TAREKAT SYA RIYYAH DI SUMATRA BARAT: TEKS DAN KONTEKS

BAB 7 TAREKAT SYA$ $  RIYYAH DI SUMATRA BARAT: TEKS DAN KONTEKS

  7.1. Penjelasan Umum ‹‹Œ

  Seperti telah dikemukakan pada Bab 2, tarekat Sya riyyah telah mengalami, setidaknya, empat fase sejak awal pertumbuhannya di Iran dan Turki Usmani dengan nama tarekat ‘Isyqiyyah dan Bis ‹Œ miyyah, kemudian memulai konsolidasinya di

  ‹‹Œ

  India dengan nama Sya riyyah, sebelum kemudian merumuskan ajarannya secara lebih sistematis di Haramayn, dan mengangkat sejumlah khalifah yang berasal dari berbagai pelosok negeri, termasuk para khalifah dari Dunia Islam Melayu-Indonesia.

  ‹‹Œ

  Dengan tersebarnya tarekat Sya riyyah tersebut ke wilayah lain di luar Haramayn, maka corak dan kecenderungan ajaran tarekat ini pun mulai memperlihatkan dinamikanya yang khas dan bersifat lokal, karena dipengaruhi oleh adat, tradisi dan budaya masing-masing tempat di mana tarekat tersebut berkembang.

  Bab 7 ini utamanya diarahkan untuk melihat dinamika dan

  ‹‹Œ

  perkembangan tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat dengan tetap mendasarkan pada data-data pokok dalam naskah-naskah Sya ‹‹Œ riyyah yang telah dikemukakan sebelumnya. Pembahasan atas data-data yang bersifat tekstual tersebut akan ditempatkan dalam konteks wacana keagamaan yang berkembang di Sumatra Barat. Selain itu, dalam bab ini juga akan dikemukakan berbagai ciri dan karakteristik tarekat Sya ‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat, dengan berbagai ekspresinya yang bersifat lokal.

  7.2. Tarekat Sya‹‹Œ riyyah dalam Konteks Wacana Keagamaan Islam di Sumatra Barat

  Beberapa sarjana meyakini bahwa tarekat Sya ‹‹Œ riyyah bukan merupakan tarekat pertama yang masuk ke Sumatra Barat, karena sebelumnya telah ada tarekat Naqsybandiyyah, yang kemungkinan dibawa masuk ke wilayah ini pada paruh pertama abad ke-17 (Dobbin 1992: 146; Azra 1988: 27). Akan tetapi, Schrieke (1973: 28)

  ‹‹Œ 164

  Tarekat Sya riyyah

  mengisyaratkan bahwa tarekat Naqsybandiyyah baru masuk ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 1850-an. Hal ini diamini oleh sarjana lain semisal Martin van Bruinessen (1996: 124), dan Karel A.

  Steenbrink (1984: 178).

  Jika pendapat kedua di atas benar, maka tentu saja tarekat

  ‹‹Œ

  Sya riyyah jauh lebih dahulu hadir di Sumatra Barat, karena beberapa sumber lokal menyebutkan bahwa tarekat ini telah masuk ke Sumatra Barat pada akhir abad ke-17, ketika Syaikh Burhanuddin kembali dari Aceh setelah belajar dengan Abdurrauf al-Sinkili (lihat, antara lain, Amin 1993: 37).

  ‹‹Œ

  Naskah-naskah Sya riyyah lokal bahkan cenderung menegaskan bahwa tarekat Sya ‹‹Œ riyyah merupakan jenis tarekat pertama yang masuk ke Sumatra Barat. Naskah Kitab Menerangkan

  Agama Islam di Minangkabau misalnya, menyebutkan bahwa Syaikh ‹‹Œ

  Burhanuddin membawa tarekat Sya riyyah ke wilayah ini pada tahun 1070 H/1659 M. Mulai saat itu, demikian naskah ini menjelaskan, corak Islam yang ada di Minangkabau hanya satu, yaitu:

  “…agama Islam yang bermazhab Imam SyŒfi’¥ dan beri’tikad memakai iktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah, dan dalam bertasawuf memakai tarekat Sya‹‹Œr¥…” (h. 73).

  Tarekat Naqsybandiyyah sendiri disebutkan baru masuk sekitar 127 tahun kemudian. Jika perhitungannya dimulai dari tahun kedatangan Syaikh Burhanuddin di atas, maka berarti tarekat Naqsybandiyyah masuk ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 1786 M. Dalam Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau tertulis:

  “…maka seratus dua puluh tujuh tahun kemudian barulah datang tarekat naqsyabandi dalam bertasawuf yang zikir tarekatnya zikir qalbi dengan kalimat Allah Allah, yang dalam hati amalnya, ada murid bertawajjuh sesudah sembahyang magrib, dan bersuluk selama empat hari, yang dibawa oleh seorang ulama yang duduk mengajar di kampung Cangking Koto Candung Ampat Angkat, yang dimasyhurkan orang Tuan Syaikh Cangking (Syaikh Koto Tuo), bilangan bulannya bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan taqwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin”. (h. 73)

  Terlepas dari tepat atau tidaknya angka tahun yang disebutkan,

  ‹‹Œ

  asumsi bahwa tarekat Sya riyyah masuk terlebih dahulu ke Sumatra Barat dibanding tarekat Naqsybandiyyah sesungguhnya cukup masuk akal, terutama jika memperhatikan sumber-sumber

  ‹‹Œ

  lokal yang ditulis oleh kalangan ulama Sya riyyah di Sumatra Barat, yang cenderung memperlihatkan sikap sebagai pihak yang

  ‹‹Œ

Bab 7. Tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat 165

  tarekat Naqsybandiyyah yang sedikit banyak dianggap berbeda dengan faham dan ritualnya, dan oleh karenanya dianggap mengancam pengaruh atau kharisma para ulama Sya ‹‹Œ riyyah tersebut di kalangan masyarakat.

  Seperti dikemukakan Schrieke (1973: 25), pada awal abad ke-19, ketegangan antara tarekat Sya ‹‹Œ riyyah dan tarekat Naqsybandiyyah memang tak terhindarkan. Bahkan, pertentangan antara dua kelompok tarekat tersebut pada gilirannya menjadi bagian dari faktor penyebab munculnya konflik sosial di Sumatra Barat, di samping juga faktor lainnya seperti konflik antara ulama tua dan ulama muda. Berkaitan dengan konflik antara tarekat Sya ‹‹Œ riyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah ini, Dobbin (1992: 148) misalnya mencatat terjadinya pertentangan sengit yang menyebabkan

  ‹‹Œ

  permusuhan terbuka antara pusat Sya riyyah di Ulakan dengan Taram dan Talawi yang berorientasi pada tarekat Naqsybandiyyah.

