Kajian Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Tatacara Penggunaan Pestisidapada Tanamankubis-Kubisan (Kasus : Desa Gurusinga, Kecamatan Berastagi, KabupatenKaro)

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Kubis/ Kol
Kubis (Brassica oleracea L.) merupakan tanaman semusim atau dua
musim. Bentuk daunnya bulat telur sampai lonjong dan lebar seperti kipas. Sistem
perakaran kubis agak dangkal, akar tunggannya segera bercabang dan memiliki
banyak akar serabut. Kubis mengandung protein, vitamin A, vitamin C, vitamin
B1, vitamin B2 dan Niacin.
Dalam taksonomi tumbuh-tumbuhan, kubis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom

: Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi


: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Sub Kelas

: Dilleniidae

Ordo

: Capparales

Famili

: Brassicaceae

Genus


: Brassica

Spesies

: Brassica oleraceavar. capitata L

Kubis dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi.
Pertumbuhan optimum didapatkan pada tanah yang banyak mengandung humus,
gembur, porus, pH tanah antara 6-7.Kubis dapat ditanam sepanjang tahun dengan
pemeliharaan lebih intensif (Edi, 2010).

6
Universitas Sumatera Utara

7

2.2 Botani Kubis Bunga/ Kol Bunga
Kol bunga putih (Brassica oleracea var. botrytis L. subvar. cauliflora DC)
merupakan tanaman sayur famili Brassicaceae (jenis kol dengan bunga putih
kecil) berupa tumbuhan berbatang lunak. Masyarakat di Indonesia menyebut

kubis bunga sebagai kol kembang atau blum kol (berasal dari bahasa Belanda
Bloemkool). Tanaman ini berasal dari Eropa subtropis di daerah Mediterania.
Kubis bunga yang berwarna putih dengan massa bunga yang kompak seperti yang
ditemukaan saat ini dikembangkan tahun 1866 oleh Mc.Mohan ahli benih dari
Amerika. Diduga kubis bunga masuk ke Indonesia dari India pada abad ke XIX.
Brassica oleracea varitas botrytis terdiri atas 2 subvaritas yaitu cauliflora
DC. yang kita kenal sebagai kubis bunga putih dan cymosa Lamn. yang berbunga
hijau dan terkenal sebagai kubis bunga.
Dalam taksonomi tumbuh-tumbuhan, kol bunga dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Divisi

: Spermatophyta

Sub-divisi

: Angiospermae

Kelas


: Dicotyledonae

Famili

: Cruciferae

Genus

: Brassica

Spesies

: Brassica Oleracea var. Botrytis L.

Sub var

: cauliflora DC

Dari kelompok Brassica Oleracea var. Botrytis L. ini kemudian dikenal
subvar.Caulifora DC atau kubis bunga putih, dan subvar. Cymosa Lamm atau

kubis bunga hijau (sprouting broccoli).Kubis termasuk tanaman yang mempunyai

Universitas Sumatera Utara

8

batang agak pendek, daunnya berbentuk bujur telur atau panjang bergerigi,
tangkai bunga dan pangkal daun menebal, serta menghasilkan massa bunga yang
berwarna putih dan lunak (Rukmana, 1995).
2.3 Botani Brokoli
Brokoli (Brassica oleraceae, L.) adalah tanaman sayuran yang termasuk
dalam suku kubis-kubisan (Brassicaceae).Brokoli diperkirakan didomestikasi di
wilayah Mediterania dan mungkin di sekitar Siprus atau Crete. Ada tiga tipe
brokoli yang ditanam, yaitu tipe umur genjah, tipe umur sedang, dan tipe umur
dalam. Bagian tanaman yang dapat dimakan adalah perbungaan yang terdiri atas
bunga muda yang telah terdiferensiasi sempurna dan bagian atas batang yang
lembut.
Menurut Herbarium Medanense (2012), klasifikasi brokoli adalah sebagai
berikut :
Kingdom


: Plantae

Divisi

: Spermathophyta

Class

: Dicotyledone

Ordo

: Capparales

Famili

: Brassicaceae

Genus


: Brassisca

Species

: Brassisca oleraceae L.

