BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Rasa ingin tahu - Ika Fathul Jannah Bab II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Rasa ingin tahu Menurut Kemendiknas (dalam Wibowo, 2012: 43), Ingin tahu adalah

  sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

  Mustari (2012: 104) menjelaskan bahwa kuriositas (rasa ingin tahu) adalah emosi yang dihubungkan dengan perilaku mengorek secara alamiah seperti eksplorasi, investigasi, dan belajar.Rasa ingin tahu terdapat pada pengalaman manusia.Istilah itu juga dapat digunakan untuk menunjukkan perilaku itu sendiri yang disebabkan oleh rasa ingin tahu, karena emosi mewakili kehendak untuk mengetahui hal-hal baru.

  Rasa ingin tahu itu umumnya terjadi pada manusia dari sejak bayi sampai orang tua. Rasa ingin tahu yang kuat merupakan motivasi yang utama. Dalam sifatnya yang bersifat heran dan kagum, rasa ingin tahu telah membuat manusia ingin menjadi ahli dalam suatu bidang. Walaupun manusia itu sering bersifat ingin tahu, namun tetap saja ada yang terlewati dari perhatian mereka.

  Di dalam otak, rasa ingin tahu ini membuat bekerjanya kedua jenis otak, yaitu otak kiri dan otak kanan. Yang satu adalah kemampuan untuk memahami dan mengantisipasi informasi, sedang yang lain adalah menguatkannya dan mengencangkan memori jangka panjang untuk informasi baru yang mengejutkan.

2. Pendidikan rasa ingin tahu

  Untuk mengembangkan rasa ingin tahu pada anak, kebebasan si anak itu sendiri harus ada untuk melakukan dan melayani rasa ingin tahunya. Kita tidak bisa begitu saja menghardik mereka ketika kita tidak tahu atau malas saat mereka bertanya. Yang lebih baik adalah kita berikan kepada mereka cara-cara untuk mencari jawaban.

  Tolstoy (dalam Mustari, 2012: 109-110) menjelaskan tentang cara pendidikan yang diajurkan untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa.

  Tolstoy menjelaskan, model pendidikan yang ideal adalah model pendidikan yang berjalan dengan inisiatif mereka sendiri. Mereka dapat belajar di musium, perpustakaan, laboratorium, rapat-rapat, kuliah-kuliah umum, atau sekedar berbincang dengan orang bijak. Dengan cara itu mereka akan mendapatkan pengetahuan dan hal-hal baru yang belum mereka ketahui sebelumnya. Untuk mengembangkan rasa ingin tahu pada anak, kebebasan si anak itu harus ada untuk mengembangkan rasa ingin tahunya. Kita harus semata-mata menawarkan padanya tanpa memaksa untuk menyerapnya, jika pengetahuan ini sangat berguna untuknya, dia akan merasakan kebutuhan tersebut dan akan kembali mencari untuk dirinya sendiri. Hukuman tidak dikenal disekolah lasnaia Poliana. Anak-anak datang kapan saja mereka mau, belajar apa yang mereka mau, bekerja apa yang mereka mau.

  Karena belajar merupakan kegiatan bebas untuk memuaskan rasa ingin tahu, tidak heran jika setiap anak pun mempunyai pengetahuan dan kemampuan-kemampuan yang berbeda-beda. Tidak ada dua anak yang menjalani jalan yang sama, Karena setiap anak begitu unik dan begitu berbeda.

  Belajar bisa bagaimana saja, ada yang dilakukan di bangku sekolah, ada juga yang dilakukan di lapangan. Bagi orang-orang yang cocok untuk mengamati dan praktek di lapangan, belajar dengan buku mungkin tidak cocok. Tetapi bisa jadi orang tersebutlah yang membuat inovasi, yaitu penemuan baru.

  Indikator rasa ingin tahu Menurut Kemendiknas (dalam Wibowo, 2012: 98-99), ada 2 (dua) jenis indikator yang dikembangkan dalam pendidikan karakter disekolah :

  1) Indikator untuk sekolah dan kelas. Indikator sekolah dan kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala sekolah, guru, dan personalia sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sekolah sebagai lembaga pelaksana pendidikan karakter. Indikator ini juga berkenaan dengan kegiatan sekolah yang diprogramkan, maupun kegiatan sehari-hari atau rutinitas sekolah.

