Hubungan antara kompetensi interpersonal relawan JRS ( Jesuit Refugee Service) dan kepuasan layanan para pengungsi yang dilayani JRS di Yogyakarta.

(1)

JRS ( JESUIT REFUGEE SERVICE) DAN KEPUASAN LAYANAN

PARA PENGUNGSI YANG DILAYANI JRS DI YOGYAKARTA

Benedictus Alit Purwa Arintaka

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kompetensi interpersonal relawan JRS dan kepuasan layanan para pengungsi yang dilayani JRS. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara kompetensi interpersonal relawan dengan kepuasan layanan para pengungsi. Subjek penelitian ini adalah 15 pengungsi yang dilayani JRS cabang Yogyakarta. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala kompetensi interpersonal dan skala kepuasan layanan. Reliabilitas skala alat ukur diuji dengan teknik koefisien Alfa Cronbach. Pada skala kompetensi interpersonal diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,947 dari 20 aitem dan skala kepuasan layanan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,913. Hasil uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Spearman rho (r =0,816) dan nilai signifikansi antara kompetensi interpersonal dan kepuasan layanan sebesar 0,000 (p<0,05). Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif antara kompetensi interpersonal relawan JRS dan kepuasan layanan para pengungsi yang dilayani JRS di Yogyakarta di terima.


(2)

THE RELATIONSHIP BETWEEN INTERPERSONAL

COMPETENCE OF JRS’S( JESUIT REFUGEE SERVICE) VOLUNTEERS

AND REFUGEE’S SERVICE SATISFACTION WHO ARE SERVICED BY

JRS YOGYAKARTA

Benedictus Alit Purwa Arintaka

ABSTRACT

This research was aimed to find a relationship between interpersonal competence of JRS’s volunteers and refugees’s service satisfaction who are serviced by JRS Yogyakarta. Reseacher’s hypothesis was there is a relation between interpersonal competence of JRS’s volunteers and refugees’s service satisfaction who are serviced by JRS Yogyakarta. Respondents of this research were 15 refugees who were serviced by JRS in Yogyakarta. Data was collected using a interpersonal competence questionnaires and service satisfaction questionnaires. This reliability was measured by Alfa Cronbach. The realiability of interperseonal competence were α=0,947 from 20 items and the reliability of service satisfaction were α=0,913. The analysis of data used Spearman’s Rho Correlation (r=0,816) and p=0,000 (p<0,05). The result showed there is a positive correlation between interpersonal competence of JRS’s volunteers and refugees’s service satisfaction of JRS’s service.


(3)

HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI INTERPERSONAL

RELAWAN JRS (JESUIT REFUGEE SERVICE) DAN

KEPUASAN LAYANAN PARA PENGUNGSI YANG DILAYANI

JRS DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Benedictus Alit Purwa Arintaka NIM : 109114124

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya Tulis Ini saya persembahkan untuk:

Kedua Orang Tuaku dan adek sebagai tanda kasih dan terima kasihku Saudara-saudara ku yang selalu mendukungku


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalan kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Desember 2015 Penulis


(8)

HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI INTERPERSONAL

RELAWAN JRS ( JESUIT REFUGEE SERVICE) DAN

KEPUASAN LAYANAN PARA PENGUNGSI YANG DILAYANI

JRS DI YOGYAKARTA

Benedictus Alit Purwa Arintaka

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kompetensi interpersonal relawan JRS dan kepuasan layanan para pengungsi yang dilayani JRS. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara kompetensi interpersonal relawan dengan kepuasan layanan para pengungsi. Subjek penelitian ini adalah 15 pengungsi yang dilayani JRS cabang Yogyakarta. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala kompetensi interpersonal dan skala kepuasan layanan. Reliabilitas skala alat ukur diuji dengan teknik koefisien Alfa Cronbach. Pada skala kompetensi interpersonal diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,947 dari 20 aitem dan skala kepuasan layanan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,913. Hasil uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Spearman rho (r =0,816) dan nilai signifikansi antara kompetensi interpersonal dan kepuasan layanan sebesar 0,000 (p<0,05). Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif antara kompetensi interpersonal relawan JRS dan kepuasan layanan para pengungsi yang dilayani JRS di Yogyakarta di terima.


(9)

THE RELATIONSHIP BETWEEN INTERPERSONAL

COMPETENCE OF JRS’S( JESUIT REFUGEE SERVICE) VOLUNTEERS AND REFUGEE’S SERVICE SATISFACTION WHO ARE SERVICED BY

JRS YOGYAKARTA

Benedictus Alit Purwa Arintaka

ABSTRACT

This research was aimed to find a relationship between interpersonal

competence of JRS’s volunteers and refugees’s service satisfaction who are serviced by JRS Yogyakarta. Reseacher’s hypothesis was there is a relation between interpersonal competence of JRS’s volunteers and refugees’s service

satisfaction who are serviced by JRS Yogyakarta. Respondents of this research were 15 refugees who were serviced by JRS in Yogyakarta. Data was collected using a interpersonal competence questionnaires and service satisfaction questionnaires. This reliability was measured by Alfa Cronbach. The realiability

of interperseonal competence were α=0,947 from 20 items and the reliability of service satisfaction were α=0,913. The analysis of data used Spearman’s Rho

Correlation (r=0,816) and p=0,000 (p<0,05). The result showed there is a

positive correlation between interpersonal competence of JRS’s volunteers and refugees’s service satisfaction of JRS’s service.


(10)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Benedictus Alit Purwa Arintaka

NIM : 109114124

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI

INTERPERSONAL RELAWAN JRS DAN KEPUASAN

LAYANAN PARA PENGUNGSI YANG DILAYANI JRS DI

YOGYAKARTA

Beserta perangkat yang diperlukan (bila perlu). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 16 Desember 2015 Yang menyatakan


(11)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa selama persiapan, penyusunan, hingga terselesainya skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan pihak yang terus menerus memberikan dukungan dan ide-ide yang dapat memperlancar skripsi ini. Untuk itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa, terima kasih semua hal yang terlah terjadi dalam kehidupan ini.

2. Bapak Dr T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas semua fasilitas dan perijinan yang diberikan di Fakultas Psikologi dan membimbingan serta memberi semangat dari awal menjadi mahasiswa sampai saat ini. Terlebih dukungan ketika penulis mengerjakan skripsi. Terima Kasih Pak Prio.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.


(12)

awal penyusunan skripsi sehingga dapat selesai dengan baik.

5. Dosen Penguji Skripsi terima kasih atas ilmu, dukungan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis sehingga memberikan hal positif bagi penulis. 6. Segenap staf administrasi dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma; Ibu M.B. Rohaniwati, Mas Y. Gandung Widyantoro, Pak Gi, Mas P. Mujiono dan Mas AG. Doni Indarto, terimakasih atas pelayanan, bantuan dan keramahan yang diberikan. Penulis merasa senang mengenal Anda.

7. Segenap Dosen pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas ilmu, pengalaman dan pembelajaran yang Bapak dan Ibu berikan kepada penulis.

8. Eyang Sri Rahmini, Bapak A.S Ari Bawana dan Ibu YF Sumaryanti yang sudah membantu doa, moril dan materiil dalam perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. Terima kasih atas pengorbanan Eyang, Bapak dan Ibu yang tak terhingga. 9. Pak De Anton dan Budhe Yanti yang selalu meberikan nasehat, dukungan

materiil, motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Terimakasih karena pada akhirnya tugas akhir ini selesai.

10. Dek Titus Vianey Priotomo yang selalu memberikan dukungan dan teman untuk berbagi. Semoga kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama dan orang yang kita sayangi.

11. Staf P2TKP Pak Adi, Pak Priyo, Pak Toni, terimakasih atas kerja sama selama ini. Terima kasih atas ilmu dan pengalaman tentang testing, training dan konseling. Penulis merasa sangat senang bisa mengenal Anda.


(13)

12. Teman-teman P2TKP 3 generasi terima kasih atas dukungan dan keceriaan bersama kalian. Kalian sungguh menyenangkan dan hebat.

13. Teman-teman “Babi” terima kasih atas dukungan dalam suka dan duka, cerita-cerita, dan kekompakannya. Kalian sungguh istimewa

14. Para Staf JRS indonesia yang telah memberikan bantuan materiil dan iin untuk penulis dapat melakukan penelitian di lembaga ini.

15. Para Staf dan para guru di JRS cabang sewon. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. Tanpa Anda penulis akan kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.

16. Kesayanganku yang selalu mengingatkan, membantu dengan laptop mininya, mendengarkan keluh kesah, harapan keinginan agar skripsi ini segera selesai. Terimakasih atas dukungan, semangat dan kesetiaanya.

17. Teman-teman satu bimbingan, terima kasih atas dukungan dan berbagi informasi selama bimbingan.

18. Teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, khususnya angkatan 2010, terima kasih atas dukungan, kerjasama, komunikasi selama ini. Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis terbuka akan saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan penelitian ini.