Brokoli tergolong ke dalam keluarga kubis-kubisan dan termasuk sayuran
yang tidak tahan terhadap panas. Akibatnya, brokoli cocok ditanam di dataran
tinggi yang lembap dengan suhu rendah, yaitu diatas 700 m dpl. Daun dan sifat
pertumbuhan brokoli mirip dengan bunga kubis, bedanya bunga brokoli berwarna

Universitas Sumatera Utara

9

hijau dan masa tumbuhnya lebih lama dari kubis bunga. Brokoli tersusun dari
bunga-bunga. Kisaran temperatur optimum untuk pertumbuhan dan produksi
brokoli adalah 15,5-18,0 0 C. Brokoli merupakan tanaman yang sangat peka
terhadap temperatur, terutama pada periode pembentukan bunga. Keadaan tanah

untuk lahan penanaman brokoli harus subur, gembur, kaya bahan organik, dan
tidak mudah tergenang air, kisaran pH tanah pada kisaran 5,5-6,5 dan harus
memiliki pengairan yang cukup (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
2.4 Gambaran Penggunaan Pestisida
Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama. Berdasarkan SK Menteri
Pertanian RI No.434.1/Kpts/TP.270/7/2001, tentang syarat dan tata cara
pendaftaran pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia
atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan
berikut :
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman (tetapi tidak termasuk dalam golongan pupuk).
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan ternak.
6. Memberantas hama-hama air.
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan, dan alat-alat angkutan.


Universitas Sumatera Utara

10

8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang bisa menyebabkan
penyakit pada manusia.
Pestisida sering digunakan sebagai pilihan utama untuk memberantas
organisme pengganggu tanaman. Sebab, pestisida mempunyai daya bunuh yang
tinggi, penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat untuk diketahui. Namun, bila
aplikasinya kurang bijaksana dapat membawa dampak pada pengguna, hama
sasaran, maupun lingkungan yang sangat berbahaya (Wudianto, 2001).
Menurut Djojosunarto (2000) pestisida merupakan racun. Setiap racun
selalu mengandung risiko (bahaya) dalam penggunaannya, baik risiko bagi
manusia maupun lingkungan. Keseluruhan risiko penggunaan pestisida bidang
pertanian sebagai berikut :
1. Risiko bagi Keselamatan Pengguna
Risiko bagi keselamatan pengguna adalah kontaminasi pestisida secara
langsung yang dapat mengakibatkan keracunan akut maupun kronis.
Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, pusing, mual,
muntah, iritasi kulit bahkan kebutaan. Keracunan pestisida yang akut berat

dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang bahkan
meninggal dunia. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera
terasa, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan pestisida
meskipun tidak mudah dibuktikan dengan pasti dan meyakinkan adalah
kanker, gangguan syaraf, fungsi hati dan ginjal, gangguan pernafasan,
keguguran, cacat pada bayi dan sebagainya. Untuk menekan risiko dan
menghindari dampak negatif penggunaan pestisida bagi pengguna/petani, ada

Universitas Sumatera Utara

11

beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni penggunaan pakaian/peralatan
pelindung. Pakaian serta peralatan pelindung sebagai berikut :
a. Pakaian menutupi tubuh celana panjang dan kemeja lengan panjang dari
bahan cukup tebal dan tenunan rapat.
b. Penutup kepala berupa topi lebar atau helm khusus untuk menyemprot.
c. Pelindung mulut berupa masker atau sapu tangan atau kain sederhana.
d. Pelindung mata, misalnya kaca mata, goggle atau face shield

e. Sarung tangan yang terbuat dari bahan yang tidak ditembus air
f. Sepatu boot, ketika menggunakannya, ujung celana panjang jangan
dimasukkan tetapi ujung celana harus menutupi sepatu boot.
2. Risiko bagi Konsumen
Risiko bagi konsumen adalah keracunan residu (sisa-sisa) pestisida yang
terdapat dalam produk pertanian. Risiko bagi konsumen dapat berupa
keracunan langsung karena memakan produk pertanian yang tercemar
pestisida atau lewat rantai makanan. Meskipun bukan tidak mungkin
konsumen menderita keracunan akut, tetapi risiko bagi konsumen umumnya
dalam bentuk keracunan kronis, tidak segera terasa, dan dalam jangka panjang
mungkin menyebabkan gangguan kesehatan.
3. Risiko bagi Lingkungan
Risiko penggunaan pestisida terhadap lingkungan yaitu risiko bagi makhluk
hidup sekitar, bagi lingkungan umum dan khusus pada lingkungan pertanian
(agroekosistem). Risiko bagi makhluk hidup yaitu risiko bagi orang, hewan,
atau tumbuhan yang berada ditempat, atau di sekitar tempat pestisida
digunakan misalnya diterbangkan angin dan mengenai orang yang kebetulan