  2) Indikator mata pelajaran. Indikator ini menggambarkan perilaku afektif seorang peserta didik berkenaan dengan mata pelajaran tertentu. Indikator ini dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas dan sekolah, yang dapat diamati melalui pengamatan guru ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di sekolah, tanya jawab dengan peserta didik, jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas atau pertanyaan guru, dan tulisan peserta didik dalam laporan atau pekerjaan rumah (PR).

  Dengan demikian indikator rasa ingin tahu adalah indikator yang harus dicapai oleh setiap siswa agar terlihat perubahan karakter rasa ingin tahunya. Indikator rasa ingin tahu yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil modifikasi dari indikator sikap rasa ingin tahu yang ditulis oleh Wibowo (2012). Modifikasi dilakukan untuk menjadikan penilaian menjadi lebih konkret. Adapun beberapa indikator sikap rasa ingin tahu tertera pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Indikator rasa ingin tahu siswa Nilai Indikator

  Rasa Ingin Tahu Senang atau aktif bertanya Aktif menjawab pertanyaan dari guru Mampu menyelesaikan tugas dari guru dengan baik Senang mencoba sesuatu yang baru atau berbeda dengan teman lain

3. Kemampuan menyimak

  a. Kemampuan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007 : 707), kemampuan berasal dari kata

  “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada, kaya, mempunyai harta berlebihan).

  Menurut Chaplin (dalam Ian, 2012) ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Sedangkan menurut Robbins kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek.

  Dengan demikian, kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan.

  b. Menyimak Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang- lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. (Tarigan : 1994 : 28)

  Menyimak menurut Djago Tarigan (dalam Resmini : 2006 : 155) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai dan mereaksi atas makna yang terkandung didalamnya.

  “Listening comprehension exercises as such are usually based on a text prepared in advance and read aloud by practice needed. In practice there is very good justification indeed : that it can be very difficult technically to plan and administer stretches of spontaneous speech, whether live or recorded”. (Penny, 1997)

  Latihan pemahaman mendengar biasanya berdasarkan teks yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu dan berlatih membaca dengan keras juga diperlukan. Pada prakteknya ada hal yang sudah bisa dipastikan bahwa hal tersebut akan menjadi sangat sulit untuk dilakukan dan direncanakan secara teknis pada bagian cara bicara yang spontan baik bicara secara langsung maupun direkam. Jadi apabila kita ingin mahir dalam menyimak, sebaiknya kita harus banyak berlatih.

  c. Tujuan Menyimak Resmini (2007: 25) menjelaskan kegiatan menyimak dilakukan dengan bermacam tujuan, antara lain sebagai berikut : 1) Menyimak untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara, artinya dia menyimak untuk belajar.

  2) Menyimak untuk menikmati keindahan audial. 3) Menyimak untuk mengevalusi . 4) Menyimak untuk mengapresiasi materi simakan. 5) Menyimak untuk mengkomunikasikan ide-ide.

  6) Menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi dengan tepat. 7) Menyimak untuk memecahkan masalah secara kreatif dan analisis. 8) Menyimak untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat yang selama ini diragukannya.

  d. Jenis-jenis menyimak Dalam pendidikan formal disekolah, seperti juga dalam peningkatan kemampuan membaca siswa, maka guru juga harus membimbing kegiatan menyimak siswa sehingga daya simak mereka bersifat selektif, bertujuan, tepat, kritis dan kreatif. Resmini (2007: 39) menjelaskan jenis-jenis menyimak sebagai berikut: 1) Menyimak ekstensif, yaitu jenis kegiatan menyimak yang berhubungan dengan atau mengenal hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu bahasa, tidak perlu bimbingan guru. 2) Menyimak intensif, yaitu lebih diarahkan pada menyimak alamiah secara lebih bebas dan lebih umum serta tidak perlu bimbingan guru.

  3) Menyimak sosial adalah biasanya berlangsung dalam situasi-situasi sosial, tempat orang-orang ngobrol mengenai hal-hal yang menarik perhatian. 4) Menyimak sekunder adalah sejenis kegiatan menyimak secara kebetulan.

  5) Menyimak estetik adalah fase terakhir dari kegiatan menyimak secara kebetulan dan termasuk kedalam menyimak ekstensif.

