Nilai Ekonomi Cadangan Karbon Pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Hutan Primer Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser

4

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan bermanfaat bagi
hidup dan kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat
langsung dari keberadaan hutan di antaranya adalah kayu, hasil hutan bukan kayu
dan satwa. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berupa jasa lingkungan,
baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen
dan penyerap karbon. Penyerapan karbon sendiri terjadi didasarkan atas proses
kimiawi dalam aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menyerap karbondioksida
(CO2)dari atmosfer dan air dari tanah menghasilkan oksigen dan karbohidrat yang
selanjutnya akan berakumulasi mejadi selulosa dan lignin sebagai cadangan
karbon (Badan Litbang Kehutanan, 2010).
Hutan sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewab leresources)
walaupun membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mengembalikan hutan
pada keadaan semula. Hutan sebagai penghasil jasa lingkungan sangat berpotensi
dalam mengurangi karbondioksida yang ada di atmosfer melalui proses
fotosintesis. Karbondioksida yang melewati ambang batas di atmosfer dapat
menyebabkan efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global semakin

meningkat (Lukito and Rohmatiah, 2013).
Perubahan iklim hutan dapat berperan baik sebagai penyerap/penyimpan karbon
(sink) maupun sebagai pengemisi karbon (source). Strategi sektor kehutanan yang
terkait dengan mitigasi perubahan iklim untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
(GRK) pada prinsipnyadapat dikelompokkan kedalam tiga kategori utama yaitu,

Universitas Sumatera Utara

5

konservasi karbon hutan, menambah serapan karbon melalui kegiatan aforestasi,
reforestasi dan praktek pengelolaan lainnya dan memanfaatkan biomasa sebagai
pengganti bahan bakar fosil (Kemenhut, 2011).
Keadaan Lokasi Penelitian
Luas dan Status Taman Nasional Gunung Leuser Resort Sei Betung
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu Taman Nasional
tertua di Indonesia dan ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: 276/kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 dan Nomor: SK.289/MenhutII/2011 tanggal 8 juni 2011 dengan luas kawasan yaitu 1.095.592 hektar. Potensi
kawasan TNGL diantaranya adalah habitat tumbuhan langka, yaitu pohon Payung
Raksasa (Johannesteijsmania altifrons), Raflesi (Rafflesia atjehensis) dan Liana

(Rizhantes zipplenii), habitat satwa dilindungi, yaitu Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatera), Badak
Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii),
serta keindahan dan gejala alam yang berpotensi menjadi objek wisata alam.
Selain itu sebagai satu kesatuan ekosistem, TNGL berfungsi sebagai pengatur tata
air, penjaga iklim, cadangan karbon dan sumber plasma nutfah (Saraan et al.
2014).
Kawasan TNGL seksi pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang yang
berada di wilayah Kabupaten Langkat terletak di Kecamatan Besitang, Sei Lepan,
dan Batang Serangan. Untuk pemangkuan wilayah kerja dibagi dalam 6 (enam)
resort, yaitu resort Trenggulun, Sei Betung, Sekoci, Sei Lepan, Cinta Raja, dan
Tangkahan. Pengelolaan kawasan TNGL di SPTN VI Besitang menghadapi

Universitas Sumatera Utara

6

permasalahan yang sangat kompleks bermuara pada terjadinya kerusakan kawasan
TNGL (Yusuf, 2016).


Gambar 1. Peta Administrasi Taman Nasional Gunung Leuser
(Sumber: Dok. TNGL, 2016)

Taman Nasional Gunung Leuser, Resort Sei Betung Desa Halaban, Kecamatan
Besitang, Kabupaten Langkat, Sematera Utara memiliki 2 tipe hutan yang berbeda
yaitu hutan primer dengan luas 8.098,428 ha dan hutan sekunder dengan luas
51,110ha.

