KONSEPSI DAN STRATEGI JAMINAN SOSIAL
JAMINAN SOSIAL (Bagian satu)
KONSEPSI DAN STRATEGI JAMINAN SOSIAL
OLEH: EDI SUHARTO, PhD
Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia yang terpuruk memberi pesan jelas bahwa pembangunan di Indonesia masih belum mampu merespon masalah sosial secara mendasar dan tuntas. HDI yang diukur melalui tiga variabel utama (daya beli ekonomi, tingkat melek hurup dan harapan hidup) sangat ditentukan oleh besar dan komplesitas masalah sosial. Sebagai ilustrasi, jumlah penduduk miskin yang besar, yang pada tahun 2002 diperkirakan mencapai 35 juta jiwa atau sekitar 18 persen dari total penduduk Indonesia (BPS dan Depsos, 2002) merupakan pintu masuk bagi persoalan sosial lain yang akan terus berkembang, seperti tingginya angka putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, kematian ibu, rumah kumuh, kriminalitas dll. Pada gilirannya, masalah sosial tersebut akan menjadi “masukan buruk” (bad/negative inputs) bagi IPM Indonesia.
Meskipun sejak Orde Baru upaya-upaya penanggulangan masalah sosial terus dilakukan, pendekatan yang digunakan masih bersifat tambal sulam (ad-hoc), tidak terpadu dan tidak berkelanjutan. Kebijakan dan program anti kemiskinan, misalnya, masih berorientasi proyek yang bertumpu pada strategi “cium dan lari” (kiss and run). Artinya, kemiskinan ditangani secara parsial dengan skema dan cakupan geogarfis yang sangat terbatas. Model pendekatan seperti ini tidak akan pernah tuntas memberantas kemiskinan, karena strateginya tidak diarahkan untuk menggusur problema kemiskinan (eradicating poverty), melainkan menggusur si miskin (eradicating the poor). Penanganan kemiskinan tidak akan pernah efektif dengan hanya menyentuh si miskinnya saja. Kemiskinan adalah produk struktural dari sebuah sistem yang saling terkait, yakni sistem ekonomi (pertumbuhan dan pemerataan pendapatan nasional), pendidikan (pemberdayaan dan pengembangan SDM) dan jaminan sosial (bantuan sosial dan asuransi sosial). Strategi pembangunan nasional selama ini masih berkutat pada bagaimana membangun sistem ekonomi agar tumbuh setinggi mungkin, dan belum diarahkan secara sungguh-sungguh untuk membangun sistem jaminan sosial yang kuat. Akibatnya, selain Indonesia terus dihadang permasalahan sosial yang semakin kompleks, keberhasilan di bidang ekonomi ternyata sangat rentan terhadap goncangan. Indonesia memerlukan pendekatan pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan pula berorientasi pada aspek perlindungan sosial.
Jaminan sosial pada hakikatnya merupakan strategi perlindungan guna menopang dan menjaga kestabilan ekonomi. Komitmen internasional dan nasional sangat menekankan pentingnya jaminan sosial, terutama sebagai strategi penanganan kemiskinan secara sistemik, melembaga dan terpadu.
DIMENSI JAMINAN SOSIAL
Kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah dua isu sentral dalam wacana perumusan dan pengembangan kebijakan sosial (social policy). Dalam literatur pekerjaan sosial (social work), jaminan sosial (social security) merupakan salah satu jenis kebijakan sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat. Setiap negara memiliki definisi, sistem, dan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, dan karenanya, memiliki sistem dan strategi jaminan sosial yang berbeda pula. Jaminan sosial umumnya diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk tunjangan pendapatan secara langsung (income support) yang terkait erat dengan kebijakan perpajakan dan pemeliharaan pendapatan (taxation and income-maintenance policies). Namun demikian, jaminan sosial kerap meliputi pula berbagai skema peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan (lihat Huttman, 1981;; Gilbert dan Specht, 1986;; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Jaminan sosial yang berbentuk tunjangan pendapatan dapat disebut benefits in cash, sedangkan yang berwujud bantuan barang atau pelayanan sosial sering disebut benefits in kind (Shannon, 1991;; Hill, 1996;; MHLW, 1999).
