Peran Kampus dalam Perpolitikan indonesia

Peran Kampus dalam Perpolitikan
Di awal abad ke 20, terjadi apa yang disebut kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Kebangkitan itu hanya digawangi oleh segelintir orang yang belakangan kita sebut
mereka sebagai para Founding Fathers bangsa Indonesia. Mereka ialah segelintir
golongan terdidik bangsa Indonesia yang tampil untuk memimpin jalannya bangsa.
Salah satu dari mereka kita kenal dengan nama Bung Hatta. Hatta pernah menulis
esai berjudul Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia. Esai itu merupakan
kecaman terhadap posisi kaum intelektual Indonesia selama tahun-tahun 19581966 serta tumpahan dan harapan-harapan Hatta akan posisi kaum intelektual di
masa depan.
Hatta hanya memberi petunjuk-petunjuk kepada para calon intelektual dengan
berorientasi kepada Julien Benda yang terkenal berkat karyanya La Trahison des
Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual). Ketika karya Benda terbit, Hatta masih
sangat muda. Tetapi, lebih dari tiga puluh tahun kemudian, Benda masih sering
dikutip oleh kaum intelektual Indonesia yang merasa tertekan jiwanya selama
tahun-tahun 1958-1966.
Urian Hatta itu diberikan kepada sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh
Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI) di Jakarta, komponen-komponen dari Generasi ’66. Ia bukan saja sangat
menekankan pada fungsi kaum intelektual (intelegensia), tetapi juga fungsi
Universitas dan pendidikan kaum cendekiawan yang berwatak.
Esai itu adalah nasihat yang diberikan oleh generasi tua kepada generasi muda,

lebih tepatnya angkatan ’66 agar mereka tidak mengulangi kesalahan-kesalahan
angkatan ’45 selama tahun-tahun 1958-1966. Menurut Hatta, kaum intelektual
angkatan ’45 telah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fungsi mereka.
Misalnya menjadi kaum intelektual yang disewa oleh para penguasa sebagai kaum
intelektual.
Setelah empat belas tahun kejatuhan rezim Orde Baru, tepatnya pada 14 Februari
2012 lalu, Heru Nugroho menyampaikan Pidato Guru Besarnya pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Dalam pidatonya yang berjudul
Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam, ia
menuturkan beberapa persoalan yang sedang dialami oleh perguruan tinggi.
Diantaranya ialah membengkaknya biaya pendidikan tinggi, cengkeraman kuasa
pemerintah atas sumber-sumber daya pendidikan dan penelitian, kualitas
pendidikan yang kurang memenuhi kualitas, mutu dan karya penelitian yang masih
minim, ketiadaan dan rendahnya etos kerja akademik, dll.
Persoalan-persoalan itu, menurut Heru, telah menjadi tersangka sebagai kausalitas
munculnya fenomena banalitas intelektual di kampus. Sebuah fenomena yang
ditandai dengan pendangkalan yang tidak disadari disertainya menurunnya kualitas
akademik dan sekaligus merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti
oleh para akademisi. Dengan begitu, ia mengungkapkan, fenomena banalitas
intelektual tersebut telah mengingkari fungsi normatif perguruan tinggi yang ada

dalam semboyan universitas magistorum et scholarium. Di mana universitas bukan

semata-mata merujuk pada gedung-gedung yang megah, yang terdiri atas tanah
yang berhektar-hektar, yang memiliki sistem administrasi dan birokrasi canggih dan
didukung oleh peralatan teknologi komunikasi canggih tetapi juga merujuk pada
organisasi manusia yang memiliki aktivitas akademik.