Universitas Sumatera Utara

7

Gambar 2. Lokasi Peta Penelitian

Ketinggian Tempat dan Iklim
Ketinggian tempat di wilayah TNGL sangat bervariasi berkisar antara 0-3.381
mdpl. Topografi datar sampai perbukitan, merupakan hutan hujan tropika dataran
rendah (low land forest). Menurut Ismail (2015), ketinggian tempat (elevasi)
merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies
tumbuhan dan satwa. Temperatur udara 21° - 28° C sedangkan curah hujan 2000 3.200 mm/tahun.


Universitas Sumatera Utara

8

Hutan Primer Resort Sei Betung
Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan
ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta dengan demikian
memiliki sifat-sifat ekologis yang unik. Pada umumnya hutan primer berisi
pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan pohon-pohon mati yang
masih berdiri tegak, tunggul serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut
biasa membentuk celah atau rumpang tegakan yang memungkinkan masuknya
cahaya matahari ke dalam hutan dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan
bawah. Hutan primer yang minim gangguan manusia biasa disebut hutan perawan.
Banyak tegakan hutan primer yang terancam kelestariannya oleh sebab kerusakan
habitat yang diakibatkan oleh pembalakan atau pembukaan hutan. Kehancuran
habitat ini pada gilirannya menurunkan tingkat keanekaragaman hayati (Widiani,
2014).
Hutan alami (primer) resort Sei Betung didominasi oleh Meranti (Shorea sp),
Bulung Ayam (Hopea blangeran), Kruing (Dipterocarpus sp), Munel (Drypetes

langifola), Medang (Litsea sp), dll. Pohon-pohon besar dan tinggi sangat mudah
ditemui. Begitu juga dengan satwa liar seperti Gajah (Elephas maximus), Siamang
(Hylobates

syndactilus),

Kera

(Macacan

fascicularis),

Beruk

(Macaca

nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi), Beruang (Helarctosmalayanus),
Rusa (Cervus unicolor) dan Orangutan Sumatera(Pongo abelii) (Darsimah, 2014).
Habitat
Habitat merupakan keseluruhan resources (sumberdaya), baik biotik maupun fisik

pada suatu area yang digunakan/dimanfaatkan oleh suatu spesies satwaliar untuk
survival dan reproduksi. Habitat dapat menghubungkan kehadiran spesies,

Universitas Sumatera Utara

9

populasi, atau individu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan
karakteristik biologi (Morrison, 2002).
Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang sangat penting karena satwa liar
dapat bergerak secara mudah untuk mendapatkan makanan, air, tempat reproduksi
atau menempati tempat baru yang lebih menguntungkan (Kuswanda, 2012).
Berbagai hasil penelitian sebelumnya Galadikas (1978), Sinaga (1992), Van
Schaik (1995) dalam Kuswanda (2012) meneyebutkan bahwa ketersedian pakan
pada habitat tertentu sangat mempengaruhi sebaran dan populasi orangutan.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan salah satu dampak dari pemanasan global yang
diakibatkan adanya efek rumah kaca karena meningkatnya konsentrasi gas rumah
kaca. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca ini sebagaian besar diakibatkan
oleh karena produksi dan pemanfaatan energi fosil. Karbon dioksida (CO2)

merupakan gas rumah kaca yang kontribusinya terhadap pemanasan global
mencapai lebih dari 60% dari total gas rumah kaca. Untuk penanggulangan
pemanasan global ini setiap tahun diadakan Conference of the Party (COP), dan
pada COP 3 di Kyoto pada tahun 1997 menghasilkan Kyoto Protocol. Di sektor
pengguna energi, penggunaan energi terbarukan dan melakukan konservasi
merupakan mitigasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (Sugiyono, 2006).
Karbon
Karbon merupakan salah satu unsur alam yang memiliki lambang “C” dengan
nilai atom sebesar 12.Karbon juga salah satu unsur utama pembentuk bahan
organik termasuk makhluk hidup.Hampir setengah dari organisme hidup
merupakan karbon.Karenanya secara alami karbon banyak tersimpan di bumi