Yogyakarta, 28 November 2015

Penulis


(14)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN SKRIPSI ... Error! Bookmark not defined.i PENGESAHAN SKRIPSI ... Error! Bookmark not defined.ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

Benedictus Alit Purwa Arintaka ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

BAB I ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II ... 11

LANDASAN TEORI ... 11

1. Pengungsi ... 11

a. Pengertian Pengungsi ... 11


(15)

1. Pengertian Kepuasan ... 21

2. Pengertian Jasa/Layanan ... 22

3. Komponen Jasa/Layanan... 23

4. Klasifikasi Jasa/Layanan ... 23

5. Karakteristik Jasa/Layanan ... 25

C. Kepuasan Konsumen Terhadap Jasa/Layanan ... 26

1. Tipe-tipe Kepuasan ... 27

2. Ciri-ciri Konsumen yang Puas ... 28

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Konsumen ... 29

4. Pengukuran Kepuasan ... 31

D. Kompetensi ... 34

1. Pengertian Kompetensi ... 34

2. Karakteristik Kompetensi ... 34

3. Kompetensi Interpersonal ... 36

4. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal ... 37

a. Kompetensi untuk Berinisiatif ... 37

b. Kemampuan Bersikap Terbuka ... 39

c. Kemampuan untuk Bersikap Asertif ... 40

d. Kemampuan Memberikan Dukungan Emosional ... 41

e. Kemampuan dalam Mengatasi Konflik ... 43

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kompetensi Interpersonal ... 44 F. Dinamika Hubungan Antara Kompetensi Interpersonal Relawan JRS dan


(16)

Kepuasan Layanan para Pengungsi yang dilayani JRS di Yogyakarta ... 45

Bagan Hubungan Antara Kompetensi Interpersonal Dan Kepuasan Layanan Para Pengungsi ... 51

B. Hipotesis Penelitian ... 52

BAB III ... 53

METODOLOGI PENELITIAN ... 53

A. Jenis Penelitian ... 53

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 53

C. Definisi Operasional ... 54

D. Subjek Penelitian ... 56

E. Metode Pengumpulan Data ... 56

F. Validitas dan Reliabilitas ... 60

1. Validitas ... 61

2. Seleksi Item ... 61

3. Reliabilitas ... 64

G. METODE ANALISIS DATA ... 65

1. Uji Hipotesis ... 65

BAB IV ... 66

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 66

A. Pelaksanaan Penelitian ... 66

B. Deskripsi Subjek ... 68

C. Deskripsi Data Penelitian ... 70


(17)

2. Skor Kategori Skala ... 74

D. Hasil penelitian ... 77

1. Uji Hipotesis ... 77

E. Pembahasan ... 78

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 85

LAMPIRAN ... 94

A. UJI RELIABILITAS DAN UJI KUALITAS ... 111


(18)

DAFTAR TABEL

Table 1. Bluprint skala kompetensi interpersonal ... 58

Table 2. Penskoran Aitem Favorable Skala Kompetensi Interpersonal ... 58

Table 3. Bluprint Skala Kepuasan Layanan ... 60

Table 4. Penskoran Aitem Favorable Skala Kepuasan Layanan ... 60

Table 5. Seleksi aitem skala kompetensi interpersonal ... 62

Table 6. Sebaran aitem skala kompetensi interpersonal ... 62

Table 7. Seleksi aitem skala kepuasan layanan ... 63

Table 8. Sebaran aitem skala kepuasan layanan ... 63

Table 9. Reliabilitas kompetensi interpersonal setelah seleksi aitem ... 64

Table 10. Reliabilitas kepuasan layanan setelah seleksi aitem ... 64

Table 11. Deskripsi usia ... 69

Table 12. Deskripsi masa tinggal berdasarkan lama tinggal di Indonesia ... 69

Table 13. Deskripsi masa tinggal pengungsi berdasarkan lama tinggal di asrama 70 Table 14. Deskripsi asal tempat tinggal ... 70

Table 15. Mean empiris dan Mean teoritis ... 71

Table 16. Hasil One Sample T-test ... 71

Table 17. Mean Empirik Kompetensi Interpersonal ... 73

Table 18. Mean Empirik Kepuasan Layanan ... 73

Table 19. Kategori pada skala kompetensi interpersonal ... 76

Table 20. Kategori pada skala kepuasan layanan ... 76


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik dan kekerasan bersenjata di berbagai belahan dunia telah melahirkan banyak korban jiwa dan pengungsian. Banyak orang yang tak bersalah seringkali harus menanggung derita yang sulit dimengerti bahkan sampai mengalami kematian. Banyak orang terpaksa mengungsi meninggalkan kampung halaman dengan segenap luka yang meraka alami. Mereka berharap dapat menemukan kehidupan yang damai dan masa depan yang cerah. Mereka mengungsi kemanapun, baik mengungsi di daerah yang masih berada di dalam batas negaranya atau mengungsi keluar dari batas negaranya.

Dalam proses mengungsi atau mencari tempat yang aman, damai, dan masa depan yang lebih baik bukanlah perkara mudah, terlebih bagi mereka yang mengungsi keluar dari batas negaranya karena akan banyak resiko yang dihadapi. Sebagian besar mereka mengungsi menggunakan kapal maka resiko tenggelam karena kapal pecah menabrak karang, tersapu ombak akan sangat tinggi, terbalik, sampai terbakar (Tribun, 03/10/2013).Selain itu, resiko akan ditangkap oleh pemerintah suatu negara juga sangat mungkin terjadi. Berdasarkan data United Nations High Comissioner for Refugees (UNHCR) hingga 30 Juni 2014, terdapat 10.116 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar oleh UNHCR di Indonesia, dimana 6.286 orang merupakan pencari suaka dan 3.830 orang merupakan pengungsi. Dari jumlah tersebut, terdapat


(20)

7.910 laki-laki dan 2.206 perempuan. Diantara pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar, terdapat 2.507 anak-anak dimana 798 diantaranya merupakan anak-anak tanpa pendamping. Afghanistan, Myanmar, Sri Lanka, Pakistan, Iran, dan Irak merupakan negara-negara asal utama para pengungsi dan pencari suaka yang terdapat di Indonesia (Suaka.or.id, 2014).

Sebagai negara yang bukan penandatanganan Konvensi Pengungsi tahun 1951, Indonesia tidak memberikan para pengungsi dan pencari suaka yang berada di Indonesia hak untuk bekerja dan memperoleh bantuan sosial dan bagi mereka yang tertangkap, mereka akan di tempatkan di rumah detensi imigrasi (Harian Andalas, 2013). Sebagian kecil dari mereka memperoleh bantuan-bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan dan beberapa donasi lainnya. Dengan dana dan bantuan yang sangat terbatas, pengungsi dan pencari suaka di Indonesia terpaksa hidup dengan bergantung pada rumah-rumah detensi.

Rumah detensi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keseimbangan sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang melanggar Undang-Undang Imigrasi yang telah direvisi pada tahun 2011 (jrs.or.id). Bab III undang-undang ini menyatakan soal dimana Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) bisa dibangun, kondisi yang menyebabkan seseorang ditempatkan dalam rumah detensi dan jangka waktu penahanan. Dinyatakan juga di dalamnya bahwa memberikan pelayanan keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara dan memfasilitasi kesejahteraan masyarakat adalah tugas pemerintah. Setiap pengungsi yang datang dan


(21)

melewati batas wilayah Indonesia dan tertangkap oleh pihak imigrasi, akan ditahan dan ditampung ke rumah detensi ini. Penamaan Rumah Detensi Imigrasi pasti memiliki maksud tertentu, menggunakan kata “rumah” bagi sebuah tempat yang mengurangi kebebasan penghuninya merupakan sebuah paradoks. Rumah bagi sebagian besar orang adalah tempat yang aman dan menyenangkan, yang menghadirkan cinta melalui orang-orang yang kita sayangi. Rumah menjadi perkenalan pertama kita dengan peradaban manusia serta menjadi tempat untuk bertumbuh di dalamnya. Rumah menjadi sebuah kerinduan ketika jarak ragawi memisahkan. (jrs.or.id)

Apakah “rumah” menjadi ideal ketika disematkan dalam sebuah tempat yang membuat banyak orang merasa terkurung dan tidak merasakan cinta, bahkan dari mereka yang setiap hari hadir dan dekat? Rumah menjadi konsep abstrak yang tidak relevan dengan keseharian detensi. Rumah tidak lagi bermakna dekat, melainkan jauh, baik secara ragawi maupun rohani. “Bagi kami ini bukan rumah,” ungkap pencari suaka asal Afganistan (Jrs.or.id).

Kondisi psikologis para pengungsi akan rentan dan penuh dengan tekanan. Hal ini terjadi karena pencari suaka dan pengungsi yang ditahan selama berbulan-bulan di Rumah Detensi Imigrasi akan mengalami stress dan depresi selama penantian panjang tanpa kepastian, terkurung, dan tanpa kontak dengan orang-orang yang dicintai. Pada masa lalu pernah terjadi depresi berat dan tindakan melukai diri sendiri (Jrs.or.id). Masalah lainnya yang dialami oleh para imigrasi yakni kapasitas yang full sehingga rentan


(22)

keributan. Apalagi para imigran enggan disatukan jika bukan satu negara (Tribun, 28/05/2013) dan mulai berfikir tidak realistis.

Saat ini ada 50 orang pengungsi yang tinggal di Yogyakarta telah dibebaskan dari rudenim dan sedang menunggu penempatan di negara ketiga yang aman. Mereka di pindahkan dari rudenim ke asrama di Yogyakarta. Para pengungsi yang ada di Yogyakarta adalah pengungsi yang sebelumnya berasal dari berbagai rudenim di wilayah Indonesia. Mereka di pindahkan di Yogyakarta untuk menunggu diberangkatkan ke negara yang mau menerima mereka. Setelah menunggu lama dengan segela kondisi psikologis yang dihadapi di rudenim, para pengungsi belum sepenuhnya dapat bebas namun di Yogyakarta mereka sudah diperbolehkan untuk mengakses alat elektronik (handphone, tablet, laptop,dsb) dan diberikan kepercayaan untuk pergi keluar asrama. Namun, hal ini tidak mempengaruhi psikologis para pengungsi menjadi lebih baik. Pengungsi masih menunggu waktu diberangkatan ke Negara ketiga yang tidak jelas dan semakin lama. Bahkan dalam penantian tersebut, tak jarang ada yang ditolak ke negara ke tiga. Selain itu, adanya keinginan dari pengungsi untuk segera pergi ke negara ketiga agar segera dapat membangun kehidupan yang baru hanya ada dalam keinginan yang belum terwujud. Hal-hal semacam itu tentu saja akan memberikan pengaruh terhadap psikologis pengungsi. Selain itu dengan akses komunikasi yang diperoleh, mereka banyak mendapat informasi dari kelurga, sahabat, atau berita-berita yang membuat mereka sedih, takut dan tidak dapat berbuat apa-apa dengan situasi dan kondisi yang didapa-apat. Mereka membutuhkan bantuan


(23)

dan layanan yang berkaitan dengan psikologis para pengungsi. Salah satu lembaga atau yayasan yang bergelut di bidang ini adalah JRS.

