Pengolahan Limbah Cair Rumah Potong Hewan (RPH) Menggunakan Reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cair
Menurut Metcalf dan Eddy (2003), limbah cair merupakan kombinasi dari cairan dan
buangan cair yang dihasilkan dari kegiatan pemukiman, perkantoran dan industri yang
kadang-kadang bercampur dengan air tanah, air permukaan atau air hujan. Menurut
Tchobanoglous (1985), pencemaran air adalah hadirnya sejumlah kotoran dalam air
yang bersifat merusak manfaat kegunaan air.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014, air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud
cair.
2.1.1 Karakteristik Limbah Cair
Menurut Tchobanoglous (1985), karakteristik limbah cair digolongkan menjadi tiga,
yaitu:
1. Karakteristik fisik
Komponen yang paling besar dari limbah cair biasanya adalah padatan tersuspensi.
Padatan tersuspensi merupakan senyawa organik utama di alam dan terdiri dari
beberapa bahan yang tidak diinginkan dalam limbah. Sebagian besar padatan
tersuspensi dalam limbah cair terbentuk dari sisa makanan, kertas dan kain. Limbah cair
domestik dan industri juga mengandung berbagai macam bahan yang dapat membuat
kekeruhan seperti sabun, detergen dan lainnya.

2. Karakteristik kimia
Limbah cair banyak mengandung senyawa organik biodegradable dalam bentuk terlarut
yang biasanya terdiri dari pati, lemak, protein, alkohol, asam, aldehid dan ester. Selain
itu limbah cair juga mengandung senyawa organik nonbiodegradable, biasanya
merupakan molekul dengan ikatan yang sangat kuat (beberapa polisakarida) dan
struktur cincin (benzena). Senyawa nonbiodegradable ini sering ditemui pada limbah
cair domestik yang mengandung detergen dengan senyawa alkil benzena sulfonat
(ABS).

Universitas Sumatera Utara

3. Karakteristik biologis
Bakteri, virus atau mikroorganisme yang bersifat patogen seperti escherichia coli
banyak terdapat didalam limbah cair domestik yang sistem pengumpul dan
pengolahannya bergabung dengan kotoran manusia.
Limbah cair biasanya diklasifikasikan sebagai limbah cair industri atau limbah cair
domestik. Air yang dikumpulkan dalam sistem limbah cair kota, yang dihasilkan dari
berbagai macam penggunaan, berisi berbagai macam bahan pencemar (Tchobanoglous,
1985). Limbah cair domestik biasanya tidak serumit limbah cair industri, yang
didalamnya mungkin terdapat senyawa beracun dan berbahaya tertentu seperti fenol dan

organik toksik (Kiely, 1998).
Tabel 2.1 Nilai BOD5 Beberapa Jenis Industri
Principal pollutants

BOD5 range
(mg/l)

C, F, P(*)

1000-2500

Meat processing

SS, P

200-250

Poultry processing

SS, P


100-2400

Bacon processing

SS, P

900-1800

Sugar refining

SS, C

200-1700

Breweries

C, P

500-1300


Canning, fruit, etc

SS, C

500-1200

SS, P, Sulphide

250-1700

Heavy metals

Minimal

SS, C, soaps, oils

800-1200

SS, extremes of acidity

and alkalinity

250-1500

Jenis Industri

Dairy, milk processing

Tanning
Electroplating
Laundry
Chemical plant

Note : C = Carbohydrate; F =; P = Phosphorus
Sumber: Kiely (1998)

II-2

Universitas Sumatera Utara


Secara kuantitatif, komponen dalam limbah cair mungkin berbeda secara signifikan,
tergantung pada persentase dan jenis limbah industri yang dihasilkan dan jumlah
pengenceran dari infiltrasi ke dalam sistem pengumpul (Tchobanoglous, 1985). Tabel
2.2 menunjukkan nilai BOD5 untuk beberapa jenis industri.
2.1.2 Dampak Negatif Limbah Cair
Limbah cair yang dibuang langsung ke badan air tanpa pengolahan masih mengandung
bahan organik yang tinggi dan akan diurai oleh bakteri dengan menggunakan oksigen.
Penguraian ini dilakukan oleh bakteri aerob dengan menggunakan oksigen dari
permukaan air pada daerah yang mengandung konsentrasi oksigen tinggi. Proses ini
secara perlahan akan menjadikan kandungan oksigen di dalam air menipis sehingga
bakteri anaerob mulai berkembang. Produk akhir dari aktifitas bakteri anaerob adalah
hidrogen sulfida, metana dan amonia yang merupakan bahan toksik bagi kebanyakan
organisme (Kiely, 1998). Dengan demikian, aktifitas aquatic akan terganggu dan
merusak ekosistem didalam badan air.
Selain itu limbah cair yang langsung dibuang ke badan air dapat menyebabkan
eutrofikasi, yaitu air diperkaya oleh bahan anorganik seperti nitrogen dan fosfor.
Dampak