Universitas Sumatera Utara

10

(darat dan laut) dari pada atmosfer.Pelepasan karbon hutan ke atmosfer atau
disebut emisi, terjadi melalui berbagai mekanisme seperti respirasi makhluk
hidup, dekomposisi bahan organik serta pembakaran biomassa. Selain melakukan
proses fotosintesis untuk merubah karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2),

tumbuhan juga melakukan proses respirasi yang melepaskan CO2. Namun proses
ini cenderung tidak signifikan karena CO2 yang dilepas masih dapat diserap
kembali pada saat proses fotosintesa (Manuriet al.2011).
Menurut Hairiah (2011), pada ekosistem daratan cadangan karbon disimpan
dalam 3 komponen pokok, yaitu:
1. Bagian hidup (biomassa): masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu
batang, ranting dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah
atau gulma dan tanaman semusim.
2. Bagian mati (nekromasa): masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang
masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di
permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang
belum terlapuk.
3.Tanah (bahan organik tanah): sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan
manusia)yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan
telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel lebih kecil dari 2 mm.
Pengukuran Biomassa dan Karbon
Biomassa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada
suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas
(ton/ha). Biomassa vegetasi merupakan berat bahan vegetasi hidup yang terdiri
dari bagian atas dan bagian bawah permukaan tanah pada suatu waktu tertentu.


Universitas Sumatera Utara

11

Biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang
tersimpan dalam vegetasi hutan, hal ini dapat dilakukan karena menurut (Brown,
1997) sekitar 50% biomassa tersusun oleh karbon, sedangkan menurut Hairiah
and Rahayu (2007) biomassa tumbuhan 46% tersusun oleh karbon.
Kuantitas biomassa dalam hutan merupakan selisih antara produksi hasil
fotosintesis dan konsumsi hasil fotosintesis oleh tanaman.Perubahan kuantitas
biomassa dapat terjadi karena aktifitas manusia seperti silvikultur, pemanenan dan
degradasi. Perubahan juga dapat terjadi karena suksesi alami, seperti bencana
alam (Darussalam, 2011).
Menurut (Heiskanen, 2006;Australian Greenhouse Office, 1999), metode
penghitungan biomassa terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa yaitu:
Sampling dengan pemanenan (Destructive sampling) secara in situ, metode ini
dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akarnya,
mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya. Pengukuran dengan
metode ini untuk mengukur biomassa hutan dapat dilakukan dengan mengulang

beberapa area cuplikan atau melakukan ekstrapolasi untuk area yang lebih luas
dengan menggunakan persamaan allometrik. Meskipun metode ini terhitung
akurat untuk menghitung biomassa pada cakupan area kecil, metode ini terhitung
mahal dan sangat memakan waktu.
Sampling tanpa pemanenan (Non-destructivesampling) dengan data pendataan
hutan secara in situ, metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan
pengkukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan
dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan persamaan
allometrik untuk mengekstrapolasi biomassa.

Universitas Sumatera Utara

12

Pendugaan melalui penginderaan jauh, penggunaan teknologi penginderaan jauh
umumnya tidak dianjurkan terutama untuk proyek-proyek dengan skala kecil.
Kendala yang umumnya adalah karena teknologi ini relatif mahal dan secara
teknis membutuhkan keahlian tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh
pelaksana proyek. Metode ini juga kurang efektif pada daearah aliran sungai,
pedesaan atau wanatani (agroforestry) yang berupa mosaic dari berbagai

