Fungsi dan Makna Meditasi pada Kebaktian Keagamaan Buddha Theravada bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep merupakan suatu pernyataan singkat tentang fenomena atau
kejadian. Konsep juga dapat diartikan sebagai suatu abstraksi dari ciri-ciri
sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan
manusia untuk berpikir .
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (1995:456) konsep
diartikan sebagai rencana atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian
konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasan yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Peneliti akan
menggambarkan objek yang diteliti secara abstrak yaitu gambaran berupa
pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penelitian fungsi dan makna
meditasi bagi masyarakat yang mempelajarinya di kota Medan.
2.1.1 Fungsi
Pada umumnya fungsi mempunyai arti guna atau manfaat. Fungsi dapat
diartikan sebagai sekumpulan kegiatan yang dikelompokkan berdasarkan
kesamaan jenis dan sifat, atau dapat disebut kegunaan suatu hal. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (2007: 323), fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi
hidup suatu masyarakat. Fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong
pada jenis yang sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan
lainnya. Penciptaan suatu fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong
pada jenis yang sama berdasarkan sifat pelaksanaannya, atau dapat dimaknai
sebagai kegunaan suatu hal.
Fungsi kebudayaan adalah fungsi dalam suatu kelompok masyarakat yang
terdapat suatu kegiatan atau sikap yang menjadi suatu ciri atau kebiasaan.
Menurut Schneider, (1968)Fungsi secara budaya yaitu fungsi dimana setiap
kegiatan, kelakuan dan sikap menjadi suatu kebiasaan. Sebagian ilmuwan sosial
bahkan berusaha membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga
hanya mencakup bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas
hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengetahuan
prosedural mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan. Menurut Soekanto,
(1999) Kebudayaan berfungsi sebagai suatu pedoman hubungan antara manusia
dan kelompok, wadah untuk menyalurkan perasaan dan kehidupan lainnya,
pembimbing kehidupan manusia dan sebagai pembeda antar manusia dan
binatang.
2.1.2 Makna
Makna dapat diartikan sebagai maksud yang terkandung dalam sesuatu.
Makna tidak terbatas hanya pada arti dari sebuah kata atau kalimat, namun
makna juga meliputi arti atau maksud yang terkandung dalam simbol, kebiasaan
atau kegiatan, isyarat, maupun kepercayaan. Makna dapat dibedakan menjadi
makna simbolik, makna empirik, makna estetik, makna sinoetik, makna etik, dan
makna sinoptik. Lebih lanjut Nursyrid, (2002 : 109) mengemukakan :
Ada 6 pola makna esensial yang melekat dalam kehidupan masyarakat dan
budaya manusia, yaitu : simbol, empirik, estetika, sinoetik (perasaan yang
halus), etik dan sinoptik (hubungan agama dan filsafat). Makna Simbolik
meliputi bahasa, matematika, termasuk juga isyarat-isyarat, upacaraupacara, tanda-tanda kebesaran dan sebagainya. Makna Empirik
mengembangkan kemampuan teoritis, generalisasi berdasarkan fakta-fakta
dan kenyataan yang biasa diamati. Makna Estetik meliputi seni musik, tari,
sastra, dan lain-lain, berkenaan dengan keindahan dan kehalusan serta
keunikan berdasarkan persepsi subyektif berjiwa seni. Makna Sinoetik
berkenaan dengan perasaan, kesan, penghayatan dan kesadaran yang
mendalam. Makna Etik berkenaan dengan aspek-aspek moral, akhlak,
perilaku yang luhur, dan tanggung jawab. Makna Sinoptik berkenaan
dengan pengertian-pengertian yang terpadu dan mendalam seperti agama,
filsafat, pengetahuan alam yang menuntut nalar masa lampau dan hal-hal
yang bernuansa spiritual.