Universitas Sumatera Utara

12

lewat dan meracuni hewan ternak yang masuk ke kebun. Bagi lingkungan
umum, pestisida dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dengan segala
akibatnya, misalnya kematian hewan nontarget, penyederhanaan rantai
makanan alami, keanekaragaman hayati, bioakumulasi/biomagnifikasi dan
sebagainya. Bagi Agroekosistem, penggunanan pestisida menyebabkan
kepekaan hama penyakin dan gulma (resistensi), menurunnya populasi musuh
alami (resurjensi hama), timbulnya ledakan hama sekunder, perubahan flora
dan meracuni tanaman bila salah menggunakannya.
Menurut Edi (2010) penggunaan pestisida tersebut harus dilakukan dengan
benar baik pemilihan jenis, dosis, volume semprot, cara aplikasi, interval dan
waktu aplikasinya. Berdasarkan konsepsi PHT, pestisida hanya digunakan kalau
memang benar-benar diperlukan (sesuai dengan hasil pengamatan agroekosistem).
Selain itu, penggunaannya harus berhati-hati dan sekecil mungkin gangguannya
terhadap lingkungan. Secara umum, penggunaan pestisida harus mengikuti lima
kaidah, yaitu :
1. Tepat Sasaran
Tepat sasaran artinya OPT sasaran harus diketahui jenis (spesies) nya secara
cepat. Dengan demikian dapat ditentukan jenis pestisida yang tepat yang perlu
digunakan. Contoh: Apabila OPT yang menyerang adalah serangga, maka
dipilih insektisida. Apabila yang menyerang adalah tungau, maka dipilih
akarisida.
2. Tepat Jenis
Setelah diketahui OPT sasaran yang akan dikendalikan dan jenis pestisida
yang sesuai, maka perlu dilakukan pemilihan jenis pestisida yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

13

Contoh: Untuk mengendalikan ulat grayak (Spodoptera litura), digunakan
insektisida lufenuron, Sihalotrin, dsb.
3. Tepat Waktu
Penggunaan pestisida berdasarkan konsepsi PHT harus dilakukan berdasarkan
hasil pemantauan/pengamatan rutin, yaitu jika populasi hama atau kerusakan
yang

ditimbulkannya

telah

mencapai

Ambang

Ekonomi

(Ambang

Pengendalian). Hal ini disebabkan karena keberadaan hama atau penyakit
pada pertanaman belum tentu secara ekonomis akan menimbulkan kerugian.
Penyemprotan pestisida dilakukan pada pagi hari tetapi sebaliknya dilakukan
pada sore hari.
4. Tepat Dosis/Konsentrasi
Dosis pestisida adalah banyaknya pestisida atau larutan semprot yang
digunakan dalam setiap satuan luas, sedangkan konsentrasi pestisida adalah
takaran pestisida yang harus dilarutkan dalam setiap liter air (bahan pelarut).
Daya bunuh pestisida terhadap OPT ditentukan oleh dosis atau konsentrasi
pestisida yang digunakan. Dosis atau konsentrasi yang lebih rendah atau lebih
tinggi daripada yang dianjurkan akan memacu timbulnya OPT yang resisten
terhadap pestisida yang digunakan.
5. Tepat Cara Penggunaan
Keberhasilan pengendalian OPT ditentukan pula oleh cara penggunaan atau
penyemprotan pestisida. Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan
penyemprotan pestisida sebagai berikut:
a. Peralatan semprot adalah : sprayer, alat semprot, dan alat pelindung
keamanan penyemprotan. Sprayer yang baik adalah ukuran butiran

