Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara

4

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Jagung (Zea mays L.)
Menurut Effendi (1985), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.)
diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta,
Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledoneae, Ordo: Poales, Famili:
Poacea, Genus: Zea, Spesies: Zea mays L.
Jagung (Poales) mempunyai akar serabut dengan tiga macam akar, yaitu
(a) akar seminal, (b) akar adventif, dan (c) akar kait atau penyangga. Akar seminal
adalah akar yang berkembang dari radikula dan embrio. Pertumbuhan akar
seminal akan melambat setelah plumula muncul ke permukaan tanah . Akar
adventif adalah akar yang semula berkembang dari buku di ujung mesokotil,
kemudian setelah akar adventif berkembang dari tiap buku secara berurutan dan
terus ke atas antara 7 - 10 buku, semuanya di bawah permukaan tanah. Akar
adventif berkembang menjadi serabut akar tebal. Akar adventif berperan dalam
pengambilan air dan hara. Akar kait atau penyangga adalah akar adventif yang
muncul pada dua atau tiga buku di atas permukaan tanah. Fungsi dari akar
penyangga adalah menjaga tanaman agar tetap tegak dan mengatasi rebah batang.
Akar ini juga membantu penyerapan hara dan air (Subekti dkk., 2007).
Batang tanaman yang kaku ini tingginya berkisar 1,5-2,5 m dan

terbungkus pelepah daun yang berselang- seling dari setiap buku. Buku batang
mudah terlihat dan pelepah daun terbentuk pada buku dan membungkus batang
utama. Batang jagung termasuk batang rumput (calmus), yaitu batang yang tidak
keras mempunyai ruas-ruas yang nyata dan sering berongga. Batang jagung bulat
(teres), licin (leavis), arah tumbuhnya tegak lurus (erectus) dan cara percabangan

Universitas Sumatera Utara

5

monopodial. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin
(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Daun jagung adalah daun sempurna, bentuknya memanjang, antara
pelepah dan helai daun terdapat ligula, tulang daun sejajar dengan ibu tulang
daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun
jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki famili Poaceae. Setiap stoma
dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam
respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun (Muis dkk., 2008).
Jagung disebut tanaman berumah satu (monoeciuos) karena bunga jantan
dan betinanya terdapat dalam satu tanaman. Tanaman jagung adalah protandri, di

mana pada sebagian besar varietas, bunga jantannya muncul (anthesis) 1-3 hari
sebelum rambut bunga betina muncul (silking). Penyerbukan pada jagung terjadi
bila serbuk sari dari bunga jantan menempel pada rambut tongkol (putik). Hampir
95% dari persarian tersebut berasal dari serbuk sari tanaman lain (serbuk silang)
dan hanya 5% yang berasal dari serbuk sari tanaman sendiri (serbuk sendiri), oleh
karena itu, tanaman jagung disebut tanaman bersari silang (cross pollinated crop)
(Sudaryono, 1998).
Tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol, tergantung varietas.
Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang terletak pada
bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar dibanding yang
terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri atas 10 - 16 baris biji yang
jumlahnya selalu genap (Subekti dkk., 2007).
Biji jagung terletak pada tongkol yang tersusun memanjang. Pada tongkol/
janggel tersimpan biji-biji jagung yang menempel erat, sedangkan pada buah

Universitas Sumatera Utara

6

jagung terdapat rambut-rambut yang memanjang hingga keluar dari pembungkus.

