HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK J

BAB I
PENDAHULUAN
Jalan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2004 adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel.

1.1. SEJARAH DAN FUNGSI JALAN
a. Jejak
Sejarah jalan pada hakekatnya dimulai bersama dengan sejarah manusia,
pada saat mula pertama manusia ‘mendiami’ bumi. Usaha mereka yang
paling utama adalah mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu
berupa kebutuhan makan dan minum.
Mereka (dan binatang) mencari tempat sumber-sumber makanan dan
minuman yang rintangannya paling sedikit, sehingga didapat jejak-jejak
saja, misal: jejak menuju danau atau sungai.
b. Jalan Setapak dan Lorong Tikus
Pada saat manusia sudah melakukan kehidupan secara berkelompok,
mereka membutuhkan tempat berdiam (meski sementara). Mereka

berpindah-pindah tempat secara musiman atau bila di tempat sekitarnya
ketersediaan bahan kebutuhan makan sudah berkurang atau habis. Jejakjejak yang menghubungkan antara tempat berdiam (seperti: gua) dengan
tempat atau sumber air misalnya, tampak berupa jejak jalan setapak atau di
hutan sering disebut dengan istilah lorong-lorong tikus.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 1

Jalan setapak ini merupakan jalan musiman, yaitu jalan yang dilewati hanya
pada musim-musim tertentu sesuai dengan rotasi ekologi yang berkaitan
dengan kebutuhan makan dan minum, seperti: musim mencari ikan, musim
berburu, dan lain sebagainya.
c. Jalan Sebagai Prasarana Sosial
Pada saat kehidupan berkelompok manusia meningkat secara kuantitas, seiring
dengan berkembangnya tingkat keberadaban manusia, maka terbentuklah
suku-suku atau bangsa-bangsa. Mereka mulai menggunakan jalan secara
‘permanen’ untuk melakukan hubungan antar suku/bangsa, baik hubungan
sosial maupun ekonomis, berupa barter barang-barang kebutuhan hidup.
d. Jalan Sebagai Prasarana Sosial, Ekonomi, Politik, Militer dan Budaya

Sejarah mencatat, bangsa Persia (± 6 abad SM) dan bangsa Romawi (± 4 abad
SM) sudah menaruh perhatian yang besar kepada pembuatan jalan untuk
mempertahankan persatuan bangsanya dan untuk keperluan gerakan
tentaranya dalam rangka memperluas imperium (jalan berperan sebagai
prasarana politik dan militer), selanjutnya dengan perluasan imperium terjadi
suatu transformasi budaya terhadap bangsa-bangsa yang ditaklukan/dikuasai
(jalan berperan sebagai prasarana transformasi budaya)
Prestasi bangsa Persia dan Romawi dalam pembangunan jalan:

9 Semenjak abad ke-6 SM, bangsa Persia telah membuat jalan ± 1755 mil,
yang melewati Asia kecil, Asia Barat Daya sampai Teluk Persia.

9 Antara abad ke 4 SM – abad ke 4 Masehi, bangsa bangsa Romawi telah
membangun jalan ± 50.000 mil yang membentang mulai dari Italia –
Perancis – Inggris – hingga bagian barat Asia kecil dan bagian utara
Afrika
Sukses bangsa Romawi dalam membangun jalan, disebabkan oleh 3 faktor:

9 Ahli-ahli negara Bangsa Romawi banyak yang memahami dan tahu arti
pentingnya jalan sebagai prasarana perhubungan untuk mempertahankan

negara dan memperluas imperium.

