KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA 1950-1987.
KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM
PERPOLITIKAN DI INDONESIA 1950-1987
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
oleh :
Iin Nur Zulaili NIM : A0.22.12.057
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN AMPEL SURABAYA
2016
(2)
(3)
(4)
(5)
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul, Kiprah Sholihah Wahid Hasyim dalam Perpolitikan di Indonesia (1950-1987). Adapun penelitian ini difokuskan pada, (1) Bagaimana biografi Sholihah Wahid Hasyim? (2) Bagaimana perjuangannya dalam berbagai organisasi sosial dan keagamaan (1950-1987)? (3) Bagaimana peran Sholihah Wahid Hasyim dalam perpolitikan di Indonesia 1950-1987?.
Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan metode sejarah (historis), yaitu suatu langkah merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengkritik, menafsirkan dan mensintesiskan data dalam rangka menegakkan fakta serta kesimpulan yang kuat. Dalam teori penelitian ini menggunakan teori politik dan teori kepemimpinan milik Max Weber yakni teori genetik dan teori sosial.
Maka hasil penelitian dapat diperoleh beberapa kesimpulan, (1) Sholihah lahir di Denanyar Jombang pada 11 Oktober 1922 dan wafat pada tanggal 22 Juli 1994 (2) Sholihah aktif dalam kegiatan masyarakat seperti Muslimat NU dari tahun 1940 dan berbagai organisasi kegamaan lainnya sampai tahun 1987 (3) Sholihah terlibat dalam perpolitikan di Indonesia mulai tahun 1950, pada tahun 1950-1952 menjadi anggota DPRD Jakarta mewakili NU dari fraksi Masyumi, lalu tahun 1952-1972 mewakili NU yang sudah berdiri sendiri menjadi partai politik, tahun 1973 NU bergabung dengan PPP dan pada tahun 1977-1987 menjadi DPR RI mewakili PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
(6)
ABSTACT
This thesis titled, Gait Sholihah Wahid Hasyim in Politics in Indonesia (1950-1987). As this study focused on: (1) How Sholihah biography Wahid Hasyim? (2) How to struggle in various social and religious organizations (1950-1987)? (3) How Wahid Hasyim Sholihah role in politics in Indonesia from 1950 to 1987 ?.
To answer the above problems the author uses historical method (historical), which is a step in reconstructing the past systematically and objectively by collecting, criticize, interpret and synthesize data in order to establish the facts and conclusions. In this study using the theory of political theory and theories of leadership belongs to Max Weber that the genetic theory and social theory.
Then the results can be obtained several conclusions: (1) Sholihah born in Denanyar Jombang on October 11, 1922 and died on July 22 1994 (2) Sholihah active in community activities such as Muslimat NU (Nahdlatul Ulama) from 1940 and various organizations of religious Other until 1987 (3) Sholihah involved in politics in Indonesia started in 1950, in 1950-1952 became a member of the City Council does represent NU faction Masjumi, then years 1952-1972 represent NU already established itself as a political party, in year 1973 represent NU faction of PPP and in the year 1977 to 1987 into the House of Representatives representing the PPP (United Development Party).
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ...viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 8
C.Tujuan Penelitian ... 8
D.Kegunaan Penelitian ... 8
E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 9
F. Penelitian Terdahulu ... 10
G.Metode Penelitian ... 12
H.Sistematika Pembahasan ... 15
BAB II: BIOGRAFI SHOLIHAH WAHID HASYIM A. Silsilah ... 17
(8)
B. Masa Kecil ... 19
C. Masa Pendidikan ... 20
D. Masa Pernikahan ... 22
E. Masa Berumah tangga ... 24
F. Membantu Pejuang... 30
G. Pindah ke Jakarta... 32
H. Karir ... 34
I. Wafatnya ... 37
BAB III: PERJUANGAN DAN KONTRIBUSI SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM ORGANISASI SOSIAL DAN KEAGAMAAN (1950-1987) A.Aktivitas di Muslimat NU ... 38
B. Pejuang Pergerakan Wanita ... 46
C.Aktivitas di Lembaga Sosial ... 49
D.Aktivitas di Lembaga Keagamaan ... 55
BAB IV: SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA (1950-1987) A. Sholihah Wahid Hasyim pada masa Orde Lama... 59
1. Sholihah dan Demokrasi Terpimpin ... 60
2. Sholihah dan KAP Gestapu... 65
B. Sholihah pada masa Orde Baru ... 72
BAB V: PENUTUP A.Kesimpulan ... 79
(9)
B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA.
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berkembangnya zaman dan peradaban manusia, perempuan selalu termarjinalkan. Hal ini terbukti peran perempuan sangat dibatasi hanya bisa berkiprah dalam ranah domestik. Perempuan dianggap tidak mampu masuk dalam dunia politik berbeda dengan laki-laki, laki-laki dianggap mampu untuk memegang kekuasaan.1
Sebagian orang beranggapan bahwa wanita tidak mempunyai keahlian untuk ikut serta dalam kegiatan politik, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa wanita memiliki keahlian untuk itu. Walaupun peranan penting dari wanita itu hanya ada dalam keluarga, janganlah kita lupa bahwa justru rumah tangga itulah merupakan inti terpentinga daripada masyarakat.2
Dalam hal ini realitas sosial menunjukkan bahwa pada zaman Nabi terlihat tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sama. Di karenakan pada zaman ini laki-laki dan perempuan di bebaskan dalam berkiprah di bidang bisnis, pemerintahan dan politik. Sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Agar tidak ada diskriminasi terhadap perempuan
1
Muhammad Anis Qosim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Terj, Irwan Kurniawan dan Abu Muhammad (Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998), 11.
2
Maria Ulfah Subadio dan T.O Ihromi, Peranan Dan Kedudukan Wanita Indonesia. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978), 44.
(11)
untuk terjun ke dunia politik, yang selama ini menjadi bentuk penindasan ideologi dan kultural kepada kaum perempuan.3
Minimnya partisipasi perempuan dalam sektor publik dan banyaknya kendala perempuan untuk berkecimpung di wilayah politik disebabkan karena tidak sedikit kaum laki-laki yang beranggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas untuk menduduki wilayah publik. Sebagian laki -laki mengatakan bahwa politik adalah wilayah yang keras dan hanya layak untuk dimiliki oleh kaum laki-laki masyarakat pada umumnya juga masih sangat kental menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan sehingga kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk menempati wilayah publik tersebut.4 Perempuan dan politik merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dibayangkan terutama untuk negara berkembang. Hal ini disebabkan karena manusia telah dibentuk oleh budayanya masing-masing bahwa laki-laki berperan di sektor publik dan perempuan mengambil peran di sektor domestik.5
Selanjutnya, zaman kaum perempuan bergerak di Indonesia dibuka oleh pikiran Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan tahun 1912. Kegiatan mereka pada awalnya menekankan pendidikan yang membuka cakrawala kaum perempuan misalnya, memasak, merawat anak, melayani suami, menjahit dan lain-lain. Lebih jauh dari itu, mereka memberikan pula kesadaran
3
Mansur Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1947), 149.
4
Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA, 1999), 199.
5
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam (Surabaya: Alpha, 2005), 18.
(12)
3
yang belakangan disebut sebagai “emansipasi wanita”, bahwa kaum perempuan
sederajat dengan laki-laki.6
Dikatakan juga oleh Musdah Mulia yang menunjukkan bagaimana perempuan bisa bergerak dari posisinya sebagai perempuan yang tidak hanya berkiprah dalam kegiatan rumah tangga, tetapi juga dapat ditunjukkan dengan keikut sertaan kaum perempuan untuk ikut berkecimpung di wilayah publik yang mana sampai saat ini dikuasai oleh kaum laki-laki.7
Partisipasi perempuan dalam kegiatan politik di Indonesia secara umum dapat dilihat dari dua indikator. Pertama, keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif (DPR dan DPRD). Kedua, kehadiran perempuan sebagai pengambil keputusan (decision maker) dalam lembaga eksekutif, baik dalam struktur pemerintahan (mulai pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan daerah).
Lembaga legislatif di Indonesia menurut Miriam Budiardjo telah ada sejak masa pra-kemerdekaan yaitu dibentuknya Volksraad pada tahun 1918.8 Namun demikian, partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif baru dimulai pada tahun 50-an. Untuk memudahkan melihat tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif, penulis membaginya menjadi dua periode besar, yaitu sebelum era reformasi dan setelah era reformasi. Partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif sebelum era reformasi meliputi: masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama: 1955-1959) dan masa pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih dikenal dengan masa Orde Baru (1971-1998).
6
Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta:LP3ES, 2004), 421.
7
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 15.
8
(13)
Partisipasi perempuan Indonesia dalam lembaga legislatif baru dimulai pada tahun 50-an. Pada saat itu, perempuan yang berhasil menduduki kursi di DPR periode tahun 1955-1956 baru berjumlah 17 orang atau 6,3% dari total 289 orang Anggota DPR. Jumlah ini secara kuantitas meningkat menjadi 25 orang pada periode berikutnya, yaitu pada masa Konstituante (1956-1959), tetapi sebenarnya persentasenya lebih kecil dibanding dengan periode sebelumnya (5,1%), mengingat pada masa ini jumlah anggota DPR meningkat hampir dua kali lipat menjadi 513 orang.9
Dalam hal ini penulis kaitkan dengan partisipasi politik perempuan yaitu dari istri tokoh nasional K.H Wahid Hasyim, Sholihah Wahid Hasyim10 yang mendobrak anggapan negatif mengenai pandangan bahwa perempuan pesantren hanya bisa menjadi konco wingking (teman pelengkap) bagi laki-laki saja, termasuk di dunia politik. Ia ingin menyampaikan bahwa perempuan pesantren tidak kalah bersaing dengan perempuan kota bahkan dengan laki-laki sekalipun.
Keterlibatan seorang perempuan yang terjun ke perpolitikan di Indonesia membuat penulis sangat tertarik untuk mengakajinya. Seorang perempuan yang aktif dalam dunia politik pada tahun 1950-an bisa dikatakan seorang pejuang, pejuang untuk keluarga, masyarakat dan juga negara. Hal ini sebagai bukti sejarah bahwa seorang perempuan bisa ikut andil berjuang dalam perpolitikan. Salah satu pejuang aktivis perempuan tersebut adalah Sholihah Wahid Hasyim. Memang tidak begitu banyak orang yang mengetahui bahwa sebenarnya dahulu Sholihah (biasa dipanggil Bu Wahid) ini cukup panjang berkecimpung dalam dunia politik.
9
Ibid.,329-330.
