Islam dan Liberalisme di Indonesia Pasca

Islam dan Liberalisme di Indonesia Pasca-19651
Oleh Amin Mudzakkir2
Pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) selama
tahun 1965-1966 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia kontemporer. Sejak itu liberalisme—
yang pada masa akhir kekuasaan Presiden Sukarno dikecam oleh banyak kalangan karena dituduh
membuat pemerintahan berjalan tidak efektif—berkembang mengikuti konsolidasi pemerintahan
Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Pada tataran politik terdapat perdebatan
tentang apakah Orde Baru adalah rezim liberal atau bukan, tetapi cukup pasti kebijakan ekonomi
Indonesia pasca-1965 sangat terbuka bagi masuknya investasi dan modal asing, lalu belakangan
semakin menerima paham pasar bebas.
Di luar arena pemerintahan, orientasi liberal yang tumbuh di Indonesia pasca-1965
ternyata mempunyai resonansi pada, jika bukan justru difasilitasi oleh, pemikiran kebudayaan.
Mengenai hal ini, Wijaya Herlambang telah membahasnya dengan menunjukan kontak-kontak
yang intensif antara beberapa pegiat kebudayaan liberal—di Indonesia dikenal sebagai kalangan
‘humanisme universal—dan para sejawatnya di Barat. Melalui kontak-kontak ini disalurkan
berbagai ide, skema, dan dana untuk mendukung program-program kebudayaan yang
mengukuhkan keberadaan paham liberal dalam arena kebudayaan Indonesia kontemporer.
Makalah pendek ini ingin menunjukkan bahwa peristiwa 1965 dapat dibaca juga sebagai
pembuka jalan bagi perkembangan ‘Islam liberal’ di Indonesia. Dalam hal ini jarang disadari
bahwa munculnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam sedikit banyak difasilitasi oleh
hilangnya diskursus komunisme, atau ‘kiri’ dalam pengertian yang lebih luas, di Indonesia pasca1965. Secara genealogis, selain mengacu pada khazanah gerakan politik dan intelektual di dunia

internasional, paham Islam liberal tumbuh dan berkembang di atas reruntuhan pemikiran kiri di
                                                             
1

  Disampaikan  pada  seminar  “pengaruh  budaya  liberal  terhadap  kehidupan  di  Indonesia”,  di  Kampus  Universitas 
Gunadarma, Kalimalang, Bekasi, 18 Januari 2013.  
2

 Peneliti PSDR‐LIPI ([email protected]).  


 

dalam negeri sendiri. Dengan menekankan argumen ‘kebebasan’ (‘liberty’), para pemikir Islam
liberal Indonesia mengarahkan kritiknya terhadap pemahaman keagamaan umat Islam yang
dinilai ketinggalan zaman. Seirama dengan gagasan kalangan ‘humanisme universal’, para
pembaharu Islam mengajak umat untuk bangun dari tidur dogmatisnya, lalu mengarahkan
mereka menuju kemoderenan melalui jalan sekularisasi. Gagasan ini memang cukup berbobot
karena didukung oleh interpretasi yang mendalam atas teks-teks keagamaan Islam sendiri, tetapi
kurang kritis terhadap realitas sejarah yang membentuknya.


“Islam Yes, Partai Islam No!”
Pada masa awal kekuasaannya, pemerintah Orde Baru sangat membatasi ruang gerak aktivis
Islam dalam politik. Melalui Operasi Khusus yang dipimpi oleh Jenderal Ali Moertopo,
pemerintah berusaha membangun kesan bahwa Islam politik adalah ancaman. Diperlakukan
kurang lebih sama seperti orang komunis, para aktivis Islam politik yang sebagian besar adalah
alumni gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang bertransformasi menjadi
Negara Islam Indonesia (NII), dituduh berada di balik beberapa kasus kekerasan dan teror selama
periode ini, seperti kasus pembajakan pesawat Woyla dan Komando Jihad. Meski demikian,
beberapa penelitian berusaha membuktikan adanya campur tangan dan peranan Ali Moertopo
(aksi kontra-intelejen) dalam gerakan-gerakan Islam politik tersebut.
Islam politik adalah paham yang menganggap bahwa Islam melingkupi agama dan negara
sekaligus, tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, menurut para pendukungnya, negara Islam
adalah keharusan karena hanya dalam bentuk itulah keberadaan Islam yang menyeluruh (kaffah)
bisa ditegakkan. Meski demikian, Islam politik harus kita perlakukan sebagai fenomena modern.
Dengan mengambil inspirasi dari gerakan politik dan intelektual di Timur Tengah, pada
pendukung Islam politik pada dasarnya hendak mencari tempat bagi ajaran Islam dalam kerangka
negara bangsa atau tata internasional modern. Meski demikian, kalangan ini meliputi spektrum
yang luas. Sementara sebagian mengambil jalan radikal, sebagian lainnya lebih memilih
menempuh jalur demokrasi formal yang berlaku di negaranya masing-masing. Dalam