Universitas Sumatera Utara

14

semprot berdiameter antara 10010 mikron, sedangkan alat semprot
minimal memiliki tekanan sebesar 3 atmosfir, dan tidak bocor.
b. Keadaan cuaca adalah intensitas sinar matahari, kecepatan angin dan
kelembaban udara. Penyemprotan sebaiknya dilakukan jika keadaan cuaca
cerah, kelembaban udara dibawah 70 persen dengan kecepatan angin
sekitar 4-6 km/jam.
c. Cara penyemprotan yang baik dilakukan dengan cara tidak melawan arah
angin, kecepatan jalan penyemprotan sekitar 4 km/jam dan jarak sprayer
dengan bidang semprot atau tanaman sekitar 30 cm.
Penggunaan racun yang tidak tepat tentu dapat menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan, seperti jasad pengganggu yang akan diberantas tidak mati karena
salah jenis pestisida yang digunakan. Oleh sebab itu sebelum menggunakan
pestisida, harus dipilih jenis dan merek dagang pestisida yang sesuai dengan hama
dan penyakit tanaman, formulasi yang sesuai dengan peralatan yang tersedia, alat
apa yang digunakan, bagaimana menggunakan pestisida secara efektif dan efisien,
dan bagaimana cara mengaplikasikan pestisida tersebut untuk memberantas jasad
pengganggu (Wudianto, 2001).
2.5 Landasan Teori
2.5.1 Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan pertanian di Indonesia telah mempunyai sejarah yang cukup
panjang, yang dimulai sejak awal abad 20 di masa penjajahan. Penyuluhan
bermula dari adanya kebutuhan untuk meningkatkan hasil pertanian, baik untuk
kepentingan penjajah maupun untuk mencukupi kebutuhan pribumi. Penyuluhan
dilandasi pula oleh kenyataan adanya kesenjangan yang cukup jauh antara

Universitas Sumatera Utara

15

praktek-praktek yang dilakukan para petani di satu pihak dan adanya teknologiteknologi yang lebih maju di lain pihak. Kebutuhan peningkatan produksi
pertanian diperhitungkan akan dapat dipenuhi seandainya teknologi-teknologi
maju yang ditemukan oleh para ahli dapat dipraktekkan oleh para petani sebagai
produsen primer (Mardikanto, 1993).
Menurut Sutanto (2002) konsep perkembangan pertanian berkelanjutan
sangatlah luas, tidak mungkin begitu saja dilaksanakan tanpa dukungan petani,
ilmuwan, pemerintah bahkan politikus. Bagaimanapun juga arah kebijakan
pembangunan pertanian sangat tergantung pada minat pemerintah untuk
mendukung suatu sistem pembangunan pertanian. Banyak pakar pertanian dan
lembaga swadaya masyarakat internasional berusaha mengembangkan pertanian
alternatif yang bertujuan untuk merehabilitasi kondisi tanah yang sedang sakit.
Salah satu usaha meningkatkan kesehatan tanah adalah membangun kesuburan
tanah yang dilaksanakan dengan cara meningkatkan kandungan bahan organik
melalui kearifan tradisional, atau menggunakan masukan dari dalam usahatani
(onfarm inputs) itu sendiri.
Penyuluhan pertanian sebagai suatu pendidikan bagi para petani dan
keluarganya haruslah menggunakan landasan falsafah kerja meningkatkan potensi
dan kemampuan para petani dan keluarganya, sehingga mereka akan dapat
mengatasi sendiri kekurangannya dan dapat sendiri memenuhi kebutuhan dan
keinginannya, tanpa harus selalu tergantung kepada orang lain. Tujuan utama dari
penyuluhan pertanian adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya agar
berubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan (oleh pihak penyuluh) yang

Universitas Sumatera Utara

16

akan memnyebabkan perbaikan mutu hidup dari para keluarga tani. Jadi
perubahan perilaku itu dapat terjadi dalam tiga bentuk:
1. Bertambahnya perbendaharaan informasi yang berguna bagi petani dan
pengertian tentang itu.
2. Tumbuhnya keterampilan, kemampuan dan kebiasaan baru atau yang
bertambah baik.
3. Timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang
dikehendaki.
Kemampuan agen penyuluhan untuk mempengaruhi petani mengalami
peningkatan, sebagian disebabkan oleh pembangunan dibidang teknologi
komunikasi dan informasi, dan sebagian lagi penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam
penyuluhan. Agen penyuluhan tidak saja memikirkan perubahan tetapi juga cara
memberikan bantuan pada masyarakat. Didalam berbagai kasus, agen penyuluhan
tidak berurusan dengan hanya adopsi satu inovasi melainkan seluruh paketnya.
Tidak jarang inovasi harus disesuaikan dengan situasi spesifik agar dapat
digunakan.
Dalam diri seorang penyuluh pertanian sangat dibutuhkan adanya
keyakinan yang kuat dan tidak mudah goyah oleh sesuatu persoalan. Sedangkan
yang dimaksud ilmu-ilmu pengetahuan adalah perangkat persyaratan yang
selanjutnya. Masalahnya, sampai sejauh mana ilmu-ilmu yang telah dikuasainya
itu dapat mendukung inovasi yang senantiasa hadir ke tengah-tengah kehidupan
para petani. Tentunya selama pembangunan ini terus dilaksanakan kehadiran
inovasi dalam kehidupan masyarakat desa adalah satu tolak ukur untuk

