Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | i

TESIS

  

(POLITIK) INGATAN PEKERJA KEMANUSIAAN

Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS)

Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi

  

Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

  

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

LY. Dedy Kristanto

076322013

  

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | iv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : LY. Dedy Kristanto Nomor Mahasiswa : 076322013

  Demi persembahan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

(POLITIK) INGATAN PEKERJA KEMANUSIAAN

Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS)

Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi

  

Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 18 Oktober 2012 Yang menyatakan (LY. Dedy Kristanto)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | vi

UCAPAN TERIMA KASIH

  Tidak ada sebuah tesis yang gagasan atau idenya datang dari

  “ex nihilo.”

  Inspirasinya jelas datang dari berbagai pengalaman dan terutama pertemuan diskursif dengan banyak pihak. Gagasan tesis ini datang dari pengalaman dan pertemuan dengan banyak orang yang sengaja atau tidak disengaja telah menumbuhkan minat dan rasa keingintahuan yang begitu besar dalam diri saya untuk semakin mendalami tema trauma, (politik) ingatan dan identitas. Maka dari itu saya harus mengucapkan rasa terimakasih sedalam-dalamnya pertama-tama kepada teman-teman di Jesuit Refugee

  

Service (JRS) Indonesia yang pernah bekerja, bergumul dan bersuka ria bersama dalam

  banyak pelayanan di wilayah-wilayah konflik di Indonesia, dari Timor-Leste, Naggroe Aceh Darussalam, Maluku, dan lain sebagainya.

  Saya tidak akan pernah lupa peran dan jasa Andreas Soegijapranoto SJ yang “melempar” saya untuk bergumul dengan persoalan pengungsi di Indonesia. Tanpa di lempar ke dalam situasi tersebut, niscaya saya memiliki pengalaman indrawi real yang demikian memperkaya ruang imajinasi saya tentang perjuangan para pengungsi dan penyintas konflik untuk mendapatkan “kemerdekaan”-nya kembali sebagai manusia.

  Tesis ini juga lahir atas berbagai bentuk “penetrasi” ide yang masuk ke dalam kepala saya lewat intervensi teman-teman di JRS Indonesia, khususnya kepada teman-teman JRS Indonesia yang sudah bersedia membagikan narasi pengalamannya langsung kepada saya, yaitu Edi Mulyono SJ, Diana Wahyuni, Nita Indriastuti (Nitnot), Fransiskus Asisi Widanto (Nangtok), Philus Yanuarto, Andrea Suswandari (Susi),

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | vii

  beribu terima kasih atas kesukarelaannya untuk berbagi waktu, tenaga, ruang dan “makanan” sambil mengingat para pengungsi dan korban konflik pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste.

  Selain itu, saya juga harus mengakui bahwa inspirasi reflektif-teoritis untuk menulis tesis ini datang dari kelas Politik Ingatan dan Kekerasan yang diampu oleh Dr.

  Budiawan. Maka dari itu, saya ucapkan beribu terima kasih kepada Dr. Budiawan atas lembar-lembar bacaan dan diskusi di dalam kelas terkait dengan wacana kekerasan dan (politik) ingatan yang sangat sistematis, inspiratif dan menantang pikiran-pikiran saya. Dr. St. Sunardi memiliki peran penting lewat mata kuliah semiotikanya. Saya sangat terkesan dengan mata kuliah ini. Semiotika telah membawa saya ke dalam kesadaran dan pemahaman abu-abu tentang rasionalitas saya. Namun ternyata mata kuliah ini terus menggelitik minat saya untuk mendalami lebih lanjut bagaimana sebenarnya nalar semiotis itu bisa digunakan untuk membaca sejarah ingatan tentang berbagai pengalaman traumatis di negeri ini, terutama pengalaman saya selama bekerja bersama dengan JRS di wilayah-wilayah konflik di Indonesia.

  Tentu saja, tidak lupa kepada pembimbing saya Dr. A. Budi Susanto SJ yang telah meluangkan waktu untuk membaca dan memberikan berbagai komentar, catatan kritis, dan lain sebagainya terhadap tesis ini, saya ucapkan banyak terimakasih. Terutama anjurannya untuk membaca penelitian John T. Sidel yang ternyata memiliki dimensi yang sangat kaya dalam mempersoalkan trauma kekerasan di Indonesia. Tidak kalah pentingnya adalah bacaan yang sangat menarik dari Laurie J. Sears tentang

  “Reading Ayu Utami .” Tulisan Sears ternyata begitu jelas memaparkan sebuah pendekatan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | viii

  setulus-tulusnya kepada Dr. B. Hari Juliawan SJ atas kesediaannya untuk membaca tesis dan memberikan berbagai komentar kritisnya, terutama atas sarannya agar saya bisa lebih fokus dan jelas dalam menyusun gagasan dan argumentasi. Tidak lupa pula atas waktu bersama untuk

  “nggowes” keliling Jogyakarta dan sekitarnya. Sebuah relaksasi yang sangat mengesankan.

  Saya banyak berhutang budi kepada teman-teman IRB, Tia, Boy, Novel, Febiola, Vivin, Wahyu, Yeni, Ustadz Amsa, Bung Daryadi dan yang lainnya, tidak bisa saya sebut satu per satu. Terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini. Tentu saja saya sangat dibantu dalam proses pengerjaan tesis ini oleh Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) dengan seluruh perpustakaan dan komputernya, maka dari itu saya harus mengucapkan banyak terimakasih kepada Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Mas Tri Subagya, Monica Laksono, Darwin Awat, Deddy Hermawan, Ambar Astuti, dan Intan Dias. Terakhir saya tidak akan pernah lupa kepada Dr. G. Budi Subanar SJ selaku Ketua Program IRB yang selalu “menteror” saya dengan pertanyaan: kapan tesis mau diselesaikan? Terimakasih atas teror yang sangat berharga ini.(**)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | ix

KATA PENGANTAR

  Proses terjungkalnya Soeharto dari kursi kekuasaannya lewat aksi protes masyarakat sipil yang dimotori oleh para mahasiswa pada 1998 menjadi bagian dari ingatan yang sangat menggoreskan luka traumatis pada ruang kehidupan masyarakat Indonesia. Karena transisi kekuasaan itu kembali disertai oleh kekerasan yang sangat masif dan brutal. Waktu itu, saat saya dan teman-teman pro- demokrasi sedang “asyik” menggalang berbagai aksi demo di Jakarta, kekerasan sengaja diletupkan dan dilakukan oleh aparatur dan militer Indonesia yang masih setia terhadap Soeharto dan rezimnya.

  Kekerasan, yang lebih dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998 ini, membuat diri saya bertanya mengapa rezim totaliter-otoriter Orde Baru yang sudah bertahan selama lebih dari 30 tahun tidak pernah puas untuk menindas dan merampok hak kehidupan rakyat Indonesia lewat tindakan kekerasan yang terus menyertainya sampai dengan rezim ini benar-benar diambang kehancurannya? Pun setelah rezim itu tumbang, tampak sisa-sisa kekuasaannya belum tuntas untuk memenuhi dahaga akan kekerasan yang brutal dan kejam terhadap rakyat Indonesia.

  Kekerasan tersebut telah mengakibatkan berbagai bentuk pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di negeri ini. Kekerasan menjadi potret paling telanjang bagaimana naluri rezim Orde Baru dalam membangun budaya kekuasaannya lewat sistem yang sangat totaliter dan otoriter. Warisan totalitarisme dan otoritarianisme merupakan warisan paling gemilang yang diberikan kepada masyarakat Indonesia oleh rezim Orde Baru. Warisan itu menampakkan jejak-jejaknya dalam berbagai bentuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | x

  rezim Orde Baru untuk membangun dasar-dasar kekuasaannya. Landasan ini terpatri lewat ritual yang hampir setiap tahun dilakukan yakni peringatan Kesaktian Pancasila.

  Monumen Pancasila Sakti dibangun untuk menandai betapa rezim Orde Baru sungguh hormat dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila tersebut.

  Tidak jauh dari monumen tersebut dibangunlah diorama pembantaian para jenderal yang dinobatkan sebagai syuhada atau Pahlawan Revolusi. Di Lubang Buaya itulah, para Jenderal Revolusi dibunuh dan kemudian dinarasikan sebagai simbol-simbol syuhada pembela Pancasila. Bermula dari sinilah, rezim Orde Baru berhasil membuat konstruksi dan rekonstruksi terhadap sejarah atau historiografi yang hegemonik dan manipulatif untuk memutarbalikkan fakta-fakta sejarah yang digunakan untuk menciptakan psikologi rasa takut. Setelahnya, kekerasan menjadi begitu sah dan normatif dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya lewat berbagai narasi-narasi sejarah yang diciptakannya.

  Sejarah atau historiografi rezim Orde Baru itu merupakan alat paling legitim bagi kekuatan militer sebagai pilar utama dalam menyangga rezim Orde Baru untuk melakukan kekerasan dalam ruang-ruang publik. Peristiwa sejarah tersebut didasarkan pada masa transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Jutaan manusia yang disinyalir terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) telah disiksa, dibunuh dan dilenyapkan tanpa proses hukum. Sedangkan jutaan lainnya, ditangkap, dipenjarakan dan dicap sebagai “orang-orang” paling berbahaya bagi kelangsungan Pancasila. Akhirnya, militerisme resmi menjadi tumpuan bagi negara Indonesia dalam membangun dasar-dasar kekuasaannya yang nyaris menguasai seluruh tata kehidupan, baik sosial,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xi

  Militer berhasil membangun mitos sebagai lembaga paling berjasa dalam seluruh proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Ironisnya mitos tersebut seolah diterima begitu saja oleh masyarakat Indonesia tanpa keberanian untuk bersikap kritis terhadapnya. Padahal mitos yang didasarkan pada tragedi paling berdarah di Indonesia tersebut telah merenggut identitas dan martabat kemanusiaan masyarakat Indonesia sendiri. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September tersebut menjadi dasar legitimasi negara untuk menyelamatkan Pancasila dengan mengorbankan manusia-manusia Indonesia yang diberi stigma sebagai PKI. Kekuatan-kekuatan rakyat akar rumut dipecah belah dan diadu domba satu dengan yang lainnya.