 

perkembangan kontemporer, aktivitas Islam politik—yang oleh para pengamat sering juga
disebut ‘Islamisme’—ternyata mampu bersekutu dengan neoliberalisme, seperti diperlihatkan
oleh AKP yang dipimpin oleh Erdogan di Turki.
Di Indonesia, penolakan dan penyingkiran Islam politik berasal tidak hanya dari penguasa
nasionalis (Orde Lama) dan militeristis (Orde Baru) saja, tetapi juga dari kalangan internal
Muslim sendiri. Beberapa pemikir Islam baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis
mengkampanyekan gagasan bahwa Islam adalah agama yang pada dasarnya tidak pernah
memberi rumusan pasti mengenai bentuk politik kenegaraan. Mereke menekankan karakter lokal
yang membedakan ‘Islam Indonesia’ dan Islam di tempat lain, khususnya Islam di Arab sebagai
tanah kelahirannya. Meski demikian, hingga akhir 1950-an, gagasan Islam politik masih
mempunyai ruang gerak, yaitu di arena Konstituante yang oleh Pemilu 1955 ditugaskan
merumuskan dasar negara. Namun Dekrit Presiden Sukarno pada 1959 pada satu sisi dan operasi
penumpasan DI/TII serta PRII pada sisi yang lain mengakhiri ruang gerak tersebut. Sejak itu
Islam politik menjadi gagasan yang dihindari dalam diskursus publik di Indonesia.
Di antara pemikir yang paling awal memunculkan wacana ‘Islam liberal’ di Indonesia
adalah Nurcholish Madjid. Lahir dari keluarga dengan latar belakang pesantren tradisional di
Jombang, Jawa Timur, Madjid dibesarkan dalam iklim pesantren modern di Gontor, Ponorogo.

Sembari melanjutkan pendidikan di IAIN Ciputat, Madjid aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) hingga mencapai jabatan ketua umum tingkat nasional. Pada awal
tahun 1970-an, Madjid telah tampil sebagai sosok intelektual muda Islam paling menjanjikan,
sehingga sempat disebut sebagai Natsir muda. Perlu diketahui M. Natsir adalah pemimpin
Masyumi terhormat, yang kemudian mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang
dikenal sangat kritis terhadap Barat dan pemerintahan yang berhaluan nasionalis sekuler.
Akan tetapi, harapan terhadap Madjid sebagai Natsir Muda dalam perkembangannya
sirna. Pada tahun 1971, di hadapan para aktivis muda Islam, Madjid berpidato tentang
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam pidato inilah
muncul sebuah jargon yang kemudian menjadi sangat populer, yaitu “Islam yes, partai Islam no!”.

 

Secara umum pidato ini merupakan kritik atas gagasan negara dan partai Islam. Menurut Madjid,
Islam lebih daripada sekadar negara dan apalagi partai politik. Lebih tepatnya, Islam sebagaimana
dipahami oleh Madjid melalui pembacaannya atas teks-teks keagamaan tidak pernah secara tegas
menentukan bentuk negara apa, sebab hal seperti itu adalah urusan duniawi belaka. Dengan ini
Madjid mengajak umat Islam Indonesia menempuh jalan liberal, yang terdiri dari sekularisasi,
kebebasan berpikir, dan sikap terbuka, agar maju dan menjadi bagian dari peradaban modern.
Nostalgia atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus

digantikan dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses
yang untuk mudahnya kita namakan proses liberalisasi. Proses ini dikenakan
terhadap ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam yang ada sekarang ini.
Proses ini menyangkut proses-proses lainnya…
Jadi dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan
mengubah kaum Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk
menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya…
Dalam hal inilah kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu
sekali lagi akibat dari pada tiadanya kebebasan berfikir, kacaunya hirarki antara
nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berfikir yang masih
terlalu tebal diliputi oleh tabu dan apriori dan sebagainya…
Dan bahwa sikap terbuka adalah tanda-tanda bahwa seseorang memperoleh
petunjuk dari pada Allah, sedangkan sikap tertutup sehingga berdada sempit dan
sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit merupakan tanda-tanda kesesatan!
Pidato Madjid sangat menohok para politisi Muslim yang ketika itu sedang berusaha
menggalang adanya partai politik berbasis Islam. Dengan reputasi yang dimilikinya, pandangan
Madjid berkembang cukup luas terutama di kalangan anak muda Muslim yang mulai merambah
dunia modern melalui jalur pendidikan dan birokrasi di perkotaan. Di sisi lain, pidato tersebut
justru menguntungkan pihak pemerintah yang sedang mereorganisasi partai politik ke dalam

skema yang lebih sederhana. Partai-partai Islam yang masih terlibat pada Pemilu 1971 digabung
menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu 1977. Dibanding pencapaian suara
partai-partai Islam pada Pemilu 1971, suara PPP pada 1977 anjlok drastis.

 

Di luar gelanggang politik formal, Islamisasi justru berlangsung secara massif dan intensif.
Khususnya di daerah yang dulunya pernah menjadi basis PKI seperti beberapa daerah di Jawa
Timur, pertumbuhan angka pemeluk Islam meningkat signifikan. Pada tataran yang lebih luas,
berkat keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan dan perekonomian pada umumnya,
tumbuh apa yang disebut ‘kelas menengah Muslim’. Oleh karena itu, sejak akhir 1980-an, selain
merupakan akibat dari perubahan faksional dalam tubuh rezim Orde Baru sendiri, pemerintah
yang awalnya anti-Islam politik mulai mengubah orientasi kebijakannya. Secara perlahan aspirasi
umat Islam didengar dan diakomodasi, seperti tercermin pada kasus penggunaan jilbab di sekolah
umum padahal sebelumnya dilarang. Pada awal 1990-an muncul istilah ‘ijo royo-royo’ yang
mengacu pada fenomena masuknya pengaruh Islam, paling tidak secara simbolis, yang semakin
kuat di pemerintahan dan bahkan militer.
Melihat kenyataan tersebut, agenda liberalisasi Islam Nurcholish Madjid yang dimulai
sejak pidato pada tahun 1971 menampakkan hasilnya. Keberhasilan ini diperkuat oleh program
pembaharuan pendidikan tinggi Islam di bawah pengaruh Harun Nasution dan Munawir Sadzali.

Melalui kepemimpinan intelektual dan birokrat terkemuka ini, IAIN berkembang menjadi pusat
studi Islam dengan orientasi liberal yang kuat. Para santri yang belajar di IAIN-IAIN di seluruh
Indonesia diperkenalkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat, selain disiplin tradisional
Islam, kemudian lulus sebagai sarjana yang segera mengisi berbagai lowongan pekerjaan di
pemerintahan dan swasta. Mereka adalah lapis sosial baru yang membentuk identitas ‘kelas
menengah Muslim’ sebagaimana disinggung di atas.
Akan tetapi, sulit menghindari kesan bahwa secara langsung atau tidak langsung
keberhasilan liberalisasi Islam di Indonesia pasca-1965 merupakan bagian dari kepentingan rezim
penguasa. Bersama dengan paradigma modernisasi yang berkembang di lapangan ilmu sosial
humaniora, paham Islam liberal menyumbangkan dasar-dasar bagi pembentukan umat Islam
Indonesia yang siap terjun dalam pembangunan. Pada skala yang lebih luas, kita bisa menarik
kesesuaian dengan laju kapitalisme global. Batas antara liberalisasi yang diperkenalkan oleh
Madjid dan para sejawatnya dengan proses pengintegrasian Indonesia ke dalam pusaran
globalisasi yang secara ekonomi politik bermuara pada pasar bebas sangat tipis.