Kata “Jaminan sosial” berasal dari kata social dan security. Security diambil dari Bahasa Latin “se- curus” yang bermakna “se” (pembebasan atau liberation) dan “curus” yang berarti (kesulitan atau uneasiness). Sementara itu, kata “social” menunjuk pada istilah masyarakat atau orang banyak (society). Dengan demikian, jaminan sosial secara harafiah adalah “pembebasan kesulitan
Jaminan sosial (social security) dapat didefinisikan sebagai sistem pemberian uang dan/atau pelayanan sosial guna melindungi seseorang dari resiko tidak memiliki atau kehilangan pendapatan akibat kecelakaan, kecacatan, sakit, menganggur, kehamilan, masa tua, dan kematian. Spicker (1995) dan MHLW (1999), memberi batasan dan penjelasan mengenai jaminan sosial sebagai berikut:
The term “social security” is mainly now related to financial assistance, but the general sense of
the term is much wider, and it is still used in many countries to refer to provisions for health care
as well as income. Although the benefits of security are not themselves material, they do have
monetary value;; people in Britain, where there is a National Health Service, are receiving support
which people in the US have to pay for through private insurance or a Health Maintenance
Organisation (Spicker, 1995:60).Social security systems mean the systems to enable every citizen to lead a worthy life as a
member of cultured society. Social security systems provide countermeasures against the causes
for needy circumstances including illness, injury, childbirth, disablement, death, old age,
unemployment and having a lot of children by implementing economic security measures through
insurance or by direct public spending (MHLW, 1999:2).
NEGARA KESEJAHTERAAN
Jaminan sosial merupakan istilah “baru” yang lahir pada Abad 20. Sistem ini pertama-tama diterapkan sebagai alternatif untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial akibat krisis ekonomi dan untuk mengubah kapitalisme agar menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism) (Spicker, 1995;; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998;; MHLW, 1999;; Suharto, 2001a;; 2001b;; 2001c;; 2002a). Di AS, istilah jaminan sosial mula-mula muncul dalam The Social Security Act yang disahkan tahun 1935 untuk mengatasi masalah pengangguran, sakit, kesejahteraan manula dan anak-anak sebagai dampak dari the Great Depression yang melanda dunia saat itu. Di negara Paman Sam ini, jaminan sosial pertama kali merujuk pada istilah “jaminan ekonomi” (economic security). Namun karena konsep ini memiliki makna yang sempit, maka diubah menjadi “social security” mengikuti konsep “asuransi sosial” (social insurance) yang telah diterapkan di Eropa Barat sebelumnya. Jaminan sosial merupakan komitmen dan piranti negara dalam mewujudkan keadilan sosial melalui mekanisme income transfer atau redistribusi pendapatan (Spicker, 1995). Misalnya, sejalan dengan kebijakan full-employment, warga negara yang belum (anak-anak), tidak dapat (cacat, masa tua), sedang tidak (temporary unemployed) bekerja mendapat social benefits dari pemerintah. Dalam literatur maupun praktik di negara maju dan berkembang, jaminan sosial ini umumnya diselenggarakan secara terstandar melalui mekanisme dan sistem jaminan sosial nasional di bawah otoritas Ministry of Social Welfare (atau yang sejenis). Di negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia dan Norwegia), Eropa Barat, Australia, New Zealand, dan AS sistem jaminan sosial merupakan cerminan dari komitmen negara menjalankan sistem welfare state (negara berperan besar dalam menjalankan usaha kesejahteraan sosial) dengan segala varian dan modelnya. Pembangunan ekonomi dan sosial yang kuat serta sistem perpajakan yang menjangkau hampir semua warga negara, transparan, dan accountable memungkinkan negara-negara ini menjalankan sistem jaminan sosial yang bersifat (mendekati model) universal dan institusional (Cheyne et al.1998;; Pierson,1991). Di Selandia Baru, misalnya, penerapan jaminan sosial dipelopori oleh Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang kemudian menjadi Perdana Menteri tahun 1935. Savage kemudian mengintegrasikan jaminan sosial ini dengan sistem negara kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Menurut Bassett, Sinclair dan Stenson (1995), penerapan sistem jaminan sosial di Selandia Baru telah mampu mengeluarkan negara ini dari krisis ekonomi serius tahun 1930an dan menjadikannya salah satu negara termakmur di dunia dengan kesenjangan sosial yang relatif kecil.