10
(14)
5
Nama asli Sholihah adalah Munawwaroh. Beliau lahir di Jombang 11 Oktober 1922.11 Ayahnya adalah Bisri Syansuri dan ibunya bernama Nur Chadijah. Sholihah adalah salah seorang anak yang sayang disayangi oleh ayahnya. Sejak kecil beliau dididik dan diberi pengajaran-pengajaran agama dan bahasa Arab. Memang kelihatan ia seorang gadis yang cakap dan cerdas dan mempunyai sifat-sifat pemimpin. Cara berfikirnya pun luas dan maju, tertutama sesudah ia turut memimpin juga di pesantren bagian wanita, yang terdapat di pesantren Denanyar dalam asuhan ayahnya. Beliau menikah dengan K.H Wahid hasyim kira-kira berumur 15 tahun.12
Pada tanggal 10 Syawal 1356 H / 1938 M ia dinikahkan dengan Abdul
Wahid Hasyim, putera sulung KH Hasyim Asy’ari dan diboyong ke Tebuireng.
Sejak itulah kehidupan Munawwaroh menapak babak baru dan lebih dikenal sebagai Ibu Sholihah, atau nyonya Wahid Hasyim. Dalam situasi perang, Sholihah membantu mendirikan dapur umum di dekat Pabrik Gula Cukir, juga menyelamatkan dokumen rahasia ketika suaminya dikejar Belanda, termasuk menyamar menjadi pembantu.
Kemudian sejak Januari 1950, ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah RI, Sholihah meninggalkan Jombang mengikuti suaminya yang dipercaya sebagai Menteri Agama. Namun tiga tahun kemudian, Abdul Wahid Hasyim meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Jawa Barat, sementara ia baru berumur tiga puluh tahun.
11
Muhammad Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi (Jakarta: Yayasan K.H.A Wahid Hasyim, 2001), 5.
12
Aboe Bakar, Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Panitia buku peringatan alm. K.H.A Wahid Hasyim, 1957), 157.
(15)
Setelah kepergian Wahid Hasyim, Sholihah tidak mau pulang ke Jombang karena wasiat dari suaminya beliau disuruh untuk melanjutkan perjuangan dengan membesarkan Muslimat NU Jakarta. Pada tahun 1950 ia terpilih sebagai anggota DPRD mewakili NU hingga berfusi ke dalam PPP. Ia juga menjadi anggota Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU tahun 1959 sampai meninggal. Saat NU berfusi dalam PPP, ia menjadi anggota legislatif (1978-1987). Selain itu, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan yaitu Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 sampai akhir hayat. Mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta Panti Harapan Remaja di Jakarta Timur (1976).
Dalam bidang kegiatan keagamaan, Sholihah mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (1978), pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), serta Majelis Taklim Masjid Jami Matraman.
Sholihah juga aktif bersama Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah Syahroni, mendirikan Rumah Bersalin Muslimat, BKIA Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik KB dan memberikan beasiswa kepada putera-puteri NU terlantar, serta mengunjungi panti sosial. Sholihah juga aktif di perkumpulan
“Bunga Kemboja”, sebuah organisasi sosial yang menangani jenazah dan
penguburan dengan mengajak Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu Anie Walandaoe (Kristen) dan Mr Hamid Algadri (sosialis). Karena kiprahnya,
(16)
7
sejak 1957 Ibu Sholihah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta, DPR-GR/MPRS (1960) DPR/MPR (1971-1987).
Dari sini penulis ingin mengkaji tentang perjuangan Sholihah Wahid
Hasyim yang berjudul: KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM
PERPOLITIKAN DI INDONESIA (1950-1987). Penelitian tentang studi tokoh memang sudah lama menarik minat banyak kaum terpelajar karena kepentingan dan relevansi studi tokoh yang sangat penting untuk dilakukan setiap zaman.13 Diantara alasan penulis mengetahui relevansi pentingnnya penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, karena dengan meneliti mengenai studi tokoh seorang yang memliki peran penting dalam perpolitikan dapat menambah wawasan penulis untuk bisa terjun ke ranah politik walaupun seorang perempuan.
Kedua, Sholihah Wahid Hasyim dalam perjalanan politiknya di Indonesia adalah salah satu seorang perempuan yang ikut menandatangani resolusi pembubaran PKI pada tanggal 30 Oktober 1965 dan menyampaikan kepada pemegang kekuasaan secara langsung. Hal ini sangat menarik bagi penulis untuk mengakaji keberanian beliau yang walapun seorang perempuan tetapi sangat berani menyatakan pendapat kepada seorang penguasa pun. Dari sini juga dapat dijadikan tempat berpijak untuk memulai gagasan yang lebih besar di masa depan dari apa yang pernah dipikirkan dan digagaskan tokoh-tokoh terdahulu.
Ketiga, sebagai seleksi validitas perkembangan berbagai penemuan. Artinya dengan melakukan studi terhadap tokoh-tokoh terdahulu dan
13
(17)
gagasannya, maka di sini peneliti akan dapat mengukur apakah yang dipikirkan atau digagaskan pemikir kemudian dapat dijadikan sebagai penemuan baru, atau pun sebagai contoh yang baik bagi generasi selanjutnya.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Sholihah Wahid Hasyim?
2. Bagaimana perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam organisasi sosial dan keagamaan di Indonesia (1950-1987)?
3. Bagaimana peran dan kontribusi Sholihah Wahid Hasyim dalam perpolitikan di Indonesia (1957-1987)?
C.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui biografi aktivis perempuan Sholihah Wachid Hasyim. 2. Untuk mengetahui perjuangan dan kontribusi Sholihah Wachid Hasyim
dalam perpolitikan di Indonesia pada tahun 1957-1987.
3. Untuk mengetahui faktor Sholihah Wahid Hasyim terjun ke politik. D.Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui persyaratan meraih gelar strata satu di Fakultas Adab dan Humaniora jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
2. Untuk memberikan informasi mengenai perjuangan partisipasi perempuan dalam perpolitikan di Indonesia.
3. Untuk tambahan refrensi dan bahan koleksi di perpustakan bagi mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.
(18)
9
E.Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Untuk menjelaskan dan menjawab persoalan-persoalan yang menjadi fokus kajian penelitian skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan historis yang disertai dengan teori kepemimpinan dan teori politik.
Dalam hal ini penulis berusaha mengungkapkan bagaimana riwayat hidup Sholihah Wahid Hasyim, meliputi pendidikannya, serta posisi dan perannya baik dalam bidang keagamaan, sosial dan politik. Untuk melengkapi analisis, penulis juga menggunakan pendekatan sosiologis sebagai alat bantu. Pendekatan sosiologi dalam hal ini untuk menganalisis segi-segi sosial peristiwa yang dikaji, misalnya golongan sosial mana yang berperan, serta nilai-nilainya, hubungan dengan golongan lain, konflik berdasarkan kepentingan, ideologi dan sebagainya.14
Secara umum penelitian ini adalah penelitian historis yang mencoba menarasikan sejarah Sholihah Wahid Hasyim, yang mana menurut Sartono Kartodirjo, Naratif adalah sejarah yang mendiskripsikan tentang masa lampau dengan merekontruksi apa yang terjadi, serta diuraikan sebagai cerita, dengan perkataan lain, kejadian-kejadian penting diseleksi dan diatur menurut poros waktu sedemikian sehingga tersusun sebagai cerita.15
Dalam boiografi tersebut dijelaskan secara lengkap kehidupan seorang tokoh sejak kecil sampai tua, bahkan sampai meninggal dunia. Semua jasa, karya dan segala hal yang dihasilkan atau dilalukan oleh seorang tokoh.16 Selain itu
14
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 4.
15
Ibid., 9.
16Bonaditya, “Biografi”, dalam
(19)
penulis juga menggunakan teori kepemimpinan Max Weber seperti dikutip oleh Sunidhia, yaitu Teori Genetik dan teori Sosial, yaitu:
1. Teori genetik yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan dari keturunan, tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang hebat dan ditakdirkan menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi apapun.
2. Teori sosial yang menyatakan setiap orang bisa menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan, pendidikan dan pembentukan serta didorong oleh kemajuan sendiri dan tidak lahir begitu saja atau takdir dari Tuhan semestinya.17
Kemudian penulis juga menggunakan teori politik dimana jika seseorang menduduki posisi sosial tinggi, memiliki status tinggi, bagi dia ada kesempatan dan keleluasan memperoleh bagian dari kekuasaan. Tidak hanya itu, bahkan dia lebih mudah mengambil peranan sebagai pemimpin dan juga menyebarkan pengaruhnya jika ada sumber sosial budaya untuk melakukan peranannya sebagai pemimpin.
F. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu dari berbagai penelusuran yang telah penulis lakukan terhadap literature, telah ditemukan berbagai buku dan karya ilmiah yang terkait dengan pembahasan mengenai peran perempuan berpolitik. Di antaranya sebagai berikut;
1. Buku Muhammad Dahlan, Sholihah A.Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan (sebuah Biografi), buku ini membahas tentang seluruh sepak terjang
17
(20)
11
Sholihah Wahid Hasyim yakni mengenai diri, pemikiran, dan langkah kaki Sholihah dalam menjalankan kehidupannya sejak lahir hingga wafat.
2. Buku Sholahuddin Wahid, Ibuku Inspirasiku (Ibunda Gus Dur dan Gus Sholah), buku ini membahas tentang peranan seorang ibu dalam keluarga khususnya kepada anak-anaknya.
3. Buku Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda:Potret Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim. Jakarta:Yayasan KH. A Wachid Hasyim Pustaka IKAPETE. Buku ini membahas tentang keseluruhan keluarga besar KH. A. Wahid Hasyim.
4. Buku Abdussalam Shohib, Kiai Bisri Syansuri: Tegas Berfikih, Lentur Bersikap, buku ini membahas tentang biografi Kiai Bisri Syansuri beserta semua keturunannya. Tetapi yang spesifik Sholihah hanya sebatas biografi singkat waktu kecil hingga remaja.
5. Buku Muhammad Rifa’i, Wahid Hasyim, buku ini membahas tentang biografi
Wahid Hasyim, tetapi hanya sedikit dijelaskan juga tentang Sholihah.
6. Buku Sholahuddin Wahid, Ibu Indonesia dalam Kenangan, buku ini membahas tentang perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam hidupnya dan sukses mendidik anak-anaknya sesuai bidangnya masing-masing.
Sepanjang yang saya telusuri, skripsi atau tesis atau disertasi yang menulis tentang Nyai Sholihah Wahid Hasyim belum ada, karya ini baru pertama. Beberapa judul buku di atas dengan judul skripsi yang peneliti tulis ini berbeda. Adapun titik fokus yang akan penulis teliti pada penelitian ini adalah tentang perjuangan dan kontribusi yang berikan oleh Sholihah Wachid Hasyim dalam perpolitikan Indonesia (1957-1987), yang mana dalam perjuangannya ke dunia
(21)
politik Sholihah melewati beberapa aktivitas organisasi sehingga dalam kiprahnya tersebut beliau masuk dalam perpolitikan di Indonesia yaitu sebagai anggota legislatif dari tingkat daerah ke tingkat nasional.