 

Oleh karena itu, di hadapan proses pembangunan yang kapitalistik, proponen Islam
liberal terlihat kehilangan daya kritisnya. Dengan jargon “Islam yes, partai Islam no!”, umat Islam
secara politik dimoderasi sedemikian rupa sehingga menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada

tahun 1984. Alih-alih diperdebatkan secara rasional, penerimaan tersebut justru dilegitimasi oleh
argumen-argumen teologis. Umat Islam diyakinkan bahwa negara Pancasila adalah sahih secara
keagamaan. Pemimpin Nahdlatul Ulama yang juga berorientasi liberal, Abdurrahman Wahid,
membantu menyebarluaskan dan memastikan pandangan ini di kalangan Muslim tradisionalis.
Sementara itu, program revolusi hijau pada tahun 1970-an yang menyebabkan marginalisasi para
petani tuna tanah, yang mayoritas adalah Muslim, luput dari perhatian. Persoalan pertanian dan
ekonomi pada umumnya seperti menempati orbit yang di luar jangkauan pemikiran dan gerakan
Islam liberal.
Memang, dalam beberapa kesempatan, timbul ketegangan antara beberapa tokoh Islam
liberal dengan pemerintah. Di antara yang paling lantang adalah Abdurrahman Wahid. Bertolak
belakang dengan rekan-rekannya, termasuk Nurchalish Madjid, Wahid menolak bergabung
dengan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang disponsori Soeharto. Bersama
dengan eksponen liberal lainnya, dia bergabung dalam Fordem (Forum Demokrasi) yang sangat
kritis terhadap rezim yang dinilai semakin korup. Akan tetapi, keberatan utama kalangan liberal,
termasuk sayap Islamnya, adalah sikap pemerintah yang semakin represif terhadap kebebasan
berbicara dan berkumpul, sementara pada saat yang sama justru membuka peluang kepada
kelompok konservatif-sektarian untuk berkembang.

Perkembangan Pasca-Orde Baru
Hubungan antara Islam liberal dan negara mengalami gangguan seiring dengan keretakan dan

kemudian kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Sejak itu berbagai gejala yang
dikhawatirkan oleh kalangan Islan liberal, yaitu kembalinya Islam politik dalam bentuknya yang
paling radikal, mengemuka seiring dengan meletusnya konflik sosial di beberapa daerah. Dalam
konflik di Ambon dan Poso, misalnya, muncul kelompok-kelompok garis keras seperti Laskar

 

Jihad yang secara terbuka menggunakan simbol-simbol Islam dalam peperangan. Di perkotaan,
berdiri Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi serupa dengan corak simbolis yang
kurang lebih sama. Sementara itu, seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah,
lahir juga berbagai peraturan daerah ‘syariah’ yang menimbulkan kesan orang Islam sebagai
mayoritas memperoleh hak keistimewaan kewarganegaraan tertentu dibanding orang non-Islam
sebagai minoritas.
Menanggapi perkembangan pasca-Orde Baru tersebut, sekelompok pemikir dan aktivis
Muslim di Jakarta membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan dukungan salah satunya dari
Goenawan Mohamad, kelompok yang berkantor di Utan Kayu, Jakarta, itu rajin mengadakan
berbagai kegiatan dengan tujuan utamanya menantang kembalinya Islam politik dalam panggung
demokrasi. Mereka juga aktif berdiskusi di mailing list dan menulis di koran-koran jaringan Jawa
Pos. Pegiat utamanya rata-rata alumni pesantren dan universitas Islam yang mempunyai
kemampuan menulis dan berbicara yang sangat artikulatif, sehingga dengan cepat gagasan

