BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Sikap Peduli Lingkungan - Risna Dwi Yanti Bab II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Sikap Peduli Lingkungan Siswa sebagai makhluk hidup selain berinteraksi dengan orang atau

  manusia lain juga berinteraksi dengan sejumlah makhluk hidup lainnya dan juga dengan benda-benda mati di lingkungannya. Makhluk hidup tersebut antara lain adalah berbagai tumbuhan dan hewan, sedangkan benda-benda mati antara lain udara, air, dan tanah. Mereka selalu berhubungan dan beradaptasi satu sama lain.

  Siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan dibutuhkan sikap yang mendukung terjadinya interaksi yang baik karena terdapat hubungan yang sangat erat antar keduanya. Lingkungan hidup mencakup keadaan alam yang luas. Menurut Tumisem (2012: 7), lingkungan adalah subjek yang sangat luas untuk diperbincangkan. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak lepas dari faktor lingkungan. Lingkungan senantiasa dihubungkan dengan pembangunan, modernitas, teknologi, industrialisasi, dan informasi. Perbincangan tentang lingkungan sering dikaitkan dengan bencana alam, kerusakan, kerugian dan kehancuran akibat aktivitas industri.

  Otto Sumarwoto dalam Silalahi (1996: 8) mengatakan bahwa lingkungan atau lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang ditempati yang mempengaruhi kehidupan. Contoh sikap yang mendukung terjadinya interaksi antar kedua-

  11 nya yaitu sikap peduli lingkungan. Terkait dengan permasalahan sikap, Arikunto (2009: 182) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu kesiapan psikologi seseorang dalam memberikan reaksi terhadap suatu rangsangan yang berasal dari dalam ataupun luar dirinya. Sedangkan peduli lingkungan menurut Kemendiknas (2010: 10) adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

  Menjaga kelestarian lingkungan, terutama lingkungan sekolah dibutuhkan sikap peduli lingkungan. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan indikator kelas untuk mengukur sikap peduli lingkungan siswa. Menurut Kemendiknas (2010: 29) mengemukakan bahwa indikator kelas pada nilai peduli lingkungan antara lain meliputi memelihara lingkungan kelas, pembiasaan hemat energi.

  Berdasarkan beberapa pengertian mengenai lingkungan, peneliti menyimpulkan bahwa lingkungan merupakan suatu kesatuan ruang yang terdiri dari unsur abiotik (benda mati) seperti udara, air, tanah dan budaya manusia. Selain itu, lingkungan juga terdiri dari unsur biotik (makhluk hidup) seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Di dalam lingkungan, hubungan manusia dengan lingkungan juga ditentukan oleh budaya manusia itu sendiri, contohnya yaitu apabila terjadi suatu degradasi lingkungan dapat disebabkan oleh kesalahan pengelolaan ataupun perilaku manusia. Sikap menurut peneliti yaitu keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat, sedangkan peduli lingkungan yaitu sikap kesediaan untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan serta kesediaan untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan. Indikator yang akan digunakan peneliti pada nilai sikap peduli lingkungan yaitu indikator kelas meliputi memelihara lingkungan kelas dan menghemat energi karena peneliti akan mengamati kegiatan siswa dalam menjaga kebersihan kelas dan penggunaan kertas dalam mengaplikasikan konsep reuse, reduce, recycle untuk menghemat energi.

a. Pendidikan Lingkungan di Sekolah

  Aksi lingkungan yang dilaksanakan dalam class action berupa program pendidikan lingkungan. Program ini dirasakan dan dinyatakan sebagai program pendidikan yang berperan pada diri individu. Pendidikan lingkungan mencoba memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai isu-isu dan permsalahan yang terjadi pada lingkungan. Menurut Coycle dalam Tumisem (2012: 8) menyatakan bahwa pengembangan literasi lingkungan bertujuan untuk membantu mengembangkan keterampilan individu atau kelompok agar berperan dalam memecahkan dan mengatasi kerusakan lingkungan.

