

2.1.5. Penularan Skabies ... 11

2.1.6. Bentuk-bentuk Skabies... 12

2.1.7. Pengobatan Penyakit Skabies ... 14

2.1.8. Pencegahan Penyakit Skabies ... 16

2.2. Perumahan ... 18

2.2.1. Rumah Sehat ... 18

2.2.2. Komponen Fisik Rumah ... 25

2.2.2.1. Bahan Bangunan ... 25

2.2.2.2. Ventilasi ... 26

2.2.2.3. Cahaya ... 27

2.2.2.4. Kelembaban ... 27

2.2.2.5. Kepadatan Penghuni ... 28

2.2.3. Sanitasi Lingkungan ... 28

2.2.3.1 Penyediaan Air Bersih ... 28


(13)

2.2.3.1.2. Karakteristik Kimia Air ... 29

2.2.3.1.3. Sumber-Sumber Air ... 32

2.2.3.1.4. Peranan Air ... 32

2.2.3.1.5. Standar Kualitas Air ... 34

2.2.3.2. Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) ... 35

2.3. Rumah Susun ... 37

2.4. Perilaku dalam Perumahan ... 43

2.5. Kerangka Teori... 52

2.6. Kerangka Konsep ... 55

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 56

3.1. Jenis Penelitian ... 56

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 56

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 56

3.2.2. Waktu Penelitian ... 57

3.3. Populasi dan Sampel ... 57

3.3.1. Populasi ... 58

3.3.2. Sampel ... 58

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 60

3.4.1. Data Primer ... 61

3.4.2. Data Sekunder ... 61

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 61

3.6. Metode Pengukuran ... 63

3.6.1. Metode Pengukuran variabel Independen ... 63

3.6.2. Metode Pengukuran variabel Dependen ... 68

3.7. Metode Analisis Data ... 68

3.7.1. Analisis Univariat ... 68

3.7.2. Analisis Bivariat ... 69

3.7.3. Analisis Multivariat ... 69

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 70

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 70

4.1.1. Rumah Susun Sederhana Sewa Wisma Labuhan ... 70

4.1.2. Rumah Susun Sederhana Sewa Amplas ... 71

4.2. Analisa univariat ... 72

4.2.1. Distribusi Karakteristik Responden Pada Pengaruh Komponen Fisik Rumah, Sanitasi Lingkungan, dan Perilaku terhadap Penyakit Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Kota Medan... 73

4.2.2. Distribusi Hasil Kuesioner Perilaku Penghuni di Rumah Susun Sederhana Sewa Kota Medan ... 76


(14)

4.3.1. Pengaruh Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian

Skabies ... 80

4.3.2. Pengaruh Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Skabies ... 84

4.3.3. Pengaruh Perilaku Penghuni terhadap Kejadian Skabies ... 85

4.4. Analisis Multivariat ... 86

4.4.1. Seleksi Bivariat ... 86

4.4.2. Pemodelan Multivariat ... 87

4.4.3. Populatian Attribut Risk (PAR) ... 90

BAB 5. PEMBAHASAN ... 91

5.1. Pengaruh Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian Skabies 91 5.1.1. Pengaruh Dinding Sebagai Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian Skabies ... 91

5.1.2. Pengaruh Jendela Sebagai Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian Skabies ... 92

5.1.3. Pengaruh Ventilasi Sebagai Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian Skabies ... 93

5.1.4. Pengaruh Pencahayaan Sebagai Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian Skabies... 94

5.1.5. Pengaruh Kepadatan Hunian Sebagai Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian Skabies... 95

5.1.6. Pengaruh Kelembaban Sebagai Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian Skabies... 97

5.1.7. Pengaruh Suhu Sebagai Komponen Fisik Rumah terhadap Kejadian Skabies ... 99

5.2. Pengaruh Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Skabies ... 100

5.2.1. Pengaruh Air Sebagai Komponen Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Skabies ... 101

5.2.2. Pengaruh Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) Sebagai Komponen Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Skabies ... 102

5.3. Pengaruh Perilaku Terhadap Kejadian Skabies ... 104

5.3.1. Pengaruh Perilaku Kebersihan Diri terhadap Kejadian Skabies ... 104

5.3.2 Pengaruh Perilaku Kebersihan Lingkungan terhadap Kejadian Skabies ... 106

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

6.1. Kesimpulan ... 109


(15)

DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN ... 117


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Interval Usia antara Kasus dan Kontrol ... 61 3.2. Frekuensi Jumlah Sampel Tiap Rusunawa ... 63 3.3. Pengukuran Variabel Independen ... 67 4.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Responden Pengaruh

Komponen Fisik Rumah, Sanitasi Lingkungan dan Perilaku terhadap Penyakit Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 74 4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Perilaku Kebersihan Diri Penghuni

dalam Pengaruh Komponen Fisik Rumah, Sanitasi Lingkungan dan Perilaku terhadap Penyakit Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 76 4.3. Distribusi Frekuensi Jawaban Perilaku Kebersihan Lingkungan dalam

Pengaruh Komponen Fisik Rumah, Sanitasi Lingkungan dan Perilaku terhadap Penyakit Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 79 4.4. Pengaruh Komponen Fisik Rumah Terhadap Kejadian Skabies Pada

Pengaruh Komponen Fisik Rumah, Sanitasi Lingkungan, dan Perilaku Terhadap Kejadian Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 81 4.5. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Terhadap Kejadian Skabies Pada

Pengaruh Komponen Fisik Rumah, Sanitasi Lingkungan, dan Perilaku Terhadap Kejadian Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 84 4.6. Pengaruh Perilaku Penghuni Terhadap Kejadian Skabies Pada Pengaruh

Komponen Fisik Rumah, Sanitasi Lingkungan, dan Perilaku Terhadap Kejadian Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 85 4.7. Hasil Analisis Variabel yang Masuk Dalam Uji Regresi Logistik

Berganda Faktor Resiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 86


(17)

4.8. Langkah Pertama Regresi Logistik Pengaruh Komponen Fisik Rumah, Sanitasi Lingkungan, dan Perilaku Terhadap Kejadian Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 88 4.9. Langkah Terakhir Regresi Logistik Pengaruh Komponen Fisik Rumah,

Sanitasi Lingkungan, dan Perilaku Terhadap Kejadian Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa Di Kota Medan Tahun 2015 ... 88


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Teori ... 53

2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 55

2.3 Dokumentasi Rusunawa Amplas ... 172

2.4 Dokumentasi Pengelolaan Sanitasi Dasar Tidak Memenuhi Syarat ... 173

2.5 Dokumentasi Sumber, Kualitas Air Dan Wc Umum ... 174

2.6 Dokumentasi Kondisi Fisik Bangunan ... 175

2.7 Dokumentasi Penderita Skabies ... 176

2.8 Dokumentasi Kondisi Fisik Bangunan ... 177

2.9 Dokumentasi Pengelolaan Sanitasi Dasar Tdk Memenuhi Syarat Kesehatan ... 178

2.10 Dokumentasi Pemandangan Rusunawa Terlihat Kumuh ... 179

2.11 Dokumentasi Penderita Skabies Rusunawa Wisma Labuhan ... 180

2.12 Dokumentasi Peneliti, Dokter, Penderita Skabies ... 181


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 171

2 Lembar Pemeriksaan Pasien ... 122

3 Master Data ... 135

4 Output Penelitian ... 138


(20)

ABSTRAK

Pembangunan Rumah susun sederhana sewa pada awalnya bertujuan untuk mengurangi kawasan kumuh namun berubah menjadi daerah kumuh baru. Skabies dapat menular melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan yang kumuh dan perilaku yang tidak bersih dan tidak sehat meningkatkan resiko penyakit skabies di Rusunawa.