Universitas Sumatera Utara

17

mengetahui sampai batas mana saja pembangunan ini mengalami kemajuan dan
perkembangannya (Sastraatmadja, 1993).
2.5.2 Adopsi dan Inovasi
Pada dasarnya perilaku petani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan,
kecakapan dan sikap mental petani itu sendiri. Dalam hal ini pada umumnya
karena tingkat kesejahteraan hidupnya dan keadaan lingkungan dimana mereka itu
tinggal dapat dikatakan masih menyedihkan, sehingga menyebabkan pengetahuan
dan kecakapannya tetap berada dalam tingkatan rendah dan keadaan seperti ini
tentu akan menekan sikap mentalnya. Setiap petani ingin meningkatkan
kesejahteraan hidupnya, akan tetapi hal-hal diatas merupakan penghalang,
sehingga cara berpikir, cara kerja dan cara hidup mereka lama cukup tidak
mengalami perubahan (Kartasapoetra, 1993).
Menurut Kartasapoetra (1993) perubahan perilaku yang diusahakan
dengan melalui penyuluhan pertanian pada diri para petani pada umumnya
berjalan dengan lambat, hal ini disebabkan tingkat pengetahuan, kecakapan dan
mental petani dan juga penyuluhan hal-hal yang disampaikan hanya akan diterima
dan dipraktekkan (diterapkan, diadopsi) setelah para petani mendapat gambaran
nyata atau keyakinan bahwa hal-hal baru yang diterima dari penyuluhan akan
berguna, memberi keuntungan, peningkatan hasil bila dipraktekkan atau tidak
menimbulkan kerugian terhadap apa yang sedang dilakukan.
Tingkat adopsi dipengaruhi oleh persepsi petani tentang ciri-ciri inovasi
dan perubahan yang dikehendaki oleh inovasi didalam pengelolaan pertanian serta
peranan dari keluarga petani. Inovasi biasanya diadopsi dengan cepat karena
memiliki keuntungan relatif tinggi bagi petani, sesuai dengan nilai-nilai,

Universitas Sumatera Utara

18

pengalaman dan kebutuhannya, tidak rumit, dapat dicoba dalam skala kecil dan
juga mudah diamati
Hasil penelitian adopsi dapat digunakan oleh organisasi-organisasi
penyuluhan untuk mempercepat tingkat adopsi inovasi atau mengubah proses
adopsi inovasi sedemikian rupa sehingga kategori petani tertentu dapat
mengadopsinya lebih cepat (Hawkins dkk, 2005).
Menurut Kartasapoetra (1993) mengingat sikap pandangan, keadaan dan
kemampuan daya pikir dan daya tangkap para petani maka dengan sendirinya
keberhasilan penyuluhan untuk sampai kepada tahapan yang meyakinkan para
petani sehingga mau menerapkan materi penyuluhan akan melalui beberapa
pentahapan. Pentahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Awareness (Mengetahui dan menyadari)
2. Interesting (Penaruhan minat)
3. Evaluation (Penilaian)
4. Trial (Melakukan Pencobaan)
5. Adoption (Penerapan / Adopsi).
Berdasarkan cepat lambatnya para petani menerapkan inovasi teknologi
melalui penyuluhan-penyuluhan pertanian, dapat dikemukakan beberapa golongan
petani yang terlibat didalamnya antara lain:
1. Pelopor (Inovator)
2. Penerap inovasi teknologi lebih dini (Early Adopter)
3. Penerap inovasi teknologi awal (Early Mayority)
4. Penerap inovasi teknologi yang lebih akhir (Late Mayority)
5. Penolak inovasi teknologi (Leggard)

