Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Dae

1. Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 merubah wajah hubungan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara hukum maka Undang-undang nomor 32 tahun
2004 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, dan dalam masa 2 (dua) tahun kedepan
seluruh perubahan dan peraturan pelaksanaan yang diatur dalam Undang-Undang
nomor 23 tahun 2014 harus ditetapkan. Otonomi daerah yang dijalankan selama ini
semata-mata hanya dipahami sebagai perpindahan kewajiban pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk masyarakat. Padahal substansi penting dari otonomi
daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan
ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan
merata di daerah. Makalah ini membahas tentang konsep otonomi daerah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditekankan lebih tajam dalam
Undang-Undang nomor 23 tahun 2014. Perubahan yang mendasar lain yang tidak ada
dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 ialah ditetapkannya Urusan Wajib
Daerah, dan pola hubungan Urusan Konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/ Kota yang langsung dimasukkan dalam Lampiran Undang-Undang nomor
23 tahun 2014 bahwa klasifikasi urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum

2. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dengan

Pemerintah Daerah
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem yang
mengatur bagaimana caranya sejumlah dana dibagi di antara berbagai tingkat pemerintah, serta
bagimana cara mencari sumber-sumber pembiayaan daerah untuk menunjang kegiatan-kegiatan sektor
publiknya (Devas, 1989: 179).
Instrumen yang dipergunakan dalam perimbanhan keuangan antara pusat dan daerah adalah UU No. 25
Tahun 1999:
1.

Dana Perimbangan, yaitu

Dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
1.

Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu

Dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
1.


Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu

Dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
tertentu;
1.

Dana Bagi Hasil, yaitu Pembagian hasil penerimaan dari
1.
SDA dari, minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan
perikanan
2.
Penerimaan perpajakan (tax sharring) dari pajak perseorangan (PPh), Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB).
1.
Pengaturan relasi keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang antara lain dilaksanakan
melalui dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah (PKPD) adalah
1.
Dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat dan pemerintah

daerah agar tidak tertinggal di bidang pembangunan,
2.
Untuk mengintensifkan aktivitas dan kreativitas perekonomian masyarakat
daerah yang berbasis pada potensi yang dimiliki setiap daerah. Pemda dan DPRD
bertindak sebagai Fasilitator dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh
rakyatnya. Artinya dalam era otda rakyat harus berperan aktif dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan derahnya,
3.
Mendukung terwujudnya goog governance oleh Pemda melalui perimbanhan
keuangan secara transparan, dan
4.
Untuk menyelenggarakan otda secara demokratis, efektif, dan efisien
dibutuhkan SDM yang profesional, memiliki moralitas yang baik. Oleh sebab itu,
desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan akan
meningkatkan kemampuan daerah dalam membangun dan pemberian pelayanan
kepada masyarakat daerah, bukan hanya sekedar pembagian dana, lalu terjadi
“desentralisasi KKN” dari pusat ke daerah.
KASUS
Perlu Evaluasi Menyeluruh UU No 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Kamis, 28 Oktober 2010

Dalam rangka mema jukan kehidupan bangsa dan mendorong peningkatan kesejahteraan secara merata
di seluruh daerah, anggaran negara sebesar mungkin harus ditujukan untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak-hak dasar rakyat terutama di wilayah yang relatif tertinggal.
Terkait dengan kebijakan penggunaan anggaran tersebut, dana transfer ke daerah merupakan salah satu
instrumen anggaran yang harus digunakan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat,
peningkatan produktivitas dan penguatan daya saing daerah, percepatan pembangunan daerah, serta
men dorong pemerataan pemba ngunan di seluruh wilayah.
Dana transfer ke daerah yang merupakan dana perimbangan terdiri dari tiga bentuk yaitu Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pengaturan yang terkait dengan
otonomi daerah, besaran dana-dana perimbangan tersebut dan distribusinya ke daerah, pada umumnya
diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Namun demikian, ketetapan tentang dana perimbangan DAU, DBH, DAK dalam UU Nomor 33 Tahun
2004 belum se penuhnya dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh kare na itu, Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI) menganggap perlu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UU itu.
Usulan evaluasi menyeluruh dikemukakan Wakil Ketua Komite IV DPR RI Drs.H.Abdul Gafar Usman,
MM. Menurut dia, UU No.33/2004 itu berhubungan dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Evaluasi itu sangat penting guna mengurangi ketim pangan bagi hasil antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Namun, kata Gafar, sebelum evaluasi menyeluruh, DPD RI mengusulkan agar
dioptimalkan pelaksanaan dari regulasi atau UU tersebut antara lain mengakomodir bagi hasil subsektor
perkebunan melalui UU APBN 2011. begitu juga perlu diakomodir bagi hasil Migas melalui UU APBN
2011 dan kebijakan sektor Migas. Pemikiran tersebut sebenarnya sudah termasuk dalam keputusan DPD
RI Nomor 52/ DPR RI/IV 2009-2010 tentang pertimbangan DPD RI terhadap RUU tentang APBN Tahun
Anggaran 2011, Agustus 2010.
Untuk memperkuat usulan DPD RI tersebut, Komite IV DPD RI, juga telah memberikan penjelasan
tentang Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil dalam RAPBN 2011 dengan Badan Anggaran DPR RI,
Oktober 2010.
Dana Alokasi Umum
Dalam laporan penjelasan Komite IV DPD RI tentang Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil dalam
RAPBN 2011 pada September 2010.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuang an antardaerah untuk men danai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sampai saat ini otonomi daerah masih kurang didukung oleh
kemampuan keuangannya. Belum ada upaya nyata untuk meningkatkan dana minimum 26% DAU.
Dana transfer ke daerah harus dapat dinaikkan sejalan dengan penyerahan sebagian wewenang
pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh daerah secara utuh. Kemampuan daerah untuk melaksanakan
dana transfer yang besar harus dibangun oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat bersama-sama.
Karena itu, DPD RI memberikan pertimbangan bahwa penghitungan DAU untuk setiap provinsi dan

