Penapisan Bakteri Kitinolitik dari Sumber Air Panas Penen, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang dan Karakterisasi Kitinasenya

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikroorganisme Termofilik

Sumber air panas merupakan salah satu hasil aktivitas geotermal. Air panas yang keluar
melalui rekahan-rekahan bumi mengalir membentuk kolam-kolam kecil dan aliran yang
menyerupai sungai (Yani, 2003). Air panas mengandung kadar mineral yang tinggi seperti
sulfur dan kalsium. Sumber air panas memiliki pH asam sampai alkali. Air panas yang
keluar mengandung hidrogen sulfat, karbon dioksida, senyawa-senyawa karbon organik
dengan berat molekul rendah, metana, hidrogen, amonia dan elemen-elemen garam seperti
sulfur, besi, karbonat fosfor, bikarbonat dan sebagainya (Brock, 1986).

Sejumlah bakteri termofilik yang telah ditemukan ternyata berasosiasi dengan
berbagai lingkungan geotermal (Brock, 1986). Mikroorganisme termofilik hidup di
lingkungan ekstrim dengan suhu di atas 50 °C (Rudiana, 2003). Beberapa bakteri termofilik
seperti Sulfolobus dapat ditemukan pada sumber air panas dengan pH rendah dan kandungan
sulfur yang tinggi. Pyrodictium dapat ditemukan pada sumber air panas dengan pH netral,
sedangkan Methanococcus jannasch yang tergolong bakteri termofilik metanogen berhasil
diisolasi


dari

zona

laut

dalam

(Brock,

1986).

Genus

Bacillus,

Clostridium,

Thermoactinomyces, Methanobacterium dan kemungkinan terdapat beberapa genus lain


sering ditemukan pada suhu sampai 70 ºC (Zubaidah, 2000).

Pada umumnya kelompok bakteri termofilik mempunyai struktur sel yang
memiliki beberapa kelebihan dibanding kelompok bakteri lainnya (Zubaidah, 2000). Bakteri
termofilik memiliki kandungan lipid yang tinggi asam lemak jenuh. Struktur tersebut
memungkinkan membran tetap stabil dan fungsional pada suhu tinggi. Protein yang tahan
panas didukung oleh peningkatan jumlah ikatan ion antara asam amino basa dan asam, dan
memiliki struktur yang sangat hidrofobik. Struktur tersebut kemungkinan dapat menurunkan
rusaknya ikatan ionik pada struktur protein, dan protein pada organisme termofilik
mempunyai ketahanan alami dalam cairan sitoplasma (Madigan et al. 2009). Stabilitas panas

terjadi akibat interaksi multipoint dengan komponen sel lain dan adanya faktor spesifik
penstabil panas (Nam-Soo & Kim, 1991).

2.2 Kitin
Kitin merupakan polimer dari β-1,4 N-asetil-D-glukosamin (Gambar 1.) dan merupakan
biopolimer terbesar kedua setelah selulosa (Flach et al. 1992). Lebih kurang 10 gigaton (1 x
1013 kg) kitin disintesis dan didegradasi di biosfer (Muzzarelli, 1999).


Gambar 1. Struktur Kitin (Gooday, 1990)
Kitin merupakan struktur utama penyusun dinding sel fungi (Blumenthal & Roseman,
1957), dan ditemukan juga pada eksoskleton serangga, fungi, yeast, alga, serta golongan
crustacea seperti kepiting, udang kecil dan lobster (Bhattacharya et al. 2007). Pada hewan,

kitin merupakan struktur rigid yang terdapat pada eksoskeleton. Hal ini disebabkan pada
rantai polimer N-asetil-glukosamin terdapat ikatan hidrogen antar molekul membentuk
mikrofibril menghasilkan struktur yang stabil dan rigid, tidak larut dalam air sehingga dapat
mengkristal (Shaikh & Deshpande, 1993).