  Pembantaian dan kekerasan massal tersebut terus mewarnai ruang-ruang ingatan dan sejarah Indonesia. Dan peristiwa tersebut semacam monster yang bisa dibangkitkan kembali untuk memberangus dan menindas semua lawan politik rezim Orde Baru. Maka dari itu, berdasarkan narasi sejarah tersebut tindakan kekerasan yang dilakukan oleh negara tampak sah, wajar dan legitim. Imbasnya, semua aparatur negara dan terutama militer yang melakukan tindak kekerasan seolah tidak pernah merasa bersalah, karena apa yang dilakukan memang sah sebagai perwujudan dari norma-norma negara. Padahal tindakan itu jelas-jelas merampok hak-hak dasar hidup rakyat yang bernaung di bawah negara yang katanya menjunjung tinggi Pancasila sebagai nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Dari sana, Indonesia mulai sebuah babakan baru sebagai bangsa dan negara yang sukses menciptakan landasan normatif bagi penggunaan kekerasan dalam mengendalikan dan mengontrol jalannya kehidupan politik, sosial, ekonomi,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xii

  model konflik kekerasan bisa ditemukan di Indonesia, baik karena perbedaan suku, agama, ras, gerakan separatisme dan lain sebagainya. Negeri yang katanya murah senyum dan damai ini nyaris hancur berantakan oleh berbagai macam konflik horisontal yang muncul serentak di berbagai wilayah, misalnya di Aceh, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Timor Timur dan seterusnya. Konflik kekerasan politik yang paling kuat menjadi perhatian dunia yakni saat Timor-Leste berusaha untuk melepaskan dan membebaskan diri dari kolonisasi Indonesia.

  Konflik kekerasan politik di Timor-Leste menjadi petanda (signifie) paling terang benderang dari karakter rezim Orde Baru dalam menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuatan dan kekuasaan politiknya. Tragedi kemanusiaan di Timor- Leste pasca Jajak Pendapat 1999, menggugat diri saya tentang seluruh ingatan saya dalam menyaksikan sendiri kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Saya semakin tertarik untuk menjawab pertanyaan ini: apakah ada kontinuitas “bawah sadar” dalam narasi-narasi sejarah atau historiografi yang dibuat oleh rezim Orde Baru dalam menanggapi tuntutan kemerdekaan masyarakat Timor-Leste? Saya menangkap adanya perilaku atau pemberlakuan norma negatif yang sama dilakukan oleh pejabat (militer) Indonesia ke dalam proses lepasnya Timor-Leste dari wilayah Indonesia. Peristiwa G 30 September 1965 seolah direplikasi oleh negara (militer) Indonesia selama 24 tahun di Timor-Leste.

  Pengalaman keterlibatan dalam gerakan reformasi 1998 dan setelahnya ikut terlibat dalam pendampingan para pengungsi korban konflik kekerasan bersama JRS Indonesia membuat diri saya semakin diseret untuk melihat bagaimana warisan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xiii

  multidimensi, baik sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain sebagainya. Rezim Reformasi yang mengawal proses transisi kekuasaan tersebut harus berhadapan dengan berbagai persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang merupakan warisan rezim Orde Baru. Persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat itu sebagian saya saksikan langsung bersama dengan teman-teman JRS lewat pengalaman pendampingan para pengungsi dan korban konflik yang tersebar di Timor-Leste, Aceh, Maluku dan lain sebagainya.

  Oleh karenanya, semua pengalaman keterlibatan tersebut mendesak saya untuk “berani” menuliskan pengalaman pribadi saya sebagai bagian dari penonton dalam berbagai peristiwa kekerasan yang telah mengakibatkan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Pengalaman pendampingan untuk para pengungsi dan penyintas mendorong saya untuk melakukan refleksi mendalam tentang peran sejarah atau historiografi Indonesia dalam berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang dilakukan oleh negara.