  Tetapi, sejauh menyangkut ketegangan tersebut, tampaknya yang menjadi pangkal utamanya bukan semata-mata persoalan perbedaan faham dan ajaran, melainkan juga dipengaruhi oleh masalah rebutan pengaruh dan kehormatan (Dobbin 1992: 148). Beberapa sumber misalnya menginformasikan bahwa Syaikh Jalaluddin, seorang Syaikh tarekat Naqsybandiyyah paling berpengaruh dari Cangking telah berhasil menarik perhatian sejumlah pengikut tarekat Sya ‹‹Œ riyyah di Ulakan untuk berpindah menjadi pengikut tarekat Naqsybandiyyah. Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya konflik terbuka antara guru-guru tarekat

  ‹‹Œ

  Naqsybandiyyah dengan guru-guru dari tarekat Sya riyyah (Bruinessen 1996: 125).

  Tentu saja, persoalan yang menyangkut perbedaan faham dan ajaran juga menjadi salah satu pemicu terjadinya ketegangan tersebut. Ini pun dengan catatan bahwa, sejauh data yang dijumpai, hal yang dipertentangkan itu bukan menyangkut doktrin-doktrin tasawuf itu sendiri, melainkan lebih berorientasi pada aspek syariat.

  Para pengikut tarekat Naqsybandiyyah memang dikabarkan tidak menyukai ajaran martabat tujuh, sebuah ajaran tentang teori

  ú Œ

  penciptaan alam yang bersumber dari kitab al-Tu fah al-Mursalah il

  ´ ú ¥ Œ ´ ¥ R al-Nab karangan al-Burh np r . Ajaran ini dikembangkan oleh

  Abdurrauf al-Sinkili, sebagai khalifah tarekat Sya ‹‹Œ riyyah, dalam berbagai karangannya, serta dielaborasi untuk menjelaskan dan

  ú ´

  menginterpretasi doktrin wa dat al-wuj d yang pernah menghebohkan di Dunia Melayu-Indonesia itu.

  Persoalannya, penting dicatat bahwa dalam konteks Sumatra

  ú ´

  Barat, ajaran wa dat al-wuj d itu sendiri ternyata tidak diteruskan

  ‹‹Œ 166

  Tarekat Sya riyyah

  dan dikembangkan oleh para pengikutnya, mereka bahkan melucuti ajaran tersebut dari keseluruhan ajaran tarekat Sya ‹‹Œ riyyah dengan alasan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (lihat Kitab

  Menerangkan , h. 70), sehingga, sejauh berkaitan dengan ajaran wa ú dat ´ ‹‹Œ al-wuj d ini, corak tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat menjadi

  relatif berbeda dengan corak tarekat Sya ‹‹Œ riyyah yang dikembangkan, misalnya, oleh al-Sinkili di Aceh (Dobbin 1992: 144), kendati dalam beberapa hal lain, seperti menyangkut ritual zikir atau penekanan pada aspek syariat, tidak ada perbedaan yang terlalu tajam di antara keduanya.

  Di antara persoalan yang sering menjadi arena perdebatan antara tarekat Naqsybandiyyah dengan Sya ‹‹Œ riyyah adalah menyangkut penetapan awal dan akhir bulan puasa Ramadan. Schrieke misalnya melaporkan bahwa selama bertahun-tahun, di sekitar Padang Panjang selalu terjadi pertentangan sengit antara

  ‹‹Œ Sya riyyah dan Naqsybandiyyah menyangkut persoalan tersebut.

  Demikian halnya di Pariaman, hingga sekarang masih terjadi

  ‹‹Œ

  perbedaan pendapat antara penganut tarekat Sya riyyah di Ulakan dengan penganut Naqsybandiyyah di Cangking mengenai awal dan akhir bulan puasa. Biasanya, para penganut Sya ‹‹Œ riyyah merayakan puasa Ramadan atau atau dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga karenanya mereka mendapatkan julukan “orang puasa kemudian”, sementara tarekat 1 Naqsybandiyyah disebut orang sebagai “orang puasa dahulu”. Hal ini, persis seperti apa yang digambarkan dalam kutipan di atas tentang tarekat Naqsybandiyyah, yakni: “…bilangan bulannya

  bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan taqwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin …”.

  Akan tetapi, penting juga dicatat bahwa konflik lebih tajam yang melibatkan para pengikut tarekat Sya ‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat ini sesungguhnya terjadi ketika pada tahun 1804, tiga Haji putra Minangkabau kembali dari Tanah Suci Makkah setelah menuntut ilmu selama beberapa tahun. Ketiga Haji tersebut adalah Haji Miskin dari Pandai Sikat Padang Panjang, Haji Abdurrahman dari Piyobang Payakumbuh, dan Haji Sumanik dari Batusangkar. Tampaknya, pemikiran keagamaan ketiga Haji tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan pembaharuan kaum Wahabi di Makkah, yang diajarkan oleh Mu ú ammad ibn ‘Abd al-Wahh Œ b (1115-1206 H/1703-1792 M), seorang ulama asal Nejd di Arab Timur. Pandangan-pandangan

  ú Œ

  Mu ammad ibn ‘Abd al-Wahh b ini banyak yang sejalan dengan pandangan-pandangan keagamaan seorang ulama pembaharu

  ‹‹Œ

Bab 7. Tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat 167

  sebelumnya, yakni Taq ¥ al-D ¥ n Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), yang mengkampanyekan agar, dalam beragama, umat Islam 2 kembali kepada al-Quran dan mencontoh Nabi.

  Pada awalnya, kaum Wahabi di Makkah semata-mata menyerukan umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam yang murni, tidak bercampur bid’ah, khurafat, dan takhayul. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, seruan itu berubah menjadi gerakan yang cenderung menggunakan tindakan-tindakan radikal, yang dengan tegas membedakan antara orang yang beriman dengan yang tidak beriman, serta menganjurkan perang suci (jihad) terhadap orang-orang yang tidak mau mengikuti seruannya (Rahman 1997: 286-294).

