Kiprah politik Muhammad Roem dalam Konstelasi perpolitikan di Indonesia pasca kemerdekaan (1945-1957)

(1)

KIPRAH POLITIK MUHAMMAD ROEM DALAM KONSTELASI

PERPOLITIKAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN

(1945 – 1957)

Oleh:

SUDARMIN BAKIR

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428 H/ 2007 M


(2)

KIPRAH POLITIK MUHAMMAD ROEM DALAM KONSTELASI

PERPOLITIKAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN

(1945 – 1957)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Oleh:

SUDARMIN BAKIR NIM. 102045225156

Pembimbing:

DRS. H. AFIFI FAUZI ABBAS, MA NIP. 150 210 421

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428 H/ 2007 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul KIPRAH POLITIK MUHAMMAD ROEM DALAM KONSTELASI PERPOLITIKAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelarSarjana Program Starta 1 (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah

Jakarta, 1 Desember 2006

Disahkan oleh

Dekan,

Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua : Asmawi, M.Ag (………...)

NIP. 150 282 394

Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………..….) NIP. 150 282 403

Pembimbing : Drs. H. Afifi Fauzi Abbas, MA. (…………...…………...…) NIP. 150 210 421

Penguji I : Khamami Zada, MA. (………...………...) NIP. 150 326 892

Penguji II : Iding Rasyidin, M.Si. (………..…)


(4)

M O T T O

“ Barang siapa yang menginginkan kebahagiaan hidup di dunia maka

ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan

kebahagiaan hidup di akhirat maka ia harus

memiliki ilmu, dan barang siapa yang

menginginkan kebahagiaan hidup

di dunia dan di akhirat maka

ia harus memiliki ilmu “

Per s embahan t ak ber ar t i , s ebagai r as a c i nt a mendal am dan bak t i k u buat ay ahanda ( al mar hum) dan i bunda t er c i nt a, do’ a nanda s el al u mengi r i ngi s et i ap l angk ahmu………


(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan rahim-Nya serta hidayah dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring salam semoga Allah curahkan kepada baginda nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak langkah perjuangan dakwahnya dan meneladani uswatun hasanahnya dalam kehidupan.

Penulisan skripsi ini “jujur” diselesaikan dengan penuh keterbatasan, baik dalam kapaistas kemampuan penulis sendiri maupun dari berbagai sarana penunjang dalam proses penyelesaiannya. Oleh sebab itu, adanya berbagai kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini adalah bukan sebuah kesengajaan, tapi semata-mata karena keniscayaan bahwa manusia tidak ada yang sempurna, yang sempurna hanyalah Allah Robbul ‘Izzati. Meski demikian, penulis tetap yakin bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong yang selalu membisikkan kemudahan dan memberikan cahaya penerang untuk menerangi jalan terjal menuju kepastian dan penyelesaian tulisan ini. Kepda-Mu Yaa Robb, hamba mengucapkan

Alhamdulillahirobbil’alamiin.


(7)

1. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA yang telah memberi bantuan secara administratif dari awal sampai akhir perkuliahan.

2. Bapak Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Asmawi M.Ag dan Ibu Ketua Jurusan Sri Hidayati, M.Ag yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan bagi penyelesaian skripsi ini.

3. Yang terhormat Bapak Drs. Afifi Fauzi Abbas, MA. yang telah penuh kemurahan hati memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga bimbingan ini menjadi amal soleh yang berlipat ganda dan mudah-mudahan bimbingan yang diberikan senantiasa bermanfaat bagi penulis.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen yang dengan susah payah dan penuh kesabaran menghantarkan penulis dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang dimilikinya selama perkuliahan.

5. Kepada bagian Perpustakaan Umum, Perpustakaan Syari’ah dan Hukum, Perpustakaan Adab dan Humaniora beserta staf yang selalu bersedia memberikan pinjaman buku-buku berharga kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada Ayahanda (almarhum) dan Ibunda yang tercinta serta kakakku dan adikku di kejauhan sana yang selalu sabar dan atas segala do’a restunya, semoga anakmu ini tetap menjadi anak yang soleh.


(8)

7. Kepada Ayahanda Piminan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, ananda mengucapkan Jazaakumullahu Khairon Katsiiron “jujur” ananda tidak bisa mengukir kebaikan yang diberikan selama ini dengan kata-kata.

8. Kepada Ayahanda Munheri Koto dan Ibunda Popi selaku orang tuaku kedua, terima kasih atas nasehat dan arahan yang diberikan semoga Allah membalas kebaikan selama ini dengan berlipat ganda.

9. Kawan-kawan Siyasah Syar’iyyah angkatan 2002 dengan canda-tawanya telah memberikan suasana santai bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas ini. Terima kasih kepad teman seperjuangan Iie, Iik, Masriyanti, Muammar, Aidi, Kholok.A, Kholik B, Takin, Muhayyah, Irwah, Zaenal dan yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan. Teman-teman kelompok KKS Cianjur, aku rindu dengan kebersamaan kita, AKANKAH KAU INGAT…KITA KKS DI

CIANJUR YANG PENUH SUKA DAN DUKA……(sebait lagu KKS kita).

10.Bapak Philip dan Ibu di Bekasi, atas dorongan dan nasehat yang diberikan semoga semuanya bermanfaat.

11.Kepada Bapak Ali Umar sekeluarga atas segala dukungan serta bantuan material yang dengan ikhlas diberikan selama ini.

12.Kepada teman-teman asrama Muhammadiyah di Sawangan dan di Tanah Abang, terutama Andre, Zaenal, Yanto, Yusuf dan Efendi terima kasih atas do’a dan kebaikannya.

13.Kepada teman-teman Pimpinan Daerah dan Pimpinan Cabang Ikatan Remaja Muhammadiyah Kota Depok, terima kasih atas giroh dan semangat yang


(9)

diberikan, terutama Iik, Nia, dan Dedy. Sekalipun nama yang terakhir ini pernah membuat penulis marah di sela-sela penyelesaian skripsi ini.

Atas bantuan dan jasa-jasa baik mereka, penulis ucapkan sekali lagi terima kasih banyak. Akhirnya, kepada Allah SWT jualah penulis memohon ampun dan semua ini penulis serahkan semoga niat baik dan kontribusi amal mereka mendapat ganjaran berlipat ganda. Amin. Selanjutnya karena keterbatasan dan kemampuan penulis, maka penulis mengharapkan masukan dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Depok, 24 Syawal 1427 H 15 Nopember 2006 M


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……..………..… iv

DAFTAR ISI……….…………. vii

BAB I PENDAHULUAN………..………..… 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 7

C. Objek Penelitian…….……… 8

D. Metodologi Penelitian...………. 8

E. Tujuan dan Kegunaan Penulisan………...……… 9

F. Sistematika Penulisan……… 10

BAB II RIWAYAT HIDUP MUHAMAD ROEM……..………..… 11

A. Kelahiran dan Keluarganya..…...……….. 11

B. Pendidikannya……… 14

C. Karya-karya Penting……….. 18

BAB III MUHAMAD ROEM DIPLOMAT DAN PEJUANG………. 22

A. Muhamad Roem Dalam Gerakan Nasionalisme……… 22


(11)

C. Keterlibatan Muhamad Roem Dalam Perundingan……… 34

BAB IV PERAN POLITIK MUHAMAD ROEM DI INDONESIA……… 41

A. Keberadaan Muhamad Roem Dalam Partai Masyumi……… 41

B. Di Dalam Pemerintahan……….. 45

a. Sebagai Menteri Dalam Negeri……… 46

b. Sebagai Ketua Delegasi Indonesia Pada Perundingan Roem-Royen (1949)……….. 50

c. Sebagai Wakil Ketua Delegasi Indonesia Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (1949)……….. 56

d. Sebagai Menteri Luar Negeri (1950-1951)……… 63

e. Sebagai Wakil Perdana Menteri (1956-1957)……….. . 65

BAB V PENUTUP……… 69

A. Kesimpulan……… 69

B. Kritik dan Saran………. 71

DAFTAR PUSTAKA……….. . 73


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak orang mengatakan bahwa dalam sejarah setiap bangsa ada nama orang-orang yang menjadi perhatian tersendiri. Artinya, nama seseorang tidak lagi hanya menunjukan identitas penyandangnya, melainkan telah menjadi milik umum, yang mengandung makna tertentu dan langsung membawa ingatan orang kepada suatu peristiwa bersejarah atau kejadian-kejadian penting lainnya. Sering kali pula sampai dicatat dengan tinta emas, karena menyimpan kenangan akan kehebatan prestasi atau jasa si penyandang nama terhadap umat manusia di tingkat nasional maupun internasional.

Jika sejarah dilihat sebagai rentetan jejak langkah orang-orang besar, misalnya menyebut nama Sudirman, maka orang akan segera mengingatkan kepada perjuangan bersenjata dalam suasana bergerilya melawan Belanda. Jika disebut nama HOS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim, maka orang juga segera mengingatkan pada masa Sarekat Islam pada dekade awal abad dua puluh. Sementara Mohamad Roem selalu akan diasosiasikan dengan kegiatan diplomasi


(13)

di tahun-tahun awal kemerdekaan Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan dunia internasional.1

Pada tanggal 1 November 1945 pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat politik. Dinyatakan dalam maklumat tersebut bahwa pemerintah Republik Indonesia dari Serikat maupun dari pihak Belanda yang dibuat atau di bawah komando dan kekuasaan Belanda sebelum Perang Dunia kedua, berjanji akan mengembalikan semua milik pribumi yang telah dikuasai oleh pihak asing untuk kesejahteraan rakyat. Bersamaan dengan itu dikeluarkan pernyataan bahwa pemerintah menyukai berdirinya partai-partai politik sebagai sarana pembantu perjuangan.2 Sebagai realisasi dari maklumat pemerintah tersebut kabinet presidentil 3 yang dipimpin oleh presiden sendiri diganti dengan kabinet ministeril 4. Pemerintah baru ini segera mengadakan kontrak diplomatik dengan pihak Belanda dan Inggris.

Muhamad Roem menjadi Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Syahrir III dan menjadi anggota delegasi dalam perundingan dengan Belanda.5 Bersama temannya Susanto Tirtoprojo dan A.K. Gani, disertai dengan anggota-anggota

1

Lihat Prakata Penyuting, Kustiniyati Mochtar, Mohamad Roem, Diplomasi; Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), cet, ke-1, hlm.IX

2

Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Departemen P&K, 1975), cet. ke-I, jilid ke-IV, hlm. 121

3

Kabinet yang menteri-menterinya diangkat atau diberhentikan atau juga bertanggung jawab pada presiden.

4

Kabinet yang telah jatuh masih merupakan tugas sampai terbentuk atau dilantiknya kabinet baru.

5

Subadio Sastrosatomo, Roem Seperti Saya Kenal, dalam Soemarso Soemarsono, M. Roem 70 tahun, Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet, ke-I, hlm. 269


(14)

cadangan Amir Syarifuddin, Sudarsono dan J. Liemena, mampu menempatkan diri mereka sebagai wakil bangsa Indonesia.

Sesungguhnya ada hal yang menarik dari peran Muhamad Roem. Selama masa aktifnya, pemuka Masyumi ini pernah tiga kali menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam tiga buah kabinet, pernah menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet pertama yang terbentuk setelah pemilu 1955, menjadi menteri luar negeri dalam kabinet Perdana Menteri Muhammad Natsir dan pernah pula menjadi menteri tanpa portopolio 6 sewaktu masa peralihan Republik Indonesia serikat. Namun secara umum orang selalu mengingatkan nama Muhamad Roem dengan kegiatan luar negeri dan terutama kemahirannya dalam diplomasi yang sulit dicari bandingannya. Salah satu peran penting diplomasinya adalah persetujuan Van Roiyen-Roem yang membuka jalan ke arah Konferensi Meja Bundar.7

Kegiatan Muhamad Roem dalam partai juga mempengaruhi terhadap kemerdekaan Indonesia. Sarekat Islam merupakan partai politik Islam yang pertama di Indonesia yang sangat banyak memberikan dampak dan pengaruh pemikiran politiknya. Tentang partai ini, John Ingleson mengatakan, “Sejak pertumbuhan dan pembentukannya pada tahun 1912, ia merupakan partai politik

6

Portopolio adalah menteri yang tidak memegang departemen tertentu atau juga sering disebut sebagai menteri negara.