9 Bangsa Romawi lebih mengenal teknik pembangunan jalan, dibandingkan
dengan bangsa lain pada zamannya, Mereka telah mengenal lapisan
perkerasan, material (penyusun jalan) dan teknik survey.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 2

9 Bangsa Romawi memiliki armada tenaga kerja yang sangat besar, yaitu
budak-budak dari bangsa jajahannya, disampng bala tentaranya bila tidak
ada perang.
e. Jalan Dalam Arti Strategi

9 Setelah kerajaan Romawi mulai runtuh pada pertengahan abad ke 4 M,
maka jalan-jalan yang buatnya menjadi rusak, yang disebabkan kurangnya
perhatian/pemeliharaan.
Pada abad ke 5 M, orang Barbar merusak sama sekali jalan-jalan tersebut,
mereka takut mendapat serangan kembali dari bangsa Romawi (yang

dimungkinkan bangkit kembali) ataupun dari bangsa lain. Tindakan
destruktif tersebut diikuti pula oleh bangsa-bangsa lain, sehingga sistem
perangkutan darat (pada saat itu) sangat merosot, dimana gerobak-gerobak
(pengangkut barang) hampir hilang, dan barang diangkut kembali dengan
hewan (tanpa gerobak)

9 Pada abad ke 19 Deandles (Gubernur Belanda di Indonesia) membuat
jalan membujur Pulau Jawa, yang meliputi: Merak – Jakarta – Bandung –
Cirebon – Purwokerto – Yogyakarta – Solo – Surabaya sampai
Banyuwangi (± 1500 Km), yang melewati kota-kota penting/pusat
kerajaan ⇒ dalam rngka menguasai ekonomi, keadaan dan ‘menjinakkan’
kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.

9 Bangsa Jerman dalam mempersiapkan Perang Dunia ke 2, membangun
jalan raya dari Berlin menuju ke segala penjuru untuk mensukseskan blitzkriegnya.

9 Dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia melawan Belanda yang
unggul dalam persenjataan dan teknik militer, pejuang Indonesia melakukan tindakan yang penting dalam arti strategis militer dan ekonomi (⇒
penghancuran jalan-jalan darat dan KA, penghancuran sumber produksi/
pabrik, dll)

Jalan bagi suatu bangsa: bahwa keadaan jalan & jaringannya, dapat dijadikan
barometer tentang tingginya kebudayaan & kemajuan ekonomi suatu bangsa
⇒ pepatah : bagaimana jalannya demikian pula bangsanya.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 3

1.2. PENGELOMPOKAN JALAN
a. Lokasi
Lokasi jalan yang akan dibangun menentukan bentuk disain konstruksi
(geometrik), yang dipengaruhi oleh faktor-faktor utama seperti populasi dan
tata guna lahan. Karakteristik lokasi yang sangat relevan adalah kawasan
perkotaan (urban area) dan kawasan pedesaan – luar kota (rural area).
a.1. Jalan perkotaan (Urban road)
Jalan perkotaan dicirikan oleh:

9 konsentrasi populasi relatif tinggi

9 intensitas tata guna lahan relatif tinggi, dimana banyak lahan yang

dipergunakan untuk perkantoran, pertokoan, pendidikan, permukiman, dan lain-lain.

9 berdasar konsentrasi populasi dan intensitas tata guna lahan, maka
kebutuhan akses (perjalanan) tinggi, sehingga volume arus lalu lintas
atau permintaan angkutan umum juga tinggi.

9 manual yang digunakan untuk disain konstruksi (geometrik) adalah
Standar Perencanaan Geometrik Untuk Perkotaan, Maret 1992.
a.2. Jalan antar kota/luar kota (Rural road)
Jalan antar kota dicirikan oleh:

9 konsentrasi populasi relatif rendah

9 intensitas tata guna lahan yang relatif rendah, dimana sebagian besar
lahan dipergunakan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan lain-lain.

9 berdasar konsentrasi populasi dan intensitas tata guna lahannya,
maka kebutuhan akses (perjalanan) relatif rendah,

9 volume arus lalu lintas atau permintaan angkutan umum bergantung

pada jarak antar kota yang dihubungkannya.