Metode penelitian adalah survei analitik observasional dengan desain case control. Populasi penelitian adalah seluruh penghuni Rusunawa Wisma Labuhan dan Amplas. Sampel sebanyak 100 penghuni yang terdiri dari 50 kasus dan 50 kontrol. Analisis data bivariat dengan uji Chi-square dan multivariat dengan regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berhubungan adalah pencahayaan, kepadatan hunian, kelembaban, dan perilaku kebersihan diri, sedangkan yang paling berpengaruh adalah kelembaban.

Disarankan kepada penghuni untuk menaati peraturan di rusunawa, bagi pengelola untuk meningkatkan pengawasan terhadap penghuni dan bagi Dinas Perumahan dan Pemukiman untuk memperbaiki fisik bangunan rusunawa dan bekerjasama dengan Dinas kesehatan untuk meningkatkan kebersihan diri penghuni. Kata Kunci: Rusunawa, Skabies, Fisik, Sanitasi, Perilaku.


(21)

ABSTRACT

The construction of Rusunwa (rented high-rises) was initially intended to reduce slum areas, but the fact was that they became new slum areas. Scabies can spread through direct and indirect contacts. Filthy environment and unclean and unhealthy behavior can increase the risk for being transmitted by scabies in Rusunwa.

The objective of the research was to analyze the influence of home physical

components, environmental sanitation, and the residents’ behavior on the incidence

of scabies at Rusunwa, Medan. The research was an observational analytic survey with case control design. The population was all residents of the Rusunwa Wisma Labuhan and Amplas. The samples were 100 respondents that were divided into 50 respondents in case group and the other 50 respondents in the control group. The data were analyzed by using chi square test and multivatriate analysis with logistic regression analysis.

The result of the research showed that the variables which were correlated with the incidence of scabies were lighting, density of the family members, moisture, and hygienic behavior. The variable of moisture had the most dominant influence on

the incidence of scabies at Exp (β) = 8.682.

It is suggested to the residents to obey the rules in rusunawa, the management of Rusunwa increase the supervision on the residents and for housing and settlement Department enhancing physical rusunawa building and collaboration with the Department of Health to improve personal hygiene occupants.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Saat ini penduduk dunia yang tinggal di perkotaan bertambah banyak. Pada tahun 2008 dilaporkan ada separuh penduduk dunia tinggal diperkotaan. Proses urbanisasi tidak hanya mengakibatkan pertambahan penduduk kota, akan tetapi mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin di kota dan perluasan pemukiman kumuh kota. Berdasarkan data keadaan penduduk dunia, dilaporkan bahwa pada tahun 2010 ada 505 juta penduduk pemukiman kumuh di dunia, separuh dari itu ada di daerah Asia Pasifik. Daerah pemukiman kumuh menjadi perhatian global dan menjadi salah satu komponen MDG, yaitu menunjukkan peningkatan 100 juta penduduk pemukiman kumuh tahun 2020 (Surjadi, 2012).

Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk terakhir tahun 2010 adalah 237.641.326 dengan penyebaran yang kurang merata. Jumlah penduduk meningkat di pulau Sumatera adalah Provinsi Sumatera Utara 12.982.204, di Pulau Jawa adalah Jawa Barat 43.053.732, Jawa Tengah 32.382.657 dan jawa Timur 37.476.757. Kondisi ini terus meningkat dari tahun ketahun ditandai dengan hasil proyeksi dari BPS pada tahun 2020 sebesar 255461,70.

Berdasarkan hal kepemilikan rumah, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2013 yang memiliki rumah sendiri adalah 79,47%, khususnya di Medan daerah


(23)

pedesaan sebesar 74,79% dan diperkotaan 60,07%. Beberapa dasawarsa terakhir telah dilakukan beberapa program untuk meningkatkan kepemilikan rumah sehat di Indonesia, antara lain dengan memberikan bantuan guna pembangunan rumah sehat sederhana dan beberapa tahun terakhir digalakkan pembangunan rumah susun sewa sederhana sehat.

Berdasarkan data Kemenpera, perkembangan pembangunan perumahan selama tahun 1993-1998 realisasi rumah sehat sederhana (RSH) sebanyak 680.000 unit untuk 138 keluarga pertahunnya. Sedangkan selama tahun 2000-2004 perumahan RSH yang terealisasi sekitar 250.000 unit atau rata-rata 50.000 unit pertahunnya.

Selama tahun 2012, Kementerian Perumahan Rakyat telah membangun Rusunawa sebanyak 126 Twin Block (TB). Pencapaian jumlah rusunawa terbangun selama periode 2010 s.d 2012 adalah sebanyak 175 TB. Rusunawa tersebut diperuntukan bagi para pekerja/buruh, TNI, POLRI, mahasiswa dan pondok pesantren. Pembangunan Rusunawa ini telah meningkatkan jumlah MBR yang menempati rumah layak huni yang dekat dengan tempat kerja/tempat belajar sehingga dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, di samping mengurangi kemacetan dan konsumsi BBM. Kepercayaan masyarakat juga bertambah atas usaha pemerintah membangun rumah susun sewa di seluruh Indonesia (Kemenpera, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Murbaintoro (2009), diketahui bahwa masyarakat Kota Depok memiliki potensi minat yang besar terhadap hunian vertikal namun tingkat keterjangkauan terutama MBR masih sangat rendah. Untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat dalam memiliki hunian, maka peran


(24)

pemerintah sangat diperlukan terutama dalam pemberian bantuan dan insentif kepemilikan hunian.

Rumah merupakan lingkungan yang paling erat kaitannya dengan kesehatan. Berdasarkan penelitian Safitri dan Soedjajadi (2007), terdapat tiga variabel kesehatan rumah yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita yaitu variabel dinding, ventilasi, dan sarana pembuangan kotoran. Dari ketiga variabel tersebut, variabel ventilasi rumah yang paling berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada anak Balita dibandingkan dengan dua variabel lainnya. Disisi lain berdasarkan hasil penelitian Farich (2011) diketahui adanya hubungan lingkungan dan rumah sehat dengan kejadian diare.

Skabies merupakan salah satu penyakit yang terkait dengan kualitas lingkungan perumahan. Skabies banyak tersebar khususnya di negara-negara berkembang. Di India dilaporkan insidentertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Di Rumah Sakit Palang Merah Jepang 1,96% pasien rawat jalan merupakan pasien skabies sejumlah 496 pasien, dengan rasio jenis kelamin adalah 1,33 (laki-laki): 1 (perempuan) dengan distribusi usia tertinggi pada anak-anak (Zasshi, 2009). Skabies mempengaruhi 300 juta orang diseluruh dunia sertiap tahunnya. Jumlah kasus skabies tinggi di Fuji yaitu sebuah negara kepulauan di selatan samudra pasifik (Haar, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Iran yang dilakukan oleh dr. Jalayer dari tahun 1996 – 2003 dari 2899 sampel diketahui pada tahun 1996 dilaporkan 25% terkena skabies dan pada tahun 2002 ada 5.6% yang terkena skabies. Hasil penelitian


(25)

menunjukkan penyakit skabies di pengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, kepadatan, cuaca dan usia reproduksi (Dehgani, 2009).

Prevalensi skabies di negara berkembang dilaporkan sebanyak 6-27% dari populasi umum dan insidens tertinggi pada anak usia sekolah. Penyakit skabies banyak terjadi di Indonesia karena Indonesia beriklim tropis, pada wilayah yang beriklim tropis perkembangan parasit sangat mudah sehingga memperbesar risiko terjadinya penyakit skabies (Soedarto, 2003).

Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi penyakit skabies di seluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4,6 – 12,95 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit (Kusnoputranto, 2000). Berdasarkan pengumpulan data KSDAI tahun 2001 dari sembilan rumah sakit di kota besar Indonesia, jumlah penderita skabies yang tertinggi ditemukan di Ibu kota Jakarta sebanyak 335 kasus. Hal ini disebabkan Kota Jakarta memiliki jumlah penduduk terbanyak sebagai salah satu faktor pendukung perkembangan skabies (Boediardja, 2003).

Data gambaran sepuluh (10) penyakit terbanyak pada penderita rawat jalan di Rumah Sakit Umum di Indonesia yang diperoleh dari Ditjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan tahun 2004, ditemukan jumlah kasus penyakit kulit dan jaringan subkutan lainnya sebesar 419.724 kasus atau dengan prevalensi sebesar 2,9%, 501.280 kasus pada tahun 2005 dengan prevalensi 3,16%, dan pada tahun 2006 ditemukan sebanyak 403.270 kasus dengan prevalensi 3,91% (Profil Kesehatan Indonesia 2004-2006).


(26)

Penelitian Gloria (2013) diketahui bahwa ada pengarauh antara personal hygiene (kebersihan kulit, kebersihan tangan, kebersihan kaki, kebersihan pakaian dan kebersihan handuk) dan sanitasi lingkungan (ketersediaan air bersih, kebersihan tempat tidur, kebersihan kamar tidur, pencahayaan, kelembaban, ventilasi, dan kepadatan penghuni kamar) terhadap terjadinya penyakit scabies.

Pada pelaksanaan program rumah susun di kota Medan mengalami beberapa hambatan. Berdasarkan studi yang telah dilakukan sebelumnya pada Kajian Sistem Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Berdasarkan Aspek Teknis Bangunan Dan Kesehatan Di Kota Medan (2013), diketahui bahwa kondisi rumah susun dalam keadaan buruk. Menyangkut sanitasi, kondisi fisik rumah, air bersih dan pengelolaan sampah. Keluhan kesehatan yang banyak dirasakan adalah gatal-gatal. Hasil survey pendahuluan yang dilakukan di Rusunawa Wisma Labuhan dan Amplas ditemuakan adanya penghuni yang menderita scabies.

1.2. Permasalahan

Rumah susun merupakan salah satu program yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pemukiman kumuh. Program rumah susun diharapkan agar masyarakat dapat hidup sejahtera dan sehat. Sehat merupakan kondisi yang akan tercapai jika kondisi lingkungan sehat khususnya berkaitan dengat beberapa penyakit berbasis lingkungan. Kondisi rumah yang kumuh dengan situasi udara ruang lembab menyebabkan ruang hunian pengap, kurangnya sinar matahari yang masuk menyebabkan suhu ruangan yang rendah dan sanitasi lingkungan buruk disertai


(27)

perilaku penghuni yang tidak baik dapat menyebabkan penyakit yang berkaitan dengan infeksi bakteri, virus, dan jenis arthropoda. Bakteri, virus, dan jenis

arthropoda sangat cepat hidup dan berkembang dalam kondisi yang kumuh tersebut. Skabies merupakan salah satu arthropoda yang menyebabkan penyakit kulit yang terjadi karena terinfeksi oleh Sarcoptis skabei. Arthropoda ini hidup nyaman dan berkembang di kondisi rumah yang kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat, sanitasi lingkungan buruk dan perilaku individu yang tidak higyne. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pengaruh kondisi fisik rumah, sanitasi lingkungan dan perilaku penghuni terhadap kejadian skabies.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kondisi fisik rumah susun sederhana sewa. 2. Untuk mengetahui sanitasi lingkungan rumah susun sederhana sewa. 3. Untuk mengetahui perilaku penghuni rumah susun sederhana sewa. 4. Untuk mengetahui kejadian skabies di rumah susun sederhana sewa.

5. Untuk mengetahui pengaruh kondisi fisik rumah, sanitasi lingkungan, perilaku penghuni terhadap kejadian skabies.

1.4. Hipotesis

Ha : Ada pengaruh kondisi fisik rumah susun terhadap kejadian skabies. Ha: Adapengaruh sanitasi lingkungan rumah susun terhadap kejadian skabies. Ha: Adapengaruh perilaku penghuni rumah susun terhadap kejadian skabies.


(28)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Menjadi bahan masukan untuk perencanaan program rumah susun sederhana sewa berikutnya.

2. Bahan pertimbangan untuk melaksanakan perbaikan di rumah susun sederhana sewa.

3. Mengetahui besarnya pengaruh lingkungan rumah terhadap kesehatan penghuninya.

4. Sebagai bahan masukan terhadap instansi terkait untuk melakukan kerja sama dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan rumah susun sederhana sewa.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Skabies

2.1.1. Definisi Penyakit Skabies

Penyakit Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes sabies varian hominis dan produknya. Penyakit ini sering juga disebut dengan nama lain kudis, The itch, Seven year itch, Gudikan, Gatal Agogo, Budukan atau Penyakit Ampera (Handoko, 2008). Penyakit skabies biasanya menghinggapi pasien dengan hygiene yang buruk, miskin dan hidup dalam lingkungan yang padat dan kumuh (Susanto, 2009).

2.1.2. Etiologi Penyakit Skabies

Sarcoptes Scabei termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarina,

superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabei var. hominis. Secara morfologi merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2008).


(30)

Siklus hidup tungau ini sebagai berikut, setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari (Handoko, 2008).

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva

meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau skabies betina membuat liang di epidermis dan meletakkan telur-telurnya didalam liang yang ditinggalkannya, sedangkan tungau skabies jantan hanya mempunyai satu tugas dalam kehidupannya, yaitu kawin dengan tungau betina setelah melaksanakan tugas mereka masing-masing akan mati (Graham-Brown dan Burns, 2002).

2.1.3. Patogenesis Penyakit Skabies

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita akibat garukan. Penularan juga dapat terjadi karena bersalaman atau bergandengan tangan yang lama dengan penderita sehingga terjadi kontak kulit yang


(31)

kuat, menyebabkan kuman skabies berpindah ke lain tangan. Kuman skabies dapat menyebabkan bintil (papul, gelembung berisi air, vesikel dan kudis) pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat ini kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtikaria dan lain-lain. Dengan garukan dapat menimbulkan erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal-gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Handoko, 2008).

2.1.4. Gejala Klinis Penyakit Skabies

Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya muncul, rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pada skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam kulit yang terjadi terutama dibagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, sekeliling siku, aerola mammae (area sekeliling puting susu) dan permukaan depan pergelangan (Sungkar, 2000)

Sampai besar, berwarna kemerahan yang disebabkan garukan keras. Bintik-bintik itu akan menjadi bernanah jika terinfeksi, dimana ada empat tanda kardinal yaitu (Handoko, 2008):

1. Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

2. Penyakit ini menyerang secara kelompok, mereka yang tinggal di asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena


(32)

penyakit ini. Penyakit skabies amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara bersama-sama. Penyakit Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah. 3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna

putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum komeum yang tipis, yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia ekstema (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

4. Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik, dapat ditemukan satu atau lebih stadium tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut. 2.1.5. Penularan Skabies

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, adapun cara penularannya adalah:

1. Kontak langsung (kulit dengan kulit)

Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan


(33)

hal tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.

2. Kontak tidak langsung (melalui benda)

Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut. Skabies norwegia, merupakan sumber utama terjadinya wabah skabies pada rumah sakit, panti jompo, pemondokkan/asrama dan rumah sakit jiwa, karena banyak mengandung tungau (Djuanda, 2006).

2.1.6. Bentuk-bentuk Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang sering menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga disebut sebagai The great imitator. Terdapat beberapa bentuk-bentuk skabies yang mana bentuk-bentuk tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda antara lain (Sungkar, 2000) :

1. Skabies pada orang bersih (skabies of cultivated)

Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan. Dalam penelitian dari 1000 orang penderita skabies menemukan hanya 7% terowongan.

2. Skabies in cognito

Bentuk ini timbul pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih bisa


(34)

terjadi. Skabies incognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit gatal lain.

3. Skabies nodular

Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Pada nodus

biasanya terdapat di daerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal

dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap tungau skabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan.

Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti skabies dan kortikosteroid.