  6) Menyimak kritis adalah sejenis kegiatan menyimak yang didalamnya sudah terlihat kurangnya keaslian ataupun kehadiran prasangka serta ketidaktelitian yang diamati. 7) Menyimak konsentrasi merupakan sejenis telaah. 8) Menyimak kreatif adalah pembentukan atau rekonstruksi seorang anak secara imajinatif terhadap bunyi, visi, atau penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan kinestik yang disarankan oleh apa-apa yang didengarnya.

  9) Menyimak penyelidik adalah sejenis menyimak intensif dengan maksud dan tujuan agak lebih sempit.

  10) Menyimak intogratif adalah sejenis menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan seleksi, pemusatan perhatian pemilhan.

  11) Menyimak pasif adalah penyerapan suatu bahasa tanpa upaya sadar yang biasanya menyerupai upaya-upaya kita pada saat belajar.

  e. Proses menyimak Menurut Tarigan (1994: 58-59) ada 5 proses dalam menyimak yaitu: 1) Tahap mendengar; dalam tahap ini kita baru mendengar segala sesuatu yang dikemukakan oleh sang pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya. Jadi kita masih dalam tahap hearing. 2) Tahap memahami; setelah kita mendengar maka ada keinginan bagi kita untuk mengerti atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan oleh sang pembicara, maka sampailah kita dalam tahap understanding.

  3) Tahap menginterpretasi; penyimak yang baik, yang cermat dan teliti, belum puas kalau hanya mendengar dan memahami isi ujaran sang pembicara, dia ingin menafsirkan atau menginterpretasikan isi, butir- butir pendapat yang terdapat dan tersirat dalam ujaran itu; dengan demikian maka sang penyimak telah tiba pada tahap interpreting. 4) Tahap mengevaluasi; setelah memahami serta dapat menafsir atau menginterpretasikan isi pembicaraan, sang penyimak pun mulailah menilai atau mengevaluasi pendapat serta gagasan sang pembicara, di mana keunggulan dan kelemahan, di mana kebaikan dan kekurangan sang pembicara, maka demikian sudah sampai pada tahap evaluating. 5) Tahap menanggapi; merupakan tahap terakhir dalam kegiatan menyimak, sang penyimak menyambut, mencamkan, menyerap serta menerima gagasan atau ide yang dikemukakan oleh sang pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya; sang penyimak pun sampailah pada tahap menanggapi (responding) 4.

   Cerita Anak

  a. Pengertian Cerita Cerita merupakan sarana penyampaian ide atau pesan melalui serangkaian penataan yang baik dengan tujuan agar pesan menjadi lebih mudah diterima dan memberikan dampak yang lebih luas dan banyak pada sasaran. Sebuah cerita yang baik dapat menyampaikan pesan kepada sasarannya, untuk itu perlu memiliki konsep dasar yang jelas. (Bachri, 2005: 17)

  Menurut Itadz (2008: 20-21)Bercerita menjadi sesuatu yang penting bagi anak karena beberapa alasan: 1) Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak disamping teladan yang dilihat anak setiap hari.

  2) Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar keterampilan lain, yakni berbicara, membaca, menulis, dan menyimak, tidak terkecuali untuk taman kanak-kanak. 3) Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain. Hal tersebut mendasari anak untuk memiliki kepekaan sosial.

  4) Bercerita memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu suatu permasalahan dengan baik, bagaimana melakukan pembicaraan yang baik, sekaligus member “pelajaran” pada anak bagaimana cara mengendalikan keinginan-keninginan yang dinilai negative oleh masyarakat. 5) Bercerita memberikan barometer sosial pada anak, nilai-nilai apa saja yang diterima oleh masyarakat sekitar, seperti patuh pada perintah orang tua, mengalah pada adik, dan selalu bersikap jujur.

  6) Bercerita memberikan “pelajaran” budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat dari pada „pelajaran” budi pekerti yang diberikan melalui penuturan dan perintah langsung.

  7) Bercerita memberikan ruang gerak pada anak, kapan sesuatu nilai yang berhasil ditangkap akan diaplikasikan.

  8) Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita, seperti kedekatan emosional sebagai pengganti figur lekat orang tua. 9) Bercerita membangkitkan rasa tau anak akan peristiwa atau cerita, alur, plot, dan yang demikian itu menumbuhkan kemampuan merangkai hubungan sebab-akibat dari suatu peristiwa dan memberikan peluang bagi anak untuk belajar menelaah kejadian- kejadian di sekelilingnya. 10) Kehadiran cerita membuat anak lebih joy in school dan memiliki kerinduan bersekolah. Karena cerita menyenangkan bagi anak hal itu membantu pembentukan serabut syaraf pada anak. Setiap respon positif yang dimunculkan anak akan memperlancar hubungan antarneuron. Secara tidak langsung, cerita merangsang otak untuk menganyam jaringan intelektual anak.