Dengan demikian penulis disini tidak akan mengulang kembali seperti apa yang ditulis oleh Muhammad Dahlan. Tetapi memperjelas dan menguatkan kembali apa yang telah ditulis oleh Dahlan mengenai Sholihah Wahid Hasyim di bidang politik dengan memadukan sumber-sumber yang lain termasuk dari tulisan putranya Sholihah yaitu Sholahuddin Wahid.
G.Metode Penelitian
Untuk tujuan, peneliti menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Heuristik (Pengumpulan Data)
Teknik yang digunakan dalam penulisan ini ialah teknik mencari dan mengumpulkan data.18 Yaitu suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Data yang digunakan berasal dari tiga kategori sumber.19 Yaitu:
a. Sumber Primer:
1) Sumber Tertulis: antara lain adalah karya Nyai Sholihah Wahid Hasyim sendiri yang di peroleh di Museum NU dalam buku yang berjudul Ibu Kartini Seratus Tahun dan beberapa sumber arsip yang menjelaskan bahwa Sholihah Wahid Hasyim adalah seorang anggota legislatif pada tahun 1957-1987. Sumber ini diperoleh di dalam beberapa buku
18
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 55.
19
(22)
13
Muhammad Dahlan yang berjudul Sholihah A. Wahid Hasyim
(Muslimah di Garis Depan) Sebuah Biografi.
2) Wawancara: wawancara dengan orang yang sezaman yaitu putra-putrinya antara lain: Sholahuddin Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi, Umar Wahid, Lily Chodidjah Wahid, sebagian tokoh yang sezaman seperti Khofifah Indar Parawangsa, dan beberapa teman di anggota legislatif yang pernah berjuang bersama Sholihah dalam perpolitikan di Indonesia khususnya pada tahun 1957-1987. Selain itu foto dari rumah Sholihah bersama suaminya Wahid Hasyim yang ada di Tebuireng Jombang, rumah yang ada di Denanyar Jombang dan foto rumah yang ada di Jakarta yaitu Jalan Taman Amir Hamzah No.8 yang sekarang menjadi The Wahid Institute (Kantor Wahid Hasyim).
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber yang dihasilkan oleh orang yang tidak terlibat atau menyaksikan secara langsung peristiwa yang ditulis. Diantara beberapa buku yang dijadikan penulis sebagai acuan adalah buku Muhammad Dahlan, dkk. Sholihah Wahid Hasyim (Muslimah di Garis Depan, Sebuah Biografi), Buku Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda.
Jakarta:Yayasan KH. A Wachid Hasyim Pustaka IKAPETE. Buku Sholahuddin Wachid, Ibu Indonesia dalam Kenangan. Jakarta: Yayasan KH. A Wachid Hasyim. Buku Sholahuddin Wahid, Ibuku Inspirasiku (Ibunda Gus Dur dan Gus Sholah).
(23)
Pembahasan mengenai biografi Sholihah yang ada di bukunya Mohammad Dahlan cukup lengkap, dimana dalam buku tersebut mengungkapkan sepak terjang Sholihah yang khusus diterbitkan dalam rangka haul (peringatan wafat) ketujuh Sholihah Wahid Hasyim. Sedangkan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada kiprah Sholihah dalam perpolitikan di Indonesia pada tahun 1957-1987 yang mana pembahasannya lebih difokuskan pada peran Sholihah dalam perpolitikan di Indonesia.
c. Sumber Tersier
Yang terdiri dari benda-benda peninggalan masa lalu oleh tokoh yang bersangkutan yang dapat dijadikan sumber pendukung kegiatan tokoh dalam perpolitikan. Diantara beberapa sumber yang mendukung yaitu Surat Keterangan (SK) Sholihah Wahid Hasyim terlibat dalam perpolitikan pada tahun 1957-1987, Sertifikat-sertifikat Sholihah Wahid Hasyim, piagam penghargaan yang diberikan kepada Sholihah dan Foto-foto Sholihah Wahid Hasyim.
2. Kritik Sumber
Yaitu suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan mengenai keabsahan data. Dalam hal ini ada dua kritik yaitu Kritik intern dan Kritik Ekstern. Mengenai Kritik Intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak, sedangkan kritik eksern
(24)
15
adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak.20
3. Interpretasi (Penafsiran Data)
Adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang sumber-sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber yang didapatkan dan yang telah diuji autentisitasnya terdapat saling hubungan atau yang satu dengan yang lain. Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber yang telah didapatkan.
4. Historiografi (Penulisan)
Adalah penyusunan atau merekontruksi fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk tertulis.21
H.Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan dalam penelitan ini disusun untuk mempermudah pemahaman sehingga dapat menghasilkan pembahasan yang sistematis. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, tiap bab terbagi menjadi beberapa sub bab.
Bab I dipaparkan tentang pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tentang biografi Sholihah Wachid Hasyim yang meliputi Geneologi, masa pendidikan, masa membangun rumah tangga, karir sampai akhir hayat Sholihah Wachid Hasyim.
20
Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005), 16.
21
(25)
Bab III membahas tentang perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam perpolitikan di Indonesia 1957-1987. Dalam bab ini meliputi beberapa aktivitas Sholihah di Muslimat NU, organisasi Sosial sampai organisasi Keagamaan.
Kemudian pembahasan pada Bab IV difokuskan pada kontribusi Sholihah Wahid Hasyim dalam perpolitikan di Indonesia 1957-1957. Adapun pembahasannya tentang bagaimana kontribusi Sholihah pada saat menjadi anggota legislatif daerah tahun 1957-1978 dan anggota legislatif pusat tahun 1978-1987.
Bab V penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian yang penulis paparkan mulai dari bab II sampai bab IV serta berisi saran-saran penulis bagi penelitian yang telah dilakukan.
(26)
BAB II
BIOGRAFI SHOLIHAH WAHID HASYIM
A.Silsilah
Sholihah Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh perempuan yang aktif dalam politik di Indonesia pada tahun 1950-an. Nama aslinya adalah Munawwaroh, lahir di Denanyar, Jombang pada 11 Oktober 1922.1 Tetapi menurut pendapat Abdussalam Shohib, anak ketiga Kiai Bisri dan Nyai Chodijah tahun dengan kakanya Moeasshomah.2 Sholihah berperan aktif pada masa Ir. Soekarno dan juga salah satu tokoh perempuan pertama yang berani membubuhkan tanda tangan untuk pembubaran PKI tahun 1965.
Jika dirinci dari pihak ayah adalah Sholihah binti Syansuri bin Abdul Shomad.3 Ayah Sholihah, Bisri Syansuri menikah dengan Nur Chodijah (adik dari kiai Wahab Hasbullah). Dari silsilah di atas dapat dilihat bahwa Sholihah merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah putih, kalangan kiai. Dalam hal ini wajar jika Sholihah memiliki bakat, mental, dan perjuangan orang-orang besar, selain besar perjuangannya juga besar hatinya.
Letak desa kelahiran Sholihah yaitu desa Denanyar berada pada garis perbatasan antara Jombang dan daerah pedalaman sebelah barat laut.4 Jombang adalah kota agraris. Sebagian besar penghasilan atau mata pencaharian
1
Muhammad Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi
(Jakarta: Yayasan K.H.A Wahid Hasyim, 2001), 5.
2
Abdussalam Shohib, Kiai Bisri Syansuri: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap (Jombang: Yayasan
Mamba’ul Ma’arif Pustaka Idea, 2015), 31.
3
Aziz Masyhuri, Al-Maghfurlah K.H.M. Bisri Syansuri: Cita-Cita dan Pengabdiannya
(Surabaya:Al-Ikhlas, 1983), 21.
4
(27)
18
penduduknya adalah bertani, khususnya padi. Pada tahun 2002, komoditas padi digeluti oleh sedikitnya 154.900 orang atau 31 persen dari penduduk usia kerja. Kondisi alamnya yang subur menjadikan para petani bisa bertahan mencukupi kebutuhan sehari-harinya dan menempatkan populasi terbesar dan jenis pekerjaan terbesar di kota tersebut.
Tak kurang dari 42% tanah Jombang dipergunakan untuk areal persawahan. Letaknya di bagian tengah kabupaten dengan ketinggian 25-100 meter di atas permukaan laut. Lokasi itu ditanami padi dan palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Sebagian tanah di Jombang adalah perbukitan. Di bagian utara merupakan sentra buah-buahan seperti mangga, pisang, jambu biji, sawo, pepaya, nangka, dan sirsak. Sementara di sebelah selatan banyak ditanami tebu, kelapa, kapuk randu, dan jambu mente.
Berdasarkan cerita, kesuburan tanah di Jombang dipengaruhi oleh material letusan Gunung Kelud yang terbawa arus deras Sungai Brantas dan Sungai Konton serta sungai-sungai lain yang jumlahnya mencapai 39 buah. Sarana pengairan pun tergolong memadai. Dari total pengairan yang ada 83,3% adalah irigasi teknis.5
Kota Jombang dikenal sebagai kota santri atau kota pesantren. Dari kota inilah lahir dan muncul beberapa kiai dan pesantren yang terkenal. Seperti pesantren KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim dengan Pesantren Tebuireng, KH. Wahab Hasbullah dengan Pesantren Tambakberas, KH. Bisri Syansuri
5
(28)
19
dengan Pesantren Denanyar, dan Kiai Romli Tamim sebagai tokoh tarekat Naqsabandiyah.
B. Masa Kecil
Kelahiran Sholihah diliputi oleh suasana perjuangan yang membingkai alam pikiran rakyat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Sebagai putri seorang kiai, Sholihah kecil lebih sering berinteraksi dengan warga pesantren dan orang tuanya. Ia juga telah belajar makna status sosial dari dimensi
prestige (kewibawaan)yang melekat dan diwarisi sejak dilahirkan.6
Sholihah dibesarkan di lingkungan santri pada sebuah keluarga ulama besar di Jombang. Dia merupakan anak kelima dari 10 bersaudara keluarga KH. Bisri Syansuri yang beristrikan Nur Chadijah. Ayahnya Bisri Syansuri adalah seorang ulama besar dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Denanyar Jombang, sedangkan ibunya Nur Chadijah anak dari ulama besar KH. Chasbullah dan juga merupakan pengasuh pondok putri Pesantren Denanyar milik suaminya Bisri Syansuri.
Sebagai anak dari pengasuh pondok pesantren, masa kecil Sholihah mendapatkan pendidikan yang ketat, termasuk keluar pesantren harus ditemani oleh saudara-saudaranya dan tidak boleh sendirian. Dalam hal pendidikan agama, seperti membaca Alquran, pengajaran diberikan langsung oleh ayahnya. Metodologi pemberian pengajaran kiai Bisri kepada anak-anaknya pun relatif lebih “human”. Sementara sang ibu nyai Chadijah dalam menerapkan pengajaran pengetahuan diterapkan lebih keras seperti mencubit dan membentak.