The main achievement of Savage’s government was to improve the lives of ordinary families. They
did this so completely that New Zealanders change their ideas about what an average level of
comfort and security should be (Bassett, Sinclair and Stenson, 1995:171).Situasi negara-negara berkembang yang khas dan fenomena pembangunan sosial ekonomi yang relatif masih lemah (i.e. tidak visionaris, penuh KKN) membuat pemerintah tidak mampu sepenuhnya menjalankan welfare state. Mekanisme asuransi sosial dan bantuan sosial sebagai dua bentuk jaminan sosial, karenanya, harus dilaksanakan berdasarkan ide welfare pluralism
Di Indonesia, pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 merupakan landasan ideologi yang kuat bahwa negara ini menganut welfare state. Namun, karena visi pemimpin bangsa yang belum jelas mengenai konsep ini, sistem perpajakan yang belum menunjang, hegemoni kaum globalist yang mengedepankan nilai liberalism dan capitalism, serta kondisi perekonomian yang volatile, praktik welfare state di Indonesia mengejawantah dalam bentuk “pembangunan kesejahteraan sosial” yang mendekati konsep welfare pluralism. Dalam konteks ini, dapat dijelaskan bahwa selain tidak ada satu pun negara di jagat raya ini yang menganut welfare society (usaha kesejahteraan sosial sepenuhnya dilakukan oleh, atau diserahkan kepada, masyarakat), negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan sendirinya juga tidak menganut atau sedang menjadi welfare society. Melainkan masih menganut sistem welfare state dengan varian baru, yakni participatory atau contributory welfare state yang merujuk pada konsep welfare pluralism.
PRINSIP UTAMA
Alasan utama yang melandasi mengapa jaminan sosial perlu diberikan kepada warga negara adalah karena selain jaminan sosial dapat melindungi warganya dari resiko-resiko yang tidak terduga, juga karena jaminan sosial secara ekonomi maupun sosial tidak merugikan baik kepada penyelenggara maupun penerima pelayanan. Jaminan sosial bukanlah pengeluaran publik yang sia-sia.Melainkan sebuah bentuk investasi sosial yang menguntungkan dalam jangka panjang yang dilandasi oleh dua pilar utama, yakni redistribusi pendapatan dan solidaritas sosial (Spicker, 1995:58-60). Dua prinsip ini menjelaskan bagaimana mekanisme jaminan sosial bekerja. Misalnya, bagaimana peredaran uang berputar diantara anggota atau peserta jaminan sosial sehingga terjadi mekanisme saling melindungi diantara mereka yang pada gilirannya menjadi sebuah investasi sosial yang memberi kontribusi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas hidup negara-bangsa secara berkelanjutan. 1. Redistribusi pendapatan dapat berbentuk vertikal dan horisontal.
a. Redistribusi vertikal menunjuk pada transfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Di sini, jaminan sosial merupakan bentuk dukungan warga masyarakat yang kuat kepada warga masyarakat yang lemah secara ekonomi.
b. Redistribusi horisontal adalah transfer uang “antar-kelompok”, yaitu dari kelompok satu ke kelompok lain. Misalnya, dari laki-laki ke perempuan, dari orang dewasa kepada anak- anak, dari remaja ke orang tua. Redistribusi horisontal dapat pula bersifat “antar-pribadi”, yakni dari satu siklus kehidupan seseorang ke siklus lainnya (from one part of an individual’s life-cycle to another) yang oleh Spicker (1995:60) disebut sebagai “income smoothing”. Dalam konteks ini, Spicker menjelaskan bahwa jaminan sosial pada hakekatnya adalah dukungan finansial yang diberikan kepada anak-anak yang kelak membayar manakala dewasa;; yang diberikan kepada orang sakit yang membayar manakala sehat;; atau yang diberikan kepada para pensiunan yang telah membayar pada saat mereka masih bekerja.