Universitas Sumatera Utara

19

Menurut Rogers (1995), model proses pengambilan inovasi terdiri dari 5
langkah. Langkah-langkah tersebut adalah :
1. Pengetahuan, terjadi ketika seseorang dihadapkan pada suatu inovasi dan
memperoleh beberapa pemahaman fungsi-fungsi dari inovasi itu sendiri.
2. Persuasi atau bujukan, terjadi ketika seseorang membentuk suatu sikap yang
kurang baik atau baik ke arah inovasi.
3. Pengambilan keputusan, terjadi ketika seseorang terlibat dalam aktivitas yang
mendorong kearah suatu pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi.
4. Implementasi, terjadi ketika seseorang menggunakan suatu inovasi.
5. Konfirmasi, terjadi ketika seseorang mencari penguatan mengenai suatu
inovasi untuk menolak atau mengadopsi suatu inovasi.
2.5.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adopsi
Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat
diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan
(cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri
seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh
masyarakat sasarannya. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain:
a. Tingkat pendidikan petani
Pendidikan

merupakan

sarana

belajar,

dimana

selanjutnya

akan

menanamkan pengertian sikap yang menguntungkan menuju penggunaan praktek
pertanian yang lebih modern. Petani yang berpendidikan tinggi akan lebih cepat
dalam melaksanakan adopsi.

Universitas Sumatera Utara

20

b. Umur Petani
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat ingin tahu apa yang
belum diketahui, sehingga dengan demikian petani berusaha untuk lebih cepat
melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya belum berpengalaman soal
adopsi inovasi tersebut.
c. Luas Pemilihan Lahan
Petani yang mempunyai lahan yang luas akan lebih mudah menerapkan
inovasi dari pada petani yang berlahan sempit, hal ini dikarenakan keefesienan
penggunaan sarana produksi.
d. Lamanya Bekerja
Petani yang sudah lebih lama bertani akan lebih mudah menerapkan
inovasi daripada petani pemula, hal ini dikarenakan pangalaman lebih banyak
sehingga sudah dapat membuat perbandingan dalam mengambil keputusan.
e. Kinerja Penyuluh
Kinerja penyuluh merupakan hasil kegiatan yang dilakukan penyuluh
pertanian terhadap petani sehingga apa yang diharapkan petani bisa tercapai.
Kinerja penyuluh yang dimaksud mengenai program yang dilakukan penyuluh
dalam penggunaan pestisida. Semakin baik kinerja penyuluh, maka semakin baik
pula petani dalam menggunakan pestisida dan begitu juga sebaliknya.
2.6 Penelitian Terdahulu
Untuk mengetahui penelitian yang dilakukan terlepas dari plagiat
(originalnya) maka dilakukan pemetaan penelitian yang sudah dilakukan.
Penelitian terdahulu diperoleh dari berbagai sumber yang menjadi bahan
pertimbangan untuk membuat rancangan penelitian, baik pada aspek metode,

Universitas Sumatera Utara

21

rancangan model analisis maupun model analisis yang ada. Penelitian terdahulu
memberikan gambaran keunikan riset dan menyebabkan keaslian riset yang
dilakukan yang dapat dilihat pada tabel tabulasi penelitian terdahulu.
Tabel 2.1 Tabulasi Penelitian Terdahulu
No Nama
Judul
Perumusan
Peneliti
Penelitian Masalah
1.
Jonri
Tingkat
1. Teknologi
Suhendra
Adopsi
telahsesua
Sitompul
Petani
i dengan
(2008)
Terhadap
yang
Teknologi
dianjurka
Budidaya
n PPL?
Nilam dan
Hubungan 2. Tingkat
nya
adopsi
Dengan
petani
Karakteris
terhadap
tik Sosial
teknologi
Ekonomi
budidaya?
Petani
3. Hubunga
n
karateristi
k sosial
ekonomi
petani
dengan
tingkat
adopsi

Variabel
1. Umur
2. Jumlah
Tanggu
ngan
3. Tingkat
Pendidi
kan
4. Pengala
man
Bertani
5. Total
Pendapa
tan
6. Luas
Lahan

Metode
Kesimpulan
Analisis
1. Analisi 1. Tingkat adopsi
s
terhadap
deskrip
teknologi
tif
budidaya nilam
2. Analisi
di daerah
s
penelitian
korelas
rendah.
i Rank 2. Faktor umur,
Spear
jumlah
man
tanggungan
(rs)
tidakmempunya
i hubungan
dengan tingkat
adopsi.
3. Tingkat
pendidikan,
pengalaman
bertani, total
pendapatan,
luas lahan
mempunyai
hubungan
dengan tingkat
adopsi