4. Skabies yang ditularkan melalui hewan

Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan skabies manusia yaitu tidak dapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak/memeluk binatang kesayangan yaitu paha, perut, dada, dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4-8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena S. scabiei var. Binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.

5. Skabies norwegia

Skabies norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa


(35)

gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan).

Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga system imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembang biak dengan mudah. Pada penderita kusta, skabies Norwegia mungkin terjadi akibat defisiensi imunologi, terutama pada tipe kusta lepromatosa. Selain itu terjadi gangguan neurologik yang menyebabkan gangguan persepsi gatal dan anestasi terutama pada jari tangan dan kaki. Pada penderita kusta juga terjadi kontraktur pada jari-jari tangan sehingga penderita tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik. 6. Skabies pada bayi dan anak

Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa

impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan, sedangkan pada bayi lesi di muka sering terjadi.

7. Skabies terbaring di tempat tidur (bed ridden)

Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

2.1.7. Pengobatan Penyakit Skabies

Semua keluarga yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan hidupnya. Beberapa obat yang dapat dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu (Harahap, 2000).


(36)

1. Permetrin

Merupakan obat pilihan dalam bentuk salep untuk saat ini, tingkat keamanannya cukup tinggi, mudah pemakaiannya dan tidak megiritasi kulit. Dapat digunakan di kepala dan di leher anak usia kurang dari 2 tahun. Penggunaannya dengan cara dioleskan ditempat lesi kurang 8 jam kemudian dicuci bersih (Harahap, 2000). 2. Malation

Malation 0,5% dengan dasar air dalam bentuk salep digunakan selama 24 jam. Pemberian berikutnya diberikan beberapa hari kemudian.

3. Emulsi Benzil-benzoas (20-25 %)

Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Sering terjadi iritasi dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.

4. Sulfur

Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5 % dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 hari.

5. Monosulfiran

Tersedia dalam bentuk lotion 25 %, yang sebelum digunakan harus ditambah 2-3 hari.

6. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan)

Kadarnya 1% dari krim atau lotion, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan dan terjadi iritasi. Tidak dianjurkan pada anak dibawah 6 tahun dan wanita hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat.


(37)

Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala ulangi seminggu kemudian Krotamiton 10 % dalam krim atau lotion, merupakan obat pilihan. Mempunyai 2 efek sebagai antiskabies dan antigatal (Handoko, 2008).

2.1.8. Pencegahan Penyakit Skabies

Menurut Agoes (2009) mengatakan bahwa penyakit skabies sangat erat kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik, oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran penyakit skabies dapat dilakukan dengan cara:

a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun

b. Mencuci pakaian, sprai, sarung bantal, selimut dan lainnnya secara teratur minimal 2 kali dalam seminggu

c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali

d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain

e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi skabies

f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup

Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.


(38)

Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang. Langkah-langkah yang dapat diambil dalam pencegahan penyakit skabies adalah sebagai berikut :

a. Suci hamakan sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan antiseptik

b. Cuci semua handuk, pakaian, sprai dalam air sabun hangat dan gunakan setrika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering (dry-cleaned)

c. Keringkan topi dan jaket

d. Hindari pemakaian bersama sisir atau alat cukur dan lainnya

Departemen Kesehatan RI 2002, memberikan beberapa cara pencegahan dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang cara penularan penyakit skabies. Diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan orang-orang yang kontak meliputi:

a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya

b. Laporkan kepada Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan

c. Isolasi penderita yang terinfeksi penyakit skabies. Yang terinfeksi penyakit skabies sampai dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit di isolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif

Disinfeksi serentak yaitu pakaian dan sprai yang digunakan oleh penderita dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan menggunakan sistem pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini membunuh kutu dan telur.


(39)

Tindakan ini tidak dibutuhkan pada infestasi yang berat. Mencuci sprai, sarung bantal dan pakaian pada penderita.

Penanggulangan wabah yang terjadi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:

a. Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang berisiko b. Pengobatan dilakukan secara massal

c. Penemuan kasus dilakukan secara serentak baik di dalam keluarga, di dalam unit atau institusi militer, jika memungkinkan penderita dipindahkan

d. Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencuci umum, jika ada sangat membantu dalam pencegahan infeksi.

2.2. Perumahan 2.2.1. Rumah Sehat

Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas bagi seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya dapat berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari faktor-faktor yang dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007).

Kriteria rumah sehat yang diajukan oleh dalam Wicaksono (2009) yang dikutip dari Winslow antara lain:

1. Harus dapat memenuhi kebutuhan fisiologis 2. Harus dapat memenuhi kebutuhan psikologis 3. Harus dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan


(40)

4. Harus dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit

Hal ini sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut American Public Health Asociation (APHA) dalam Machfoedz (2008), yaitu:

1. Memenuhi kebutuhan dasar fisik

Sebuah rumah harus dapat memenuhi kebutuhan dasar fisik, seperti:

a. Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara atau dipertahankan temperatur lingkungan yang penting untuk mencegah bertambahnya panas atau kehilangan panas secara berlebihan. Sebaiknya temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 4°C dari temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperatur kamar 22°C - 30°C sudah cukup segar.

b. Rumah tersebut harus terjamin pencahayaannya yang dibedakan atas cahaya matahari (penerangan alamiah) serta penerangan dari nyala api lainnya (penerangan buatan). Semua penerangan ini harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu gelap atau tidak menimbulkan rasa silau.

c. Rumah tersebut harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara segar dapat terpelihara. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5% luas lantai sehingga jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantairuangan. Ini diatur sedemikian rupa agar udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.


(41)

d. Rumah tersebut harus dapat melindungi penghuni dari gangguan bising yang berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik langsung maupun dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan yang dapat muncul antara lain gangguan fisik seperti kerusakan alat pendengaran dan gangguan mental seperti mudah marah dan apatis.

e. Rumah tersebut harus memiliki luas yang cukup untuk aktivitas dan untuk anak-anak dapat bermain. Hal ini penting agar anak mempunyai kesempatan bergerak, bermain dengan leluasa di rumah agar pertumbuhan badannya akan lebih baik, juga agar anak tidak bermain di rumah tetangganya, di jalan atau tempat lain yang membahayakan.

2. Memenuhi kebutuhan dasar psikologis

Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat terpenuhi kebutuhan dasar psikologis penghuninya, seperti:

a. Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni

Adanya ruangan khusus untuk istirahat bagi masing-masing penghuni, seperti kamar tidur untuk ayah dan ibu. Anak-anak berumur di bawah 2 tahun masih diperbolehkan satu kamar tidur dengan ayah dan ibu. Anak-anak di atas 10 tahun laki-laki dan perempuan tidak boleh dalam satu kamar tidur. Anak-anak di atas 17 tahun mempunyai kamar tidur sendiri.

b. Ruang duduk dapat dipakai sekaligus sebagai ruang makan keluarga, dimana anak-anak sambil makan dapat berdialog langsung dengan orang tuanya.


(42)

c. Dalam memilih letak tempat tinggal, sebaiknya di sekitar tetangga yang memiliki tingkat ekonomi yang relatif sama, sebab bila bertetangga dengan orang yang lebih kaya atau lebih miskin akan menimbulkan tekanan batin. d. Dalam meletakkan kursi dan meja di ruangan jangan sampai menghalangi lalu

lintas dalam ruangan.

e. W.C. (Water Closet) dan kamar mandi harus ada dalam suatu rumah dan terpelihara kebersihannya. Biasanya orang tidak senang atau gelisah bila teras ingin buang air besar tapi tidak mempunyai W.C. sendiri karena harus antri di W.C. orang lain atau harus buang air besar di tempat terbuka seperti sungai atau kebun.

f. Untuk memperindah pemandangan, perlu ditanami tanaman hias, tanaman bunga yang kesemuanya diatur, ditata, dan dipelihara secara rapi dan bersih, sehingga menyenangkan bila dipandang.