  Dalam gerakan dakwahnya, kaum Wahabi berangkat dari satu asumsi bahwa sebagian kalangan umat Islam telah melakukan dan mengembangkan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, dan oleh karenanya harus ditumpas, dengan cara apapun. Di antara kelompok yang menjadi “sasaran dakwah” gerakan Wahabi adalah para penganut tasawuf dan tarekat, yang oleh kaum Wahabi dianggap telah berlebihan dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Oleh karenanya, mereka menolak tindakan pengeramatan terhadap kuburan para sufi yang dianggap sebagai orang suci. Selain itu, mereka juga melarang umat Islam untuk mengisap tembakau, melarang pemakaian kain sutera, melarang penggunaan tasbih dalam berzikir, dan lain-lain.

  Gagasan-gagasan Wahabi seperti inilah yang kemudian dibawa oleh tiga Haji di atas, ke tanah airnya, Minangkabau. Mereka berpandangan bahwa di kalangan masyarakat Minangkabau, khususnya di kalangan para penganut tarekat Sya ‹‹Œ riyyah, banyak dilakukan praktek-praktek keagamaan yang bersifat bid’ah, khurafat, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, sehingga karenanya harus “diluruskan”, atau bahkan diperangi dengan jalan kekerasan jika diperlukan.

  Akan tetapi, dalam perjalanannya, gagasan-gagasan yang diusung oleh tiga Haji itu ternyata mendapat tantangan keras dari guru-guru tarekat Sya ‹‹Œ riyyah, sehingga tidak dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan. Haji Miskin misalnya, sampai harus berpindah-pindah tempat tinggal dari satu kampung ke kampung lainnya, karena selalu dimusuhi oleh para penganut tarekat Sya ‹‹Œ riyyah yang belum bisa menerima faham pembaharuannya. Terakhir, Haji Miskin menyelamatkan diri ke

  ‹‹Œ 168

  Tarekat Sya riyyah

  Bukit Kamang, dan pada 1811 ia meneruskan gerakannya di Aie Tabik, di Luhak Lima Puluh Kota (Chatib & Erman 2002: 191).

  Selain dalam konteks pertentangan dengan tarekat Naqsybandiyyah, khususnya dalam persoalan penetapan awal puasa Ramadhan, dalam konteks gerakan pembaharuan ini pula

  Œ ¥ Œ

  kiranya kita dapat menempatkan naskah Ris lah M z n al-Qalb , naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah

  Œ ¥ ê Œ Kit b al-Taqw m wa al- iy m yang ketiganya ditulis oleh Imam

  Œ ¥ Œ

  Maulana Abdul Manaf Amin. Dalam Ris lah M z n al-Qalb , pengarang menjelaskan:

  “Adapun sebabnya maka disusun buku ini adalah berkehendak setengah saudara kita untuk memberi penjelasan tentang adanya dua faham untuk beramal ibadat kepada Allah, yaitu disebut orang Kaum Tuo (kaum kuno) dan Kaum Mudo (kaum baru) sehingga kami orang awam merasa ragu-ragu manakah yang akan diikuti…Oleh karena kita banyak membaca buku-buku sejarah dan buku hadis, maka dapatlah saya mengabulkan kehendak saudara- saudara kita itu barang alakadarnya” (h. 3).

  Naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau juga menjelaskan bahwa sebab ditulisnya naskah ini adalah karena setelah datangnya tarekat Naqsybandiyyah, dan disusul kemudian munculnya faham Wahabi yang diusung oleh tiga Haji di atas, corak ritual keagamaan masyarakat Minangkabau menjadi bermacam-macam, dan menimbulkan kebingunan di sebagian kalangan orang awam:

  § ¥ “…ada memakai u all ada yang tidak, ada pula yang memasuki puasa menilik hilal lebih dahulu dan adapula cukup dengan melihat almanak saja, ada yang sembahyang tarawih dua puluh ditambah witir tiga, dan adapula yang delapan rakaat ditambah dengan witir tiga rakaat…” (h. 3).

  Tak heran kemudian, jika dalam uraian berikutnya —seperti

  Œ ¥ Œ

  tampak dalam pemerian naskah— naskah Ris lah M z n al-Qalb , naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah

  Œ ¥ ê Œ Kit b al-Taqw m wa al- iy m mencoba menjelaskan secara terperinci,

  dan menunjukkan kebenaran —dalam perspektif penganut tarekat

  ‹‹Œ

  Sya riyyah tentunya— isu-isu apa saja yang menjadi ajang perdebatan dan pertentangan, baik dengan tarekat Naqsybandiyyah maupun dengan tiga Haji, yang disebut sebagai perpanjangan tangan gerakan Wahabi di atas.

  Œ ¥ ê Œ

  Naskah Kit b al-Taqw m wa al- iy m sendiri secara panjang lebar menjelaskan bahwa, kendati metode hisab taqwim merupakan ajaran

  ‹‹Œ

Bab 7. Tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat 169

  untuk bulan Ramadhan, Nabi memberikan tuntunan tersendiri,

  

Œ

  yakni dengan metode ru’yat al-hil l (melihat bulan). Dalam konteks Sumatra Barat, hal ini tentu saja ditujukan untuk menyanggah pendapat para penganut tarekat Naqsybandiyyah, yang tetap

  Œ ¥

  berpegang pada metode his b taqw m untuk menentukan awal hari semua bulan Qomariyah, termasuk awal hari bulan puasa Ramadhan, sehingga hingga kini, selalu terjadi perbedaan di antara keduanya.

  Penting dikemukakan bahwa dalam keseluruhan perdebatan yang melibatkan tarekat Sya ‹‹Œ riyyah tersebut, naskah Ris Œ lah M ¥ z Œ n

  

al-Qalb , naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan

Œ ¥ ê Œ

  naskah Kit b al-Taqw m wa al- iy m cenderung menegaskan bahwa hingga beberapa puluh tahun lamanya, corak ritual dan ibadah yang dikembangkan oleh para ulama Sya ‹‹Œ riyyah lah yang pada akhirnya

  Œ ¥ Œ

  diterima oleh masyarakat Minangkabau. Naskah Ris lah M z n al-

  Qalb misalnya mengatakan: “…di waktu itu, yaitu di tahun 1840 M sampai tahun 1908 M, seluruh Nusantara ini (Indonesia) satu saja coraknya amal orang, yaitu kalau

  

§ ¥

sembahyang sama-sama ber u all , sama berqunut tampung tangan, kalau kematian sama dibacakan talkin, kalau tiba bulan rabiul awwal sama-sama memperingati maulid Nabi Muhammad Saw beserta jamuannya…kalau kematian di rumah seseorang, maka datanglah guru-guru beserta rakyat menghadiahkan bacaan-bacaan amal, seperti membaca al-Quran bertahlil, dan lain-lain amal, waktu memasuki puasa dan akan berhari raya sama-sama memakai rukyat, artinya melihat awal bulan, dan sembahyang tarawihnya dua puluh rakaat, tidak ada yang membuat delapan rakaat…” (h. 80).