2. Solidaritas sosial dapat berbentuk dukungan yang saling menguntungkan atau gotong royong (mutual aid) dan aksi kolektif: a. Dukungan yang saling menguntungkan menunjuk pada ide diversification of risks dimana setiap anggota masyarakat atau organisasi setuju untuk berbagi resiko dan tanggungjawab menghadapi ketidakpastian yang mungkin dialami di masa depan (Spicker, 1995;; MHLW, 1999).
b. Aksi kolektif menunjuk pada ide “fraternity” yang melihat bahwa usaha kesejahteraan sosial merupakan tanggungjawab bersama seluruh anggota masyarakat. Jaminan sosial merupakan bentuk solidaritas sosial kepada anggota masyarakat, terutama kelompok lemah atau rentan (vulnerable groups). Negara adalah representasi masyarakat yang bertanggungjawab membantu kelompok ini, yang karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil (Suharto, 2001a;; 2001b;; 2001c;; 2002).
PARADIGMA: TEORI, MODEL DAN DEBAT
Pandangan mengenai pentingnya jaminan sosial didasari oleh perspektif teoretis dan keputusan normatif mengenai bagaimana pendapatan harus didistribusikan dan peranan apa yang harus dilakukan oleh negara, keluarga, individu, dan pasar dalam menjamin bahwa seseorang memiliki pendapatan yang layak atau adekwat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks ini, maka fungsi jaminan sosial dapat dipilah menjadi dua spektrum sebagaimana dijelaskan oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998:176):
1. As a system of state financial support that is paid to those persons who are not provided for adequately by the market.
2. As a system of state financial support paid to those persons who are unable to secure adequately. Pada pengertian pertama, tunjangan finansial negara diberikan terhadap warga negara dikarenakan kegagalan pasar dalam menyediakan sumber-sumber pendapatan (lapangan pekerjaan). Pada pengertian kedua, bantuan negara diberikan terhadap orang yang karena sesuatu sebab (cacat, hamil, sakit) tidak mampu memperoleh pendapatan sebagaimana telah disediakan oleh pasar. Apabila dipolakan secara tajam, kedua pengertian di atas sangat dipengaruhi oleh dua paradigma neo-liberal dan demokrat sosial yang memandang kemiskinan dari kacamata individual dan struktural. Pandangan ini kemudian menjadi basis perumusan jaminan sosial serta pendekatan- pendekatannya (lihat Tabel 1). Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo- liberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998:72) disebut sebagai ide yang mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in the economy.” Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa jaminan sosial harus disediakan oleh kelompok-kelompok swadaya, lembaga-lembaga keagamaan atau oleh keluarga. Peran negara hanyalah sebagai “agen residual” atau “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Shannon, 1991;; Spicker, 1995;; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Meskipun secara teoretis kaum neo-liberal menolak tanggungjawab negara dalam usaha kesejahteraan sosial, dalam praktiknya mereka hanya mengusulkan penyesuaian kembali program- program kesejahteraan sosial, ketimbang menghapuskannya sama sekali. Berpijak pada public- choice theory, agency theory, dan transaction-cost theory, mereka pada intinya ingin mengganti pengaruh para politisi dan kelompok-kelompok kepentingan dalam pembuatan kebijakan, dengan keputusan-keputusan yang berdasarkan kepentingan konsumen sejalan dengan prinsip ekonomi pasar bebas. Penerapan program-program structural adjustment di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam bidang kesejahteraan sosial ini. Keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar yang secara alamiah dianggap mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum demokrat sosial. Berpijak pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels, pendukung demokrat sosial menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation… a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998: 91 dan 97).
Teori demokrat sosial berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan majemen ekonomi Keynesian. Teori ini muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian ini. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum demokrat sosial tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of capitalism,” demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998:79). Pendukung demokrat sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar;; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Jaminan sosial, menurut pandangan demokrat sosial, dapat meningkatkan kebebasan karena ia dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan jaminan sosial dasar dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.