  11) Bercerita mendorong anak memberikan “makna” bagi proses belajar terutama mengenai empati sehingga anak dapat mengkonkretkan rabaan psikologis mereka bagaimana seharusnya memandang sesuatu masalah dari sudut pandang orang lain. Dengan kata lain, anak belajar memahami sudut pandang orang lain secara lebih jelas berdasarkan perkembangan psikologis masing-masing.

  b. Unsur Intrinsik Cerita Anak Itadz (2008: 31) menjelaskan ada beberapa unsur intrinsik dalam cerita anak yaitu: 1) Tema

  Tema adalah makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Tema dapat juga diartikan sebagai gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. 2) Amanat

  Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karyanya. Amanat dalam cerita biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang, pandangan tentang nila- nilai kebenaran.

  3) Plot atau Alur Cerita Plot adalah peristiwa-peristiwa naratif yang disusun dalam serangkaian waktu.Plot juga dapat didefinisikan sebagai peristiwa-peristiwa narasi (cerita) yang penekanannya terletak pada hubungan kausalitas. Walaupun berisi urutan kejadian, tiap kejadian dalam plot dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang lain.

  4) Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi pada cerita anak tokoh itu dapat berwujud binatang atau benda-benda. Tokoh binatang atau benda dalam cerita dapat bertingkah laku seperti manusia.

  Hal itu disebabkan pengarang dongeng atau cerita adalah manusia. Oleh karena itu, tokoh-tokoh binatang pun melambangkan tokoh manusia juga.

  5) Sudut Pandang Sudut pandang atau point of view, merupakan salah satu sarana cerita (literary davices). Sudut pandang mempermasalahkan siapa yang menceritakan atau dari kacamata siapa cerita dikisahkan. Sudut pandang mempengaruhi pengembangan cerita, kebebasan dan keterbatasan cerita, dan keobjektivitasan hal-hal yang diceritakan.

  6) Latar Latar adalah unsur cerita yang menunjukkan kepada penikmatnya di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung. Hudson membedakan latar menjadi tiga yaitu latar waktu, latar tempat dan latar suasana. Latar waktu adalah saat dimana pelaku melakukan sesuatu atau pada saat peristiwa atau kejadian-kejadian dalam cerita yang telah terjadi. Latar tempat adalah latar tempat dimana pelaku mengalami peristiwa dalam cerita. Sedangkan latar suasana merupakan situasi apa saja yang terjadi pada saat pelaku melakukan sesuatu. 7) Sarana Kebahasaan

  Cerita, karena disampaikan dengan kata-kata, disebut dunia dalam kata.Sebab, “dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, dan diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata. Agar apa yang disampaikan itu sampai pada penikmat yang dituju, bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan tingkat usia, sosial, dan pendidikan penikmatnya.

5. Media a. Pengertian media

  Kata “Media” berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium”, yang secara harfiah berarti “perantara atau pengantar”. Dengan demikian media merupakan wahanan penyalur informasi belajar atau penyalur pesan (Djamarah, 2010 : 120).

  Gerlach dan Ely (dalam Arsyad, 2007 : 3) mengatakan bahwa media adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap.

  Bila media adalah sumber belajar, maka secara luas media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Jadi media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guru mencapai tujuan pengajaran.

b. Fungsi media

  Sudjana (dalam Djamarah, 2010) merumuskan fungsi media pengajaran menjadi enam kategori yaitu : 1) Penggunaan media dalam proses belajar mengajar bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi sendiri sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif. 2) Penggunaan media pengajaran merupakan bagian yang integral dari keseluruhan situasi mengajar. Ini berarti bahwa media pengajaran merupakan salah satu unsure yang harus dikembangkan oleh guru. 3) Media pengajaran dalam pengajaran, penggunaannya integral dengan tujuan dari isi pelajaran. Fungsi ini mengandung pengertian bahwa penggunaan (pemanfaatan) media harus melihat kepada tujuan dan bahan pelajaran.

  4) Penggunaan media dalam pengajaran bukan semata-mata alat hiburan, dalam arti digunakan hanya sekadar melengkapi proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru.