  Menurut Nomura & Hendarti dalam Tumisem (2012: 8) menyatakan bahwa pendidikan lingkungan di Indonesia dimulai dari gerakan pendidikan dan konservasi pada awal 1960-an. Selanjutnya berkembang berbagai usaha dan organisasi yang bertujuan untuk menciptakan kesadaran individu terhadap lingkungan. Gerakan pendidikan lingkungan terus meningkat, dan para ilmuan mulai mendesak pemerintah untuk mengembangkan program-program pendidikan lingkungan di sekolah. Hal ini menjadikan pendidikan lingkungan sebagai komponen esensial dari strategi nasional tarhadap pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah mencanangkan pendidikan lingkungan di semua area pendidikan. Dalam tahun 1980-an pendidikan lingkungan benar-benar dipertimbangkan pemerintah sebagai dasar bagi semua pembelajaran, sebagai literasi lingkungan, dan pengelolaan lingkungan dalam jangka panjang.

  Untuk menciptakan kesadaran individu terhadap lingkungan perlu usaha dan bukan pekerjaan yang mudah. Otto Soemarwoto dalam Supriadi (2006: 33) mengatakan bahwa mengubah sikap dan kelakukan terhadap lingkungan hidup bukanlah pekerjaan yang mudah. Pada dasarnya usaha itu dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya yaitu dengan instrumen persuasif, yaitu mendorong masyarakat secara persuasif bukan paksaan. Instrumen ini terdiri atas pendidikan, latihan, penyebaran informasi melalui media cetak dan elektronik serta ceramah umum dan dakwah.

  Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan lingkungan adalah pendidikan yang mengajarkan siswa untuk mengenal lingkungan dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Penerapan pendidikan lingkungan harus diterapkan dalam rangka upaya memelihara serta meningkatkan mutu lingkungan. Pendidikan lingkungan akan lebih baik apabila diterapkan di area pendidikan dasar seperti di SD karena melatih individu sejak dini untuk mengetahui dan memahami permasalahan di sekitarnya serta melatih individu untuk peduli terhadap lingkungan. Selain itu, penanaman sikap peduli lingkungan di SD akan memiliki kesempatan lebih besar untuk berhasil dalam menumbuhkan sikap positif terhadap lingkungan karena karakteristik anak usia SD salah satunya adalah masih mudah untuk dibentuk menjadi pribadi yang positif.

b. Lingkungan Sebagai Media Pembelajaran di SD

  Lingkungan yang ada di sekitar siswa merupakan salah satu media pembelajaran yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pembelajaran yang berkualitas dan bermakna bagi siswa SD. Bila guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan lingkungan sebagai media pembelajaran, maka hasilnya akan lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa atau fakta yang sebenarnya.

  Menurut Hermawan (2007: 216) menyatakan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan lingkungan sebagai media pembelajaran dalam pendidikan siswa SD adalah: 1) Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari siswa.

  Jumlah media pembelajaran yang tersedia di lingkungan itu tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pembelajaran, namun bisa dimanfaatkan untuk lebih mengoptimalkan pencapaian tujuan belajar siswa SD.

  2) Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna, sebab siswa dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. 3) Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi siswa sebab lingkungan menyediakan media pembelajaran yang sangat beragam dan banyak pilihan. 4) Dengan memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungan siswa, dapat dimungkinkan terjadinya proses pembentukan kepribadian siswa ke arah yang lebih baik, seperti kecintaan terhadap lingkungan, turut memelihara lingkungan, menjaga kebersihan dan tidak merusak lingkungan.

  Berdasarkan pemaparan mengenai manfaat lingkungan sebagai media pembelajaran, maka peneliti semakin yakin untuk menerapkan pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan terkait dengan upaya meningkatkan sikap peduli lingkungan sebagai penunjang proses pembelajaran untuk membantu siswa dalam memahami materi dan membantu siswa dalam meningkatkan sikap peduli lingkungannya dalam rangka memelihara lingkungan dan meningkatkan mutu lingkungan. Selain itu, pembelajaran dengan menggunakan lingkungan sebagai media, membuat pembelajaran semakin bermakna sehingga materi yang diajarkan kepada siswa diharapkan akan lebih mudah melekat dan diingat siswa.

c. Pendidikan Karakter Peduli Lingkungan di Sekolah

  Menurut Saptono (2011: 23), pendidikan karakter adalah upaya untuk dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik berlandaskan kebajikan-kebajikan inti yang secara objektif baik individu maupun masyarakat. Dalam paradigma lama, keluarga dipandang sebagai tulang punggung pendidikan karakter.