terbesar


eutrofikasi

terhadap

ekosistem

aquatic

adalah

penurunan

keanekaragaman spesies dan perubahan biota dominan, peningkatan kekeruhan,
peningkatan jumlah sedimen dan kemungkinan terbentuk kondisi anoxic. Beberapa
dampak eutrofikasi pada manusia adalah air yang berbahaya bagi kesehatan, pengolahan
air yang semakin sulit serta menghasilkan rasa dan bau yang tidak diinginkan (Kiely,
1998).
2.2 Limbah Cair Rumah Potong Hewan
Menurut Permen LH no. 5 Tahun 2014 Rumah Potong Hewan (RPH) adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang

memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu serta digunakan sebagai tempat
pemotongan hewan yang meliputi pemotongan, pembersihan lantai tempat pemotongan,
pembersihan

kandang

penampungan,

pembersihan

kandang

isolasi,

dan/atau

pembersihan isi perut dan air sisa perendaman. Karakteristik limbah cair RPH secara
umum ditunjukkan pada Tabel 2.3.

II-3


Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Karakteristik Umum Limbah Cair RPH
Range

Mean

TOC (mg/l)

70-1200

546

BOD5 (mg/l)

150-4635

1209


COD (mg/l)

500-15.900

4221

TN (mg/l)

50-841

427

TSS (mg/l)

270-6400

1164

pH


4.9-8.1

6.95

TP (mg/l)

25-200

50

Orto-PO4 (mg/l)

20-100

25

Orto-P2O5 (mg/l)

10-80

20

K (mg/l)

0.01-100

90

Color (mg/l Pt scale)

175-400

290

Turbidity (FAU)

200-300

275

Parameter

Sumber: Lecompte dan Mehrvar (2015)
2.3 Pengolahan Anaerob
Sistem pengolahan limbah secara biologis dapat digolongkan ke dalam proses aerob dan
anaerob, keduanya dapat dilakukan dengan sistem pertumbuhan tersuspensi (suspended
growth), pertumbuhan melekat (attached growth) atau kombinasi keduanya (Asmadi
dan Suharno, 2012). Proses anaerob lebih kompleks dalam hal kimia dan mikrobiologi
daripada proses aerob (Rittman, 2001). Secara teori pengolahan anaerob diartikan
sebagai penggunaan mikroba tanpa adanya oksigen untuk stabilisasi bahan organik
dengan mengubahnya menjadi metana dan bahan anorganik seperti karbon dioksida
(Kiely, 1998). Pengolahan anaerob banyak digunakan untuk stabilisasi lumpur air
limbah, limbah padat kota dan limbah yang encer seperti limbah domestik (Rittman,
2001)

Organic
matter

Anaerobes

+

H 2O

CH4 + CO2 + New Biomass + NH3 + H2S + heat

(2.1)
II-4

Universitas Sumatera Utara

Proses mikrobiologi pada pengolahan anaerob. Gujer dan Zehnder (1983) dalam Kiely
(1998) mengatur proses anaerob menjadi tujuh subproses sebagai berikut:


Hidrolisis partikel bahan organik yang kompleks



Fermentasi asam amino dan gula



Oksidasi anaerob asam lemak rantai panjang dan alkohol



Oksidasi anaerob produk perantara



Produksi asetat dari CO2 dan H2



Konversi asetat menjadi metana oleh metanogen aceticlastic



Produksi metana oleh metanogen hydrogenophillic menggunakan CO2 dan H2
Senyawa Polimer Kompleks
Protein

Bakteri
hidrolisis

Karbohidrat

Lipid

Asam amino, gula

Asam lemak, alkohol

Produk perantara:
Propionat, butirat, valerat

Proses
asidogenesis

Bakteri
asidogenik

Asetat

Bakteri metanogen
asetiklastik

H2, CO2

Metana,
CO2

Proses
hidrolisis

Proses
metanogenesis

Proses
Hidrogenofilik

Gambar 2.1 Proses Konversi Senyawa Organik Menjadi Metan
(Sumber : Rittman, 2001)
Mikroorganisme yang terlibat dalam pengubahan senyawa organik kompleks menjadi
metana dimulai dari bakteri yang menghidrolisis senyawa organik kompleks seperti
karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa organik sederhana seperti karbohidrat,
asam amino dan asam-asam lemak. Karbohidrat dan asam sederhana kemudian
II-5