9 Manual yang dipergunakan untuk disain konstruksi (geometrik)
adalah Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
September 1997.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 4

b. Pengelompokan Jalan Umum Menurut Sistem
b.1. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan
peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan
semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua
simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
b.2. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
c. Pengelompokan Jalan Umum Menurut Fungsi
c.1. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata
tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
c.2. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan pengumpul atau pembagi dengan cirri perjalanan jarak
sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c.3. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan
rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
c.4. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan
kecepatan rata-rata rendah.

Adapun implementasi pengelompokan jalan menurut fungsinya dalam sistem
jaringan jalan, dibedakan sebagai berikut:

♦ Sistem jaringan jalan primer, meliputi: Jaringan jalan arteri primer,
jaringan jalan kolektor primer dan jaringan jalan lokal primer. Hirarkie
sistem jaringan ini divisualisaikan pada gambar 1.1.

♦ Sistem jaringan jalan sekunder, meliputi: Jaringan jalan arteri sekunder,

Jaringan jalan kolektor sekunder dan jaringan jalan lokal sekunder.
Hirarkie sistem jaringan ini divisualisasikan pada gambar 1.2.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 5

KOTA
JENJANG I

Jalan Lokal Primer

Jalan Arteri
Primer

KOTA
JENJANG II

Jalan Lokal Primer


Jalan Kolektor Primer

KOTA
JENJANG III

KOTA
JENJANG I

Jalan Arteri
Primer

Jalan Arteri Primer

Jalan Kolektor
Primer

KOTA
JENJANG II

Jalan Kolektor Primer


Jalan Lokal
Primer

KOTA
JENJANG III

Jalan Lokal Primer

Jalan Lokal Primer

KOTA
DI BAWAH
JENJANG
III

Jalan Lokal Primer

PERSIL

Gambar 1.1 Sistem Jaringan Jalan Primer

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 6

F1
KAWASAN
PRIMER

Jalan Arteri Sekunder

Jalan Lokal Sekunder

F 12
KAWASAN
SEKUNDER
I

Jalan Arteri
Sekunder

Jalan Arteri
Sekunder

Jalan Arteri
Sekunder

Jalan Arteri
Sekunder

F 22
KAWASAN
SEKUNDER
II

Jalan Kolektor
Sekunder

F 21
KAWASAN
SEKUNDER
I

F 22
KAWASAN
SEKUNDER
II

Jalan Lokal Sekunder

Jalan Kolektor
Sekunder

F 23
KAWASAN
SEKUNDER
III

Jalan Lokal
Sekunder

PERUMAHAN

Gambar 1.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 7

d. Pengelompokan Jalan Umum Menurut Status
d.1. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam

sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota
provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
d.2. Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan

primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan
strategis provinsi.
d.3. Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan

primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan
pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum
dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan
jalan strategis kabupaten.
d.4. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder

yang

menghubungkan

antar

pusat

pelayanan

dalam

kota,

penghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang
berada di dalam kota.
d.5. Jalan desa merupakan jalan umum yang penghubungkan kawasan

dan/atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
e. Pengaturan & Pengelompokan Jalan Umum Menurut Kelas

Untuk pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas, jalan
dibagi dalam beberapa kelas jalan. Pembagian kelas jalan diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan.
Pengaturan kelas jalan (menurut UURI nomor 38 tahun 2004) berdasarkan
spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan atas jalan bebas
hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil.
e.1. Jalan bebas hambatan (freeway) adalah jalan umum untuk lalu lintas
menerus yang memberikan pelayanan menerus/tidak terputus dengan
pengendalian jalan masuk secara penuh, dan tanpa adanya persim-

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 8

pangan sebidang, serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan,
paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah dan dilengkapi dengan
median;
e.2. Jalan raya (highway) adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus
dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi
dengan median, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah;
e.3. Jalan sedang (road) adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak
sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling
sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar paling sedikit 7
(tujuh) meter;
e.4. Jalan kecil (street) adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas
setempat, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar
paling sedikit 5,5 (lima setengah) meter.
Sedangkan pengelompokan kelas jalan menurut karakteristik kendaraan
yang dilayani, berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993:

♦ Jalan kelas I, merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan

bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2 500
milineter, ukuran panjang tidak melebihi 18 000 milimeter dan muatan
sumbu terberat (MST) yang diizinkan lebih besar dari 10 ton.