2.1.3 Meditasi
Meditasi adalah praktik relaksasi yang melibatkan pelepasan pikiran dari
semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup kita
sehari-hari.Meditasi sering diartikan secara salah, dianggap sama dengan
melamun sehingga meditasi dianggap hanya membuang waktu dan tidak ada
gunanya. Meditasi justru merupakan suatu tindakan sadar karena orang yang
melakukan meditasi tahu dan paham akan apa yang sedang ia lakukan. Menurut
Agus, (2009:156) makna harfiah dari meditasi adalah kegiatan mengunyahunyah atau membolak-balik dalam pikiran, memikirkan, merenungkan. Arti
defenisinya, meditasi adalah kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama
jangka waktu tertentu untuk menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengambil
langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan, atau
penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari melakukan meditasi,
diantaranya dapat mengontrol emosi dengan baik, lebih tenang dan merasa
bahagia,
hingga
menyembuhkan
penyakit.
Menurut
Tjiptadinata,
(2008:126)Manfaat meditasi yang kita lakukan bisa secara langsung maupun
tidak langsung kita rasakan secara fisik. Salah satu manfaat tersebut adalah
kesembuhan yang kita peroleh, jika kita menderita sakit tertentu.
2.1.4 Kebaktian Keagamaan Buddha
Pada agama Buddha Theravāda terdapat berbagai jenis kebaktian dan
upacara seperti kebaktian puja bakti, kebaktian meditasi, upacara Maṅgala
(memperoleh berkah), upacara Avamaṅgala (upacara perkabungan), upacara
pernikahan, dan lain sebagainya. Pada setiap kebaktian biasanya terdapat
pembacaan paritta suci. Paritta adalah kumpulan khotbah sang Buddha yang
dituliskan dalam bahasa Pāli.
Pada kebaktian meditasi, sesudah melakukan namakāra, umat membaca
paritta ataupun Paṭṭhānatergantung dari yang diajarkan sayalay ataupun bhikku
yang memimpin meditasi. Paṭṭhāna adalah salah satu kitab dari tujuh kitab
abhidahamma piṭaka. Paṭṭhāna adalah metode yang menjelaskan tentang hukum
hubungan-sebab. Kemudian barulah dilanjutkan dengan meditasi. Biasanya yang
menjadi objek umum dari empat puluh objek yang ditentukan oleh guru meditasi
dalam berlatih meditasi adalah ānāpānasati ataupun empat unsur elemen seperti
api, air, tanah, dan angin.
Begitu juga dengan kebaktian atau upacara lain dalam agama Buddha
theravadā, terdapat bacaan-bacaan paritta tertentu disetiap pelaksanaannya.Pada
kebaktian puja bakti misalnya, dimulai dari bernamakāra, dan diakhiri dengan
pembacaan ettāvatātiādipattidāna (pelimpahan jasa berawalkan kata ettāvatā).
Fungsi dari pembacaan paritta biasanya berkaitan dengan jenis upacara atau
kebaktian tersebut, begitu pula maknanya.
2.1.5 Masyarakat Tionghoa
Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang
keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa
Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh bangsa
Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang
datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya
waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam
bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa berarti
orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia.
Kata Tionghoa sebagai pengganti sebutan nonpri atau Cina.
Di Medan, masyarakat Tionghoa termasuk golongan minoritas. Namun,
seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan masyarakat Tionghoa ini
mulai diakui oleh masyarakat pribumi. Hal ini ditandai dengan adanya libur
Nasional untuk Hari Raya Imlek dan diakui sebagai salah satu dari etnis di
Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai jenis kebudayaan dan tradisi
yang unik dan menarik.
2.2 Landasan Teori
Teori adalah seperangkat konsep dan defenisi yang menjelaskan hubungan
sistematis suatu fenomena dengan cara mendeskripsikan hubungan sebab-akibat
yang terjadi. Menurut Koentjaraningrat, (1973:10)Teori adalah landasan dasar
keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Tanpa teori hanya ada
pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan.
Landasan teori adalah teori–teori yang sesuai yang dapat digunakan untuk
menjelaskan variabel–variabel penelitian. Landasan teori juga berfungsi sebagai
dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang
diajukan, serta membantu dalam penyusunan instrumen penelitian. Teori – teori
yang digunakan tersebut bukan sekedar pendapat dari pengarang saja, melainkan
teori yang sudah teruji kebenarannya, ( Ridwan, 2004:19 ).