Universitas Sumatera Utara

22

Lanjutan Tabel 2.1 Tabulasi Penelitian Terdahulu
2.
Melpa L
Tingkat
1. Mengetah 1. Umur
1. Analisi 1. Tingkat adopsi
Simamora Adopsi
ui tingkat 2. Tingka
s
petani terhadap
(2012)
Petani
adopsi
deskrip
teknologi
pendidik
Terhadap
petani
tif
budidaya salak
an
Teknologi
terhadap
2. Analisi
di daerah
Budidaya
teknologi 3. Total
s
penelitian
pendapa
Salak
Budidaya
korelas
rendah.
tan
Salak
i Rank 2. Ada hubungan
2. Mengetah 4. Luas
Spear
yang nyata
ui
man
antara tingkat
lahan
hubungan 5. Pengala
(rs)
pendidikan,
karakteris
tingkat
man
tik sosial
kosmopolitan
bertani
ekonomi
dan total
petani
pendapatan
dengan
keluarga
tingkat
dengan tingkat
adopsi
adopsi petani.
petani
3. Tidak ada
hubungan yang
nyata antara
umur,
pengalaman
bertani, luas
lahan, dan
jumlah
tanggungan
keluarga
dengan tingkat
adopsi petani

Universitas Sumatera Utara

23

Lanjutan Tabel 2.1 Tabulasi Penelitian Terdahulu
3.
Melfrianti Tingkat
1. Mengetah 1. Umur
Romauli
Adopsi
ui tingkat 2. Tingka
(2013)
Petani
adopsi
pendidik
Terhadap
petani
an
Teknologi
terhadap
3. Total
Pertanian
teknologi
pendapa
Terpadu
pertanian
tan
Usahatani
terpadu
4. Luas
Padi
usahatani
lahan
Organik
padi
5. Pengala
organik.
man
2. Mengetah
bertani
ui
hubungan
karakteris
tik sosial
ekonomi
(umur,
tingkat
pendidika
n, total
pendapata
n, luas
lahan dan
pengalam
an
bertani)
petani
dengan
tingkat
adopsi
petani
terhadap
teknologi
pertanian
terpadu
budidaya
padi
organik

Analisis
deskripti
f
Analisis
korelasi
Rank
Spearma
n (rs)

1. Tingkat adopsi
petani terhadap
teknologi
pertanian
terpadu
usahatani padi
organik di
daerah
penelitian
tinggi dengan
jumlah
persentase 70
%.
2. Ada hubungan
antara
pengalaman
bertani dengan
tingkat adopsi
petani terhadap
teknologi
pertanian
terpadu
usahatani padi
organik.
3. Tidak terdapat
hubungan antar
karakteristik
sosial ekonomi
petani yang lain
yaitu umur,
tingkat
pendidikan,
luas lahan serta
total
pendapatan
keluarga
dengan tingkat
adopsi petani
terhadap
teknologi
pertanian
terpadu
usahatani padi
organik.

Universitas Sumatera Utara

24

Lanjutan Tabel 2.1 Tabulasi Penelitian Terdahulu
4.
Suci
Tingkat
1. Mengetah 1. Umur
Ramadani Adopsi
ui tingkat 2. Jumlah
(2016)
petani
adopsi
Tanggu
terhadap
petani
ngan
Program
terhadap
3. Tingkat
KRPL
Program
Pendidi
(Kawasan
KRPL
kan
Rumah
2. Mengetah 4. Pengala
Pangan
ui
man
Lestari)
hubungan
Bertani
karakteris 5. Total
tik sosial
Pendapa
ekonomi
tan
petani
6. Luas
dengan
Lahan
tingkat
adopsi
petani

Analisis
deskripti
f
Analisis
korelasi
Rank
Spearma
n (rs)

1. Tingkat adopsi
terhadap
Program KRPL
di daerah
penelitian
rendah.
2. Faktor umur,
jumlah
tanggungan
tidak
mempunyai
hubungan
dengan tingkat
adopsi.
3. Tingkat
pendidikan,
pengalaman
bertani, total
pendapatan,
luas lahan
mempunyai
hubungan
dengan tingkat
adopsi