  5) Penggunaan media dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru. 6) Penggunaan media dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar. Dengan perkataan lain, menggunakan media, hasil belajar yang dicapai siswa akan tahan lama diingat siswa, sehingga mempunyai nilai tinggi.

6. Media Audio visual a. Pengertian media audio visual

  Menurut Sukiman (2012: 184) media audio visual adalah media penyaluran pesan dengan memanfaatkan indera pendengar dan penglihatan.

  Media audiovisual (menurut Djamarah, 2010: 124) adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yaitu media audio dan media visual. Sehingga memiliki efektivitas yang tinggi daripada media visual atau audio.

b. Klasifikasi jenis media audio visual

  Menurut Djamarah, (2010: 125) media audio visual dibagi kedalam : 1) Audiovisual Diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar dia seperti film bingkai suara (sound slides), film rangkai suara, dan cetak suara.

  2) Audiovisual Gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsure suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video-cassette Pembagian lain dari media ini adalah : 1) Audiovisual Murni, yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu sumber seperti film, video-cassette, dan 2) Audiovisual Tidak Murni, yaitu yang unsure suara dan unsure gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsure gambarnya bersumber dari slides proyektor dan unsure suaranya bersumber dari tape recorder.

  Contoh lainnnya adalah film strip suara dan cetak suara. (Djamarah, 2010: 125) c.

   Kelebihan dan kekurangan media audio visual

  Menurut Arsyad (dalam Sukiman, 2012: 188-190) media audio visual memiliki kelebihan dan kekurangan diantaranya yaitu:

1) Kelebihan media audio visual

  a) Video dapat melengkapi pengalaman-pengalaman dasar dari peserta didik ketika mereka membaca, berdiskusi, berpraktik, dan lain-lain. Vidio merupakan pengganti alam sekitar dan bahkan dapat menunjukkan objek yang secara normal tidak dapat dilihat, seperti cara kerja jantung ketika berdenyut.

  b) Video dapat menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat disaksikan secara berulang-ulang jika dipandang perlu. c) Disamping mendorong dan meningkatkan motivasi, video menanamkan sikap dan segi-segi afektif lainnya.

  d) Video yang mengandung nilai-nilai positif dapat mengundang pemikiran dan pembahasan dalam kelompok peserta didik.

  Bahkan, seperti slogan yang sering didengar, dapat membawa dunia ke dalam kelas.

  e) Video dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara langsung seperti lahar gunung berapi atau perilaku binatang buas.

  f) Video dapat ditunjukkan kepada kelompok besar atau kelompok kecil, kelompok yang heterogen, maupun perorangan.

  g) Dengan kemampuan dan teknik pengambilan gambar frame dari frame, yang dalam kecepatan normal memakan waktu satu minggu dapat ditampilkan dalam satu atau dua menit.

2) Kekurangan media video

  a) Pengadaan video umumnya memerlukan biaya mahal dan waktu yang banyak b) Pada saat dipertunjukkan, gambar-gambar bergerak terus sehingga tidak semua peserta didik mampu mengikuti informasi yang ingin disampaikan melalui video tersebut. c) Video yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan belajar yang diinginkan, kecuali video tersebut dirancang dan diproduksi khusus untuk kebutuhan sendiri. Berdasarkan kelebihan dan kelemahan tentang media audio visual maka, diambil keputusan untuk tetap menggunakan media audio visual dikarenakan media audio visual tersebut mampu memusatkan perhatian siswa, walaupun terdapat bermacam-macam kelemahan, hal tersebut dapat diatasi karena kelemahan-kelemahan tersebut masih bersifat ringan, dan jumlah siswa yang diamati pun seimbang sehingga dimungkinkan pembelajaran dengan menggunakan media audio visual dapat berjalan dengan lancar.

d. Kartun

  Menurut Sudjana (2006 : 58) kartun adalah penggambaran dalam bentuk lukisan atau karikatur tentang orang, gagasan, atau situasi yang didisain untuk mempengaruhi opini masyarakat. Kartun, sebagai alat bantu mempunyai manfaat penting dalam pengajaran terutama dalam menjelaskan rangkaian isi bahan dalam satu urutan logis atau mengandung makna. Ciri khas kartun yakni memakai karikatur, sindiran yang dilebih- lebihkan, perlambang dan humor pilihan.