3. Melindungi dari penyakit

Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit atau zat-zat yang membahayakan kesehatan. Dari segi ini, maka rumah yang sehat adalah rumah yang di dalamnya tersedia air bersih yang cukup dengan sistem perpipaan seperti sambungan atau pipa dijaga jangan sampai sampai bocor sehingga tidak tercemar oleh air dari tempat lain. Rumah juga harus terbebas dari kehidupan serangga dan tikus, memiliki tempat pembuangan sampah, pembuangan air limbah serta pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan.


(43)

4. Melindungi dari kemungkinan kecelakaan

Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. Termasuk dalam persyaratan ini antara lain bangunan yang kokoh, tangga yang tidak terlalu curam dan licin, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang terlindung, tidak menyebabkan keracunan gas bagi penghuni, terlindung dari kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya (Azwar, 1990). Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002), lingkup penilaian rumah sehat dilakukan terhadap kelompok komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni.

1. Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan.

2. Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran, saluran pembuangan air limbah, sarana tempat pembuangan sampah. 3. Kelompok perilaku penghuni, meliputi membuka jendela kamar tidur,

membuka jendela ruang keluarga, membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja bayi dan balita ke jamban, membuang sampah pada tempat sampah.

Bila dikaji melalui pengertian yang tertuang dalam undang-undang nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagaimana lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Bagi sebuah lingkungan


(44)

perkotaan, kehadiran lingkungan perumahan sangatlah kepentingan dna berarti karena bagian terbesar pembentukan struktur ruang perkotaan adalah lingkungan pemukiman (Sastra & Endi, 2006).

Menurut UU RI No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari pemukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.

Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh WHO bahwa perumahan yang tidak cukup dan terlalu sempit mengakibatkan pula tingginya kejadian penyakit dalam masyarakat. Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni.

Masalah perumahan telah diatur dalam Undang-Undang pemerintahan tentang perumahan dan kawasan permukiman No.1 Tahun 2011 Bab III pasal 5 ayat l yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.

Perkembangan perumahan pada saat ini cendrung pada kondisi kumuh, Menurut Yudohusodo, (1991). permukiman kumuh adalah suatu kawasan dengan bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola (misalnya letak rumah dan jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum, prasarana dan sarana air


(45)

bersih, MCK) bentuk fisiknya yang tidak layak misalnya secara reguler tiap tahun kebanjiran.

Menurut Syaiful. A (2002). permukiman dapat digolongkan sebagai permukiman kumuh karena:

1. Kondisi dari permukiman tersebut ditandai oleh bangunan rumah-rumah hunian yang dibangun secara semrawut dan memadati hampir setiap sudut permukiman, dimana setiap rumah dibangun diatas tanah tanpa halaman.

2. Jalan-jalan yang ada diantara rumah-rumah seperti labirin, sempit dan berkelok-kelok, serta becek karena tergenang air limbah yang ada disaluran yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

3. Sampah berserakan dimana-mana, dengan udara yang pengap dan berbau busuk. 4. Fasilitas umum kurang atau tidak memadai.

5. Kondisi fisik hunian atau rumah pada umumnya mengungkapkan kemiskinan dan kekumuhan, karena tidak terawat dengan baik.

Penelitian yang berkaitan antara kondisi lingkungan rumah kaitannya dengan penyakit telah banyak dilakukan. diantaranya adalah dengan penyakit demam berdarah (DBD). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnaini, Siregar, YI, Dameria (2009) hasil uji statistik dengan uji Rank Spearman menunjukkan nilai Rho = 0,586 dan nilai p = 0.000 berarti ada hubungan yang sangat bermakna antara kondisi sanitasi lingkungan dengan keberadaan jentik vektor dengue. Bila melihat nilai Rho maka dapat dikatakan ada kecenderungan semakin kurang baik kondisi sanitasi lingkungan rumah maka akan semakin banyak pula ditemukan jentik vektor


(46)

dengue. Penelitian tersebut menggambarkan kondisi sanitasi lingkungan rumah secara umum belum termasuk dalam katagori baik (62,7% ).

Hal ini menyebabkan keberadaan jentik vektor dengue di rumah-rumah penduduk juga cukup tinggi, kondisi tersebut dapat dilihat dari angka House Index

(HI=86,27% ), Container Index (CI=28 %) dan Bruteau Index (BI=137%). Kondisi sanitasi lingkungan yang baik menyebabkan tempat perkembangbiakan nyamuk menjadi tidak optimal. Nyamuk penular DBD akan berkembang secara baik di tempat-tempat yang banyak ditemukan penampungan air, terutama yang jarang dibersihkan atau terkontrol, misalnya pada sampah kaleng-kaleng bekas, tempurung kelapa, ban-ban bekas dan lain sebagainya. Kondisi sanitasi lingkungan rumah yang baik akan memperkecil peluang berkembangbiak nyamuk penular penyakit DBD.

Pada dasarnya rumah dikatakan memenuhi syarat rumah sehat jika lingkungan dan komponen pendukung rumah tersedia dan dapat dikelola dengan baik. beberapa komponen yang harus dipenuhi akan dijelaskan pada subbab berikutnya.

2.2.2. Komponen Fisik Rumah 2.2.2.1. Bahan Bangunan

a. Lantai: ubin atau semen adalah baik, namun tidak cocok untuk kondisi ekonomi pedesaan. Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang mampu di pedesaan, dan ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat dapat ditempuh dengan menyiram air


(47)

kemudian dipadatkan dengan benda-benda yang berat dan dilakukan berkali-kali. Lantai basah dan berdebu menimbulkan sarang penyakit.

b. Dinding: Tembok adalah baik, namun disamping mahal, tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila ventilasi tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis khususnya pedesaan, lebih baik dinding papan.

c. Atap genteng: adalah umum dipakai baik didaerah perkotaan, maupun di pedesaan. Disamping atap genteng adalah cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan dapat dibuat sendiri.

d. Lain-lain (kaso, tiang dan reng): Menurut pengalaman bahan-bahan ini tahan lama (Notoatmodjo, 2010).

2.2.2.2. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah. Ada dua macam ventilasi, yakni:

a. Ventilasi alamiah, diamana aliran udara dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubbang-lubang pada dinding, dan sebagainya.Di lain pihak ventilasi alamiah tidak menguntungkan, karena juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan nyamuk

b. Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin, dan mesin pengisap udara (Notoatmodjo, 2010).


(48)

2.2.2.3. Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurang cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya mata hari, disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni: a. Cahaya alamiah, yakni cahaya matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat

membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah.

b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

2.2.2.4. Kelembaban

Kelembaban sangat berperan penting dalam pertumbuhan kuman penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Keadaan yang lembab dapat mendukung terjadinya penularan penyakit. Menurut Kepmenkes RI/No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan dari aspek kelembaban udara ruang, dipersyaratkan ruangan mempunyai tingkat kelembaban udara yang diperbolehakan antara 40-70%. Tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat ditambah dengan perilaku tidak sehat, misalnya dengan penempatan yang tidak tepat pada berbagai barang dan baju, handuk, sarung yang tidak tertata rapi, ikut berperan dalam penularan penyakit berbasis lingkungan seperti skabies (Soedjadi, 2003).


(49)

2.2.2.5. Kepadatan Penghuni

Kepadatan hunian kamar tidur sangat berpengaruh terhadap jumlah kuman penyebab penyakit skabies. Selain itu kepadatan hunian kamar tidur dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam kamar tidur. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam kamar tidur mengalami pencemaran oleh karena CO

2 dalam rumah akan cepat meningkat dan akan menurunkan kadar O2 di udara. Menurut Kepmenkes RI (1999), kepadatan dapat dilihat dari kepadatan hunian ruang tidur yaitu luas ruangan tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan lebih dari dua orang dalam satu ruangan tidur, kecuali anak di bawah usia 5 tahun.

