Korelasi Kadar Hepsidin dan Reticulocyte Hemoglobin Pada Penderita Gagal Ginjal Terminal Dengan Hemodialisis Reguler

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal Ginjal Terminal (GGT) merupakan keadaan klinik yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal

yang irreversibel, sampai pada suatu

derajat yang memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal yang tetap berupa
dialisis atau transplantasi ginjal, disertai keadaan uremia yaitu suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi akibat menurunnya fungsi ginjal
pada Penyakit Ginjal Kronik (PGK).Gagal ginjal terminal termasuk ke
dalam PGK derajat lima dengan penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
3 bulan
(Rachmiwatie 2013).Data rekam medik di Unit Hemodialisa Rumah Sakit
Umum Pusat dr Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2011 tercatat 1.296
orang penderita GGT baru yang menjalani HD (rata-rata 108 penderita
baru/bulan) dan sekitar 144 penderita GGT yang menjalani HD reguler,
sedangkan tahun 2012 meningkat menjadi 2.004 orang penderita GGT
baru dan 167 yang menjalani HD reguler. (Rachmiwatie 2013). Data
rekam


medik terbaru di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Umum Pusat
1
Universitas Sumatera Utara

2

H.Adam Malik Medan tercatat 2.359 penderita GGT yang menjalani HD
reguler dari 1 Januari – 31 Desember 2014 dan sebanyak 216 orang
pasien sedang menjalani HD reguler saat ini.
Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien PGK,
terutama yang menjalani hemodialisis reguler yang dikenal dengan
anemia renal. Upaya perbaikan terhadap keadaan anemia tersebut
memberikan

manfaat diantaranya perbaikan kemampuan fungsi fisik,

fungsi kognitif, sistem kardiovaskular, meningkatkan kualitas hidup,
menurunkan lama rawatan di rumah sakit, dan tentunya menurunkan
angka


mortalitas.

(Buttarello

et.al.

2010).

Berkurangnya

produksi

eritropoietin merupakan penyebab utama anemia pada PGK (PERNEFRI
2011). Selain dikarenakan oleh anemia, defisiensi besi sering juga terjadi
pada pasien hemodialisis. Keadaan ini dapat terjadi di karenakan
penyebab absolut seperti perdarahan saluran cerna, malnutrisi, darah
yang tertinggal di alat dialiser, kekerapan pengambilan darah, dan dapat
juga dikarenakan penyebab fungsional seperti aktivitas eritropoesis
sumsum tulang yang terbatas untuk memobilisasi cadangan besi di dalam

tubuh (Buttarelo et al. 2010).
Penderita GGT dengan HD reguler lebih banyak mengalami defisiensi
zat besi akibat kehilangan darah.(NKF.K/DOQI 2006).Prevalensi defisiensi
zat besi pada penderita GGT adalah 25−75%. Prevalensi defisiensi zat
besi absolut pada penderita GGT yang menjalani HD reguler berdasarkan
pemeriksaan baku emas zat besi sumsum tulang adalah 76,4% (Spinowitz

Universitas Sumatera Utara

3

et.al. 2008). Semakin lama seorang penderita GGT menjalani HD akan
memiliki risiko kehilangan darah dan kehilangan zat besi yang semakin
besar (Jonckheere 2010).
Berbagai metode pemeriksaan untuk menilai status besi pada tubuh
telah banyak dikembangkan. Metode konvensional dilakukan dengan
pengukuran kadar Serum Iron (SI), Feritin Serum (FS) dan Saturasi
Transferin (ST). (Tessitore et al. 2001).

Kerancuan sering terjadi bila


menggunakan parameter konvensional ini dalam menilai status besi,
sebab selain ketiganya merupakan parameter tidak langsung, feritin
serum merupakan acute-phase reactant yang nilainya tergantung jenis
kelamin dan dapat meningkat pada keadaan inflamasi kronis sementara
ST nilainya dapat naik-turun sepanjang hari (Wish 2006).
Banyak penelitian yang dihasilkan dalam penggunaan indeks eritrosit
dan retikulosit dalam menilai status besi, diantaranya, the percentage of
hypochromic red blood cells (HyPO), the reticulocyte haemoglobin content
(CHr), erythrocyte zinc protoporphyrin (Er-ZPP), dan soluble Transferin
receptor (sTfR). (Tessitore et al. 2001). Defisiensi zat besi pada penderita
GGT menyebabkan ganguan eritropoiesis di dalam sumsum tulang, yang
berdampak pada menurunnya sintesis hemoglobin di dalam sel prekursor
eritroid yaitu retikulosit, sehingga kadar hemoglobin dalam retikulosit
(Reticulocyte Hemoglobin) menjadi rendah (Wysocka and Turowski 2010).
Reticulocyte

Hemoglobin

(Ret.He)


didefinsikan

sebagai

konten

hemoglobin di dalam retikulosit yang memberikan gambaran berapa

Universitas Sumatera Utara

4

banyak besi yang tersedia untuk eritropoesis. Normal 28,2-35,7 pg/sel
(Sysmex, 2007). Ret.He merupakan parameter untuk menilai jumlah
hemoglobin di dalam

retikulosit

(Marziah 2011; Dalimunthe 2012).