  Manfaat kartun menurut Sudjana (2006 : 61) yaitu: 1) Untuk motivasi

  Sesuai dengan wataknya kartun yang efektif akan menarik perhatian serta menumbuhkan minat belajar siswa. Ini menunjukkan bahan-bahan kartun bisa menjadi alat motivasi yang berguna di kelas. Beberapa kartun dengan topik yang sedang hangat, bilamana cocok dengan tujuan-tujuan pengajaran, merupakan pembuka diskusi yang efektif. Pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah arti kartun itu? Pesan apakah yang ingin dipaparkan?

  2) Sebagai ilustrasi Seorang guru melaporkan hasil efektif dari penggunaan kartun- kartun dalam menggambarkan konsep ilmiah pengajaran sain.

  Sebagian dipakai untuk mengemukakan beberapa pertanyaan tentang ada tidaknya situasi ilmiah yang dapat digambarkan dalam kartun. Ini berarti kartun dapat digunakan sebagai ilustrasi dalam kegiatan pengajaran. Pemakaian kartun mempunyai dua macam keuntungan berharga, yaitu gambar-gambarnya dapat menarik perhatian sehingga pelajaran lebih berarti dan sebagai selingan serta variasi dalam mengajar. 3) Untuk kegiatan siswa

  Jenis lain dari kartun yang dipergunakan adalah kreasi kartun- kartun yang yang dibuat siswa sendiri. Para siswa membuat kartun untuk menumbuhkan minat dan kreativitasnya. Maksud dari hasil karya siswa yang sesuai dengan tingkat kematangannya yaitu untuk menyuarakan perasaan para siswa. Kartun-kartun yang dibuat oleh siswa dapat dimanfaatkan juga untuk keperluan pengajaran.

e. Video kartun

  Video kartun menurut Sibero (2008 : 9) merupakan video yang didalamnya berupa ilustrasi di mana gambarnya saling berkesinambungan.

  Gambar-gambar ini digerakan secara nerkesinambungan untuk menghasilkan gerakan yang hidup. Dari serangkaian gambar ini berubah menjadi aksi yang secara terus menerus sehingga tampak menjadi gerakan sesungguhnya yang hidup dan menarik. Video kartun tidak hanya digunakan untuk hiburan saja, tetapi dapat juga digunakan untuk media- media pendidikan, informasi, dan media pengertahuan lainnya.

7. Metode Pembelajaran Diskusi

  Djamarah (2010 : 87) mendefinisikan diskusi sebagai cara penyajian pelajaran, dimana siswa-siswa dihadapkan kepada suatu masalah yang bisa berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama.

  Menurut Roestiyah (2008 : 5) diskusi adalah proses interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling tukar menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, dapat terjadi juga semuanya aktif tidak ada yang pasif sebagai pendengar saja.

  Menurut Sagala (2010 : 208) diskusi ialah percakapan ilmiah yang responsif berisikan pertukaran pendapat yang dijalin dengan pertanyaan- pertanyaan problematis pemunculan ide-ide ataupun pendapat dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok itu yang diarahkan untuk memperoleh pemecahan masalahnya dan untuk mencari kebenaran.

  Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa diskusi adalah suatu cara untuk mencari jawaban atas suatu masalah dengan cara bertukar pendapat secara lisan dan teratur yang dilakukan oleh satu kelompok atau secara bersama-sama.

  a. Diskusi baik dilaksanakan menurut Roestiyah (2008 : 7) bila mempermasalahkan: 1) Hal-hal yang menarik minat dan perhatian siswa/ urgen. Siswa akan memiliki motivasi yang kuat dalam memecahkan soal, kalau mereka berminat dan menaruh perhatian terhadap masalah itu. 2) Masalah itu harus mengandung banyak kemungkinan jawaban, dan masing-masing jawaban dapat dijamin kebenarannya.

  3) Harus merangsang pertimbangan, kemampuan berpikir logis dan usaha memperbandingkan.

  b. Tujuan penggunaan metode diskusi menurut Roestiyah (2008 : 6) yaitu: 1) Dengan diskusi siswa didorong menggunakan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, tanpa selalu bergantung pada pendapat orang lain. Mungkin ada perbedaan segi pandangan, sehingga member jawaban yang berbeda. Hal itu tidak menjadi soal asal pendapat itu logis dan mendekati kebenaran. Jadi siswa dilatih berpikir dan memecahkan masalah sendiri. 2) Siswa mampu menyatakan pendapatnya secara lisan, karena hal itu perlu untuk melatih kehidupan yang demokratis. Dengan demikian siswa melatih diri untuk menyatakan pendapatnya sendiri secara lisan tentang suatu masalah bersama.