Universitas Sumatera Utara

digunakan oleh bakteri fermentasi untuk memperoleh energi dan tumbuh sehingga
menghasilkan asam organik dan hidrogen. Sebagian asam organik dioksidasi oleh
bakteri fermentasi lainnya dan menghasilkan hidrogen dan asam asetat. Hidrogen dan
asam asetat merupakan substrat utama yang digunakan oleh bakteri metanogen dan
mengubahnya menjadi metana (Rittman, 2001).
Menurut Tchobanoglous (1985), mikroorganisme pembentuk asam terdiri dari bakteri
fakultatif dan anaerob. Bakteri ini merupakan organisme yang melarutkan bahan
organik melalui hidrolisis. Sedangkan mikroorganisme pembentuk metana terdiri dari
bakteri anaerob sempurna yang mengkonversi asam dan alkohol bersama dengan
hidrogen dan karbon dioksida menjadi metana. Umumnya, 50-60% bahan organik di
metabolisme dan kurang dari 10% yang dikonversi menjadi biomassa. Gambar 2.1
menunjukkan proses pengkonversian senyawa organik menjadi metana.
Menurut Metcalf dan Eddy (2003), jenis limbah dan karakteristiknya sangat penting
dalam menentukan desain proses pengolahan limbah secara anaerob. Proses ini sangat
cocok untuk konsentrasi COD tinggi seperti pada limbah industri makanan dan industri
penyulingan minyak dengan konsentrasi COD 3.000 – 30.000 mg/l.

Hal ini

dikarenakan (1) tidak membutuhkan aerasi sehingga menghemat biaya energi (2)
menghasilkan padatan dalam jumlah yang sedikit.
Untuk mendukung reaksi biologi agar dapat berlangsung secara optimal maka
temperatur dalam reaktor anaerob harus dikondisikan sekitar 25-35˚C. Proses ini juga
membutuhkan kondisi pH yang netral sehingga diperlukan penambahan alkali untuk
menghasilkan pH netral (Asmadi dan Suharno, 2012). Dengan tingginya jumlah CO2
yang dihasilkan, membutuhkan alkali sekitar 2.000-4000 mg/l sebagai CaCO3 (Metcalf
dan Eddy, 2003).
Walaupun menghasilkan produksi lumpur yang lebih sedikit dan membutuhkan nitrogen
dan fosfor yang lebih sedikit untuk pertumbuhan biomassa, proses anaerob pada
beberapa pengolahan limbah industri membutuhkan nutrisi lanjutan. Jumlah nutrisi ini
tergantung dari karakteristik limbah yang akan diolah dan nilai SRT. Nutrien yang
biasanya diperlukan adalah nitrogen, fosfor dan sulfur dengan jumlah berkisar antara
50, 10 dan 5 mg/l. Demikian juga dengan penambahan mikronutrien/trace nutrient yang

II-6

Universitas Sumatera Utara

jumlahnya berbeda-beda tergantung dari karakteristik limbah cair. Trace nutrien yang
dibutuhkan diantarannya adalah besi, kobalt,nikel, dan seng. Dosis penambahan trace
metal per liter volume reaktor yang direkomendasikan adalah sekitar 1 mg FeCI2, 0,1
mg CoCI2, 0,1 mg Ni CI2, 0,1 ZnCI2 (Metcalf dan Eddy, 2003).
2.4 Reaktor UASB
Reaktor UASB dikembangkan oleh Lettinga, van Velsen, de Zeeuw dan Hobma (1979)
yang telah diaplikasikan secara luas untuk pengolahan limbah cair industri dan beberapa
pengolahan limbah domestik yang relatif encer. Sistem UASB pertama kali dikenalkan
pada akhir tahun 1970 dan aplikasi skala penuh diperluas pada tahun 1980-an (Rittman,
2001).
Pada sistem UASB, influen masuk melalui bagian bawah reaktor dan berjalan ke arah
atas melewati bed lumpur. Elemen penting dari desain reaktor UASB adalah sistem
distribusi influen, gas-solid separator serta desain sistem pengeluaran efluen. Telah
banyak modifikasi yang dilakukan pada sistem UASB diantaranya adalah penambahan
tangki pengendap atau penggunaan bahan packing pada bagian atas reaktor. Kedua
modifikasi tersebut dilakukan untuk memberikan sistem pengumpul padatan yang lebih
baik dan untuk mencegah hilangnya sejumlah besar padatan dari reaktor akibat
gangguan proses atau perubahan karakteristik dan densitas bed lumpur (Metcalf dan
Eddy. 2003). Skema proses dalam reaktor UASB dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Skema Proses Reaktor UASB
(Sumber : Wastewaterengineering.com)