mereka menjadi bahan perdebatan di masyarakat luas.
Kehadiran JIL bersamaan waktunya dengan situasi global yang sedang berubah. Terutama
sejak tragedi 9/11 di AS, dunia dihadapkan pada persoalan terorisme. Islam politik kemudian
disangkutpautkan dengan mudah dalam perkara ini. Individu atau gerakan yang menggunakan
simbol Islam dalam kegiatan publik dicurigai lalu dibatasi ruang geraknya. Lebih daripada masamasa sebelumnya, distingsi antara Islam politik dan Islam liberal menguat. Di antara keduanya
terdapat tembok besar yang berhubungan dengan isu keamanan nasional. Dalam diskursus
akademis tentang Islam di Barat, distingsi tersebut membentuk dikotomi moral: antara Islam
politik yang “buruk” dan Islam liberal yang “baik”. Konstruksi seperti ini mempunyai resonansi
yang sungguh luas di mana Indonesia sama sekali tidak terkecuali.
Salah satu tokoh JIL adalah Ulil Abshar Abdalla. Dibesarkan di lingkungan pesantren
NU yang kuat, Abdalla menempuh pendidikan tinggi di LIPIA, Jakarta. Dia juga sempat sekolah
di Universitas Boston dan Universitas Harvard, AS. Seperti Madjid, Abdalla mengkhawatirkan
pemahaman Islam Indonesia yang dinilainya terlalu menekankan ‘syariat’ tetapi semakin menjauh

 

dari apa yang dipandangnya sebagai ‘hakikat’ Islam itu sendiri. Dengan kombinasi antara
argumen teologis dan filosofis, dia meyakinkan pembacanya bahwa Islam adalah bagian dari
sejarah yang penuh dengan kepentingan, tetapi sekaligus dengan itu ditekankan bahwa peranan
akal manusia menjadi penting dan bahkan sentral.

Di antara pemikiran Abdalla yang paling mengundang kontroversi bersumber dari tulisan
pendeknya di Kompas, 19 November 2001, yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pamahaman
Islam”. Dengan lugas Abdalla menyebut bahwa Islam adalah “organisme”, yaitu “sebuah agama
yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah
monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai ‘patung’ indah yang
tak boleh disentuh tangan sejarah”. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa:
Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti
dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian,
jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsipprinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik
disebut sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam.
Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat
Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya
dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai
dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan
dogmatis, diterapkan di muka Bumi.
Asumsi yang mendasari pemikiran Ulil Abshar Abdalla tidak jauh berbeda dengan
Nurcholish Madjid. Keduanya berpikir bahwa problem umat Islam terutama terletak pada
pemahaman mereka sendiri terhadap agamanya. Untuk mengatasinya mereka mengajak umat
untuk berpikir bebas dan terbuka terhadap pengetahuan dari mana saja. Abdalla berpendapat
bahwa “... setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islamseperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah ‘nilai generis’ yang bisa
ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan
sebagainya. Bisa jadi, kebenaran ‘Islam’ bisa ada dalam filsafat Marxisme”.


 

Masalahnya para pemikir tersebut kurang peka dengan realitas struktural yang membelit
umat Islam Indonesia. Dalam konteks pasca-Orde Baru, demokrasi liberal dan ekonomi pasar
adalah ideologi-ideologi dominan yang seharusnya dibaca secara kritis. Kembalinya Islam politik
tidak lepas dari adanya peluang eksternal dan mobilitas internal yang disediakan oleh ideologiideologi tersebut. Gejala sektarianisme dan fundamentalisme bukan melulu merupakan cerminan
dari kegagalan kaum beragama dalam mengikuti perubahan zaman, tetapi justru merupakan
bagian dari zaman itu sendiri.
Sebagai penutup, makalah pendek ini ingin menegaskan kembali bahwa liberalisasi Islam
di Indonesia dimungkinkan terjadi oleh adanya peristiwa 1965. Penyingkiran terhadap kekuatan
Islam politik non-liberal dilakukan secara beriringan dengan penumpasan pemikiran dan
kekuatan kiri sejak periode itu. Memang belakangan aspirasi Islam politik kembali bangkit,
tetapi itu merupakan cerminan dari perubahan politik dan ekonomi yang menopang
keberlanjutan rezim penguasa yang selama ini ikut juga memfasilitasi perkembangan Islam
liberal. Di luar kompleksitas yang dibahas sepintas dalam tulisan ini tentu saja masih terdapat
banyak elemen-elemen teoritis dan empiris lainnya yang masih menunggu kajian lebih lanjut. []


 

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24