Pada setiap tanaman jagung terbentuk 1 - 2 tonggkol. Biji jagung memiliki
bermacam-macam bentuk dan variasi. Perkembangan biji dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain varietas tanaman, tersedianya kebutuhan makanan di
dalam tanah dan faktor lingkungan seperti sinar matahari, kelembaban udara.
Angin panas dan kering dapat mengakibatkan tepung sari tidak keluar dari
pembungkus atau tidak tumbuh sehingga penyerbukan terganggu (Irfan, 1999).
Syarat Tumbuh
Iklim
Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah
beriklim sedang hingga sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di
daerah yang terletak antara 0-50 0LU hingga 0-40 0 LS. Pada lahan yang tidak
beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal yakni sekitar
85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji,
tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal
musim hujan dan menjelang musim kemarau (Muis dkk., 2008).
Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21 - 34 0C, akan tetapi bagi
pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan suhu optimum antara 23 - 27 0C
Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar
30 0C. Saat panen jagung yang jatuh pada musim kemarau akan lebih baik
daripada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan

pengeringan hasil (Prihatman, 2000).
Secara umum tanaman jagung dapat tumbuh di dataran tinggi ±1300 m di
atas permukaan laut. Panen pada musim kemarau berpengaruh terhadap semakin

Universitas Sumatera Utara

7

cepatnya kemasakan biji dan proses pengeringan biji di bawah sinar matahari
(Rukmana, 1997).
Tanah
Jagung di Indonesia umumnya ditanam di dataran rendah, baik di lahan
tegalan, sawah tadah hujan, serta sebagian kecil ditanam didataran tinggi.
Tanaman ini tidak dapat tumbuh dengan subur pada tanah basah atau tergenang,
karena daun-daunnya akan menjadi kuning kemudian mati (Hardjowigeno, 1987).
Jagung termasuk tanaman yang tidak memerlukan persyaratan tanah yang
khusus dalam penanamannya. Jagung dikenal sebagai tanaman yang dapat tumbuh
di lahan kering, sawah, pasang surut asalkan syarat tumbuh diperlukan terpenuhi.
Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain Andosol, Latosol dan
Grumosol. Tanah bertekstur lempung atau liat berdebu (Latosol) merupakan jenis

tanah yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Tanaman jagung akan
tumbuh

baik

pada

tanah

yang

subur,

gembur,

kaya

humus

(Purwono dan Hartono, 2005).

Tanaman jagung menghendaki tanah yang gembur (lembab), permeabilitas
sedang, drainase agak cepat, tingkat kesuburan sedang, kandungan humus sedang.
Reaksi tanah (pH) berkisar antara 5,2 - 8,5 yang optimal antara 5,8 - 7,8. Pada pH
netral, unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman jagung banyak tersedia di
dalamnya. pH lebih dari 7,0 unsur P terikat oleh CO sehingga tidak terlarut dalam
air. Hal ini mengakibatkan unsur hara sulit diserap oleh akar tanaman. Jadi, pH
tanah dan unsur-unsur hara yang ada (tersedia) bagi tanaman saling berkaitan
(Djaenuddin dkk., 2000).

Universitas Sumatera Utara

8

Lahan Sulfat Masam
Tanah sulfat masam merupakan bagian dari lahan pasang surut yang
mempunyai lapisan pirit yang belum teroksidasi (lapisan sulfidik) dan yang sudah
teroksidasi (horizon sulfurik) (Suriadikarta dan Setyorini, 2006). Salah satu
masalah utama dalam pertanaman tanaman di lahan pasang surut sulfat masam
potensial adalah keracunan besi, yang bersumber dari adanya lapisan pirit pada
lapisan solum tanah. Pirit bersifat labil dalam keadaan aerob, apabila teroksidasi