II-7

Universitas Sumatera Utara

Reaktor UASB mirip dengan reaktor clarigester dalam beberapa hal yang digunakan
untuk pengolahan limbah cair anggur seperti yang dijelaskan oleh Stander (1996).
Perbedaan utama dari reaktor Stander dan Lettinga adalah metode pemisahan lumpur
dari aliran efluen. Reaktor Stander memiliki tangki pengendap berbentuk corong di
bagian atas reaktor. Limbah cair dan sejumlah padatan tersuspensi keluar melalui
lubang corong yang berada di tengah tangki pengendap, sehingga padatan menetap di
tangki pengendap dan kembali ke reaktor melalui lubang yang sama. Gas yang
diproduksi keluar melalui sisi sekitar corong.
Sedangkan sistem Lettinga menggunakan corong di bagian atas reaktor dengan posisi
terbalik, sehingga limbah cair keluar melalui sisi tepi corong sedangkan gas keluar
melalui lubang di tengah corong. Bagian tepi ini menyediakan area yang lebih besar
untuk efluen sehingga kecepatan naik limbah sangat berkurang dan waktu tinggal
lumpur menjadi lama. Karena itu, pemisahan padatan dari aliran efluen cenderung jauh
lebih efisien pada sistem Lettinga.
Banyak sistem UASB yang telah berhasil digunakan dalam pengolahan limbah industri
makanan serta industri kertas dan kimia. Beban substrat biasanya sekitar 4-15 kg
COD/m3.hari. Karena sistem terkadang membentuk granul yang tidak mengendap,
dapat dibuat pengendap terpisah untuk menjaga lumpur agar tidak keluar dari reaktor
(Rittmann, 2001).
2.4.1 Proses Granulasi
Ciri utama dari proses UASB adalah pembentukan granul lumpur padat yang membuat
sistem dapat digunakan untuk limbah cair dengan beban COD volumetrik tinggi. Hal ini
merupakan sebuah keunggulan bila dibandingkan dengan proses anaerob lainnya.
Proses pembentukan granulasi lumpur membuat

konsentrasi padatan pada bagian

bawah reaktor berkisar 50-100 g/L dan bagian atas bed lumpur 5-40 g/l. Partikel granul
lumpur dapat berukuran 1.0-3.0 mm dan menghasilkan sifat penebalan lumpur yang
sangat baik dengan nilai SVI kurang dari 20 ml/g. Dibutuhkan waktu beberapa bulan
untuk mengembangkan granul lumpur.
Pengembangan granul lumpur dipengaruhi oleh karakteristik limbah cair. Proses
granulasi sangat cepat dengan limbah cair yang mengandung karbohidrat atau gula,

II-8

Universitas Sumatera Utara

sedangkan limbah cair yang kaya akan protein menjadikan proses granulasi lambat.
Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan granul adalah pH, kecepatan upflow dan
penambahan nutrient. pH harus dipertahankan sekitar 7, rasio COD:N:P yang
direkomendasikan selama proses start-up adalah 300:5:1 sedangkan rasio yang lebih
rendah sekitar 600:5:1 dapat digunakan selama fase steady state. Pengontrolan
kecepatan upflow yang cukup tinggi disarankan selama fase start-up sehingga dapat
membuang lumpur yang tidak flokulen.
Keberadaan padatan tersuspensi lain didalam bed lumpur juga dapat menghambat
densitas dan pembentukan granul lumpur. Proses pembentukan granul lumpur dapat
berlangsung baik dengan beberapa keadaan, diantaranya kondisi pH yang netral, aliran
hidrolik tersumbat, zona dengan tekanan parsial hidrogen yang tinggi, supply NH4-N
yang tidak terbatas dan jumlah asam amino sistein yang terbatas. Dengan konsentrasi
hidrogen yang tinggi dan ketersediaan NH4-N yang cukup, bakteri dapat membentuk
granul dan menghasilkan asam amino lainnya, tetapi sintesisnya dibatasi oleh supply
sistein. Beberapa asam amino berlebih yang dihasilkan diperkirakan akan disekresikan
untuk