6
(29)
20
Dalam banyak hal, rasa keingintahuan dan kemauan yang dimiliki Sholihah sungguh besar dibandingkan dengan saudara-saudara puterinya.7 Hal inilah yang menyebabkan dirinya tidak jarang melanggar aturan orang tuanya untuk tidak meninggalkan rumah, keluar dari lokasi pesantren tanpa meminta izin dan memberitahukan terlebih dahulu maksudnya.
Namun demikian, bukan berarti Munawwaroh selalu pergi setiap hari untuk keluar dari pesantren, tetapi dia hanya pergi jika memang ada kepentingan atau ada persoalan yang menurutnya penting untuk dikerjakan. Misalnya, dia sudah berjanji untuk membuat suatu kegiatan dengan teman-teman perempuannya yaitu ingin mengahadiri suatu pengajian di luar pesantren, ataupun mau ke pasar membeli kerudung untuk dibordil, lalu jalan bersama teman-temannya. Untuk melakukan itu semua, jika harus menunggu izin dari orang tuanya, dalam pandangan Sholihah akan memakan waktu cukup lama bahkan bisa jadi akan terlambat atau juga tidak diperbolehkan.
C. Masa Pendidikan
Pendidikan Munawwaroh (Sholihah) kecil betul-betul tidak jauh dari pesantren. Secara formal ia didik di Madrasah Ibtidaiyah di Pesantren Denanyar milik ayahnya. Materi-materi yang diajarkan juga tidak jauh dari khazanah Islam tradisional seperti: Alquran dan Al-Hadits, Tajwid, Nahwu Shorf, Fiqh, ‘Uqud A l-Lujayn, Adab Al-Mar’ah, Nadhom Al-Sullam Al-Saakinah yang semuanya dipelajari dengan menggunakan metode hafalan. Diluar pendidikan formal, Sholihah juga belajar pelajaran ekstra dari ayahnya, yaitu mengajarkan kembali
7
(30)
21
kepada santri-santri putri pada pagi hari materi yang diberikan oleh kiai Bisri ketika siang hari setelah dhuhur dan malam hari setelah Isya’. Hal ini untuk mempersiapkan agar bisa menjadi guru bagi santri-santri puteri ditingkat bawahnya.8
Sejak kecil dalam diri Sholihah sudah tampak tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjadi tokoh yang menonjol dikalangannya, misalnya dalam bakat kepemimpinan mengatur saudara-saudaranya untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dalam hal ini tidak jarang banyak gagasan yang dimilikinya, diterapkan dan disosialisasikan kepada teman-teman dan para santri di lingkungan pesantren milik ayahnya.9
Pada masa Sholihah menginjak remaja, situasi kehidupan masyarakat diliputi kecemasan. Sebagai seorang remaja yang ruang interaksi sosialnya semakin meluas menjangkau masyarakat di luar pesantren, Sholihah remaja mengalami transfer of learning (pandangan hidup yang ditransmisikan) oleh generasi remaja, terutama remaja perempuan kaum santri harus dijauhkan dari gaya hidup kaum kolonial.
Dalam lingkungan Pesantren Denanyar, keseharian Sholihah juga memiliki selera budaya, khususnya kepada kesenian. Hal ini berbeda dengan gaya hidup kaum kolonial maupun yang digemari oleh para penyanyi. Pada saat itu Sholihah menerima transmisi nilai-nilai budaya masyarakatnya yang terbingkai oleh pola pemilihan dua pandangan dunia yang antagonistik.
8
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 14.
9
Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim (Jombang: Yayasan K.H. A. Wahid Hasyim Pustaka IKAPETE, 2007), 50.
(31)
22
D.Masa Pernikahan
Untuk dasar pertimbangan urusan perjodohan dalam dunia pesantren juga tidak memiliki kebebasan dalam memilih calon suami. Begitu juga dengan Sholihah yang dijodohkan dengan seorang laki-laki pilihan KH. Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri Nahdlatul „Ulama dari Pondok Pesantren Tebuireng. Seorang Gus yang terpilih adalah Abdurrohim, putra kiai Cholil dari Singosari. Namun, usia perkawinan mereka tidak lebih dari satu tahun karena Abdurrahim dipanggil Yang Maha Kuasa.10 Pada saat itu usia Sholihah adalah 14 tahun.11
Pada tahun 1936 M, tepatnya hari Jum’at, 10 Syawal 1356 H, Sholihah menikah dengan Kiai Wahid Hasyim di Denanyar, Jombang.12 Dalam pernikahan mereka, ada peristiwa menarik, baik sebelumnya maupun pada saat pelaksanaannya. Walaupun Sholihah dan Wahid Hasyim tidak pernah bertemu sebelumnya, namun mereka sudah saling mengetahui. Tentu hal ini wajar karena masing-masing merupakan anak dari tokoh terkenal, sehingga setidaknya mereka pernah mendengar nama masing-masing.
Pada suatu acara, Sholihah dan Wahid bertemu secara tak sengaja dan dengan kejadian yang lucu. Ketika itu Wahid Hasyim bersama ibunya datang ke
tempat salah satu keluarga KH. Hasyim Asy’ari yang mendapat musibah
kematian. Kebetulan Sholihah juga hadir bersama saudaranya mewakili ibunya yang tidak bisa hadir. Setelah jenazah dimakamkan, Wahid menunggu ibunya di mobil untuk pulang ke rumah. Pada saat bersamaan Sholihah juga hendak pulang,
10
Shohib, Kiai Bisri Syansur: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap, 119.
11
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 52.
12
Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, Seri Buku Tempo:Tokoh Islam di awal Kemerdekaan (Jakarta: Tempo, 2011), 26.
(32)
23
menyangka bahwa mobil yang ada di depannya adalah milik kakeknya, Kiai Chasbullah, padahal mobil tersebut adalah mobil Wahid Hasyim beserta keluarga. Sholihah mengira bahwa orang yang duduk di dalam mobil adalah Jayus, sopir kakeknya. Sholihah memanggil-manggil nama Jayus dan memintanya untuk mengantarnya pulang. Betapa terkejutnya Sholihah ketika menyadari bahwa ia memanggil orang yang salah. Seketika itu juga ia berlari menjauhi mobil itu. Beberapa saat kemudian, Wahid menanyakan kepada Jayus identitas Sholihah yang pergi menjauhinya. Jayus menjelaskan bahwa perempuan itu adalah Sholihah, anak Kiai Bisri Syansuri.13
Tetapi dalam bukunya Nugroho Dewanto, awal pertemuan antara Sholihah dengan Wahid Hasyim dimulai pada saat Wahid menyaksikan Sholihah membekap tempayan berisi air dipinggangnya. Sholihah ketika itu sedang membantu para perempuan dewasa mencuci piring di dapur. Dari sana pesona kebersahajaan Sholihah memikat Wahid Hasyim.14 Wahid Hasyim pertama kali melihat Sholihah dari kejauhan. Sholihah sebetulnya tak cantik tetapi seperti ada dalam diri Sholihah yang membuat Wahid terpesona. Keesokan harinya, Wahid Hasyim menemui Bisri Syansuri dan melamar Sholihah. Waktu itu usia Sholihah belum genap 16 tahun, tetapi pada masa itu, gadis seusia Sholihah sudah pantas naik pelaminan.
Pernikahan antara Sholihah dan Wahid Hasyim tidak bisa dilangsungkan segera. Secara kebetulan ketika Wahid melakukan lamaran, waktunya bersamaan datangnya bulan Ramadhan. Pernikahan mereka kemudian diselenggarakan pada
13
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 52-53.
14
Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, Seri Buku Tempo:Tokoh Islam di awal Kemerdekaan, 24.
(33)
24
10 Syawal 1356 H.15 Kemudian, pada saat prosesi pernikahan, Kiai Wahid Hasyim (mempelai lelaki) berangkat sendiri ke Denanyar, Kiai Wahid datang hanya berlengan pendek dan bersarung. Tidak ada yang mengiringinya. Hal ini bukan karena tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi Kiai Wahid sendiri yang meninggalkan pengiringnya di belakang.16 Ketika pengiring sampai di tempat acara, para undangan yang hadir telah menyelesaikan makannya. Wahid Hasyim
tidak terpengaruh dengan “gonjang-ganjing” yang menimpa orang tua dan saudara-saudaranya di Tebuireng. Sikapnya menunjukkan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
E.Masa Berumah Tangga
Setelah menikah, Sholihah dan Wahid Hasyim hanya tinggal 10 hari di Denanyar, lalu tahun itu juga (1356 H atau 1938 M) pindah ke Tebuireng, dan menetap di sana sampai tahun 1942 dalam zaman pendudukan Jepang.17 Namun, sesekali ia menyempatkan diri pulang ke Denanyar. Hal itu biasanya ia lakukan pada hari Jumat, baik diantar oleh suaminya ataupun pembantunya. Jika pulang, ia bahkan masih meluangkan waktunya untuk mengajar para santri Denanyar maupun adik-adiknya sendiri. Kepindahan Sholihah ke Tebuireng tampaknya menjadi awal baginya untuk menapaki kehidupan dunianya yang baru.
Di Tebuireng, waktu yang dimiliki Sholihah banyak dihabiskan oleh keluarga. Ia tidak mengajar sebagaimana yang dilakukannya di Denanyar, karena pesantren Tebuireng hanya menerima santri laki-laki. Selain untuk keluarganya,
15
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 53.
16
A. Mubarok Yasin dan Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng (Jombang:Pustaka Tebuireng, 2011), 71.
17
(34)
25
waktu sehari-harinya digunakan untuk membantu mertuanya dan juga mengembangkan ilmunya dengan mengaji kepada suaminya. Menikah dengan Wahid Hasyim, bagi Sholihah seperti membuka jendela untuk melihat pesona kehidupan. Ia semula hanya mengenal perlengkapan sederhana untuk membersihkan gigi, kemudian bisa menikmati enaknya pasta gigi karena diajarkan oleh suaminya.18
Sebagai menantu dari pengasuh pesantren dan tokoh yang sangat dikenal,
yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan juga karena Sholihah dan Wahid tinggal satu atap bersama dengan mertuanya di Tebuireng maka kewajiban Sholihah adalah membantu melayani para tamu seperti menghidangkan makan dan minum. Tetapi hal itu dilakukan Sholihah jika tenaga pembantu yang ada masih kurang untuk melayani kebutuhan mereka.
Seperti yang banyak terjadi pada masalah berumah tangga, hidup bersama mertua tampaknya juga menjadi persoalan tersendiri bagi Sholihah. Ia mengalami banyak kesukaran-kesukaran. Kepada teman akrabnya Asmah Sjahruni, ia pernah bercerita bahwa apa yang pernah dialaminya selama hidup bersama mertuanya hampir dipastikan tidak bisa ditanggung oleh anak-anak sekarang.19 Katanya, mereka tidak mungkin, bahkan bisa jadi melarikan diri. Apa saja yang dilakukan oleh Sholihah tidak pernah lepas dari perhatian dan pengawasan mertuanya. Semua urusan berada dalam kendali mertuanya, termasuk dalam hal makanan.