  Hal yang sama juga dikemukakan kembali oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di

  , seraya diakhiri dengan ungkapan: “…di waktu itulah

  Minangkabau keadaan negeri aman dan amal ibadat satu …” (h. 62).

  Akan tetapi, rupanya pergolakan keagamaan yang melibatkan kelompok tarekat Sya ‹‹Œ riyyah ini meruncing kembali pada awal abad ke-20, tepatnya ketika pada sekitar tahun 1906 empat ulama Minangkabau kembali dari Tanah Suci Makkah setelah beberapa tahun belajar agama kepada Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabaw ¥ . Keempat ulama itu adalah: Haji Muhammad Jamil Jambek Bukittinggi, Haji Muhammad Taib Umar Sungayang Batusangkar, Haji Abdullah Ahmad Padang Panjang, dan Haji Abdul Karim Amrullah Maninjau.

  Secara spesifik, keempat ulama pembaharu ini memang menyoroti praktek tarekat, khususnya tarekat Sya ‹‹Œ riyyah, yang

  ‹‹Œ 170

  Tarekat Sya riyyah

  banyak dianut oleh masyarakat Minangkabau. Mereka menganggap bahwa praktek tarekat tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Dijelaskan oleh pengarang bahwa: “…tarekat itu sudah menjadi

  perbincangan mereka dengan guru mereka bahwa tarekat itu adalah Œ ¥ Œ salah …” (Ris lah M z n al-Qalb , h. 84). Oleh karenanya, keempat

  ulama ini sangat proaktif mengajak kepada kalangan penganut

  ‹‹Œ tarekat Sya riyyah untuk meninggalkan praktek keberagamaannya.

  Pada tahun 1907 misalnya, Haji Muhammad Jamil Jambek mengadakan pertemuan terbatas dengan mengundang tokoh- tokoh ulama tarekat Sya ‹‹Œ riyyah untuk datang ke rumahnya dan berdiskusi berkaitan dengan perbedaan pandangan atas praktek tarekat tersebut. Di antara ulama tarekat Sya ‹‹Œ riyyah yang hadir, dan rata-rata telah berusia tua, adalah: Syaikh Khatib Muhammad Ali al-Padani, Syaikh Muhammad Dalil (Tuanku Syaikh Bayang), Tuanku Syaikh Khatib Sayyidina Syaikh Muhammad Taib Sibarang Padang, dan Tuanku Imam Masjid Ganting padang. Adapun dari kelompok ulama pembaharu, yang rata-rata masih berusia muda, antara lain: Haji Abbas Daud Balingka, yang dikenal sebagai Inyiek Balingka, Haji Abdullah Ahmad Padang Panjang, dan Haji Abdul Karim Amrullah Maninjau, yang dikenal sebagai Inyiek Rasul.

  Diceritakan bahwa dalam pertemuan tersebut terjadi perdebatan hangat antara dua kelompok ulama ini tentang boleh tidaknya praktek tarekat menurut Islam. Akan tetapi, kendati berlangsung hingga larut malam, tidak tercapai kata sepakat di antara dua kelompok ulama tersebut, sehingga perbedaan pandangan, dan karenanya pertentangan, antara para ulama tarekat Sya ‹‹Œ riyyah dengan para ulama pembaharu pun terus berlangsung. Dan, momentum inilah yang disebut dalam naskah

  Œ ¥ Œ Ris lah M z n al-Qalb sebagai asal mula munculnya istilah Kaum

  Tua dan Kaum Muda:

  “…maka di sinilah asal mulanya sebutan kaum tua (kaum kuno), karena ulama-ulama yang mempertahankan tarekat itu telah tua-tua semuanya, yaitu lima puluh tahun ke atas. Sedangkan yang membatalkan tarekat itu ulama-ulama muda semuanya, yaitu tiga puluh tahun ke bawah. Maka dinamai orang mereka kaum muda (kaum baru) sehingga masyhurlah sesudah itu sebutan kaum kuno dan kaum muda. Maka di sinilah asal mulanya sebutan itu…” (h. 85- 86).

  Dari penjelasan di atas, jelas bahwa tiga naskah, yakni naskah

  Ris Œ lah M ¥ z Œ n al-Qalb , naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di ê Œ ¥

  Minangkabau , dan naskah al- iy m wa al-Taqw m , yang ketiganya

  ‹‹Œ

Bab 7. Tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat 171

  ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin, ditulis untuk menjelaskan pergolakan keagamaan yang pernah terjadi di kalangan masyarakat Minangkabau. Dalam perspektif penulis naskah-naskah

  ‹‹Œ

  tersebut, yang notabene adalah pengikut tarekat Sya riyyah sendiri, pergolakan tersebut diakibatkan oleh dua hal: pertama, karena adanya perbedaan pandangan antara para pengikut tarekat Sya ‹‹Œ riyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah, dan kedua, karena adanya “serangan” dari kaum pembaharu atas berbagai ritual dan praktek keagamaan kaum tarekat.

7.3. Perkembangan dan Silsilah Tarekat Sya‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat

  Sejauh menyangkut awal masuknya Islam ke Sumatra Barat, sebagian sarjana berpandangan bahwa Syaikh Burhanuddin lah orang yang pertama kali membawanya (lihat, antara lain, Arnold 1913: 366; al-Attas 1969: 11). Menurut Arnold dan al-Attas, Syaikh Burhanuddin, selain berguru kepada Syaikh Abdurrauf Singkel,

  Œ

  adalah juga murid dari Syaikh ‘Abdull h ‘ rif, seorang pengembara Arab yang membawa Islam ke wilayah Utara Sumatra pada sekitar tahun 506 H/1112 M. Akan tetapi, —seperti dikemukakan Azra (1988: 12)— pandangan tersebut sulit diterima, selain karena tidak didukung data-data historis, juga karena Syaikh Burhanuddin

  Œ

  sendiri diketahui hidup jauh dari masa hidupnya Syaikh ‘Abdull h ‘ rif tersebut, yakni pada awal hingga akhir abad ke-17 (Daya 1990: 35).