Yayasan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia adalah sebuah lembaga kemanusiaan yang didirikan pada tanggal 14 November 1980. Lembaga kemanusiaan ini berdiri setelah melihat fenomena “manusia perahu” asal Vietnam yang berada di Pulau Galang. Selama 30 tahun terakhir, JRS bersama dengan semua pihak yang peduli, menemani, melayani dan membela hak para pengungsi, baik yang ada di kamp pengungsian, di kawasan perkotaan maupun di rumah-rumah detensi imigrasi. JRS bekerjasama dengan dengan staf dan sukarelawan yang berasal dari berbagai latar belakang, Yayasan JRS Indonesia membuka pelayanan bagi para pengungsi mulai dari Timor Barat (1999), Maluku (2000), Aceh dan Sumatra Utara (2001), Jawa Barat, Jawa Tengah serta pengungsi korban bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta. (jrs.or.id)

Sejak tahun 2009 JRS Indonesia mengambil peran untuk mendampingi para pengungsi lintas batas dan pencari suaka sesuai dengan mandat awalnya. Yayasan JRS Indonesia mulai mendampingi para pencari suaka bangsa Rohingnya di Aceh dan Sumatra Utara. Pelayanan JRS berkembang menjadi pendampingan bagi pencari suaka di rumah detensi imigrasi Medan (2009), pencari suaka di Cisarua (2010), komunitas pengungsi di Sewon Bantul (2011) dan pencari suaka di rumah detensi imigrasi Surabaya (2012). Hingga saat ini, pelayanan JRS ada yang sudah berhenti seperti detensi imigrasi Medan dan akan ada pelayanan JRS yang


(24)

akan dibuka seperti di Manado dan Medan. (jrs.or.id)

Hal mendasar dari misi JRS adalah memberikan pelayanan kemanusiaan yang menyeluruh bagi mereka yang terpaksa mengungsi. Segala macam bantuan di dunia tidak akan mampu menggantikan kehangatan pertolongan yang dilakukan oleh seorang individu kepada sesama lain. JRS menghargai martabat kemanusiaan para pengungsi melalui pendampingan yang dijalankan (jrs.or.id).

Interaksi dan kerjasama dengan para pengungsi secara langsung dan personal inilah yang saling menguatkan baik para pengungsi maupun personil JRS sendiri. Melalui kehadiran langsung sebagai teman bagi para pengungsi dan ikut merasakan kenyataan hidup mereka di asrama. Relawan JRS menjadi lebih memahami cara terbaik untuk melayani dan membela mereka.

Menemani merupakan suatu kondisi seseorang untuk hadir sebagai teman. Hal ini termasuk dalam tindakan yang praktis dan efektif. Tidak jarang kehadiran sebagai teman menjadi cara memberikan perlindungan. Kehadiran dapat menjadi sebuah tanda bahwa seseorang yang memiliki kebebasan, memilih secara sadar dan penuh keyakinan untuk menemani mereka yang tidak memiliki kebebasan, yang tidak memiliki pilihan tentang keberadaan mereka disana, dengan sendirinya merupakan sebuah tanda, sebuah jalan untuk menghadirkan harapan.

Kualitas pelayanan yang baik menciptakan kepuasan bagi para pengungsi. Untuk membentuk kualitas pelayanan yang baik, JRS melakukan berbagai cara untuk meningkatkan pelayanannya salah satunya adalah dengan


(25)

melihat kompetensi para relawan JRS. Kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan, selain itu kompetensi juga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja (Dessler, 2004).

Kompetensi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain (De Vito, 1992). Hal ini dapat membantu proses pelayanan yang baik dan efektif sesuai dengan visi dan misi JRS. Dengan kompetensi interpersonal yang dimiliki para relawan, diharapkan proses penemanan dan pelayanan JRS dapat memberikan kepuasan kepada para pengungsi.

Kepuasan adalah tujuan dari penemanan dan pelayanan JRS kepada para pengungsi. Kepuasan adalah keandalan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dari sudut pandang seseorang dalam melihat sesuatu. Harapan JRS adalah dengan hadirnya JRS ditengah para pengungsi, membuat para pengungsi dalam keadaan emosional yang menyenangkan. Hal ini dikarenakan keadaan emosional para pengungsi biasanya cenderung negatif atau tidak menyenangkan (Jrs.or.id, 2013).

Kebutuhan JRS untuk memberikan pelayanan semakin meningkat seiring bertambahnya para pengungsi, sehingga mau tidak mau mendorong Yayasan JRS untuk meningkatkan sumber daya manusianya. Dalam proses ini, kompetensi interpersonal seseorang akan dilihat dan dibandingkan dengan


(26)

visi dan misi yayasan. Penyesuaian ini bertujuan agar relawan yang akan menjadi bagian dalam tugas JRS mampu memberikan pelayanan yang baik dan memberikan kepuasan emosional kepada para pengungsi. Ungkapan tersebut memperlihatkan bahwa kompetensi berperan dalam mencapai kepuasan. Tingkat kompetensi yang rendah dapat mengakibatkan ketidakpuasan atau tingkat kepuasan yang rendah. Sebaliknya, tingkat kompetensi yang tinggi memberikan kepusan atau tingkat kepusan yang tinggi bagi pengungsi.

Sehingga dapat disimpulkan pertama pengungsi adalah orang yang menunggu dibebaskan tanpa kepastian, terkurung, dan tanpa kontak dengan orang-orang yang dicintai. Hal ini mempengaruhi psikologis pengungsi seperti penuh dengan tekanan, mengalami stress dan depresi. Disisi lain JRS merupakan lembaga kemanusiaan yang mendampingi para pengungsi lintas batas dan pencari suaka. JRS membuat program-program pendampingan kepada pengungsi. Dalam pelaksanan program-program tersebut, JRS membutuhkan relawan. Relawan yang dibutuhkan adalah relawan yang mampu mempunyai kompetensi untuk berinteraksi dan menjadi teman bagi pengungsi. Kompetensi yang dirasa cocok untuk tugas tersebut adalah kompetensi interpersonal. harapannya kompetensi interpersonal yang baik para relawan dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada pengungsi. Kemudian, dengan pelayanan yang baik ini diharapkan mampu memberikan kepuasan kepada pengungsi. Oleh karena itu perlu, Pengungsi diminta untuk memberikan evaluasi atas program JRS yang telah berjalan selama ini.


(27)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti mengemukakan rumusan masalah:

1. Apakah terdapat hubungan antara kompetensi interpersonal dengan kepuasan layanan di lihat dari sudut pandang para pengungsi yang dilayani oleh Yayasan Jesuit Refugee Service (JRS)?

2. Apakah pelayanan JRS yang diberikan saat ini memuaskan karena belum ada alat ukur yang pasti mengenai hal tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis variabel kompetensi interpersonal terhadap kepuasan layanan dari sudut pandang pengungsi yang dilayani oleh Yayasan Jesuit Refugee Service (JRS) dan membuat alat ukur mengenai kepuasan pengungsi terhadap Yayasan Jesuit Refugee Service (JRS).

D. Manfaat Penelitian

Terdapat dua kategori manfaat dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini akan dapat menjadi bahan referensi dan sebagai penambah bahan kajian ilmiah untuk menganalisis tentang hubungan kompetensi interpersonal dengan kepuasan layanan dalam psikologi sosial, komunikasi dan konsumen.


(28)

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi Yayasan Jesuit Refugee Service (JRS) sebagai alternatif bahan training atau pelatihan para relawan yang akan bekerja di Yayasan JRS tersebut.

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengungsi sebagai penilaian kepuasan layanan yang diberikan JRS.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

1. Pengungsi

a. Pengertian Pengungsi

Pengertian pengungsi dapat di bagi dalam 3 kategori atau instrumen yaitu pengertian pengungsi menurut kategori atau instrumen internasonal, regional, dan menurut para pakar. Menurut kategori atau instrumen internasonal penulis mengambil 4 sumber, yaitu menurut UNHCR, Menurut konvensi 1951, Menurut Protokol 1967, dan Menurut JRS.

Pengertian pengungsi menurut UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), UNHCR memberikan pengertian pengungsi dengan menggunakan dua istilah yaitu pengungsi mandat dan pengungsi statuta. Pengungsi Mandat adalah orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi dan wewenang atau mandat yang ditetapkan oleh statuta UNHCR. Sedangkan Pengungsi Statuta adalah orang-orang yang berada di wilayah negara-negara pihak pada konvensi 1951. Jadi menurut UNHCR pengertian pengungsi adalah orang-orang yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan oleh UNHCR dalam konvensi 1951 (Achmad, 2003)

Pengertian pengungsi menurut “Convention relating to the status


(30)

tetang status pengunsi (dalam Achmad,2003), pengungsi terdiri dari 3 pasal, yaitu: pasal penyertaan, pasal pengecualian, dan pasal pemberhentian.

