BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum - HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum

1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum

  Kamus lengkap psikologi, Chaplin (2002) mengungkapkan kecemasan adalah sebagai perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengena i masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Menurut Nevid (2005) kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Menurut Rogers (dalam Cristiningsih, 2017) terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan biasa. Pada konteks pembicaraan biasa individu merasa aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah proses memberi dan menerima (komunikasi dua arah atau dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog).

  Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) menyatakan kecemasan berbicara di depan umum ditandai dengan perasaan gelisah.Motley (dalam Kiranti, 2015) menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara didepan umum, mungkin adalah bentuk communication apprehension yang paling umum. Sejalan dengan itu, menurut Santoso (dalam Prakoso, 2014) juga menyebutkan kecemasan berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala psikologis. Sedangkan Apollo (dalam Wahyuni, 2015)menyebutka n kecemasan berbicara didepan umum dengan istilah reticence , yaitu ketidakmampuan individu untuk mengembangkan percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis.

  Menurut McCroskey (dalam Dewi & Andrianto, 2006) menyebutkan ada empat jenis Communication Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in

  

gereralized context, CA with generalized people, CA as a state . Kecemasan

berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA in generalized context.

  Dimana individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari setting/kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Konteks yang paling banyak ditemui saat ini adalah berbicara di depan umum (public speaking), misalnya menyampaikan pidato, presentasi dikelas, dan pada saat pertemuan penting atau meeting. Individu akan mengala mi kecemasan ketika membayangkan berlangsungnya pengalaman berbicara di depan umum.

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan aprehensi atau khwatir tentang sesuatu hal buruk yang terjadi serta ketidakmampuan individu untuk mengembangka n percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis, seperti perasaan yang gelisah.

2. Aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum

  Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) membagi komponen kecemasan berbicara di depan umum menjadi tiga, yaitu : a. Komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan.

  Gejala fisik tersebut dapat berbeda setiap orangnya. Beberapa contoh gejala fisik yang dimaksud adalah detak jantung yang semakin cepat, suara yang bergetar, kaki gemetar, kejang perut, sulit untuk bernafas dan hidung berlendir.

  b. Komponen proses mental, misalnya : sering mengulang kata atau kalimat, hilang ingatan secara tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting.

  c. Komponen emosional, yang termasuk dalam komponen emosional adalah adanya rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil dan rasa kehilangan kendali.

  Menurut Burgoon (1994) aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum sebagai berikut : a. Unwillingness

  Unwillingness adalah tidak adanya minat individu melakukan berbicara di

  depan umum, sehingga ada usaha untuk menghindar bila melakukan kegiatan tersebut.

  b. Unrewarding Unrewarding adalah tidak adanya penghargaan atau peningkatan hukuma n

  atas komunikasi yang pernah dilakukan individu. Pengalaman tersebut menjadikan individu mengalami kecemasan bila dikemudian hari berbicara di depan muka umum lagi.

  c. Uncontrol Uncontrol adalah ketidakmampuan individu melakukan kontrol terhadap

  situasi, peralatan, dan tempat komunikasi sehingga menyebabkan kecemasan.

  Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan komponen kecemasan berbicara di depan umum menurut Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) terdiri dari komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosiona l. Menurut Burgoon (1994) aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum dibagi menjadi tiga yaitu Unwillingnes, unrewarding dan uncontrol. Aspek-aspek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendapat dari Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) karena dalam beberapa komponen ini sering terjadi pada diri individ u ketika berbicara di depan umum dan komponen ini sesuai dengan penelitian yang ingin dilakukan. Hal ini didukung dengan penelitian Cristiningsih (2017) yang menggunakan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum yang sama menurut Rogers.

3. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum

  Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya faktor yang mempengar uhi kecemasan bebricara di depan umum yaitu : a. Self efficacy

  Berdasarkan penelitian Wahyuni (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan negative secara signifikan antara Self-efficacy dengan kecemasan

  Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy adalah suatu keyakinan individu bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu dalam situasi tertentu dengan berhasil. Kecemasan berbicara di depan umum merupakan fungs i rendahnya self-efficacy. Self-efficacy, ditandai dengan adanya kepercayaan diri dalam menghadapi situasi yang tidak menentu, keyakinan mencapai target, menumbuhkan motivasi dan mengatasi tantangan yang muncul.

  Self-efficacy berperan menentukan bagaimana seseorang melakukan

  pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas dan tantangan. Pada saat merasa takut dan cemas, biasanya individu mempunyai self-efficacy rendah. Sementara individu yang memiliki self-efficacy tinggi, merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menggangap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari (Dewi dalam Wahyuni, 2015).

  b. Kepercayaan diri Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni (2014) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Program Studi Psikologi Angkatan 2009-2010 di Universitas Mulawarman Samarinda.

  Menurut Taylor (2011) rasa percaya diri (self confidence) adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan tanpa kita sadari. Kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan), melainkan kualitas mental, artinya kepercayaan diri merupakan pencapaian yang Kepercayaan diri dapat dilatih atau dibiasakan. Menurut Hakim (2002) percaya diri merupakan keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan hidupnya. Rasa percaya diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan diwujudkan dalam tingkah lakunya sehari-hari (Hakim,2002).

  Menurut Rakhmat (2009) orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Karena takut orang lain akan mengejeknya atau menyalahkannya. Orang yang ketakutan dalam komunikasi, akan menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin berkomunikasi, dan hanya akan berbicara apabila terdesak saja. Kepercayaan diri mahasiswa diasumsika n dapat mempengaruhi tingkat kecamasan mereka di dalam berbicara di depan umum. Mahasiswa dengan memiliki kepercayaan diri yang memadai akan dapat meminimalisir kecemasan yang terjadi pada diri mereka saat mengadakan sebuah presentasi, dan mahasiswa tersebut dapat menyikapi sebuah proses presentasi dengan respon yang positif.

  c. Keterampilan komunikasi Berdasarkan hasil penelitian dari Ririn dkk (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara keterampilan komunikasi dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling FIP UNP angkatan 2011.

  Keterampilan komunikasi merupakan kemampuan seorang individu untuk melakukan komunikasi yang efektif dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan individu atau lebih yang terlibat interaksi memahami pesan yang disampaikan dengan benar, dan memberikan respon sesuai dengan yang diinginkan.

  Keterampilan komunikasi juga merupakan salah satu kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, yang perlu dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon ilmuwa n yang senantiasa bersentuhan dengan kegiatan yang menuntut mereka untuk terampil berbicara, seperti bertanya di dalam kelas, berdiskusi, berpidato, ceramah, dan lain- lain (Wahyuni, 2015).

  d. Pola Pikir Pola pikir mempunyai pengertian kecendrungan manusiawi yang dinamis, sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan. Pola pikir seseorang dapat membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dapat pula merugika nnya (Williams, 2004). Pola pikir terbagi menjadi dua macam yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Keduanya tersebut mempengaruhi seseorang saat ia sedang mengalami kecemasan berbicara di depan umum (Peale, 2001)

  Rogers (dalam Anwar, 2010) meyakini bahwa yang mempengar uhi kecemasanberbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang yang hendak berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang

  “diadili”, merasa bahwa penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian banyak orang.

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum yaitu self efficacy, kepercayaan diri, keterampilan komunikasi, dan pola pikir. Dari beberapa faktor diatas, peneliti lebih menekankan pada faktor pola pikir menjadi variabel bebas. berpikir positif cenderung memandang segala sesuatu dari sisi positif. Begitup un sebaliknya individu yang berpikir negatif cenderung memandang segala sesuatu dari sisi negatif. Hal tersebut di dukung dari hasil survey peneliti (Prakoso, 2014) yang menunjukkan bahwa berpikir positif merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum dengan presentase 12 siswa (40%) karena takut salah, 15 siswa (50%) karena tidak suka berbicara di depan orang banyak, dan 3 siswa (10%) takut berbeda pendapat orang lain. Hal tersebu menunjukkan pola berpikir (takut salah) merupakan salah satu yang dapat berpengaruh terhadap kecemasan berbicara di depan umum.