dapat meningkatkan kemasaman tanah. Hasil oksidasi pirit secara sempurna akan
membebaskan 4 mol ion H+ dalam setiap mol pirit serta terbentuknya
ferrihidroksida (Fe(OH)3 (Noor, 1996).
Berdasarkan identifikasi dan karakteristik tanah, tanah sulfat masam
terbagi atas dua macam (Soil survey staff, 2010), yaitu (1) sulfat masam potensial,
dimana pirit masih berupa bahan sulfidik dalam status reduksi pada ke dalaman
0 - 100 cm dan pH > 4.0, termasuk dalam klasifikasi tanah Entisol dan (2) Sulfat
masam aktual, dimana memiliki horizon sulfurik atau pirit yang telah teroksidasi
pada ke dalaman 0-50 cm dan pH < 3.5, termasuk dalam klasifikasi tanah
Inceptisol. Kondisi tanah sulfat masam umumnya sangat merugikan pertumbuhan
tanaman.
Lahan pasang surut memiliki peranan semakin penting dalam mendukung
peningkatan ketahanan pangan nasional serta pengembangan sistem dan usaha
agribisnis, mengingat potensi arealnya luas dan teknologi pengelolaannya sudah
tersedia (Alihamsyah dkk., 2003). Pengembangan lahan pasang surut tanah sulfat
masam sebagai areal pertanian yang produktif dihadapkan pada berbagai kendala
agrofisik, biologis dan sosial ekonomi (Tampubolon dkk., 1990).

Universitas Sumatera Utara


9

Beberapa prinsip utama yang menyebabkan keracunan Fe sebagai berikut:
a), konsentrasi Fe2+ dalam larutan tanah karena kondisi reduksi atau pH rendah,
b), status hara tanaman yang rendah dan tidak seimbang. Oksidasi akar jelek dan
tenaga pengeluaran Fe2+ menyebabkan defisiensi P, Ca, Mg atau K. Defisiensi K
sering berasosiasi dengan kandungan tanah dan pH tanah yang rendah, yang
memacu konsentrasi Fe tinggi pada larutan tanah, c), tenaga oksidasi akar jelek
karena akumulasi bahan yang menghambat respirasi (misalnya H2S, FeS, asam
organik), dan d), pemberian sejumlah besar bahan organik yang tidak mudah
terdekomposisi (Fairhurstet dkk., 2002).
Toksisitas Besi (Fe)
Besi adalah salah satu mikronutrien untuk pertumbuhan tanaman.
Meskipun Fe adalah unsur yang paling berlimpah keempat di kerak bumi, besi
menjadi nutrisi faktor pembatas yang cukup tinggi pada pertumbuhan tanaman.
Beberapa fungsi Fe adalah berperan penting sebagai senyawa dan proses fisiologis
pada tanaman. Besi yang merupakan komponen dari berbagai enzim berperan
sebagai (1) katalisator dalam berbagai proses metabolisme, (2) pembentukan
klorofil dan (3) merupakan komponen enzim reduksi-oksidasi apabila bergabung
dengan senyawa organik (Zuo dan Zhang, 2011).

Toksisitas besi (Fe) utamanya disebabkan karena efek toksik atau
berlebihnya pengambilan Fe dalam konsentrasi besar pada larutan tanah.
Akibatnya akan meningkatknya aktivitas polifenol pada tanaman, yang mengarah
ke

produksi

polifenol

teroksidasi,

penyebab

daun

bronzing

(Dobermann dan Fairhurst, 2002).

Universitas Sumatera Utara


10

Gejala visual yang khas berhubungan dengan proses toksisitas Fe,
terutama terjadinya akumulasi polyphenol-teroksidasi yang disebut bronzing.
Karena mobilitas Fe yang rendah dalam tanaman, gejala yang khas dimulai
dengan bercak berwarna coklat kemerahan dari daun tua. Bercak berwarna
tembaga kemudian meluas ke seluruh daun, perkembangan gejala selanjutnya
ujung daun menjadi kuning-jingga kemudian kering dari bagian atas
(Peng dan Yamauchi, 1993).
Keracunan besi ditandai dengan bintik-bintik cokelat mulai dari ujung
bawah daun kemudian naik ke daun atas sedangkan daun yang lebih rendah
akhirnya berubah abu-abu atau putih (Tadano, 1975). Keracunan besi yang
meningkat menyebabkan daun berwarna cokelat keungu-unguan yang diikuti
mengeringnya daun (Sahrawat, 2004). Keracunan pada tahap vegetatif
menyebabkan menurunnya tinggi dan berat kering tanaman, berkurangnya
anakan, berkurangnya klorofil tanaman (Fageria et al., 2008).
Ujung akar pada tanaman yang kelebihan unsur besi umumnya lembek
sementara ujung akar pada tanaman yang kelebihan unsur aluminium ialah rapuh.
Akar dari tanaman yang terkena toksisitas besi berjumlah sedikit, kasar, pendek,