♦ Jalan kelas II, merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan

bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2 500
milineter, ukuran panjang tidak melebihi 18 000 milimeter dan muatan
sumbu terberat (MST) yang diizinkan 10 ton.

♦ Jalan kelas IIIA, merupakan jalan arteri atau kolektor yang dapat

dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2 500 milineter, ukuran panjang tidak melebihi 18 000
milimeter dan muatan sumbu terberat (MST) yang diizinkan 8 ton.

♦ Jalan kelas IIIB, merupakan jalan kolektor yang dapat dilalui

kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2 500 milineter, ukuran panjang tidak melebihi 12 000
milimeter dan muatan sumbu terberat (MST) yang diizinkan 8 ton.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 9

♦ Jalan kelas IIIC, merupakan jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan

bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2 100
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9 000 milimeter dan muatan
sumbu terberat (MST) yang diizinkan 8 ton.
f.

Menurut Medan - Topografi
Berdasarkan kondisi sebagian besar kelandaian – kemiringan medan yang
diukur tegak lurus terhadap garis kontur, maka untuk perencanaan
geometrik jalan medan diklasifikasikan sebagai berikut:
f.1. Medan datar, kemiringan medan < 3 %
f.2. Medan Perbukitan, kemiringan medan 3 – 25 %
f.3. Medan Pegunungan, kemiringan medan > 25 %

g. Tipe Jalan
g.1. Jalan Tidak Terbagi (TB), yaitu ruas jalan yang pembatas jalurnya

berupa marka jalan (terputus-putus atau menerus/solid).
g.2. Jalan Terbagi (B), yaitu ruas jalan yang pembatas jalurnya berupa

bangunan, yang disebut median, secara teknis berupa bangunan yang
dilengkapi dengan taman atau sekedar pasangan kerb beton.
Beberapa contoh tipe jalan yang dimaksud, divisualisasikan pada gambar
1.3 untuk tipe jalan 2 jalur – 2 lajur tak terbagi, gambar 1.4 untuk tipe
jalan 1 jalur – 2 lajur tak terbagi dan gambar 1.5 untuk tipe jalan 2 jalur –
4 lajur terbagi.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 10

Bat as Tepi

Laj ur

Marka

Laj ur

Bat as Tepi

I

I

Jalur Lalu Lint as

Pot ongan I - I

Gambar 1.3 Jalan 2 jalur – 2 lajur – 2 arah (2/2 TB)

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 11

Bat as Tepi

Laj ur

Marka

Laj ur

Bat as Tepi
I

I

Jalur Lalu Lint as
Pot ongan I - I

Gambar 1.4 Jalan 1 jalur – 2 lajur – 1 arah (2/1 TB)

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 12

Bat as Tepi

Laj ur

Marka

Laj ur

Median

Laj ur

Marka

Laj ur

Bat as Tepi

I

I

Jalur Lalu Lint as
Pot ongan I - I

Gambar 1.5 Jalan 2 jalur – 4 lajur Terbagi (2/4B)
h. Pengelompokan Jalan Berdasar Jenis Konstruksi

Berdasarkan jenis konstruksi (termasuk jenis material penyusun), maka
jalan dikelompokkan sebagai berikut:
h.1. Jalan tanah, yaitu berupa jalan yang tidak menggunakan material
tambahan yang lebih baik sebagai pengeras jalan. Jalan tanah pada
umumnya berkembang secara alamiah, sesuai dengan dinamika
masyarakat setempat.
h.2. Jalan konstruksi perkerasan batu pecah, yaitu perkerasan jalan yang
disusun dari batu pecah atau batu kali, dan di bagian atas ditutup