7


(15)

Islam yang terkemuka dan selama beberapa tahun menjadi partai modern satu-satunya pada masa kolonial”.8

Hal yang senada diungkapakan oleh Deliar Noer, ia mengatakan bahwa ,“Asal-usul dan pertumbuhan gerakan politik di kalangan muslim Indonesia dapat dikatakan identik dengan asal-usul dan pertumbuhan Sarekat Islam, terutama pada dua puluh tahun pertama sejak didirikan”, 9 begitu juga pendapat yang dikeluarkan oleh Van Niel yang menyebutkan bahwa Sarekat Islam adalah salah satu organisasi politik Indonesia abad dua puluh yang paling menonjol.10

Selain berperan aktif dalam partai atau organisasi Sarekat Islam Indonesia, Muhamad Roem juga aktif dalam partai Masyumi – yang kemudian dibubarkan oleh rezim Orde Baru pada tahun 1961 – bahkan sebagai pengurus Pimpinan Pusat Masyumi tahun 1945, 1949, 1951, 1952, 1954, 1956 dan terakhir pada tahun 1957.11

Dr. J.H. Van Royen lawan berundingnya tahun 1949 menyatakan kesannya, “Dalam pembicaraan kami, yang akhirnya menuju Konferensi Meja Bundar dan penyerahan Kedaulatan, Muhamad Roem menunjukan keluwesan dan kebijaksanaan dalam mewakili delegasinya”12. Begitu juga George MCT. Kahin, sejarawan Amerika terkemuka memberikan penghargaan kepada Muhamad

8

John Ingleson, Jalan Kepengasingan, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 48-49

9

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 114

10

Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 2

11

Deliar noer, Op. Cit. hlm. 100

12


(16)

Roem, karena keahliannya sebagai seorang negarawan modern dan seorang pemecah masalah yang efektif.

Menurut Herberth Feith dalam bukunya tentang Masa Kemunduran Demokrasi Konstitusional di Indonesia, bahwa Muhamad Roem bersama dengan Sultan Hamungkubuwono, Ir. Juanda, Prof. Supomo, Wilopo, Dr. Leimena, ditambah dengan Mr. Tambunan dan I.J. Kasimo adalah jenis para pemimpin

administrators13 dengan Bung Hatta sebagai tokoh utamanya. Mereka ini adalah lawan kelompok lain yang disebut Feith sebagai solidarity markers (penggalang solidaritas), yaitu para pemimpin yang dijiwai oleh gaya kepemimpinan Bung Karno.14

Sebaliknya, Feith menyebut mereka sebagai tokoh problem solvers atau pemecah masalah dengan tidak begitu tertarik kepada usaha-usaha mengutarakan ide tentang masa depan bangsanya secara umum, apalagi masalah itu dilalui dengan orasi dan retorika. Mereka lebih suka kepada pendekatan-pendekatan dingin dan tekun, tanpa kobaran sebuah pidato di depan umum. Hal ini juga diungkapkan oleh T.B. Simatupang,15 tidak ada seorangpun – sekalipun besar peranannya dalam sebuah peristiwa bersejarah – yang mendapat hasil dan sukses dengan bekerja sendiri. Tiap sukses dan perjuangan adalah hasil jerih payah serta pengorbanan banyak orang, yang sebagian di antaranya sering tidak dikenal

13

Pimpinan dalam bidang pelaksanaan peraturan, prosedur dan kebijaksanaan.

14

Ibid. hlm. xvi

15

T.B. Simatupang, Penulisan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dalam Soemarso Soemarsono, M. Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke-I, hlm. 191-193.


(17)

namanya. Panglima besar Soedirman tidak berperang sendiri, melainkan tetap berhubungan dengan perjuangan bersenjata. Muhamad Roem pun demikian, ia tidak berjuang sendirian dalam berunding, melainkan bersama ketua-ketua delegasinya yakni Syahrir, Amir Syarifuddin, dan Bung Hatta. Maka wajar kalau Muhamad Roem diasosiasikan dengan perunding atau diplomasi selama pasca kemerdekaan Indonesia.

Selain dari rentetan aktivitasnya sebagai seorang juru runding yang handal, ia juga dikenal sebagai politikus yang praktis dan mempersembahkan segalanya yang dimiliki untuk bangsa yang tercinta ini yang berbuah manis yaitu kemerdekaan Indonesia dari tangan-tangan penjajah. Lahir dari kalangan keluarga Muhammadiyah, maka ia berkembang menjadi seorang yang islamis dan terpelajar. Maka dengan demikian tidak diragukan lagi eksistensi Mohamad Roem dalam percaturan politik dalam negeri.

Berangkat dari masalah-masalah di atas, maka penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang kiprah politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Indonesia. Sosok Muhamad Roem dikenal oleh insan politik dan akademisi sebagai tokoh yang ahli dalam berunding atau Muhamad Roem sebagai diplomasi ujung tombak perjuangan Republik Indonesia dengan segala aktivitas politiknya yang ada, baik sebelum kemerdekaan Indonesia maupun sesudah kemerdekaan Indonesia adalah juga tidak terlepas dari riwayat kehidupannya yang turut mempengaruhi. Kemerdekaan Indonesia adalah tidak terlepas dari peran politiknya sebagai seorang juru runding, ini menjadi menarik untuk kita telusuri agar kita


(18)

memperoleh gambaran tentang seberapa jauh peran politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan – baik dalam partai politik maupun dalam pemerintahan. Atas alasan tersebut, penulis bermaksud mengangkat tema skripsi dengan judul

“KIPRAH POLITIK MUHAMAD ROEM DALAM KONSTELASI PERPOLITIKAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN (1945 – 1957)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mengungkapkan permasalahan di atas dengan jelas serta tidak terlalu melebar, maka perlu diberikan batasan. Pokok permasalahan yang akan penulis bahas adalah sejauh mana peranan politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Indonesia (1945 – 1957). Maka penulis perlu memberikan batasan masalah agar tidak terlalu melebar.

Adapun fokus masalah yang menjadi titik tekan penulis dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran Muhamad Roem sebagai diplomat dalam perundingan dan pejuang dalam gerakan nasionalisme?

2. Bagaimana peran politik Muhamad Roem di Indonesia pasca kemerdekaan? (Dalam partai politik maupun dalam pemerintahan).

C. Objek Penelitian

Dalam skripsi ini objek penelitian difokuskan pada studi tokoh tentang peran politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Republik Indonesia (1945 – 1957), dimana Muhamad Roem tidak hanya dikenal sebagai seorang diplomat dalam


(19)

perundingan tapi juga memiliki peran politik yang cukup gemilang di pentas nasional maupun internasional, seperti beliau aktif dalam partai Masyumi bahkan menjadi tokoh yang disegani di Masyumi. Selain itu beliau juga terlibat dalam kursi pemerintahan sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri pada tahun 1950-1951, dan menjadi wakil Perdana Menteri pada tahun 1956-1957, sebagai ketua delegasi Indonesia pada perundingan Roem-Royen pada tahun 1949, dan sebagai wakil ketua delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949.

Dengan demikian, maka objek pembahasannya bukan terletak pada pemikiran atau ide politiknya, melainkan pada peran atau kiprah politiknya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945

D. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian/ jenis penelitian kualitatif atau liberary resech, di mana pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber tertulis, seperti buku-buku bacaan, majalah, koran, artikel dan tulisan-tulisan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang penulis bahas.

1. Pengumpulan Data

Data tersebut terbagi kepada dua sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah data yang dianggap sebagai sumber utama atau sumber bukti yang terbaik yang diperoleh dari saksi mata atau saksi telinga untuk


(20)

kemudian dijadikan sebagai rujukan dalam penyusunan skripsi ini, seperti buku yang berjudul,: (1) Mohamad Roem Diplomasi; Ujung Tombak Perjuangan RI, yang disunting oleh Kustiniyati Muchtar, (2) Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding, yang ditulis oleh Panitia Peringatan Mohamad Natsir/ Mohmad Roem 70 tahun, (3) Mohamad Roem Bunga rampai Sejarah, (4) Mr. Mohamad Roem; karya dan Pengabdiannya, yang ditulis oleh Suratmin.

Sementara data sekunder adalah data yang diperoleh penulis dari buku-buku bacaan, majalah, koran, artikel dan tulisan-tulisan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang penulis bahas, sehingga hasil dari penelitian ini dapat menghadirkan sebuah kebenaran dan kepastian sebagaimana yang penulis harapkan.

2. Pengolahan dan Analisis Data

Data-data tersebut kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tema dan hal-hal yang akan dibahas oleh penulis. Kemudian penulis mendeskripsikannya dengan memaparkan secara sistematis. Analisa penulisan data dalam skripsi ini adalah, penulis menggunakan analisa kualitatif dengan tekhnik deduktif.

Adapun dalam tekhnik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan acuan dasar penulisan Skripsi Mahasiswa Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang peran politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Republik Indonesia (1945 – 1957).


(21)

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khazanah keilmuan mahasiswa dan kalangan akademisi dan juga kepada seluruh masyarakat yang masih mencari tahu tentang peran politik Muhamad Roem di Indonesia pasca kemerdekaan (1945 – 1957).

F. Sistematika Penulisan

Mengingat kajian ini sangat luas serta untuk lebih mudah dalam memahaminya, maka secara singkat penulis menyusunnya dalam lima bab.

Bab pertama, pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, objek penelitian, tujuan dan kegunaan penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, seputar riwayat Mohamad Roem. Bab ini memuat pembahasan tentang kelahiran Muhamad Roem, pendidikannya, dan karya-karyanya.

Bab ketiga, Muhamad Roem sebagai diplomat dan pejuang. Bab ini membahas tentang Muhamad Roem dalam gerakan nasionalisme, Muhamad Roem sebagai pejuang yang realis, dan keterlibatan Muhamad Roem dalam perundingan.

Bab keempat, peran politik Muhamad Roem di Indonesia. Bab ini membahas tentang keberadaan Muhamad Roem dalam partai Masyumi, Muhamad Roem dalam pemerintahan, yang meliputi Muhamad Roem sebagai menteri Dalam Negeri, sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen tahun 1949, sebagai wakil ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di


(22)

Den Haag tahun 1949, sebagai menteri Luar Negeri tahun 1950-1951, dan sebagai wakil perdana menteri tahun 1956-1957.

Bab kelima, penutup yang mencakup kesimpulan dan kritik/ saran yang relevan.