2.2.1 Teori Fungsionalisme
Teori fungsionalisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis
setiap pola kelakuan yang menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang
merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memenuhi beberapa
fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Bronislaw Malinowski, (1884-19422) mengajukan suatu orientasi teori
yang dinamakan fungsionalisme. Bronislaw Malinowski dalam Warsani,
(1978:111) mengemukakan:
“ ... Setiap kebudayaan yang hidup merupakan kesatuan yang menjalankan
fungsi-fungsi tertentu,tidak ubahnya sebagai suatu tubuh yang hidup
dimana setiap bahagian mempunyai fungsi yang berhubungan dengan
unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dipelajari dan dipahami,
kalau tidak dihubungkan dengan kebudayaan sebagi keseluruhan”.
Menurut Malinowski dalam teorinya, fungsi sosial dibagi kepada tiga
tingkatan abstraksi, yaitu: pertama, suatu adat, pranata sosial, atau unsur
kebudayaan berpengaruh terhadap adat, tingkah laku, dan pranata sosial lain
dalam masyarakat. Kedua, suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan
berpengaruh terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata sosial lain untuk
mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga, masyarakat yang
bersangkutan. Ketiga, suatu adat, pranata sosial, dan unsur kebudayaan lain
berpengaruh
terhadap
kebutuhan
mutlak
untuk
berlangsungnya
secara
terintegerasi dari suatu sistem sosial tertentu. Dalam mengkaji fungsi meditasi
pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi Masyarakat Tionghoa di
Kota Medan, penulis mengklasifikasikan fungsi sosialnya berdasarkan ketiga
tahapan dalam rangkaian kebaktian yaitu Namakāra, pembacaan Paṭṭhāna, dan
meditasi ānāpānasati. Ketiga fungsi tersebut kemudian dianalisis dan
dikategorikan sesuai dengan tingkatan abstraksi tersebut.
Oleh karena itu penulis menggunakan teori fungsionalisme dalam
mengkaji fungsi dari meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha bagi
masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
2.2.2 Teori semiotik
Teori semiotik adalah teori yang digunakan untuk menjelaskan makna
yang terdapat dari tanda-tanda, sistem, kebiasaan atau perbuatan yang terdapat
dalam suatu kelompok masyarakat mau`pun suatu kebudayaan. Dalam
membahas makna-makna yang terkandung dalam
meditasi pada kebaktian
keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan, penulis
menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik
berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah
model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut
dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering
digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk
pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya.
Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung
dimana istilah itu popular, (Endaswara, 2008:64). Selanjutnya Roland Barthes
(1915-1980) mengatakan:
“... teori signifiant-signifie adalah teori mengenai denotasi dan konotasi.
Perbedaan pokoknya adalah pada mitos dan pada masyarakat budaya
tertentu (bukan individual). Semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu
masyarakat adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Penggunaan
istilah expression (bentuk, ekspresi untuk signifiant) dan contenu (isi,
untuk signifie)”.
Menurut Barthes dalam Kusumarini, (2006) denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai
suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan,
jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan
menjadi penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk
tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos. Oleh karena itu penulis menggunakan teori semiotik dalam
mengkaji makna meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi
masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
2.3 Tinjauan Pustaka
Penulis menemukan beberapa buku dan jurnal yang relevan dengan judul
penelitian ini. Adapun buku, skripsi dan Jurnal yaitu:
Desy (2009) dalam skripsinya yang berjudul Meditasi Buddhis Theravada
(Studi Kasus di Vihara Tanah Putih Semarang) membantu penulis dalam
menjelaskan tentang postur tubuh pada saat meditasi. Dalam penelitian ini,
dijelaskan bahwa cara bermeditasi dalam memilih posisi bagi para pemula ialah
bebas,tetapi biasanya posisi meditasi yang baik ialah duduk bersila di lantai yang
beralas dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan
menumpu tangan kiri dipangkuan, atau diperbolehkan juga dalam posisi
setengah sila dengan kaki dilipat ke samping. Yang terpenting bahwa badan dan
kepala harus tegak tetapi tidak kaku atau tegang. Jika meditasinya telah maju,
maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun
berbaring.