  Berdasarkan pengalaman dan pergumulan pribadi bertemu dengan para pengungsi dan penyintas yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, saya terpacu untuk membuat sebuah refleksi-kritis-teoritis atas pengalaman-pengalam tersebut. Selain itu, saya ingin meneropong bagaimana pengalaman-pengalaman para pekerja kemanusiaan yang dulu bekerja bersama saya di lembaga kemanusiaan JRS bisa menjadi material penelitian yang menarik dalam menyumbang pendekatan keilmuan di bidang (politik) ingatan, trauma dan identitas bagi masyarakat yang sedang bergumul untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masa lalunya yang penuh diwarnai oleh pelanggaran HAM dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xiv

  Maka dari itu, penelitian ini sebenarnya merupakan sebuah rangkuman panjang pengalaman saya sendiri dalam merefleksikan berbagai warisan persoalan rezim Orde Baru ke masa transisi kekuasaan yang penuh diwarnai oleh kekerasan. Transisi kekuasaan yang penuh dengan kekerasan tersebut telah berakibat pada pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang sampai hari ini belum tuntas diselesaikan oleh negara. Harapannya, penelitian ini menyumbangkan berbagai pandangan tentang pembangunan kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dan mengedepankan akal sehat dalam penyelesaian persoalan-persoalan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

  Pengalaman sebagai pekerja kemanusiaan di JRS memberikan lembaran-lembaran ingatan yang sulit untuk saya hilangkan. Terutama saat saya menyaksikan bahwa penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat, seperti kasus Timor-Leste, belum menemukan titik terang. Kebenaran dan keadilan masih ditaruh dalam ruang-ruang gelap masa lalu. Para korban kekerasan pun masih terus mencari apakah keadilan dan hukum masih bisa mereka temukan di ruang-ruang kehidupan di negeri ini.

  Oleh karena itu, suara-suara para korban yang sering saya jumpai dan diskusikan dengan teman-teman pekerja kemanusiaan JRS masih terus mendesak untuk diangkat kembali sebagai usaha untuk menolak proses impunitas terhadap para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Oleh karena itu, tesis ini jelas berusaha untuk mengungkap secara kritis berbagai wacana yang berkembang dalam usaha banyak pihak untuk menyelesaikan masa lalu warisan rezim Orde Baru.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xv

  menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang dilakukan oleh negara pasca tumbangnya rezim totaliter-otoriter.

  Selain itu, saya merasa bahwa pengalaman para pekerja kemanusiaan JRS yang dulu pernah melakukan kerja-kerja kemanusiaan dan langsung bertemu dengan para pengungsi dan penyintas kekerasan bisa menjadi bahan mentah yang sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam dan kritis. Pengalaman pendampingan itu bisa menjadi bahan penelitian untuk mengembangkan berbagai macam model pendampingan atau pemaknaan identitas kerja-kerja kemanusiaan di tengah berbagai persoalan kemanusiaan yang tampaknya belum juga surut dari dunia kehidupan manusia. Saya berharap tesis ini bisa menjadi salah satu bahan wacana yang bisa dijadikan refleksi- kritis bersama untuk memberikan perspektif yang lain tentang kerja-kerja kemanusiaan. Semoga. (**)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xvi ABSTRAK

  Impunitas dan sakralisasi kekerasan merupakan hasil (re)konstruksi sejarah atau historiografi rezim Orde Baru. Pola ini terbentuk sejak rezim Orde Baru mengambil alih kekuasaan dari Orde Lama lewat tragedi kemanusiaan 30 September 1965 dan pemutarbalikkan fakta sejarah. Terciptalah norma negatif dalam tata kekuasaan di Indonesia. Pemerintahan transisi pasca tumbangnya rezim Orde Baru akhirnya terus mengidap ketidaksadaran untuk me(re)produksi kekerasan di masa yang akan datang dan membiarkannya beroperasi dalam ruang-ruang publik. Hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan identitas kemanusiaan rakyat Indonesia. Replikasi penggunaan kekerasan dan pendakuan kebenaran berdasarkan pemutarbalikkan fakta sejarah kembali terjadi di Timor-Leste.

  Sejak tahun 1975, pemutarbalikkan fakta-fakta sejarah digunakan oleh Indonesia untuk mengkolonisasi Timor- Leste lewat kekuatan militer. Militer menjadi “alat paling ampuh” dalam mengoperasikan norma negatif. Sampai dengan kemerdekaannya pada

  Agustus 1999, Timor-Leste menjadi korban aktualisasi norma negatif rezim Orde Baru. Maka kekerasan dalam proses Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste kembali dilakukan oleh militer (Indonesia) yang berakibat pada pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat.

  Maka, pengalaman masa lalu yang penuh pengalaman traumatis akibat pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat harus menjadi narasi yang bisa dibaca, ditafsir dan ditulis ulang dengan metode psikoanalisa dan dekonstruksi. Metode ini sangat penting agar sejarah atau historiografi bisa menjadi representasi bagi suara- suara para penyintas yang menuntut pengungkapan kebenaran harus diikuti dengan perwujudan keadilan. Testimoni lapis kedua dari para pekerja kemanusiaan JRS sangat fundamental bagi terbentuknya (politik) ingatan dalam penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste.