18
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 94.
19
(35)
26
Apa yang dimasak oleh Sholihah harus dicicipi terlebih dahulu oleh Mbah Tri (Ibu dari Wahid Hasyim).20
Untuk kenyamanan Sholihah dalam penyesuaiannya di Tebuireng, maka Wahid Hasyim mencarikan teman bagi Sholihah, kemudian dipilihnya Abidah21 yang waktu itu sudah memiliki seorang anak. Setiap hari Abidah selalu datang untuk menemani Sholihah, baik ketika dipanggil ataupun tidak. Tidak lupa juga Abidah membawa serta anaknya. Dalam perkembangannya kemudian, Abidah tidak hanya menemani Sholihah saja, tetapi dia juga menjadi teman bertukar pikiran Sholihah dan juga teman mengajinya kepada Wahid Hasyim.
Selain mendalami kitab-kitab yang berisikan materi-materi Islam tradisional, sejak di Tebuireng ini Sholihah mulai belajar membaca dan menulis hurup latin. Dalam hal pengembangan kemampuan ini, dorongan yang diberikan oleh suaminya sangat besar. Wahid Hasyim tidak hanya mengajarkan bagaimana membaca dan menulis huruf latin, melainkan selalu membawakan buku-buku dan majalah bertuliskan huruf latin jika pulang dari bepergian. Selain yang berbahasa Indonesia, juga bacaan-bacaan dalam bahasa Inggris dan Belanda. Tak jarang juga majalah dan buku yang berbahasa Jepang ketika kemudian hari Jepang menjajah Indonesia.
Berkat bimbingan suami tercinta, Sholihah memperoleh kemajuan di berbagai bidang. Sebelum menikah, ia buta huruf tulisan latin, tetapi sesudah berumah tangga, ia berubah menjadi seorang yang gemar membaca. Salah satu majalah yang menjadi kegemaran Sholihah adalah Penyebar Semangat, yaitu
20
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 55.
21
(36)
27
sebuah majalah yang berbahasa Jawa. Sholihah tergolong otodidak dalam memahami bidang sosial, politik, dan ekonomi dengan belajar sendiri. Untuk menambah wawasannya sebagai seorang aktivis, maka beliau menyempatkan diri mengikuti kursus bahasa Belanda dan Inggris.22
Berbeda ketika di Denanyar, Sholihah tidak punya kesempatan untuk mengembangkan keterampilannya dalam hal membaca dan menulis huruf latin. Hal ini dikarenakan semua materi pelajaran yang diajarkan di Denanyar ditulis dengan bahasa Arab, tidak ada yang memakai huruf latin. Tampaknya ada kekhawatiran mengapa baca-tulis huruf latin tidak diajarkan di Pesantren Denanyar waktu itu, yakni karena ada perasaan takut bahwa para santri nantinya akan menggunakan pengetahuannya tersebut untuk berhubungan dengan lain jenis. Bahasa terma sekarang, pengasuh Pondok Pesantren Denanyar takut jika para santrinya pacaran.23
Sholihah dan Wahid Hasyim dikaruniai enam putra, anak pertamanya yaitu Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil atau akrab dipanggil dengan Gus Dur (mantan Ketua PBNU, mantan Presiden RI ke-4), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU 1995-2000), Shalahuddin Al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB, Pengasuh PP Tebuireng Jombang sesudah Gus Yusuf Hasyim), Umar Wahid (Dokter lulusan UI), Khadijah (Lyli, sekarang masuk Pengurus Dewan Syuro PKB Pimpinan Muhaimin Iskandar), dan Hasyim Wahid (Gus Im). Anak pertama Sholihah ini lahir pada tahun pertama perkawinannya. Wahid Hasyim sebagai ayah, sangat gembira dengan kehadiran anak pertamanya ini. Hal itu dibuktikan dengan
22
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 56.
23
(37)
28
memberi nama anaknya Abdurrahman Ad-Dakhil.24 Sebagaimana kita ketahui bersama, Ad-Dakhil yang diambil dari nama tokoh pahlawan dari dinasti
Umayyah, yang secara harfiah berarti „sang penakluk’. Dalam keterangan sejarah
peradaban Islam, Ad-Dakhil adalah tokoh yang membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad.
Beberapa bulan setelah kelahiran putera pertamanya di Denanyar, Sholihah dan Wahid Hasyim pindah dari nDalem Kesepuhan ke nDalem Kulon.25
Kepindahan tersebut membawa pengaruh tersendiri bagi Sholihah. Paling tidak, kesempatannya untuk melakukan aktivitas diluar rumah tidak mendapatkan
“hambatan moral”. Itulah sebabnya, selama di nDalem Kulon, selain mengurus kehidupan keluarga dan mengasuh pendidikan anaknya, Sholihah semakin aktif dalam pengajian-pengajian Muslimat NU yang waktu itu masih bernama NOM (Nahdlotul Oelama Muslimat).26
Di luar semua kegiatan di atas, Sholihah masih punya waktu untuk membuka warung yang terletak di bagian belakang rumahnya. Warung tersebut berfungsi sebagaimana layaknya kantin yang banyak berdiri pada saat ini. Adapun konsumennya adalah para santri Pondok Pesantren Tebuireng. Keuntungan yang didapatkan dari menjual tersebut digunakan untuk menghidupi keluarganya. Bahkan ia masih bisa menyisakan hasil labanya untuk membeli sawah dan kebutuhan keluarga lainnya. Selain itu, Sholihah juga masih tetap meluangkan waktunya untuk melayani kebutuhan para tamu, seperti menyiapkan makanan dan
24
Rifa’i, Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid: Biografi Singkat (1940-2009), 27.
25
nDalem Kulon adalah salah satu bangunan di kompleks Pesantren tebuireng yang ditempati
keluarga Hasyim Asy’ari. Ia terletak di sebelah Barat (Jawa; Kulon) dalam Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 95-96.
26
(38)
29
minuman untuk mertuanya yang datang, jika ia sowan ke nDalem Kesepuhan.
Terutama jika tenaga pembantu yang ada dipandang kurang untuk melayani kebutuhan mereka.
Sebelum pindah dari nDalem Kesepuhan ke nDalem Kulon, perasaan Sholihah banyak mendapat tekanan dari mertuanya. Namun hal itu segera hilang ketika ia melahirkan seorang anak laki-laki. Dalam tradisi yang berkembang waktu itu, melahirkan anak laki-laki yang pertama merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Hati Sholihah sangat senang, terutama ketika ia mengetahui bahwa mertuanya juga sangat berharap bisa memiliki cucu laki-laki dari anak laki-laki pertamanya.27
Dari sinilah Sholihah merasa puas karena bisa memenuhi harapan dan baru diewongke mertuanya. Saat itu Mbah Tri sangat gembira mendengar kabar bahwa isteri putera pertamanya telah melahirkan anak laki-laki. Sekitar pukul 22.00 malam, ia menangis ingin melihat cucunya di Denanyar. Pada malam itu juga
Mbah Tri dibopong oleh Wahid Hasyim untuk naik mobil bersama Aisyah kakak Wahid Hasyim untuk pergi ke Denanyar. Kemudian pada tahun 1939 Nyai Hasyim (Mbah Tri) meninggal dunia. Dari sini maka tugas-tugas Mbah Tri
diambil alih oleh Sholihah. Tetapi ia hanya melakukan tugas itu selama beberapa minggu, karena tidak lama kemudian Mbah Nom datang.
27
Waktu itu Mbah Kong (Mbah Hasyim)dan Mbah Tri (Nyai Hasyim) sebenarnya sudah punya cucu laki-laki tetapi dari anak perempuannya. Wahid Hasyim adalah anak laki-laki pertama mereka. Dan memang keduanya berharap bahwa cucu yang kelak akan lahir sebagai anak pertama adalah seorang laki-laki. Harapan tersebut dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan bahwa jika kelak anak yang lahir adalah laki-laki, “darah biru” mereka bisa terselamatkan, dalam Dahlan, et al,
(39)
30
Selanjutnya, secara berturut-turut adiknya Abdurrahman lahir, seorang perempuan Aisyah lahir pada Juni 1941, seorang anak laki-laki, Shalahuddin lahir pada September 1942. Lalu, pada akhir 1944, ketika Gus Dur baru berusia 4 tahun, ia diajak ayahnya, Wahid Hasyim ke Jakarta, adik laki-lakinya, Umar Wahid lahir pada Januari tahun itu. Sementara, Khodijah (Lyli) dilahirkan pada bulan Maret 1948. Terakhir, Hasyim Wahid atau Gus Im dilahirkan di Jakarta pada Oktober 1953.28
F. Membantu Pejuang
Menyinggung beberapa aktivitas yang dilakukan oleh Sholihah ketika Jepang datang di Indonesia pada tahun 1950 -an untuk mengambil alih kekuasaan Belanda, ia aktif terlibat dalam Fujinkai antara lain belajar menyanyi, belajar bahasa Jepang, membuat perban dari gedebog untuk P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan), membuat obat nyamuk, menanam cabe dan jarak. Selain itu, ia juga aktif membuka ranting-ranting NOM baru di lingkungan Tebuireng, yakni di Kecamatan Diwek.
Aktivitas Sholihah dalam berbagai kegiatan di atas tidak menjadi halangan untuk memperhatikan kehidupan keluarganya. Meskipun pada saat yang sama ia juga sering ditinggal pergi suaminya, namun perhatiannya terhadap perkembangan anak-anaknya tidak terabaikan. Selain menerapkan jiwa pesantren, ia juga sangat disiplin mendidik putera-puterinya. Misalnya, ia tidak segan-segan untuk memukul anak-anaknya dengan sisir ataupun penggaris, jika mereka tidak
28
(40)
31
mau belajar, terutama sekali belajar membaca alquran. Demikian juga akan dilakukan jika anak-anaknya meninggalkan kewajiban shalat.29
Sebagai istri seorang tokoh nasional, Sholihah ikut memainkan peran yang sangat penting. Ketika suatu hari suaminya datang membawa setumpuk dokumen rahasia dan dalam keadaan dikejar Belanda, Sholihah segera mengambilnya. Untuk menghindari kecurigaan, ia membawa dokumennya ke tempat pencucian pakaian, lalu mendudukinya sambil mencuci. Ia bahkan harus berpura-pura menjadi babu (pembantu).