(23)

BAB II

RIWAYAT HIDUP MUHAMAD ROEM

A. Kelahiran dan Keluarganya

Muhamad Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908 di Desa Klewongan, Parakan, Temanggung Jawa Tengah, dari suami isteri Dulkarnaein Joyosasmito dan Siti Tarbiyah. 16 Mereka memiliki tujuh orang anak, lima orang laki-laki dan dua orang perempuan. Muhamad Roem adalah anak yang ke-enam dan anak laki-laki yang ke-lima.17

Kakaknya yang tertua dan adiknya yang bungsu perempuan, bernama Mutiah dan Siti Khadijah. Empat dari anak laki-laki dalam keluarga tersebut mempunyai urutan nama yang khas. Ayah Muhamad Roem Dulkarnaen Joyosasmito – sebagaimana yang diakui oleh Muhamad Roem sendiri – sebenarnya orang yang bukan ahli dalam bidang agama, bahkan bila dilihat dari nama saja telah menunjukkan adanya perubahan antara nilai Jawa di satu sisi dan Islam di sisi lain, dan sulit untuk digolongkan ke dalam kalangan santri. Hanya saja, setidak-tidaknya Dulkarnaen memiliki kesadaran ke-Islaman yang tinggi, khususnya kesadaran historis. Ke-empat anaknya diberi nama para Khalifah Ar-Rasyidun, suatu sistem pemerintahan yang menjadi simbol historis dalam Islam, setelah

16

Harun Nsution, “Muhamad Roem”, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987/ 1988), Cet. ke-1, jilid. II, hlm. 617

17

Soemarso Soemarsono, Muhamad Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. ke-1, hlm. 1


(24)

Nabi Muhammad wafat. Nama anaknya yang tertua atau anak pertama diberi nama Abu Bakar, yang ke-dua Umar, yang ke-tiga Usman, dan yang ke-empat Ali. Namun Muhamad Roem sendiri merupakan refleksi dari kesadaran historis sang ayah, sebab dalam Al-qur’an terdapat surat yang bernama “Ar-Rum” yang mengisahkan tentang imperium Romawi. Kesadaran yang semacam inilah yang mungkin Muhamad Roem katakan tentang ayahnya, sebagai orang yang berusaha untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan keluarga sehari-hari.18

Lingkungan ini memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan keluarga Muhamad Roem, termasuk keluarganya dalam memilih aktivitas kehidupan. Usman kakaknya, lebih memilih menjadi Jawatan Agama Propinsi Jawa Tengah. Sementara isteri Usman adalah aktivis dalam organisasi perempuan yang bernama ‘Muslimat” yaitu sebuah organisasi kumpulan wanita-wanita muslimah. Kakak perempuan Muhamad Roem, Muti’ah juga aktivis dalam organisasi Muhammadiyah di Pekalongan. Hanya satu orang dari sekian banyak saudara-saudaranya yang dapat menggantikan posisi ayahnya sebagai lurah di Desa Klewongan.

Masa kecil Muhamad Roem dihabiskan di Desa Klewongan sampai ia berumur 11 tahun, setelah itu beliau pindah ke Pekalongan hingga berumur 16 tahun. Di Desa, Muhamad Roem hidup dalam keluarga priyayi kecil, dalam suasana kejawaan dan pemeluk Islam tradisional. Sedangkan di Pekalongan, ia

18

Kustiniyati Mochtar, Muhamad Roem, Diplomasi; Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), cet, ke-1, hlm.


(25)

hidup dalam keluarga Islam yang modern, karena kakak yang diikutinya adalah aktivis dalam organisasi Islam Muhammadiyah dan PSII. 19

Muhamad Roem dipindahkan ke Pekalongan bersama dengan adiknya yang bungsu, Siti Khadijah tinggal di rumah kakaknya Muti’ah. Kepergian Muhamad Roem dari Desanya ke Pekalongan kerena desanya dilanda oleh penyakit kolera. Pada saat itu Muhamad Roem baru berumur 11 tahun, sementara adiknya berumur 10 tahun. 20 Pada tahun 1920 Muhamad Roem dan adiknya Siti Khadijah mendapat panggilan supaya segera pulang ke Parakan untuk berkumpul bersama dengan keluarganya, karena ayah mereka meninggal dunia.

Akhirnya kakak Muhamad Roem yang tertua, Muti’ah, menetap di Peklaongan, aktif dalam organisasi agama ‘’Muhammadiyah’’ bersama suaminya. Dari keluarga kakaknya inilah Muhamed Roem memperoleh lanjutan pendidikan agama. Adapun dua kakak laki-laki yang lain, Abu Bakar dan Ali, tidak pernah dilihat Muhamad Roem karena keduanya itu sudah tidak ada sejak Muhamed Roem lahir. Memang di Zaman itu keadaan kesehatan di pedesaan sangat terbelakang. Dan setiap kali timbul wabah penyakit menular seperti infuluenza, kolera atau pun pes, selalu banyak menimbulkan korban jiwa. Itulah sebabnya, sewaktu terjadi lagi wabah penyakit seperti itu di tahun 1919, segera Muhamad Roem yang masih kanak kanak itu diungsikan ke daerah lain.

19

Ensiklopedi Islam, hlm. 345

20


(26)

B. Pendidikannya

Sesungguhnya Muhamad Roem termasuk bagian kecil dari anak anak Jawa yang beruntung. Ketika ia masuk pendidikan bersamaan dengan dilaksanakannya kebijaksanan baru penjajah Belanda yang lebih memeperhatikan bumi putera. Kritik kaum sosialisme dan kaum etisi Belanda yang mulai dilancarkan sejak tahun 1891 21, telah mendorong lahirnya kebijaksanan baru program pemerintah Belanda tentang Hindia. Pada bulan Januari 1901, di depan parlemen, Ratu Wilhelmina mengumumkan tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dikatakan bahwa, bangsa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Hindia, karena eksploitasi yang dilaksanakan sebelumnya telah memberi keuntungan besar kepada Belanda. Dengan perubahan kebijaksanan ini, perlahan-lahan pemerintah Hindia Belanda memperluas kesempatan bagi anak Indonesia golongan atas untuk mengikuti pendidikan tingkat dasar yang berbahasa Belanda.22 Muhamad Roem tersebut sebagai salah satu anak dari anak-anak Hindia Belanda yang mendapatkan kesempatan menuai pendidikan.

Sewaktu kecil Muhamad Roem tinggal bersama orang tua di Parakan. Ia sekolah pada sekolah rakyat biasa (Volks School). Kemudian Muhamad Roem

21

Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Departemen P & K, 1975), Cet. ke-1, Jilid V, hlm. 35

22

John Inglesen, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 – 1934, (Jakarta: LP3ES, 1973), Cet. ke-1, hlm. 1


(27)

masuk ke Hollandsch Inlansche School (HIS ),23 Muhamad Roem dapat masuk HIS karena ayahnya seorang kepala desa. Waktu itu bagi orang yang mau masuk HIS harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu harus anak pegawai negeri, atau yang lain dengan disertai seponsor yang menjaminnya. Ia masuk HIS di tanggung. Waktu kelas tiga, Muhamad Roem dipindahkan ke Pekalongan, di sana ia tinggal bersama kakak perempuannya yang tertua, Muti’ah, istri Bapak Ranuharjo.24 Ranuharjo semula ia guru sekolah di Desa Parakan di mana Muti’ah menjadi muridnya. Perkenalan itu berkembang sampai membawa mereka ke jenjang perkawinan.25 Sebagai pegawai pegadaian tugasnya berpindah pindah hingga sampai di Pekalongan.

Tahun 1924 Mohamad Roem menamatkan sekolah HIS di Pekalongan dan pada tahun yang sama ia juga lulus ujian masuk di STOVIA (Secool Tar Opleiding Voor Indiesche Arta – Sekolah untuk Mendidik Dokter Pribumi ) sebagai kesempatan yang terakhir, karena setelah itu tidak dibuka lagi.26 Keberhasilan masuk STOVIA mempunyai kebanggaan tersendiri bagi Muhamad Roem, di samping ia mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi juga akan melicinkan wawasannya dalam berbagai aktivitas. Di Jakarta ia dapat bergaul dengan teman-temannya dari berbagai daerah. Ia bergaul dengan tokoh seperti

23

Soemarso Soemarsono, Op. Cit, hlm.

24

Ibid, hlm. 3

25

Kustiniyati Mochtar Op. Cit., hlm. 117

26


(28)

HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, dan dari keduanya, Muhamad Roem banyak belajar tentang politik, keagamaan, dan masalah-masalah lainnya.

Pendidikan di STOVIA itu berlangsung selama 10 tahun, STOVIA dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian persiapan selama tiga tahun. Sehingga, setelah ti pendidikan 10 tahun orang bisa menjadi Indische Arts (Dokter Jawa), kemudian untuk meneruskannya telah dibuka sekolah baru di NIAS (Nederladsch Indische Artsen School) yang berdomisili di Surabaya yang dibuka pada tahun 1927.27 Antara tahun 1924 sampai tahun 1927 Muhamad Roem menyelesaikan pelajaran sebagai persiapan di STOVIA. Kemudian tahun 1927, ia mendapatkan kesempatan untuk meneruskan pendidikan di NIAS di Surabaya atau di AMS (Algemen Miidelbare School) di Jakarta. Muhamad Roem memilih untuk masuk ke AMS, di gedung kebangkitan nasional sekarang dan tinggal di asrama Jan Pieterszoon Coen Stichting jalan Guntur Jakarta, di gedung corps polisi militer sekarang. Murid-murid hampir semuanya mendapatkan beasiswa dari pemerintah, termasuk di dalamnya Muhamad Roem.28

Antara tahun 1930-1932 Muhamad Roem lulus dari AMS dan meneruskan ke GHS (Geneskundige Hoge School) atau Sekolah Tinggi Kedokteran di jalan Salemba. Tetapi selama dua kali ujian GHS, tidak pernah berhasil lulus. Ujian pertama gagal, ujian kedua pun gagal. Karena itu Muhamad Roem berhenti menjadi mahasiswa GHS dan beristirahat selama dua tahun. Waktu tidak sekolah

27

Soemarso Soemarsono, Op.,Cit., hlm. 5

28

Suratmin, MR. Muhamad Roem Karya dan Pengabdiannya, (Jakarta: Departemen P & K, 1986), hlm. 13


(29)

itulah ia giat dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), di samping aktivitasnya di JIB. Karena itu, Muhamad Roem dari Mahasiswa GHS dan beristirahat selama dua tahun.

Muhamad Roem mengikuti kegagalan dalam GHS, karena kesibukan yang ia lakukan dalam organisasi juga dalam keluarga.29 Pada tahun 1932, ia menikah dengan Markisah Dahlia di Malang, seorang yang juga aktivis Nativij (Nasionale Indonesische Padvinderij). Selama tidak sekolah ia memanfaatkan waktunya untuk belajar ilmu-ilmu agama dengan Haji Agus Salim yang menjadi guru para pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam JIB (Jong Islamieten Bond). Metode belajar yang diterapkan adalah dengan cara membaca majalah, surat kabar, buku-buku keagamaan, maupun diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh JIB.

Muhamad Roem mengakui bahwa doktrin dan ajaran yang diberikan oleh Haji Agus Salim sangat berarti baginya, terutama yang terkait erat dengan persoalan agama Islam.30 Mula-mula Islam dipelajari secara apologis, yaitu membela diri dari serangan-serangan luar. Sementara ada anggapan anak muda ketika itu bahwa jika mendapat serangan atau tantangan terhadap agamanya, tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan rendah diri sebagai orang Islam. Seolah-olah agama Islam memiliki nilai yang rendah dan tidak peka terhadap fenomena rasa senasib dan seperjuangan yang masih terbelakang, sehingga agama Islam diklaim

29

Ensiklopedi Islam, Op. Cit., hlm. 618

30


(30)

sebagai agama yang terbelakang, karena pemeluknya adalah orang yang masih terbelakang dan primitif yang jauh dari nilai-nilai modern atau kehidupan modern.

Hasil dari belajar agama Islam itu maka pemuda yang tergabung dalam JIB tidak malu lagi menjadi orang Islam, justru mereka bangga dan yakin sepenuh hati bahwa ajaran Islam yang dipelajari itu telah memberikan pedoman yang baik dalam menghadapi dunia modern. Tidak lagi membela diri ketika diserang, tetapi mempelajari Islam secara langsung dan mencari tahu artinya. Tidak lagi peduli dengan komentar dan pembicaraan orang lain yang menunjukkan sikap ketidak sukaan terhadap mereka. Dengan demikian, maka sikap kepercayaan diri menjadi besar bahwa apa yang mereka pelajari itu adalah sebuah ilmu kebaikan yang diajarkan dalam Islam. Setelah Muhamad Roem diterima di RHS (Recht Hoge School atau Sekolah Tinggi Hukum) ia aktif dalam SIS (Studenten Islam Studi Club atau Perkumpulan Mahasiswa Untuk Studi Islam).31 Muhamad Roem dapat menyelesaikan studinya di RHS pada tahun 1939 dengan meraih titel Mr.