2.2.3. Sanitasi Ligkungan 2.2.3.1. Penyedian Air Bersih 2.2.3.1.1. Karakteristik Fisik Air

Ciri fisik air menurut Hanum (2002), antara lain: a. Kekeruhan

Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan anorganik dan organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh buangan industri.

b. Temperatur

Kenaikan temperatur air menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut. Kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobik yang mungkin saja terjadi.


(50)

c. Warna

Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta tumbuh-tumbuhan.

d. Solid (zat padat)

Kandungan zat padat menimbulkan bau busuk, juga dapat meyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut. Zat padat dapat menghalangi penetrasi sinar matahari kedalam air.

e. Bau dan rasa

Bau dan rasa dapat dihasilkan oleh adanya organisme dalam air seperti alga serta oleh adanya gas seperti H2S yang terbentuk dalam kondisi anaerobik, dan oleh adanya senyawa-senyawa organik tertentu.

2.2.3.1.2. Karakteristik Kimia Air

Sesuai dengan PP No. 82 tahun 2001, adapun ciri kimia air, antara lain: 1. pH

Besarnya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur-unsur hara yang amat bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik. pH air juga mempunyai peranan penting bagi kehidupan ikan dan fauna lain yang hidup di perairan tersebut. Umumnya, perairan dengan tingkat pH yang lebih kecil


(51)

daripada 4,8 dan lebih besar daripada 9,2 sudah dapat dianggap tercemar (Asdak, 1995).

2. DO

DO (dissolved oxygen) yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Effendi, 2003).

Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang air lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati. Sebaliknya konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu tinggi juga mengakibatkan proses perkaratan semakin cepat karena oksigen akan mengikat hydrogen yang melapisi permukaan logam (Fardiaz, 1992).

3. BOD

BOD (Biochemical Oxygen Demand) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jadi nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi (Fardiaz, 1992).


(52)

4. COD

Untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan suatu uji yang lebih cepat dari uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan. Uji ini disebut dengan uji COD, yaitu suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan misalnya kalium dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. Bakteri dapat mengoksidasi zat organik menjadi CO2 dan H2O kalium dikromat dapat mengoksidasi lebih banyak lagi, sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih tinggi dari BOD untuk air yang sama (Kristanto, 2002).

5. Kesadahan

Kesadahan air yang tinggi akan mempengaruhi efektifitas pemakaian sabun, namun sebaliknya dapat memberikan rasa yang segar. Di dalam pemakaian untuk industri (air ketel, air pendingin, atau pemanas) adanya kesadahan dalam air tidak dikehendaki. Kesadahan yang tinggi bisa disebabkan oleh adanya kadar residu terlarut yang tinggi dalam air (Hanum, 2002).

6. Senyawa-senyawa kimia beracun

Kehadiran unsur arsen (As) pada dosis yang rendah sudah merupakan racun terhadap manusia sehingga perlu pembatasan yang agak ketat (± 0,05 mg/l). Kehadiran besi (Fe) dalam air bersih akan menyebabkan timbulnya rasa dan bau logam, menimbulkan warna koloid merah (karat) akibat oksidasi oleh oksigen terlarut yang dapat menjadi racun bagi manusia (Hanum, 2002).


(53)

2.2.3.1.3. Sumber-sumber Air

Air merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia keberadaannya. Menurut Slamet (2007), sumber-sumber air tersebut adalah

1. Air permukaan yang merupakan air sungai dan danau. Air permukaan dapat mengandung banyak zat organik yang mudah terurai yang merupakan makanan bakteri. Semua ini sangat mempengaruhi kualitas air tersebut. Selain itu kualitas air permukaan juga dipengaruhi cuaca dan kedalamannya sehingga spesies-spesies kimia yang ada dalam setiap lapis akan berubah.

2. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal. Air tanah dangkal tergolong bersih dilihat dari segi mikrobiologis, karena sewaktu proses pengaliran ia mengalami penyaringan alamiah dan dengan demikian kebanyakan mikroba sudah tidak lagi terdapat di dalamnya.

3. Air angkasa, yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti hujan dan salju. Kualitas air angkasa tergantung sekali pada kualitas udara yang dilaluinya sewaktu turun kembali ke permukaan bumi. Bila kadar SO2 di dalam udara tinggi, maka hujan yang turun akan bersifat asam.

2.2.3.1.4. Peranan Air

Adapun fungsi air bagi manusia antara lain adalah sebagai berikut :

1. Mempertahankan kelembaban organ-organ tubuh. Jika organ tubuh kekurangan air bentuknya akan mengempis karena kehilangan kelembaban.

2. Untuk mempertahankan volume dan kekentalan darah dan getah bening. 3. Mengatur suhu tubuh. Jika kekurangan air tubuh akan menjadi panas.


(54)

4. Untuk mengatur struktur dan fungsi kulit. Kulit akan menjadi kasar dan berkerut jika kekurangan air. Sebagai mediator dan saluran dari berbagai reaksi kimia di dalam tubuh, proses metabolisme tubuh memerlukan air (Harini, 2007).

Selain itu air sebagai salah satu komponen lingkungan berperan dalam penularan penyakit. Air berperan melalui 4 cara menurut Kusnoputranto (2000), yaitu :

a. Cara Water Borne

Cara water borne merupakan penularan penyakit dimana air sebagai medianya. Kuman pathogen berada di dalam air minum untuk manusia dan hewan. Penyakit yang dihantarkan melalui air ini antara lain: penyakit kolera, typhoid, hepatitis dan disentri basiler.

b. Cara Water Washed

Cara water washed merupakan penularan penyakit berhubungan dengan air yang digunakan untuk kebersihan. Dengan terjaminnya kebersihan oleh tersedianya air yang cukup, maka penyakit-penyakit tertentu dapat dikurangi penularannya pada manusia. Penyakit karena kurangnya air untuk kebersihan seseorang ini antara lain; infeksi kulit dan selaput lendir, infeksi oleh insekta parasit pada kulit.

c. Cara Water Based

Cara water based merupakan penularan penyakit melalui pejamu (host) di air. Penyakit yang ditularkan melalui water based adalah Schistomiasis. Pejamu (host) perantara ini hidup di air contohnya siput air. Dalam hal ini larva .Schistomiasis hidup


(55)

dalam siput air hingga berubah bentuk menjadi cercaria dan menembus kulit (kaki) manusia yang berada dalam air tersebut. Penyakit ini disebut Schistomiasis.

d. Cara Water Related Insecta Vector

Cara water related insecta vector merupakan penularan penyakit melalui vektor yang menggunakan air sebagai tempat berkembangbiaknya. Contoh penyakit yang ditularkan melalui vektor yang hidupnya bergantung pada air ini seperti malaria. oleh vektor nyamuk Anopheles, demam berdarah oleh vektor nyamuk Aedes aegypti.

2.2.3.1.5. Standar Kualitas Air Bersih

Air mempunyai banyak peranan dalam kehidupan manusia. Kegunaan dari air antara lain sebagai sumber air bersih, alat transportasi, dan tempat hidup ikan air tawar sebagai sumber bahan pangan manusia. Untuk mengetahui kategori air tercemar maka perlu memenuhi kriteria/baku mutu sebagai berikut:

1. Standar Kualitas dari Departemen Kesehatan RI

Peraturan Menteri Kesehatan RI No 416/Menkes/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air. Peraturan ini dibuat dengan maksud bahwa air yang memenuhi syarat kesehatan mempunyai peranan penting dalam rangka pemeliharaan, perlindungan dan mempertinggi derajat kesehatan masyarakatnya. 2. Standar Kualitas Air WHO

Sebagai organisasi kesehatan internasional, WHO juga mengeluarkan peraturan tentang syarat-syarat kualitas air bersih yaitu meliputi kualitas fisik, kimia dan biologi. Peraturan yang ditetapkan oleh WHO tersebut digunakan sebagai pedoman bagi negara anggota. Namun demikian masing-masing negara anggota,


(56)

dapat pula menetapkan syarat-syarat kualitas air sesuai dengan kondisi negara tersebut.