  Pengalaman trauma dalam keterlibatan dengan para pengungsi dan penyintas di Timor-Leste menjadi bagian dari ingatan kolektif para pekerja kemanusiaan JRS. Pengalaman trauma membentuk identitas para pekerja kemanusiaan JRS sebagai

  

middle-voices dalam memperjuangkan hak-hak para pengungsi dan penyintas dalam

  mengungkap kebenaran dan mewujudkan keadilan. Karenanya, testimoni lapis kedua menjadi “material berharga” untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi sejarah atau historiografi hegemonik dan manipulatif warisan rezim totaliter-otoriter Orde Baru. Selain itu, testimoni lapis kedua diharapkan bisa menjadi penanda (signifiant) dan sekaligus petanda (signifie) bagi terciptanya

  the “other” history. (**)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xvii ABSTRACT

  Impunity and sacralization of violence are results of (re)constructed history or historiography made by the New Order Regime. This pattern has been formed since the New Order Regime took over state power from the Old Order Regime through human carnage on 30 September 1965 and the twisted of historical facts. From then on, negative norm has been created within the system of power in Indonesia. The transition government who took over the power after the fall of the New Order Regime unconsciously (re)produce violence and let it infiltrates public spaces. This has threatened the continuity of Indonesian humanity. Violence and twisted historical facts replicated in East Timor.

  Since 1975, Indonesia has twisted historical facts to legitimize its occupation over East Timor through military force. Military was “the most effective instrument” to carry out negative norm. Until its independence in August 1999, East Timor had been a victim of the negative norm execution by the New Order Regime. Violence post-1999 referendum in East Timor by Indonesian military forces has caused human right violation and severe crime against humanity.

  Traumatic life experience caused by severe crime against humanity and human rights violation should be made into readable, interpretable, and rewritable narration using psychoanalysis and deconstruction methods. These methods usage aims to show that historiography can represent victims’ voices demand for justice and truth revelation. Second line testimonial from humanitarian actors, such as JRS staff, is fundamental for the formation of (political) memory in settling human rights violations and severe crime against humanity in East Timor.

  Trauma experiences through direct involvement with East Timor refugees and survivors were being apart of collective memory of JRS staff. Trauma experiences created identity of JRS staff as middle-voices in fighting for the rights of the refugees and survivors for the sake of justice and truth revelation. Second line testimonial become “valuable material” to deconstruct and reconstruct hegemonic and manipulative history of totalitarian-authoritarian New Order Regime. Besides, the second-line testimony is expected to be signifiant and signifie to create the “other” history. (**)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xviii

  Untuk semua yang saya cintai dalam berbagi kehidupan Istriku:

  Francisca Maria Andriyani Anak-anakku:

  Kinsha, Bisma, Setha, (Dyca), Laras, dan si kecil Lakhes

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  H a l a m a n | xix ….Kita melulu akan menginginkan dan memilih apa jang lebih membimbing kearah tudjuan kita ditjiptakan.

  (Latihan Rohani, No. 23, Asas dan Dasar)

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI H a l a m a n | xx

  DAFTAR ISI

JUDUL TESIS .................................................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................. ii

PEGESAHAN ................................................................................................................. iii

PERNYATAAN .............................................................................................................. iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...................................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ix

ABSTRAK .................................................................................................................... xvi

ABSTRACT ................................................................................................................. xvii

PERSEMBAHAN ....................................................................................................... xviii

EPIGRAF ...................................................................................................................... xix

DAFTAR ISI ................................................................................................................. xix

  BAB I KEKERASAN DALAM TRANSISI KEKUASAAN DI TIMOR-LESTE 1999:

SEBUAH PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang Persoalan ......................................................................................... 7 B. Rumusan Persoalan ................................................................................................. 11 C. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 13 D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 14 E. Kerangka Teori ....................................................................................................... 21 F. Metode Penelitian .................................................................................................... 32 G. Sistematika Penulisan Tesis .................................................................................... 37 BAB II KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI TIMOR-LESTE:

(INGATAN) SEJARAH DALAM KACA MATA SEMIOTIKA ............................ 39

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI H a l a m a n | xxi

  BAB III TRAUMA DAN NARASI PENGALAMAN PEKERJA KEMANUSIAAN JRS

INDONESIA :PERSPEKTIF PSIKOANALISA ....................................................... 97

A. Ingatan Tentang Timor-Leste: Seorang Jenderal vs Pekerja Kemanusiaan JRS .... 99 B. Visi-Misi JRS dan Persoalan Kemanusiaan di Timor-Leste ................................ 107 C. Ketakutan Kolektif dan Identitas Bersama Sebagai Korban ................................ 116 D. Persentuhan dengan Tubuh-Tubuh Neurotik Pengungsi ...................................... 122 E. Trauma Pekerja Kemanusiaan dan Transference Identitas ................................... 137 F. Suara-Suara Antara (Middle Voices) dan Gairah Keterlibatan ............................. 148 BAB IV (POLITIK) INGATAN DAN TESTIMONI LAPIS KEDUA SEBAGAI UPAYA

