BAB III KARAKTERISTIK PEMISAHAN BERKAS PERKARA ( SPLITSING ) YANG DILAKUKAN OLEH PENUNTUT UMUM 3.1. Syarat Pemisahan Berkas Perkara - PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF Repository - UNAIR REPOSITORY

  Surat dakwaan merupakan dasar dan penentu arah pemeriksaan dalam persidangan.Dalam bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pemisahan berkas perkara (Splitsing) dan penggabungan berkas perkara (Voeging) yang dapat dilakukan oleh Penuntut Umum (PU).Penuntut Umum (PU) dapat melakukan pemisahan atau penggabungan berkas perkara dalam proses pra-penuntutan ataupun pada proses penuntutan demi kelancaran proses persidangan.

  Pertimbangan Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas perkara berpedoman pada pasal 142 KUHAP.Dalam Pasal 142 KUHAP memberikan wewenang kepada Penuntut Umum (PU) untuk melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara.

  Menurut Siswoyo mantan Direktur III Jamintel Kejaksaan Agung RI yang pernah menjabat sebagai Kajati Gorontalo, “Dalam penyusunan surat dakwaan, pemisahan berkas perkara (Splitsing) merupakan hak absolut Penuntut Umum

  (PU).Penuntut Umum (PU) dapat melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) bilamana terdapat beberapa tindak pidana yang melibatkan beberapa orang pelaku.Poinnya adalah beberapa perbuatan yang dilakukan beberapa pelaku.

  59 Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa berbeda. Selain

  96

  eran masing-masing pelaku,bisa juga dilihat dari locusny a”jelasnya.

  Menurut M. Yahya Harahap, pakar hukum acara, pemisahan berkas perkara bukan tren yang muncul belakangan. Sejak zaman HIR, itu sudah lazim dipraktekkan di pengadilan. Pada masa lalu, tujuan memecah perkara itu terkait karena kurangnya saksi. Sehingga untuk mencukupi saksi sebagai alat bukti,

  97 berkas dipecah.

  Pada prinsipnya dalam KUHAP terdapat asas-asas yang menjadi acuan kebenaran atau ajaran dari kaidah-kaidah salah satunya adalah asas

  fair,impartial,impersonal, and objective yaitu peradilan cepat, sederhana, dan

  biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam semua tingkat peradilan di Indonesia.

  Sehingga dapat menimbulkan polemik antara pemisahan berkas perkara (Splitsing) demi kepentingan pemeriksaan di muka persidangan dengan asas fair,

  impartial, impersonal and objective yaitu peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak.

  Batasan-batasan mana yang menjadi standar Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan sedekat mungkin didiskripsikan oleh penulis sehingga mendapatkan kebenaran yang materiil dalam penerapan pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU). 96 Wawancara dengan Direktur III Jamintel Kejaksaan Agung RI,Jakarta,Tgl. 16 Oktober 2014. 97 Tidak ada nama penulis, dikunjungi pada tanggal 8 Oktober 2014.

  Ketentuan syarat dan karakteristik pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU) tidak diatur secara rigid dalam peraturan perundang- undangan.Hanya diatur landasan kewenangan Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas perkara (Splitising).

  Sumber hukum di Indonesia dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu sumber hukum dalam arti formal dan sumber dalam arti materiil.Menurut Saut P.Panjaitan sumber hukum dalam arti formal adalah prosedur atau tata cara pembentukan hukum atau melihat kepada bentuk lahiriah dari suatu hukum, yang dapat

  98

  dibedakan kepada hukum tertulis dan tidak tertulis,diantaranya : 1. Perundang-undangan.

  2. Yurisprudensi.

  3. Traktat/perjanjian.

  4. Doktrin.

  5. Kebiasaan. Apabila tidak diatur dalam perundang-undangan maka dapat menjadi sumber pertimbangan adalah sumber hukum lain.Dalam pemisahan berkas perkara (Splitising) dikarenakan di dalam perundang-undangan tidak diatur secara jelas karakteristik dan tolok ukur kejaksaan melakukan pemisahan berkas perkara (Splitising) maka mengacu pada Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik

  Indonesia No. B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, yang menyatakan :

  Dalam praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap 98 terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat Moh. Saleh, Sumber

  • – Sumber Hukum(Dalam Slide PPT),

    Tahun 2012 , h.4, dikunjungi pada tanggal 11 Oktober 2014.

  minim. Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya, hanya berlaku untuk dirinya sendiri, oleh karena itu dengan berpedoman pada pasal 142 KUHAP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya. Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini masih mengakui saksi Mahkota sebagai alat bukti, misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 1986K/Pid/1 989 tanggal 2 Maret 1990 menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang- undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi di persidangan, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian. Satu-satunya putusan Pengadilan yang menolak saksi mahkota sebagai alat bukti adalah Putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan Marsinah, yang menyatakan “saksi mahkota bertentangan dengan hukum” (Putusan Mahkamah Agung No. 1174K/Pid/1994, 381K/Pid/1994, 1592 K/Pid/1994 dan 1706 K/Pid/1994). Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hakim yang menjadikan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan terhadap Marsinah tersebut sebagai dasar putusannya, maka dalam menggunakan saksi mahkota, supaya sedapat

  99 mungkin diupayakan juga tambahan alat bukti lain.