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 13

dengan batuan yang berukuran lebih kecil (kerikil), sedangkan
bagian permukaan ditutup (dihampar) dengan batuan yang lebih
halus (pasir).
h.3. Jalan konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu
perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.
Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan
beban lalu lintas ke tanah dasar.
h.4. Jalan konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan
yang menggunakan bahan semen (portland cement) sebagai bahan
pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas
tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas
sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
h.5. Jalan konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu
konstruksi jalan kombinasi antara perkerasan kaku dengan
perkerasan lentur. Implementasi yang lazim dari jenis konstruksi ini
adalah perkerasan lentur berada di atas perkerasan kaku.
j. Bagian-Bagian Jalan

Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004, menjelaskan
bagian-bagian jalan sebagai berikut:
j.1. Ruang Manfaat Jalan adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk
konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta
ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan
atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki.
Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar, dari ruang
manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan bangunan
jalan.
Kriteria teknis ruang manfaat jalan, diantaranya:

♦ Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua
sisi jalan.

♦ Tinggi ruang bebas 5 meter di atas permukaan pada sumbu jalan.
♦ Kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 14

j.2. Ruang Milik Jalan (right of way) meliputi ruang manfaat jalan dan
sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih
menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas
ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan
keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan
pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.
Lebar ruang milik jalan adalah sama dengan ruang manfaat jalan,
ditambah dengan ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi
5 meter dan kedalaman 1,5 meter.
j.3. Ruang Pengawasan Jalan adalah ruang tertentu yang terletak di
luar ruang milik jalan yang penggunaannya diawasi oleh
penyelenggara jalan agar tidak mengganggu pandangan pengemudi,
konstruksi bangunan jalan apabila ruang milik jalan tidak cukup luas,
dan tidak mengganggu fungsi jalan. Terganggunya fungsi jalan
disebabkan oleh pemanfaatan ruang pengawasan jalan yang tidak
sesuai dengan peruntukannya.
Lebar ruang pengawasan jalan diukur dari sumbu jalan, sebagai
berikut :
= jalan arteri, minimum 20 meter
= jalan kolektor, minimum 15 meter
= jalan lokal, minimum 10 meter
Ruang pengawasan jalan sebagai fasilitas untuk keselamatan
pemakai jalan, maka untuk di daerah tikungan ditentukan oleh jarak
pandang bebas.
Visualisasi dari bagian-bagian jalan tersebut, disajikan pada gambar 1.6
dan gambar 1.7.
k. Jenis / Bentuk Lain Jalan Raya
1). Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan
jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar tol. Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan
untuk penggunaan jalan tol
2). Overpass – Underpass

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 15

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 16

C

L

1, 50

3, 50

1, 00

Jalur Samping
Trot oar

7, 00

2, 00

Jalur Lalu Lint as

Separat or

7, 00

1, 00

Jalur Lalu Lint as
Median

3, 50

1, 50

Jalur Samping

Separat or

Trot oar

Gambar 1.7 Ruang Manfaat Jalan Dilengkapi Jalur Samping Dalam
Penampang Melintang

1.3. TINGKAT PELAYANAN JALAN
Berdasar Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 14 Tahun 2006, tingkat
pelayanan pada ruas jalan diklasifikasikan atas:
a. Tingkat pelayanan A, dengan kondisi:
a.1. Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi;
a.2. Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan maksimum/
minimum dan kondisi fisik jalan;
a.3. Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa
atau dengan sedikit tundaan.
b. Tingkat pelayanan B, dengan kondisi:
b.1. Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai
dibatasi oleh kondisi lalu lintas;
b.2. Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum mempengaruhi kecepatan;
b.3. Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya
dan lajur jalan yang digunakan.
c. Tingkat pelayanan C, dengan kondisi:
c.1. Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh
volume lalu lintas yang lebih tinggi;