Enny
(2011)
Fungsionalisme
dalam
dalam
artikelnya
Masyarakat
yang
berjudul
membantu
Aplikasi
penulis
Teori
dalam
mengklasifikasikan setiap fungsi pada ketiga tahapan meditasi pada kebaktian
keagamaan Buddha Theravada. Pembagian fungsi ditinjau berdasarkan
tingkatan abstraksi dari masing-masing tahapan meditasi pada kebaktian
keagamaan Buddha Theravada bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan.
Mehm (2012) dalam bukunya The Essence of Buddha Abhidhamma sangat
membantu penulis dalam
menjelaskan arti, fungsi serta makna dari bacaan
Paṭṭhāna yang dilafalkan saat proses kebaktian meditasi berlangsung. Buku ini
juga menjelaskan secara rinci ke-24 model dari pengondisian dari mulai Hetupaccayo hingga Avigata-Paccayo.
Rong (2013) dalam artikelnya yang berjudul 佛教中的“坐禅”技术与机
理 membantu penulis dalam memahami sistem meditasi Buddhis khhususnya
Buddhisme Theravada. Artikel tersebut juga membahas tentang tata cara
melakukan namakāra, serta apa makna yang terkandung di dalamnya.
Santoso (2008) dalam artikelnya yang berjudul perancangan panduan
meditasi singkat untuk umat buddha theravada membantu penulis untuk
menguraikan manfaat-maafaat yang terkandung dalam meditasi tidak hanya
ditinjau dari segi keagamaan namun juga ditinjau dari segi kesehatan.
Sri (2014) dalam artikelnya yang berjudul Roland Barthes dan Semiotika
membantu penulis dalam memahami sistem tanda dan bagaimana penggunaan
penanda dan petanda yang diaplikasikan ke dalam penelitian penulis.
Zhang (2012) dalam artikelnya yang berjudul 安那般那念 membantu
penulis menjelaskan defenisi dari ānāpānasati serta bagaimana cara melakukan
meditasi ānāpānasatitersebut.
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep merupakan suatu pernyataan singkat tentang fenomena atau
kejadian. Konsep juga dapat diartikan sebagai suatu abstraksi dari ciri-ciri
sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan
manusia untuk berpikir .
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (1995:456) konsep
diartikan sebagai rencana atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian
konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasan yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Peneliti akan
menggambarkan objek yang diteliti secara abstrak yaitu gambaran berupa
pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penelitian fungsi dan makna
meditasi bagi masyarakat yang mempelajarinya di kota Medan.
2.1.1 Fungsi
Pada umumnya fungsi mempunyai arti guna atau manfaat. Fungsi dapat
diartikan sebagai sekumpulan kegiatan yang dikelompokkan berdasarkan
kesamaan jenis dan sifat, atau dapat disebut kegunaan suatu hal. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (2007: 323), fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi
hidup suatu masyarakat. Fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong
pada jenis yang sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan
lainnya. Penciptaan suatu fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong
pada jenis yang sama berdasarkan sifat pelaksanaannya, atau dapat dimaknai
sebagai kegunaan suatu hal.
Fungsi kebudayaan adalah fungsi dalam suatu kelompok masyarakat yang
terdapat suatu kegiatan atau sikap yang menjadi suatu ciri atau kebiasaan.
Menurut Schneider, (1968)Fungsi secara budaya yaitu fungsi dimana setiap
kegiatan, kelakuan dan sikap menjadi suatu kebiasaan. Sebagian ilmuwan sosial
bahkan berusaha membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga
hanya mencakup bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas
hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengetahuan
prosedural mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan. Menurut Soekanto,
(1999) Kebudayaan berfungsi sebagai suatu pedoman hubungan antara manusia
dan kelompok, wadah untuk menyalurkan perasaan dan kehidupan lainnya,
pembimbing kehidupan manusia dan sebagai pembeda antar manusia dan
binatang.
2.1.2 Makna
Makna dapat diartikan sebagai maksud yang terkandung dalam sesuatu.