  Sebagian sumber lain mengatakan bahwa Islam sudah masuk ke Sumatra Barat pada abad pertama hijriyah, atau abad ke-7 dan 8 Masehi, jauh sebelum Syaikh Burhanuddin lahir, melalui para saudagar Muslim yang tidak dan belum dikenal, sedangkan Syaikh Burhanuddin sendiri “hanya” seorang muballig terkemuka pada abad ke-17, dan bukan pembawa Islam pertama ke Sumatra Barat (Boestami dkk. 1981: 3).

  Berkaitan dengan nama Syaikh Burhanuddin ini, penting diperhatikan bahwa nama tersebut tampaknya tidak hanya merujuk

  ‹‹Œ

  pada ulama tokoh Sya riyyah, murid Syaikh Abdurrauf Singkel, yang kemudian menjadi tokoh sentral di Ulakan saja. Menurut Mahmud Yunus (1979: 20-21), misalnya, di Sumatra Barat terdapat, setidaknya, dua nama Syaikh Burhanuddin: pertama, Syaikh Burhanuddin sebagai pembawa Islam untuk pertama kalinya. Ia awalnya mengajar di Batu Hampar, kemudian pindah ke Kumpulan, dekat Bonjol, kemudian juga mengajar di Ulakan, Pariaman, dan akhirnya menetap di Kuntu, Kampar Kiri hingga wafatnya pada

  ‹‹Œ 172

  Tarekat Sya riyyah

  sekitar tahun 610 H/1214 M, sehingga ia dikenal dengan sebutan Syaikh Burhanuddin Kuntu (Abdulah 1999: 36-37).

  Œ ¥ Œ

  Dalam naskah Ris lah M z n al-Qalb , Imam Maulana Abdul Manaf Amin juga mencatat bahwa Syaikh Burhanuddin yang dianggap sebagai pembawa Islam masa awal ke Sumatra Barat adalah seorang saudagar Arab yang datang —bersama rombongan para pedagang— ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 814 H/1411 M. Pada awalnya, Syaikh Burhanuddin, yang orang Arab ini, mengembangkan Islam di daerah Siak, sebelum kemudian berpindah ke, dan menetap di, Kuntu, Kampar Kiri, dan mengajar di sini hingga wafatnya pada tahun 839 H/1435 M, sehingga ia lebih dikenal sebagai Syaikh Burhanuddin Kuntu. Konon, gaung dakwah Syaikh Burhanuddin Kuntu ini sampai juga ke daerah Indragiri, Riau. Ia juga diriwayatkan pernah mendakwahkan Islam ke kalangan istana Pagaruyung (Ris Œ ¥ Œ , h.

  lah M z n al-Qalb 153-154).

  Penting dicatat bahwa, berdasarkan informasi yang terdapat dalam beberapa naskah tulisannya, angka tahun yang diberikan Imam Maulana Abdul Manaf Amin seringkali jauh lebih awal dari angka yang dicatat oleh para sejarahwan umumnya. Oleh karenanya, yang lebih penting diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa di kalangan masyarakat Minangkabau sendiri, Islam diyakini telah menyebar pada sekitar abad ke-15.

  Adapun Syaikh Burhanuddin yang kedua adalah seorang putra Minangkabau yang kemudian menjadi khalifah utama tarekat Sya ‹‹Œ riyyah di Ulakan, Pariaman, sehingga ia lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Burhanuddin Ulakan. Dalam naskah Inilah Sejarah

  Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau diriwayatkan

  bahwa waktu kecil, Syaikh Burhanuddin Ulakan —yang diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1056 H/1646 M— bernama Pono. Ia lahir di daerah Priangan, Padang Panjang, daerah yang diyakini sebagai daerah asal Minangkabau, sebelum kemudian pindah mengikuti keluarganya ke daerah Sintuk, Lubuk Alung, Pariaman. Ayahnya bernama Pampak, dari suku Koto, sedangkan ibunya bernama Nili dari suku Guci. Sebelum belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh, diriwayatkan bahwa Pono muda berguru kepada Syaikh ‘Abdull Œ h ‘ rif di desa Tapakis, seorang pengembara Arab, yang konon juga merupakan murid dari Syaikh A ú mad al-Qusy Œ sy ¥ di Madinah, dan oleh karenanya dikenal sebagai Syaikh Madinah (Amin 1993: 10; Hamka 1974: 149;

  ‹‹Œ

Bab 7. Tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat 173

  3

  bandingkan dengan Daya 1990: 179). Setelah Syaikh ‘Abdull Œ h ‘ rif wafat, Pono —sesuai saran gurunya— kemudian pergi ke Aceh untuk belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili. Dari al- Sinkili inilah Pono mendapatkan nama barunya, Burhanuddin (Amin 1993: 19).

  Dalam sumber-sumber lokal digambarkan bahwa hubungan Burhanuddin Ulakan dengan al-Sinkili tergolong istimewa. Ketaatan

  ½¥

  dan sikap hormat (ta’ m ) Burhanuddin kepada al-Sinkili, misalnya, digambarkan persis seperti ketaatan al-Sinkili kepada gurunya, al- Qusy Œ sy ¥ :

  “...adab dan tertib Burhanuddin kepada gurunya Syaikh Abdurrauf di dalam menuntut ilmu tidak ada ubahnya seperti adab dan tertib Syaikh Abdurrauf pula terhadap gurunya, Syaikh Aúmad al- QusyŒsy¥, yaitu mendukung dari tempat tinggalnya ke tempat mengajar, yaitu di Masjid, selain mendukung guru juga Burhanuddin menggembalakan ternak Syaikh Abdurrauf, yaitu kambing tiap-tiap hari dan lagi menggali tabat (kolam) ikan di sekeliling masjid…” (Amin 1993: 21; bandingkan dengan Ronkel 1914).

  Riwayat yang berkaitan dengan berapa lama Syaikh Burhanuddin Ulakan belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili agak simpang siur. Beberapa sumber di antaranya menyebutkan bahwa 4 Syaikh Burhanuddin Ulakan belajar di Aceh selama 13 tahun. Akan 5 tetapi, sumber-sumber lokal sendiri menyebut angka 30 tahun.