Universitas Sumatera Utara

25

Lanjutan Tabel 2.1 Tabulasi Penelitian Terdahulu
5.
Welson
Adopsi
1. Mengetah 1. Umur
M.
Petani
ui adopsi 2. Tingkat
Wangke
Terhadap
petani
Pendidi
Benu
Inovasi
terhadap
kan
Olfie, L.
Tanaman
inovasi
3. Pendapa
Suzana
Padi
tanaman
tan
(2016)
Sawah
padi
4. Luas
Organik di
sawah
Lahan
desa
organik
Molompar 2. Mengetah
Kecamata
ui faktor
n Tombatu
yang
Timur
mempeng
Kabupaten
aruhi
Minahasa
tingkat
Tenggara
adopsi
khususny
a padi
organik

Analisis
deskripti
f
kualitatif

1. Tingkat adopsi
petani terhadapt
inovasi
tanaman padi
sawah organik
tinggi
2. Terdapat
hubungan
antara tingkat
umur,
pendidikan,
luas pemilikan
lahan dan
pendapatan
dengan adopsi
petani terhadap
inovasi padi
sawah organik .
Umur muda,
pendidikan
lebih tinggi,
pemilikan lahan
yang luas, dan
pendapatan
yang tinggi
cenderung
tingkat adopsi
petani terhadap
inovasi padi
sawah organik
lebih tinggi

Universitas Sumatera Utara

26

2.7 Kerangka Pemikiran.
Pestisida merupakan salah satu input produksi usahatani tanaman kubiskubisan. Tujuan petani menggunakan pestisida pada usahatani kubis-kubisan
karena petani menganggap pestisida dapat mempertahankan produksi usahatani
mereka meski ada serangan gulma dan serangga, Namun petani tidak
mempedulikan

aturan

ataupun

anjuran

penggunaan

pestisida.

Tatacara

penggunaan pestisida yang baik tersebut diacukan oleh petani. Petani merasa
apabila mengikuti anjuran, maka hasil produksi mereka tidak memuaskan.
Padahal sangatlah penting keefisienan dalam penggunaan pestisida tersebut agar
dapat mengurangi dampak penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang
berlebih sangatlah beresiko terhadap pengguna, konsumen maupun lingkungan
sekitar. Untuk itu sangatlah perlu dilakukan penyuluhan secara intensif,
penyuluhan mengenai tatacara penggunaan yang baik. Maka itu penulis
melakukan penelitian mengenai bagaimana adopsi tatacara penggunaan pestisida
yang baik didaerah penelitian dan juga peneliti membuat kajian tentang faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi adopsi tersebut. Tinggi atau rendahnya adopsi
petani di daerah penelitian sangatlah berpengaruh terhadap faktor tingkat
pendidikan, faktor umur, faktor lamanya bertani, faktor kinerja penyuluh
pertanian dan juga luas lahan.
Secara skematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

27

Petani Tanaman
Kubis-kubisan

Penggunaan
Pestisida

Kinerja
Penyuluh
Pertanian

Tinggi

Rendah

Penyuluhan
Penggunaan
Pestisida

Tatacara
Penggunaan
Pestisida

Faktor-faktor yang
mempengaruhi :
1. Tingkat Pendidikan
2. Umur Petani
3. Lamanya bertani
4. Kinerja Penyuluh
Pertanian
5. Luas Lahan

Tingkat
adopsi

Tinggi

Rendah

Keterangan:
: menyatakan hubungan
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Kajian Faktor-faktor yang
Mempengahui Adopsi Tatacara Penggunaan Pestisida
Pada Tanaman Kubis-kubisan
2.8 Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan landasan teori yang sudah dibangun, maka diajukan
hipotesis sebagai berikut :
1. Ada kinerja penyuluh pertanian tinggi dalam penyuluhan penggunaan
pestisida menurut petani di daerah penelitian.

Universitas Sumatera Utara

28

2. Ada adopsi tinggi terhadap tatacara penggunaaan pestisida pada tanaman
kubis-kubisan di daerah penelitian.
3. Terdapat tingkat pendidikan petani, umur petani, lamanya bekerja, kinerja
penyuluh dan luas lahan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
tatacara penggunaan pestisida pada tanaman kubis-kubisan di daerah
penelitian.

Universitas Sumatera Utara