BAB I PENDAHULUAN - MAKNA UNGKAPAN TRADISIONAL BIMA DAN RELEVANSINYA DENGAN AYAT AL-QURAN - Repository UNRAM

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Karya sastra merupakan suatu yang integral dengan masyarakat. Hal ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.

  Sebagai kreasi manusia yang diangkat dari realitas kehidupan, sastra juga mampu menjadi wakil dari zamannya. Dengan demikian, sastra pada dasarnya merupakan kegiatan kebudayaan maupun peradaban dari setiap situasi, masa ataupun zaman saat sastra itu dihasilkan.

  Sebagai bagian dari ilmu sastra, sastra lisan merupakan sarana untuk menyampaikan ajaran, nilai dan norma-norma kehidupan yang perlu dipatuhi oleh anggota masyarakat. Melalui sastra lisan diajarkan cara bersikap, bertutur kata dan bertindak. Sinar keberadaan sastra lisan tampaknya sudah mulai redup.

  Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat, oleh karena kematian penutur sastra lisan, dan tidak adanya pewaris sastra lisan yang menyampaikan pada generasi muda yang umumnya bersikap kurang memperhatikan sastra lisan daerah.

  Ungkapan tradisional adalah salah satu bagian dari sastra lisan. Ungkapan tridisional merupakan sarana enkulturasi dalam proses penanaman nilai-nilai ideologi dari generasi ke generasi dalam kebudayaan. Biasanya, ungkapan tradisioanal ini muncul dalam pembicaraan sehari-hari, upacara adat, acara keramaian, dan lain-lain. Kelompok kata atau kalimat dalam ungkapan tradisioanal memiliki struktur susunan yang tetap serta merupakan kiasan terhadap maksud tertentu. Kalimat dalam ungkapan tradisioanal biasanya mengesankan, dengan arti yang luas dan isi yang bijak. Dalam ungkapan tradisional, tersirat unsur sistem budaya masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma, petunjuk dan aturan yang menjadi acuan bagi anggota masyarakat. (Hasan, 2008)

  Sebagai sastra lisan, maka perkembangannya sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di masyarakat pendukungnya. Setiap perubahan di masyarakat, biasanya juga diiringi dengan lenyapnya ungkapan tradisional yang tidak sesuai lagi dengan keadaan di masyarakat. Padahal, studi tentang sastra lisan merupakan hal yang sangat penting karena mempunyai arti yang lebih di masyarakat. Setiap sastra lisan yang dituturkan, seperti di masyarakat Suku Bima, adalah sastra yang bertemakan keimanan, pendidikan, dan ibarat yang pada hakikatnya berguna bagi masyarakat, terutama bagi generasi muda.

  Ungkapan tradisional Bima yang oleh masyarakat berabad-abad lamanya itu terus bergeser dan bukan mustahil pada akhirnya akan hilang. Hal itu terjadi karena kehadiran norma-norma dan nilai-nilai baru sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasai yang canggih serta pewarisan ungkapan dari generasi lama ke generasi baru dilakukan secara lisan yang pada umumnya mudah dilupakan dan hilang. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban generasi muda untuk mempertahankan sastra lisan seperti ungkapan tradisional.

  Mempertahankan sastra lisan seperti ungkapan tradisional dapat dilakukan dengan mengadakan penelitian tentang ungkapan tradisional Bima yang ada di masyarakat.

  Hadirnya agama islam dalam kerajaan Bima membuat tatanan nilai-nilai budaya dan adat terpengaruh serta mengubah nilai-nilai yang telah ada sebelumnya, maka penelitian ini mengaitkan antara ungkapan tradisional Bima dengan ayat Alquran, yang merupakan pedoman atau kitab suci agama islam.

  Urgensi dari kajian ini karena kehadiran islam semakin memperkuat dan memperkaya adat Bima yang menjadi dasar pandangan hidup masyarakat.

  Sikap hidup yang diwarnai oleh adat yang disaring dan diperkaya oleh ajaran islam merupakan sikap dan kepribadian yang tinggi (Wahid, 2006:11-12).

  Sehingga tidak heran ketika ditemukan kesamaan antara makna ungkapan tradisional Bima dengan amanat ayat Alquran. Oleh sebab itu, harus dilakukan penelitian lebih lanjut tentang relevansi di antara keduanya.

  Penelitian tentang ungkapan tradisional Bima yang dipadukan dengan disiplin ilmu lain merupakan hal yang baru sehingga menarik untuk dikaji lebih spesifik. Penelitian sebelumnya yang membahas tentang ungkapan tradisional Bima masih pada objek yang sama yakni tentang unsur intrinsik dan fungsi dari ungkapan tradisional Bima.

  Penelitian ini menggunakan metode kulitatif karena memberikan perhatian terhadap data alamiah, atau dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Dalam ilmu sastra sumber datanya karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat atau wacana.

  (Ratna, 2005:47) Penelitian ini dilakukan dengan telaah pustaka. Data ungkapan tradisional

  Bima diambil dari hasil penelitian sebelumnya dan dilanjutkan dengan menganalisis makna denotatif dan makna konotatifnya. Ungkapan tradisional Bima yang diambil hanya sebagian yang merupakan representasi dari keseluruhan data. Setelah mendapatkan maknanya, analisis lanjutannya dengan membahas relevansi dari ungkapan tradisional Bima dengan ayat Alquran.

  Relevansi keduanya didapatkan dengan mengkaji makna konotatif ungkapan Tradisional Bima dengan amanah ayat Alquran. Amanah ayat Alquran didapatkan dari pengkajian ulama melalui ilmu tafsir karena tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya. (Imam Az Zarkasyi)

  Tafsir yang dijadikan rujukan adalah tafsir ”Ibnu Katsir” karena para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan Alquran dengan Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. (Hamidi, 2010)

1.2 Rumusan Masalah

  Adapun masalah yang menjadi objek penelitian ini adalah sebagai berikut:

  a. Bagaimanakah makna denotatif ungkapan tradisional Bima?

  b. Bagaimanakah makna konotatif ungkapan tradisional Bima?

  c. Bagaimanakah relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima

  terhadap ayat Alquran?

1.3 Tujuan

  Berdasarkan rumusun masalah di atas, dapat dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut: a. Menganalisis makna denotatif ungkapan tradisional Bima

  b. Menganalisis makna konotatif ungkapan tradisional Bima

  c. Menganalisis relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima terhadap ayat Alquran.

1.4 Manfaat

  Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Mengapreasiasi karya sastra serta mempelajari banyak hal tentang teori sastra.

  b. Diharapkan dapat menganalisis makna ungkapan tradisional Bima. Baik makna denotatif, maupun makna konotatif.

  c. Diharapkan dapat menganalisis relevansi dari ungkapan tradisional Bima terhadap ayat Alquran.

  d. Diharapkan dapat menjadi inspirasi lahirnya penelitian selanjutnya tentang ungkapan tradisional Bima dan relevansinya dengan disiplin ilmu lain.

  e. Diharapkan dapat menambah variasi koleksi hasil penelitian berupa sastra lisan, khususnya ungkapan tradisional Bima.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

  Penelitian tentang sastra lisan Bima sudah pernah dilakukan sebelumnya yang mencakup berbagai bidang sastra lisan Bima. Di antaranya adalah yang dilakukan oleh Sri Haryanti (2004) yang membahas tentang, ”Nilai Pendidikan

  dalam Sya’ir Kerajaan Bima.” Dalam penelitian tersebut dianalisis unsur

  intrinsik dari sya’ir-sya’ir kerajaan Bima yang dilanjutkan dengan menganalisis nilai pendidikan yang terkandung di dalam sya’ir-sya’ir tersebut. Di bidang takhayul pernah dilakukan oleh Nurfajri Mujahidah (2009) yang berjudul, ”Takhayul dalam Masyarakat Bima: Sebuah Kajian Struktur dan Fungsi.” Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat empat jenis struktur takhayul dalam masyarakat Bima serta lima fungsinya. Hal lain yang dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah adanya jenis takhayul yang banyak dalam masyarakat Bima yang mencapai sepuluh jenis.

  Di bidang ungkapan tradisional Bima, dilakukan oleh Gunawan (1991) dengan judul penelitian, ” Nilai-Nilai Pendidikan dalam Ungkapan

  Tradisioanal Suku Bima.” Dalam penelitian tersebut, Gunawan menganalisis nilai-nilai pendidikan yang ada dalam ungkapan tradisional Suku Bima.

  Penelitian lain yang dilakukan oleh Asriati (2004) mengenai, ”Bentuk dan

  Fungsi Ungkapan Tradisional dalam Masyarakat Bima.” Dalam penelitian tersebut dianalisis bentuk dan makna serta fungsi ungkapan tradisional dalam masyarakat Bima dilihat dari diksi, tema, dan amanat yang mengandung nilai kehidupan yang mendalam. Nilai kehidupan yang dimaksud seperti nilai sosial, pendidikan, agama, serta mengandung norma-norma dan sikap hidup yang berhubungan dengan nilai persatuan bangsa serta keadlian.

  Nia Andriani (2009) melakukan penelitian yang hampir sama dengan Asriati tersebut. Nia mengambil judul tentang, ” Bentuk, Makna, dan Fungsi

  

Nggahi Ncemba dalam Masyarakat Donggo.” Penelitian ini disebut hampir

  sama dengan penelitian Asriati karena pada hasil dan pembahasannya menguraikan hal yang hampir sama yakni analisis unsur intrinsik yang berkenaan dengan analisis bunyi, diksi, tema dan amanat. Serta menguraikan makna dan fungsi dari nggahi ncemba dalam masyarakat Donggo. Nggahi Ncemba merupakan istilah lain dari ungkapan Tradisional. Sedangkan masyarakat Donggo adalah masyarakat asli dari Suku Bima, sekarang menjadi salah satu wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Bima. Artinya, hasil dan pembahasannya hampir sama yakni tentang unsur intrinsik, makna dan fungsi.