C. Karya-Karyanya

31

Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hlm. 93, dalam Jong Islamieten Bond, bahwa ia mengidentikan keanggotaan dan kepemimpinan di JIB dan SIS dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)pasca kemrdekaan. Pada pasca kemerdekaan PII lebih merupakan organisasi kumpulan siswa atau Pelajar Menengah Atas (SLTA) dan HMI organisasi Mahasiswa. Begitu juga JIB dan SIS, JIB lebih kepada Pelajar Menengah Atas dan SIS lebih kepada organisasi perkumpulan Mahasiswa Islam pada masa revolusi fisik.


(31)

Muhamad Roem adalah tokoh, negarawan, diplomat, pejuang, pemikir, dan penulis masalah-masalah sosial politik dan masalah diplomasi, hukum dan agama. Karya-karya dari hasil tulisannya adalah sebagai berikut:

1. Masalah Diplomasi

Muhamad Roem banyak menuangkan ide-ide tentang diplomasi melalui karya-karyanya baik yang berbentuk buku-buku, majalah-majalah, dan artikel lainnya. Dalam karyanya itu ia menyoroti bahwa keberhasilan Indonesia mendapatkan pengakuan dunia adalah semata-mata berkat hasil positif dari diplomasi yang dijalankan oleh Agus Salim sebagai pelopornya dan dilanjutkan oleh para tokoh-tokoh Problem Solvers (pemecah masalah) yang lainnya, seperti: Muhammad Hatta, Muhammad Roem, Syahrir, Sultan Hamungkubuwono, Wilopo, Kasimo, Ir. Juanda, Soepomo, dan lain-lain. Di antara karya-karyanya adalah Jejak Langkah Agus Salim, Jakarta: Tintamas, 1969. Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, Jilid ke- 1. Suka Duka Berunding Belanda, Jakarta: Idayu Press, 1977. Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Penyunting Kustiniati Muchtar, Jakarta: PT Gramedia, 1989. Apa yang Terjadi dalam Republik Indonesia Jika Tidak ada Hamungkubuwono IX, dalam tahta untuk Raja, Sinarharapan, 1983. Haji Agus Salim dalam 100 Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, 1984. Bung Kecil yang Bernuat Besar, dalam Mengenang Sutan Syahrir, PT. Gramedia, Jakarta, 1980. Muhammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, dalam Bung Hatta, Mengabdi pada Cita-cita Perjuangan Bangsa,


(32)

Jakarta, 1972. Indonesia dan PBB, dalam Panji Masyarakat, nomor 3, tahun 1966.

Pelajaran dari Sejarah, Documenta, Surabaya, tahun 1970. 2. Masalah Sosial Politik

Muhamad Roem menginginkan adanya pemerintahan yang kuat dan bersih berdasarkan demokrasi Pancasila. Dalam pelaksanaan Pemilihan Umum yang pertama tahun 1955 sampai tahun 1971 mengalami ketidakjujuran dan ketidak bersihan. Lebih jelas lagi dipaparkan dalam karya-karyanya: 2.500 ex-Masyumi/ PSI Kehilangan Hak Disiplin, Documenta, Embong Belimbing 3, Surabaya, 1970.

Tinjauan Pemilihan I dan II dari Sudut Hukum, Budaya, Documenta, Jakarta, 1971. Karena Benar dan Adil, Hudaya, Jakarta, 1969. Pelajaran dari Sejarah,

Documenta, Surabaya, 1970. Renungan Tentang Pancasila dan UUD 1945, Panji Masyarakat, no. 348, tahun 1967. Rakyat Pilihan, Panji Masyarakat, no. 50 dan 51, 1969. Partai Muslimin Indonesia Setelah Muktamar, Panji Masyarakat, no. 48 dan 49, tahun 1969. Sumpah Pemuda, Puncak Perkembangan Awal Pertumbuhan, Yayasan Fajar Sodiq, Jakarta, 1975.

3. Masalah Hukum

Menurut Muhamad Roem dalam undang-undang Pidana yang berlaku (hukuman positif) masih membolehkan hukuman mati. Pada pokoknya hukuman mati adalah dijatuhkan pada perkara-perkara yang berat. Ia sangat setuju kalau peroalan ini menjadi pemikiran umum yang luas, sambil melihat-lihat apakah sistem ini dan segala pelaksanaannya sudah sesuai dengan maksud hukum dan


(33)

sesuai dengan salah satu sila yang dijunjung tinggi, yaitu kemanusiaan, lebih tajam lagi beliau paparkan di dalam bukunya, seperti: Tentang Hukum Mati, Bulan Bintang, Jakarta, atau lihat dalam Muhamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan Bangsa, Gramedia, 1989. Hak Manusia dalam UU 1945,

dalam makalah penyambutan Hari Natal 1978. 4. Masalah Agama

Muhamad Roem banyak menulis tentang persoalan-persoalan yang ada dalam Islam. Karya-karyanya yang terkait dengan persoalan agama yang ia bahas adalah banyak di artikel-artikel ketimbang berbentuk buku-buku. Ada khusus buku yang membahas tentang “Monogami dan Poligami dan Peradilan Agama”. Dalam buku ini Muhamad Roem banyak menyoroti tentang sulitnya Peradilan Agama (PA) merealisasikan Undang-Undang Perkawinan. Di dalam konsep Islam membolehkan orang untuk berpoligami, tetapi terbatas yaitu empat dan berlaku adil. Di sisi lain, monogami sangat mengkhawatirkan terjadinya “jajan di luar”, oleh karenanya ia mencari alternatif lain bahwa dalam UUD perkawinan, ada undang-undang yang melarang dengan ancaman hukuman tiap hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrimnya. Lebih jelas lagi, persoalan keagamaan ini beliau ungkapkan dalam karya-karyanya, seperti: Monogami Poligami dan Peradilan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.

Bunga Rampai Dari Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta, 4 Jilid, 1972. Monogami, Poligami atau Pergundikan. Keperhatinan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dimuat dalam Suara Muhammadiyah pada tahun 1976.


(34)

BAB III

MUHAMAD ROEM DIPLOMAT DAN PEJUANG

A. Muhamad Roem dalam Gerakan Nasionalisme

Muhamad Roem banyak terlibat dalam diplomasi. Sebuah aktivitas yang ia lakukan dan cukup besar dalam memberikan andil bagi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Masa itu adalah mencerminkan bahwa penggunaan alat senjata sebagai cara dan jalan untuk mencapai kemerdekaan, tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan. Di sinilah letak kejeniusan dan kecerdasan Muhamad Roem, di mana ia tampil sebagai seorang anak bangsa untuk mengembalikan eksistensi dan harga diri bangsa menuju kemerdekaan Indonesia melalui meja perundingan.

Dalam bukunya Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa tidak bisa disangkal lagi nasionalisme merupakan hasil yang paling penting dari pengaruh kekuasaan Barat di negeri-negeri Asia dan Afrika pada zaman modern. Nasionalisme merupakan suatu fenomena historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, budaya, dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial.32

Ratu Wilhelmina pada bulan Januari 1901 mengatakan di hadapan anggota parlemen bahwa tujuan utama pemerintah jajahan di masa yang akan datang

32

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru; Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, (Jakarta: PT Gramedia, 1990), Cet. ke-1, Jilid ke-2, hlm. 58


(35)

adalah semata-mata untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Ia mengatakan bahwa bangsa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Hindia, karena eksploitasi yang dilakukan sebelumnya telah melimpahkan keuntungan yang besar bagi Belanda. Dampak kebijaksanaan ini mulai dirasakan oleh anak-anak pribumi, termasuk Muhamad Roem, di mana ia sempat menamatkan sekolahnya sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Orang-orang yang pernah mengenyam dan merasakan dunia pendidikan Barat, memiliki persepsi dan bahkan prinsip, bahwa masa depan kemerdekaan politik di Indonesia tidak akan memiliki nilai dan arti yang sesungguhnya, jika kemerdekaan politik tersebut tidak disertai dengan kemerdekaan dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan oleh hampir semua pemilik modal dikuasai oleh orang-orang non-pribumi, terutama pihak sekutu yaitu Belanda. Oleh sebab itu, cita-cita dan semangat untuk meraih kemerdekaan dan menguasai secara total persoalan ekonomi menjadi penting dan prioritas utama. Perasaan ini muncul bersamaan dengan tidak baiknya lapangan kerja bagi mereka yang terdidik, sehingga menimbulkan kelompok elit yang frustasi. Diskriminasi bidang pekerjaan, antara kelompok terdidik pribumi dengan Belanda, walaupun memiliki titel dan keterampilan yang sama. Gejala dan pesoalan-persoalan yang dihadapi di atas adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan karakter yaitu nasionalisme Indonesia. Munculnya kaum intelektual baru yang menggugat struktur sosial politik Hindia Belanda merupakan dampak terpenting dari perubahan kebijaksanaan ini. Kelompok intelektual, terutama


(36)

pelajar-pelajar Hindia Belanda bisa berkomunikasi langsung dengan berbagai aliran yang sedang berkembang di Eropa, pada tahun 1982-an, terutama Marxisme, Leninisme, dan Sosialisme. Lewat pemikiran yang berkembang ini sehingga mereka dapat mendapatkan penjelasan tentang situasi penjajahan dan filsafat determinisme historis.33 Berdasarkan pada pemikiran aliran ini para pelajar yang disebut sebagai Perhimpunan Indonesia (PI), sejak tahun 1925 menyusun ideologi nasional yang terdiri dari empat pokok: Kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi dan swadaya.34 Sebelumnya di Hindia Belanda gerakan menuntut kemerdekaan juga bermunculan, dimulai dari lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 dan Serikat Islam pada tahun 1911, di samping itu juga bermunculan organisasi-organisasi pemuda – mulai dari organisasi kesukuan sampai pada organisasi nasional keagamaan seperti Muhammadiyah pada tahun 1912 dan Nahdatul Ulama (NU) pada tahun 1926.

Pekalongan menjadi penting bagi Muhamad Roem, karena kota ini adalah salah satu dari pusat reformis Islam di tanah Jawa, Muhamad Roem tinggal dalam salah satu keluarga yang menjadi anggota dan sekaligus aktivis salah satu organisasi pergerakan Islam modernis. Kakaknya menjadi sekretaris PSII dan sekaligus tokoh Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan Muhamad Roem menuju ke Jakarta setelah menamatkan AMS 1930.

33

Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Dep. P dan K, 1975), jilid V, hlm. 35

34

John Ingleson, Jalan ke Pengasingan, Pergerakan Indonesia Tahun 1927 – 1934, (Jakarta: LP3ES, 1973), hlm. 7


(37)

Meski menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB) di Jakarta, Muhamad Roem lebih mengenal gerakan PSII daripada gerakan-gerakan lainnya, sekalipun corak pergerakan PSII pada periode itu belum lagi sebagai organisasi gerakan radikal. “Hijrah” yang dipelopori oleh Kartosuwiryo,35 dan menjadi konsep dasar gerakan radikal telah dipisah dari tubuh PSII, dan sebagai gantinya, corak pergerakan PSII dimulai dengan jalan kooperasi dalam bentuk tuntutan bersama (partai-partai lainnya) tentang berdirinya sebuah parlemen di Hindia Belanda.36 Lewat PSII inilah Muhamad Roem berkenalan dengan tokoh muda Islam lainnya, terutama Haji Agus Salim, sang guru Muhamad Roem. Menurutnya radikalisme PSII dan gerakan-gerakan lainnya harus dilihat dari konteks yang luas. Sekitar tahun 20-an telah terjadi depresi ekonomi yang menyebabkan lahirnya perubahan kebijaksanaan pemerintah Belanda. Deliar Noer menjelaskan,37 tingkat ekspor mendorong runtuhnya perusahaan-perusahaan Barat. Keadaan inilah yang mendorong terjadinya penghematan dana. Pajak ekspor dihapus, sementara pajak rakyat naik mencapai 34 gulden pada tahun 1925. Akibatnya, pengangguran meningkat, dan menyebabkan tumbuhnya gerakan radikalisme nasionalis.