  Menurut Koentjaraningrat & Mochtar Lubis dalam Listyarti (2012: 4) mengatakan bahwa karakter bangsa Indonesia yaitu meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak disiplin, mengabaikan tanggung jawab, hipokrit, lemah kreativitas, etos kerja buruk, suka feodalisme, dan tak punya malu. Karakter lemah tersebut menjadi realitas dalam kehidupan bangsa Indonesia dan akhirnya mengkristalisasi pada masyarakat Indonesia. Kondisi inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya pendidikan karakter oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

  Mulai tahun pelajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter, salah satu nilai karakter yang terkandung dalam pendidikan berkarakter bangsa adalah peduli lingkungan. Menurut Listyarti (2012: 70) mengatakan bahwa nilai karakter peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

  Thomas Lickona dalam Listyarti (2012: 8) mengatakan bahwa pendidikan karakter adalah perihal menjadi sekolah karakter, di mana sekolah adalah tempat terbaik untuk menanamkan karakter. Berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural pendidikan karakter dapat dikelompokkan seabagai berikut: 1. Olah hati, olah pikiran, olah rasa/karsa, dan olahraga.

  2. Beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.

  3. Ramah, saling menghargai, toleran, peduli, seka menolong, gotong royong, nassionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahsa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.

  4. Bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, gigih, cerdas, kritis, kretaif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi IPTEKS.

  Membangun karakter sekolah peduli lingkungan diiharapkan dapat diterapkan di tingkat pendidikan Sekolah Dasar. Menurut Gaza (2012: 25) untuk dapat memunculkan perilaku yang dikehendaki sehingga ada kecenderungan bagi anak untuk mengulangi perilaku itu kembali dibutuhkan possitive reinforcement berupa hal-hal yang menyenangkan berupa kegiatan atau perkataan positif.

  Berdasarkan pemaparan mengenai pendidikan karakter lingkungan di sekolah, peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan karakter lingkungan adalah penanaman sikap mengenai perilaku untuk mencintai dan melindungi lingkungan atau alam sekitar untuk dapat melestarikan alam demi keseimbangan hidup manusia. Diterapkannya pendidikan karakter mengenai peduli lingkungan terkait dengan pembelajaran IPA diharapkan dapat melatih siswa untuk peduli terhadap lingkungannya sekitarnya. Merupakan hal yang positif apabila sikap peduli lingkungan dimiliki oleh siswa di tingkat Sekolah Dasar karena akan berdampak positif pula pada kelangsungan hidup siswa dan lingkungannya serta menandakan bahwa ilmu pengetahuan yang siswa peroleh dari pembelajaran IPA dapat mereka aplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari siswa.

2. Pengertian Prestasi Belajar

  Prestasi berasal dari bahasa belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti “hasil usaha”.

  Istilah “prestasi belajar” (achievement) berbeda dengan “hasil belajar”

  

(learning outcome) . Prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan

  aspek pengetahuan, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak peserta didik. Kata prestasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan antara lain dalam kesenian, olah raga, dan pendidikan, khususnya pembelajaran (Arifin, 2013: 12).

  Prestasi belajar siswa ini merupakan implementasi hasil belajar siswa sebagai hasil proses pembelajaran yang diterimanya. Prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar yaitu sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang diajarkan. Prestasi belajar hanya dapat diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa.

  Terkait dengan prestasi belajar siswa, dalam KTSP tahun 2006, hasil belajar peserta didik diukur berdasarkan standar yang dikenal dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM menunjukkan persentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara nasional diharapkan mencapai nilai 75. Satuan pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntaan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap.

  Faktor genetik berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, namun bukan semata-mata karena kecerdasan yang dimiliki seseorang sejak lahir.

  Kecerdasan diperoleh melalui proses belajar yang sungguh-sungguh, konstan dan telaten untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan yang luas.

  Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan amat tergantung pada proses belajar dan mengajar yang dialami siswa dan pendidik, baik ketika para siswa itu di sekolah maupun di lingkungan keluarganya sendiri.

  Menurut Uno (2009: 48) mengemukakan bahwa individu seperti ciri- ciri kepribadian, lingkungan dan emosi mempengaruhi pola belajar di masa yang akan datang. Menyajikan lingkungan baik sebenarnya adalah mengindahkan sifat-sifat alamiah individu, sebab bagaimanapun perkembangan individu banyak ditentukan oleh benih dari mana ia berasal. Sedangkan menurut Decaprio (2013: 20) mengemukakan bahwa kecerdasan juga dipengaruhi oleh pembawaan dan stimulus yang diperolehnya.