membentuk

polipeptida

ekstraseluler

yang

akhirnya

akan

mengikat

mikroorganisme untuk membentuk flok granul (Metcalf dan Eddy, 2003).
2.4.2 Organic Loading Rate (OLR)
OLR merupakan parameter penting yang mempengaruhi ekologi mikroba dan
karakteristik sistem UASB secara signifikan (Toorkian. et al, 2003). OLR
mempengaruhi produksi metana dan volatile fatty acids dalam sistem UASB. Tingginya
nilai OLR dapat menurunkan produksi metana dan washout pada sistem yang
disebabkan karena bakteri acidogen terlalu aktif bekerja sehingga menurunkan pH di
lingkungan reaktor dan menyebabkan bakteri metanogen tidak dapat bekerja. (Chaisri.
et al, 2007). Organic Loading Rate sama dengan laju alir umpan dibagi volume reaktor
dikali konsentrasi COD influen:
�� =





(2.2)

Dimana :
Q = kecepatan laju alir (m3/h)
V = volume reaktor (m3)
C = konsentrasi COD influen (mg/L)

II-9

Universitas Sumatera Utara

Efisiensi penyisihan bahan organik dengan reaktor UASB mencapai 90-95% pada saat
beban COD berkisar diantara 12-20 kg COD/m3.hari pada berbagai jenis limbah dengan
suhu 30-35°C. Untuk limbah yang banyak mengandung VFA disarankan menggunakan
beban yang lebih tinggi untuk mendapatkan granul lumpur yang lebih padat (Metcalf
dan Eddy. 2003).
2.4.3 Hydraulic Retention Time (HRT)
HRT didefinisikan sebagai jumlah waktu penahanan air limbah dalam reaktor selama
pengolahan dan dihitung dengan membagi volume reaktor dengan laju alir influen.
Reaktor UASB memberikan efisiensi penyisihan COD yang tinggi dengan HRT yang
sangat singkat (Yasar dan Tabinda, 2010)
HRT berhubungan langsung dengan kecepatan upflow dan berperan penting dalam
menangkap padatan tersuspensi. Penurunan pada HRT akan meningkatkan kecepatan
upflow yang berdampak pada kurangnya waktu mengendap bagi biosolid dan akhirnya
menurunkan kinerja reaktor UASB (Lu. et al, 2015). HRT yang sesuai dan kecepatan
upflow yang memadai akan memberikan waktu kontak yang cukup antara lumpur dan
air limbah, mengurangi pembentukan gas, memisahkan biomassa dari gas dan
meningkatkan efisiensi penyisihan bahan organik (Haandel dan Lettinga dalam Rizvi,
2014).
HRT yang cukup lama memberikan waktu kontak lebih lama antara lumpur dengan
limbah cair, sehingga degradasi limbah menjadi lebih baik (Nugrahini. dkk dalam
Hariz. dkk, 2012). Penyisihan COD meningkat seiring dengan lamanya waktu tinggal
didalam reaktor (Lew. et al dalam Hariz. dkk, 2012).
2.4.4 Kecepatan Upflow (Vup)
Menurut Metcalf dan Eddy (2003), kecepatan upflow merupakan parameter desain yang
penting, ditentukan berdasarkan debit dan ukuran reaktor. Untuk air limbah yang larut
dan larut sebagian kecepatan upflow maksimal yang disarankan adalah 6 m/h dan 2 m/h.
Untuk air limbah dengan kandungan bahan pencemar rendah, kecepatan upflow dan
tinggi reaktor akan menentukan volume reaktor. Sedangkan untuk limbah dengan

II-10

Universitas Sumatera Utara

kandungan bahan pencemar yang lebih tinggi, kecepatan upflow ditentukan oleh beban
volumetrik COD.
Kecepatan upflow mempengaruhi sistem pengolahan dengan dua cara. Pertama, dapat
meningkatkan kekuatan geser hidrolik yang memicu pada pemisahan flok granul dan
mengakibatkan penurunan kinerja sistem. Kedua, dapat mempercepat tabrakan antara
partikel tersuspensi dan lumpur (Alphenaar. dkk dalam Yasar dan Tabinda, 2010).
Kecepatan upflow juga mempengaruhi karakter fisik dan aktivitas spesifik granul,
terdapat korelasi antara kecepatan upflow dan ukuran butiran lumpur. Pengaruh
kecepatan upflow lebih signifikan pada reaktor yang dioperasikan tanpa sistem gassolid-liquid separator. Peningkatan pada kecepatan upflow mengakibatkan penurunan
yang signifikan pada efisiensi penyisihan bahan organik sistem (Yasar dan Tabinda,
2010). Kecepatan upflow sama dengan laju alir umpan dibagi luas penampang reaktor :
�=