2.2.3.2. Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Sarana pembuangan air limbah yang sehat yaitu yang dapat mengalirkan air limbah dari sumbernya (dapur, kamar mandi) ke tempat penampungan air limbah dengan lancar tampa mencemari lingkungan dan tidak dapat dijangkau serangga dan tikus (Pamsimas, 2011).

Air limbah adalah cairan buangan yang berasal dari rumah tangga, industri atau tempat-tempat umum lainya dan biasanya mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan hidup. Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya.

Beberapa sumber air buangan :

a Air buang rumah tangga (domesrik waste water)

Air buang dari pemukiman ini umumnya mempunyai komposisi yang terdiri dari ekskreta ( tinja dan urin), air bekas cucian, dapur dan kamar mandi, dimana sebagian merupakan bahan –bahan organik.

b. Air buangan kota praja (municipal waste water)

Air buang ini umumnya berasal dari daera perkotaan, perdangangan, selokan, tempat ibadah dan tempat umum lainya.


(57)

c. Air buang industri (industrial waste water)

Air buangan yang berasal dari macam industri. Pada umumnya lebih sulit pengelolahannya serta mempunyai variasi yang luas. Zat-zat yang terkandung didalamnya misalnya logam berat, zat pelarut, amoniak dan lain-lain.

Pengolahan Air Limbah dalam kehidupan sehari-hari pengolahan air limbah dilakukan dengan dua cara yaitu :

a. Menyalurkan air limbah tersebut jauh dari tempat tinggal tanpa diolah tanpa diolah sebelumnya

b. Menyalurkan air limbah setelah diolah sebelumnya dan kemudian dibuang ke alam. Pengolahan air limbah ini dapat dilakukan secara pribadi ataupun terpusat. Air buangan yang dibuang tidak saniter dapat menjadi media perkembangan mikroorganisme patogen, larva nyamuk ataupun serangga yang dapat menjadi media transmisi penyakit kolera, typus abdominalis, disentri baciler dan sebagainya.

Bila air limbah itu dibuang begitu saja tanpa diolah sebelumnya maka beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :

a. Tidak sampai mengotori sumber air minum

b. Tidak menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai bibit penyakit dan vektor c. Tidak mengganggu estetika, misalnya dari segi pemandangan dan menimbulkan

bau.

d. Tidak mencemarkan alam sekitarnya, misalnya merusak tempat untuk rekreasi berenang dan sebagainya (Notoadmodjo, 2010).


(58)

Saluran limbah yang bocor atau pecah menyebabkan air keluar dan tergenang serta meresap ke tanah. jika jarak terlalu dekat dengan sumber air dapat mencemari sumber air tersebut. Tempat penampungan air yang terbuka dapat menyebabkan nyamuk bertelur (Pamsimas, 2011).

2.3. Rumah Susun

Pengelolaan Rusunawa menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat nomor 14/PERMEN/M/2007 tentang pengelolaan rusunawa bab I pasal 1 ayat 3 adalah upaya terpadu yang dilakukan oleh badan pengelola atas barang milik Negara/Daerah yang berupa rusunawa dengan melestarikan fungsi rusunawa yang meliputi kebijakan perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindah tanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian rusunawa.

Hunian vertikal atau rumah susun merupakan salah satu solusi untuk penanganan perumahan dan permukiman kumuh sekaligus mencegah tumbuhnya

enclaves kumuh baru sebagai konsekuensi dari pesatnya pembangunan kawasan perkotaan yang menuai dampak seperti meningkatnya kepadatan penduduk, tingginya kepadatan bangunan, rendahnya kualitas infrastruktur serta makin langkanya lahan yang diperuntukkan bagi permukiman.

Rusunawa sebagai salah satu strategi penataan permukiman kumuh perkotaan membawa beberapa implikasi positif antara lain :


(59)

1. Membantu mengatasi permasalahan pemukiman kumuh perkotaan dengan penerapan urban renewel atau peremajaan kota.

2. Sebagai bentuk keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum atau tidak mampu menghuni rumah milik.

3. Menjamin kepastian dan keamanan tinggal (secure tenure) terutama bagi komunitas yang semula menghuni lingkungan dan atau kawasan ilegal.

4. Penggunaan lahan yang efisien akan berdampak pada pelestarian lingkungan karena memperluas daerah resapan air dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta memberikan ruang/lahan untuk fungsi-fungsi sosial yang bermanfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan komunitas yang tinggal dilingkungan tersebut. 5. Teknik pembangunan fisik rusunawa telah dikembangkan (diantaranya dengan

sistem prototype dan sistem terkini) yang mempercepat proses konstruksi yang dapat diandalkan dalam efisiensi waktu, pengatasan permasalahan runtuh dan tahan gempa.

6. Bentuk bangunan vertikal menekankan pada efisiensi pemanfaatan lahan.

7. Konsentrasi hunian yang terpusat menciptakan efisiensi dalam investasi dan pemeliharaan infrastruktur perkotaan.

8. Radius pencapaian yang relatif dekat dengan pusat kota akan mengurangi pemborosan biaya hidup keluarga dan penghematan energi berkaitan dengan transportasi.

Hamzah, A (2000) menyatakan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun adalah :


(60)

a. Persyaratan teknis untuk ruangan

Semua ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan udara luar dan pencahayaan dalam jumlah yang cukup.

b. Persyaratan untuk struktur, komponen dan bahan-bahan bangunan

Harus memenuhi persayaratan konstruksi dan standar yang berlaku yaitu harus tahan dengan beban mati, bergerak, gempa, hujan, angin, hujan dan lain-lain. c. Kelengkapan rumah susun

Jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, saluran pembuangan air, saluran pembuangan sampah, jaringan telepon/alat komunikasi, alat transportasi berupa tangga, lift atau eskalator, pintu dan tangga darurat kebakaran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir, alarm, pintu kedap asap, generator listrik dan lain-lain. d. Satuan rumah susun

Mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya. Memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti tidur, mandi, buang hajat, mencuci, menjemur, memasak, makan, menerima tamu dan lain-lain.

e. Bagian bersama dan benda bersama

Bagian bersama berupa ruang umum, ruang tunggu, lift, atau selasar harus memenuhi syarat sehingga dapat memberi kemudahan bagi penghuni. Benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi dan kualitas dan kapasitas yang memenuhi syarat sehingga dapat menjamin keamanan dan kenikmatan bagi penghuni.


(61)

f. Lokasi rumah susun

1. Harus sesuai peruntukan dan keserasian dangan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna tanah.

2. Harus memungkinkan berfungsinya dengan baik saluran-saluran pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan pembuang air hujan dan limbah.

3. Harus mudah mencapai angkutan.

4. Harus dijangkau oleh pelayanan jaringan air bersih dan listrik. g. Kepadatan dan tata letak bangunan

Harus mencapai optimasi daya guna dan hasil guna tanah dengan memperhatikan keserasian dan keselamatan lingkungan sekitarnya.

h. Prasarana lingkungan

Harus dilengkapi dengan prasarana jalan, tempat parkir, jaringan telepon, tempat pembuangan sampah. Fasilitas lingkungan Harus dilengkapi dengan ruang atau bangunan untuk berkumpul, tempat bermain anak-anak, dan kontak sosial, ruang untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk kesehatan, pendidikan dan peribadatan dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi, A (2010) pembangunan rumah susu telah memberi dampak positif dan negatif. Penelitian yang dilakukan di Surakarta ini menunjukkan adanya peningkatan rasa nyaman dan aman setelah tinggal di rumah susun, adanya perbaikan kehidupan dibidang ekonomi, pola hidup lebih teratur namun mereka merasa perilaku menjadi lebih individualistis.