  Berdasarkan pada penjelasan beberapa ahli mengenai hal yang berkaitan dengan kecerdasan, peneliti menyimpulkan bahwa kecerdasan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti individu, lingkungan, dan stimulus yang diperolehnya. Kecerdasan juga dapat ditingkatkan antara lain dengan stimulus yang diberikan oleh lingkungan belajar di sekolah dan kondisi lingkungan keluarga, hal ini akan berpengaruh besar terhadap perkembangan kecerdasan siswa.

3. Pembelajaran IPA a. Pengertian IPA

  Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan atau Sains yang semula berasal dari bahasa Inggris

  ‘science’. Namun, dalam perkembangannya science sering diterjemahkan

  sebagai sains yang berarti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja. Menurut H.W Fowler (Trianto, 2010: 136) IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan deduksi.

  Adapun Wahyana (Trianto, 2010: 136) mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.

  Berdasarkan pemaparan para ahli mengenai IPA, peneliti menyimpulkan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis dan terbatas pada gejala alam. Cakupan yang terdapat pada IPA meliputi alam semesta keseluruhan dan seluruh benda-benda penyusunnya yaitu meliputi benda-benda yang ada di bumi baik yang tertangkap oleh indera maupun yang tidak dapat tertangkap oleh indera.

  Pembelajaran IPA secara khusus sebagaimana tujuan pendidikan secara umum sebagaimana termaktub dalam taksonomi Bloom bahwa: “Diharapkan dapat memberikan pengetahuan (kognitif), yang merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan dasar dari prinsip dan konsep yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Pengetahuan secara garis besar tentang fakta yang ada di alam untuk dapat memahami dan memperdalam lebih lanjut, dan melihat adanya keterangan serta keteraturannya. Di samping itu, pembelajaran sains diharapkan pula memberikan keterampilan (psikomotorik), lemampuan sikap ilmiah (afektif), pemahaman, kebiasaan dan apresiasi (Prihantro Laksmi) dalam Trianto (2010: 142). Dengan demikian, semakin jelas bahwa proses pembelajaran IPA lebih ditekankan pada pendekatan proses, hingga siswa dapat menemukan fakta, konsep, teori dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan sehingga out put yang dihasilkan pun semakin baik dan berkualitas. Oleh karana itu, dalam pembelajaran IPA di SD, peneliti akan memperhatikan pendekatan proses dengan memperhatikan aspek kognitif, afektif dan psikomotor siswa.

b. Sumber Daya Alam dan Teknologi pada Pembelajaran IPA SD

  Sumber daya alam merupakan kekayaan alam yang diciptakan oleh Tuhan untuk kesejahteraan manusia. Semua yang ada di alam ini merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Kemajuan teknologi sangat membantu manusia mengolah sumber daya alam untuk mendatangkan manfaat yang sebanyak-banyaknya. Sumber daya alam ada yang dimanfaatkan secara langsung, ada pula yang harus diolah lebih dahulu dengan menggunakan teknologi. Benda-benda yang dibuat dengan teknologi menjadi sangat berbeda dengan bahan asalnya (Sulistyanto, 2008: 184).

  Beberapa sumber daya alam yang dapat diperbaharui yang sedang mengalami kerusakan dan pencemaran, demikian pula kapasitas lingkungan dalam mengakomodasi limbah menjadi semakin terbatas. Sebagai gambaran, jika penggunaan sumber daya alam meningkat 5% per tahun, tingkat penggunaan itu meningkat menjadi dua kali lipat dalam waktu 14 tahun. Jika sekarang ini persediaan diketahui 100 kali penggunaan saat ini, maka persediaan yang ada akan habis dalam waktu

  36 tahun jika penggunaan meningkat 5% per tahun (Suparmoko, 2008: 15).