  Demikian pula dengan objek penelitiannya yang berupa nggahi ncemba/ ungkapan tradisional dalam masyarakat Donggo, salah satu wilayah di Kabupaten Bima.

  Penelitian lain tentang ungkapan tradisional Bima adalah yang dilakukan oleh Ahmad Badrun (2006) yang berjudul, ” Struktur dan Makna Ungkapan

  Tradisional Bima-Dompu.” Dalam penelitian ini, Badrun mekankan pada makna ungkapan tradisional yang diklasifikasikan berdasarkan temanya.

  Penelitian tentang ungkapan tradisional Bima misalnya yang dilakukan oleh Asriati (2004) yang dalam analisisnya hanya mengajukan satu makna pada setiap ungkapan. Berikut dikutipkan contoh data makna ungkapan tradisional Bima hasil penelitian Asriati (2004) dalam bentuk tabel di bawah ini .

UNGKAPAN TRADISIONAL BIMA

  No. Ungkapan Terjemahan Makna

  1. Aina cau ntanda ca ese.

  Jangan suka lihat ke atas.

  Jangan iri dan sombong.

  2. Dodopu tando ro tambari kontu.

  Pandanglah ke depan dan tengoklah ke belakang.

  Introspeksi diri baik dalam bertutur kata, bertingkah laku, maupun dalam hal-hal lain.

  3. Aina kamaru mada ro kamidi ade, linggapu sadumpu nepipu rui bada.

  Jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati, berbantallah sepotong kayu dan berkasurlah duri kaktus.

  Jangan bermalas-malasan, berusaha dan bekerja keraslah.

  4. Maja labo dahu. Malu dan takut. Malu dan takutlah jika melakukan keburukan (dosa) serta jika tidak melakukan kebaikan.

  5. Likipu loko Cubit dahulu perutmu Jangan berbuat semena-mena ndaimu ampo sendiri baru mencubit atau menyakiti orang lain. muliki loko dou. perut orang lain.

  6. Mbolo ro dampa Rapat dan Suatu pekerjaan, tindakan, pu makatantu bermusyawarahlah dan keputusan diputuskan dirawi. yang menentukan apa melalui kesepakatan bersama yang harus dalam rapat. dikerjakan.

  7. Nggahi rawi pahu. Berkata, kerja dan Satunya ucapan dengan rupa. perbuatan.

  8. Ederu nahu sura Tidak usah aku asal Pengorbanan untuk rakyat dan dou labo dana. orang dan tanah. bangsa.

  9. Hi’i sanggi’i peke Daging sekerat tulang Kita adalah satu. satako. sebatang.

  10. Malanta laba mpa Hanya kain putih Tiada yang bisa menolong di waa dula labo. (kafan) yang akan seseorang ketika meninggal menemani (bila kita dunia kecuali amal kebajikan.

  meninggal).

  Dalam penelitian ini akan dianalisis makna yang lain dari ungkapan tradisional Bima dan akan dilanjutkan dengan mengkaji relevansinya dengan ayat Alquran karena saling terkaitnya makna ungkapan tradisional Bima dengan amanat ayat Alquran.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Makna

  Makna adalah gejala dalam ujaran. (Chaer, 2002:35) Makna adalah arti atau maksud dari pembicara atau penulis. (KBBI, 2005:703) Makna dalam sastra adalah jawaban yang memadai tentang unsur-unsur instrinsik yang membangun teks sastra ungkapan. (Hasan, 2008) Jadi, makna adalah arti atau maksud yang merupakan hasil dari gejala dalam ujaran yang berupa unsur-unsur instrinsik yang membangun teks sastra ungkapan.

  Ada tiga cara yang dipakai oleh linguis dan filsuf dalam usahanya menjelaskan makna dalam bahasa manusia : (a) dengan memberikan definisi hakikat makna kata, (b) dengan mendefinisikan hakikat makna kalimat, dan (c) dengan menjelaskan proses komunikasi. (Wahab, 1995:9)

  Menganalisis makna kata dalam sastra perlu dipahami dua aspek yakni makna denotatif dan makna konotatif. Berikut dijabarkan secara definitif kedua makna tersebut serta cara menemukannya.

2.2.2 Makna Denotatif dan Cara Menemukannya

  Makna denotatif adalah makna yang bersfat denotasi. Sedangkan makna denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses, kegiatan. (KBBI, 2005:703)

  Makna denotatif adalah makna sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Makna ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Makna ini sering disebut sebagai makna sebenarnya.

  (Chaer, 2002:65-66) Altenbernd (1970:9 dalam Pradopo, 2005:58) mengatakan bahwa, denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu disebutkan, atau diceritakan. Menurut Wellek (1968:22 dalam Pradopo, 2005:58-59) bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk. Pradopo (2005: 59) menyimpulkan bahwa satu kata itu menunjuk satu hal saja. Ia menambahkan bahwa dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.

  Dengan demikian, makna denotatif adalah makna yang sebenarnya dari kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa yang dapat diobservasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya.