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 17

c.2. Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas
meningkat;
c.3. Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur
atau mendahului.
d. Tingkat pelayanan D, dengan kondisi:
d.1. Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan
kondisi arus;
d.2. Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan
hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang
besar;
d.3. Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan
kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir
untuk waktu yang singkat.
e. Tingkat pelayanan E, dengan kondisi:
e.1. Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu
lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;
e.2. Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi;
e.3. Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.
f. Tingkat pelayanan F, dengan kondisi:
f.1. Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;
f.2. Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi
kemacetan untuk durasi yang cukup lama;
f.3. Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0.
Adapun tingkat pelayanan yang diinginkan pada ruas jalan pada sistem jaringan
jalan sesuai dengan fungsinya, dijelaskan sebagai berikut:


Sistem jaringan jalan primer

9 jalan arteri primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B;

9 jalan kolektor primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B;
9 jalan lokal primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C;
9 jalan tol, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 18



Sistem jaringan jalan sekunder sesuai fungsinya untuk:

9 jalan arteri sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C;

9 jalan kolektor sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C;
9 jalan lokal sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya D;
9 jalan lingkungan, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya D.
1.4. PROSEDUR PERENCANAAN JALAN RAYA
a. Standar Perencanaan
1) Direktorat Jendral Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum
2) American Association Of State Highway and Transportation Oficial
(AASHTO)
b. Disiplin Ilmu Terkait
1) Geologi - Mekanika Tanah & Pondasi
2) Hidrologi
3) Hidrolika
4) Geodesi
5) Teknologi & Struktur Beton
6) Struktur Baja
7) Ekonomi Teknik
c. Prosedur Perencanaan
Untuk mendapatkan jalan raya yang ‘baik’ (biaya konstruksi murah,
biaya pemeliharaan rendah, pelayanan optimum, nilai ekonomis bagi
masyarakat maksimum), maka prosedur perencanaanya harus difahami
dengan baik oleh perencana jalan. Ada beberapa konsep prosedur
perencanaan jalan raya, 3 (tiga) diantaranya dikemukakan dalam buku
ini, yaitu:
1) Prosedur Perencanaan Jalan Raya Secara Umum
Prosedur perencanaan tipe ini bersifat sederhana dan global. Untuk
mendapatkan suatu rencana jalan yang baik, maka prosedur ini dapat
dijadikan referensi. Secara skematis, prosedur perencanaan jalan ini
disajikan pada gambar 1.8.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 19

Reconnaissance

Preliminary

Feasibility

Design

Model

Final Design

Construction

Gambar 1.8 Diagram Alir Prosedur Perencanaan Jalan
Raya Secara Umum
9 Reconnaissance, yaitu berupa kegiatan observasi/peninjauan awal
lokasi dari jalan raya yang akan dibangun.

9 Preliminary, yaitu berupa persiapan atau studi pendahuluan
berkaitan dengan rencana pembangunan jalan raya.

9 Feasibility, yaitu berupa studi kelayakan atas pembangunan jalan.

9 Design, yaitu perencanaa (teknis) jalan raya berupa model 2
dimensi (gambar) atau model 3 dimensi (maket).

9 Construction, yaitu masa pelaksanaan pembangunan jalan raya
dari rencana yang telah dibuat.
2) Prosedur Perencanaan Jalan Raya Berbasis Potensi Pergerakan
Berorientasi bahwa pelayanan jaringan jalan sangat dipengaruhi oleh
jumlah pergerakan (bangkitan pergerakan, sebaran pergerakan,
pemilihan moda/jenis kendaraan) dan kuantitas & kualitas jaringan
jalan (pembebanan rute). Kualitas pelayanan jaringan jalan yang baik

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 20

(optimum) adalah apabila jumlah pergerakan relatif dapat dipenuhi
secara proporsional oleh sistem jaringan jalan, sehingga pergerakan
tidak banyak mengalami hambatan. Untuk mendapatkan ukuran jalan
yang baik (menurut orientasi tersebut), maka dalam perencanaan
jalan harus mengacu – berpedoman pada prosedur perencanaan jalan
tipe ini. Secara skematis, prosedur tipe ini dijelaskan gambar 1.9.