Pasal penyertaan adalah pasal yang menentukan kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang individu dapat dianggap pengungsi. Pasal-pasal ini merupakan dasar penentuan apakah seseorang layak diberi status pengungsi. Dalam pasal penyertaan ini diatur bahwa untuk memperoleh status pengungsi, seseorang harus mempunyai ketakutan yang beralasan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaannya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dimilikinya, berada diluar Negara kebangsaannya/bekas tempat menetapnya, dan tidak dapat atau dikarenakan ketakutannya itu, memperoleh perlindungan dari negaranya atau kembali kenegaranya.

Kedua, Pasal pengecualian. Pasal ini merupakan pasal yang menolak pemberian status pengungsi kepada seseorang yang memenuhi syarat pada pasal penyertaan atas dasar orang tersebut tidak memerlukan atau tidak berhak mendapatkan perlindungan internasonal. Di dalam pasal pengecualian ini diatur bahwa walaupun kriteria pasal penyertaan seperti yang telah dijelaskan diatas dipenuhi, permohonan status pengungsi seseorang akan ditolak jika ia sudah menerima perlindungan atau bantuan dari lembaga PBB selain UNHCR, atau diperlakukan sebagai sesama


(31)

warga di tempatnya menetap, dan melakukan pelanggaran yang serius sehingga ia tidak berhak menerima status pengungsi.

Ketiga, pasal pemberhentian, pasal ini menerangkan kondisi-kondisi yang mengakhiri status pengungsi karena tidak lagi diperlukan atau dibenarkan. Di dalam pasal pemberhentian ini diatur bahwa konvensi juga menerangkan keadaan-keadaan yang dapat menghentikan status pengungsian seseorang karena sudah tidak diperlukan lagi atau tidak dapat dibenarkan lagi karena tindakan sukarela dari pihak individu, atau perubahan fundamental pada keadaan di Negara asal pengungsi.

Jadi menurut konvensi 1951, pengungsi adalah seseorang yang harus mempunyai ketakutan yang beralasan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaandi dalam kelompok tertentu atau pendapat politik yang dimilikinya, berada di luar Negaranya kebangsaan atau bekas tempat menetapnya, dan tidak dapat atau tidak ingin dikarenakan ketakutannya itu, memperoleh perlindungan dari negaranya atau kembali kenegaranya.

Pengertian pengungsi menurut Protokol 1967 atau aturan tentang status pengungsi 1967 yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2, yaitu :

“for the purpose of the present Protocol, the term “refugee”

shall, except as regards the application of paragraph 3 of this Article, mean any person within the definition of Article

1 of the Convention as if the words “As a result of events

occurring before 1 January 1951 and…”and the words”… a result of such events; in Article 1 A (2) were committed”.


(32)

penganiayaan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaanya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya, berada di luar negaranya dan tidak dapat, dikarenakan ketakutan tersebut, atau tidak ingin untuk memperoleh perlindungan dari negara tersebut; atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara tempatnya menetap sebagai akibat dari peristiwa tertentu, tidak dapat, atau dikarenakan ketakutannya tersebut, tidak ingin kembali ke negaranya. (Achmad, 2003).

Jadi menurut protokol 1967 pengertian pengungsi adalah seseorang atau kelompok yang karena ketakutan yang beralasan akan menerima penganiayaan karena ras, agama, kebangsaan, dan keanggotaannya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya, dan karena ketakutan itu,tidak ingin kembali ke negaranya

Menurut JRS, JRS menggunakan definisi “pengungsi de facto

yang mencakup semua “orang dianiaya berdasarkan ras, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial atau politik” dan “ mereka yang menjadi korban dari konflik bersenjata, kebijakan ekonomi yang keliru atau korban bencana alam; serta demi “alasan kemanusiaan.” termasuk juga dalam definisi ini adalah mereka yang disebut pengungsi internal yakni warga negara yang “terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena alasan-alasan yang sama dengan pengungsi pada umumnya


(33)

namun mereka tidak melintasi batas negaranya. Jadi pengungsi menurut JRS adalah orang-orang yang dianiaya berdasarkan ras, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial atau politik dan mereka yang menjadi korban dari konflik bersenjata, kebijakan ekonomi yang keliru atau korban bencana alam; pengungsi ini bisa keluar dari negaranya maupun masih tinggal di negaranya (jrs.or.id, 2014).

Pengertian pengungsi menurut kategori atau instrumen regional. Dalam UU no 24 tahun 2007 pasal 55 menyebutkan pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. Jadi intinya adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau dipaksa meninggalkan tempat tinggalnya dan dalam jangka waktu yang belum pasti (Achmad, 2003).

Pengertian pengungsi menurut Malcom Proudfoot (dalam Achmad, 2003) memberikan pengertian pengungsi dengan melihat keadaan para pengungsi akibat Perang Dunia II. Walaupun tidak secara jelas dalam memberikan pengertian tentang pengungsi, pengertiannya yaitu :

“These forced movements, …were the result of the

persecution, forcible deportation, or flight of Jews and political opponents of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombardment from the air and under the threat or pressure of advance or retreat of armies over immense areas of


(34)

defence areas underv military dictation; and the deportation

for forced labour to bloster the German war effort’.

(pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran orang-orang Yahudi dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa, pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau perjanjian, penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi; perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari para militer di beberapa wilayah Eropa; pindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer, serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang Jerman) (Achmad,2003).

Jadi menurut Malcom Proudfoot pengungsi adalah orang-orang yang diusir secara paksa, harus pindah, dianiaya, dan karena perang.

Menurut Pietro Verri (dalam Achmad, 2003) definisi tentang pengungsi dengan mengutip bunyi pasal 1 UN Convention on the Status of Refugees tahun 1951 adalah

applies to many person who has fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat

ofpersecution”.

Jadi menurut Pietro Verri pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa ketakutan akan penyiksaan


(35)

atau ancaman penyiksaan. Jadi terhadap mereka yang mengungsi masih dalam lingkup wilayah negaranya belum dapat disebut sebagai pengungsi menurut Konvensi Tahun 1951 (Achmad, 2003)

Menurut Haryomataram, Haryomataram membagi dua macam “Refugees”, yaitu Human Rights Refugees dan Humanitarian Refugees

(Haryomataram, 1998). Human Rights Refugees adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama,

kebangsaan atau keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari Human Rights Refugees ini. sedangkan

Humanitarian Refugess adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik (bersenjata) yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka mengungsi, dianggap sebagai “alien”, menurut Konvensi Geneva 1949, “alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik daam Konvensi Geneva 1949.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, menurut peneliti pengertian pengungsi adalah sekelompok orang yang meninggalkan negaranya (melewati batas negara) karena terpaksa yang disebabkan adanya rasa takut akan penganiayaan, penyiksaan atau ancaman penyiksaan, pengusiran, adanya perlawanan politik atau pemberontak


(36)

dengan alasan ras, agama, kebangsaan, dan keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu. Dalam penelitian ini, secara spesifik peneliti membatasi pengertian pengungsi tersebut yang berada di beberapa wilayah di indonesia dan batasan status mereka yaitu orang yang sedang mencari status pengungsi atau pencari suaka sampai orang yang telah mendapatkan status pengungsi dan sudah mendapatkan ijin ke tempat yang baru.

b. Penentuan Status Pengungsi

Penentuan status pengungsi yang dijelaskan di bawah ini berdasarkan Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol

Relating to the Status of Refugees. Untuk menentukan status pengungsi dapat digunakan kriteria yang terdiri dari unsur/faktor, yaitu faktor subjektif dan obyektif. Faktor subyektif ialah faktor yang terdapat pada diri pengungsi itu sendiri (yang minta status pengungsi), faktor inilah yang menentukan apakah pada diri orang tersebut ada rasa ketakutan atau rasa kekhawatiran akan adanya persekusi/penuntutan, maka jika ada alasan ketakutan maka dapat dikatakan orang tersebut eligibility, ketakutan itu dinilai dari takut terhadap tuntutan negaranya dan terancam kebebasannya.

Faktor Objektif adalah keadaan asal pengungsi, di Negara tersebut apakah benar-benar terdapat persekusi terhadap orang-orang tertentu. Misalnya: akibat perbedaan Ras, perbedaan Agama, karena


(37)

suatu pandangan politik atau yang lainnya. Kalau keadaan tersebut pada negaranya memang demikian, maka keadaan ini bisa membuat seseorang menjadi Eligibility.

Seseorang tidak dapat dinyatakan sebagai Eligibility ialah :

a. Orang-orang yang melarikan diri ke Luar Negeri, karena alasan ekonomi agar bisa lebih baik, mereka ini tidak bisa disebut sebagai pengungsi.

b. Kaum Imigran, yaitu kaum yang pindah dari suatu negara ke lain negara tidak bisa disebut sebagai pengungsi.

c. Pindah ke negara lain untuk mendapatkan kenikmatan pribadi. d. Tidak bisa menyetujui kebijaksanaan pemerintah atau politik

pemerintahnya tidak diakui.

Kekeliruan yang terjadi dalam penetapan Egilibility ialah:

1. Bilamana orang-orang tersebut tidak jujur/tidak terus terang (faktor-faktor subjektif tidak wajar).

2. Kekeliruan fatal dikarenakan petugas yang tidak cermat.

Sehubungan dengan hal itu, ada prinsip yang disebut: Benefit Of The Doubt (keuntungan keraguan) maksudnya adalah: untuk menetapkan apakah seseorang bisa dikatakan pengungsi atau tidak, ada kemungkinan petugas dihadapkan pada suatu keraguan, mungkin didasarkan unsur subjektif orang tersebut, untuk itu apakah benar-benar ada rasa takut atau tidak pada orang tersebut, atau keragu-raguan ini apakah petugas tidak tahu di Negara asalnya terdapat keadaan yang dihadapi ini, menurut


(38)

prinsip ini maka petugas harus mengambil keputusan yang paling menguntungkan orang tersebut. orang tersebut diterima atau diberi status pengungsi.