kabupaten/ kota harus berdasarkan standar pelayanan minimum yang harus dicapai oleh Pemerintah
Daerah.

Dengan pendekatan ini, pengelolaan DAU diharapkan dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik
dengan menerapkan prinsip akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan efektivitas. Pemerintah harus cepat
menanggulangi berbagai hambatan dalam pengelolaan dana transfer ke daerah yang menyebabkan
keterlambatan pelaksanaan dan kurang optimalnya penyerapan belanja daerah dengan langkah-langkah
yang strategis.
Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) terkait erat dengan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Dalam
tahun 2011 penerimaan perpajakan direncanakan meningkat sebesar Rp96,6 triliun atau meningkat
sebesar 13% dibandingkan penerimaan perpajakan tahun 2010. Peningkatan penerimaan perpajakan
pada dasarnya merupakan mobilisasi uang rakyat.
Berdasarkan hasil pengamatan pada kunjungan kerja, DPD RI juga mencatat masih terjadinya berbagai
kasus penyalahgunaan pajak. Dalam kaitan DBH ini, DPD RI mencatat bahwa penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) menurun dari Rp247,2 triliun menjadi Rp243,5 triliun atau menurun sebesar Rp3,7 triliun.
Penyerahan kewenangan perpajakan kepada daerah (PBB dan BPHTB) perlu dikaji kembali khususnya
terhadap daerah dengan kemampuan fiskal yang rendah dan dampaknya terhadap masyarakat. Karena
itu, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu bekerja keras mengoptimalkan penerimaan perpajakan
sehingga tax ratio secara bertahap akan meningkat menjadi 13%—15% dari PDB.

Selain itu, Pemerintah perlu mengoptimalkan PNBP melalui berbagai langkah seperti optimalisasi
penerimaan deviden dan pajak dari BUMN, serta optimalisasi penerimaan dari minyak dan gas serta
langkah lain yang mendasar. DPD RI memandang penting aspek akuntabilitas penerimaan negara
terutama dari sektor perpajakan.
Berbagai bentuk penyimpangan jangan sampai merusak reformasi birokrasi dan administrasi Mencermati
persoalan ter sebut, pertimbangan dan usulan DPD RI menurut Abdul Gafar Usman, menghasilkan
kesamaan visi antara DPR dan DPD yakni bahwa anggaran dalam APBN harus digunakan untuk
kepentingan rakyat di daera-daerah.
Selain itu pertimbangan dan usulan DPD juga telah direspon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam pengantar Nota Keuangan dan disebutkan APBN

3. Hubungan Kewenangan Antara
Pusat Dengan Pemerintah Daerah

Pemerintah

Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah telah diatur
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa desentralisasi mensyaratkan
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom. Segala

kebijakan pemerintah pusat tidak dapat diganggu gugat pemerintah daerah, tapi kebijakan
pemerintah daerah bisa saja di campuri pemerintah pusat.

Kebijakan pemerintah pusat yang mutlak diantaranya adalah terjaminnya kelangsungan
hidup bangsa dan negara secara keseluruhan,yakni urusan pemerintahan yang terdiri dari :
1. Politik Luar Negeri, dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga
negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan
luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan
perdagangan luar negeri, dan sebagainya;
2. Pertahanan, misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata,
menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara
dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan
negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara
bagi setiap warga negara dan sebagainya;
3. Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menindak
kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara, dan
sebagainya;
4. Moneter dan fiskal, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang,
menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;
5. Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa,

mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman
keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang,

peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan
peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya;
6. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,
memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan
dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian
tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada
daerah.
Terdapat beberapa urusan pemerintah yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan
yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Concurrent
tersebut
antara
lain
meliputi
: eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan

pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut.
Jika ada urusan dan permasalahan yang bersifat lokal atau daerah, pemerintah daerah
berhak dalam mengatasi masalah itu sediri tanpa campur tangan pemerintah pusat, namun
apabila masalah tersebut mulai membesar dan bersifat nasional maka yang berhak
mengatasi masalah tersebut adalah pemerintah pusat.
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah
tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang
ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin
Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil,dana, dan peralatan) untuk
mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan
bagian
urusan.
Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdaya

guna dan berhasil guna dilaksanakan oleh provinsi dan /atau kabupaten/kota dibandingkan
apabila ditangani oleh pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada
provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Pemerintah
daerah
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang tentang
pemerintahan daerah ini ditentukan menjadi urusan pemerintah (politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama). -Bab III UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah