Perkembangan Spiritualitas Anak Usia Sekolah di SD Negeri No. 060891 Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep anak usia sekolah

2.1.1 Pengertian anak usia sekolah
Anak usia sekolah biasa disebut anak usia pertengahan. Periode usia
tengah merupakan periode usia 6-12tahun (Santrock, 2008).
Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan
untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh
keterampilan tertentu (Wong, 2009).
2.1.2 Ciri anak usia sekolah
Hurlock (2015) mengatakan orang tua, pendidik, dan ahli psikologis
memberikan berbagai label kepada periode ini dan label-label itu mencerminkan
ciri-ciri penting dari periode anak usia sekolah.
Label yang digunakan orang tua sebagai ciri anak sekolah ialah masa usia
sekolah merupakan masa yang menyulitkan. Pada masa ini anak tidak mau lagi
menuruti perintah dan lebih banyak dipengaruhi oleh teman sebaya daripada
orang tua dan anggota kelompok lainnya. Kebanyakan anak, terutama laki-laki,

kurang memperhatikan dan tidak bertanggung jawab terhadap pakaian dan bendabenda miliknya sendiri, maka orang tua memandang periode ini sebagai usia tidak
rapi, dimana anak cenderung tidak memperdulikan dan ceroboh dalam
penampilan, dan kamarnya sangat berantakan.

8

Universitas Sumatera Utara

Keluarga yang terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, sudah sering bila
terjadi pertengkaran antara anak laki-laki dan perempuan. Pola perilaku ini banyak
terjadi dalam keluarga sehingga periode ini disebut oleh orang tua sebagai usia
bertengkar.
Label yang digunakan para pendidik, pendidik memandang periode ini sebagai
periodekritisdalam dorongan berprestasi, suatu masa dimana anak membentuk
kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses. Pada usia
tersebut anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap
penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, dan
mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu, baik keterampilan kurikuler
maupun ekstrakurikuler.
Bagi ahli psikologi, akhir masa kanak-kanak adalah usia berkelompok, suatu

masa dimana perhatian utama anak tertuju pada keinginan diterima oleh temanteman sebaya sebagai anggota kelompok, terutama kelompok yang bergengsi
dalam pandangan teman-temannya. Oleh karena itu, anak ingin menyesuaikan
dengan standar yang disetujui kelompok dalam penampilan, berbicara, dan
perilaku. Keadaan ini disebut oleh ahli psikologi sebagai usia penyesuaian diri.
Anak-anak yang lebih besar bila tidak dihalangi oleh rintangan lingkungan, oleh
kritik, atau cemoohan orang-orang dewasa atau orang lain, akan mengarahkan
tenaga kedalam kegiatan-kegiatan kreatif. Oleh karena itu, ahli psikologi
menamakan masa akhir kanak-kanak dengan usia kreatif,suatu masa dalam
rentang kehidupan dimana akan ditentukan apakah anak-anak akan menjadi
konformis atau pencipta karya yang baru dan original. Akhir masa kanak-kanak

Universitas Sumatera Utara

seringkali disebut usia bermainoleh ahli psikologi, bukan karena terdapat lebih
banyak waktu untuk bermain melainkan karena terdapat tumpang tindih antara
ciri-ciri kegiatan bermain anak-anak yang lebih muda dengan ciri-ciri bermain
anak-anak remaja. Jadi alasan periode ini disebut sebagai usia bermain adalah
karena luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyak waktu untuk
bermain.


2.1.3

Perkembangan Anak Usia Sekolah

2.1.3.1 Perkembangan Fisik
Kecepatan pertumbuhan pada usia sekolah awal bersifat perlahan dan
konsisten sebelum terjadinya lonjakan pertumbuhan pada usia remaja. Anak usia
sekolah tampak lebih langsing dibandingkan anak usia prasekolah karena
perubahan distribusi dan ketebalan lemak.
Peningkatan tinggi badan berkisar 5 cm per tahun, dan berat badan
meningkat sekitar 1,8 sampai 3,2 kg per tahun. Banyak anak yang mengalami
peningkataan berat badan dua kali lipat, dan sebagian besar anak perempuan
mendahului anak laki-laki dalam pertambahan tinggi dan berat badan pada akhir
usia sekolah. Pengukuran tinggi dan berat badan tiap tahunnya akan mendeteksi
perubahan pertumbuhan yang merupakan gejala timbulnya berbagai penyakit
anak. Anak usia sekolah menjadi lebih terkoordinasi karena dapat mengatur otot
besar dan kekuatannya yang meningkat. Sebagian besar melakukan keterampilan
mototrik kasar seperti berlari, melompat, menjaga keseimbangan, melempar, dan
menangkap saat bermain.Perubahan fisik lainnya juga terjadi pada masa usia


Universitas Sumatera Utara

sekolah. Pertumbuhan gigi tampak jelas pada masa ini. Gigi permanen pertama
atau gigi sekunder muncul pada usia 6 tahun. Pada usia 12 tahun, anak telah
kehilangan seluruh gigi primer dan sebagai gigi permanen telah erupsi. Seiring
pertumbuhan tulang, tampilan dan postur tubuh juga berubah. Postur anak yang
sebelumnya sedikit lordosis dengan penonjolan abdomen berubah menjadi lebih
tegak. Sangat penting untuk mengevaluasianak, terutama wanita setelah usia 12
tahun, terhadap adanya scoliosis. Bentuk mata berubah terjadi karena
pertumbuhan tulang. Hal ini akan meningkatkan ketajaman penglihatan menjadi
6/6. Skrining penglihatan dan pendengaran menjadi lebih mudah karena anak
telah memahami dan dapat bekerja sama dengan arahan pemeriksaan.

2.1.3.2 Perkembangan Kognitif
Ketika anak memasuki usia sekolah, anak mulai memperoleh kemampuan
untuk menghubungkan serangkaian kejadian untuk menggambarkan mental anak
yang dapat diungkapkan secara verbal ataupun simbolik. Tahap ini diistilahkan
dengan operasional konkret, ketika anak mampu menggunakan proses berpikir
untuk mengalami peristiwa dan tindakan.Pemikiran egosentris yang kaku pada
tahun-tahun prasekolah digantikan dengan proses pikiran yang memungkinkan

anak melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Selama tahap ini, anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan
antara sesuatu hal dan ide. Anak mengalami kemajuan dari membuat penilaian
berdasarkan apa yang dilihat (pemikiran perseptual), sampai membuat pemikiran
berdasarkan alasan (pemikiran konseptual). Kemampuan meningkat dalam

Universitas Sumatera Utara

menguasai simbol-simbol dan untuk menggunakan simpanan, memori mengenai
memori pengalaman masa lalu anak untuk mengevaluasi dan menginterpretasi
masa kini.
Anak dapat mengelompokan dan memisahkan benda-benda menurut
kesamaan atribut, meletakan sesuatau dalam susunan yang pantas dan logis, dan
dalam melakukan hal ini, anak memiliki konsep dalam pikirannya sambil
membuat keputusan berdasarkan konsep tersebut. Anak mengembangkan
kemampuan untuk memahami hubungan antara istilah dan konsep, seperti lebih
besar dan lebih kecil, lebih gelap dan lebih pucat, lebih berat dan lebih ringan,
bagian kanan dan bagian kiri, hubungan pertama, pertengahan dan terakhir. Anak
dapat melihat hubungan keluarga dalam istilah peran timbal balik, (misalya, untuk
menjadi seorang kakak, seseorang harus memiliki adik).

Keterampilan yang paling penting yaitu kemampuan membaca, diperoleh
selama tahun-tahun sekolah dan menjadi hal yang paling berharga untuk
menyelidiki kemandirian anak. Kemampuan anak untuk mengekplorasi,
berimajinasi, dan memperluas pengetahuan ditingkatkan dengan kemampuan
membaca semenjak mereka mereka mengalami kemajuan dari pengulangan dan
kebingungan pada tahap untuk meningkatkan pemahaman.

2.1.3.3 Perkembangan psikososial
Erikson (dalam Potter & Perry, 2007) mengatakan tugas perkembangan
pada anak usia sekolah adalah industry versus inferioritas (industry vs
inferioritas). Pada masa ini, anak mencoba memperoleh kompetensi dan

Universitas Sumatera Utara

keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi kelak pada usia dewasa. Mereka
yang direspon secara positif akan merasakan adanya harga diri. Mereka yang
memperoleh kegagalan sering merasa rendah diri atau tidak berharga sehingga
dapat mengakibatkan penarikan diri dari sekolah maupun kelompok temannya.
Hubungan dengan orang tua berupa anak mulai mengetahui bahwa orang tua
bukan individu yang sempurna, anak sering berkhayal dan berharap bahwa orang

tua temannya merupakan orang tuanya.Terkadang mereka menganggap dirinya
sebagai anak angkat. Anak bergantung kepada orang tua untuk memperoleh kasih
sayang, rasa aman, pedoman, dan pengasuhan.
Terjadi konflik antar-saudara di rumah namun saling membela jika berada
di lingkungan luar. Adik sering mengidolakan sang kakak, yang akan
menimbulkan kompetisi. Sehingga menimbulkan perasaan cemburu pada kakak
atas perhatian yang diperoleh sang adik. Kakak dapat bersikap otoriter dan
terkadang melakukan kekerasan.Sikap otoriter kakak berupa sikap anak yang
menggunakan kekuasaan sebagai yang lebih tua, untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan.
Pada tahun pertama sekolah (usia 6-7 tahun), anak bermain bersama tanpa
perbedaan jenis kelamin. Pada usia 8 tahun terbentuk kelompok yang tersusun
dari sesama jenis kelamin. Kelompok ini disebut dengan “geng”, didalam
kelompok atau geng tersebut memberikan kebebasan bagi anak dari aturan orang
tua dan menetapkan bahasa rahasia mereka. Periode ini sering disebut sebagai
‘perkumpulan rahasia’ anak. Anak usia sekolah biasanya memiliki teman dekat

Universitas Sumatera Utara

sesama jenis. Hubungan ini umumnya bersifat sementara, namun intensitasnya

cukup besar dan mencakup diskusi berbagai topik.

2.1.3.5 Perkembangan Spiriitualitas
Anak pada usia sekolah berpikir dalam batasan yang sangat konkret tetapi
merupakan pelajar yang sangat

baik dan memiliki kemauan besar untuk

mempelajari tuhan. Anak menggambarkan Tuhan sebagai manusia dan
menggunakan sifat seperti “sayang”, dan “membantu” untuk menggambarkan
Tuhan. Anak sangat tertarik dengan konsep surga dan neraka, dan perkembangan
kesadaran diri dan perhatian terhadap peraturan, anak takut akan masuk neraka
karena kesalahan dalam berperilaku. Anak ingin dan berharap dihukum jika
berperilaku yang salah, dan jika diberi pilihan, anak cenderung memilih hukuman
yang “sesuai kejahatan yang telah dilakukan”, seringkali anak menggambarkan
penyakit atau cedera sebagai hukuman karena perlakuan yang buruk yang nyata
maupun kelakuan buruk dalam imajinasi anak. Kepercayaan dan harapan keluarga
serta tokoh agama lebih berpengaruh dalam hal keyakinan, dibandingkan dengan
teman sebaya. Anak mulai belajar untuk membedakan antara


natural dan

supernatural tetapi mengalami kesulitan dalam memahami simbol-simbol
(Wong,2009).

Universitas Sumatera Utara

2.2

Konsep Spiritualitas

2.2.1

Definisi Spiritualitas

Istilah “spiritualitas” diturunkan dari kata latin “spiritus” yang berarti nafas,
istilah ini juga berkaitan erat dengan kata Yunani, “pneuma”, atau nafas yang
mengacu pada nafas hidup atau jiwa. Menurut Dossey, et.al (2000 dalam Young
& Koopsen, 2005), spiritualitas merupakan hakikat dari siapa dan bagaimana
manusia hidup di dunia dan seperti napas, spiritualitas amat penting bagi

keberadaan manusia.
Spiritualitas merupakan aspek pribadi manusia yang memberi kekuatan
dan mempengaruhi individu dalam menjalani hidupnya. Spiritualitas merupakan
hakikat dari siapa dan bagaimana manusia hidup di dunia. Spiritualitas sangat
penting bagi keberadaan manusia. Spiritualitas mencakup aspek non fisik dari
keberadaan seorang manusia (Young & Koopsen, 2007).
Mickley et al (1992 dalam Hamid 2008) menguraikan spiritualitas sebagai
suatu yang multidimensi ekstensi dan dimensi agama. Dimensi ekstensial
berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih
berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Esa.Stoll (1989
dalam Hamid 2008) menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dimensi
yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal sebagai hubungan dengan
Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan
dimensi horizontal adalah hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan.
Spiritualisme merupakan aliran yang tidak memasukkan diri ke dalam
salah satu kelompok agama tertentu. Orang yang memiliki spiritualitas yang baik

Universitas Sumatera Utara

sering kali terobsesi dengan tokoh ataupun panutan yang dianggap memiliki nilai

yang baik. Seperti anak yang mengidolakan orang tua dan guru karena dianggap
memiliki perilaku dan nilai yang baik yang dicontoh oleh anak. Jika orang yang
dijadikan panutan melakukan hal baik pada orang lain, maka anak tersebut pun
akan melakukan hal yang sama. Namun sebaliknya, jika orang yang dijadikan
panutan memberikan contoh yang tidak baik, seperti melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan moral, maka anak tersebut akan melakukan hal yang tidak
baik.

2.2.2 Karakteristik spiritualitas
2.2.2.1 Hubungan dengan Tuhan
Hubungan dengan Tuhan meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan
ini menyangkut sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah,
perlengkapan keagamaan, serta bersatu dengan alam Kozier, Erb, Blais &
Wilkinson (1995 dalam Hamid, 2008). Dapat disimpulkan bahwa seseorang
memiliki spiritualitas yang baik apabila mampu merumuskan arti personal yang
positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan, mengembangkan arti
penderitaan serta meyakini hikmah dari satu kejadian atau penderitaan, menjalin
hubungan yang positif dan dinamis, membina integritas personal dan merasa diri
berharga, merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan dan
mengembangkan hubungan antar manusia yang positif (Hamid, 2008).
Pada masa usia sekolah, anak memiliki rasa ingin tahu yang besar untuk
mengenal Tuhan. Merasa kecewa jika doa tidak terkabul, dan merasa semua yang

Universitas Sumatera Utara

dialami oleh anak akan selalu diperhatikan Tuhan. Mulai mengenal rasa takut
akan dosa, dengan mengenal konsep surga dan neraka.Pada masa ini, sangat
penting dalam pemberian pengajaran mengenai konsep Tuhan dan pembekalan
ilmu agama dan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan.

2.2.2.2 Hubungan dengan diri sendiri
Hubungan dengan diri sendiri merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang
yang meliputi pengetahuan diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya
dan juga sikap yang menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada
kehidupan atau masa depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri
sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri seseorang membantunya menyadari makna
dan tujuan hidupnya, diantaranya memandang pengalaman hidupnya sebagai
pengalaman yang positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan
tujuan hidup yang semakin jelas Kozier, Erb, Blais & Wilkinson (1995 dalam
Hamid, 2008).

2.2.2.3 Hubungan dengan orang lain
Hubungan denga orang lain terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya
hubungan dengan orang lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu,
pengetahuandan sumber secara timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orang tua
dan orang yang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian sedangkan kondisi
yang tidak harmonis mencakup konflik dengan orang lain dan resolusi yang

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi, serta keterbatasan asosiasi, Kozier,
Erb, Blais & Wilkinson (1995 dalam Hamid, 2008).
Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan
kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan
kesepian, keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan
demikian apabila seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stres,
maka orang lain dapat memberi bantuan psikologis dan sosial (Young, 2007).

2.2.2.4 Hubungan dengan Alam
Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang
meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan
berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut. Hubungan dengan
alam dapat berupa rekreasi, dan kedamaian, Kozier, Erb, Blais & Wilkinson,
(1995dalam Hamid, 2008).
Rekreasi (joy) merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam menumbuhkan
keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Rekreasi dapat
menyeimbangkan antara kebutuhan kepuasan dalam pemenuhan hal-hal yang
dianggap penting dalam hidup seperti menonton televisi, mendengarkan musik,
olahraga, dan lain-lain (Hamid, 2008).
Kedamaian (peace) merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan.
Kedamaian seseorang akan merasa lebih nyaman dan tenang sehingga dapat
meningkatkan status kesehatan seseorang (Hamid, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3

Perkembangan spiritualitas pada anak usia sekolah
Perkembangan spiritualitas manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan

mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, desawa muda,
dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia. Secara umum

tanpa

memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses perkembangan aspek
spiritualitas dilhat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari pengenalan,
internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi (Carson, dalam
Young, 2007).
Menurut Fowler, anak usia sekolah berada pada tahap 2 perkembangan
spiritual, yaitu pada tahapan mitos–faktual. Anak-anak belajar untuk membedakan
khayalan dan kenyataan. Kenyataan (fakta) spiritual adalah keyakinan yang
diterima oleh suatu kelompok keagamaan, sedangkan khayalan adalah pemikiran
dan gambaran yang terbentuk dalam pikiran anak, orangtua dan tokoh agama
membantu anak membedakan antara kenyataan dan khayalan. Orangtua dan tokoh
agama lebih memiliki pengaruh daripada teman sebaya dalam hal spiritualitas
(Young, 2007).
Pada usia sekolah, anak tidak dapat memahami peristiwa tertentu seperti
penciptaan dunia, mereka menggunakan khayalan untuk menjelaskannya. Pada
masa ini, anak usia sekolah dapat mengajukan banyak pertanyaan menegnai
Tuhan dan agama dan secara umum meyakini bahwa Tuhan itu baik dan selalu
ada untuk membantu (Wong, 2009). Sebelum memasuki pubertas, anak-anak
mulai menyadari bahwa doa mereka tidak selalu dikabulkan dan mereka merasa
kecewa karenanya. Beberapa anak menolak agama pada usia ini, sedangkan

Universitas Sumatera Utara

sebagian yang lain terus menerimanya. Keputusan ini biasanya sangat dipengaruhi
oleh orang tua (Wong, 2009).
Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan
kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara
konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk
memahami gambaran dan makna spriritual dan agama mereka. Minat anak sudah
mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat diajak berdiskusi dan
menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi pemikiran sang
anak terhadap dimensi spiritual mereka (Hamid, 2008).
Menurut Erikson perkembangan spiritualitas anak usia sekolah ditandai
dengan konflik kerajinan versus inferioritas. Anak- anak pada tahap ini memiliki
pemikiran yang konkret dan mulai mengembangkan beberapa keterampilan
penalaran yang logis. Jika anak berhasil melalui tahap ini, mereka akan memiliki
citra diri yang berharga. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan partisipasi dalam
kegiatan- kegiatan spiritual dan keagamaandengan kemampuan membangun relasi
yang bermakna dengan orang lain.Sigmund Freud, mengemukakan pada tahap ini
anak sudah mulai bersosialisasi ke luar rumah, terjadi pertumbuhan intelektual
dan social pada anak, anak memiliki banyak teman dan impuls agresivitas lebih
terkontrol.
2.2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Menurut Taylor (1997 dalam Hamid, 2008), faktor yang dapat

mempengaruhi perkembangan spiritual anak ialah tahap perkembangan, keluarga,
latar belakang, dan pengalaman hidup sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

Tahap perkembangan, berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak
dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi
tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama
dan kepribadian anak. Spiritualitas berhubungan dengan kekuasaan non material,
seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berpikir abstrak sebelum mulai
mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan dengan Tuhan.
Dalam Keluarga tidak begitu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan
dan agama, tetapi individu belajar tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari
tingkah laku keluarganya. Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan
terdekat dan pengalaman pertama bagi individu dalam mempersepsikan
kehidupan di dunia, Taylor, Lillis & LeMone, (1997 dalam Hamid, 2008).
Latar belakang etnik dan budaya, sikap, keyakinan dan nilai juga
mempengaruhi spiritualitas. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi
agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan
agama, termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam
berbagai bentuk kegiatan keagamaan.
Pengalaman

hidup

sebelumnya

dapat

mempengaruhi

spiritualitas.

Pengalaman hidup positif dan pengalama hidup negatif mempengaruhi spirituaitas
seseorang. Pada proses perkembangan anak, pengalaman hidup sangat
mempengaruhi spiritualitas anak pada masa dewasa.

Universitas Sumatera Utara