MEMATAHKAN IMPUNITAS: PERSPEKTIF DEKONSTRUKTIF ................. 165

A. Ingatan dan Kesaksian Masa Lalu dalam Epistemologi Sosial ............................ 166 B. Impunitas dan Dekonstruksi Sejarah (Historiografi) Timor-Leste ....................... 171 C. Testimoni Lapis Kedua dan Kewajiban Negara Untuk Mengingat! .................... 185 D. (Politik) Ingatan: Melawan Kejahatan Kemanusiaan Struktural! ......................... 197 E. Menjadi “Teman” Para Pengungsi (Penyintas) dan Mematahkan Impunitas ....... 212 F. Persoalan Etis: Testimoni Lapis Kedua dan Tanggung Jawab Masa Lalu ........... 232 BAB V MENULISKAN TRAUMA SEJARAH DAN MEMBANGUN (KEMBALI)

PERADABAN KEMANUSIAAN: SEBUAH PENUTUP ....................................... 252

A. Trauma dan Identitas Kemanusiaan ..................................................................... 253 B. Testimoni Lapis Kedua, Sejarah dan Ingatan Sosial ............................................ 261 C. Komitmen Etis dan Peradaban Kemanusiaan ....................................................... 272

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 281

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  B a b I | 1

BAB I KEKERASAN DALAM TRANSISI KEKUASAAN DI TIMOR-LESTE 1999: SEBUAH PENDAHULUAN For Arendt, “Violence appears where power is in jeopardy…”

  (Page. Xv, An Interdisciplinary Reader Violence and Its Alternatives, Edited by Manfred B. Steger and Nancy S. Lind).

  Rezim kekuasaan Orde Baru diawali dengan kekerasan dan diakhiri juga dengan kekerasan. Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru menjadi tonggak paling kuat terbentuknya “norma negatif” dalam sistem kekuasaan di Indonesia. Gerakan 30 September 1965 menjadi tanda paling kasat mata bagaimana peralihan kekuasaan dalam sejarah Indonesia modern dilakukan dengan kekerasaan. Akibatnya, lebih dari satu juta orang yang ditengarai terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh se cara kejam oleh “sesama dan saudara” bangsa sendiri atas legitimasi dari negara. Tidak hanya itu, jutaan orang disiksa dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Gerakan 30

  September 1965 telah menjadi tragedi kemanusiaan paling berdarah yang secara sistematis membentuk trauma kolektif dalam sejarah Indonesia. Tragedi tersebut menjadi signifiant ingatan paling kuat bagaimana Indonesia dibangun dengan pondasi kekerasan.

  Ironisnya, kekerasan tersebut selalu diingat dan dirayakan sebagai peristiwa sakral yang sangat mengikat ingatan kolektif bangsa Indonesia. Tak ayal lagi, negativitas pun menjadi norma yang sah untuk kelangsungan negara-bangsa yang bernama Indonesia. Apa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  B a b I | 2

  yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tersebut bisa disebut sebagai sakralisasi kekerasan.

  1 Selama sakralisasi kekerasan itu terus ada dan berlangsung, identitas kemanusiaan dan

  tentu saja ke-Indonesia-an kita seperti dilenyapkan dan tidak pernah mendapat pengakuan (recognition).

  Sakralisasi kekerasan dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk mengingatkan bahwa pembantaian dan penyiksaan jutaan rakyat adalah “benar” atas nama pembelaan terhadap kepentingan negara yakni Kesaktian Pancasila. Karenanya, peristiwa tersebut lantas diabadikan oleh rezim Orde Baru dengan membangun Monumen Pancasila Sakti pada tahun 1969. Monumen ini menjadi tanda paling jelas bagaimana sakralisasi kekerasan terus dihidupi oleh rezim Orde Baru hampir selama 30 tahun lebih. John Roosa (2008) menyatakannya dengan amat lugas demikian:

  “Monumen yang dibuka pada 1969 ini dinamai Monumen Pancasila Sakti. Semasa pemerintahan Soeharto, Pancasila, lima prinsip nasionalisme Indonesia yang diucapkan Sukarno untuk pertama kali pada tahun 1945, diangkat menjadi ideologi resmi negara. Pancasila dibayangkan sebagai perjanjian suci bangsa dan Lubang Buaya adalah situs pelanggaran paling mengerikan terhadap perjanjian itu. Dengan demikian, monumen ini menyucikan situs pelanggaran tersebut dan menahbiskan para perwira yang dibunuh sebagai syuhada-syuhada suci. Sebagai ruang sakral, Monumen Pancasila Sakti menjadi lokasi penyelenggaraan ritual-ritual rezim Soeharto yang paling penting. Setiap lima tahun semua anggota parlemen berkumpul di sini, sebelum memulai sidang pertama, untuk bersumpah setia kepada Pancasila. Setiap tahun pada 1 Oktober, Soeharto dan pejabat terasnya menyelenggarakan upacara di hadapan monumen tersebut untuk menyatakan janji kesetiaan mereka yang abadi kepada Pancasila. Semalam sebelumnya semua stasiun televisi diwajibkan menyiarkan film buatan pemerintah, Pengkhianatan Gerakan 3

  0 September/PKI (1984)…” 2

  1 Gagasan tentang sakralisasi kekerasan ini terinspirasi dari tulisan Barbara A.Misztal yang menulis artikel panjang tentang