B. BERPIKIR POSITIF

1. Pengertian Berpikir Positif

  Albrecht (1992) menyatakan berpikir positif adalah mengatur antara perhatian individu terhadap sesuatu yang positif dan menggunakan bahasa yang positif untuk membentuk dan mengekspresikan pikirannya. Albrecht (1992) mengatakan bahwa

  “berpikir positif tampaknya kurang mendapat perhatian dari sebagian besar ahli pikir karena teknik aktualnya yang sangat sederhana yaitu hanya berarti mengarahkan perhatian pada hal-hal yang positif dan menggunakan bahasa yang positif untuk membentuk dan mengekspresikan pikiran

  ”. Berpikir positif adalah kemampuan seseorang untuk menilai kembali segala sesuatu bahwa terdapat dua sisi pada setiap hal namun tetap memusatkan perhatian pada sisi yang positif (Hardini, 2012).

  Berpikir positif merupakan suatu bentuk berpikir yang biasanya keadaan yang terbaik (Peale, 2001). Hawari (1996) berpendapat bahwa berpikir positif tidak hanya mencakup sikap, perhatian dan pikiran terhadap diri sendiri, namun sekaligus menyangkut sikap dan perbuatan orang lain. Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir positif adalah suatu bentuk dari pikiran dimana selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.

  Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir positif adalah mengat ur antara perhatian pada hal - hal yang positif dan menggunakan bahasa yang positif untuk membentuk dan mengekspresikan pikirannya serta berpersepsi pada orang lain yang baik.

2. Aspek – aspek berpikir positif

  Menurut Albrecht (1992) mengatakan bahwa berpikir positif mempunya i beberapa aspek sebagai berikut : a) Harapan yang positif(positive expectations) yaitu melakukan sesuatu lebih memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimism, pemecahan masalah, dan menjauhkan diri dari rasa takut akan kegagalan.

  b) Afirmasi diri (self affirmation) yaitu memusatkan perhatian pada kekuatan diri, melihat diri secara positif. Dalam hal ini individu menggantikan kritik pada diri sendiri dengan memfokuskan pada kekuatan diri sendiri.

  c) Pernyataan yang tidak menilai (non judgmental talking) yaitu suatu pernyataan yang lebih menggambarkan keadaan dari pada menila i keadaan. Pernyataan ataupun penilaian ini dimaksudkan sebagai penggant i pada saat seseorang cenderung memberikan pernyataan atau penilaia n yang negatifterhadap situasi yang dihadapi. d) Penyesuaian diri terhadap kenyataan (realistic adaption) yaitu mengakui kenyataan dan segera menyesuaian diri, menjauhkan diri dari penyesalan, frustasi, serta menyalahkan diri sendiri. Menerima masalah dan menghadapinya dengan terbuka.

  Menurut pendapat dari Ubaedy (dalam Christiningsih, 2017) menyatakan bahwa dimensi-dimensi berpikir positif dapat dijabarkan sebagai berikut: a) Muatan pikiran

  Berpikir positif merupakan usaha mengisi pikiran dengan berbagai hal yang positif atau muatan yang positif. Adapun yang dimaksud dengan muatan positif untuk pikiran adalah sebagai bentuk pemikiran yang memilik i kriteria: benar (tidak melangggar nilai- nilai kebenaran), baik (bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan), dan bermanfaat (menghasilkan sesuatu yang berguna).

  b) Penggunaan pikiran Memasukkan muatan positif pada ruang pikiran merupakan tindakan positif namun tindakan tersebut berada pada tingkatan yang masih rendah jika muatan positif tersebut tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karena itu isi muatan yang positif tersebut perlu diaktualisasikan ke dalam tindakan agar ada dampak yang ditimbulkan.