(62)

Studi kasus yang dilakukan di Rusunawa Urip Sumoharjo, dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan prasarana lingkungan rumah susundiketahui 46% responden merasakan timbul bau dari pembuangan grey water, dan 37% merasakannya dari pembuangan black water. Berdasarkan pengatamatan, sumber bau berasal dari saluran tersebut. Hasil wawancara dengan badan pengelola, ketua RW, dan 5 orang penghuni (5,4% responden), pada pertengahan tahun 2009 (antara Bulan Maret – April) terjadi retakan pada tangki septik di Blok A. Hal ini menyebabkan black water

merembes ke tandon air bawah dan mencemari sumber air bersih/minum rusun. Timbul bau pada saluran pembuangan grey water karena adanya genangan, sampah dan sedimen, sesuai dengan pendapat 46% responden. Grey water dibuang ke saluran lingkungan/kota (Saluran Kalimir) tanpa pengolahan, sedangkan kondisi Saluran Kalimir sudah sangat memprihatinkan dan arah aliran menuju ke perumahan padat di sekitar rusun.

Rata-rata berat timbulan sampah rumah susun adalah 0,21 kg/orang.hari. Densitas sampah rata-rata sebesar 165,95 kg/m3. Berdasarkan berat dan densitas sampah dapat diketahui bahwa rata-rata volume timbulan sampah rumah susun adalah 1,29 liter/orang.hari. Rusun tidak memiliki saluran sampah. Hanya 72% unit hunian memiliki tempat sampah. Jenis tempat sampah di unit hunian rusun bersifat semi permanen berupa keranjang plastik (60%), dll Penghuni membungkus sampah dengan kantong plastik/kresek sebelum dibuang ke dalam gerobak sampah (70%). Berdasarkan pengamatan lapangan, pembuangan sampah dilakukan oleh petugas


(63)

sampah setiap hari ke TPS dari rusun. Waktu pembuangan sampah ± 7-9 jam/hari (Kusumaningrum, 2010) .

Penelitian yang dilakukan Subkhan, M (2008), berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap pengelolaan rumah susun sederhana sewa di Cengkareng dikatahui faktor-faktor yang menyebabkan kurang optimalnya pengelolaan rumah susun sederhana sewa Cengkareng yaitu dari aspek sosial penghuni Rusunawa itu sendiri yang meliputi keterbatasan waktu untuk pemeliharaan atau menjaga lingkungan Rusunawa Cengkareng, keterbatasan kemampuan dan keberdayaan penghuni Rusunawa Cengkareng, kelangsungan sumber pendapatan yang masih perlu dipertahankan. Dari hal tersebut ada hal positif dari masyarakat penghuni Rusunawa Cengkareng yaitu adanya semangat untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Selain dari aspek masyarakat penghuni rumah susun sederhana sewa Cengkareng, kurang optimalnya pengelolaan Rusunawa Cengkareng dari aspek pengelola Rusunawa itu sendiri.

Hasil penelitian diketahui beberapa hal penyebab kurang optimalnya pengelolaan rusunawa adalah dari aspek sosial masyarakat penghuni rusunawa mencerminkan adanya solidaritas penghuni rusunawa serta hubungan sosial kemasyarakatan telah terjalin tetapi terjadi pengelompokan secara alamiah antar blok dan waktu untuk kegiatan sosial dan gotong royong yang sifatnya rutin tidak dapat berjalan. Aspek ekonomi yang muncul adalah adanya keberdayaan dan semangat yang tinggi untuk meningkatkan ekonomi keluarga tetapi kegiatan ekonomi hanya untuk kegiatan harian karena tidak ada ”gambaran ke depan”.


(64)

Aspek spasial menunjukkan bahwa lokasi rusunawa sangat strategis walau berada pada lapis kedua dari jalan raya tetapi memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila ditinjau dari sisi aksesibilitas perlu adanya angkutan umum yang dapat mengakses sampai dalam lokasi. Aspek pengelola rusunawa Cengkareng menunjukan peran organisasi kurang berjalan terhadap pengenaan sanksi masyarakat.

Aspek pengelolaan teknis prasarana dan sarana menunjukan adanya fasilitas bersama yang pemanfaatannya digunakan untuk kepentingan individu dan sarana balai pertemuan untuk penyuluhan kurang memadai, perencanaan operasional hanya disusun untuk jangka pendek, koordinasi dengan instansi lain sangat terbatas, pengelolaan persewaan, pemasaran dan pembinaan penghuni tidak dilakukannya survey analisis pasar, menyusun startegi pasar dan pembinaan disebabkan unit hunian sudah terisi penghuni lama, pengelolaan administrasi dan keuangan pada penerapan sanksi tidak dapat dilaksanakan karena masih ada masalah dengan status hukum dipengadilan.

2.4.Perilaku dalam Perumahan

Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor tersebut merupakan penentu dari perilaku manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku


(65)

makhluk hidup tersebut untuk selanjutnya. Lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan teori tersebut, maka perilaku manuisa dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus bersangkutan.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”

Setiap individu tentunya menginginkan rumah sebagai tempat tinggal yang nyaman dan sehat. Penelitian yang dilakukan oleh Murwanti (2009) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih suatu perumahan berdasarkan karakteristik individu antara lain umur, pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan terhadap atribut produk yang terdiri dari harga, desain, fasilitas dan lokasi perumahan.

Variabel yang mempunyai keterkaitan yang paling kuat adalah karakteristik konsumen mengenai tingkat pendidikan dengan atribut harga, disusul secara berturut-turut selanjutnya adalah variabel tingkat pendidikan dengan desain, pendidikan


(66)

dengan lokasi, tingkat usia dengan lokasi, tingkat pekerjaan dengan desain, Tingkat penghasilan dengan lokasi, pekerjaan dengan fasilitas, tingkat penghasilan dengan fasilitas, usia dengan harga, penghasilan dengan desain dan pendidikan dengan fasilitas, penghasilan dengan harga, pekerjaan dengan harga, usia dengan desain, usia dengan fasilitas dan yang terakhir pekerjaan dengan lokasi.

Setelah memilih perumahan dan tinggal dalam rumah tersebut penghuni tentunya harus memiliki perilaku hidup sehat dalam agar terjadi penyakit. Perilaku baik yang dilakukan penghuni di rumah agar rumah tersebut menjadi sehat sangat banyak, antara lain:

1. Menyapu lantai dan halaman rumah

2. Membersihkan kamar mandi dan jamban/WC.

3. Menyapu lantai rumah agar bersih dari debu dan kotoran lain

4. Menyapu halaman untuk membersihkan sampah agar tidak menjadi sumber penyakit dan kecelakaan

5. Menguras dan menyikat kamar mandi agar bersih dan tidak menjadi tempat bertelur nyamuk

6. Membuang sampah di tempat sampah yang tertutup agar tidak dapat dihinggapi lalat, kecoa, tikus maupun hewan lainnya sebagai pembawa penyakit.

7. Membuka jendela diwaktu pagi sampai sore hari agar udara bersih dan segar masuk ke dalam rumah akan mengurangi terjadinya sakit pernapasan.

8. Tidur dengan menggunakan kelambu dapat menghindari gigitan nyamuk sehingga dapat terhindar dari penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.


(1)

GAMBARDOKUMENTASI2.7: PENDERITA SKABIES

Dokumentasi 2

RUSUNAWA WISMA LABUHAN

PENGARUH KOMPONEN FISIK RUMAH, SANITASI

LINGKUNGAN DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN


(2)

178


(3)

GAMBARDOKUMENTASI 2.9: PENGELOLAAN SANITASI DASAR

TDK MEMENUHI SYARAT


(4)

180


(5)

GAMBARDOKUMENTASI 2.11: PENDERITA SKABIES RUSUNAWA WISMA LABUHAN


(6)

182

GAMBARDOKUMENTASI 2.12: PENELITI, DOKTER, PENDERITA SKABIES

GAMBARDOKUMENTASI 2.13: PENGKURAN KELEMBABAN, SUHU DAN PENCAHAYAAN