Bersuamikan seorang pejuang menjadikan Sholihah (Ibu Wahid) memiliki jiwa pejuang. Semasa perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), ia ambil bagian kurir yang bertugas mengirimkan bahan makanan atau pesan-pesan ke garis depan di Mojokerto, Krian dan Jombang. Sholihah sangat lincah dalam hal menyusup ke kancah pertempuran yang berbahaya. Maka dari itu tidak heran jika pada masa tuanya beliau sangat gesit melakukan berbagai aktivitas.30
Dalam bukunya Muhammad Rifa’i dijelaskan bahwa karena kesibukan
dalam dunia politik, tak jarang sholihah menggerutu karena kehidupan keluarga menjadi terbengkalai. Hal ini berkaitan dengan ekonomi penopang hidup keluarga saat itu. Dari sini kemudian Sholihah berinisiatif berjualan kue-kue kecil dan permen di depan rumahnya di Jombang untuk mendapat uang dan dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kehidupan rumah tangga Sholihah saat di rumah juga seperti halnya rumah tangga orang lainnya yaitu tak jarang terjadi cekcok antara Sholihah dan
29
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 32.
30
(41)
32
Wahid, terutama karena aktivitas politik. Akibatnya, banyak waktu untuk keluarga tersita. Pada saat itu, biasanya Wahid Hasyim sering mengajak anak-anaknya untuk berekreasi.31
G. Pindah ke Jakarta
Pada tahun 1944, Ibu Wahid pindah ke Jakarta, mengikuti suaminya yang menjadi anggota legislatif. Akan tetapi ia di sana hanya bertahan enam bulan. Karena panggilan Hasyim Asy’ari keduanya kembali ke Jombang untuk mengurus pesantren Tebuireng. Namun, tahun 1950 untuk kedua kalinya Sholihah ke Jakarta mengikuti Wahid Hasyim yang diangkat menjadi menteri agama. Meskipun demikian, aktivitas Sholihah di Muslimat tidak berhenti. Bahkan, ia menjadi salah seorang tokoh yang membesarkan Muslimat di Jakarta. Aktivitas Sholihah inilah yang menjadi faktor dirinya terpilih menjadi anggota DPRD mewakili NU, dan terus berlanjut ketika ia terpilih sebagai anggota DPR Gotong Royong mewakili partai yang sama.
Pada awal 1950-an, meskipun sudah tinggal di Jakarta, Sholihah tidak melupakan kampung halamannya. Dalam waktu tertentu ia menyempatkan diri pulang kampung. Jika berada di Jombang, ia masih meluangkan waktu untuk memberikan ceramah dalam pengajian.
Kehidupan yang harmonis dan bahagia yang dijalani Sholihah bersama suami dan anak-anaknya ternyata tidak berlangsung lama. Suasana kebersamaan dalam keluarga Wahid Hasyim itu hanya berlangsung tiga tahun, karena pada tahun 1953 suaminya wafat dalam kecelakaan lalu lintas di daerah Cimindi, suatu
31
Shofiyullah Mz, KH. Ahmad Wahid Hasyim: Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa (Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011), 264.
(42)
33
tempat antara Bandung dan Cimahi, Jawa Barat. Ketika peristiwa itu terjadi, Sholihah berumur 30 tahun, telah memiliki 5 orang anak yang masih kecil-kecil dan tengah mengandung anaknya yang nomor enam. Usia kandungannya saat itu baru berusia 3 bulan. Kelima anaknya yang masih kecil-kecil antara lain: Abdurrahman yang berusia 14 tahun dan baru tamat SD, Aisyah 12 tahun kelas 5 SD, Salahuddin 10 tahun kelas 3 SD, kemudian Umar Faruq 8 tahun kelas 2 SD, dan Lily Chadijah 5 tahun yang masih duduk di TK.32
Sepeninggal suaminya, Sholihah tetap gigih dan bersemangat dalam mempertahankan keutuhan keluarganya dan mendidik anak-anaknya. Semangat dan kegigihan Sholihah inilah yang sangat menentukan perjalanan kehidupan anak pertamanya, Abdurrahman Wahid, hingga berhasil menjadi seorang presiden. Walaupun ayahnya Bisri Syansuri menginginkan agar Sholihah dan anak-anaknya kembali ke Jombang, tetapi Sholihah bertekad kuat untuk mempertahankan keutuhan keluarganya dan merawat anak-anaknya di Jakarta.
Sampai ia bertekad “Kalau perlu, jualan gado-gado”, tutur Sholihah untuk tetap mempertahankan hidup di Jakarta.33
Karena belum mendapatkan penghasilan, maka Sholihah terpaksa harus menjual barang-barang miliknya peninggalan dari almarhum suaminya. Langkah selanjutnya yang dilakukan Sholihah adalah berbisnis. Sholihah memasok kebutuhan beras para pegawai Departemen Agama. Jual beli mobil juga dilakukannya. Selain itu, ia juga berbisnis batu, pasir, dan bambu di Tanjung Priok. Hal ini dilakukannya karena waktu itu tidak banyak kalangan dari pribumi
32
Yahya, Sama Tapi Berbeda, 59.
33
(43)
34
yang mau jadi pedagang. Saat berbisnis Sholihah juag tidak menggunakan nama besar suaminya, istilah sekarang adalah melakukan kolusi dan nepotisme.
Sebagai seorang ibu yang juga berbisnis, tetapi Sholihah tidak melupakan tanggung jawabnya kepada anak-anaknya. Ia sangat disiplin menerapkan pendidikan kepada mereka. Jika salah seorang dari anaknya mengabaikan kewajiban mereka seperti Shalat dan ngaji maka Sholihah tidak segan-segan akan memukul mereka dengan penggaris ataupun sisir.
Walaupun Ibu Wahid dalam hal-hal tertentu berlaku keras, namun ia memperlakukan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, kehangatan dan egaliter. Pendidikan yang ditanam kepada anak-anaknya seperti kemandirian, tidak menggantungkan diri pada orang lain, berusaha keras serta berjuang sendiri bertujuan agar mereka menjadi orang-orang besar yang besar hati tetapi tidak sombong. Maka dari itu, mereka harus dibekali ilmu pengetahuan yang cukup.34 H. Karir
Setelah kepergian Wahid Hasyim, Sholihah tidak mau pulang ke Jombang karena wasiat dari suaminya beliau disuruh untuk melanjutkan perjuangan dengan membesarkan Muslimat NU Jakarta. Ia pernah menjadi anggota Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU tahun 1959 sampai meninggal. Saat NU berfusi dalam PPP, ia menjadi anggota legislatif (1978-1987). Selain itu, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan yaitu Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 sampai akhir hayat. Mendirikan Ikatan
34
(44)
35
Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta Panti Harapan Remaja di Jakarta Timur (1976).35
Dalam bidang kegiatan keagamaan, Nyai Sholihah mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (1978), pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), serta Majelis Taklim Masjid Jami Matraman.
Sholihah juga aktif bersama Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah Syahroni, mendirikan Rumah Bersalin Muslimat (RBM), Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA) Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik Keluarga Berencana (KB) dan memberikan beasiswa kepada putera-puteri NU terlantar, serta mengunjungi panti sosial. Sholihah juga aktif di perkumpulan Yayasan Bunga Kamboja tahun 1960,36 sebuah organisasi sosial yang menangani jenazah dan penguburan dengan mengajak Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu Anie Walandaoe (Kristen) dan Mr Hamid Algadri (sosialis). Karena kiprahnya, sejak 1957 Ibu Sholihah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta, DPR-GR/MPRS (1960) DPR/MPR (1971-1987).
Ketika DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan dan diganti DPRGR 1960, Ibu Wahid mewakili Muslimat NU, ia ditunjuk menjadi salah seorang anggota DPRGR. Itulah untuk pertama kalinya beliau terlibat dalam kegiatan politik praktis tingkat nasional. Selanjutnya ia terpilih menjadi anggota DPR tahun 1971 mewakili NU, lalu tahun 1877 dan 1982 mewakili PPP. Selama menjadi anggota
35
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi), 50-51.
36
(45)
36
dewan, Ibu Wahid tidak termasuk anggota yang hanya datang, duduk, dengar, dan duit. Sebagai wakil rakyat, ia bekerja dengan penuh kesungguhan dan aktif memperjuangkan aspirasi konstituennya. Salahuddin Wahid dalam salah satu tulisannya menuturkan bahwa ibundanya ini sering memintanya mengetik pandangan-pandangan tentang berbagai hal yang akan disampaikan dalam rapat dan sidang DPR.
Sebagai anggota legislatif di tingkat pusat, Ibu Wahid punya banyak waktu untuk berkujung ke darerah-daerah jika DPR sedang reses. Sebelum NU berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan masih merupakan partai, teman-temannya di partai sangat homogen, semuanya dari NU. Meskipun Ibu Wahid merupakan kader PPP dan duduk di DPR mewakili PPP, namun kehidupannya dalam permainan politik hampir tidak tampak. Ia sering tidak
memperlihatkan sosoknya sebagai seorang „politisi’.37
Keberadaannya di organisasi politik justru lebih banyak memperlihatkan sosoknya sebagai seorang muslimat yang memegang teguh komitmen moral keagamaan. Misalnya, saat ia melakukan walk out (meninggalkan rapat sidang) ketika dalam sidang DPR terjadi perbedaan interpretasi terhadap Pasal 29 ayat 1UUD 1945 mengenai aliran kepercayaan. Menurut Ibu Wahid dan teman-temannya di PPP, agama dan aliran kepercayaan adalah hal yang sama sekali berbeda substansinya. Agama merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan ke dunisa untuk kesejahteraan manusia, sedangkan aliran kepercayaan adalah produk
37
(46)
37
kebudayaan manusia. Satu dan lainnya tak dapat disandingkan dalam satu kategori.
I. Wafatnya
Ibu Wahid adalah seorang yang memiliki sifat kemandirian dan juga terbuka, serta berani menyatakan pendapat, pemikiran dan perasaannya. Terkadang karena terlalu bersemangatnya mengekspresikan dirinya, ia terkesan kelihatan emosional. Kesan demikian dipengaruhi oleh sikapnya yang tegas dan keras dalam mempertahankan prinsip. Meskipun demikian, ia juga menghargai pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak, dan tidak meremehkan siapa pun.Sampai menjelang wafat, Ibu Wahid tetap aktif dalam kegiatan Muslimat NU dan aktivitas lain di masyarakat. Ia tetap kelihatan segar dan penuh semangat. Meskipun harus menggunakan tongkat dan dikawal oleh seorang perawat yang melayaninya setiap saat, ia tetap menghadiri rapat-rapat organisasi.