  Pemanfaatan dan pengolahan sumber daya alam harus memperhatikan etika lingkungan agar terjalin hubungan yang serasi antara manusia dengan lingkungan, hal ini sesuai dengan pendapat (Andriana, 2010: 7) yang menyatakan bahwa menjaga keberlangsungan pemenuhan kebutuhan hidup yang bersumber dari sumber daya alam, menusia perlu bersikap bijaksana dalam pemanfaatan sumber daya dengan menindaklanjuti pengolahan sumber daya alam. Manusia berperan sebagai konsumen, produsen, dan sekaligus sebagai pengelola lingkungan hidup. Memanfaatkan dan mengelola lingkungan hidup berarti meningkatkan kualitas lingkungan hidup, sehingga didapat lingkungan hidup yang tertata dengan baik.

  Terkait dengan sumber daya alam dan teknologi, materi ini terdapat di kelas IV SD semester 2 yaitu ada pada KD 11.2. Materi ini berisi mengenai bagaimana sumber daya alam diproses dengan teknologi, baik teknologi yang modern maupun teknologi sederhana. Selain itu, materi ini mengajarkan mengenai bagaimana memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak dan bagaimana mengolah sumber daya alam agar kelestarian lingkunagn tetap terjaga.

  Pada penelitian tindakan kelas ini, peneliti mengerucutkan maksud sumber daya alam yang akan dipelajari siswa. Sumber daya alam yang dimaksud adalah sumber daya alam hayati berupa tumbuhan. Walaupun tumbuhan tergolong sumber daya alam yang dapat diperbaharui, namun apabila manusia tidak menjaga keberadaannya maka akan hilang karena apabila spesiesnya sampai punah pun maka alam tidak dapat memproduksi yang baru kembali.

  Sumber daya alam hayati berupa tumbuhan merupakan salah satu bahan baku penting dalam pembuatan kertas yang dibantu dengan teknologi. Banyak manusia yang mengabaikan penggunaan kertas, karena hal tersebut kelihatan sepele. Mereka tidak menyadari bahwa kertas berasal dari kayu. Kayu sendiri merupakan bagian dari tumbuhan, apabila tumbuhan kayu ini terus menerus ditebang untuk memenuhi kebutuhan industri ataupun pemenuh kebutuhan manusia tanpa diadakannya konservasi, maka sumber daya alam hayati berupa tanaman ini akan habis.

  Kegiatan 3R yaitu reuse, recycle, reduce kertas melalui pembelajaran berbasis proyek yang akan dilakukan oleh siswa kelas IV SD Negeri Margasana diharapkan mengajarkan mereka agar lebih melestarikan serta melindungi lingkungan hidup mereka agar tercipta keseimbangan lingkungan yang mendukung kesejahteraan hidup masyarakat setempat. Kegiatan ini diharapkan juga dapat memunculkan serta melatih sikap peduli lingkungan siswa dan mengantisipasi munculnya sikap acuh terhadap lingkungan yang muncul dikemudian hari.

  Peneliti menganggap bahwa kegiatan ini sangat bagus dan tepat dilakukan di SD, karena usia siswa SD merupakan usia yang masih mudah untuk dibentuk menjadi sesuatu yang baik. Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikanya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya dengan melakakukan praktek lapangan. Hal ini sesuai dengan teori psikologi yang dikemukakan oleh J. Piaget (Tumisem, 2012: 20) yang menyatakan bahwa perkembangan anak usia 7-11 tahun berada pada tingkat perkembangan intelektual operasional konkret.

  Perkembangan anak usia dasar juga ditandai dengan gerak atau aktifitas motorik yang lincah, oleh karena itu usia ini merupakan massa yang ideal untuk belajar ketrampilan yang berkaitan dengan motorik baik halus maupun kasar. Selain itu, perkembangan motorik sangat menunjang keberhasilan siswa.

4. Metode Pembelajaran Berbasis Proyek

  Pembelajaran berbasis proyek merupakan penerapan dari pembelajaran aktif, teori konstruktivisme dari Piaget serta teori konstruksionisme dari Seymour Papert. Sebagaimana halnya dengan konstruktivisme, pemikiran konstruksionisme juga berprinsip bahwa setiap anak membangun model mentalnya untuk berpikir dan memahami dunia di sekelilingnya. Paham konstruksionisme berasumsi bahwa pembelajaran akan berlangsung dengan efektif jika para siswa aktif dalam membuat atau memproduksi suatu karya fisik yang dapat dihadirkan dalam dunia nyata suatu artefak (Warsono, 2012: 152).