Makna tidak terbatas hanya pada arti dari sebuah kata atau kalimat, namun
makna juga meliputi arti atau maksud yang terkandung dalam simbol, kebiasaan
atau kegiatan, isyarat, maupun kepercayaan. Makna dapat dibedakan menjadi
makna simbolik, makna empirik, makna estetik, makna sinoetik, makna etik, dan
makna sinoptik. Lebih lanjut Nursyrid, (2002 : 109) mengemukakan :
Ada 6 pola makna esensial yang melekat dalam kehidupan masyarakat dan
budaya manusia, yaitu : simbol, empirik, estetika, sinoetik (perasaan yang
halus), etik dan sinoptik (hubungan agama dan filsafat). Makna Simbolik
meliputi bahasa, matematika, termasuk juga isyarat-isyarat, upacaraupacara, tanda-tanda kebesaran dan sebagainya. Makna Empirik
mengembangkan kemampuan teoritis, generalisasi berdasarkan fakta-fakta
dan kenyataan yang biasa diamati. Makna Estetik meliputi seni musik, tari,
sastra, dan lain-lain, berkenaan dengan keindahan dan kehalusan serta
keunikan berdasarkan persepsi subyektif berjiwa seni. Makna Sinoetik
berkenaan dengan perasaan, kesan, penghayatan dan kesadaran yang
mendalam. Makna Etik berkenaan dengan aspek-aspek moral, akhlak,
perilaku yang luhur, dan tanggung jawab. Makna Sinoptik berkenaan
dengan pengertian-pengertian yang terpadu dan mendalam seperti agama,
filsafat, pengetahuan alam yang menuntut nalar masa lampau dan hal-hal
yang bernuansa spiritual.
2.1.3 Meditasi
Meditasi adalah praktik relaksasi yang melibatkan pelepasan pikiran dari
semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup kita
sehari-hari.Meditasi sering diartikan secara salah, dianggap sama dengan
melamun sehingga meditasi dianggap hanya membuang waktu dan tidak ada
gunanya. Meditasi justru merupakan suatu tindakan sadar karena orang yang
melakukan meditasi tahu dan paham akan apa yang sedang ia lakukan. Menurut
Agus, (2009:156) makna harfiah dari meditasi adalah kegiatan mengunyahunyah atau membolak-balik dalam pikiran, memikirkan, merenungkan. Arti
defenisinya, meditasi adalah kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama
jangka waktu tertentu untuk menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengambil
langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan, atau
penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari melakukan meditasi,
diantaranya dapat mengontrol emosi dengan baik, lebih tenang dan merasa
bahagia,
hingga
menyembuhkan
penyakit.
Menurut
Tjiptadinata,
(2008:126)Manfaat meditasi yang kita lakukan bisa secara langsung maupun
tidak langsung kita rasakan secara fisik. Salah satu manfaat tersebut adalah
kesembuhan yang kita peroleh, jika kita menderita sakit tertentu.
2.1.4 Kebaktian Keagamaan Buddha
Pada agama Buddha Theravāda terdapat berbagai jenis kebaktian dan
upacara seperti kebaktian puja bakti, kebaktian meditasi, upacara Maṅgala
(memperoleh berkah), upacara Avamaṅgala (upacara perkabungan), upacara
pernikahan, dan lain sebagainya. Pada setiap kebaktian biasanya terdapat
pembacaan paritta suci. Paritta adalah kumpulan khotbah sang Buddha yang
dituliskan dalam bahasa Pāli.
Pada kebaktian meditasi, sesudah melakukan namakāra, umat membaca
paritta ataupun Paṭṭhānatergantung dari yang diajarkan sayalay ataupun bhikku
yang memimpin meditasi. Paṭṭhāna adalah salah satu kitab dari tujuh kitab
abhidahamma piṭaka. Paṭṭhāna adalah metode yang menjelaskan tentang hukum
hubungan-sebab. Kemudian barulah dilanjutkan dengan meditasi. Biasanya yang
menjadi objek umum dari empat puluh objek yang ditentukan oleh guru meditasi
dalam berlatih meditasi adalah ānāpānasati ataupun empat unsur elemen seperti
api, air, tanah, dan angin.