  Penemuan makna denotatif dapat dilakukan dengan mencari arti kata berdasarkan korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk sehingga satu kata dapat ditemukan satu makna. Dengan demikinan, penemuan makna denotatif ungkapan tradisional Bima dilakukan dengan mencari makna kata-kata ungkapan tersebut sehingga satu kata menunjuk satu hal saja.

2.2.3 Makna Konotatif dan Cara Menemukannya Makna konotatif adalah makna yang bersifat konotasi.

  Sedangkan makna konotasi adalah makna (nilai rasa) yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dengan pengalaman pribadi (KBBI, 2005:703).

  Menurut Pradopo (2005:59), konotasi adalah kumpulan asosiasi- asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan. Sedangkan Chaer (2004:65-66), menjelaskan bahwa sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif.

  Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa makna konotatif adalah makna kata berdasarkan nilai rasa, baik positif maupun negatif, yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dengan pengalaman pribadi. Dalam arti lain, konotatif adalah kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata yang diperoleh dari setting yang dilukiskan.

  Dalam puisi (karya sastra pada umumnya), penemuan makna konotatif dilakukan dengan mencari arti tambahan yang ditimbulkan oleh asosiai-asosiasi yang keluar dari denotatifnya. Kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan (Pradopo, 2005:59).

  Dengan demikian, penemuan makna konotatif dalam penelitian ini diperoleh dengan menerjemahkan kata untuk mendapatkan makna denotatif. Setelah itu dilanjutkan dengan mencari arti tambahan dari ungkapan tradisional Bima yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam makna kata-kata yang ada pada ungkapan tradisional Bima tersebut.

2.2.4 Ungkapan Tradisional

  Ungkapan tradisional adalah gabungan dua kata yaitu “ungkapan” dan ”tradisonal”. Ungkapan adalah segala sesuatu yang diungkapkan yang berwujud gabungan kata yang maknanya tidak sama dengan pengaduan-pengaduan makna setiap kata yang membentuk ungkapan itu. (Fatimah, 1997:14 dalam Hasan, 2008) Sedangkan tradisional adalah sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun atau menurut adat. (Ananda S, 1955:367 dalam Hasan, 2008)

  Peribahasa adalah ungkapan tradisional yang terdiri dari kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup ataupun aturan tingkah laku. (Hasan, 2008)

  Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, yang perlu diperhatikan oleh mereka yang hendak menelitinya: (a) peribahasa harus serupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya satu kalimat ungkapan saja. (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan, yang dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olah raga, dan lain sebagainya. (Brundvand, 1968:38 dalam Dananjaja, 1997)

2.2.5 Ayat Alquran

  Dalam Hasan Alwi dkk (2005: 81), pengertian ayat jika dikaitkan dengan Alquran adalah beberapa kalimat yang merupakan kesatuan maksud sebagai bagian surah dalam kitab suci Alquran. Sementara pengertian dari Alquran adalah kitab suci umat islam yang berisi firman Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril as. untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia (KBBI, 2005:33). Pengertian lain dari Alquran di antaranya yang dedefinisikan oleh Abdurrahman (2005:17) bahwa Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril kemudian pula sering disebut sebagai kitab. Definisi lain pula menyebutkan bahwa Alquran adalah perkataan Allah swt. yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sampai kepada kita secara mutawatir dan menjadi ibadah bagi yang membacanya (TIM Penyusun Panduan MAI, 2008:59)

  Berdasarkan uraian definisi Alquran di atas, dapat disimpulkan bahwa Alquran adalah kitab suci umat islam yang berisi kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang merupakan mukjizat, yang diturunkan melalui malaikat Jibril as., sampai kepada kita secara mutawatir. Untuk dipahami, dipelajari dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup umat manusia serta menjadi ibadah bagi yang membacanya.

BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah prosedur atau tata cara yang sistematis yang

  dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu (Siswantoro, 2009:55).

  Dengan menggunakan metode yang tepat, peneliti akan terhindar dari cara kerja yang spekuatif.

3.1 Deskripsi Sasaran

  Sasaran penelitian ini ada dua yakni ungkapan tradisional Bima dan ayat Alquran. Untuk lebih jelasnya dapat dirincikan sebagai berikut:

  a. Ungkapan Tradisional Bima

  Sasaran pertama dalam penelitian ini adalah ungkapan tradisional Bima. Ungkapan tradisional Bima yang akan dianalisis berjumlah sepuluh buah. Tujuan analisis adalah untuk mendapatkan makna lain. Data awal diambil dari hasil penelitian Asriati (2004) yang dilanjutkan dengan studi kritis untuk mendapatkan makna lain.

  b. Ayat Alquran

  Ayat Alquran yang dimaksud adalah ayat yang memiliki relevansi dengan makna ungkapan tradisional Bima. Relevansi yang dimaksud adalah yang ditunjukkan oleh keterkaitan antara makna konotatif ungkapan tradisional Bima dengan amanat ayat Alquran. Amanat ayat Alquran didapatkan dari penjelasan ulama yang tertulis dalam kitab tafsir. Penelitian ini merujuk pada kitab tafsir Ibnu Katsir.