(2.3)



Dimana :
v = desain kecepatan upflow (m/h)
A = luas penampang reaktor (m2)
Q = laju alir influen (m3/h)
2.4.5 Produksi Gas dan Gas-Liquid-Solid Separator (GLSS)
Pada industri yang menghasilkan limbah cair dengan nilai BOD tinggi akan
menghasilkan gas yang tinggi, sedangkan pengolahan anaerob yang menggunakan
limbah cair kota menghasilkan produksi gas yang relatif kecil. Secara teori, gas yang
dihasilkan pada suhu 25°C dan 1 atm adalah 0.38 m3 per kilogram COD yang
dihilangkan. Rata-rata biogas mengandung 70-80% metana. Pada konsep energi, 1 m3
biogas yang mengandung metana 75% sama dengan 1.4 kWh energi listrik. Hanya
sebagian biogas yang terbentuk di reaktor yang dapat dimanfaatkan sebagai energi,
sisanya tetap larut didalam limbah dan ikut keluar bersama efluen (Arceivala, 1998).
Untuk mencapai kondisi kinerja yang baik, sistem dilengkapi dengan perangkat gasliquid-solid separator (GLSS). Perangkat GLSS juga membantu meningkatkan efisiensi
keseluruhan pengolahan dengan membagi reaktor menjadi zona pengendapan (bagian
paling atas) dan zona digestion (bagian paling bawah). Limbah cair dimasukkan ke

II-11

Universitas Sumatera Utara

dalam reaktor melalui bagian bawah dan melewati bed lumpur (zona digestion)
kemudian masuk ke zona pengendapan. Bagian reaktor yang diperbesar menyebabkan
penurunan pada kecepatan upflow yang akan mempermudah pembentukan flok dari
lumpur yang tersuspensi dan meningkatkan pengendapannya. Jumlah padatan yang
terdapat pada separator fase yang miring secara bertahap akan meluncur kembali ke
zona digestion dan membantu menguraikan bahan organik dari limbah cair yang masuk
(Yasar dan Tabinda, 2010).
2.4.6 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Rektor UASB
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi kinerja proses UASB adalah:
a. Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi aktifitas enzim
bakteri. Sistem enzim bakteri dipengaruhi secara langsung oleh suhu lingkungan. Enzim
memiliki suhu minimal, optimal dan maksimal. Pada suhu optimal reaksi enzimatik
berada pada kecepatan maksimum. Pada suhu dibawah minimal dan diatas maksimal
enzim menjadi tidak aktif. Mikroorganisme tumbuh dalam rentang suhu dari sekitar 0°C
sampai diatas 90°C dan dibagi menjadi tiga kelompok : a. psikrofil, yang mampu
tumbuh pada kisaran suhu 0°C-5°C, b. mesofil, yang tumbuh diantara suhu 10°C -47°C
dan c. termofil, yang tumbuh pada suhu tinggi (diatas 50°C) (Benson, 2002). Pengaruh
suhu terhadap pertumbuhan bakteri mungkin tergantung pada konsentrasi bahan kimia
lainnya. Pelarut seperti etanol dan butanol yang tergantung pada suhu memiliki
pengaruh terhadap transportasi membran (Erickson, 1988).
b. pH
Konsentrasi ion hidrogen atau pH lingkungan memberikan pengaruh besar terhadap
pertumbuhan mikroorganisme. Konsentrasi pH membatasi aktititas enzim yang mampu
mensintesis protoplasma baru. Masing-masing organisme memiliki pH optimal yang
membuatnya tumbuh dengan baik. Nilai dibawah pH minimal dan diatas pH maksimal
akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Nilai tersebut berlaku hanya jika
faktor-faktor lingkungan lainnya tetap konstan (Benson, 2002).
Menurut Rittman (2001), pH yang dibutuhkan untuk proses anaerob adalah sekitar 6.67.6. Masalah terbesar umumnya adalah untuk menjaga pH diatas 6.6, karena asam

II-12

Universitas Sumatera Utara

organik yang dihasilkan sebagai perantara selama dalam proses start-up dapat
menyebabkan penurunan pH yang drastis dan menghentikan produksi metana. Proses
start-up merupakan proses lambat yang membutuhkan waktu berminggu atau berbulan,
sehingga pH rendah harus sangat dihindari.
c. Bahan toksik
Banyak bahan yang menyebabkan toksik dalam proses pengolahan secara biologis. Ada
dua alasan mengapa bahan toksik lebih berpengaruh pada pengolahan anarob daripada
pengolahan aerob.