  Dalam hal ini, tidak mudah untuk memastikan angka yang paling mendekati kebenaran, apalagi beberapa angka tahun yang disebut dalam naskah-naskah lokal seringkali meragukan karena tidak sesuai dengan sumber-sumber sejarah lainnya. Dalam hal awal kedatangan Syaikh Burhanuddin dan keempat temannya ke Aceh misalnya, naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh

  Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau menceritakan: “...selamatlah perjalanan mereka sampai ke negeri Sinkil. Setelah tiba di Sinkil, didapatlah keterangan bahwa Syaikh Abdurrauf telah duduk mengajar di Sinkil telah setahun lamanya, yaitu dari tahun 1039 H …” (Amin 1993: 19).

  Dari kutipan di atas, diisyaratkan bahwa al-Sinkili kembali dari Haramayn pada tahun 1039 H/1629 M, padahal, beberapa sumber 3 lain menyebut bahwa al-Sinkili baru kembali pada tahun 1072

  

Selengkapnya tentang riwayat Syaikh Burhanuddin ketika belajar dengan Syaikh

4 Abdullah Arif, lihat Amin 1993.

  Hamka 1974: 148; Abdullah 1980: 54; Abdullah 1999: 37; Suryadi 2001: 74.

  ‹‹Œ 174

  Tarekat Sya riyyah

  H/1661 M, yakni setahun setelah gurunya, al-Qusy Œ sy ¥ , wafat (Rinkes 1909; Voorhoeve 1980; Azra 1994). Hal lain yang meragukan adalah keterangan yang menyebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin kembali ke Minangkabau pada tahun 1070 H/1659 M (Amin 1993: 37). Informasi ini jelas terbantahkan jika dapat dipastikan bahwa al- Sinkili baru kembali pada tahun 1072 H/1661 M seperti disebutkan di atas.

  Sesungguhnya, jika angka tahun 1039 H yang disebutkan dalam kutipan di atas diabaikan saja, dan lebih memperhatikan kalimat: “…setelah tiba di Sinkil, didapatlah keterangan bahwa Syaikh

  Abdurrauf telah duduk mengajar di Sinkil telah setahun lamanya …”

  dalam naskah tersebut di atas, maka —dengan mengasumsikan bahwa al-Sinkili tiba di Aceh dari Haramayn pada tahun 1072 H/1661 M— berarti Syaikh Burhanuddin mulai belajar dengan al- Sinkili pada tahun 1073 H/1662 M. Kemudian, tentang berapa lama Syaikh Burhanuddin belajar dengan al-Sinkili, barangkali patut diperhatikan apa yang dikemukakan Burhanuddin Daya bahwa Syaikh Burhanuddin pertama kali mendirikan suraunya pada tahun 1680 M (Daya 1990: 79). Artinya, ada rentang waktu sekitar 18 tahun sejak keberangkatan Syaikh Burhanuddin ke Aceh. Tentu saja, — sekali lagi— tidak mudah menentukan angka pasti lamanya Syaikh Burhanuddin belajar dengan al-Sinkili, tetapi diduga kuat kurang dari 30 tahun.

  Terlepas dari adanya beberapa ketidakjelasan menyangkut riwayat hidup dan riwayat pendidikannya, satu hal yang tidak diragukan adalah bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakan telah memainkan peran yang sangat penting dan menentukan dalam proses islamisasi di alam Minangkabau. Segera setelah kembali ke kampung halamannya, Syaikh Burhanuddin mendirikan surau

  Œ ‹

  Sya ‹‹Œ riyyah, sebuah lembaga pendidikan tradisional sejenis rib , di Tanjung Medan, yang saat itu segera termasyhur sebagai salah satu, 6 kalau tidak satu-satunya, pusat keilmuan Islam di wilayah ini.

  Surau Syaikh Burhanuddin ini pada mulanya diberi nama “Surau Batang Jelatang”, dan kini dikenal sebagai “Surau Gadang” (Yafas dkk. 1984: 129).

  Murid-murid Syaikh Burhanuddin Ulakan pun datang dari berbagai pelosok; di antara mereka banyak yang kemudian diangkat menjadi khalifah tarekat Sya ‹‹Œ riyyah, dan menyebarkannya di desa masing-masing melalui lembaga surau yang mereka dirikan pula.

  Di antara murid-murid Syaikh Burhanuddin Ulakan, empat orang di antaranya adalah sahabat-sahabatnya sendiri

  ‹‹Œ

Bab 7. Tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat 175

  ketika menuntut ilmu kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Konon, ketika Syaikh Burhanuddin diizinkan pulang oleh gurunya, al-Sinkili, keempat sahabatnya itu juga memohon izin kepada al-Sinkili untuk mengikuti Syaikh Burhanuddin. Saat itu al-Sinkili tidak memberikan izin karena mereka dianggap belum “lulus”, dan masih harus menyelesaikan pelajarannya. Akan tetapi, keempat sahabat Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut memaksa pulang, sehingga mereka berangkat dengan tanpa mendapat restu dari al-Sinkili.

  Kemudian, keempat sahabat Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut mencoba menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat di desanya masing-masing, yakni: Datuk Maruhun Panjang ke Padang Ganting Batusangkar, Syaikh Tarapang ke Kubung Tiga Belas Solok, Syaikh Mutanasir ke Koto Tangah Padang, dan Syaikh Buyung Muda ke Bayang Pulut-pulut Bandar Sepuluh. Ternyata, kedatangan mereka tidak disambut sebagaimana mestinya seorang guru tarekat, bahkan tidak sedikit masyarakat yang membencinya. Dalam naskah Inilah

  Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau

  diceritakan:

  “...Tetapi, entah oleh karena belum sepenuh hati guru melepasnya pulang ke kampung, maka setelah dicobanya menyiarkan agama Islam di kampung mereka masing-masing, tidak suka orang

mengikuti mereka, sehingga kebanyakan orang benci mendengarkan

perkataan mereka dan sangat benci melihat mereka…” (Amin 1993:

54; lihat juga Amin, Sejarah Ringkas Syaikh Surau Baru, h. 13 ).

  Sementara itu, pada saat yang sama, keempat orang ini menyaksikan sahabatnya, Syaikh Burhanuddin Ulakan, mendapatkan sambutan terhormat yang luar biasa besar dari masyarakat Tanjung Medan khususnya, dan masyarakat Minangkabau dari berbagai pelosok umumnya:

  “...penuntut sangat ramai berdatangan dari tiap-tiap nagari di Minangkabau ini. Orang yang datang itu bukan yang muda-muda

saja, tetapi juga yang tua-tua dan perempuan-perempuan…” (Amin

1993: 53-54).