Dalam rangka menghadapai aksi-aksi yang dilancarkan oleh organisasi-organisasi pergerakan nasional yang semakin gencar dan radikal itu, pemerintah kolonial merasa semakin terancam kedudukan dan otoritasnya, sehingga tidak

35

Ibid, hlm. 8

36

Lihat G. Van Dikj, Darul Islam, (Jakarta: Grafiti, 1983), cet.ke-1

37

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Jakarta 1900 – 1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 154 – 155


(38)

segan-segan melakukan tindakan keras dan tegas dalam menghadapi aksi-aksi tersebut.38 Pada tahun 1926 terjadi pergolakan besar-besaran di Sumatera Barat, Banten dan beberapa tempat lainnya di Jawa. Situasi ini membuat De Graaf, seorang Gubernur Jenderal yang baru, menindas nasionalis. Pada masa De Graaf ini, masih memberi ruang gerak politik bagi kegiatan kaum nasionalis. Ketika Gubernur Jenderal beralih tangan ke De Jonge, penindasan-penindasan terhadap gerakan-gerakan nasionalis semakin gencar. Peraturan tentang larangan berkumpul dan mengadakan rapat, hukuman bagi pegawai yang menggabungkan diri pada kegiatan “ekstriminis”, hak pemerintah jajahan untuk membuang kaum nasionalis radikal. Soekarno, Muhamad Hatta, dan Syahrir, merupakan tokoh-tokoh nasionalis termasuk yang terkena kebijaksanaan yang baru ini.39

Perubahan-perubahan inilah yang kemudian mendorong surutnya radikalisme. Partai politik yang bersifat non-kooperasi dipaksa untuk bersifat kooperasi. Hal ini menyebabkan partai-partai politik pada waktu itu mendukung berdirinya parlemen.

Dalam konteks PSII, konflik-konflik yang terjadi antara fraksi yang mendukung non-kooperasi dengan fraksi yang mendukung kooperasi telah menyebabkan Haji Agus Salim dan Kartosuwiryo terpental dari PSII. Haji Agus Salim terlempar karena ideologi “hijrah” yang ia usung. Kartosuwiryo yang mengusung dan menekan sifat non-kooperasi bagi PSII, sementara Salim lebih

38

Ibid, hlm. 156

39


(39)

memilih kooperasi. Mereka tidak mendapatkan dukungan sama sekali dari Tjokroaminoto, ketika itu menjabat sebagai ketua PSII. Terpentalnya Kartosuwiryo, juga tidak terlepas dari peran dan tekanan Belanda kepada Tjokroaminoto yang sesungguhnya sudah tidak lagi mendukung konsep hijrah.40

Melihat konteks di atas, Muhamad Roem mengagumi pandangan Haji Agus Salim yang realistis. Baginya, dalam situasi dan kondisi penekanan seperti itu cara untuk mencapai kemerdekaan harus dirubah, yaitu dengan cara perundingan bukan secara radikal. Muhamad Roem pernah ikut berunding dengan Tjarda Van Starkenborgh Stakhouwer, Gubernur Jenderal Belanda, mengenai masa depan Indonesia. Dalam perundingan tersebut, Agus Salim mengusulkan kesediaan rakyat Hindia membantu Belanda dalam perang dunia II dengan syarat, Indonesia harus diberikan kemerdekaan dan menjadi negara merdeka. Sampai Indonesia merdeka, Tjarda tidak lagi mngurusi usulan yang disampaikan oleh Agus Salim tersebut. Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, seluruh partai politik dibubarkan, kendati begitu pengalama dengan Haji Sagus Salim, memberikan arah aktivitas politik Muhamad Roem sebagai pejuang dan perunding.41

B. Muhamad Roem Pejuang yang Realis

Tampaknya dalam konteks Haji Agus Salim inilah Muhamad Roem difahami, yaitu dalam sikap realistis. Apa yang diperoleh Muhamad Roem lebih

40

Suratmin, Op. Cit., hlm. 36 – 37

41


(40)

dikembangkan. Rumusan pandangan realitas diungkapkan dengan pembentukan pribadi yang bebas dan tidak terlalu terikat pada kelompok atau organisasi tertentu. Bentukan sikap inilah yang kemudian menentukan putusan-putusan politik pribadinya.

Adalah wajar, Muhamad Roem sebagai anggota Partai Masyumi yang kurang mendapat dukungan dari kolega-koleganya. Pun terkait dengan pengangkatan dirinya menduduki menteri dalam kabinet, juga bukan atas nama partainya, tapi karena faktor kepribadian dirinya dan atas nama dirinya sendiri untuk duduk dalam satu kabinet.42 Tidak ada keterangan, apakah sikapnya ini dapat memunculkan ketegangan dan konflik antara dirinya dengan pimpinan Masyumi atau tidak. Namun yang jelas, sikap seperti ini telah dibuktikan ketika ia terpilih menjadi ketua PMI atau ketika menerima pencalonannya sebagai anggota parlemen pada pemilu 1972, walau Muhamad Natsir telah mengingatkan dirinya.43

Faktor yang mempengaruhi Muhamad Roem menjadi diplomat dan pejuang bukanlah karena semata-mata bakat atau warisan keterampilan yang diperolehnya dari Haji Agus Salim, melainkan karena pola pikirannya yang realis. Dengan pola pikirnya yang realis itu, membebaskan dirinya dari rasa risih untuk bertindak sebagai perunding, sebab waktu itu, ada kekuatan perlawanan kelompok terhadap

42

Muhamad Roem duduk dalam kabinet Syahrir III atas namanya sendiri, bukan mewakili Masyumi, partainya.

43

Lihat Natsir, Insya Allah Roem Tetap Reom, dalam Soemarso Soemarono, Muhamad Roem: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 209 – 214)


(41)

Belanda lebih menekankan kepada perjuangan fisik daripada berunding secara bijaksana.

Maka pembentukan pola pikir yang bebas bagi Muhamad Roem lebih diprioritaskan untuk lebih memilih lapangan diplomasi atau perundingan dalam tarik menarik kekuatan pro dan kontra perundingan yang akan bisa difahami dengan melihat realitas kekuatan pergerakan sosial dan persenjataan Indonesia pada waktu itu. Dengan melihat situasi semacam ini, sedikitnya Muhamad Roem ditempatkan pada perjuangan kemerdekaan penuh yang mendapat pengakuan formal dari dunia internasional, khususnya Belanda. Dengan itu pula sekaligus menempatkan perjuangan diplomasi dan lokasi tersendiri dalam perjuangan kemerdekaan.44

Sesungguhnya setelah Soekarno dan Muhammad Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan, hampir tidak ada lagi kekuatan-kekuatan bersenjata yang terorganisir dengan rapi, kecuali kekuatan milisi. Pembela Tanah Air (PETA), satu-satunya organisasi bersenjata dengan hirarki yang ketat, dibubarkan beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dari segala penjajahan kolonialisme. Soekarno ingin mencoba menghindarkan pembubabaran PETA ini, namun terlambat. Dengan demikian, pemerintah kehilangan kesempatan selama beberapa tahun untuk mengontrol tentara.45 Kekuatan bersenjata, praktis tidak

44

Subadio Sastrosatomo, “Roem Seperti Saya Kenal”, dalam Soemarso Soemarsono, at. al., (ed), Muhamad Roem: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 269

45

Onghokhan, Soekarno Antara Mitos dan Realitas, dalam Taufik Abdullah, at. al., (ed). Manusia dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1978), hlm./ 38 - 39


(42)

cukup kuat melindungi negara yang baru tumbuh ini dari serangan – serangan luar.

Pada tanggal 23 Agustus 1945, Soekarno mengumumkan berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR), di samping Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI),46 walaupun dilihat dari segi organisasinya, jelas kekuatan bersenjata ini masih sangat lemah, apalagi berdirinya tanpa adanya koordinasi yang terpusat. Pembentukan BKR-BKR di daerah-daerah diserahkan kepada daerah yang bersangkutan. Kondisi yang belum stabil serta belum dibentuknya lembaga-lembaga pemerintah, sehingga kelompok-kelompok radikal yang menolak pembentukan itu membentuk kekuatan tersendiri yang disebut Komite Van Aksi yaitu gabungan dari Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Rakyat Indonesia (BARA) dan Barisan Buruh Indonesia.47

Kekuatan bersenjata inipun tidak memiliki daya untuk menahan masuknya tentara serikat Southeast Asia Command di bawah Pimpinan Laksamana Lord Louis Maunntbetten, yang menimbulkan pertempuran-pertempuran lokal. Baru kemudian disadari perlunya mempersatukan BKR yang dinyatakan dengan maklumat pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945. Dari sinilah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Dalam kemelut ini, TKR hampir tidak mempunyai kesempatan mengembangkan diri, sementara tentara Belanda terus menerus didatangkan.

46

Sartono Kartodirjo, Op. Cit. hlm. 30

15 Komite Van Aksi ini bermarkas di Jln. Menteng 31 Jakarta. Tokohnya antara lain Adam Malik, Sukarni, M. Nitimiharjo, dan lain-lain.


(43)

Mungkin karena ini pula, pihak TKR pun bersedia maju ke meja perundingan sebagai hasil pertemuan Perdana Menteri Syahrir dengan Lord Killiearn pada tanggal 17 September 1945. Pertemuan ini menemukan jalan buntu dan tidak ada kesepakatan apa-apa. Namun sikap ingin berunding dari pihak TKR menunjukan betapa pertempuran fisik bukanlah satu-satunya jalan untuk berjuang.48

Kegagalan persetujuan gencatan bersenjata ini punya implikasi yang cukup luas terhadap sistem pertahanan Indonesia sekaligus semakin membuktikan bahwa, perjuangan diplomasi merupakan alternatif satu-satunya yang harus ditempuh. Setelah Belanda melaksanakan penafsiran yang sepihak terhadap perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, serbuan tentara Belanda hampir-hampir tak tertahan lagi. Yogyakarta, Ibukota negara RI, setelah dihujani bom pada tanggal 19 Desember 1948, jatuh ke tangan Belanda. Soekarno, Hatta, Syahrir, Muhamad Roem, Ali Sastroamijoyo dan lain-lain ditawan.49 Indonesia dihadapkan pada satu realitas, melanjutkan perjungan fisik dengan konsekwensi kedaulatan penuh masih harus diperjuangkan dalam masa yang belum dapat ditentukan atau bersedia berunding.