& Zoning adalah menentukan batas-batas wilayah dari satu ruang,
yang dilakukan untuk mengetahui pola perjalanan dari setiap
zona diantaranya dengan membuat kriteria homogenitas tata guna
lahan (land-use), misal: tata guna lahan permukiman (high
income, midlle income dan low income), tata guna lahan industri,
tata guna lahan pertanian/ perkebunan, dan lain-lainnya.

& Coding yaitu menetapkan dan menentukan kode-kode (biasanya
dalam bentuk angka) yang dipergunakan untuk mempermudah
analisa data, terutama analisa dengan menggunakan alat bantu
perangkat lunak (computerized system), misal: kode zona-zona
dalam wilayah studi, kode pergerakan kendaraan (lurus, belok
kiri, belok kanan), kode arah pergerakan (masuk wilayah studi,
keluar wilayah studi), dan lain sebagainya.

& Inventory atau pengumpulan data, baik data primer maupun data
sekunder. Data primer adalah data yang diambil sendiri oleh
peneliti, baik dengan cara observasi lapangan/pengukuran
langsung maupun dengan cara wawancara. Sedangkan data
sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, baik berupa
data mentah hasil pengukuran pihak lain maupun data matang
yang telah disajikan dalam suatu laporan penelitian. Data yang
dikumpulkan diupayakan selengkap mungkin, yang kiranya dapat
merepresentasikan semua aspek kehidupan masyarakat yang
berkaitan dengan kegiatan perjalanan. Dan pada saat merencanakan pengumpulan data, hendaknya diantisipasi kemungkinan
terjadinya kekurangan data, baik dalam konteks ukuran sample
maupun dalam konteks variabel/parameter yang relevan.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 21

1. CODING &
ZONING

2. INVENTORY

3. FORCASTING I

4. TRIP FORCASTING

tidak
5. MASALAH THD
INFRASTRUKTUR

STOP

ya
6. SKENARIO PEMECAHAN
MASALAH

7. FORCASTING II

tidak
ya
8. MASALAH THD.
SKENARIO

9. DETAIL PLAN

Gambar 1.9 Diagram Alir Prosedur Perencanaan Jalan Raya
Berbasis Potensi Pergerakan

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 22

& Forecasting I/Peramalan I, adalah tahapan untuk meramalkan
permasalahan yang dimungkinkan akan timbul terhadap kondisi
eksisting. Pada peramalan ini, variabelnya dibuat sederhana/
makro, diantaranya adalah: aspek tata guna lahan, aspek sosioekonomi dan aspek kebijakan & peraturan yang relevan.

& Trip Forecasting/Peramalan jumlah perjalanan yang akan terjadi
pada suatu wilayah studi dalam rentang waktu tertentu, sesuai
dengan tujuan dan sasaran studi yang dikehendaki. Peramalan
perjalanan ini meliputi ramalan jumlah perjalanan yang
dihasilkan (bangkitan perjalanan), ramalan sebaran perjalanan
(distribusi perjalanan), ramalan penggunaan/pemilihan moda
untuk perjalanan dan ramalan rute-rute jaringan transportasi yang
akan terbebani/pemilihan rute.

& Masalah Terhadap Eksisting Infra Struktur, yaitu suatu penilaian
kondisi eksisting infrastruktur sistem transportasi terhadap hasil
peramalan jumlah perjalanan yang akan terjadi. Dimana kapasitas
infrastruktur kondisi eksisting disimulasikan dengan jumlah
perjalanan yang akan terjadi, sehingga akan dapat diketahui
tingkat kinerja infrastruktur. Bila pada tahapan ini diketahui
bahwa tingkat kinerja infrastruktur masih ‘bagus’ (infrastruktur
kondisi eksisting tidak menimbulkan masalah) maka kegiatan
perencanaan bisa dihentikan. Namun sebaliknya, apabila
diketahui bahwa tingkat kinerja infrastruktur sudah ‘buruk’ maka
kegiatan perencanaan dilanjutkan untuk mencari skenario
pemecahannya.