  c) Pengawasan pikiran Aktivitas ini mencakup usaha untuk mengetahui muatan apa saja yang dimasukkan ke ruang pikiran dan bagaimana pikiran bekerja. Jika diketahui terdapat hal-hal yang negatif ikut ke ruang pikiran maka perlu dengan menggantinya dengan yang positif. Demikian pula jika ternyata teridentifikasi bahwa pikiran bekerja tidak semestinya maka dilakukan usaha untuk memperbaiki kelemahan atau kesalahan. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek berpikir positif menurut Albercht (1992) yaitu harapan yang positif, afirmasi diri, pernyataan yang tidak menilai, dan penyesuaian diri. Sedangkan menurut Ubaedy (dalam Christiningsih. 2017) menjabarkan dimensi-dimensi berpikir positif menjadi tiga yaitu muatan pikiran, penggunaan pikiran, dan pengawasan pikiran. Dari aspek diatas, aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek menurut Albrecht (1992) karena aspek tersebut sesuai dengan penelitian ini.

  

C. Hubungan antara berpikir positif dengan Kecemasan berbicara di

depan umum

  Pola pikir mempunyai pengertian kecenderungan manusiawi yang dinamis, sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan. Pola pikir seseorang dapat membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dapat pula merugika nnya (Williams, 2004).Mapes (2006) menyatakan bahwa pola pikir dapat berpengaruh terhadap suasana hati, reaksi fisik dan menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial seseorang. Perubahan diri individu baik itu pengaruh yang positif maupun negatif, seperti dapat membantu individu dalam menyelesaikan masalahnya dan dapat merugikan individu itu sendiri.

  Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umunya terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang berpikir positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang yang berpikir yang negatif maka individ u tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah yang pada akhirnya akan menganggu interaksi sosialnya. Albrecht (1992) menyatakan bahwa berpikir positif adalah mengatur antara perhatian individu terhadap sesuatu yang positif dan menggunakan bahasa yang positif untuk membentuk dan mengekspresikan pikirannya.

  Menurut Opt & Loffredo (2000) individu yang berpikir positif akan mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang lebih rendah dari pada individu yang berpikir negatif. Individu yang berpikir positif akan melihat segala hal dari sisi positif, suka bekerja keras dan mampu mengendalikan emosinya ketika berbicara di depan umum, sehingga kecemasan berbicara di depan umum dalam diri individu tersebut menjadi rendah. Individu dengan berpikir negatif lebih menggunakan perasaannya, lebih mudah stress dan mengekspres ika n kecemasannya karena selalu fokus terhadap pendapatnya sendiri dan membangun pesan-pesan negatif, sehingga individu yang berpikir negatif akan mengala m i kecemasan berbicara di depan umum yang tinggi.

  Menurut Bandura (1986), kognisi adalah proses berpikir seseorang tentang situasi tertentu. Berdasarkan teori kognitif, cara berpikir menentukan bagaimana seseorang merasa dan berbuat (Corsini & Wedding, 2011). Dengan kata lain, cara seseorang memaknai hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan berpengaruh terhadap perasaan dan perilakunya. Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum, maka pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya berbicara di depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan berimbas pada perilaku (Ayres, 1992).

  Wolpe (dalam Fatma & Ernawati, 2012) mengatakan suasana hati tergantung dari perasaan yang diasosiasikan terhadap peristiwa atau situasi tertentu. Hergenhahn & Olson (dalam Fatma & Ernawati, 2012) asosiasi terhadap situasi tertentu dipelajari berdasarkan observasi dan pengalaman. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Ayers (2002), ketika seseorang pernah dihujani kritikan dan ejekan pada saat berbicara di depan umum, maka orang tersebut akan mengasosiasikan situasi tersebut sebagai suatu hukuman, sehingga rasa takut dipermalukan dapat menjadi penghambat untuk berbicara di depan umum. Rogers (dalam Oemarjoedi, 2003), juga mengungkapkan hal yang sama bahwa ketakutan yang bersumber dari pikiran yang negatif sangat berpengaruh terhadap kecemasan berbicara di depan umum. Seseorang yang berbicara di depan umum berpikir bahwa penampilan, tingkah laku, dan perkataannya menjadi perhatian banyak orang.