2.3 Kitinase dan Pemanfaatannya

Kitinase adalah enzim yang mampu menghidrolisis kitin menjadi N-asetilglukosamin.
Degradasi kitin dapat dilakukan oleh organisme kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase
melalui dua jalur yaitu, pertama adalah degradasi kitin oleh mekanisme kitinolitik yang
menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosida dan kedua dihidrolisis oleh kitosanase (Gooday, 1990).
Harman et al. (1993) membagi kitinase dalam tiga tipe yaitu:

1. Eksokitinase (EC. 3.2.1.29) dinamakan juga kitobiosidase atau kitin-1,4-ß-kitobiosidase,
yaitu enzim yang mengkatalisis secara aktif pembebasan unit-unit diasetilkitobiose tanpa

ada unit-unit monosakarida atau oligosakarida yang dibentuk.
2. Endokitinase (EC. 3.2.1.14) yaitu enzim yang memotong secara acak ikatan ß-1,4 bagian
internal mikrofibril kitin. Produk akhir yang terbentuk berupa oligomer pendek Nasetilglukosamin (GlcNAc) yang mempunyai berat molekul rendah seperti kitotetraose.
Produk yang dihasilkan bersifat mudah larut.
3. ß-1,4-N asetilglukosamidase (EC. 3.2.1.30) adalah suatu enzim kitinolitik yang bekerja
pada pemutusan diasetilkitobiose, kitotriose dan kitotetraose dengan menghasilkan
monomer-monomer GlcNAc.
Kitinase merupakan salah satu enzim yang menarik untuk diisolasi karena
kemampuannya untuk menghidrolisis kitin menjadi turunan kitin yang sangat banyak
manfaatnya. Peranan kitinase sebagai pengendali hayati sangat menjanjikan untuk
dimanfaatkan sebagai biopestisida yang aman dan ramah lingkungan (Terayama et al. 1993).
Kitinase dapat mendegradasi kitin yang merupakan komponen utama dinding sel jamur. Pada
tumbuhan, kitinase digunakan sebagai pertahanan dalam melawan serangan patogen yang
mengandung kitin. Pemanfaatan isolat kitinolitik lokal asal Sumatera Utara telah digunakan
sebagai pengendalian jamur (Suryanto & Munir 2006). Suryanto et al. (2010) melaporkan
bakteri kitinolitik mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium pada benih cabai. Dewi
(2011) menunjukkan bahwa 6 isolat bakteri kitinolitik yang diisolasi dari lingkungan perairan
budidaya ikan gurami yaitu PB05, PB08, PB13, PB14, PB15, dan PB17 mampu menurunkan
tingkat mortalitas serta meningkatkan daya tetas telur yang diinfeksi Saprolegnia sp.


Kitinase juga berperan sebagai agen biokonversi limbah kitin menjadi protein sel
tunggal (Kobayashi et al. 1997) atau senyawa turunannya (Rattanakit et al. 2002). Kitinase
dari Aspergillus sp. 501 dan Streptomyces A8.13 yang diproduksi dengan fermentor dapat
meningkatkan proses hidrolisis kitin menjadi senyawa turunanannya berupa N-asetil-Dglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin (Widhyastuti, 2010) yang banyak digunakan untuk
terapi penyakit seperti osteoarthritis, gastritis, alergi makanan dan digunakan sebagai
prebiotik. GlcNAc telah diaplikasikan dalam industri pangan yaitu dengan penambahannya
ke dalam yoghurt dan teh hijau dengan dosis 0,5-1,6 gram (Aiba, 2009).

Aplikasi kitinase dapat dilakukan melalui kloning gen penyandi kitinase. Dua Gen
kitinase yaitu chi A dan chi B dari Serratia marcescens disisipkan ke E. Coli kemudian ke
Pseudomonas fluorescens dan Pseudomonas putida . Hasil menunjukkan strain Pseudomonas

memiliki aktivitas kitinase (Suslow & Jones, 1988). Downing et al. (2000) melaporkan,
kloning gen kitinase dari Serratia marcescens ke bakteri Pseudomonas aeruginosa mampu
menekan hama penggerek batang pada tebu, Eldana saccharina . Hasil manipulasi genetik
dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme potensial yang menghasilkan kitinase dalam
kontrol patogen tanaman.