  3) Diskusi memberi kemungkinan pada siswa untuk belajar berpartisipasi dalam pembicaraan untuk memecahkan suatu masalah bersama.

  c. Kebaikan dan kekurangan metode diskusi menurut Djamarah (2010 : 88): 1) Kebaikan metode diskusi

  a) Merangsang kreativitas anak didik dalam bentuk ide, gagasan, prakarsa, dan terobosan baru dalam pemecahan suatu masalah.

  b) Mengembangkan sikap menghargai pendapat orang lain.

  c) Memperluas wawasan.

  d) Membina untuk terbiasa musyawarah untuk mufakat dalam memecahkan suatu masalah.

  2) Kekurangan metode diskusi

  a) Pembicaraan terkadang menyimpang, sehingga memerlukan waktu yang panjang.

  b) Tidak dapat dipakai pada kelompok yang besar

  c) Peserta mendapat informasi yang terbatas d) Mungkin dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara atau ingin menonjolkan diri.

  d. Langkah-langkah metode diskusi Langkah-langkah pembelajaran menggunakan metode diskusi menurut

  Djamarah (2010 : 100) dapat dilihat dalam table 2.2 berikut: No. Langkah Kegiatan Belajar Mengajar

  1

  2

  3 Persiapan Pelaksanaan Evaluasi/ tindak lanjut 1. Mempersiapkan kondisi belajar siswa.

  2. Memberikan informasi/ penjelasan tentang masalah tugas dalam diskusi.

  3. Mempersiapkan sarana/ prasarana untuk melakukan diskusi (tempat, peserta dan waktu)

  4. Siswa melakukan diskusi Guru merangsang seluruh peserta berpartisipasi dalam diskusi.

  Memberikan kesempatan kepada semua anggota untuk aktif Mencatat tanggapan/ saran dan ide-ide yang penting

  5. Memberikan tugas kepada siswa untuk : Membuat kesimpulan diskusi Mencatat hasil diskusi Menilai hasil diskusi Dan sebagainya

8. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SD

  Menurut Mulyasa (2008: 240) bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengungkapkan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analistis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.

  Pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik sedara lisan maupun tulisan serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

  Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.

  Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan:

  1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri.

  2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar.

  3. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya.

  4. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah.

  5. Sekolah dapat menyusun program sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia.

  6. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

a. Tujuan

  Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

  1. Berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis.

  2. Mengahrgai dan bangga menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.

  3. Memahami Bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.

  4. Menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.

  5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.

  6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

b. Ruang Lingkup

  Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

  1. Mendengarkan Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang- lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. (Tarigan : 1994 : 28)

  Resmini (2007: 25) menjelaskan kegiatan menyimak dilakukan dengan bermacam tujuan, antara lain sebagai berikut : 1) Menyimak untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara, artinya dia menyimak untuk belajar.

  2) Menyimak untuk menikmati keindahan audial. 3) Menyimak untuk mengevalusi . 4) Menyimak untuk mengapresiasi materi simakan. 5) Menyimak untuk mengkomunikasikan ide-ide. 6) Menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi dengan tepat. 7) Menyimak untuk memecahkan masalah secara kreatif dan analisis. 8) Menyimak untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat yang selama ini diragukannya.

  2. Berbicara Berbicara (Depdikbud) secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain (dalam Resmini, 2007: 51). Sedangkan menurut Tarigan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.

  Jadi dapat disimpulkan berbicara merupakan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain.

  3. Membaca Membaca menurut Tarigan (dalam Resmini, 2008 : 74) adalah kegiatan berinteraksi dengan bahasa yang dikodekan dengan bentuk cetakan (huruf-huruf). Dengan demikian membaca sebetulnya merupakan aktivitas menguraikan kode-kode tulisan ke dalam bunyi atau menguraikan kode-kode grafis yang mewakili bahasa ke dalam makna tertentu. Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/ bahasa tulis.

  Tujuan seseorang dalam membaca menurut Resmini (2007: 77) dapat dibedakan sebagai berikut: 1) Untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan.

  2) Untuk mendapatkan kesenangan atau hiburan. 3) Untuk merentang waktu dalam hal ini orang membaca hanya karena iseng.