  Rogers (dalam Anwar, 2010) meyakini bahwa yang mempengar uhi kecemasanberbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang yang hendak berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang

  “diadili”, merasa bahwa penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian banyak orang.

  Lazarus (dalam Ririn dkk, 2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa, “Perasaan cemas sebenarnya merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan adanya perasaan tidak berdaya

  ”. Sifat kecemasan dikatakan subjektif, artinya bahwa kejadian yang menjadi penyebab dan reaksi yang dialami tiap individu berbeda. Pada umumnya tanda-tanda yang menyertai kecemasan pada tiap orang adalah sama, yaitu ditandai dengan perubahan psikologis seperti perasaan tegang, takut, khawatir perubahan fisiologis seperti denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah yang meningkat (Rogers, dalam Ririn dkk, 2013).

  Albrecht (1992) menjelaskan empat aspek berpikir positif yaitu harapan yang positif (positive expectations), afirmasi diri (self affirmation), pernyataan yang tidak menilai (non judgmental talking), dan penyesuaian diri terhadap kenyataan (reality adaptation). Albrecht (1992) menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi akan focus pada harapan yang diinginkan, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Sebaliknya individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang rendah, maka akan timbul hambatan dalam diri individu terhadap harapan yang dimilikinya jika lingkunga n disekitarnya tidak mendukung. Hal ini tentunya juga akan berdampak sama pada mahasiswa. Mahasiswa yang mampu berpikir positif ia akan memilik i kemampuan dalam mengatasi kecemasan berbicara di depan umum agar hal tersebut tidak terjadi pada dirinya saat berbicara di depan umum.

  Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa berpikir positif dapat keterkaitannya dengan kecemasan berbicara di depan umum.

  Individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi maka individu tersebut dapat mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dan selalu memandang atau menilai segala hal dari sisi positif. Sebaliknya individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang rendah, maka individu tersebutcenderung kurang dalam mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dan tingkat kecemasan berbicara

D. Hipotesis

  Berdasarkan uraian yang telah dikemukan diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu apakah ada hubungan negatif antara berpikir positif dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Semakin tinggi berpikir positif maka kecemasan berbicara di depan umum semakin rendah.

  Begitu pun sebaliknya, semakin rendah berpikir positif maka kecemasan berbicara di depan umum semakin tinggi.

Dokumen yang terkait

Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

17 169 81

Hubungan Self-Effecacy dan Keterampilan Komunikasi dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan - Hubungan Karakteristik Deugan Tingkat Kecemasan Ibu Primigravida Pada Trimester III Dalam Menghadapi Persalinan Di Klinik Sumiariani Kecamatan Medan lobor Tabun 2014

0 0 17

HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN KELAS PADA MAHASISWA DIPLOMA IV BIDAN PENDIDIK KELAS AANVULLEN STIKES ‘AISYIYAH YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Berbicara di Depan Kelas pada Mahasiswa

0 0 5

Pengaruh Kecemasan Berbicara di Depan Umum Peserta Didik terhadap Motivasi Belajar dalam Pembelajaran Bidang Studi Biologi di Kelas XI MA Madani Alauddin Paopao - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 150

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Kecemasan - Nur Najmiyatul Kholifah BAB II

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM 1. Pengertian Kecemasan Berbicara - HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN KOMUNIKASI, KEPERCAYAAN DIRI DAN SELF EFFICACY DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM P ADA MAHASISWA KEPERAWATAN S1 ANGKATAN 2

0 1 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Menopause 1. Kecemasan a. Pengertian - Ofie Abriyanti BAB II

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kecemasan - BAB II Ratna Trisnawati

0 4 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian - Nur Asni BAB II

0 0 24