  Secara sederhana, pembelajaran berbasis proyek didefinisikan sebagai suatu pengajaran yang mencoba mengaitkan antara teknologi dengan masalah kehidupan sehari-hari yang akrab dengan siswa, atau dengan suatu proyek sekolah. Terkait dengan teknologi dalam pembelajaran berbasis proyek, Khasanah (2004: 42) mengemukakan bahwa teknologi sebagai alat perpanjangan tangan manusia banyak dianggap memberikan solusi atas permasalahan hidup. Sedangkan menurut Bransfor dan Stein (Warsono, 2012: 153) mendefinisikan pembelajaran berbasis proyek sebagai suatu pendekatan pengajaran yang komprehensif yang melibatkan siswa dalam kegiatan penyelidikan yang kooperatif dan berkelanjutan.

  Pembelajaran berbasis proyek menurut Widiyatmoko (2012: 53) adalah pembelajaran yang menuntut pengajar dan peserta didik mengembangkan pertanyaan penuntun. Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka pembelajaran berbasis proyek memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggali materi dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Hal ini memungkinkan peserta didik dapat menjawab pertanyaan penuntun.

  Metode proyek memberikan peluang kepada anak untuk meningkatkan keterampilan yang telah dikuasai secara perseorangan atau kelompok kecil, dan menimbulkan minat anak terhadap apa yang telah dilakukan dalam proyek serta bagi anak untuk mewujudkan daya kreativitasnya, bekerja secara tuntas, dan bertanggung jawab atas keberhasilan tujuan kelompok, mempunyai pemahaman yang utuh tentang suatu konsep. Metode proyek merupakan suatu metode pembelajaran yang melibatkan anak dalam belajar memecahkan masalah dengan melakukan kerjasama dengan anak lain, masing-masing melakukan bagian pekerjaannya secara individual atau dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang menjadi milik bersama.

  Secara umum, langkah-langkah pembelajaran dalam melaksanakan pembelajaran berbasis proyek adalah perencanaan, penciptaan, serta pemrosesan yang dapat digambarkan di bawah ini.

  Creating Planning Processing

  Developing thought & Choosing topic documentation Searching

  Reflection Coordinating & Blending resources

  Follow up Organizing

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Umum Pembelajaran Berbasis Proyek Sumber: Han dan Bhattacharya dalam Warsono (2012: 157)

  Berdasarkan tabel di atas, dapat dipahami bahwa pembelajaran berbasis proyek terdiri dari tiga fase pokok. Pada fase pertama, yaitu fase perencanaan. Dalam tahap ini, pebelajar memilih topik, mencari sumber- sumber informasi yang relevan, dan mengorganisasikan sumber-sumber menjadi suatu bentuk yang berguna. Dalam fase penciptaan, pebelajar mengembangkan gagasan terkait proyek, menggabungkan dan menyinergikan seluruh kontribusi dari anggota kelompok, dan mewujudkan proyeknya. Dalam fase tiga, yaitu fase pemrosesan, proyek hasil karya mereka didiskusikan dalam prinsip saling berbagi dengan kelompok lain, sehingga diperoleh umpan balik, kemudian setiap kelompok melakukan refleksi terhadap hasil karyanya.

  Terkait dengan hal ini, Han & Bhattacharya (Warsono, 2012: 157) mengidentifikasi ada lima keuntungan dari implementasi pembelajaran berbasis proyek, yaitu:

  a. Meningkatkan motivasi belajar siswa;

  b. Meningkatkan kecakapan siswa dalam pemecahan masalah;

  c. Memperbaiki keterampilan menggunakan media pembelajaran;

  d. Meningkatkan semangat dan keterampilan berkolaborasi; e. Meningkatkan keterampilan dan manajemen berbagai sumber daya.

  Langkah-langkah kegiatan yang umum diterapkan dalam pembelajaran berbasis proyek adalah sebagai berikut: (diadaptasi dari Brown dan Campione (Warsono, 2012: 158).

  a.

  

Timbulnya masalah dari para siswa. Dalam hal ini terkait dengan

  menghadapi masalah (problem facing), mengidentifikasikan masalah (problem definition), dan kategori masalah (problem categorization).

  b. Memunculkan adanya proyek sebagai suatu alternatif pemecahan masalah.

  c. Pembentukan tim pembelajaran kolaboratif/kooperatif untuk memecahkan masalah/proyek. d. Setelah kajian lebih lanjut dalam tim mereka, para siswa yang cepat belajar (expert) membantu rekannya yang lambat belajar sehingga tidak mengganggu kelangsungan proyek.

  e. Hal ini mencapai titik kulminasinya berupa pengerjaan serangkaian tugas berkelanjutan bagi semua anggota tim yang memungkinkan terciptanya hasil pemikiran siswa yang nyata, dapat dilihat dan dipublikasikan berupa suatu artefak atau karya pemikiran yang bermakna.