penggunaan lahan dengan persil berukuran kecil (beberapa ha). Hasil pengideraan
jauh dengan resolusi sedang mungkin sangat bermanfaat untuk membagi area
proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang relative homogen.
Pembuatan model, model digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengan
frekuensi dan intensitas pengamatan insitu atau penginderaan jauh yang terbatas.
Umumnya, model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sample plot yang
diukur berulang, yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau
melalui persamaan allometrik yang mengkonversi volume menjadi biomassa.
REDD dan REDD +
Pada prinsipnya Emission from Deforestation and Degradation (REDD) adalah
sebuah cara/strategi untuk mengurangi emisi melalui konservasi hutan (deforestasi
yang dapat dihindarkan), dengan sumber pembiayaan dari perusahaan-perusahaan
yang membutuhkan kuota emisi tambahan di atas batas atas yang ditentukan
jumlahnya untuk tiap negara. Teknisnya, pengurangan emisi (konservasi)
diperhitungkan sebagai kredit yang bisa dijual pada pasar karbon internasional
(Prasetyantoko and Dani, 2011).
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutanReduction of Emission
from Deforestation and Degradation Plus(REDD+) dilandasi ide utama yaitu

Universitas Sumatera Utara

13

menghargai individu, masyarakat, proyek dan negara yang mampu mengurangi
emisi gas rumah kaca (GRK). REDD+ berpotensi mengurangi emisi GRK dengan
biaya rendah dan waktu yang singkat, dan pada saat bersamaan membantu
mengurangi

tingkat

kemiskinan

dan

memungkinkan

pembangunan

berkelanjutan.Reduction of Emission from Deforestation and Degradation Plus
(REDD+) merupakan skema pengurangan emisi yang dapat mengakomodasikan
berbagai jenis pengelolaan hutan dan lahan yang dalam konteks perundangundangan kehutanan Indonesia dapat mencakup hutan lindung dan hutan
konservasi, hutan produksi, atau hutan konversi yang telah menjadi area pengguna
lain (non-hutan) (Natural Resources Development Center, 2013).
Pendanaan Iklim
Gagasan pokok yang melatari Reduction of Emission from Deforestation and
Degradation Plus (REDD+) ialah memberi imbalan berbasis kinerja, yaitu
membayar pemilik dan pengguna hutan untuk mengurangi emisi dan
meningkatkanupaya peniadaan emisi. Imbalan jasa lingkungan memiliki
keunggulan sebagai berikut: memberikan insentif langsung yang mengikat kepada
pemilik dan pengguna hutan untuk mengelola hutan dengan lebih baik dan
mengurangi penebangan kawasan berhutan. Imbalan jasa lingkungan akan
sepenuhnya mengganti rugi pemegang hak atas karbon yang telah yakin bahwa
melestarikan hutan lebih menguntungkan daripada pilihan lainnya(Angelsen,
2010).
Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada tahun 2009, ada sebuah
landmark baru dalam pembiayaan perubahan iklim, di mana dicapai kesepahaman
parsial

menjelang

akhir

konperensi

(Copenhagen

Accord)

yang

Universitas Sumatera Utara

14

merekomendasikan sumber pendanaan untuk mendukung REDD+.Pengenalan
REDD diyakini akan merubah lanskap penanganan isu perubahan iklim, dengan
partisipasi investor swasta terlibat dalam upaya tersebut. Penanganan perubahan
iklim telah menjadi komoditas yang siap menjadi alat investasi dalam pola
perdagangan yang melibatkan pelaku pasar. Dari sisi pembiayaan, skema
kerjasama antara pihak pemerintah dan sektor swasta (public private partnership)
ini berpotensi memudahkan pencapaian target penurunan emisi. Alur logika dari
pelibatan lebih besar pihak swasta dalam implementasi program-program mitigasi
kurang lebih adalah sebagai berikut: 1) kebutuhan pembiayaan yang sebegitu
besar tidaklah mungkin disediakan hanya oleh pemerintah, 2) pembiayaan
perubahan iklim akan melibatkan berbagai skema pendanaan, mulai dari hibah,
utang maupun investasi swasta, 3) keterlibatan sektor swasta bersama dengan
pemerintah (publicprivate partnership) merupakan inovasi dalam sektor kapital
keuangan dan perbankan, kelanjutan dari inovasi sejak 1980an yang juga telah
mendorong

berulangnya

krisis

sistemik

di

sektor

tersebut

(Prasetyantoko and Dani, 2011).

Universitas Sumatera Utara