Dalam korelasi inilah dimensi perjuangan diplomasi menjadi amat penting. Sebab di bawah dominasi kekuatan Belanda yang menyeluruh, hanya ada dua kekuatan yang harus ditempuh. Pertama, opini dunia terhadap agresi Belanda I dan II serta kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri yang mampu

16 Ibid, hlm. 31

49


(44)

memanfaatkan kekuatan opini tersebut untuk perjuangan. Muhamad Roem hampir sepenuhnya berada pada dunia ini. Debut pertama diplomasinya berlangsung ketika RI semakin lama semakin tergerogoti. Ketika ia menerima amanat sebagai Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Syahriri III pada tahun 1946, ia sangat sadar bahwa wilayah Republik Indonesia yang efektif hanyalah di Yogyakarta dan Banda Aceh. Alasan inilah yang kemudian mendorong Muhamad Roem menerima atau menjadi anggota delegasi perjanjian Linggarjati, walaupun Masyumi sendiri menolak perjanjian tersebut.50

Perjanjian diplomasi ini merupakan jalan panjang yang mendebarkan, karena setiap perundingan melahirkan kekeruhan walau hasil yang dicapai dapat dijadikan dasar pijakan dalam perundingan selanjutnya. Betapapun perjanjian Linggarjati diliputi kekeruhan,51 kondisi struktural mengharuskan perjuangan diplomasi berjalan terus tidak berhenti. Serangan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia yang membuktikan amarah dunia menyebabkan pada tanggal 1 Agustus 1947 – Dewan Keamanan PBB menyerukan supaya permusuhan di Indonesia diselesaikan dengan satu perantara, atau dengan cara yang damai. India, Australia mengecam Belanda dengan pelanggaran perdamaiannya, sementara Syahrir diberikan kesempatan di Dewan Keamanan PBB untuk mengajukan pendapat Indonesia menyelesaikan keadaan tersebut.52 Atas prakarsa Amerika Serikat, pada tanggal 18 September 1947 lahirlah Komite Tiga Negara (KTN) yang dibentuk

50

Ibid, hlm. 32

51

Ibid, hlm. 32

52


(45)

oleh PBB. KTN ini merupakan suatu perdamaian PBB untuk menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda. Pembentukannya dilaksanakan dengan cara masing-masing pihak yang bersengketa mengusulkan satu orang anggota. Dan kemudian, dua anggota yang telah ditunjuk tersebut menunjuk satu anggota tambahan. Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia, lalu keduanya memilih Amerika Serikat.53

Hampir bersamaan dengan tekanan-tekanan internasional itu, di Indonesia terjadilah perubahan-perubahan politik yang menentukan nasib Muhamad Roem dalam dunia diplomasi. Kegagalan dalam perjanjian Linggarjati telah mencoreng dan telah menimbulkan kegagalan serta krisis dalam kepemimpinan Syahrir. Amir Syarifudin muncul sebagai Pedana Menteri baru. Baru pada anggal 13 November 1947, Masyumi yang semula menolak duduk dalam kabinet , kini menerima seruan Amir Syarifudin memperkuat kabinetnya. Muhamad Roem yang ikut jatuh bersama Syahrir muncul kembali sebagai menteri, mewakili Masyumi.

Dalam kabinet Amir Syarifuddin inilah, atas prakarsa KTN usaha-usaha perundingan Indonesia – Belanda dilaksanakan kembali. Perundingan ini terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal Renville yang kemudian dikenal dengan sebutan “Perjanjian Renville”. Keikutsertaan dalam perundingan Lingarjati tetap mengikat Muhamad Roem untuk terus menekuni bidang ini. Sehingga setelah terjadi krisis kabinet Amir Syarifuddin yang tidak lama

53

Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), jilid IV, hlm. 137


(46)

kemudian dan dibentuk kabinet baru di bawah Pimpinan Muhammad Hatta, Muhamad Roem ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perundingan-perundingan selanjutnya. Kabinet baru ini mencanangkan 4 pasal program, yaitu: Pertama, berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville; kedua, meningkatkan pembentukan Indonesia Serikat; ketiga, rasionalisasi tentara dan ekonomi; empat, pembangunan fisik akibat kerusakan-kerusakan perang atas pendudukann Jepang.

C. Keterlibatan Muhamad Roem dalam Perundingan

Dalam realisasi perundingan – sebagaimana yang telah dicanangkan kabinet Muhammad Hatta di atas yaitu dalam melakukan perundingan dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville, Muhamad Roem menghadapi persoalan yang berat, karena pasca perundingan Renvcille Belanda kembali melanjutkan aksinya dengan melakukan agresi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948 dengan menyerang RI ke Ibukota Yogyakarta. Belanda menunjukkan sikap optimisme dalam perundingan selanjutnya (Roem – Royen) bahwa perundingan yang akan diselenggarakan adalah suatu peristiwa yang menentukan atas kemungkinan Belanda bisa kembali menguasai Indonesia sebagai daerah jajahan, atau lepas sama sekali untuk selama-lamanya, karena Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Besarnya tekanan opini dunia serta meningkatnya ekspansi usaha-usaha diplomat Indonesia ke luar negeri mempersukar Belanda untuk berusaha kembali


(47)

menguasai Indonesia sebagai daerah jajahan – sebagaimana yang telah dan pernah mereka lakukan.

Belanda mencoba untuk bertahan dengan pendapat dan argumentasinya dalam perundingan yang berlangsung pada pertengahan bulan Maret 1948. Dalam perundingan tersebut, Belanda tetap pada prinsipnya, yaitu adanya keinginan untuk mendirikan negara-negara bagian di Indoensia. Walau demikian sikap yang ditunjukkan oleh Belanda, Indonesia tidak tinggal diam dan pasrah serta tunduk dengan pengaruh Belanda, justru Indonesia semakin termotivasi dan terus melakukan diplomasi hingga ke luar negeri. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi negara-negara lain, agar dapat mengakui secara de facto bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang merdeka dan lepas dari intervensi penjajahan. Nampaknya, Belanda di lain pihak juga tidak mau mengalah dan terus berusaha dengan gigih untuk tetap bertahan, sehingga terjadi hubungan tegang antara Indonesia – Belanda, tetapi juga antara Belanda dengan KTN, yaitu Australia, Belgia dan Amerika Serikat.54

Kerasnya sikap Belanda ini juga ada hubungannya dengan pergerakan kelompok-kelompok kekuasaan di negeri Belanda sendiri. Pada bulan Juli 1948, kekuatan kaum kanan Belanda semakin membesar, dan mendesak kelompok kiri. Dr. Dresa dari partai Buruh yang terpilih menjadi Perdana Menteri, ternyata tidak cukup tangguh mempengaruhi tekanan-tekanan kaum kanan. Situasi ini semakin tegang dengan naiknya Dr. Emmanuel M.J.A. Sassen sebagai menteri seberang

54


(48)

lautan. Naiknya Sassen mempengaruhi tekad Belanda dalam perundingan di Indonesia.55

PBB tidak berhasil menembus kemacetan,56 situasi politik di Indonesia semakin keruh. Hal ini disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan Belanda dalam perundingan Renville dengan melakukan agresi militer kedua ke kota Bandung, Cilacap dan sekitarnya. Situasi yang demikian ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu dalam usaha untuk menjatuhkan kabinet Muhammad Hatta, seperti PKI dan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Akhirnya, pada tanggal 18 Desember 1948, PKI dan FDR melakukan pemberontakan di Madiun di bawah pimpinan Musso, Amir Syarifuddin, Setiadji, dan lain-lain. Pemberontakan ini justru terjadi di tengah-tengah blokade Belanda semakin ketat.

Bersamaan dengan itu, di dalam anggota delegasi KTN pun terjadi perubahan. Mehre Cochran menggantikan Graham. Atas nama PBB Cochran membuat usul baru yang sebenarnya menguntungkan pihak Belanda.57 Namun ditolak Belanda, karena hak komisi agung Belanda tidak termasuk hak mengirimkan tentara-tentara Belanda ke wilayah-wilayah manapun yang dikehendaki. Muhamad Roem dan kawan-kawan tentu saja menolak usul tersebut, sebab tidak hanya

55

Fachri Ali,

56

Untuk menembus kemacetan, Du Bois dari AS yang menggantikan Graham dan Thomas K. Crichtly (Australia) mengajukan usul-usul sebelumnya, namun ditolak Belanda, pada tanggal 1 Juli 1948 PBB bersidang mengenai Indonesia. Sayangnya AS yang menolak usun Du Bois yang disiukan Cina. Akibatnya, terjadi kemacetan total dalam perundingan.

57

Usul Cochran dalah pembentukan pemerintah federal Indonesia yang dikepalai oleh komisaris Agung Belanda dengan kekuasaan yang amat luas. Ia dapat memveti badan Legislatif dan wewenang untuk memerintah. Lihat Sartono Kartodirjo, op. cit, hlm. 139


(49)

mengembalikan kekuasaan Belanda, tetapi sekaligus menghapuskan Tentara Nasional Indonesia (TNI).58

Dinamika pertumbuhan situasi inilah yang mendorong Belanda melakukan agresi ke II menganeksasi Yogyakarta, daerah inti pemerintahan Indonesia. Dalam aneksasi ini presiden dan wakil presiden memilih untuk menyerah.59 Praktis seluruh pemerintah Indonesia runtuh, kecuali PDRI yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara di pendalaman Sumatera Barat.

Serangan Belanda tidak menghasilkan alih kekuasaan, kecuali kemenangan militer. Reaksi dunia terhadap peristiwa itu semakin keras. Tiongkok, Kuba, Amerika, dan Norwegia mengajukan resolusi ke PBB pada tanggal 19 Januari 1949. Isinya adalah sebagai berikut:

“Menyerukan kepada Belanda agar segera menghentikan serangan operasi militernya, dan kepada Republik untuk memerintahkan kepada pengikutnya menghentikan serangan grilya. Tahanan politik Indonesia dibebaskan segera tanpa syarat dan dibolehkan kembali sekaligus ke Yogyakarta…..agar mereka dapat melanjutkan tugasnya dalam kebebasan penuh, termasuk pemerintah kota Yogyakarta” 60

Resolusi ini lebih disempurnakan dalam konferensi New Delhi. Atas desakan Amerika Serikat, tanggal 28 Januari 1949, PBB berhasil memutuskan Resolusi. Resolusi serta merta menggoncangkan politik Belanda. Sassen Menteri seberang lautan, jatuh dan diganti J.H. Van Maarseveen. Perubahan politik di Belanda dan penggantian menteri seberang lautan mengubah pula pandangan perundingan

58

Fachri Ali, op, cit. hlm.

59

Soekarno, Haji Agus Salim dan Syahrir ditawan di Berastagi. Sementara Muhammad Hatta, Muhamad Roem, Ali Sastromijoyo, Asa’at, Pringgodigdo dan komodor Suryadarma di Bangka.

60

Muhamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), jilid II, hlm. 33


(50)

dengan Indoensia. Perundingan harus terus dilaksanakan. Untuk itu tempat Soekarno dan Haji Agus Salim dipindahkan dari Berastagi ke Bangka, agar mereka bisa saling berhubungan dan berkomunikasi dengan Muhammad Hatta dan kawan-kawan, untuk membahas rencana perundingan Beel.61 Menurut rencana, pemerintah Belanda mengundang perwakilan dari Indonesia untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan maksud menyerahkan kedaulatan kepada negara Indonesia Serikat. Namun usul ini ditolak oleh Soekarno dan Hatta, jika kedudukan Republik Indonesia tidak dipulihkan terlebih dahulu.

Pada tanggal 7 Mei 1949 diadakan pertemuan antara delegasi Indonesia dengan Belanda dimana dilangsungkan “Van Roeyen – Roem Statements”, maka Dr. Beel menyadari bahwa yang akan dilaksanakan adalah resolusi Dewan Keamanan dan karena tidak ada lagi rencana Beel, maka tidak ada lagi Dr. Beel sebagai wakil Tinggi Kerajaan Belanda, ia minta berhenti. 62 Muhamad Roem dalam situasi ini, sebagai ketua delegasi, dihadapkan pada dilema, sebab Soekarno dan Hatta menyetujui KBM dengan catatan kedudukan RI kembali ke Yogyakarta, Ibu Kota negara RI, padahal sebelum ditawan, Presiden telah memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara menjadi Presiden PDRI, sehingga acara formal PDRI lah yang berhak melaksanakan perundingan.