Begitu juga dengan kebaktian atau upacara lain dalam agama Buddha
theravadā, terdapat bacaan-bacaan paritta tertentu disetiap pelaksanaannya.Pada
kebaktian puja bakti misalnya, dimulai dari bernamakāra, dan diakhiri dengan
pembacaan ettāvatātiādipattidāna (pelimpahan jasa berawalkan kata ettāvatā).
Fungsi dari pembacaan paritta biasanya berkaitan dengan jenis upacara atau
kebaktian tersebut, begitu pula maknanya.
2.1.5 Masyarakat Tionghoa
Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang
keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa
Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh bangsa
Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang
datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya
waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam
bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa berarti
orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia.
Kata Tionghoa sebagai pengganti sebutan nonpri atau Cina.
Di Medan, masyarakat Tionghoa termasuk golongan minoritas. Namun,
seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan masyarakat Tionghoa ini
mulai diakui oleh masyarakat pribumi. Hal ini ditandai dengan adanya libur
Nasional untuk Hari Raya Imlek dan diakui sebagai salah satu dari etnis di
Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai jenis kebudayaan dan tradisi
yang unik dan menarik.
2.2 Landasan Teori
Teori adalah seperangkat konsep dan defenisi yang menjelaskan hubungan
sistematis suatu fenomena dengan cara mendeskripsikan hubungan sebab-akibat
yang terjadi. Menurut Koentjaraningrat, (1973:10)Teori adalah landasan dasar
keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Tanpa teori hanya ada
pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan.
Landasan teori adalah teori–teori yang sesuai yang dapat digunakan untuk
menjelaskan variabel–variabel penelitian. Landasan teori juga berfungsi sebagai
dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang
diajukan, serta membantu dalam penyusunan instrumen penelitian. Teori – teori
yang digunakan tersebut bukan sekedar pendapat dari pengarang saja, melainkan
teori yang sudah teruji kebenarannya, ( Ridwan, 2004:19 ).
2.2.1 Teori Fungsionalisme
Teori fungsionalisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis
setiap pola kelakuan yang menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang
merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memenuhi beberapa
fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Bronislaw Malinowski, (1884-19422) mengajukan suatu orientasi teori
yang dinamakan fungsionalisme. Bronislaw Malinowski dalam Warsani,
(1978:111) mengemukakan:
“ ... Setiap kebudayaan yang hidup merupakan kesatuan yang menjalankan
fungsi-fungsi tertentu,tidak ubahnya sebagai suatu tubuh yang hidup
dimana setiap bahagian mempunyai fungsi yang berhubungan dengan
unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dipelajari dan dipahami,
kalau tidak dihubungkan dengan kebudayaan sebagi keseluruhan”.
Menurut Malinowski dalam teorinya, fungsi sosial dibagi kepada tiga
tingkatan abstraksi, yaitu: pertama, suatu adat, pranata sosial, atau unsur
kebudayaan berpengaruh terhadap adat, tingkah laku, dan pranata sosial lain
dalam masyarakat. Kedua, suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan
berpengaruh terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata sosial lain untuk
mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga, masyarakat yang
bersangkutan. Ketiga, suatu adat, pranata sosial, dan unsur kebudayaan lain
berpengaruh
terhadap
kebutuhan
mutlak
untuk
berlangsungnya
secara
terintegerasi dari suatu sistem sosial tertentu. Dalam mengkaji fungsi meditasi
pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi Masyarakat Tionghoa di
Kota Medan, penulis mengklasifikasikan fungsi sosialnya berdasarkan ketiga
tahapan dalam rangkaian kebaktian yaitu Namakāra, pembacaan Paṭṭhāna, dan
meditasi ānāpānasati. Ketiga fungsi tersebut kemudian dianalisis dan
dikategorikan sesuai dengan tingkatan abstraksi tersebut.