3.2 Populasi dan Sampel

a. Populasi

  Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2009:117) Sementara Arikunto (2006:130) mendefinisikan populasi sebagai keseluruhan subjek penelitian. Sedangkan Sevilla dkk (dalam Mahsun, 2007:28) mendefinisikan populasi sebagai kelompok besar yang merupakan sasaran generalisasi.

  Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa popuasi merupakan keseluruhan dari obyek atau subyek penelitian yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ungkapan tradisional Bima hasil penelitian Asriati (2004) beserta seluruh maknanya dan ayat Alquran yang ada dalam mushaf Alquran.

b. Sampel

  Sampel adalah pemilihan dari sebagain dari keseluruhan objek penelitian sebagai wakil yang memungkinkan untuk membuat generalisasi terhadap populasi.(Mahsun, 2007:29) Menurut Sugiyono (2009: 118), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan penelitian tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, peneliti dapat menggunakan sampel yang ada dalam penelitian itu dengan mempertimbangkan representatifnya terhadap populasi. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampel adalah perwakilan data yang sengaja diambil untuk mewakili keseluruhan data yang menjadi obyek penelitian.

  Sampel dalam penelitian ini adalah ungkapan tradisional Bima yang berjumlah sepuluh buah yang dikutip dari penelitian Asriati (2004) yang berjumlah 60 buah dan sebagian dari ayat Alquran yang memiliki relevansi dengan ungkapan tradisional Bima.

3.3 Metode Pengumpulan Data

  Dalam penelitian sastra, data berujud kata atau verbal data, bukan angka atau numerical data (Siswantoro, 2004:62). Menurut Ratna (2009:47), dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana. Dengan demikian, data yang akan dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat atau wacana.

  Pengumpulan data dalam suatu penelitian harus menggunakan metode yang tepat. Dalam mengumpulkan data, peneliti dapat menggunakan berbagai macam metode yang telah diperkenalkan oleh para ahli. Para ahli tersebut mempunyai pendapat yang berbeda tentang macam-macam metode. Di samping perbedaan sudut pandang, perbedaan juga dipicu oleh latar belakang keilmuan yang mereka miliki.

  Menurut Arikunto (2006:150-158), jenis-jenis metode atau instrumen pengumpulam data ada enam. Yaitu, tes, angket/kuesioner, interviu, observasi, skala bertingkat, dan dokumentasi. Sedangkan Sugiyono (2009:309) menyebutkan bahwa upaya pengumpulan data dengan teknik pengumpulan data yang dirinci dalam empat macam yaitu, observasi, wawancara, dokumentasi, dan tringulasi atau gabungan. Mahsun (2005) dalam bukunya Metode

  

Penelitian Bahasa mengemukakan bahwa metode pengumpulan data disebut

  sebagai metode dan teknik penyediaan data dalam penelitian bahasa yang meliputi, metode simak, cakap, dan intospeksi.

  Latar belakang dari penyebutan metode-metode tersebut untuk mengambil metode yang tepat yang diterapkan dalam penelitian ini. Pada dasarnya, metode-metode tersebut untuk penelitian pendidikan dan bahasa. Tetapi hal itu bukan alasan yang menghambat untuk menerapkan metode tersebut dalam upaya mengumpulkan data dalam penelitin sastra ini. Karena dalam buku-buku metode penelitian sastra, hanya dijumpai metode atau pendekatan untuk menganalisis data. Jadi, pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menerapkan metode yang relevan dengan penelitian walaupun bukan metode khusus untuk penelitian sastra.

  Oleh sebab itu, penelitian ini menggukan metode dokumenter, observasi, dan purposif sampling. Adapun penjabaran ketiga metode pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut:

  a. Dokumenter

  Di dalam melaksanakan metode dokumenter, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan, catatan harian, dan sebagainya (Arikunto, 2006:158). Sugiyono (2009:329) mengemukakan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. Jadi, metode pengumpulan data dengan dokumenter adalah mengambil data dari dokumen yang berbentuk tulisan, gambar atau karya monumental seseorang.

  Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dari dokumen yang berupa hasil penelitian Asriati (2004) tentang makna ungkapan tradisional Bima dan mengambil ayat Alquran yang mempunyai relevansi dengannya.

  b. Observasi

  Nasution (1988 dalam Sugiyono, 2009:310) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Sugiyono menambahkan, para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Sedangkan Arikunto (2006:156), mengemukakan bahwa observasi atau pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indra yang secara sederhana diartikan bahwa kegiatan observasi merupakan pengamatan langsung.

  Dengan demikian, kegiatan observasi merupakan kegiatan pengamatan secara langsung terhadap suatu obyek yang akan diteliti untuk mendapatkan data dalam penelitian. Data yang akan diobservasi adalah semua ungkapan tradisional Bima hasil penelitian Asriati (2004) dan mushaf Alquran.

c. Purposif Sampling

  Purposif sampling dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas strata, norma, random atau daerah tetapi didasarkan atas dasar tujuan tertentu (Arikunto, 2006:139-140). Purposif sampling diterapkan karena pengambilan data dalam penelitian ini didasarkan pada tujuan tertentu yakni mempertimbangkan relevansi antara data ungkapan tradisional Bima dengan ayat Alquran.