& Skenario

Pemecahan

Masalah,

adalah

berupa

upaya

pengembangan alernatif-alternatif yang mungkin dalam beberapa
untuk dapat mengatasi permasalahan yang akan terjadi menurut
hasil simulasi. Sehingga jumlah perjalanan yang terjadi dapat
dilayani dengan baik dengan tanpa mengakibatkan penurunan
tingkat

kinerja

infrastruktur.

Dengan

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

demikian

skenario

B. 23

pemecahan masalah setidaknya dapat mencakup permasalahan
seperti: infrastruktur, saran dan kebijakan.

& Forecasting II/Peramalan II ini secara sederhana merupakan
tindak lanjut dan gabungan dari peramalan I dengan peramalan
perjalanan,

yang

akan

digunakan

sebagai

bahan

kajian

perencanaan detail (detail plan).

& Masalah Terhadap Skenario. Pada tahapan ini, dilakukan penilaian (bisa juga simulasi) secara lebih komprehensif dari hasil
skenario pemecahan masalah yang merupakan alternatif terbaik/
optimal dengan hasil peramalan II. Dengan demikian standar
penilaian yang digunakan cukup lengkap, seperti: tingkat pelayanan/kinerja (level of service), biaya pengguna (user cost), nilai
waktu (time value), tingkat keselamatan (safety), tingkat
keamanan, konsentrasi polusi (pollution consentration), aspek
ekonomi (economic evaluation), aspek finansial (financial
evaluation).

& Detail Plan adalah proses akhir dari prosedur perencanaan jalan
berbasis potensi pergerakan, berupa hasil perencanaan (teknis)
jalan, yang mencakup gambar-gambar geometrik jalan, rencana
perkerasan, dan lain sebagainya.
3) Prosedur Perencanaan Jalan Raya Berdasar Kajian Teknis
Prosedur perencanaan jalan raya dengan kajian pendekatan teknis
yang relevan, dikemukakan secara skematis sebagaimana pada
gambar 1.10.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 24

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 25

1.5. RUANG LINGKUP PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
Perencanaan Geometrik Jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan,
yang menitik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan raya. Tujuan dari
perencanaan geo,etrik jalan adalah untuk memenuhi fungsi dasar jalan, yaitu
memberikan pelayanan kepada pergerakan arus lalu lintas (kendaraan)
secara optimum.
Sedangkan Sasaran perencanaan geometrik jalan adalah untuk menghasilkan
design infrastruktur jalan raya yang aman, efisien dalam pelayanan arus lalu
lintas dan memaksimumkan ratio tingkat penggunaan / biaya pelaksanaan.
Dasar-dasar dalam perencanaan geometrik jalan diantaranya adalah sifat
gerakan dan ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan
kendaraan, karakteristik arus lalu lintas.
Elemen daalam perencanaan geometrik jalan, yaitu :

• Penampang melintang, menjelaskan bagian-bagian dari (konstruksi) jalan

• Alinyemen horisontal/tikungan (trase jalan), memperlihatkan kondisi jalan
yang lurus, menikung ke kiri - menikung ke kanan; dimana sumbu jalan
tampak berupa rangkaian garis lurus, atau lengkung berbentuk lingkaran
dan lengkung peralihan dari bentuk lurus ke bentuk busur lingkaran, atau
sebaliknya.

• Alinyemen vertikal (penampang memanjang), memperlihatkan kondisi
jalan yang datar (0 %), mendaki (+ g%) atau menurun (- g%); dimana
kondisi ini berkait erat terhadap sifat operasi kendaraan, keamanan, jarak
pandang dan fungsi jalan, selanjutnya aspek ini berkaitan pula terhadap
terhadap estimasi volume galian dan timbunan yang harus dilakukan untuk
mendapatkan jalan yang ‘baik’.

HIBA H PENG A JA RA N PERENC A NA A N G EO METRIK JA LA N

B. 26