Sholihah Wahid Hasyim meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam usia 72 tahun, setelah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit jantung dan guaa. Dua puluh empat jam menjelang ajal menjemputnya, Ibu Wahid tidak sadarkan diri karena ada pembuluh darah yang pecah. Ia berada dalam keadaan koma. Jenazahnya dimakamkan esok harinya sekitar pukul 17.00 di kompleks pemakaman Tebuireng Jombang.38
38
(47)
BAB III
PERJUANGAN DAN KONTRIBUSI SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM ORGANISASI SOSIAL DAN KEAGAMAAN (1946-1987)
A. Aktivitas di Muslimat NU
Abad ke-20 M (Masehi) adalah abad kebangkitan bangsa-bangsa di dunia. Bangkitnya bangsa Timur melahirkan pergerakan-pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Gerakan-gerakan kemerdekaan lahir karena kekuasaan Barat yang masuk sejak awal abad ke-19, mulai mengadakan pembaharuan politik. Kemudian pada akhir abad ke-19 dan ke-20, kebangkitan yang bersifat perlawanan terhadap keadaan dan penderitaan, baru bersifat gerakan-gerakan sosial, perkumpulan kecil serta perkumpulan kedaerahan. Maka abad ke-20 yakni tahun 1908 lahirlah perkumpulan yang teratur dengan nama Budi Utomo dan tahun 1912 dengan nama Syarikat Islam.1
Perlawanan tidak hanya diberikan oleh gerakan politisi saja, tetapi yang
terbesar adalah pada kalangan pemimpin agama Islam (alim „ulama). Gema tauhid dalam pesantren laksana bara yang menyalakan api kebencian terhadap penjajah, bahkan terhadap apa yang dipakai dan dimakan oleh penjajah. Percikan api dari pesantren-pesantren ini kemudian hari melahirkan berbagai organisasi sosial
keagamaan, sosial pendidikan, da’wah bahkan perkumpulan ekonomi.
Dalam hal ini, kalangan Ulama memiliki Motto “Kekuatan terdapat dalam
Persatuan”. Dengan motto ini kemudian menjadi sebuah manifestasi kelahiran organisasi perserikatan alim „ulama yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asyari dan
1
(48)
39
KH. Wahab Hasbullah. Organisasi ini didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1344 H dengan nama Nahdlatul Ulama (NU).
Adanya pengaruh pergerakan persatuan dari kalangan alim „ulama ternyata
membawa pengaruh pergerakan pada wanita. Dalam hal ini ada pengaruh langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung adalah pada waktu Ir. Soekarno dan istrinya meninggalkan suatu rapat Muhammadiyah sebagai protes dipakainya tabir penyekat antara wanita dan pria yang kemudian dimuat sebagai
artikel dalam majalah “Adil” tanggal 21 Januari 1339, maka timbullah berbagai
reaksi atau komentar, ada yang pro dan kontra tetapi ada pula yang netral. Salah satu pendapat itu adalah bahwa wanita itu harus diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal belajar, bekerja, hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Sedangkan pengaruh langsungnya adalah dengan sadar masyarakat mendirikan sekolah-sekolah untuk wanita dengan macam-macam tingkatan dan sistem. Di lain sisi, juga muncul organisasi-organisasi wanita dengan berbagai ragam usaha dan tujuan. Getaran dari berbagai irama yang bergolak ini dirasakan oleh wanita Islam Indonesia, khususnya Muslimat Ahlussunnah wal Jamaah.2
Berdasarkan sambutan yang diberikan oleh ketua Umum PBNU KH. Idham Chalid 1979, bahwa kelahiran Muslimat NU bukan semata-mata karena
2
(49)
40
kepentingan wanita Islam yang tergabung di dalamnya saja, tetapi karena tuntutan zaman, tuntutan masyarakat banyak.3
Mulai tahun 1946-1952 M (selama 6 tahun) kongres NU ke XVII di Madiun dan XVIII di Jakarta ditandai dengan suasana perjuangan mempertahankan Kedaulatan Proklamasi 17 Agustus 1945. Anggota keluarga NU termasuk Muslimat mengikat diri dengan perjuangan. Ada yang menjadi kurir menyamar sebagai pedagang, malaksanakan dapur umum, mengumpulkan bahan makanan, pakaian dan lain sebagainya.
Pada tahun 1946-1950 ini Sholihah sudah menjadi Ketua Muslimat NU MWC Diwek Jombang. Dalam situasi tersebut aktivitas Sholihah Wahid Hasyim adalah membantu para pejuang. Ia membantu berbagai kebutuhan yang diperlukan para pejuang seperti kecap, abon, srundeng, dan sirup. Ia melakukannya bersama ibu-ibu di dapur umum yang terletak di pabrik Tjukir, tidak jauh dari Pesantren Tebuireng.4
Keaktifan Sholihah di Muslimat, selain aktif dalam pembukaan ranting-ranting baru, ia juga menjadi penceramah dalam pengajian ibu-ibu Muslimat NU. Adapun tema yang sering dijadikan sebagai bahan ceramahnya adalah bagaimana ibu-ibu bisa menjadi shaalihatun kaamilatun (baik dan sempurna). Dari tema tersebut ia lalu menjabarkannya berdasarkan konteks sosio-kultural yang dihadapi saat itu.
Ketika tahun 1955 adalah hasil pemilu pertama buat NU, dimana hal ini merupakan surprise terbesar mengingat hasil yang dicapai oleh partai ini hampir
3
Ibid., 9.
4
Muhammad Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi
(50)
41
enam kali lipat dibanding dengan perwakilannya pada DPRS (45 anggota hasil pemilu pertama dibanding dengan 8 orang anggota DPRS). Dengan hasil yang mengesankan ini maka dengan sendirinya anggota wanita yang terpilih mencapai 10% dari seluruh jumlah. Kemudian tatkala dibubarkannya DPR Hasil Pemilu I dan dibentuk DRP Gotong Royong 1960. Keanggotaan Muslimat dalam DPR GR ada 7 orang yang salah satunya adalah Sholihah Wahid Hasyim.
Semenjak tahun 1964 organisasi wanita termasuk Muslimat NU terlibat dalam kegiatan extra. Pimpinan-pimpinan Muslimat NU mengikuti kursus-kursus kader revolusi dan kursus kader lain-lainnya. Pada tanggal 17 agustus 1965 Muslimat NU di bawah pimpinan Nyai Saifuddin Zuhri memimpin pawai ke Istana Negara dalam rangka memperingati hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke XX (20).5 Namun ternyata kegiatan extra ini sangat bermanfaat sekali dalam menghadapi situasi perjuangan pada saat meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Dalam hal ini pada periode 1958-1960 yang menjadi wakil bendahara Muslimat dalam BKS (Badan Keluarga Sakinah) Wanita Militer adalah Sholihah Wahid Hasyim. Ini menunjukkan sekali bahwa Sholihah sangat aktif dalam kegiatan Muslimat NU.
Kesadaran Sholihah terhadap ancaman PKI (Partai Komunis Indonesia)
sungguh tidak diragukan. Pada awalnya ia mengambil sikap “wait and see
(menunggu dan melihat)”, dan cenderung tidak memperlihatkan sikap
konfrontatifnya. Dalam perkembangannya kemudian ia merupakan salah satu tokoh yang berdiri paling depan menentang keberadaan PKI. Hal itu ditunjukkan
5
(51)
42
setelah meletusnya peristiwa sangat berdarah yaitu terbunuhnya beberapa jendral di Jakarta pada 30 September 1965.6
Peran Sholihah Wahid Hasyim dalam Muslimat NU sangat penting, hal itu dibuktikan pada saat ia mewakili PP Muslimat NU pergi ke Kostrad, pada 2 Oktober 1965. Sholihah memberikan dukungan kepada Soeharto, yang waktu itu sebagai Pangkostrad (panglima kostrad), untuk menumpas PKI hingga ke akar-akarnya. Pada saat itu, Sholihah juga memprakarsai dibuatnya pernyataan PBNU yang mengutuk keberadaan PKI pada tanggal 5 Oktober 1965. Ia merupakan orang pertama yang memberikan tanda tangannya di atas pernyataan yang dibuat, untuk kemudian di bawa ke tokoh-tokoh NU lainnya, meminta dukungan dari mereka sekaligus memberikan tanda tangannya.
Dalam hal penyataan itu, kalau saja Sholihah tidak mengawali untuk membubuhkan tanda tangannya, sangat dimungkinkan terjadi bahwa PBNU tidak akan mengeluarkan pernyataan, yang secara garis besar berisi tentang kutukan dan pembubaran PKI. Hal itu terjadi karena saat itu PBNU terlihat masih ragu-ragu dan takut untuk bertindak menghadapi PKI. Setelah dua hari pernyataan itu disebarluaskan ke tokoh-tokoh NU, pada 5 Oktober 1965, PBNU secara resmi mengutuk PKI dalam hubungannya dengan peristiwa 30 September 1965, dan menuntut kepada pemerintah agar PKI dibubarkan. Pernyataan tersebut diumumkan melalui siaran RRI (Radio Republik Indonesia) pada pukul 22.00.7
Setelah gerakan 30-S/PKI, tanggal 2 Oktober 1965 PP Muslimat NU membuat pernyataan, salah satu pernyataan yang melibatkan Sholihah adalah
6
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 65.
7
(52)
43
pada saat MPPR (Majelis Pembantu Pimpinan Revolusi) menyelenggarakan
briefing (latihan) dimana hadir utusan PBNU Almarhum H. Subchan Z.E dan Almarhum H. Zen Muhammad, pada kesempatan itu hadir Sholihah Wahid Hasyim sebagai wakil Muslimat.8 Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1965 Front Pancasila juga membuat pernyataan yang isinya mengutuk pelaku G-30-S/PKI sebagai pengkhianat dan meminta agar menindak dan membubarkan PKI dan mantel organisasinya, dalam pernyataan ini Muslimat diwakili oleh Sholihah Wahid Hasyim.9
Kegiatan extra lainnya ialah aktivitas Muslimat NU dalam Kongres Islam Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1964. Dalam kepanitiaan Kongres ini Sholihah Wahid Hasyim duduk dalam wakil bendahari sebagai anggota.10 Pada tahun 1966 sampai dengan 1968 Sholihah Wahid Hasyim11 menjadi anggota D.P KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). KOWANI adalah federasi organisasi wanita tingkat nasional, dimana semua organisasi wanita yang dalam anggaran dasarnya bertujuan memperjuangkan kemajuan wanita dan cabangnya tersebar paling sedikit di lima provinsi dapat bergabung di dalamnya selaku anggota. Muslimat NU yang persyaratannya memang telah mencukupi, merasa perlu memasuki KOWANI, karena sebagai wanita Indonesia Muslimat mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dengan organisasi-organisasi wanita Indonesia lainnya.
8
Syahroni, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama (Jakarta: PP Muslimat NU, 1979), 68.
9
Ibid., 69
10
Sholihah aktif dalam kegiatan Kongres NU ke XX.