3.4 Metode Analisis Data

  Menganalisis data dalam penelitian sastra dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan agar membantu mengarahkan penelitian sehingga lebih tajam dan dalam (Laxemburg dkk, 1984:64). Pendekatan yang dapat diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan evaluatif , komparatif , moral, dan sosiologis.

  a. Pendekatan Evaluatif

  Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berusaha memberikan penilaian terhadap berbagai aspek yang terkandung dalam puisi yang dianalisis (Aminuddin, 2004:168). Menurut Reaske (dalam Aminuddin, 2004:168), pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang seharusnya ditaruh pada tahap akhir, yakni setelah seseorang melaksanakan analisis dengan menggunakan satu atau lebih pendekatan di luar pendekatan evaluatif tersebut. Namun dalam penelitian ini ditaruh pada tahap awal karena proses penilaian dilakukan pada tahap awal yakni memberikan penilaian terhadap makna ungkapan tradisional Bima berdasarkan data Asriati (2004) dan mengambil ayat Alquran yang relevan dengan data ungkapan tersebut.

  b. Pendekatan Komparatif

  Pendekatan komparatif adalah pendekatan yang dilaksanakan dengan jalan membandingkan puisi yang satu dengan puisi yang lainnya (Aminuddin, 2004:167). Pendekatan komparatif dapat diterapkan dalam penelitian ini karena ungkapan tradisional adalah genre sastra yang hampir sama dengan puisi sehingga pendekatan yang dapat diterapkan untuk menganalisis puisi, dapat pula diterapkan dalam menganalis ungkapan tradisional. Penerapannya dalam penelitian ini adalah membandingkan ungkapan tradisional Bima dengan ayat Alquran untuk memperoleh relevansi di antara keduanya.

  c. Pendekatan Moral

  Pendekatan moral bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan dari kelahiran sastra di tengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harakat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir, dan berketuhanan (Laxemburg dkk, 1984:71).

  Maksud dari penerapan pendekatan ini dalam penelitian karena dalam ungkapan tradisional tersirat unsur sistem budaya masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma, petunjuk dan aturan yang menjadi acuan bagi anggota masyarakat (Hasan, 2008) Demikian pula dengan kehadiran ayat Alquran yang merupakan syariat islam yang mengandung ajaran moral, etika dan norma yang mengatur tata kehidupan bermasyarakat.

  d. Pendekatan Sosiologis

  Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Laxemburg dkk, 1984:73). Demikian pula dengan ungkapan tradisional Bima dan ayat Alquran yang merupakan landasan beretika dan berkehidupan sosial serta menjadi norma dalam kehidupan bermasyarakat.

BAB IV PEMBAHASAN Analisis makna ungkapan tradisional Bima dan relevansinya dengan ayat Alquran dilakukan dengan mencari makna denotatif dan konotatifnya yang

  dilanjutkan dengan mencari ayat Alquran yang relevan dengan makna konotatif ungkapan tradisional Bima.

  Analisis makna denotatif untuk mendapatkan makna secara harfiah. Analisis makna konotatif untuk mendapatkan makna tambahan di luar asosiasi kebahasaan berdasarkan nilai rasa. Setelah menemukan kedua makna tersebut, yang kemudian dianalisis adalah amanat ayat Alquran yang sudah dikumpulkan menjadi data relevansi. Untuk menemukan amanat ayat Alquran, harus dilakukan analisis berdasarkan tafsir karena Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu

  

‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam

  kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Alquran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir Alquran.

  Untuk memudahkan analisis, ilmu tafsir yang menjadi rujukan adalah dari kitab Tafsir Alquranul ’Azhim yang dikarang oleh Ibnu Katsir. Tafsir ini dipilih karena para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan Alquran dengan Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. (Hamidi, 2010)

  Analisis makna ungkapan tradisional Bima dan relevansinya dengan ayat Alquran adalah sebagai berikut.

4.1 Makna Denotatif Ungkapan Tradisional Bima

  Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya dari kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa yang dapat diobservasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya.

  Makna denotatif ungkapan tradisional Bima dapat dilakukan dengan memberikan arti harfiah untuk memudahkan pembaca memahami teks ungkapan. Makna denotatif ungkapan tradisional Bima dapat dilihat berikut ini:

  (1) ainacaû ntanda ca ese [

  jangan suka pandang ke atas ’jangan suka memandang ke atas’

  (2) dodo pu tando ro tambari kontu

  lihat lah depan dan menoleh belakang ’lihatlah ke depan dan tengoklah ke belakang’

  (3) aina kamaru mada ro kamidi ade

  jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati

  lingga pu sadumpu nepi pu rui bada

  bantal lah belam kasur lah duri kaktus ’jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati, berbantallah belam dan berkasurlah duri kaktus’

  (4) maja labo dahu

  malu dan takut ’malu dan takut’