Eligibility pengungsi harus ditetapkan satu persatu (secara individual), jadi tidak ditetapkan secara bersama-sama, juga tidak bisa secara berkelompok, akan tetapi ini hanya sesuai dengan keadaan sebelum 1951, sesudah 1951 keadaan pengungsi tidak lagi dalam jumlah yang sedikit tapi banyak sekali, maka sering diambil suatu keputusan tentang eligibility iu secara prima facie (Pandangan Pertama) keputusan semacam ini seharusnya diadakan penelitian ulang seharusnya dilakukan secara individual, akan tetapi dalam Praktek tak pernah dilakukan karena praktek tersebut memerlukan petugas dan waktu yang banyak. Sehubungan dengan penelitian secara Individual dikaitkan dengan prinsip kesatuan keluarga (Prinsip Of The Family Unity), maka persoalan yang timbul adalah “apakah seorang suami diterima sebagai pengungsi dari suatu negara apabila anak dan istrinya datang?”

Menurut prinsip tersebut anak dan istrinya diberi status sama dengan suaminya sebagai pengungsi supaya mereka bersatu. Dalam prinsip tersebut pengertian Family adalah keluarga dalam arti yang luas (diakui dalam Konvensi) yaitu: Istri dan anak-anak juga orang tua yang lanjut usia, tetapi dengan syarat orang ini tadinya satu kehidupan keluarganya (hause hold).


(39)

Declaration of Human Right juga terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang menyangkut Human Right, di dalam Final Act

yang menerima Konvensi 1951 mengenai kesatuan keluarga juga diakui dan dianjurkan supaya negara-negara menghormati prinsip ini.

Dari proses penentuan seseorang atau kelompok mendapat status pengungsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyak orang yang pergi keluar dari negaranya dan berpindah ke tempat lain tidak langsung mendapatkan status pengungsi. Diperlukan serangkaian proses yang panjang untuk mendapat status sebagai pengungsi. Hal ini tentu saja mempengaruhi kondisi psikologis mereka. Kondisi psikologi mereka akan rentan mengalami masalah psikologis seperti, depresi, cemas, ketakutan, kerinduan, dsb. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat kepada mereka (UNHCR, 1992).

Dari pengertian pengungsi yang telah di jelaskan di atas beserta proses penentuan status pengungsi, peneliti menjelaskan bahwa pengungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengungsi yang dilayani oleh JRS.

B. Kepuasan Jasa/Layanan 1. Pengertian Kepuasan

Kata kepuasan atau satisfaction menurut Edwardson (dalam Tjiptono, 2000) berasal dari bahasa latin yang berarti "satis" (cukup baik, memadai) dan "facio" (melakukan atau membuat), sehingga secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu. Namun,


(40)

ditinjau dari perspektif perilaku konsumen, istilah kepuasan pelanggan menjadi sesuatu yang kompleks bahkan sampai saat ini belum dicapai kesepakatan apakah kepuasan merupakan respon emosional ataukah evaluasi kognitif.

Kepuasan menurut Kotler (2004) “merupakan tingkat perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (hasil) suatu produk dan harapan-harapannya”.

Pengertian kepuasan dikemukakan oleh Oliver (dalam Supranto, 1997) yaitu tingkat dimana perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya. Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Bila kinerja sesuai dengan harapan, pelanggan akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas.

Maka, secara keseluruhan kepuasan adalah usaha untuk memenuhkan sesuatu baik itu secara emosional maupun kognitif dengan cara membandingkan kenerja atau hasil yang dirasakan dengan harapan seseorang.

2. Pengertian Jasa/Layanan

Kotler (2000) mendefinisikan jasa atau layanan sebagai ”setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak lain yang pada dasarnya bersifat intagible dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Walaupun demikian, produk layanan bisa berhubungan dengan


(41)

produk fisik maupun non fisik. 3. Komponen Jasa/Layanan

Layanan merupakan suatu sistem yang terdiri atas dua komponen utama, yaitu: operasi layanan (service operation) dan penyampaian layanan (service delivery). Layanan sebagai sebuah sistem operasi layanan merupakan sistem back room dari sebuah produk yang mendukung produk atau jasa tersebut terjamin kehandalan dan ketersediaannya. Sedangkan layanan sebagai sistem penyampaian layanan merupakan sistem penyampaian produk yang berhubungan langsung dengan pelanggan.

John (1999) menegaskan terdapat perbedaan yang signifikan antara perspektif penyedia layanan dan persektif pelanggan terhadap konsep layanan. Berdasarkan perspektif penyedia layanan, proses layanan meliputi elemen penyampaian inti (elemen pendukung sistem operasi layanan) dan kinerja interpersonal. Sedangkan perspektif pelanggan, layanan dilihat sebagai pengalaman yang porsinya berbeda-beda antar output layanan dan moment of truth yang dialami. Hal ini mempengaruhi sikap dan tindakan pelanggan yang berdampak terhadap kelangsungan penerimaan jasa.

4. Klasifikasi Jasa/Layanan

Layanan yang diberikan oleh organisasi atau perusahaan dapat diklasifikasikan dalam 7 kriteria pokok (Lovelock, 1987) yaitu:


(42)

kepada konsumen akhir dan jasa ditujukan bagi konsumen organisasional.

b. Tingkat Keterwujudan

Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan konsumen. Pada tingkat keberwujudan interaksi pelanggan dengan penyedia layanan secara langsung dengan produk/ jasa yang diberikan berwujud dan tidak berwujud.

c. Keterampilan Penyedia Jasa/Layanan

Pada tingkat ketrampilan penyedia jasa/layanan memiliki karakteristik semakin tinggi ketrampilan yang dibutuhkan dalam proses operasinya, pelanggan akan selektif memilih penyedia jasanya dan kecenderungannya akan mengikat untuk loyal.

d. Tujuan Organisasi Jasa

Tujuan organisasi jasa dibedakan atas commersial services/ profit service dan non profit service. Tujuan ini akan berpengaruh terhadap kebijakan atas produk dan jasa yang diberikan.

e. Regulasi

Regulasi mengikat jenis jasa/layanan yang diberikan dalam proses opersionalnya. Jasa/ layanan yang terikat dengan regulasi akan menjalankan usahanya mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh badan yang berwenang. Sedangkan unregulated services tidak ada regulator yang mengaturnya.


(43)

f. Tingkat Intensitas Karyawan

Hal ini terkait dengan keterlibatan karyawan dalam proses pembuatan, operasional, dan penyampaiannya.

g. Tingkat Kontak Penyedia Jasa dan Pelanggan

Tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan terkait dengan intensitas pertemuan dengan pelanggan. Menurut Lovelock (1987) intensitas ini dibedakan menjadi dua yaitu layanan kontak tinggi (high contact services) dan layanan kontak rendah (low contact services).

Untuk jasa layanan kontak tinggi ketrampilan karyawan penyedia jasa sangat krusial karena karyawan menjalankan fungsi strategik. Mereka yang melakukan operasi jasa, memasarkan jasa dan disamakan oleh konsumen sebagai jasa (Bowen & Schnider,1988).

5. Karakteristik Jasa/Layanan

Jasa/layanan menurut Kotler (2004) memiliki karakteristik yang bermacam-macam. Secara garis besar karakteristik jasa/layanan dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:

1. Intangibility

Jasa/layanan bersifat intagible, tidak dapat lihat, dirasakan, dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli atau dikonsumsi. Karena sifatnya yang intangible penyedia jasa harus membuat pelanggan merasakannya sebagai sesuatu yang tangible

2. Heterogenity/Variability/Inkonsistensi


(44)

yang mengaturnya sehingga outputnya bisa bervariasi. 3. Inseparability

Jasa/layanan diberikan tidak dapat dipisahkan antara jasa/layanan tersebut dengan pelanggan. Pelanggan terlibat dalam aktivitas produksi jasa dan cenderung bersifat interaktif.

4. Perihability

Jasa/layanan bersifat tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang di waktu datang, dijual kembali, atau dikembalikan sehingga penyedia jasa harus menyiasati penawaran jasa/layanan melalui strategi khusus untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan.

C. Kepuasan Konsumen Terhadap Jasa/Layanan

Kotler dan Keller (2003) mendefinisikan kepuasan konsumen sebagai perasaan konsumen, baik itu berupa kesenangan atau kekecewaan yang timbul dari membandingkan pelayanan jasa yang dihubungkan dengan harapan konsumen atas jasa tersebut. Apabila pelayanan jasa yang diharapkan oleh konsumen tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, maka dapat dipastikan konsumen akan merasa tidak puas dan apabila pelayanan jasa tidak sesuai atau lebih baik dari yang diharapkan konsumen, maka kepuasan atau kesenangan akan dirasakan konsumen.

Kepuasan konsumen merupakan keseluruhan sikap yang ditunjukkan konsumen atas jasa setelah mereka memperolehnya. Ini merupakan penelitian evaluatif pascapemilihan yang disebabkan oleh seleksi pembelian khusus dan


(45)

pengalaman menggunakan barang atau jasa tersebut (Mowen dan Minor, 2002). Jadi Kepuasan konsumen adalah persepsi individu terhadap performansi suatu produk atau jasa dikaitkan dengan harapan konsumen tersebut (Sciffman dan Kanuk, 2004). Kepuasan layanan didefinisikan sebagai penilaian evaluasi pasca pemberian dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberi hasil sama atau melampaui harapan konsumen.