Pertama, konsentrasi bahan organik yang diolah jauh lebih tinggi

pada proses anaerob, dengan tingginya konsentrasi bahan organik dalam limbah cair,
konsentrasi bahan lain seperti bahan toksik cenderung lebih tinggi juga. Kedua, laju
pertumbuhan spesifik bakteri anaerob jauh lebih rendah (Rittman, 2001).
d. Nutrien
Semua pengolahan secara biologis membutuhkan trace nutrien untuk kesuksesan
pertumbuhan mikroorganisme. Nutrisi anorganik yang paling utama untuk pertumbuhan
mikroorganisme adalah nitrogen dan fosfor. Jumlah trace nutrien yang dibutuhkan
dapat ditentukan melalui estimasi pertumbuhan mikroorganisme. Nitrogen mewakili
sekitar 12% berat sel sedangkan fosfor sekitar 2%. Nitrogen harus dalam bentuk
tereduksi (NH3 atau organik amino-nitrogen) untuk pengolahan anaerob (Rittman,
2001).
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Reaktor UASB
Kelebihan pada proses UASB diantaranya adalah (Rittman, 2001 ) :
-

Produksi lumpur yang sedikit, hanya sekitar 5-15% BODL yang dikonversi menjadi
lumpur.

-

Menghasilkan metana sebagai produk akhir yang merupakan sumber energi yang
dapat digunakan sebagai pemanas atau penghasil tenaga listrik. Nilai energi CH4
adalah 35.8 kJ/l pada keadaan STP.

-

Memungkinkan untuk beban organik yang tinggi. Umumnya beban organik pada
sistem anaerob adalah 5-10 kg COD/m3.hari, sedangkan untuk sistem aerob adalah
kurang dari 1 kg COD/m3.hari, dimana transfer O2 menjadi pembatas utama.

II-13

Universitas Sumatera Utara

-

Sistem yang murah untuk aplikasi pengolahan limbah cair perkotaan langsung,
dapat diterapkan pada skala kecil dimana variasi aliran limbah cair yang tinggi
tergantung musim hujan atau peningkatan penduduk selama masa liburan (Rizvi. et
al, 2014)

Kekurangan pada proses UASB adalah :
-

Laju pertumbuhan mikroorganisme yang rendah. Rendahnya energi yang tersedia
untuk sintesa biologis membuat bakteri yang dihasilkan lebih sedikit dan laju
pertumbuhan yang lambat, terutama untuk beberapa bakteri penghasil metana yang
membutuhkan waktu dua kali lipat lebih lama dalam sehari. Hl ini membuat waktu
yang dibutuhkan untuk memulai proses lebih lama jika didalam benih lumpur hanya
terdapat sedikit biomassa.

-

Menghasilkan bau. Kekurangan pada proses ini sering menghasilkan sulfida yang
berasal dari reduksi sulfat dan dekomposisi limbah cair yang mengandung protein.
Sulfida bersifat toksik dan korosif, dan gas H2S memiliki bau yang kuat dan
membuat tidak nyaman.

-

Membutuhkan penyangga yang tinggi untuk kontrol pH. kontrol pH pada proses ini
sangat penting, seperti yang diinginkan bakteri metanogen umumnya antara 6.5-7.5.
Asam-asam organik dihasilkan sebagai perantara dalam proses, serta asam karbonat
yang berhubungan dengan tingginya konsentrasi karbon dioksida yang dihasilkan,
cenderung menurunkan pH reaktor.

-

Efisiensi penyisihan yang rendah pada limbah encer. Proses ini memiliki efisiensi
penyisihan yang rendah ketika mengolah limbah cair dengan COD 1000 mg/l atau
lebih rendah.

2.6

Regresi Linear

Pengertian regresi secara umum adalah sebuah alat statistik yang memberikan
penjelasan tentang pola hubungan (model) antara dua variabel atau lebih. Dalam
analisis regresi dikenal 2 jenis variabel yaitu:
1. Variabel Respon atau variabel dependen yaitu variabel yang keberadaannya
dipengaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan variabel Y.