  Berdasarkan pemaparan di atas, pembelajaran berbasis proyek merupakan kategori pembelajaran motorik yaitu proses pembentukan sistematika kognitif tentang gerak pada diri siswa, yang kemudian diaplikasikan dalam psikomotor, mulai dari tingkat keterampilan gerak yang komplek, sebagai suatu fisiologis yang dapat membentuk aspek psikologis untuk mencapai otomatisasi gerak (Decaprio, 2013: 18).

  Keterampilan motorik sebenarnya tidak bergantung pada kecerdasan intelektual. Artinya seorang yang memiliki otak cerdas bisa saja tidak mempunyai keterampilan motorik yang baik. Sebaliknya, seorang siswa yang memiliki otak biasaa-biasa saja justru mempunyai keterampilan motorik yang baik. Oleh karena itu, melalui pembelajaran berbasis proyek, peserta didik dilatih untuk dapat membentuk sistematika kognitif dan memiliki keterampilan motorik yang baik.

  Kegiatan yang akan dilakukan siswa kelas IV di SD Negeri Margasana terkait dengan penerapan pembelajaran berbasis proyek yaitu pembuatan proyek bubur kertas diharapkan dapat mengurangi limbah dan kerusakan alam yang diakibatkan oleh ulah manusia. Selain itu, pembuatan proyek ini dharapkan dapat menjadi media pembelajaran IPA bagi guru dan mempermudah siswa dalam memahami materi IPA.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

  Upaya yang dilakukan peneliti terkait dengan penggunaan metode pembelajaran berbasis proyek, pernah diteliti oleh Putu Arimbawa, Wayan Sadia, Nyoman Tika di kelas VIII SMP N 3 Sidemen pada tahun 2013. Mereka adalah tim peneliti Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA). Judul penelitian tersebut yaitu “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek (MPBP) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah IPA Sehari- hari Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi Siswa”. Hasil penelitian menyatakan berdasarkan hasil analisis dengan Anava dua jalur diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang signifikan antara peserta didik pada kelas MPBP dan peserta didik kelas kontrol. Hasil analisis untuk hipotesis kedua disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran berbasis proyek dengan motivasi berprestasi terhadap kemampuan pemecahan masalah.

  Penelitian lain terkait dengan pembelajaran berbasis proyek pernah diteliti juga oleh Ketut Suarni, Nyoman Dantes, Nyoman Tika. Mereka adalah tim peneliti dari Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA). Mereka mengadakan penelitian pada tahun 2014 di jenjang pendidikan dasar menggunakan metode pembelajaran berbasis projek. Judul penelitian tersebut yaitu “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Projek Terhadap Minat dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Gugus 1 Kecamatan Kuta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan yang signifikan minat belajar IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. (2) terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis projek dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. (3) terdapat perbedaan minat dan hasil belajar IPA secara simultan antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis projek dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional.

  Perbedaan penelitian-penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu terletak pada subyek penelitian dan materi yang disajikan. Subyek penelitian pada peneliti ini merupakan siswa kelas IV SD Negeri Margasana. Selain itu materi yang disajikan merupakan materi IPA mengenai hubungan sumber daya alam dengan teknologi. Pada penelitian ini, siswa akan diminta untuk membuat suatu proyek berupa bubur kertas yang nantinya akan dibentuk menjadi kertas daur ulang dan dibentuk menjadi media pembelajaran IPA seperti bentuk hewan ataupun tumbuhan yang terkait dengan materi yang ada pada mata pelajaran IPA.

C. Kerangka Pikir

  Penguasaan materi yang disampaikan guru merupakan syarat dalam mengetahui keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran. Permasalahan yang ada di kelas IV di SD Negeri Margasana semester 1 dalam mata pelajaran IPA yaitu siswa kurang menguasai materi dikarenakan guru dalam menyampaikan materi masih bersifat verbal, sehingga diperlukan suatu metode pembelajaran yang mengubah verbalisme menjadi nyata.