Dalam penelitian ini, yang nantinya akan disebut dengan konsumen adalah para pengungsi yang mendapatkan layanan dari JRS. Maka dari itu, kata konsumen dapat diartikan dan dikaitkan sebagai para pengungsi yang dilayani oleh JRS. Sedangkan yang nantinya disebut dengan penyedia layanan adalah JRS sendiri.

1. Tipe-tipe Kepuasan

Stauss dan Neuhaus (dalam Tjiptono dan Gregorius, 2005) membedakan tiga tipe kepuasan dan dua tipe ketidakpuasan, yakni :

Demanding customer satisfaction

Tipe ini merupakan tipe kepuasan yang aktif. Adanya emosi positif dari konsumen, yakni optimisme dan kepercayaan.

Stable customer satisfaction

Konsumen dengan tipe ini memiliki tingkat aspirasi pasif dan perilaku yang menuntut. Emosi positifnya terhadap penyedia jasa bercirikan steadiness dan trust dalam relasi yang terbina saat ini. Konsumen menginginkan segala sesuatunya tetap sama.


(46)

kepuasannya bukan disebabkan oleh pemenuhan harapan, namun lebih didasarkan pada kesan bahwa tidak realistis untuk berharap lebih.

Stable customer dissatisfaction

Konsumen dalam tipe ini tidak puas terhadap kinerjanya, namun mereka cenderung tidak melakukan apa-apa.

Demanding dissatisfaction

Tipe ini bercirikan tingkat aspirasi aktif dan perilaku menuntut. Pada tingkat emosi, ketidakpuasannya menimbulkan protes dan oposisi. 2. Ciri-ciri Konsumen yang Puas

Hawkins, Mothersbaugh dan Best (2007) menyebutkan bahwa outcome atau hasil yang diharapkan dari adanya kepuasan konsumen adalah peningkatan penggunaan, pembelian ulang, loyalitas dan word of mouth. Sedangkan menurut Kotler dan Amstrong (2000) ciri-ciri konsumen yang puas adalah sebagai berikut :

1. Loyal terhadap produk

Konsumen yang terpuaskan cenderung akan menjadi loyal. Konsumen yang puas terhadap produk yang dikonsumsinya akan mempunyai kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang sama. Keinginan untuk membeli ulang karena adanya keinginan untuk mengulang pengalaman yang baik dan menghindari pengalaman yang buruk.

2. Adanya komunikasi dari mulut ke mulut yang bersifat positif


(47)

komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication) yang bersifat positif. Hal ini dapat berupa rekomendasi kepada calon konsumen yang lain dan mengatakan hal-hal yang baik mengenai produk dan perusahaan yang menyediakan produk.

3. Perusahaan menjadi pertimbangan utama ketika membeli produk lain.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Konsumen

Zeithaml dan Bitner (1996) mengemukakan bahwa kepuasan konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:

a. Kualitas Produk

Konsumen puas jika setelah membeli dan menggunakan produk, ternyata kualitas produknya baik. Kualitas barang yang diberikan bersama-sama dengan pelayanan akan mempengaruhi persepsi konsumen. Ada delapan elemen dari kualitas produk, yakni kinerja, fitur, reliabilitas, daya tahan, pelayanan, estetika, sesuai dengan spesifikasi, dan kualitas penerimaan.

b. Harga

Pembeli biasanya memandang harga sebagai indikator dari kualitas suatu produk. Konsumen cenderung menggunakan harga sebagai dasar menduga kualitas produk. Maka konsumen cenderung berasumsi bahwa harga yang lebih tinggi mewakili kualitas yang tinggi. c. Faktor situasi dan personal


(48)

tingkat kepuasan seseorang terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya. Faktor situasi seperti kondisi dan pengalaman akan menuntut konsumen untuk datang kepada suatu penyedia barang atau jasa, hal ini akan mempengaruhi harapan terhadap barang atau jasa yang akan dikonsumsinya. Efek yang sama terjadi karena pengaruh faktor personal seperti emosi konsumen.

d. Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan sangat bergantung pada tiga hal, yaitu sistem, teknologi dan manusia. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa sangat bergantung pada kualitas jasa yang diberikan. Menurut Kotler (2002), ada lima dimensi kualitas pelayanan penjualan yang dapat meningkatkan kepuasan konsumen, sebagai berikut:

1) Keandalan (Reliability)

Kemampuan untuk melaksanakan pelayanan pada konsumen yang dijanjikan secara terpercaya dan akurat.

2) Daya Tanggap (Responsiveness)

Kemampuan untuk membantu, melayani dan memberikan pelayanan dengan cepat dari perusahaan kepada konsumen.

3) Kepastian (Confidence)

Pengetahuan dan kesopanan yang dimiliki karyawan perusahaan, serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pada konsumen.


(49)

Kesediaan untuk peduli kepada konsumen, dan memberikan perhatian secara pribadi kepada konsumen yang membutuhkan pelayanan.

5) Berwujud (Tangible)

Penampilan fisik yang dimiliki perusahaan, peralatan, petugas, karyawan dan materi komunikasi yang ada pada perusahaan.

4. Pengukuran Kepuasan

Menurut Kotler dan Amstrong (1997), ada empat metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepuasan konsumen, yaitu:

a. Sistem Keluhan dan Saran

Setiap perusahaan yang berorientasi pada konsumen (customer oriented) akan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya bagi konsumen untuk menyampaikan pendapat, saran dan keluhan konsumen. Media yang bisa digunakan antara lain adalah kotak saran, guest comment.

b. Survei Kepuasan Konsumen

Penelitian mengenai kepuasan konsumen banyak dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik melalui pos, telepon maupun wawancara pribadi. Keuntungan dari menggunakan metode survei adalah perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari konsumen dan sekaligus juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan memperhatikan konsumennya. Metode ini dapat


(50)

dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: a. Directly Reported Satisfaction

Survei kepuasan konsumen dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti “Seberapa puaskah Saudara terhadap produk X? Apakah sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas dan sangat puas?”.

b. Derived Reported Dissatisfaction

Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yaitu besarnya harapan konsumen terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang dirasakan konsumen.

c. Problem Analysis

Konsumen yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok, yaitu masalah-masalah yang dihadapi oleh konsumen yang berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan saran-saran untuk melakukan perbaikan.

d. Importance Performance Analysis

Responden diminta untuk mengurutkan berbagai atribut dari penawaran, mulai dari yang paling penting hingga yang kurang penting. Selain itu, responden juga diminta untuk mengurutkan kinerja perusahaan dalam masing-masing atribut dari yang paling baik hingga yang kurang baik.

c. Ghost Shopping


(51)

beberapa orang (ghost shopper) untuk bersikap sebagai konsumen di perusahaan pesaing.

d. Lost Custumer analisys

Metode ini dilaksanakan dengan cara perusahaan menghubungi para konsumennya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok dan perusahaan menanyakan penyebab konsumen berhenti membeli atau beralih pemasok. Menurut Tjiptono (1997), metode yang digunakan untuk mengukur kepuasan konsumen dapat dengan cara: a. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pertanyaan. b. Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka

mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang dirasakan.

c. Responden diminta untuk menuliskan masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahan dan juga diminta untuk menuliskan masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahan dan juga diminta untuk menuliskan perbaikan yang mereka sarankan.

d. Responden dapat diminta untuk meranking berbagai elemen dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan seberapa baik kinerja perusahan dalam masing-masing elemen. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode survei kepuasan konsumen dengan cara Directly Reported Satisfaction untuk mengukur kepuasan layanan.


(52)

D. Kompetensi

1. Pengertian Kompetensi

Kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan ditempat kerja termasuk diantaranya seseorang untuk mentrasfer dan mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baru.

Pengertian kompetensi yang dikemukakan oleh para ahli, menurut Wibowo (2007) kompetensi adalah Suatu kemampuan untuk malaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan itu tersebut.

Spencer and Spencer (dalam Wibowo, 1993) kompetensi adalah: Karakter sikap dan perilaku, atau kemauan dan kemampuan individual yang relatif stabil ketika menghadapi situasi dan tempat kerja yang terbentuk dari sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan konseptual.

Dapat disimpulkan dari kedua pengertian diatas bahwa kompetensi adalah karakteristik dari suatu kemampuan seseorang yang dapat di buktikan sehingga memunculkan suatu prestasi kerja.

2. Karakteristik Kompetensi

Kompetensi merupakan karekteristik yang mendasar pada setiap individu yang dihubungkan dengan criteria yang dideferensiasikan


(53)

terhadap kinerja yang unggul atau efektif dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Spencer and Spencer (1993) menyatakan bahwa Kompetensi merupakan landasan dasar karekteristik orang dan mengindikasikan cara berprilaku atau berfikir, menyamakan situasi, dan mendukung untuk periode waktu cukup lama.

Terdapat lima tipe Karakteristik Kompetensi, yaitu sebagai berikut: 1) Motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau diinginkan orang yang menyebabkan tindakan. Motif mendorong, mengarahkan, dan memilih perilaku menuju tindakan atau tujuan tertentu.

2) Sifat adalah karakteristik fisik dan respons yang konsisten terhadap situasi atau informasi.

3) Konsep diri adalah sikap, nilai-nilai, atau citra diri seseorang. Percaya diri merupakan keyakinan orang bahwa mereka dapat efektif dalam hampir setiap situasi adalah bagian dari konsep diri orang.

4) Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki orang dalam bidang spesifik. Pengetahuan adalah kompetensi yang kompleks.

5) Keterampilan adalah kemampuan mengerjakan tugas fisik atau mental tertentu.kompetensi mental atau keterampilan kognitif termasuk berfikir analitis dan konseptual.