  “The Sacralization of Memory” (European Journal of Social Theory 7 (1): 67-84, Copyright © Sage Publications: London, Thousand Oaks, CA and New Delhi). 2 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Jakarta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  B a b I | 3

  Ritual di depan Monumen Pancasila Sakti berhasil mengukuhkan kekuasaan rezim Soeharto. Kekuasaan itu tampak begitu sah, suci, agung, dan seterusnya, karena selalu disakralkan dengan sumpah suci di hadapan Monumen Pancasila Sakti. Sumpah itu semacam penerusan perjuangan bagi pengorbanan suci yang dialami oleh para perwira militer (TNI) yang dinobatkan sebagai syuhada pembela Pancasila. Para perwira TNI ini selalu dinarasikan sebagai manusia-manusia Indonesia yang telah menjadi korban kebiadaban orang-orang yang mau berkhianat terhadap Pancasila. Soeharto dan rezimnya ingin melanjutkan perjuangan suci itu dalam membangun Indonesia dan tidak akan berkhianat terhadap Pancasila. Untuk itulah di relief Monumen Pancasila Sakti tertulis:

  3 “Waspada…..dan mawas diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi.”

  Kalimat itu bukan sekedar sebuah tulisan di dinding relief, namun telah berubah menjadi mantra yang menusuk labirin rasa takut manusia Indonesia. Dan lebih dari itu, kalimat itu adalah pengukuhan paling jelas bahwa siapapun yang akan berkhianat terhadap Pancasila, berarti sudah berdiri sebagai musuh bangsa. Mereka ini sah dan pantas untuk dibinasakan bukan dalam arti kiasan, namun dalam pengertian yang sangat jelas dan konkret. Kunci sukses kuatnya rezim Orde Baru adalah keberhasilannya menciptakan

  

4

Rasa takut itu sangat dekat dan terkait erat “psikologi rasa takut” bagi rakyat Indonesia. 3 4 Dikutip dari John Roosa, 2008, hal. 10.

  Dalam artikelnya yang berjudul “Kekerasan dan Anarki Negara Indonesia Modern”, Nico G. Schulte Nordholt memberikan gambaran yang leb ih rinci soal “ketakutan psikologi” yang tercipta selama

rezim Orde Baru. Istilah itu disitir oleh Schulte dari tulisan Abdurrahman Wahid yang ditulis di Kompas

(15/6/1983). Demikian tulis Schulte, “Tidak mengherankan, Adnan Buyung Nasution dan banyak rekan

senegaranya sangat mendukung harapan yang diungkapkan di dalam editorial yang telah disebut di atas dalam

peristiwa meninggalnya Ali Murtopo, yaitu, akhir dari suatu “ketakutan psikologi” telah berada di ambang

pintu. Ungkapan ini diciptakan oleh seorang kolumnis yang terkenal dan pemimpin agama, Abdurrahman

  B a b I | 4

  dengan sakralisasi terhadap peristiwa kekerasan yang sudah terjadi. Orde Baru berhasil menyulap narasi di seputar Lubang Buaya dan Gerakan 30 September 1965 menjadi sebuah cerita suci yang mirip seperti cerita-cerita dalam agama.

  Bagi rezim Orde Baru, Lubang Buaya menjadi simbol untuk ritus korban. Seperti halnya dalam banyak ritual keagamaan, ritus korban bisa sebagai mimetis sebagai pembenaran terhadap kekerasan. Kaitan antara ritus korban dan agama dijelaskan oleh Sindhunata (2006) dengan sangat komprehensif berdasarkan pemikiran Rene Girard dalam bukunya Kambing Hitam, Teori Rene Girard. Demikian dituliskan oleh Sindhunata,

  “Agama ada karena fenomena kekerasan yang mimetis, dan keberadaannya dapat diterangkan secara rasional dari kekerasan yang mimetis itu. Itulah hipotesis pokok Girard [...] Jelas, bahwa ritus korban adalah salah satu praktik yang terpenting bagi agama dalam mempertahankan eksistensinya. Bagi Girard, pendapat para ahli tentang ritus korban sampai saat ini hanya menghadapkan kita pada teka-teki. Dan teka-teki itu akan tetap tinggal suatu misteri, kalau kita tidak berani melihat ritus korban itu sebagai sesuatu yang mempunyai hubungan dengan kenyataan, bahkan jika kenyataan itu adalah kekerasan […] Kekerasan pecah karena pelbagai hal atau alasan. Tapi begitu kekerasan pecah, ia tak mungkin saja mengenai salah satu objek. Kekerasan itu ada demi kekerasan sendiri. Dan begitu mulai “mengamuk”, kekerasan ini tak bisa menghajar udara kosong. Ia memerlukan penyaluran.”