  (5) liki pu loko ndaimu ampo mu liki loko dou

  cubit lah perut anda baru kamu cubit perut orang ‘cubit dahulu perutmu sendiri baru mencubit perut orang lain’

  (6) mbolo ro dampa pu ma katantu dirawi

  bermusyawarah lah yang penentu dikerjakan ’bermusyawarahlah yang menentukan apa yang harus dikerjakan’

  (7) nggahi rawi pahu

  berkata bekerja rupa ’perkataan perbuatan (dan) rupa’

  (8) ederu nahu sura dou labo dana

  tidak usah saya asal orang dan tanah ’tidak usah (untuk) saya asalkan ada untuk rakyat dan bangsa’

  (9) hiî sanggii peke satako

  daging sekerat tulang sebatang ’daging sekerat (dan) tulang sebatang’

  (10)malanta laba mpa di waâ dula labo

  kain putih (kafan) saja akan bawa pulang teman ’hanya kain putih (kafan) saja yang akan menemani (meninggal)

4.2 Makna Konotatif Ungkapan Tradisional Bima

  Makna konotatif adalah makna kata berdasarkan nilai rasa, baik positif maupun negatif, yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dengan pengalaman pribadi. Dalam arti lain, konotatif adalah kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata yang diperoleh dari setting yang dilukiskan.

  Analisis makna konotatif dapat dilakukan dengan menguraikan ungkapan tradisional Bima secara filosofis bahasa Bima yang berkembang di masyarakat Bima. Hal ini dapat dilakukan dengan mengambil referensi yang tepat. Baik dari studi pustaka, maupun dari analisis hasil observasi yang terjadi di masyarakat. Analisisnya dapat dilihat berikut ini:

  (1a) aina caû ntanda ca ese

  jangan suka pandang ke atas ’jangan suka memandang ke atas’

  Secara filosofis, ungkapan ini mengandung amanat untuk memperbaiki diri. Dalam hidup janganlah membeda-bedakan manusia (lihat juga Hasnun, 2008:6). Jangan lupa dan sombong. Janganlah berangan-angan terlalu tinggi. Jangan kasar terhadap orang yang lebih tua. Kalau sudah menjadi orang besar (kaya, sukses, berhasil) jangan lupa memperhatikan orang kecil (miskin) dengan mengayomi serta membantu mereka.

  (2a) dodo pu tando ro tambari kontu

  lihat lah depan dan menoleh belakang ’lihatlah ke depan dan tengoklah ke belakang’

  Secara filosofis, ungkapan di atas adalah amanat untuk mengevaluasi diri, baik dalam bertutur kata, bertingkah laku, maupun dalam hal-hal lain. Dalam ungkapan ini pula dianjuran untuk memiliki sifat peduli terhadap urusan bersama. Dalam makna lain, ungkapan ini menganjurkan manusia agar mampu menyesuaikan keadaan dengan kenyataan yang ada sehingga ia tidak menganggap remeh orang lain. (lihat juga Hasnun, 2008:7)

   (3a) aina kamaru mada ro kamidi ade

  jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati

   lingga pu sadumpu nepi pu rui bada

  bantal lah belam kasur lah duri kaktus ’jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati, berbantallah belam dan berkasurlah duri kaktus’

  Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah nasehat untuk tidak berdiam diri dan bermalas-malasan, tetapi harus berusaha dan bekerka keras. Harus ada kesungguhan ketika menghadapi tantangan, seberat apapun tantangan tersebut. Di samping itu, anjuran lain yang terdapat dalam makna konotatif ungkapan di atas adalah perintah untuk menumbuhkan rasa peduli terhadap kemashlahatan bersama. Dalam pemaknaaan lain, ungkapan tradisional ini bermakna bahwa, hidup tidak bisa hanya menunggu dan mengharap. Filosofi orang Bima ”hidup untuk bekerja.” Apa saja dapat dikerjakan yang penting halal (lihat juga Asriati, 2004 dan Hasnun, 2008:14).

  (4a) maja labo dahu

  malu dan takut ’malu dan takut’

  Filosofi dari ungkapan ini adalah rasa malu dan takut kepada Allah swt, diri sendiri, keluarga, nusa, dan bangsa jika melakukan keburukan dan dosa atau maksiat. Serta mampu menjadi orang yang bermanfaat.

  (5a) liki pu loko ndaimu ampo mu liki loko dou

  cubit lah perut anda baru kamu cubit perut orang ‘cubit dahulu perutmu sendiri baru mencubit perut orang lain’

  Dalam filosofi masyarakat Bima, ungkapan ini merupakan nasehat orang tua-tua yang patut diikuti sepanjang hayat agar dalam hidup perlu ikut merasakan penderitaan orang lain sehingga tidak menyakiti perasaannya. (lihat juga Hasnun, 2008:11).

  (6a) mbolo ro dampa pu ma katantu dirawi

  musyawarah lah yang penentu dikerjakan ’bermusyawarahlah yang menentukan apa yang harus dikerjakan’

  Maksudnya adalah setiap pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama, sebelum diputuskan atau dilaksanakan hendaknya dimusyawarahkan terlebih dahulu untuk memudahkan pekerjaan yang sulit serta meringankan pekerjaan yang berat (lihat juga Hasnun, 2008:10).