11
(53)
44
Pada saat awal Kongres Muslimat NU I tahun 1946 di Purwokerto sampai dengan Kongres Muslimat NU ke III tahun 1950 di Jakarta belum tercatat keterlibatan Sholihah sebagai pengurus Harian. Selanjutnya, pada saat Kongres Muslimat NU ke IV ketika NU melaksanakan Mu’tamarnya yang ke XIX tanggal 21 April sampai dengan 1 Mei 1952 di Palembang, dimana pada saat itu disahkan pemisahan diri NU dari Masyumi dan NU menjadi partai tersendiri sedangkan Muslimat menjadi Otonom dengan nama Muslimat NU. Dalam hal ini Sholihah ikut menjadi panitianya. Salah satu keputusannya adalah mengaktifkan gerakan Pemberantasan Buta Huruf dan membentuk panitianya dari pusat sampai ranting.12
Pada Kongres Muslimat yang pertama semenjak menjadi badan otonom dari NU dan bersamaan pula dengan waktu Mu’tamarnya NU ke XX yang berlangsung tanggal 9 sampai 14 September 1954 di Surabaya menghasilkan beberapa keputusan. Di dalam kongres ini memutuskan antara lain: menyetujui beleid PP Muslimat NU, mengumumkan tentang pernyataan perkawinan kanak-kanak kepada umum, wanita dalam peradilan agama, menentukan syarat-syarat pencalonan Muslimat yang menjadi DPR, serta pemilihan ketua. Mengenai keputusan terakhir tentang pemilihan ketua, Sholihah masuk dalam daftar pencalonan tetapi beliau hanya memiliki 1 suara sehingga tidak menjadi ketua. Yang menjadi ketua adalah Ibu Mahmudah Mawardi yang mempunyai 66,4 suara. Pada saat Kongres ke V-VI Sholihah berperan benjadi Bendahara II dalam formasi PP Muslimat NU. Dalam Kongres ke VI di Medan tahun 1956 ini hanya
12
(1)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai penutup dengan berdasarkan uraian-uraian yang telah
dikemukakan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Sholihah merupakan seorang tokoh perempuan yang hidup pada abad ke 20.
Ia lahir di Jombang tanggal 24 Oktober 1922. Nama aslinya sebenarnya
adalah Munawwaroh, mengenai perubahan nama dari Munawwaroh menjadi Sholihah adalah pemberian dari mertuanya yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Sholihah adalah anak kelima dari 10 bersaudara. Ayahnya bernama KH.
Bisri Syansuri dan ibunya bernama Nyai Chadijah. Sejak dari kecil ia
dibesarkan di lingkungan pesantren. Dalam hal pendidikan agama, seperti
membaca al-Quran, pengajaran diberikan langsung oleh ayahnya. Suami
pertama Sholihah bernama Abdur Rohim, tetapi belum sampai setahun
Abdurrohim meninggal dunia. Lalu Sholihah menikah dengan A. Wahid
Hasyim putera dari KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1938 di Denanyar
Jombang. Kemudian pada tahun 1955, Sholihah ke Jakarta mengikuti
suaminya sebagai Menteri Agama RI. Ia mempunya 6 orang anak, 4 putra dan
2 putri. Karir sholihah dimulai saat ia aktif dalam berbagai organisasi sosial
salah satu yang paling menonjol adalah pada Muslimat NU. Pada tahun 1950
ia menjadi anggota DPRD Jakarta mewakili NU. Lalu pada tahun 1971
(2)
80
gula, pada saat itu ia menjalani rawat tinggal di rumah sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta selama 17 hari. Pada hari Jumat tanggal 29 Juli 1994
sekitar pukul 22.00 ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
2. Sholihah sangat aktif di Muslimat NU sejak 1946. Bisa dikatakan bahwa ia
mengabdikan dirinya untuk Muslimat NU. Selain itu ia ikut aktif juga dalam
berbagai organisasi sosial seperti IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional
Indonesia), Yayasan Dana Bantuan, dan juga organisasi keagamaan seperti
Yayasan Bunga Kamboja, Yayasan Al-Ishlah dan organisasi lainnya telah
menjadikan ia aktif dalam organisasi politik yakni menjadi anggota legislatif
dari DPRD, DPRGR, dan DPR RI dari tahun 1950 sampai 1987. Sholihah
mengabdikan dirinya kepada Muslimat NU. Ia juga mempelopori beberapa
kegiatan berdirinya yayasan yang menganjurkan agar perempuan mandiri dan
berpendidikan tinggi.
3. Sholihah terjun ke perpolitikan di Indonesia mulai tahun 1950 dengan
menjadi DPRD Jakarta dan pada tahun 1965 masuk kedalam DPRDGR
mewakili NU. Ketika tahun 1971 Sholihah menjadi DPR RI tetapi mewakili
PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Dalam kegiatannya yang sangat
menonjol ketika duduk dalam anggota legislatif adalah ketika berjuang
bersama-sama teman-teman Muslimat NU lainnya dalam RUU (Rancangan
Undang-Undang) Perkawinan. Dengan perjuangan mereka akhirnya pada
tahun 1974 UU No.1 tentang Perkawinan disahkan.
Perjuangan besar yang dilalui oleh Sholihah adalah pada saat menjadi
(3)
81
Ia hidup dan bertahan di Jakarta, tidak mau untuk kembali ke Jombang. Dari
sinilah ia mendidik putera puterinya hingga menjadi orang besar seperti Gus
Dur yang menjadi preseden ke-4 Republik Indonesia berintelektual dan
berpolitik, Aisyah Hamid yang menjadi Ketua umum Muslimat NU,
Sholahuddin Wahid yang menjadi tokoh politik serta Kiai besar, Umar Wahid
menjadi ketua dokter Indonesia, dan putra dan putrinya yang lain.
B.Saran
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Kiprah Sholihah Wahid Hasyim
dalam perpolitikan di Indonesia (1950-1987)”, penulis menyadari kalau penulisan
skripsi ini masih jauh dengan kata sempurna, akan tetapi penulis berusaha
menyelesaikan karya ilmiah yang berbentuk skripsi ini sesempurna mungkin.
Semoga study ini dapat menjadi bagian kecil dari tempat mengaca diri kita. Dan
mudah-mudahan selain memberi guna juga memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu, khusunya bagi perkembangan perpolitikan seorang perempuan di Indonesia.
Perjuangan yang dilalui Sholihah khususnya dalam organisasi perempuan
waktu dulu masih sangat minim. Hanya sedikit yang tercatat oleh sejarah tentang
pergerakan perempuan. Tetapi saat ini dengan belajar dari tokoh perjuangan
perempuan yang berpolitik menjadikan penulis sebagai sejarawan untuk
menyadarkan masyarakat bahwa perjuangan seorang perempuan juga perlu
ditonjolkan sebagai pelajaran agar dapat melangkah lebih baik di masa kini dan
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Refrensi buku:
Abdullah, Taufik et al. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1978.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Aceh, Aboe Bakar. Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar.
Jakarta: Panitia buku peringatan alm. K.H.A Wahid Hasyim. 1957.
Aziz, Abdul. Politik Islam Politik: Pergulatan Ideologis PPP menjadi Partai
Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2006.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2009.
Bruinessen, Martin Van. NU:Tradisi, Relasi-Ralasi Kuasa Pencarian Wacana
Baru. Yogyakarta: LkiS. 1994.
Dahlan, Aisyah. et al. Ibu Kartini Seratus Tahun. Jakarta: PP Muslimat NU. 1979.
Dahlan, Muhammad, et al. Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan
Sebuah Biografi. Jakarta: Yayasan K.H.A Wahid Hasyim, 2001.
Dewanto, Nugroho. Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, Seri Buku
Tempo:Tokoh Islam di awal Kemerdekaan. Jakarta: Tempo. 2011.
Faqih, Mansur. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1947.
Feillard, Andree. NU Vis a Vis Negara. Yogyakarta: LKiS. 1999.
Furqon, Muhammad. Studi Analisis Terhadap Pemikiran Musdah Mulia
tentang Poligami. Skripsi Fakultas Syariah: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj, Nogroho Noto Susanto Jakarta: UI
Press. 1986.
Hadiz, Liza. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru. Jakarta:LP3ES, 2004.
Harahap, Syahrin. Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam. Jakarta: Prenada.
2011.
Hendrowinoto, Nurinwa Ki S. Ibu Indonesia dalam Kenangan. Jakarta:Bank
(5)
Hugiono dan Poerwantara, P. K. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bina Aksara.
1987.
Irsyam, Mahrus. Ulama dan Partai Politik: Upayan mengatasi Krisis. Jakarta:
Yayasan Perkhidmatan. 1984.
Ja’far, Muhammad Anis Qosim. Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak
Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Terj, Irwan Kurniawan dan Abu Muhammad Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998.
Jones, Pipes. Pengantar Teori-Teori Sosial Terj, Achmad Fedyani Saifuddin.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010.
Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Mahfudh, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS, 1994.
Mayling Oey-Gardiner, dkk. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Mernisi Fatima dan Hasan, Riffat. Setara di Hadapan Allah, Terj. Tim
LSPPA. Yogyakarta: LSPPA, 1999.
Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 2000.
Mz, Shofiyullah. KH. Ahmad Wahid Hasyim: Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya
bagi Agama dan Bangsa. Jombang: Pesantren Tebuireng. 2011.
Purwati, Eni dan Asrohah, Hanun. Bias Gender dalam Pendidikan Islam
Surabaya: Alpha, 2005.
Shohib, Abdussalam. Kiai Bisri Syansur: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap.
Jombang: Yayasan Mamba’ul Ma’arif Pustaka Idea. 2015.
Siroj, Said Aqil. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara: Menuju Masyarakat
Mutamaddun. Jakarta: LTN NU. 2014.
Sulhandjati Sukri, Sri. Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender.
Yogyakarta: Gama media, 2002.
Sunidhia, et al. Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Rineka
Cipta, 1993.
Syahruni, Asmah, et al. Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama. Jakarta: PP
(6)
Rifa’i, Muhammad. Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid: Biografi Singkat (1940
2009) Yogyakarta: Garasi House of Book. 2010.
Ulfah Subadio, Maria dan T.O Ihromi. Peranan Dan Kedudukan Wanita
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978.
Yahya, Ali. Sama Tapi Berbeda. Jakarta:Yayasan KH. A Wachid Hasyim
Pustaka IKAPETE, 2007.
Yasin, A. Mubarok dan Karyadi, Fathurrahman. Profil Pesantren Tebuireng.
Jombang:Pustaka Tebuireng. 2011.
Zahro, Ahmad. Tradisi Intelektual NU. Yogyakarta: LKiS. 2004.
Zemmali, Ammeur. Islam dan Hukum Humaniter International. Jakarta: Mizan,
2012.
Zulaicha, Lilik. Metodologi Sejarah. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2005.
Internet:
Bonaditya, “Biografi”, dalam http://id.m.wikipedia.org/wiki/biografi (21 Juli 2015).
Wawancara:
Sholahuddin Wahid, putra kedua Sholihah Wahid Hasyim, Wawancara,
Tebuireng Jombang, 14 Desember 2015.
Nadhirah Mansyur, adik ipar Sholihah Wahid Hasyim, Wawancara, 15 Desember
2015.
Zaenab Shohib, keponakan Sholihah Wahid Hasyim, Wawancara, 2 Januari 2016.
Abdul Aziz Masyhuri, cucu menantu dari ayah Sholihah Wahid Hasyim, Wawancara, 3 Januari 2016.