61

Dr. Beel merupakan wakil tertinggi Ratu Belanda di Indonesia. Lebih jelas lagi lihat Ronald Gase, Beel in Batavia. Van Contact tot Conflict Verwikkelingen rond de Indonesische Kwestie in 1948, (Anthos: Uitgeverij In den Toren, 1986), hlm. 50 – 53

62


(51)

Masyumi mendukung pendapat ini. Bahkan Muhammad Natsir, Dr. Dermawan Setiawan dan DR. Halim sengaja datang ke Bangka untuk merealisasikan pendapat ini. Namun Muhamad Roem lebih memihak pada Soekarno – Hatta dan tidak mendukung pendapat Masyumi. Sikap Muhamad Roem terbukti dengan penolakannya atas undangan Cochran untuk memulai perundingan pada tanggal 30 Maret 1949. Muhamad Roem bersikap sama dengan Soekarno – Hatta, bahwa ia memulihkan kedaulatan pemerintah RI ke Yogyakarta merupakan syarat memulai perundingan. Sebab, menurut Muhamad Roem tanpa itu akan menimbulkan kesalah pahaman. Muhamad Roem bersedia hanya membicarakan segi-segi praktis secara detil bagi pemulihan RI, lebih dahulu di Yogyakarta.63

Ketika perundingan berlangsung yang kemudian terkenal dengan “Roem – Royen Statement” berlangsung pada tanggal 14 April 1949, Muhamad Roem mengecam serangan-serangan Belanda. Dalam pidatonya ia menyatakan, agresi Belanda kedua telah mengakibatkan kehilangan kepercayaan rakyat Indonesia bagi berhasilnya suatu perundingan damai.

Sesungguhnya, perundingan yang berlangsung di hotel Des Indes, Jl. Molenvliet,64 merupakan suatu perundingan yang sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia yang berdaulat, sebab pertempuran lokal yang hanya terjadi di daerah pinggiran, sementara pusat sudeh dikuasai oleh Belanda. Roem – Royen

63

Soemarso Soemarsono, Roem Sebagai Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), cet. ke-1, hlm. 135

64

Sekarang diganti dengan Jl. Gajah Mada. Tempat tersebut kini menjadi pertokoan Duta merlin.


(52)

Statement merealisasikan konflik yang jika dilihat dari perspektif perjuangan militer sangat sukar dicapai dalam waktu singkat. Dalam hal ini, Statement Roem sebagai ketua delegasi Republik Indonesia yang diberi kuasa oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta menyatakan: Pertama,

mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. Kedua, bekerja sama dalam hal pengambilan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan. Ketiga, turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang lengkap kepada Negara Republik Indonesia Serikat, dengan tiada bersyarat.

Sementara Statement Royen menyatakan: Pertama, Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melaksanakan jabatan yang sepatutnya dalam suatu daerah yang meliputi kepresidenan Yogyakarta. Kedua, Pemerintah Belanda sekali lagi menguatkan kesanggupan untuk menjamin penghentian segera tanpa syarat tahanan politik yang ditangkap sejak tanggal 17 Desember 1948 dalam RI. Segera setelah persetujuan ini, proses pencapaian kedaulatan RI berjalan lebih lancar. Pada tanggal 10 Juni 1949, ditetapkan pertemuan antara Indonesia dan Belanda, yang diikuti oleh negara federal dan KTN. Pada tanggal 22 Juni 1949 Royen mengumumkan penarikan pasukan Belanda. Selanjutnya, giliran Soekarno – Hatta dielu-elukan rakyat Yogyakarta sekembali nya dari tahanan mereka di Bangka. Semua yang terjadi ini adalah berkat usaha dan diplomasi yang dilakukan oleh Muhamad Roem.


(53)

BAB IV

PERAN POLITIK MUHAMAD ROEM DI INDONESIA

A. Keberadaan Muhamad Roem dalam Partai Masyumi

Proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memberikan kesempatan baru bagi warga dan rakyat Indonesia untuk membentuk partai-partai politik sebagai sarana dan media penyaluran aspirasi. Pembentukan partai-partai politik ini adalah wujud dari demokratisasi yang dinyatakan dalam pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh oleh rakyat Indonesia khususnya umat Islam. Maka pada tanggal 7 – 8 November 1945 melalui sebuah kongres umat Islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). 65 Tetapi tidak sama dengan Masyumi “buatan Jepang” , karena ia dibentuk dan didirikan oleh umat Islam sendiri tanpa campur tangan pihak lain, sekalipun nama lama tetapi dipakai. Dalam pengakuan Muhamad Roem,66 ia sebetulnya tidak setuju dengan nama Masyumi itu karena kedengarannya berbau Jepang. Walaupun bisa disesuaikan dengan singkatan yang dimaksud Majelis Syura Muslimin Indonesia.Muhammad Roem dan Haji Agus Salim mengusulkan nama ‘’Partai Rakyat Islam’’. Tetapi mereka berdua kalah suara dengan yang lain –lain.

65

Harun Nasution, Ensiklopedi Islam, II, (Jakarta: Departemen Agama, IAIN Jakarta, 1987/ 1988), cet, ke-I, hlm. 61

66

Soemarso Soemarsono, Muhamad Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 63


(54)

Masyumi pada periode pembentukannya merupakan masa kongkrit. 67 Sebab, partai ini mendapat sambutan hangat dari hampir semua gerakan Islam Pra perang Dunia II, baik nasional maupun lokal, politik maupun sosial keagaman. Pembentukan Mayumi bertujuan untuk menyalurkan aspirasi politik ummat sebagai cermin dari potensi mereka yang sangat besar dan kongkrit. Ungkapan masa kongkrit ini disampaikan oleh Muhammad Natsir pada masa Orde Baru, merupakan reaksinya terhadap konsep masa mengembangkan (Floating ,mass ) yang menjadi ciri kehidupan politik Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini. Bila dikorelasikan dengan kondisi tahun 1945, maka pembentukan Masyumi merupakan ‘’massa kongkrit’’, karena tanpa pimpinanan partai politik yang berdasarkan Islam akan sudah jatuh ke tangan mereka yang sudah sejak semula menentang implementasi Syariah dalam kehidupan bernegara pada pasca kemerdekan Indonesia.68

Dilihat dari sisi lain, munculnya Masyumi pada tahun 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban ummat terhadap manifesto politik Wakil Peresiden Muhammad Hatta tanggal 1 November 1945 yang mendorong pembentukan partai. Pemimpin-pemimpin umat memanfaatkan kesempatan baik seperti halnya golongan-golongan lain berbuat serupa.69Dalam kepengurusan hasil kongres Masyumi bulan November tahun 1945 di Yogyakarta , lebih mewakili organisasi

67

Lihat Syafaat Mintarja, Islam dan Politik Islam dan negara di Indonesia ,(Jakarta: :t.p.,1973), cet. ke-1, hal.24

68

Pusat Komite Pemilihan Umum Masyumi , Masyumi Mendukung Repumbelik Indonesia, (Jakarta: t t .) ,hal .12

69

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta : LP 3S ,1978), Cet. ke-II, hlm. 111


(55)

massa dan politik yang berasal dari zaman penjajahan. Ini mencerminkan juga kondisi massa itu, berupa kebulatan tekad untuk bersatu.70 Sekalipun organisasi Islam sebelum perang menyokong Masyumi, namun dukungan terbesar diberikan oleh NU dan Muhammadiyah. Masyumi secara organisasi adalah sebuah badan federasi,71 di dalamnya terdapat anggota biasa (perorangan ) dan anggota luar biasa (kolektif),seperti Muhammandiyah dan NU.72

Tentunya partai yang bersifat federatif memiliki kekuatan maupun kelemahan, lantaran wataknya yang demikian itulah, partai ini berhasil menarik organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok muslim untuk menyertainya. Ini kekuatannya, tetapi di balik itu tersembunyi pula kelemahannya, yaitu sering menonjolnya semangat golongan mengalahkan semangat peraturan dalam tubuh partai. Pada suatu waktu semangat golongan ini sangat dominan,73 sehingga sering menempatkan partai pada posisi yang sulit dalam menyusun suatu dewan pimpinan yang kuat dan tangguh. Walaupun mekanisme Syura berlaku dalam Msyumi, namun tidak selalu mudah dalam organisasi federatif. Erat kaitannya dengan fenomena tersebut, bahwa dalam dewan eksekutif Masyumi sendiri

70

Daliar hoer, Partai Islam di Pentas Nasional, ( Jakarta : pt , Pustaka Utama Grafiti, 1987 ), cet. ke-I,h.99

71

Gabungan badan badan atau himpunana baik sosio- keagamaan politik, dan negara. Lebih jelasnya lihat Mariam Budiarjo,dalam ‘’Dasar dasar Ilmu Politik’’ ( Jakarta : Geramedia, 1912 ), cet, ke-I ,hal. 138-146

72

Ahmad Syafii Ma’arif, op.cit. , hal .112

73


(56)

didominasi oleh kelompok modernis sehingga terjadi dua atau tiga kelompok yang mempunyai organisasi ideologi politik yang beda.74

Hasil muktamar Masyumi di Yogyakarta Muhamad Roem dimasukkan anggota pusat Masyumi, padahal ia sebagai pendiri partai politik Islam tersebut. Ditempatkannya ia sebagai anggota, karena ketika Muktamar berjalan ia harus kembali ke Jakarta. Dan beberapa hari di Jakarta menjalankan tugas sebagai Ketua Komite Nasional Jakarta Raya, tiba-tiba mengalami musibah ditembak oleh tentara Belanda. Dengan demikian Muhamad Roem tidak ikut serta dalam kegiatan partai politik tersebut. 75

Peranan politik Muhamad Roem dalam Partai Masyumi memang tidak seperti Muhammad Natsir dan Dr Soekiman. Mereka berdua sama-sama tiga kali menjabat sebagai ketua partai Masyumi Pusat, sedangkan Muhamad Roem hanya sebagai anggota pusat, dan sekali menjabat sebagai wakil ketua II pada masa presiden Masyumi dipimpin oleh Dr Soekiman pada tahun 1951 dan jabatan terakhirnya di Partai Masyumi menjadi wakil ketua III pada masa pimpinan Prawoto Mangu Sasmito pada tahun 1959 setahun sebelum Partai Masyumi dibubarkan.

74

Ketiga kelompok tersebut adalah, pertama, kelompok sosialis religius yang lebih berfikir secara Barat Dr. Soekiman, Yusuf Wibisono dan Abu Hanifah. Kedua, kelompok moderat, yang terdiri di antaranya dari Muhamad Roem, Muhammad Natsir, dan Syafrudin Prawiranegara. Dan ketiga, kelompok konserfatif yang umumnya terdiri dari pimpinan-pimpinan agama muslim.

75


(57)

Di antara pengurus Masyumi tahun 1945 yang tetap ikut menjadi pengurus pada periode selanjutnya ialah Muhamad Roem dan Prawoto Mangu Sasmito.76 Kedudukan beliau dalam Masyumi bersama-sama Muhamat Natsir, Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Jusuf Wibisono, Dr. Abu Hanifah, Mr. Syarifudin Prawiranegara dan sebagainya. Karir yang dirintis melalui partai Masyumi inilah yang mengantar menjadi negarawan yang disegani. Selain itu Muhamad Roem bekas seorang pimpinan pergerakan penyadar pada masa sebelum perang, berkali-kali duduk dalam kabinet, baik pada masa revolusi maupun masa sesudahnya.

B. Kiprah Muhamad Roem Dalam Pemerintahan

Peran politik Muhamad Roem pada penandatanganan persetujuan Roem-Roeyen statement tanggal 14 April 1949 adalah sebagai ketua delegasi Indonesia. Penandatangan Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 2 November 1949 sebagai wakil ketua delegasi Indonesa. Ia benar-benar memikul beban tugas yang dipercayakan padanya sebagai seorang diplomat. Sebagai negarawan, ia pernah memegang jabatan penting dalam Pemerintahan Republik Indonesia. Menjadi Menteri Dalam Negeri pada masa kabinet Syahrir III dan kabinet Amir Syarifuddin II, menjadi Menteri Luar Negeri pada masa Kabinet Muhammad Natsir dan menjadi wakil perdana Menteri pada masa Kabinet Ali Sastroamijiyo.77 Di bawah ini penulis akan menjelaskan satu persatu.