MEKANISME JAMINAN SOSIAL
Sistem jaminan sosial secara garis besar mengikuti dua metode, yaitu asuransi sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance) (MHLW, 1999). Asuransi sosial adalah jaminan sosial yang diberikan kepada para peserta asuransi berdasarkan premi yang dibayarkannya. Sistem asuransi kesehatan dan pensiun adalah dua bentuk asuransi sosial yang umum diterapkan di banyak negara. Bantuan sosial adalah jaminan sosial yang umumnya diberikan kepada kelompok lemah dalam masyarakat yang meskipun tidak membayar premi tetapi dapat memperoleh tunjangan pendapatan atau pelayanan sosial. Program-program kesejahteraan sosial bagi anak-anak, penyandang cacat, lanjut usia merupakan beberapa contoh bantuan sosial.
Baik jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial maupun bantuan sosial, secara umum dikelola dengan mengikuti strategi dasar di bawah ini :
1. Universal dan selektifitas. Jaminan sosial yang bersifat universal diberikan secara menyeluruh kepada semua warga negara. Sedangkan jaminan sosial selektifitas hanya diberikan kepada kelompok tertentu saja melalui pentargetan (selektifitas), misalnya kelompok miskin.
2. In-cash dan in-kind. In-cash menunjuk pada jenis manfaat atau tunjangan dalam jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk uang (income transfer). Sedangkan in-kind adalah jenis manfaat jaminan sosial yang berbentuk barang atau pelayanan sosial (benefits in kind).
3. Publik dan swasta. Jaminan sosial dapat diselenggarakan oleh negara (publik) atau oleh lembaga-lembaga swasta yang umumnya berbentuk Perseroan Terbatas. Asuransi Sosial dan Bantuan Sosial Jaminan sosial dapat diberikan melalui melalui sistem asuransi sosial yang didanai oleh premi asuransi maupun melalui bantuan sosial yang dananya diperoleh dari pendapatan pajak. Asuransi sosial ditetapkan berdasarkan insurance expertise. Pemberian manfaat asuransi diperhitungkan berdasarkan premi asuransi. Secara prinsip, pemerintah nasional (pusat) bersama dengan lembaga- lembaga publik lainnya menjadi penyelenggara asuransi sosial. Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib (obligatory). Sistem asuransi medis dan asuransi pensiun adalah dua tipe asuransi sosial yang sangat luas dikenal. Bantuan sosial tidak ditetapkan berdasarkan insurance expertis. Manfaat bantuan sosial diberikan berdasarkan dana yang dihimpun dari pendapatan pajak. Pemerintah pusat dan daerah memberikan uang atau pelayanan sosial kepada penduduk sebagai bentuk kepedulian atau kewajiban negara terhadap pemenuhan hak-hak dasar warganya. Sistem bantuan publik adalah sebuah contoh tipikal dari bantuan sosial. Disamping program-program kesejahteraan sosial untuk anak-anak, orang dengan kecacatan (ODK), dan orang lanjut usia;; bantuan sosial juga meliputi tunjangan untuk keluaga (umumnya keluarga tunggal atau tidak mampu) yang memiliki tanggungan anak dan pensiun kesejahteraan (welfare pension). Di Amerika Serikat, salah satu bentuk bantuan sosial yang terkenal adalaf AFDC (Aid for Families with Dependent Children) yang kini berubah menjadi TANF (Temporary Assistance for Needy Families) (Chambers, 2000). Dalam mendesain mekanisme jaminan sosial, penentuan tipe sistem, apakah akan berbentuk asuransi sosial atau bantuan sosial, sangat tergantung pada tujuan dan isi dari sistem tersebut, serta perubahan-perubahan historis dalam lingkungan negara yang bersangkutan. Di seluruh dunia, sistem jaminan medis (medical security) dan jaminan pendapatan orang lanjut usia (old-age income security) umumnya diberikan dalam bentuk asuransi sosial, seperti asuransi medis dan asuransi pensiun. Laporan