Oleh karena itu penulis menggunakan teori fungsionalisme dalam
mengkaji fungsi dari meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha bagi
masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
2.2.2 Teori semiotik
Teori semiotik adalah teori yang digunakan untuk menjelaskan makna
yang terdapat dari tanda-tanda, sistem, kebiasaan atau perbuatan yang terdapat
dalam suatu kelompok masyarakat mau`pun suatu kebudayaan. Dalam
membahas makna-makna yang terkandung dalam
meditasi pada kebaktian
keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan, penulis
menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik
berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah
model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut
dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering
digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk
pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya.
Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung
dimana istilah itu popular, (Endaswara, 2008:64). Selanjutnya Roland Barthes
(1915-1980) mengatakan:
“... teori signifiant-signifie adalah teori mengenai denotasi dan konotasi.
Perbedaan pokoknya adalah pada mitos dan pada masyarakat budaya
tertentu (bukan individual). Semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu
masyarakat adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Penggunaan
istilah expression (bentuk, ekspresi untuk signifiant) dan contenu (isi,
untuk signifie)”.
Menurut Barthes dalam Kusumarini, (2006) denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai
suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan,
jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan
menjadi penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk
tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos. Oleh karena itu penulis menggunakan teori semiotik dalam
mengkaji makna meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi
masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
2.3 Tinjauan Pustaka
Penulis menemukan beberapa buku dan jurnal yang relevan dengan judul
penelitian ini. Adapun buku, skripsi dan Jurnal yaitu:
Desy (2009) dalam skripsinya yang berjudul Meditasi Buddhis Theravada
(Studi Kasus di Vihara Tanah Putih Semarang) membantu penulis dalam
menjelaskan tentang postur tubuh pada saat meditasi. Dalam penelitian ini,
dijelaskan bahwa cara bermeditasi dalam memilih posisi bagi para pemula ialah
bebas,tetapi biasanya posisi meditasi yang baik ialah duduk bersila di lantai yang
beralas dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan
menumpu tangan kiri dipangkuan, atau diperbolehkan juga dalam posisi
setengah sila dengan kaki dilipat ke samping. Yang terpenting bahwa badan dan
kepala harus tegak tetapi tidak kaku atau tegang. Jika meditasinya telah maju,
maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun
berbaring.
Enny
(2011)
Fungsionalisme
dalam
dalam
artikelnya
Masyarakat
yang
berjudul
membantu
Aplikasi
penulis
Teori
dalam
mengklasifikasikan setiap fungsi pada ketiga tahapan meditasi pada kebaktian
keagamaan Buddha Theravada. Pembagian fungsi ditinjau berdasarkan
tingkatan abstraksi dari masing-masing tahapan meditasi pada kebaktian
keagamaan Buddha Theravada bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan.
Mehm (2012) dalam bukunya The Essence of Buddha Abhidhamma sangat
membantu penulis dalam
menjelaskan arti, fungsi serta makna dari bacaan
Paṭṭhāna yang dilafalkan saat proses kebaktian meditasi berlangsung. Buku ini
juga menjelaskan secara rinci ke-24 model dari pengondisian dari mulai Hetupaccayo hingga Avigata-Paccayo.
Rong (2013) dalam artikelnya yang berjudul 佛教中的“坐禅”技术与机
理 membantu penulis dalam memahami sistem meditasi Buddhis khhususnya
Buddhisme Theravada. Artikel tersebut juga membahas tentang tata cara
melakukan namakāra, serta apa makna yang terkandung di dalamnya.
Santoso (2008) dalam artikelnya yang berjudul perancangan panduan
meditasi singkat untuk umat buddha theravada membantu penulis untuk
menguraikan manfaat-maafaat yang terkandung dalam meditasi tidak hanya
ditinjau dari segi keagamaan namun juga ditinjau dari segi kesehatan.
Sri (2014) dalam artikelnya yang berjudul Roland Barthes dan Semiotika
membantu penulis dalam memahami sistem tanda dan bagaimana penggunaan
penanda dan petanda yang diaplikasikan ke dalam penelitian penulis.
Zhang (2012) dalam artikelnya yang berjudul 安那般那念 membantu
penulis menjelaskan defenisi dari ānāpānasati serta bagaimana cara melakukan
meditasi ānāpānasatitersebut.