76

Deliar Noer, Op. Cit . , hal. 106

77


(58)

a. Sebagai Menteri Dalam Negeri (1946 – 1947)

Cukup lama Muhamad Roem beristirahat dalam segala aktivitas politik, karena sakit, akibat ditembak tentara Belanda. Pada suatu hari diajak oleh Mr. Kasman Singodimejo ke Yogyakarta. Di sana dia diminta untuk duduk dalam pengurus, akhirnya Muhamad Roem duduk sebagai Ketua bagian Partai Masyumi. Bung Hatta yang waktu itu sebagai Wakil Presiden membujuk Muhamad Roem untuk ikut serta dalam kabinet Sultan Syahrir yang akan dibentuk oleh Sultan Syahrir sendiri. Muhamad Roem sempat berfikir ada tujuan apa ia diminta untuk turut serta dalam kabinet Syahrir, tapi Bung Hatta sudah percaya dengan kompetensi seorang Muhamad Roem.78

Kemudian Muhamad Roem berkonsultasi dengan Dr. Sukiman, waktu sebagai Ketua Umum Partai Masyumi. Dr. Sukiman tidak setuju kalau Muhamad Roem mewakili Masyumi dalam Kabinet RI, tetapi tidak keberatan ikut serta sebagai perseorangan. Akhirnya Muhamad Roem juga menjadi Menteri Dalam Negeri sebagai perseorangan. Sebaliknya, Syahrir duduk, mewakili partainya. Ini berarti baru saja tiga bulan Muhamad Roem turut aktif dalam pengurus Pusat Masyumi di Yogyakarta, sudah harus melepaskan lagi, karena telah diangkat menjadi sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Syahrir yang ke III.79

Peristiwa ini terjadi yang kedua kali, seorang Menteri dari Masyumi duduk dalam kabinet, tetapi lebih banyak sebagai perseorangan dan bukannya secara

78

Soemarso Soemarsono, Op. Cit., hlm. 65 – 66

79


(59)

formal mewakili Masyumi, sedang sebelumnya adalah haji Muhammad Rasyidi (Menteri Agama) dalam kabinet Syahrir I.

Kabinet Syahrir pertama mulai bekerja pada tanggal 14 November 1945, sebagai perubahan dari kabinet RI yang pertama yang dipimpin oleh presiden Soekarno dan Wakil Muhammad Hatta. Meskipun terjadi pergeseran – pergeseran politik dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang didahului oleh desakan politik ekstrim dari kelompok Tan Malaka, ternyata Sutan Syahrir memperoleh kemenangan dan memperbesar pendukungnya dalam KNIP. Hal itu terutama disebabkan tersiarnya brosur politik kecil oleh Syahrir yang berjudul “Perjuangan Kita” yang isinya antara lain mengecam keras mereka yang pernah kerja sama dengan tentara pendukung Jepang. Brosur kecil yang di mulai beredar pada akhir Oktober 1945 itu memperoleh dukungan luas sehingga dapat dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan konsitusional dari bentuk kabinet peresidentil menjadi kabinet yang dipimpin seorang Perdana Menteri.80

Dengan demikian korelasi “perorangan” atau ”Formil”antara seorang menteri yang duduk dalam kabinet dengan pusat pimpinan Partai Masyumi, menjadi kabur. Secara formil masih menjadi perbedaan pendapat, tetapi secara de Facto81 semuanya berjalan terus. yaitu, di satu pihak Partai Masyumi yang menolak

80

Pebedan kabinet peresidentil dan minstril adalah peresidentil kabinet yang menteri menterinya diangkat dan diberhentikan dan bertanggung jawab pada peresiden. sedangakan ministriil kabinet yang bertanggung jawab kepada perdana menteri . Lebih jelas lagi lihat hal .2 pada

pendahuluan Soemarso, Soemarsono, Ibid

15 pengakuan berdasarkan realitas, walaupun dalam tubuh Masyumi terjadi kesalah pahaman namun tetap menteri-menteri bersikap realistis.


(60)

perundingan-perundingan dengan Belanda, tetapi menteri-menteri (Masyumi) mengikuti perundingan-perundingan dengan Belanda.82

Pada tahun 1946 kekuasan pemerintah diserahkan kembali oleh Presiden kepada kabinet yang lagi-lagi dipimpin oleh Syahrir. Kabinet ke tiga Syahrir ini terdiri atas 30 anggota dan bersifat nasional. Termasuk didalamnya enam orang anggota Masyumi, yaitu Muhamad Roem ( Mentri Dalam Negeri), Jusuf wibisono (mentri muda kemakmuran), Muhamad Natsir ( Mentri Penerangan ), Syarifuddin Prawira Negara ( Mentri Keuangan ), Faturahman ( Mentri Agama ), dan KH.Wahid Hasyim ( Mentri Negara ).83 Bahkan menurut Soemarso Soemarsono tidak hanya yang tersebut di atas, melainkan masih ada dua orang pimpinan lagi yaitu Haji Agus Salim ( Mentri Muda Luar Negeri ) dan A.R Baswaden (Mentri muda Penerangan ) walau sebagai perseorangan dan mewakili golangan minorias keturunan Arab, tetapi berasal dari lingkungan Masyumi.84 Kegiatan Syahril berhasil mengadakan persetujuan perjanjian dengan pihak Belanda yang dikenal dengan nama persetujuan Linggajati,85 yang diparaf bersama Indonesia dan Belanda tanggal 15 November 1946 di linggajati ( Cirebon ).86 Sayang sekali persetujuan itu diterima dengan sikap permusuhan oleh partai-partai tertentu termasuk di dalamnya Masyumi. Sukiman sendiri mengatakan bahwa persetujuan itu demokratis sifatnya, tetapi ia juga mengemukakan perasaan kebanyakan

16 Ibid

83

Daliar Noer, op.cit., hal., 163

84

Soemarso Soemarsono, op. cit., hal., 67

85

Delegasi Indonesa diketahui oleh sutan syahrir dan delegasi Belanda oleh Schermerhorn.

86


(1)

keahlian sebagai juru runding, dan figur politik yang disegani oleh tokoh-tokoh nasional maupun internasional. Oleh sebab itu, karena Muhamad Roem adalah bagian dari sejarah dan kiprahnya telah membawa perubahan bagi bangsa ini sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia internasiona, maka mengkaji dan menelusuri kiprah politiknya adalah sangat bermanfaat bagi perkembangan intelektual.

Keberadaan Muhamad Roem bisa diterima oleh kalangan manapun – baik Islam maupun nasionalis adalah tidak terlepas dari sikap moderat yang ia miliki. Artinya, dalam suasana demokratisasi di era reformasi ini di mana bahwa ada kelompok-kelompok tertentu dengan prinsip dan radikalismenya hendak membuat perubahan dan terobosan baru dalam dunia politik maupun hukum. Yang hendak penulis katakan bahwa untuk menghadapi realitas yang ada, sikap kooperatif dan moderat – sebagaimana ditunjukkan Muhamad Roem – adalah saran dan jawaban dalam menjawab hegemoni pemikiran dan aksi politik yang berkembang.

Pada akhir tulisan ini penulis ingin mengatakan lepada pembaca yang budiman bahwa perkembangan hidup manusia yang akan datang adalah cerminan masa ini dan sejarah masa lalu. Penulis melihat, Muhamad Roem kurang muncul di permukaan – sebagai tokoh pemikir dan pejuang – dalam dunia akademisi dan keilmuan, dibandingkan dengan Hamka, Agus Salim dan yang lainnya. Oleh sebab itu karya ilmiah yang sederhana ini hadir sebagai jawaban atas persoalan di


(2)

atas, sekalipun penulis belum bisa menghadirkan sajian secara komperhensif. dan bermutu.

Penulis pun tidak menutupi diri dengan segala kekurangan-kekurangan yang ada dalam tulisan ini. Sebagai manusia yang memiliki kelemahan dan kekurangan – baik dalam kapasitas keilmuan dan pengalaman – sehingga penyajian tulisan ini kurang maksimal atau bahkan masih jauh dari nilai akademik dan keilmuan, karena kekurangan pada diri penulis adalah kelebihan pada diri orang lain. Oleh karena itu, apa yang pembaca lihat dalam tulisan ini adalah sebagai sarana yang baik dalam rangka meningkatkan mutu keilmuan dan evaluasi untuk meraih hari depan yang berkualitas dari hari ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,Taufik, Manusia DalamKemelutSejarah, Jakarta: LP3ES, 1978, cet.ke-1 Agung,Ide Anak Agung Gede, Dari Indonesia TimurKe Republik Indonesia

Serikat,Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1985

Alfian, Hasil Pemeilihan Umum 1945 Untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta: Leknas, 1972

Anshory, H. Endang Syaifuddin, Piagam Jakarta, Bandung: Pustaka Yayasan Masjid Salman, 1981

Budiardjo, Miriam, Prof, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1991 ,cet. Ke-XIII

Hardi, Api Nasionalisme; Cuplikan Pengalaman, Jakarta: Gunung Agung, 1983 Hatta, Muhammad, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta: Tinta

Mas, 1987

Ingleson, John, Jalan Ke Pengasingan; Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927 – 1934, Jakarta: LP3ES, 1977

Kahin, G. M. T, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, Terjemahan, Kualalumpur, 1980, cet. Ke-1

Mintarja, Syafa’at, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta: Tanpa Nama Penerbit, 1979, cet. Ke-1

Ma’arif, Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan ,Jakarta: LP3ES, 1985

Mochtar, Kustiniyati, Muhamad Roem; Diplomasi Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta: PT.Gramedia, 1989, cet. Ke-1

Nasution, A. H, Memenuhi Panggilan, Jakarta: GunungAgung, 1985

………, Sekitar Perang Kemerdekaan, Bandung: Angkasa, 1979, cet. Ke-1, jilid 10


(4)

Nasution, Harun, Prof, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Depag RI,IAIN, Jakarta: 1987, cet. Ke-1

Natsir, Muhammad, Capita Celekta, Jakarta: Pustaka Pandis, 1957

Niel, Van, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984 Noer,Deliar, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900 – 1942, Jakarta: LP3ES

…………..., Partai Islam di PentasNasional 1945 – 1965, Jakarta: Grafiti Press, 1987, cet. Ke-1

Prawiranegara, Syaifuddin, Indonesia di Persimpangan Jalan, Jakarta: Yayasan Al Ma’arif Bandung, 1951

Condronegoro, Purnawan, Merdeka Negeriku Merdeka Tanahku ,Jakarta: CV Mas Agung, 1987, cet. Ke-1

Pustaka Indonesia, Putusan Muktamar ke-IV Masyumi, Malang: 1950

Roem,Muhamad, Jejak Langkah Agus Salim; Pilihan Karangan,Ucapan danPendapat Beliau dari DuluSampai Sekarang ,Jakarta: Tinta Mas, 1945 ………, Pelajaran dari Sejarah, Surabaya: Documenta, 1970

………, Monogamy Poligamy dan Peradilan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

……….., Suka Duka Berunding dengan Belanda, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975

……….., Sumpah Pemuda Puncak Awal Pertumbuhan, Yayasan Pajar Shodiq, 1975

……….., Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, Jilid II

……….., Bunga Rampai Dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, cet.ke-1


(5)

……….., Dalam Bung Hatta, Mengabdi Pada Cita-Cita Perjuangan Bangsa, Jakarta:Panitia HUT Bung Hatta, 1972, cet.ke-1

Kartodirjo, Sartono, Sejarah Nasional Indonesia Baru; Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jakarta: PT.Gramedia,1990 ,jilid ke-2

………., Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, Jilid IV Sekretaris Negara RI, 30 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: PT Lamtoro Gung

Persada, 1985, cet. Ke-4

Suratmin, Mr. Muhamad Roem Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Depertemen P& K, 1986

Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, Van Hoeve, 1980

Soemarsono, Soemarso, Roem Sebagai Perunding, Jakarta: Bulan Bintang,1970 ……….., Muhamad Roem 70 Tahun Pejuang dan Perunding, Jakarta:

Bulan Bintang, 1978, cet. Ke-1

Tobing,K.M.L, Pejuang Fisik Bangsa Indonesia KBM, Jakarta: CV. Mas Agung, 1987,cet.ke-1


(6)