  Terkait dengan penerapan pembelajaran IPA, siswa belum menerapkan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh. Sikap mereka terhadap lingkungan masih rendah yaitu masih menyepelekan penggunaan teknologi yang berasal sumber daya alam yang sulit diperbaharui seperti kertas. Oleh karena itu, peneliti akan menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek dengan harapan dapat memperbaiki sikap peduli lingkungan dan prestasi belajar IPA siswa. Menurut Johnson & Sharan dalam Joyce (2009: 321) mengatakan bahwa praktik saling mengajari antarsesama kawan sebaya menimbulkan kompleksitas sosial atau daya kooperatif suatu kelompok semakin bagus, sehingga akan meningkatkan prestasi dan capaian dari beberapa tujuan pembelajaran, baik secara konsep maupun teori dan meningkatkan skill siswa.

  Apabila metode dan media yang digunakan guru selalu monoton, maka siswa akan bosan dan prestasi belajar siswa rendah. Sebaliknya apabila metode dan media yang dipilih guru bervariasi maka prestasi belajar siswa lebih baik pula. Untuk memberikan penjelasan dapat digambarkan dalam kerangka berpikir sebagai berikut:

  Kondisi Awal Tindakan Hasil yang diharapkan Sikap peduli Menerapkan Peningkatan sikap lingkungan dan pembelajaran inovatif peduli lingkungan dan prestasi belajar dengan menerapkan prestasi belajar IPA

  IPA siswa kelas pembelajaran siswa kelas IV SD

  IV SD Negeri berbasis proyek Negeri Margasana Margasana masih rendah

Gambar 2.2 Skema Kerangka Berpikir Berdasarkan pada skema di atas, peneliti mengemukakan uraian argumentatif mengenai kerangka berpikir yang ada pada penelitian tindakan kelas ini yaitu kondisi awal yang ada pada kelas IV SD Negeri Margasana menunjukan bahwa sikap peduli lingkungan dan prestasi belajar IPA masih rendah. Hal ini dibuktikan oleh hasil angket terhadap 27 siswa yang menyatakan bahwa sikap peduli lingkungan mereka terhadap sampah kertas masih rendah. Selain itu, rendahnya prestasi belajar siswa juga dibuktikan dari nilai ulangan harian siswa selama 3 kali diadakan ulangan harian pada semester 1 yang tergolong masih rendah.

  Permasalahan yang ada di kelas IV SD Negeri Margasana membutuhkan solusi untuk dapat mengatasi permasalahan siswa mengenai rendahnya sikap peduli lingkungan dan prestasi belajar IPA yang masih rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, peneliti akan menerapkan pembelajaran inovatif dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek. Pada pembelajaran berbasis proyek, siswa akan dilatih untuk berdiskusi mengenai permasalahan yang ada di lingkungan seperti permasalahan sampah kertas dan melakukan suatu tindakan untuk mengatasi permasalahan tersebut seperti membuat proyek bubur kertas yang akan dibentuk menjadi kertas daur ulang dan berbagai bentuk kreasi siswa yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran IPA seperti bentuk hewan dan tumbuhan. Dari proyek pembuatan bubur kertas ini, diharapkan adanya peningkatan sikap peduli lingkungan siswa terhadap sampah kertas.

  Penggunaan metode pembelajaran aktif melalui penerapan model pembelajaran berbasis proyek pada penelitian tindakan kelas ini diharapkan juga dapat membantu guru dalam menerapkan pembelajaran IPA yang memperhatikan hakikat pembelajaran IPA meliputi produk, proses, sikap dan teknologi serta memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir ilmiah untuk memahami suatu objek IPA. Dengan memperhatikan hakikat pembelajaran

  IPA yang meliputi produk, proses, sikap dan teknologi, maka pembelajaran

  IPA akan semakin bermakna dan siswa akan terbantu dalam memahami materi yang diajarkan sehingga prestasi belajar IPA siswa akan meningkat dan memuaskan.

D. Hipotesis Tindakan

  Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis tindakan pada penelitian ini yaitu melalui penerapan pembelajaran berbasis proyek diduga dapat meningkatkan sikap peduli lingkungan dan prestasi belajar IPA materi hubungan sumber daya alam dengan teknologi di kelas IV SD Negeri Margasana tahun ajaran 2013/2014.