Retikulosit adalah eritrosit muda yang dilepas dari sumsum tulang ke
dalam

sirkulasi darah. Mereka beredar di sirkulasi selama 1-2 hari

sebelum menjadi eritrosit matang. (Marziah 2011; Rachmiwatie et.al.
2013b). Ret.He menggambarkan nilai rata-rata distribusi kandungan
hemoglobin (hemoglobin content) di dalam retikulosit dan ketersediaan
besi dalam proses eritropoiesis di sumsum tulang dalam beberapa hari
terakhir (Miwa et al. 2010). Menurut Dalimunthe, (2012) dalam
penelitiannya dari 15 orang sampel penderita PGK yang menjalani
hemodialisa reguler dan mendapat terapi suplemen besi intravena didapat
kadar Ret.He meningkat

dari 29,98 ± 3.85 menjadi 32,60 ± 3,24 pg.

Penelitian lain yang di lakukan oleh Rachmiwatie dkk (2013b) di
RS.Hasan Sadikin Bandung diperoleh data dari 61 orang penderita GGT
dengan hemodialisis reguler mendapati sensitifitas, spesifisitas, nilai duga

positif dan nilai duga negatif dari kadar Ret.He yang tinggi (96,8 % ,93,3%,
93,8% dan 96,6%, berurutan) sehingga dapat dinyatakan bahwa kadar
Ret.He memiliki validitas yang baik sebagai penanda pada anemia
defisiensi besi absolut.
Hubungan antara hepsidin dan

metabolisme besi diungkapkan

pertama kali oleh Pigeon et.al (2001) (saat meneliti respon hati terhadap
beban besi yang berlebihan) yang mendapatkan bahwa mRNA hepsidin

Universitas Sumatera Utara

5

diproduksi oleh hepatosit dan lipopolisakarida serta beban besi yang
berlebihan baik secara oral maupun parenteral dapat merangsang
produksi hepsidin sebagai umpan balik terhadap keadaan beban besi
yang berlebihan tersebut. (Teddy, 2011).Hepsidin merupakan Hormon
yang dihasilkan di hati yang berperan dalam metabolisme besi. Kadar

normal : 27-158 ng/ml (Macdougall 2010)
Malyszko (2006) dalam penelitiannya memperlihatkan hubungan
hepsidin dengan fungsi ginjal, status besi dan hs-CRP pada pasien PGK
yang diterapi secara konservatif, pasien HD, dan pasien yang menjalani
transplantasi ginjal. Pada ketiga kelompok pasien, didapatkan korelasi
yang bermakna antara hepsidin dengan fungsi ginjal. Kadar feritin dan
hepsidin lebih tinggi pada pasien HD, transplantasi ginjal dan PGK
dibandingkan dengan pasien kontrol. Tidak terdapat korelasi antara kadar
hepsidin dengan feritin dan saturasi transferin. Peningkatan kadar
hepsidin pada pasien PGK bukan hanya karena gangguan fungsi ginjal,
tetapi juga pengaruh inflamasi.
Kemna

(2008) menjelaskan hubungan antara hepsidin dan feritin

serurn pada penyakit ginjal kronik yaitu kadar dari kedua parameter
tersebut terjadi peningkatan tetapi pada kondisi defisiensi besi keduanya
akan menurun. Diantara keunggulan dari hepsidin serum adalah dapat
mencerminkan ketersediaan besi dan kebutuhan eritropoiesis, dan lebih
mencerminkan homeostasis besi dibandingkan dengan masing-masing


Universitas Sumatera Utara

6

parameter seperti saturasi transferin, reseptor transferin dan C- Reactive
Protein (CRP).
Pada penelitian Zaritsky (2010) menguji hubungan hepsidin serum
dengan indikator anemia, status besi, inflamasi dan fungsi ginjal. Pada
PGK stadium 2 - 4, feritin dan reseptor transferin berbanding lurus dengan
hepsidin, tetapi berbanding terbalik dengan LFG. Sedangkan pada PGK
stadium 5, saturasi transferin dan feritin dapat menentukan kadar
hepsidin.

Peningkatan

kadar

hepsidin


berperan

pada

gangguan

pengaturan besi dan proses eritropoesis. Hepsidin dapat dijadikan
sebagai parameter biokimia pada anemia defisiensi besi dan salah satu
penyebab terjadinya respon eritropoetin tidak adekuat.
Peters (2010) melaporkan 83 pasien PGK non dialisis, dan 48 pasien
HD, tidak terdapat korelasi kadar hepsidin dengan LFG (p =0,30 dan
r =0,12). Kadar hepsidin pada pasien HD lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar hepsidin pasien PGK non dialisis. LFG bukan merupakan faktor
utama yang menentukan kadar hepsidin pada pasien PGK.
Menurut penelitian di RSUD. Jamil, Padang, dari 25 penderita PGK
yang mengalami anemia defisiensi besi, didapati korelasi positif yang tidak
signifikan menurut statistik antar kadar hepcidin dengan derajat anemia
(p = 0.58), namun berkorelasi negatif dan kuat serta bermakna antara
kadar hepcidin dan feritin serum (r=-0,603, p