  Akhirnya, keempat sahabat Syaikh Burhanuddin ini memutuskan untuk kembali menyempurnakan ilmunya kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Akan tetapi, setelah tiba di Aceh, al-Sinkili meminta agar mereka melanjutkan berguru kepada

  ‹‹Œ 176

  Tarekat Sya riyyah

  Burhanuddin Ulakan pun kemudian menerima mereka sebagai murid-muridnya, sekaligus pembantu-pembantunya dalam mengajarkan Islam, dengan corak tarekat Sya ‹‹Œ riyyah (Amin, Sejarah Ringkas , h. 15).

  Oleh Syaikh Burhanuddin, keempat sahabatnya ini tidak ditempatkan di Tanjung Medan, melainkan diberikan tempat tinggal dan mengajar tersendiri, yakni di suatu tempat yang di kemudian hari dikenal sebagai Ulakan, tempat di mana Syaikh Burhanuddin dimakamkan pada tahun 1111 H/1699 M, beberapa tahun setelah wafatnya Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh (Abdullah 1980: 57).

  Dengan kemasyhurannya sebagai seorang tokoh penyebar ajaran Islam, Syaikh Burhanuddin Ulakan memantapkan dirinya sebagai ulama Minangkabau paling penting menjelang akhir abad ke-17, di mana hampir semua ulama Minangkabau, termasuk mereka yang kemudian berbeda pendapat dan memilih jenis tarekat selain Sya ‹‹Œ riyyah, dari generasi berikutnya, belajar dan berguru kepadanya.

  Di antara murid Syaikh Burhanuddin Ulakan adalah seorang ulama besar di Padang Darat, Tuanku Nan Tuo Mansiangan, guru bagi Tuanku Nan Tuo di Cangking, Ampek Angkek, yang belakangan memilih mengembangkan tarekat Naqsybandiyyah dan 7 menjadi rival tarekat Sya ‹‹Œ riyyah di Ulakan. Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, sejauh menyangkut sejarah

  ‹‹Œ

  Islam di Minangkabau, “tarekat Ulakan”, yang Sya riyyah, dan “tarekat Cangking”, yang Naqsybandiyyah, mengalami pertentangan yang lumayan sengit, sehingga timbul kesan, seolah- olah ada dua macam Islam di Minangkabau: “Islam Ulakan”, dan 8

  “Islam Cangking”. Akan tetapi, yang ingin ditegaskan di sini adalah, betapa pun belakangan muncul pertentangan tersebut, keduanya tetap memiliki silsilah keilmuan dengan tarekatnya Syaikh Burhanuddin.

  Apalagi, berkaitan dengan Tuanku Nan Tuo di Cangking, kendati memilih untuk mengembangkan tarekat Naqsybandiyyah, ia, bersama-sama dengan ulama tarekat Sya ‹‹Œ riyyah lain, sangat giat mengkampanyekan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dan syariat. Melalui suraunya sendiri di Cangking, Ampat Angkat, Tuanku Nan Tuo meraih kemasyhurannya sebagai ulama syariat dan tasawuf. Karena keahliannya dalam dua aspek Islam ini, Tuanku Nan Tuo dilukiskan dalam Hikayat Jalaluddin sebagai

  ‹Œ Œ Œ

  “Sul n ‘ All h yang menjadi “pemimpin seluruh ulama 7  lim Auliy Lihat Schrieke 1973: Daya 1990: 180.

  ‹‹Œ

Bab 7. Tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat 177 Minangkabau yang termasuk golongan ahl al-sunnah wa al-

  9

  Œ jam ’ah ”. Pada masa berikutnya, perjuangan Tuanku Nan Tuo di

  Cangking ini dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yang bernama Fakih Shagir Jalaluddin, yang menulis naskah Hikayat

  Jalaluddin yang dikutip di atas.

  Kembali kepada Syaikh Burhanuddin Ulakan, hal lain yang penting ditegaskan adalah bahwa melalui institusi tarekat, dalam hal ini tarekat Sya ‹‹Œ riyyah, yang menjadi sarana Syaikh Burhanuddin Ulakan dalam mendakwahkan Islam, ajaran-ajaran Islam tampaknya lebih mudah diterima oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau. Hal ini sangat dimungkinkan karena, dalam dakwahnya, Islam tarekat lebih mengedepankan pentingnya kualitas spiritual dan

  © ¥

  penyucian batin (tah b al-nafs ) dibanding praktek dan ritual syariat, sehingga, di wilayah mana pun tarekat berkembang, masyarakat 10 yang menerima umumnya tidak menunjukkan penolakan keras. 11 Apalagi, dalam tarekat terdapat tradisi silsilah , yang menegaskan bahwa berbagai ajaran tarekat yang disampaikan, telah melalui mata rantai guru-murid yang terpercaya, dan silsilahnya bahkan sampai kepada Nabi Saw.

  Demikianlah, hingga saat ini, di Sumatra Barat —sebagaimana halnya juga dalam dunia tarekat di wilayah lain— ikatan silsilah dijadikan sebagai salah satu syarat jika seseorang ingin diakui menjadi seorang guru tarekat (mursyid), di samping beberapa syarat

  Œ

  lainnya seperti: sudah mendapat izin (ij zah ) dari gurunya, taat melaksanakan perintah Allah lahir dan batin, serta sabar dan rajin 12 mengikuti pengajian. Silsilah yang menghubungkan seorang guru tarekat Sya ‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat sampai kepada guru-gurunya dan bahkan sampai kepada Nabi ini, pada gilirannya memberikan keyakinan bahwa ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Syaikh Burhanuddin benar-benar dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya. Masyarakat Minangkabau bahkan meyakini bahwa, karena tarekat berasal dari Nabi, maka mengingkarinya adalah berarti mengingkari Nabi (Daya 1990: 177).

  

‹‹Œ

  Perkembangan tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat sendiri 9 tampaknya tidak dapat dipisahkan dari institusi surau, yang secara 10 Hikayat Jalal al-Din, h. 6-7 dalam Hollander (peny.) 1857. 11 Tentang hal ini, lihat Gilsenan 1973: 10.

  

Pengertian ‘silsilah’ dalam hal ini tidak merujuk pada hubungan kekeluargaan

(genealogy), melainkan pada hubungan keilmuan, guru-murid (lihat penjelasan dalam

Π12 daftar istilah; bandingkan juga dengan pengertian isn d ).