  4) Untuk melepaskan diri dari kenyataan misalnya pada saat ia merasa jenuh, bosan, sedih bahkan putus asa.

  5) Tujuan membaca yang tinggi ialah untuk mencari nilai-nilai keindahan atau pengalaman estetis dan nilai-nilai kehidupan lainnya.

  4. Menulis Menulis menurut Tarigan (dalam Resmini, 2007: 115) adalah menurunkan atau melukiskan lambing-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang difahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambing-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa gambar itu. Tujuan menulis yaitu: 1) Siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, pengalaman, dan perasaan secara tertulis dengan jelas.

  2) Siswa mampu menyampaikan informasi secara tertulis sesuai dengan konteks dan keadaan.

  3) Siswa memiliki kegemaran menulis 4) Siswa mampu memanfaatkan unsure-unsur kebahasaan karya sastra dan menulis.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2012) dengan judul “Penggunaan Media Audio Visual dalam Peningkatan Hasil Belajar Matematika”, yang dilaksanakan dikelas IV SD Negeri 1 Sudagaran, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas tahun ajaran 2011/2012, dapat disampaikan bahwa penggunaanmedia audio visual pada mata pelajaran matematika materi bilangan bulat, dalam penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan dinyatakan berhasil meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari presentase rata-rata hasil belajar siswa pada penelitian yang dilakukan siklus I awalnya hanya 59,18 meningkat menjadi 74,74. Ketuntasan belajar siswa juga mengalami peningkatan dari 23,08% menjadi 74,35%. Rata-rata hasil belajar siswa pada tindakan siklus II meningkat menjadi 77,76. Selain itu persentase ketuntasan belajar siswa meningkat dari 74,35% menjadi 87,17%. Rata-rata hasil belajar siswa meningkat dari 77,76 pada tindakan siklus II menjadi 80,51 pada tindakan siklus III.

  Persentase ketun- tasan belajar siswa juga meningkat dari 87,17% pada tindakan siklus II menjadi 89,74% pada tindakan siklus III.Sehingga dapat disimpulkan ada peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan media audio visual. Dalam penelitian ini penggunaan media audio visual akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan menyimak cerita anak dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang diharapkan dapat ditingkatkan melalui penggunaan media audio visual.

C. Kerangka Berpikir

  Permasalahan pada pembelajaran Bahasa Indonesia salah satunya adalah dalam menyimak cerita anak dimana siswa masih menemui kesulitan dalam memahami cerita yang disampaikan oleh guru, karena dalam penyampaiannya guru masih menggunakan metode ceramah yang tidak diikuti dengan penggunaan media yang dapat membantu pemahaman siswa terhadap cerita.Selain itu guru belum memberikan tugas terstruktur yang dapat membantu siswa untuk konsentrasi mendengarkan cerita guru.

  Diperlukan adanya upaya perbaikan dalam pembelajaran menyimak dengan menggunakan media sehingga diharapkan siswa lebih fokus terhadap pembelajaran dan rasa ingin tahunya meningkat.Media yang digunakan adalah media audio visual.Dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan cerita anak, serta meningkatkan rasa ingin tahu siswa terhadap materi cerita yang disampaikan.

Gambar 2.1 kerangka berfikir

  Kondisi awal: rasa ingin tahu dan kemampuan menyimak cerita anak masih rendah

  Tindakan Siklus I: guru menggunakan media audio visual dalam pembelajaran.

  Siklus I: guru menggunakan media audio visual dalam pembelajaran.

  Kondisi akhir: melalui penggunaan media audio visual dapat meningkatkan rasa ingin tahu dan kemampuan menyimak cerita anak

D. Hipotesis Tindakan

  Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berpikir di atas, maka dalam penelitian tindakan ini diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut:

  1. Sikap rasa ingin tahu siswa kelas V SD N 2 Karanglewas Lor Kecamatan Purwokerto BaratKabupaten Banyumas tahun pelajaran 2012/2013 dapat ditingkatkan melalui penggunaan media audio visual pada pembelajaran menyimak.

  2. Kemampuan menyimak siswa kelas V SD N 2 Karanglewas Lor kecamatan Purwokerto Barat Kabupaten Banyumas tahun pelajaran 2012/2013 materi cerita anak, dapat ditingkatkan melalui penggunaan media audio visual dalam pembelajaran menyimak.