II-14

Universitas Sumatera Utara

2. Variabel Prediktor disebut juga dengan variabel independen yaitu variabel yang
bebas (tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya) dan dinotasikan dengan X.
Untuk mempelajari hubungan-hubungan antara variabel bebas maka regresi linear
terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Analisis regresi sederhana (simple analysis regresi)
2. Analisis regresi berganda (multiple analysis regresi)
Analisis regresi sederhana merupakan hubungan antara dua variabel yaitu variabel
independen (bebas) dan variabel dependen (tak bebas). Analisis ini digunakan untuk
mendapatkan hubungan matematis dalam bentuk suatu persamaan antara variabel tak
bebas tunggal dengan variabel bebas tunggal. Regresi linear sederhana hanya memiliki
satu peubah X yang dihubungkan dengan satu peubah tidak bebas Y. Tujuan utama
regresi adalah untuk membuat perkiraan nilai suatu variabel (dependen) jika nilai
variabel lain yang berhubungan dengannya sudah ditentukan (Damanhuri, 1995).
2.7

Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (PD RPH) Medan

2.7.1 Gambaran Umum
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain
dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu serta
digunakan sebagai tempat pemotongan hewan yang meliputi pemotongan hewan,
pembersihan lantai tempat pemotongan, pembersihan kandang penampungan,
pembersihan kandang isolasi, dan/atau pembersihan isi perut dan air sisa perendaman
(Permen LH no.5 Tahun 2014).
Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan adalah salah satu Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) dalam jajaran Pemda Tingkat II Medan yang dalam melaksanakan tugas
pokoknya bergerak dalam bidang pengelolaan usaha jasa pemotongan hewan dan
kegiatan

lain

yang

berhubungan

dengan

pemotongan

hewan

dan

usaha

pengadaan/penyaluran daging sehat yang bermutu serta membantu dalam kebijaksanaan
umum Pemda Kota Medan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
khususnya dalam menyediakan protein hewani (daging) dan penyediaan ternak potong.

II-15

Universitas Sumatera Utara

Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (PD RPH) Kota Medan terletak di Jl. Rumah
Potong Hewan Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Kota Medan (Gambar
4.1). PD RPH Medan memiliki beberapa sarana yang diantaranya terdiri dari ruang
pemotongan sapi/kerbau dengan cara hidrolik, ruang pemotongan sapi/kerbau dengan
cara ditembak, ruang pemotongan kambing/domba, ruang pemotongan babi, dua
kandang sapi/kerbau sebelum dipotong, kandang kambing/domba sebelum dipotong,
kandang babi sebelum dipotong, ruang kantor dan administrasi serta sarana instalasi
(Roniadi, 2013).
2.7.2 Sistem Pengolahan Limbah Cair
Proses pengolahan limbah cair yang digunakan PD RPH Medan yaitu bak penampungan
(jeroan), kolam pengendapan limbah cair dan kolam oksidasi (Gambar 2.3). Tahap
pertama limbah yang dihasilkan akan dialirkan ke kolam pengendapan limbah padat
(jeroan) yang berfungsi untuk mengendapkan limbah padat (kotoran, sisa pakan, isi
rumen dan serpihan daging). Selanjutnya limbah cair akan dialirkan ke kolam
pengendapan limbah cair untuk memisahkan limbah cair dengan serpihan daging dan
lemak yang tidak mengendap pada kolam sebelumnya. Kemudian limbah dialirkan ke
kolam oksidasi yang berbentuk lingkaran dengan luas ± 706,86 m2 dengan kedalaman
1,6 m. Kolam oksidasi bertujuan untuk mengolah limbah secara biologis dengan
memanfaatkan mikroorganisme, alga serta bantuan sinar matahari. Setelah melalui
kolam oksidasi, limbah yang telah mengalami proses biologis akan dialirkan menuju
parit pembuangan.

II-16

Universitas Sumatera Utara

Parit Pembuangan

K-4
Kolam Oksidasi (Kolam Kontrol)

K-3
Kolam Pengendapan
Limbah Cair

Jl. Rumah Potong Hewan

Kolam Pengendapan
Limbah Padat
(Jeroan)

Kolam
Pengendapan
Limbah Padat
(Jeroan)

Kandang
Sebelum
Dipotong

K1

K-2
Pemotongan
Babi
Kandang
Sebelum
Dipotong
Pemotongan
Sapi dengan
Cara Hidrolik

Pemotongan
Sapi dan
Kambing
dengan Cara
Ditembak

Kandang
Sebelum
Dipotong

Kandang
Sebelum
Dipotong

Gambar 2.3 Skema Jaringan Pengolahan Limbah Cair PD RPH Medan

II-17

Universitas Sumatera Utara