dan berwarna cokelat gelap dan ketika terjadi pengurangan cekaman akar tanaman
perlahan-lahan akan kembali berwarna putih (Sahrawat, 2004).
Mekanisme Cekaman Besi (Fe) pada Tanaman Jagung (Zea mays L.)
Tanaman secara langsung dapat menyerap besi dalam bentuk ion Fe 2+.
Besi ferro (Fe2+) dapat masuk melalui membrane akar secara difusi, selanjutnya
masuk ke dalam sel-sel korteks akar menuju xylem secara simplast atau apoplast
setelah melewati pita kaspari atau bisa juga melalui bagian akar yang rusak akibat

Universitas Sumatera Utara

11

penarikan bibit dari persemaian (Amnal, 2009). Besi ferro yang sudah masuk ke
dalam akar (epidermis, korteks, endodermis dan pembuluh xylem) kemudian
dapat ditransportasikan ke tajuk/daun melalui aliran transfirasi menuju ruangruang antar sel. Di dalam sel daun Fe 2+ bertindak sebagai katalisator pembentukan
beberapa jenis oksigen aktif, seperti superoksida, radikal hidroksida, dan H 2O2
(Marschner, 1995).
Tanaman

dapat

mengurangi

keracunan

besi

berlebihan

dengan

mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ pada daerah perakaran dengan menggunakan
oksigen yang ditranspormasi dari tajuk ke akar melalui aerenkima atau dengan
penekanan melawan Fe pada endodermis akar. Species oksigen reaktif yang
diinduksi oleh keracuan besi dapat ditawar-racunkan dalam tanaman melalui
pengaktifan mekanisme antioksidatif. Akhirnya tanaman dapat mengakumulasi
besi dalam bentuk tak-beracun dengan menempatkannya dalam vokoula dan
apoplasma atau dengan menempatkannya dalam bentuk ferritin (Briat, 1996).
Senyawa pirit jika berada dalam kondisi teroksidasi maupun dalam kondisi
reduktif memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Pirit yang teroksidasi dapat menyebabkan tingginya konsentrasi ion H+
di dalam larutan tanah dan pH tanah menjadi sangat rendah, akibatnya terjadi
peningkatan konsentrasi unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman seperti
Aluminium (Al), besi (Fe). Unsur ini dapat berikatan dengan unsur lain misalnya
unsur P, sehingga menyebabkan P tidak tersedia dan akhirnya terjadi kahat hara
(Priatmadi, 2008).
Toleransi tanaman terhadap lingkungan yang memiliki kelarutan Fe tinggi
berbeda pada setiap genotipe tanaman. Menurut Marschner (1995) tanaman

Universitas Sumatera Utara

12

memiliki dua tipe mekanisme toleransi terhadap keracunan Fe 2+ yaitu : 1) Tipe
ekskluder yaitu tanaman mengakumulasi ion Fe 2+ yang berlebihan di akar, ion
Fe2+ yang berlebihan di dalam tanah dihambat masuk ke dalam zona perakaran. 2)
Tipe inkluder yaitu akar tanaman menyerap unsur Fe 2+ dan menahannya di daun.
Mekanisme toleransi tipe ini adalah ion Fe 2+ yang berlebihan diserap oleh akar
dan kemudian dinetralisir oleh enzim SOD (Super Oksida Dismutase)
menghasilkan H2O2. Selanjutnya H2O2 yang terbentuk tersebut dengan bantuan
enzim peroksidase dan/atau katalase menghasilkan H2O dan triplet oksigen yang
tidak berbahaya bagi tanaman.
Kultur Hara
Seleksi toleransi tanaman terhadap cekaman besi didasarkan pada gejala
bronzing daun dan produksi biji total tetapi tidak berdasarkan mekanisme
resistensi atau sifat toleransi padi. Varietas yang mengalami gangguan
pertumbuhan secara fisiologi maupun morfologi pada percobaan kultur hara juga
mengalami penghambatan yang sama terhadap pada percobaan dengan
menggunakan media tanah. Selain lebih sederhana perlakuan dengan konsentrasi
Fe yang cukup tinggi pada kultur hara dapat dilakukan untuk mempelajari tingkat
keracunan besi dalam waktu yang singkat, biaya yang lebih rendah, serta dapat
melakukan seleksi berbagai varietas dalam waktu bersama (Amnal, 2009).
Penanaman di tanah asam dengan kandungan Al tinggi untuk menapis
plasma nutfah padi merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi derajat
toleransi Al tanaman padi. Namun demikian, uji lapang ini membutuhkan areal
yang luas, dan membutuhkan banyak tenaga dan waktu yang lama untuk
memperolah data, karena pengamatan dilakukan sampai tanaman dewasa dan

Universitas Sumatera Utara

13

berproduksi. Oleh karena itu perlu suatu metode yang efisien dan cepat yaitu
pengamatan pada fase awal pertumbuhan tanaman atau fase kecambah. Metode
yang biasa digunakan adalah metode kultur hara (Zhang dkk., 2004).
Metode kultur hara dapat dilakukan untuk mendapatkan banyak peubah
yang digunakan sebagai parameter toleransi Al, seperti panjang akar relatif
(PAR), pemanjangan akar relatif (relative root elongation = RRE), dan
pertumbuhan kembali akar (root re-growth = RRG) setelah tanaman mendapat
perlakuan cekaman Al. Peubah PAR dan RRE digunakan untuk mengevaluasi 20
varietas padi hasil penapisan di lapang. Hasil uji menggunakan metode kultur hara
dengan peubah PAR ini menunjukkan bahwa beberapa varietas padi menampakan
hasil yang berbeda antara hasil uji lapang dan kultur hara (Suparto, 1999).
Pertumbuhan tanaman dengan kultur hara dapat menjadi solusi deteksi
dini terhadap cekaman abiotik, dibandingkan dengan budidaya tanaman di tanah.
Hal ini dikarenakan tanaman tidak akan terkontaminasi dengan tanah, irigasi
tanaman yang dapat di atur secara otomatis, akar dapat diamati dengan jelas, dan
lingkungan zona akar mudah dipantau dan dikontrol (Hershey , 2008).
Percobaan kultur hara merupakan metode yang dapat dikembangkan untuk
melakukan seleksi sifat toleransi tanaman padi terhadap cekaman besi dalam
waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan percobaan pot (media tanah).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keracunan besi pada tanaman padi terlihat
dari gejala bronzing pada daun, tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar
terhambat, biomasa tanaman rendah, umur panen terlambat, dan produksi tanaman
menurun (Amnal, 2009).

Universitas Sumatera Utara

14

Upaya Mendapatkan Tanaman Toleran pada Cekaman Besi (Fe)
Tanaman jagung yang tumbuh pada lahan masam umumnya kerdil, dan
sistem perakaran tidak sempurna. Penggunaan varietas jagung toleran kondisi
masam merupakan cara budidaya yang efisien pada lahan masam. Namun hingga
saat ini belum ada jagung hibrida yang adaptif pada lahan masam. Jagung
komposit varietas Sukmaraga dan Antasena berturut-turut memiliki potensi hasil
8,5 ton/ha dan 6,0 ton/ha dan adaptif pada lahan masam (Puslitbangtan, 2010).
Perakitan varietas jagung yang adaptif pada lingkungan spesifik perlu
dilakukan. Varietas/genotipe yang efisien hara memiliki kemampuan untuk
berproduksi lebih tinggi pada kondisi tanah dengan kandungan hara terbatas
dibandingkan dengan genotipe responsif pemupukan (Presterl dkk., 2003).
Genotipe jagung ternyata mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap kondisi
defisien

hara

berdasarkan

sistem

perakaran

dan

pertumbuhan

tajuk

(Hayati dkk. 2008).
Plasma

nutfah

jagung

perlu

dikelola

dan

dimanfaatkan

secara

berkelanjutan untuk memperoleh genetik yang diperlukan. Evaluasi plasma nutfah
jagung terhadap cekaman abiotik (kekeringan, lahan masam, dan pupuk rendah)
telah dilakukan, namun pemanfaatan hasil evaluasi tersebut belum optimal dan
belum berlanjut. Sumber daya genetik (plasma nutfah) yang digunakan untuk
merakit

suatu

varietas

akan

menentukan

tingkat

adaptabilitasnya

(Made dkk., 2007).
Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan pemuliaan tanaman dalam
mendapatkan varietas yang cocok dengan lingkungan target. Untuk lingkungan
target yang kesuburannya lebih rendah daripada lingkungan seleksi, kemajuan

Universitas Sumatera Utara

15

seleksi masih dapat diperoleh bila perbedaan lingkungan seleksi dan lingkungan
target tidak lebih dari 44%. Hal ini mengindikasikan bahwa varietas yang
beradaptasi baik pada kondisi pupuk dosis rendah dapat diperoleh dari seleksi
pada kondisi pemupukan dosis rendah atau sedang (Sutoro, 2007).
Penampilan jagung hibrida pada lingkungan dengan tingkat produktivitas
rendah umumnya tidak lebih baik daripada jagung komposit. Jagung komposit
memiliki latar belakang genetik yang lebih luas, sehingga daya adaptasinya lebih
luas dibandingkan dengan varietas hibrida, termasuk pada kondisi masukan
rendah (Jaradat dkk., 2010). Varietas jagung komposit dapat berupa varietas
sintetik atau bersari bebas. Varietas sintetik dibentuk dengan rekombinasi
galur/inbrida yang memiliki daya gabung umum yang baik dan dilanjutkan
dengan seleksi, sedangkan jagung bersari bebas dibentuk dari rekombinasi,
inbrida, populasi, dan seleksi (Made dkk., 2007).
Secara konvensional hibridisasi bisa juga di sebut perkawinan silang
antara tanaman yang satu dan tanaman yang lain dalam satu spesis untuk
mendapatkan genotype (sifat-sifat dalam) yang unggul, dan biasa disebut
breeding. Cara mencari dan membuat galur unggul adalah melaluai seleksi.
Pertama-tama yang dilakukan adalah inventarisasi varietas/spesies suatu tanaman
jagung (Hasan, 2014).
Jagung merupakan tanaman yang menyerbuk silang secara alami.
Penyerbukan buatan baik penyerbukan sendiri (persilangan dalam) atau
penyerbukan silang adalah kegiatan yang sangat erat kaitannya dengan pemuliaan
tanaman jagung. Persilangan dalam bertujuan untuk mendapatkan galur-galur
yang terbaik dan bersifat homozigot, sedangkan persilangan antara 2 galur

Universitas Sumatera Utara

16

bertujuan untuk menggabungkan sifat-sifat baik dari keduanya, persilangan ini
sering dilakukan dalam penciptaan varietas unggul jagung baik itu hibrida atau
varietas bersari bebas. Oleh karenanya pengetahuan serta pemahaman cara
penyerbukan yang tepat adalah hal yang sangat penting, jika penyerbukan
dilakukan dengan baik maka proses pembuahan sampai terbentuknya biji akan
berjalan dengan baik pula yang pada akhirnya diperoleh hasil biji yang tinggi. Biji
ini yang akan digunakan sebagai benih untuk tahap pemuliaan selanjutnya
(Maintang dan Maryam, 2013).
Takdir dkk., (2008) menyatakan bahwa varietas hibrida merupakan
generasi pertama hasil persilangan antara tetua berupa galur inbrida sehingga
berkualitas sangat baik. Varietas hibrida dapat dibentuk pada tanaman menyerbuk
sendiri maupun menyerbuk silang. Tanaman jagung mempunyai komposisi
genetik yang sangat dinamis Karena cara penyerbukan bunganya menyilang.
Fiksasi gengen unggul (favorable genes) pada genotype yang homozigot justru
akan berakibat depresi inbreeding yang menghasilkan tanaman kerdil dan daya
hasilnya rendah. Tanaman yang vigor, tumbuh cepat, subur, dan hasilnya tinggi
justru di peroleh dari tanaman yang komposisi genetiknya heterozigot.
Indeks Sensitivitas Cekaman (ISC)
Salah satu parameter toleransi yang banyak digunakan adalah Indeks
Toleransi Cekaman (STI) yang dihitung dengan menggunakan rata-rata geometrik
agar terhindar dari nilai ekstrim yang sering timbul dari perhitungan berdasar nilai
rata-rata aljabar. Selain itu, nilai STI berkorelasi positif dengan hasil pada kondisi
normal, tercekam, dan hasil rata-rata dari kedua lingkungan yang diuji, genotipe
dengan nilai STI tinggi juga memiliki hasil yang tinggi pada kondisi tercekam dan

Universitas Sumatera Utara

17

normal. Oleh karenanya genotipe dengan nilai STI yang tinggi dapat dipilih
sebagai genotipe yang toleran (Trustinah dan Kasno, 2015).
Indeks sensitivitas digunakan untuk mengukur tingkat sensitivitas genotipe
terhadap cekaman pada karakter morfofisiologi. Semakin tinggi nilai indeks
sensitivitas berarti semakin besar penurunan penampilan fenotipe pada lingkungan
bercekaman tersebut, sebaliknya semakin kecil nilai indeks sensitivitas berarti
semakin baik penampilan fenotipenya pada lingkungan bercekaman atau dengan
kata lain semakin tinggi tingkat toleransinya. Nilai indeks sensitivitas bervariasi
pada masing-masing karakter pada genotipe yang berbeda (Lubis, 2014).
Berdasarkan nilai

ISC, Ridwan

et.al.,

(2015)

membagi

tingkat

ketahanannya menjadi 3 kelompok. Tanaman dikatakan toleran jika ISC < 0.5,
agak toleran jika 0.5 < ISC < 1, dan rentan jika ISC > 1. Tingkat ketahanan
nomor-nomor tanaman kentang hitam tersebut ditentukan berdasarkan nilai Indeks
�/��

Sensitivitas Cekaman (ISC) dengan rumus : ISC = 1 − X/X� . Keterangan: Y:

Hasil pada kondisi tercekam, Yp: Hasil pada kondisi tidak tercekam, X: Rerata
hasil pada kondisi tercekam, dan Xp: Rerata hasil pada kondisi tidak tercekam.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Beberapa Hasil Persilangan (F1) Tanaman Jagung (Zea mays L.) Terhadap Cekaman Salinitas Garam (NaCl) Melalui Media Kultur Hara

0 1 14

Respon Pertumbuhan Beberapa Hasil Persilangan (F1) Tanaman Jagung (Zea mays L.) Terhadap Cekaman Salinitas Garam (NaCl) Melalui Media Kultur Hara

0 0 2

Respon Pertumbuhan Beberapa Hasil Persilangan (F1) Tanaman Jagung (Zea mays L.) Terhadap Cekaman Salinitas Garam (NaCl) Melalui Media Kultur Hara

0 0 3

Respon Pertumbuhan Beberapa Hasil Persilangan (F1) Tanaman Jagung (Zea mays L.) Terhadap Cekaman Salinitas Garam (NaCl) Melalui Media Kultur Hara

0 0 14

Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara

0 0 13

Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara

0 0 2

Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara

0 0 3

Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara Chapter III V

0 0 26

Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara

0 0 4

Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara

0 0 26