  ¥ Tentang syarat-syarat mur d selengkapnya, lihat Amin 1993: 127-128; Syarifuddin

  ‹‹Œ 178

  Tarekat Sya riyyah

  umum telah memainkan peran penting dalam proses transmisi 13 berbagai ilmu pengetahuan Islam. Dalam hal ini, Syaikh Burhanuddin —yang kemudian diikuti oleh para khalifah berikutnya— bisa dianggap berhasil dalam menyerap potensi lokal dengan memanfaatkan institusi surau, yang dalam masyarakat Minangkabau sejak awal telah berfungsi sebagai rumah tempat tinggal para pemuda setelah akil baligh, terpisah dari rumah keluarga yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak (Dobbin 1992: 142). Kendati sudah tidak berfungsi lagi sebagai pusat keilmuan Islam seperti pada awal perkembangannya, hingga kini, ribuan surau masih dapat dijumpai di Sumatra Barat. Khususnya di surau-surau tua yang pernah menjadi basis tarekat, biasanya dijumpai sejumlah kitab keagamaan, baik yang masih ditulis tangan (manuscripts) maupun kitab cetakan.

  ‹‹Œ

  Di surau inilah para khalifah tarekat Sya riyyah, mulai dari Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri, hingga murid-muridnya di berbagai pelosok di Sumatra Barat, membangun jaringan guru- murid sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan yang sangat kompleks, dan melibatkan banyak ulama lokal. Di bawah ini, penulis mencoba merekonstruksi silsilah tarekat Sya ‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat, yang didasarkan pada beberapa naskahnya, dan pada daftar silsilah yang dibuat oleh para ulama lokal tarekat Sya ‹‹Œ riyyah. Penting penulis kemukakan bahwa, sangat disayangkan, sebagian besar sumber-sumber yang ada tidak menyebutkan masa hidup dari nama-nama ulama yang terdapat

  ‹‹Œ

  dalam silsilah tarekat Sya riyyah ini, sehingga agak sulit untuk menguji kesahihan saling-silang hubungan guru-murid yang disebutkan.

  ‹‹Œ

  Khalifah tarekat Sya riyyah setelah Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri tampaknya berjumlah puluhan, sehingga tidak mengherankan jika silsilah tarekat yang berkembang hingga saat ini bisa melalui jalur yang berbeda-beda. Selain itu, sumber-sumber lokal pun ternyata menyebutkan sejumlah nama khalifah yang urut- urutannya agak berbeda satu dengan yang lain (Yafas dkk.1984: 130). Khalifah-khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut, beberapa di antaranya —seperti disebutkan dalam naskah Muballigul Islam (h.

  216-218)— melanjutkan kepemimpinan Syaikh Burhanuddin di 13 surau Tanjung Medan, Ulakan. Mereka adalah:

  

Selengkapnya tentang surau, menyangkut pasang surut dan peranannya dalam

proses islamisasi di Minangkabau, lihat Azra 1988 dan 2003; Mulyani 1997; untuk

pembahasan tentang surau, kaitannya dengan kegiatan ekonomi di Minangkabau,

  ‹‹Œ

Bab 7. Tarekat Sya riyyah di Sumatra Barat 179 1. Syaikh Abdurrahman sebagai khalifah pertama, kemudian

  dilanjutkan secara berturut-turut oleh 2. Syaikh Khairuddin; 3. Syaikh Jalaluddin; 4. Syaikh Idris, yang konon juga merupakan kawan dekat

  Syaikh Burhanuddin sendiri ketika belajar dengan Syaikh Madinah di Air Sirah Tapakis; 5. Syaikh Abdul Muhsin, yaitu Tuanku Tapi Pasang yang tinggal di surau Tangah Padang;

  6. Syaikh Habibullah. Pada masa ini, di Tanjung Medan Ulakan terdapat tiga khalifah yang menjadi pimpinan di surau Tanjung Medan, yakni: Syaikh Habibullah sendiri, Syaikh Khalidin, yang dikenal dengan sebutan Tuanku nan Hitam, dan Tuanku Fakih Mansur. Ketiga ulama ini merupakan murid langsung dari Syaikh Abdul Muhsin;

  7. Syaikh Ahmad Qasim; 8.

  Tuanku Tibaru nan Tuo; 9. Syaikh Abdul Jalil, cucu dari Tuanku Tibaru nan Tuo. Susunan dan urutan khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan di atas sedikit berbeda dengan susunan yang disebutkan dalam sebuah buku kecil berjudul Petunjuk ziarah ke Maqam Syaikh Burhanuddin

Ulakan yang disusun oleh Yayasan Raudhatul Hikmah Jakarta.

  Dalam buku —yang juga menyertakan informasi tentang masa kepemimpinan masing-masing khalifah— ini disebutkan bahwa susunan dan urutan khalifah Syaikh Burhanuddin yang menjadi pimpinan di Ulakan adalah:

  1. Syaikh Muhammad Idris bin Salim, yang menjadi khalifah mulai dari tahun 1111 H/1699 M sampai 1126 H/1714 M;

  2. Syaikh Abdurrahman bin Abdurrahim (1126 H/1714 M- 1137 H/1724 M);

  3. Syaikh Kaharuddin (1137 H/1724 M-1146 H/1733 M) (dalam daftar di atas, tertulis Syaikh Khairuddin); 4. Syaikh Jalaluddin (1146 H/1733 M-1161 H/1748 M) 5. Syaikh Abdul Muhsin Tuanku Faqih (1161 H/1748 M- 1180 H/1766 M);

  6. Syaikh Abdul Hasan bin Husin (1180 H/1766 M-1194 H/1780 M); 7. Syaikh Khaliluddin bin Khalid (1194 H/1780 M-1211

  H/1796 M); 8. Syaikh Habibullah bin Alif (1211 H/1796 M-1231 H/1815

  M); 9. Syaikh Tuanku Qusya’i (1231 H/1815 M-1248 H/1832 M)

  Tarekat Sya ‹‹Œ

  180 riyyah 10.

  Syaikh Tuanku Ja’far bin Muhammad (1248 H/1832 M- 1280 H/1863 M)

  11. Syaikh Tuanku Muhammad Sani (1280 H/1863 M-1311 H/1893 M); 12. Syaikh Tuanku Busai (1311 H/1893 M-1366 H/1948 M); dan

  13. Syaikh Tuanku Barmawi (mulai 1366 H/1948 M sampai sekarang). Selain dua sumber di atas, di kalangan penganut tarekat

  Sya ‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat, juga beredar sebuah susunan silsilah yang disusun oleh tiga orang ulama tua tarekat Sya

  ‹‹Œ