Beveridge yang dipublikasikan di Inggris tahun 1942 bukan saja memberikan dasar bagi perancangan sistem jaminan sosial di Inggris, melainkan pula menjadi referensi utama bagi negara- negara kesejahteraan termasuk Amerika Serikat dan Eropa Barat. Laporan tersebut mengajukan asuransi sosial sebagai bentuk jaminan sosial yang utama dan sebagai pendamping sistem bantuan publik dan program-program asuransi swasta. Berdasarkan laporan tersebut, setiap warga negara wajib memberikan premi yang sama dan menerima manfaat yang sama pula. Sistem tersebut kemudian dilembagakan berdasarkan UU Asuransi Nasional. Dinyatakan bahwa asuransi sosial, yang perlu diberikan secara universal kepada mereka yang mampu memberikan kontribusi sejumlah uang (premi), dianggap lebih tepat diberikan kepada individu-individu merdeka daripada bantuan sosial yang mensyaratkan ‘penelitian status’ dan seringkali memuat stigma. Di Jepang, sebuah laporan yang dibuat oleh Dewan Penasihat Jaminan Sosial pada tahun 1950 juga sangat dipengaruhi oleh Laporan Beveridge di atas. Dalam laporan itu, Dewan Penasihat mengajukan Sistem Jaminan Sosial Jepang kepada pemerintah pusat. Dewan mengajukan bahwa pemerintah tidak boleh menghalangi orang untuk melaksanakan tanggungjawabnya, dan bahwa inti jaminan sosial harus berbentuk asuransi sosial yang mengharuskan peserta turut membayar biaya- biaya untuk menjaga kelangsungan sistem tersebut. Dalam laporan yang dibuat tahun 1995, Dewan lagi-lagi menekankan pentingnya sistem asuransi sosial. Hasilnya adalah bahwa Sistem Jaminan Sosial Jepang dikembangkan berdasarkan sistem asuransi sosial. Kenyataannya, sekitar 90% dari pengeluaran untuk jaminan sosial dibayar melalui atau untuk keperluan asuransi sosial (MHLW, 1999).
Secara umum, asuransi adalah sebuah sistem untuk sekelompok orang guna melindungi resiko- resiko yang mungkin terjadi pada mereka. Sejumlah orang yang dianggap memiliki suatu resiko serupa membentuk sebuah kelompok, dan masing-masing anggota kelompok tersebut membayar premi sebagai prasyarat memperoleh manfaat manakala menghadapi kecelakaan atau resiko di masa depan. Jika seseorang mengalami kecelakaan, misalnya, orang tersebut menerima manfaat asuransi dari akumulasi premi sebagai pengganti atau kompensasi terhadap resiko yang dialaminya. Agar sistem asuransi sosial berjalan secara efektif, ‘hukum bilangan banyak’ (the law of large numbers) harus dipenuhi, artinya: sejumlah orang harus berkelompok dan harus ada probabilitas tertentu berkenaan dengan kecelakaan-kecelakaan atau resiko-resiko yang bakal terjadi. Disamping perhitungan mengenai premi, sistem asuransi sosial harus didasarkan pada dua prinsip berikut ini (MHLW, 1999) :
1. Jumlah total premi yang harus dibayar oleh peserta kepada penyelenggara harus sama dengan jumlah total uang pertanggungan (insurance money) yang harus dibayar penyelenggara kepada peserta.
2. Tingkat premi asuransi yang harus dibayar oleh para peserta harus ditentukan berdasarkan resiko-resiko yang harus di-cover serta jumlah uang pertanggungan yang mungkin dibaya kepada peserta tersebut.
Asuransi sosial memiliki kelebihan:
1. Peserta memiliki hak untuk menerima manfaat (mengajukan klaim) sebagai balasan atas premi yang dia bayar. Hak tersebut lebih kuat daripada hak yang diberikan oleh sistem bantuan sosial.
2. Berkaitan dengan sumber-sumber pendanaan, beban pembiayaan lebih mudah diterima secara logis, karena beban asuransi dan tingkat manfaat (pertanggungan) berhubungan erat. Ini berbeda dengan sistem bantuan sosial yang mengandalkan pajak dengan mana antara pembayar dan penerima seringkali tidak berkaitan.