  5 Dalam banyak ajaran ritual keagamaan, entah itu agama monoteis atau yang lainnya,

  rasa takut menjadi salah satu faktor penting dalam menghormati Yang Suci dan Yang Benar. Kesucian itu seringkali tidak datang dari sebuah pemahaman rasional-empiris terhadap apa yang diyakini sebagai kebenaran, namun seringkali diterima begitu saja tanpa filter rasionalitas. Dari situ, kebenaran akan Yang Suci dan Yang Benar tidak lagi menjadi hal yang patut dipersoalkan atau disikapi secara kritis, meski ritual untuk menghormati

  

bahwa dalam jangka panjang penerapan “psikologi rasa takut” ini akan memantul pada perjuangan

pemb angunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.” Lihat dalam Frans Husken dan Huub de Jonge

(eds.), Orde Zonder Order, Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998, Yogykarta: LKiS, 2003, hal. 84.

5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  B a b I | 5

  Yang Suci dan Yang Benar itu dilandasi oleh sebuah kebohongan yang telah merenggut ribuan nyawa atau bahkan jutaan manusia. Demikian ditegaskan oleh Sindhunata,

  

“Disinilah kita menemukan akar dari ritus korban, yakni bahwa ritus korban itu dapat

  6 Analogi tentang berhasil jika ada “penipuan” dan “salah kira” dalam tindakan korban.”

  ritus korban dalam agama ini, bisa persis ditautkan dengan ritual yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ritus korban ini menjadi dasar keberhasilan untuk menciptakan “tatanan normatif tertentu” yang secara sadar atau tidak sadar menjadi rujukan bagi tindakan dan perilaku orang-orang yang mendukung kekuasaan rezim Orde Baru.

  Oleh karena itu, peristiwa kekerasan dan kerusuhan massa yang terjadi bersamaan dengan tumbangnya rezim Soeharto pada tahun 1998 sebenarnya merupakan rentetan peristiwa yang bercermin pada tragedi 1965. Meskipun pola dari kekerasan dan kerusuhan massa tersebut berbeda konteks dan pelakunya, bentuk kekerasan itu masih dalam proses mempertahankan identitas penguasa (negara) sebagai pemegang mandat untuk menjaga Yang Suci dan Yang Benar, yaitu Pancasila. Dengan demikian, kekerasan masih sah untuk dilakukan karena penguasa (negara) melakukan kekerasan itu untuk membela Pancasila, sebagai Yang Suci dan Yang Benar. Karenanya, siapa pun yang mau menggoyang Yang Suci dan Yang Benar harus dilawan dan ditumpas sampai habis. Hal ini membuat berbagai upaya untuk melakukan rekonsiliasi di Indonesia seolah selalu menemukan jalan buntu.

  Kita masih ingat, saat Aburrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden, dia mendorong munculnya gerakan rekonsiliasi nasional sebagai upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan kekerasan politik pada masa lalu. Salah satu tindakan penting Gus 6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  B a b I | 6

  Dur sebagai presiden adalah meminta maaf kepada para korban tragedi 1965. Inisiatif politik Gus Dur tersebut ternyata dinilai sangat kontroversial. Tindakan meminta maaf tersebut masih sulit diterima, bahkan di kalangan Nahdatul Ulama sendiri.

  Gus Dur melihat bahwa tuntutan reformasi politik pada waktu itu masih membuka peluang bagi dilakukannya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan gagasan rekonsiliasi nasional. Komitmen politik Gus Dur sebenarnya bukan inisiatif pribadi saja, namun sudah resmi menjadi mandat negara lewat diterbitkannya TAP MPR No. V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Dokumen ini memandatkan dibentuknya sebuah komisi yang bertugas untuk mengungkap penyalahgunaan wewenang

  7

  negara di masa lampau dan merumuskan etika berbangsa di masa depan. Dokumen tersebut juga memberikan kerangka normatif yang cukup jelas untuk membuat komisi yang sama di wilayah konflik paling berdarah di Indonesia, yakni Aceh dan Papua.

  Sebagai langkah konkret dari cita-cita normatif tersebut, maka dirumuskan sebuah dokumen resmi negara lewat Undang-Undang No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini akan bekerja untuk mengungkap pelanggaran HAM berat dan semua peristiwa kekerasan politik masa lalu, terutama bagi para korban politik Orde Baru.

  Sayangnya, kehendak politik yang baik dari Gus Dur untuk menyelesaikan persoalan kekerasan masa lalu pun akhirnya kandas karena pada tanggal 23 Juli 2001, dia dimakzulkan oleh MPR. Maka cita-cita Gus Dur untuk merintis “rujuk nasional” juga kandas bersamaan dengan dicabutnya mandat Gus Dur sebagai presiden RI.

7 Lihat Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor-Leste, Per

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  B a b I | 7

  Saat Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dipercaya sebagai orang nomer satu RI, Mahkamah Konstitusi membatalkan pelaksanaan UU No. 27/2004 karena dianggap secara fundamental bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pembatalan itu dilakukan sebelum Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut bekerja sebagaimana dimandatkan oleh UU tersebut. Pembatalan RUU KKR tersebut menegaskan bahwa kelompok elit kekuasaan tertentu masih ingin terus menyetir dan mengendalikan agar impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia tetap dilanggengkan.