(54)

3. Kompetensi Interpersonal

Spitxzberg dan Cupach ( dalam DeVito, 1992) mengungkapkan bahwa kempetensi interpersonal adalah kemampuan seseorang individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Kompetensi interpersonal ini terdiri atas kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif. Kemampuan ini ditandai dengan adanya karakteristik-karakteristik psikologis yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang ada dalam interaksi, perilaku non verbal orang lain, kemampuan menyesuaikan komunikasi dengan konteks dari interaksi yang sedang berlangsung, serta menyesuaikan dengan orang lain.

Reardon (dalam Gouran dkk, 1994) mengatakan individu yang kompeten secara interpersonal mampu mencapai tujuan-tujuan yang diinginkannya dalam sebuah relasi dan berperilaku secara tepat dalam menghadapi situasi tersebut. Hal serupa juga disampaikan oleh Trenholm dan Jensen (dalam Gouran dan Dolger, 1994) menyatakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan berkomunikasi diri secara efektif dan bergaul denga cara yang tepat.

Selanjutnya Buhrmester, Wittenberg dan Reis (1998) menemukan adanya beberapa hal seperti kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan untuk membentuk persahabatan, mengatasi permasalahan yang timbul dalam berhubungan dengan orang lain, yang semuanya


(55)

merupakan gambaran dari kompetensi interpersonal. Buhrmester mengemukakan lima dimensi interpersonal, yaitu: kemampuan berinisiatif dalam memulai suatu hubungan interpersonal, kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampan untuk mengelola dan mengatasi konflik.

Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi interpersonal yang dimaksukan dalam penelitian ini adalah kemampuan individu untuk berinisiatif, bersikap terbuka, bersikap asertif, memberikan dukungan emosional, dan mampu mengatasi konflik untuk melakukan komunikasi dan menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain.

4. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal a. Kompetensi untuk Berinisiatif

Inisiatif menurut Bee (1981) yakni kemampuan untuk memulai suatu bentuk usaha tertentu dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Pendapat ini dipertegas oleh Buhrmester, dkk (1998) yang mengemukakan bahwa inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Tahap awal untuk menjalin relasi dengan orang lain adalah dengan memperkenalkan diri atau menyapa orang lain.

Smart dan Smart (1972) mengemukakan tiga hal tentang inisiatif, yaitu:


(56)

i. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru untuk memperkaya diri

ii. Pencarian pengalaman baru dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui dengan tujuan untuk dapat lebih memahaminya.

iii. Dorongan yang penuh semangat dalam rangka mencari infromasi yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar dan tentang dirinya sendiri.

Perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya inisiatif menurut Buhrmester, dkk (1998), yaitu:

1) Mengenalkan diri pada seseorang baru yang ingin dikenal.

2) Menjadi individu yang menarik dan menyenangkan ketika berkenalan dengan orang lain.

3) Menawarkan sesuatu pada kenalan baru yang terlihat menarik dan atraktif.

4) Meminta dan mengusulkan pada kenalan baru untuk melakukan aktivitas bersama-sama

5) Melanjutkan percakapan dengan kenalan baru yang lebih ingin dikenal.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berinisiatif adalah usaha untuk memulai sesuatu bentuk interaksi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar dengan tahap awalnya adalah dengan


(57)

memperkenalkan diri atau menyapa orang lain. b. Kemampuan Bersikap Terbuka

Menurut Jourard (1964) mengemukakan bahwa self disclosure adalah suatu kemampuan untuk membicarakan diri sendiri dan kemampuan ini sangat penting artinya dalam membentuk suatu persahabatan. Ia juga menyebutkan bahwa keterbukaan sama maknanya dengan keintiman atau pendektan yang mana hal tersebut membedakan antara hubungan persahabatan dan hubungan formal.

Dalam pengungkapan diri, Wrightsman dan Deaux (1981) mengungkapkan bahwa informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberikan perhatian kepada orang lain, sebagai bentuk penghargaan yang akan memperluas kesempatan menjadi sharing.

Keterbukaan seseorang tercermin dalam perilaku individu tersebut. Menurut Buhrmester, dkk (1998) menunjukkan contoh-contoh perilaku adanya keterbukaan diri, yakni:

1) Memberi kesempatan kepada kenalan baru untuk lebih mengenal diri kita yang sebenarnya.

2) Mengungkapkan pada sahabat bahwa kita menghargai dan menyayanginya.

3) Mengungkapkan pada sahabat hal-hal yang mencemaskan, menakutkan dan membuat kita merasa malu.

4) Mengetahui cara mengemukakan percakapan dengan kenalan baru untuk lebih mengenal masing-masing pihak.


(58)

5) Melepaskan pertahanan diri kita dan mempercayai seorang sahabat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self disclosure merupakan kemampuan seseorang untuk membuka diri, memperkenalkan dirinya kepada orang lain, dan sebaliknya menerima oranglain, memberi penghargaan sehingga keterbukaan adalah kunci dari self disclosure.

c. Kemampuan untuk Bersikap Asertif

Menurut Pearlman dan Cozby (dalam Nashori, 2003) asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaan secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas.

Charhoun dan Acoccella (1990) mengatakan bahwa kemampuan bersikap asertif merupakan kemampuan untuk meminta orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan dan menolak untuk melakukan hal yang tidak diinginkan. Kemampuan bersikap asertif ini dapat mempermudah individu dalam melakukan komunikasi interpersonal yang efektif.

Menurut Nashori (2003), kemampuan bersikap asertif adalah kemampan untuk mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas, meminta orang lain melakukan sesuatu, dan menolak melakukan hal yang tidak dinginkan tanpa melukai perasaan orang lain.


(59)

a. Mengatakan kepada orang lain bahwa kita tidk bekenan dengan cara dia memperlakukan kita.

b. Mengatakan ”tidak” ketika teman menyuruh kita melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan.

c. Menolak permintaan teman yang tidak masuk akal d. menegur sahabat kita yang ingkar janji.

e. mengatakan pada orang lain bahwa dia telah melukai perasaan, mempermalukan, dan membuat kita marah.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bawa kemampan bersikap asertif adalah kemampuan untuk mengatakan hak-hak pribadi kita, mengungkapakan pikiran dan gagasan serta perasaan kita secara jujur dengan cara yang baik dan tidak menyakiti hati.

d. Kemampuan Memberikan Dukungan Emosional

Cohen & Wills (dalam Hill, 1991) menyatakan bahwa dukungan emosional adalah kemampuan untuk mengespresikan perhatian, kesabaran, dan simpati kepada orang lain. Barker dan Lemle (dalam Buhrmester, 1998) menjelaskan bahwa dukungan emosional mencakup kemampuan untuk memberikan perasaan nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut sedang mengalami kesusahan dan ditimpa masalah. Penguasaan atas aspek ini memudahkan individu untuk masuk kedalam lingkup pergaulan atau untuk mengenali dan merespon dengan tepat perasaan dan


(60)

keprihatinan orang lain (Goleman, 2000).

Lukman (dalam Almesa, Widyastuti& Mardiana, 2007) mengungkapkan bahwa kemampuan memberikan dukungan emosional sangat bermanfaat dalam hubungan antar pribadi. Memberi dukungan emosional berarti memberikan dukungan yang bersifat afektif. Salah satu bentuk dukungan yang bersifat afektif adalah empati. Kartini Kartono dan Dali Gulo (dalam Almesa et al, 2007) mengatakan bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Sikap empati ini akan dapat mempererat hubungan interpersonal individu.

Perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya dukungan emosional dinyatakan oleh Buhrmester, dkk (1998) yaitu:

1) Mendengarkan dengan sabar ketika sahahat menceritakan masalahnya.

2) Membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi sahabat berkaitan dengan keluarga atau teman lain.

3) Mengatakan atau melakukan sesuatu dalam rangka memberikan dukungan emosional pada saat sahabat kita menjalani kesusahan. 4) Menunjukkan siap penuh empati

5) Memberikan nasehat yang baik ketika seorang teman membutuhkannya.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan memberikan dukungan emosional adalah kemampuan


(61)

untuk menenangkan dan memberikan perasaan nyaman kepada orang lain ketika orang lain tersebut sedang mengalami masalah, memberikan empati dan bersikap hangat kepada orang lain adalah salah satu teknik untuk membuat orang lain tenang dan merasa nyaman dengan kita.

e. Kemampuan dalam Mengatasi Konflik

Kemampuan mengatasi konflik meliputi sikap-sikap untuk menyusun strategi penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atau suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru. Menyusun strategi penyelesaian masalah adalah bagaimana individu yang bersangkutan merumuskan cara untuk menyelesaikan konflik dengan sebaik-baiknya.

Grasha (1987) mengatakan bahwa konflik akan selalu ada dalam setiap hubungan antar manusia dan bisa disebabkan oleh berbagai hal. Kemampuan mengatasi konflik diperlukan agar tidak merugikan suatu hubungan yang terjalin karena akan memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik ini meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baik. Konflik akan memberi makna positif bila konflik dikomunikasikan secara terbuka untuk memperoleh penanganan secara efektif.

Menurut Buhrmester, dkk (1998), perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya kemampuan dalam mengatasi konflik, adalah


(62)

sebagai berikut:

1) Pada saat memiliki masalah dengan sahabat, kita benar-benar mendengarkan keluhannya dan tidak berusaha menebak apa yang dipikirkannya.

2) Tidak mengulang ucapan atau perbuatan yang dapat memperparah konflik.