2.4 Bakteri Kitinolitik
Sejumlah bakteri ditemukan memiliki aktivitas kitinolitik. Park et al. (2000) berhasil

mengisolasi bakteri kitinolitik Vibrio sp. 98CJ11027 dari perairan laut Korea. Bakteri
kitinolitik B2-4 dan NA S4-1 berhasil diisolasi dari Gunung Bromo Jawa Timur yang
menunjukkan aktivitas kitinolitik tertinggi setelah diinkubasi pada waktu satu dan dua hari
(Soeka & Sulistiani, 2011). Hasil isolasi dari sumber air panas Tinggi Raja, Kabupaten
Simalungun, Sumatera Utara diperoleh lima isolat yang memiliki aktivitas kitinolitik (Dewi,
2008). Bakteri termofilik Ralstonia sp. A471 telah berhasil diisolasi dari kompos dan diuji
aktivitas kitinasenya (Ueda et al. 2005).
Bushan (2000) berhasil mengisolasi Bacillus sp. BG-11 dari lingkungan alkali termal.
Pada sumber air panas Danau Ranau diperoleh genus Bacillus yang memiliki aktivitas
kitinolitik (Muharni, 2010), Bacillus licheniformis MB-2 juga berhasil diisolasi dari Danau
Tompaso, Sulawesi Utara (Toharisman, 2004), dan Hamid et al. (2012) melaporkan S.
maltophila memproduksi kitinase termostabil dari tanah Jamia Hamdard, New Delhi.

2.5 Karakteristik Kitinase dari Bakteri Kitinolitik

Suhu dan pH sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim. Pada suhu yang tinggi enzim yang
merupakan protein dapat terdenaturasi. Semakin tinggi suhu, proses inaktivasi enzim
meningkat (Winarno, 1995).

Setiap enzim memiliki kisaran pH optimum yaitu kisaran pH dimana enzim

menunjukkan aktivitas maksimum dengan stabilitas yang tinggi (Fresht, 1985). Peningkatan
aktivitas enzim pada pH optimum dapat dihubungkan dengan adanya perubahan ionisasi
dalam gugus ionik enzim pada sisi aktif sehingga bentuk sisi aktif menjadi lebih efektif dalam
mengikat dan mengubah substrat menjadi produk (Webb & Dixon, 1979). Beberapa karakter
kitinase dari beberapa bakteri kitinolitik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakter Kitinase dari Beberapa Bakteri Kitinolitik
Bakteri

pH
optimum

Stenotrophomonas
maltophilia SJ602
Bacillus subtilis

5,5

Suhu
Optimum

(ᴼC)
60

Stabilitas
pH
5-8

Stabilitas
Suhu
(ᴼC)
60

7

35

-

-


Micrococcus sp.
AG84
Bacillus sp. HS,3-1a

8

45

8-11

45-60

5

60

5

55-65


Bacillus licheniformis
A2 dan A35

5

60

-

-

Ralstonia sp. A-471

5

60

5-10

60


Bacillus licheniformis
MB-2
Bacillus sp. 13.26

6

70

-

60

7

60

7-8

60-70

8,5

50

5-10

70-90

6

45

-

-

Bacillus sp. BG-11
Vibrio sp. 98CJ11027

Referensi

Hamid
et al. (2013)
Karunya
et al. (2011)
Annamalai
et al. (2010)
Natsir et al.
(2010)
Khiyami &
Masmali
(2008)
Ueda et al.
(2005)
Toharisman
(2004)
Purwani
(2002)
Bushan
(2000)
Park et al.
(2000)

Kin
etik
a
enz
im
ber
upa
par
am
eter
Km
dan
Vma
ks.

Nilai Km dan Vmaks bersifat spesifik dan berbeda satu sama lain pada enzim. Nilai Km
digunakan untuk menentukan ukuran afinitas suatu enzim dalam menghidrolisis substrat yang
merupakan indikator

kekuatan kompleks

enzim substrat. Nilai Km lebih kecil, maka

kompleks enzim substrat mantap dan memiliki afinitas enzim terhadap substrat lebih tinggi,
sedangkan jika nilai Km lebih besar maka afinitas enzim terhadap substrat lebih rendah
(Bintang, 2010).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Dahiya et al. (2005) diperoleh nilai Km dan Vmax
kitinase Enterobacter sp. NRG4 adalah sebagai berikut 1,43 mg/ml dan 83,33 µM/µg jam

untuk hidrolisis kitin, 1,41 mg/ml dan 74,07 µM/µg jam untuk koloidal kitin, 1,8 mg/ml dan
40 µM/µg jam untuk regenerasi kitin, dan

2 mg/ml dan 33,33 µM/µg jam untuk kitin

glikol. Harini & Martiningrum (2006) melaporkan, Vibrio fluvialis memiliki Km sebesar
7,778% dan Vmaks sebesar 0,066 mmol per menit. Karakterisasi isolat Streptomyces sp. IK
memiliki enzim kitinase dengan nilai Vmaks 4,26
(Nugroho, 2006).

g/jam, nilai Km 2,92 mg/ml