  (7a ) nggahi rawi pahu

  berkata bekerja rupa ’perkataan perbuatan (dan) rupa’

  Satunya perkataan dan perbuatan bagi masyarakat Bima sangat penting, seperti menghadapi keluarga atau masarakat umumnya (lihat juga Hasnun, 2008:10). Dalam hal ini misalnya ketika ada kematian, perkawinan, pertanian, atau kepentingan bersama dalam kehidupan berkeluarga atau bertetangga juga perlu menyamakan pikiran dan menyatukan perbuatan. Hidup bila dilandasi dengan niat yang tulus dan didukung oleh kebersamaan maka tidak ada pekerjaan yang memberatkan.

  (8a) ederu nahu sura dou labo dana

  tidak usah saya asal orang dan tanah ’tidak usah untuk saya asalkan (ada) untuk rakyat dan bangsa’

  Ungkapan ini bermakna adanya sifat rela berkorban yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mengayomi rakyat dan bangsanya.

  Meskipun pada dasarnya ditujukan untuk pemimpin, namun perlu dihayati bersama dalam kehidupan sehari-hari karena mengandung petuah agar kita selalu memikirkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. (lihat juga Hasnun 2008:9)

  (9a) hiî sanggii peke satako

  daging sekerat tulang sebatang ’daging sekerat dan tulang sebatang’

  Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah anjuran orang tua- tua terhadap anaknya untuk senantiasa memupuk rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Kadang-kadang diungkapkan juga oleh orang tua laki-laki yang melamar seorang gadis. Demikian juga ketika ada kasus perkelahian atau konflik antar keluarga. (lihat juga Hasnun, 2008:8)

  (10a)malanta laba mpa di waâ dula labo

  kain putih (kafan) saja akan bawa pulang teman ’hanya kain putih (kafan) saja yang akan menemani (meninggal)

  Secara filosofis, ungkapan ini mengingatkan tentang kematian karena demikianlah yang menjadi kebiasaan di masyarakat Bima ketika menasehati tentang kematian. Ungkapan di atas juga mengandung makna untuk senantiasa menyiapkan bekal menuju kematian. Ketika meninggal dunia manusia tidak akan ditemani oleh harta, jabatan, keluarga atau sesuatu yang dinikmatinya selama di dunia. Semuanya akan ditinggalkan.

  Hanya kain kafan sebagai pembungkus badan, menjadi harta satu-satunya yang akan menemani manusia ketika meninggal.

4.3 Relevansi Makna Ungkapan Tradisional Bima terhadap Ayat Alquran

  Untuk mendapatkan relevansi makna ungkapan tradisional Bima terhadap ayat Alquran dilakukan analisis makna konotatif ungkapan tradisional Bima dengan tafsir ayat Alquran. Makna konotatif karena terdapat kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata yang diperoleh dari setting yang dilukiskan. Sedangkan tafsir karena Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas- asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberi perincian- perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Alquran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir Alquran. Adapun relevansinya sebagai berikut:

1. Larangan Sombong

  Larangan sombong merupakan relevansi dari Alquran Surat Al- Israa’ : 37 dan 83 serta Alquran Surat Al-Qashash : 83 dengan makna konotatif ungkapan,

  (1b) aina caû ntanda ca ese

  jangan suka pandang ke atas ’jangan suka memandang ke atas’

  Adapun makna konotatif ungkapan tersebut adalah Secara filosofis, ungkapan ini mengandung amanat untuk memperbaiki diri. Dalam hidup janganlah membeda-bedakan manusia (lihat juga Hasnun, 2008:6). Jangan lupa dan sombong. Janganlah berangan-angan terlalu tinggi. Jangan kasar terhadap orang yang lebih tua. Kalau sudah menjadi orang besar (kaya, sukses, berhasil) jangan lupa memperhatikan orang kecil (miskin) dengan mengayomi serta membantu mereka.

  Relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima di atas dengan Alquran Surat Al-Israa’ : 37 dan 83 serta Alquran Surat Al- Qashash : 83 dapat dilihat pada analisis berikut:

a. Al-Israa’ : 37

  Berikut terjemahan ayatnya.

  “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”

  Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah berfirman seraya melarang hamba-hamba-Nya berjalan dengan penuh kesombongan dan keangkuhan. Kamu tidak akan memotong bumi dengan jalanmu itu. ”Dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” yakni dengan lenggak-lenggok, keangkuhan dan kebanggan pada diri sendiri. (2008:165, Jilid :5)

  Sifat sombong yang ditunjukkan oleh Alquran Surat Al- Israa’: 37 adalah bergaul di tengah masyarakat dengan penuh keangkuhan dan rasa bangga diri. Amanah ini relevan dengan makna konotatif, ”anjuran untuk memperbaiki diri agar tidak membeda-bedakan manusia, tidak lupa diri serta tidak berangan- angan terlalu tinggi.” Relevansinya karena tertuju pada satu objek yaitu sombong.