3) Dapat menerima bahwa orang lain memiliki pandangan sendiri terhadap suatu kejadian meskipun kita tidak setuju dengan cara pandang tersebut.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengatasi konflik diperlukan agar tidak merugikan suatu hubungan yang terjalin karena akan memberikan dampak yang negatif.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kompetensi Interpersonal

Berbagai penelitian menemukan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: kontak dengan orang tua, interaksi dengan teman sebaya, dan partisipasi sosial. Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor tersebut di atas, yaitu:

1) Kontak dengan orang tua

Menurut Hetherington dan Parke (1979), kontak anak dengan orang tua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak di antara mereka menjadikan anak belajar dengan lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat


(63)

mempengaruhi perilaku sosialnya. 2) Interaksi dengan teman sebaya

Lefrancois (dalam Mulyati, 1993) mengemukakan bahwa teman sebaya mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan sosial anak. Hal ini dipertegas juga oleh Kramer dan Gottman (1992) bahwa anak yang memiliki kesempatan untuk dapat berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk lebih meningkatkan perkembangan sosial dan perkembangan emosinya, serta lebih mudah dalam membina hubungan interpersonal.

3) Partisipasi sosial

Hurlock (1997) menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Individu yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial akan lebih berpeluang untuk mengasah keterampilan- keterampilan sosial yang dimiliki termasuk kompetensi interpersonalnya. Dengan kata lain, semakin besar partisipasi sosial seorang individu maka semakin besar pula kompetensi interpersonal yang dimilikinya.

F. Dinamika Hubungan Antara Kompetensi Interpersonal Relawan JRS dan Kepuasan Layanan para Pengungsi yang dilayani JRS di Yogyakarta

Ada 50 orang pengungsi yang tinggal di Yogyakarta telah dibebaskan dari rudenim dan sedang menunggu penempatan di negara ketiga yang aman. Mereka di pindahkan dari rudenim ke asrama di Yogyakarta. Para pengungsi


(64)

yang ada di Yogyakarta adalah pengungsi yang sebelumnya berasal dari berbagai rudenim di wilayah Indonesia. Mereka di pindahkan di Yogyakarta untuk menunggu diberangkatkan ke negara yang mau menerima mereka. Setelah menunggu lama dengan segela kondisi psikologis yang dihadapi di rudenim, para pengungsi belum sepenuhnya dapat bebas namun di Yogyakarta mereka sudah diperbolehkan untuk mengakses alat elektronik (handphone, tablet, laptop,dsb) dan diberikan kepercayaan untuk pergi keluar asrama. Namun, hal ini tidak mempengaruhi psikologis para pengungsi menjadi lebih baik. Pengungsi masih menunggu waktu diberangkatan ke Negara ketiga yang tidak jelas dan semakin lama. Bahkan dalam penantian tersebut, tak jarang ada yang ditolak ke negara ke tiga. Selain itu, adanya keinginan dari pengungsi untuk segera pergi ke negara ketiga agar segera dapat membangun kehidupan yang baru hanya ada dalam keinginan yang belum terwujud. Hal-hal semacam itu tentu saja akan memberikan pengaruh terhadap psikologis pengungsi. Selain itu dengan akses komunikasi, mereka banyak mendapat informasi dari kelurga, sahabat, atau berita-berita yang membuat mereka sedih, takut dan tidak dapat berbuat apa-apa dengan situasi dan kondisi yang didapat.

Di sisi lain, JRS hadir untuk menemani, melayani dan membela hak-hak pengungsi. JRS hadir menawarkan pelayanan kepada pengungsi. Tujuannya memberikan kepuasan kepada pengungsi. Dengan perasaan puas ini, diharapkan pengungsi ada dalam keadaan yang menyenangkan, tidak sedih, dapat menikmati hidupnya di asrama sambil menunggu diberangkatkan


(65)

ke Negara ketiga. Dalam pelayanan JRS kepada pengungsi, JRS membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan para relawan dan komunitas pengungi. Para relawan yang bekerja bersama dengan JRS adalah orang-orang yang berada di barisan terdepan dalam memberikan pelayanan kepada pengungsi. Merekalah yang terlibat langsung dalam pelayanan kepada pengungsi, mereka menemani, membimbing, memberi bantuan pendidikan bahasa Inggris, teknik penggunaan komputer, dan mengadakan rekreasi seperti futsal, renang, dan jalan-jalan. Nampak tidak mudah dalam memberikan pelayanan tersebut. Diperlukan orang-orang yang memiliki kompetensi yang sesuai dalam pelayanan tersebut. Salah satu kompetensinya adalah kompetensi interpersonal.

Menurut Spitxzberg dan Cupach (dalam DeVito,1992) mengungkapkan bahwa kempetensi interpersonal adalah kemampuan seseorang individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Kompetensi interpersonal ini terdiri atas kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif. Kemampuan ini ditandai dengan adanya karakteristik-karakteristik psikologis yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang ada dalam interaksi, perilaku non verbal orang lain, kemampuan menyesuaikan komunikasi dengan konteks dari interaksi yang sedang berlangsung, serta menyesuaikan dengan orang lain. Dalam konteks pelayanan kepada pengungsi, seriap orang diharapkan mampu untuk


(66)

berinteraksi secara efektif dengan pengungsi. Berinteraksi secara efektif berarti membangun hubungan yang hangat yang membuat nyaman kedua belah pihak. Misalnya relawan yang mengajar bahasa inggris, ketika pengungsi mengalami kesulitan dalam belajar bahasa inggris dan strees karena dia ditolak ke negara ketiga, relawan yang mempunyai kompetensi interpersonal yang baik akan memberi bimbingan dukungan dan semangat, bukan sebaliknya.

Selanjutnya Buhrmester, dkk (1998) menemukan adanya beberapa hal seperti kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan untuk membentuk persahabatan, mengatasi permasalahan yang timbul dalam berhubungan dengan orang lain yang semuanya merupakan gambaran dari kompetensi interpersonal. Buhrmester mengemukakan lima dimensi interpersonal, yaitu: kemampuan berinisiatif dalam memulai suatu hubungan interpersonal, kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampan untuk mengelola dan mengatasi konflik.

Seorang yang melayani pengungsi, baik jika memiliki kemampuan berinisiatif, misalkan ketika para pengungsi merasa bosan dengan situasi dan kondisi yang ada, relawan berinisiatif untuk berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengadakan acara atau kegiatan yang menghibur, dsb. Kemampuan membuka diri juga diperlukan agar pengungsi lebih mengenal relawan dengan baik dan memberikan keakraban antara relawan dan pengungsi. Sering kali terjadi penolakan dari negara ketiga terhadap seorang


(1)

117

7.

Hasil Uji Reliabilitas Skala Kepuasan Layanan (setelah seleksi item)

Case Processing Summary

N % Cases Valid 15 88.2

Excludeda 2 11.8 Total 17 100.0 a. Listwise deletion based on all variabels in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items N of Items .910 .913 15


(2)

118

8.

Tabel Hasil Uji Kualitas Item Skala Kepuasan Layanan (setelah seleksi

item)

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Squared Multiple Correlation Cronbach's Alpha if Item Deleted item2 43.93 24.495 .448 . .912 item3 43.53 24.838 .591 . .905 item11 43.73 24.067 .571 . .906 item12 43.53 22.981 .775 . .898 item14 43.33 24.238 .637 . .903 item15 43.53 24.552 .657 . .903 item16 43.67 24.667 .548 . .906 item17 43.53 23.695 .861 . .897 item18 43.80 23.600 .743 . .900 item19 43.73 25.067 .391 . .913 item20 43.80 24.457 .567 . .906 item22 43.80 24.743 .510 . .908 item23 44.07 23.352 .704 . .901 item24 43.53 23.695 .861 . .897 item25 43.67 26.381 .343 . .912

B.

HASIL PENELITIAN

1.

Mean Empirik

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Kompetensi 15 47 78 64.93 9.043 Kepuasan 15 39 55 46.80 5.267 Valid N (listwise) 15


(3)

119

1.

Mean Empirik Indikator Kompetensi Interpersonal

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Inisiatif 15 8 16 13.60 1.993 Open 15 8 15 12.07 2.086 Asertif 15 9 16 13.07 1.981 EmotionalSupp 15 10 16 13.27 1.981 Konflik 15 9 16 12.93 2.154 Valid N (listwise) 15

2.

Mean Empirik Indikator Kepuasan Layanan

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Reliability 15 7 11 9.13 1.125 Responsiveness 15 7 12 9.47 1.506 Confidence 15 9 12 9.80 1.265 Emphaty 15 6 11 8.93 1.387 Tangibles 15 8 11 9.47 .990 Valid N (listwise) 15

2.

Frekuensi Data Kategori

1.

Kompetensi Interpersonal

FKompetensi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Cukup

Berkompeten

3 20.0 20.0 20.0

Sangat Berkompeten

12 80.0 80.0 100.0


(4)

120

2.

Kepuasan Layanan

FKepuasan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Cukup Puas 2 13.3 13.3 13.3

Sangat Puas 13 86.7 86.7 100.0 Total 15 100.0 100.0

3.

One Sample T-Test

1.

Kompetensi Interprsonal

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Kompetensi 15 64.93 9.043 2.335

One-Sample Test

Test Value = 0

t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Kompetensi 27.809 14 .000 64.933 59.93 69.94

2.

Kepuasan Layanan

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Kepuasan 15 46.80 5.267 1.360


(5)

121

One-Sample Test

Test Value = 0

t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Kepuasan 34.412 14 .000 46.800 43.88 49.72

3.

Uji Hipotesis

Correlations

Kompetensi Kepuasan Spearman's rho Kompetensi Correlation

Coefficient

1.000 .816**

Sig. (2-tailed) . .000

N 15 15

Kepuasan Correlation Coefficient

.816** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 15 15


(6)

122