  Dari melihat Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia No. B- 69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu tujuan berkas di Split oleh Penuntut Umum (PU) adalah memunculkan alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota (kroon getuide) yang merupakan tersangka dalam berkas terpisah.

  Pengaturan mengenai saksi mahkota tidak dapat ditemukan di dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain.Saksi mahkota dapat ditemukan definisinya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437

  K/Pid.Sus/2011, yang menyatakan: “Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya 99 Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia No. B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.

  yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota

  Penggunaan saksi mahkota diizinkan dalam keadaan terjadi penyertaan (deelneming), alat bukti sangat minim, dan harus diadakan pemisahan berkas perkara.Ketiga keadaan tersebut harus dirumuskan secara komulatif.Keadaan satu saling terikat dengan keadaan lain.Mengacu Pasal 142 KUHAP, pemisahan perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang berbeda. Namun dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama.

  Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU) dapat dilakukan dalam hal tindak pidana yang terjadi merupakan penyertaan (deelneming) yang dilakukan beberapa orang tersangka dengan peran masing-masing terdakwa berbedadan alat bukti yang ditemukan sangat minim sehingga menghambat jalannya acara pembuktian yang akan memunculkan saksi sekaligus tersangka dalam berkas terpisah yang biasa dikenal dengan sebutan saksi mahkota (kroon

  getuide ).Sarat tersebut bersifat komulatif mengingat pemisahan berkas perkara

  (Splitsing) merupakan hak absolut Penuntut Umum (PU).Pemecahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit diketemukan sehingga satu-satunya jalan adalah mengajukan sesama tersangka sebagai saksi

  100

  terhadap tersangka lainnya. Namun pada dasarnya penggunaan saksi mahkota 100 Hari Sasangka,Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit.,h.120-121. ini masih dalam perdebatan dikalangan praktisi tentang penerapannya.Selain itu pemisahan dapat dilakukan jika terdapat beberapa tindak pidana serta dapat dilihat pula locus delicti dan tempus delictinya.

  Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan dalam hal kurangnya alat bukti,yang merupakan beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku.Dalam pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan memunculkan saksi yang mana sebagai pelaku dalam tindak pidana tersebut.Dengan adanya saksi dalam berkas terpisah, akan bertujuan memunculkan alat bukti baru sehingga tindak pidana yang didakwakan akan terang dan jelas.

  Dalam hal tindak pidana yang dilakukan tidak sederhana akan menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam menyusun surat dakwaan maka lebih dengan dilakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) akan lebih efektif dan dapat dipetakan tindak pidana dan peran masing masing pelaku.

  Pemecahan berkas perkara (splitsing)yang dilakukan Penuntut Umum (PU) sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit ditemukan sehingga satu-satunya jalan adalah mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya.

  Pemisahan berkas perkara dalam kasus diatas juga bertujuan agar tidak lepasnya tuntutan pidana antar pelaku dikarenakan setiap pelaku memiliki peran dan perbuatan yang berbeda.Apabila berkas digabung akan berpotensi tidak terbuktinya dakwaan dikarenakan akan riskan salah satu pelaku tidak memenuhi unsur yang didakwakan.

  Pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU) akan menimbulkan beberapa kelemahan. Pemisahan berkas perkara (Splitsing) bahkan bisa menutup siapa pelaku utamanya.Sebab pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya, penentuan siapa pelaku (pleger) dan

  medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal, unsur penyertaan itu harus

  dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika tidak dibuktikan, berarti unsur dakwaan tidak terbukti.

  Splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam membuktikan hubungan pelaku

  satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku. Apabila perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku. Akibat penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang dilakukan berbeda.

  Selain itu Kelemahan dari pemeriksaan pemecahan berkas perkara (Splitsing) adalah sering mengakibatkan terjadinya keterangan palsu yang diatur dalam pasal 242 KUHP dikarenakan terdakwa yang menjadi saksi dalam pemeriksaan terdakwa lainnya dalam suatu tindak pidana yang sama tidak ingin kejahatannya terbongkar yang mengakibatkan terbuktinya dakwaan penuntut umum pada dirinya. Saksi yang diajukan seperti tersebut diatas sering disebut sebagai saksi kunci atau saksi mahkota atau kroongetuige.

  Asas-asas dalam KUHAP, sebagaimana ditemukan dalam bagian penjelasan umum, setidaknya mengenal sepuluh asas yang menjadi acuan kebenaran atau ajarn dari kaidah-kaidahnya seperti diuraikan dibawah ini.

  1. A: perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.Equality

  before the law

  menurut wikipedia, “the principle under which each

  individual is subject to the same laws, with no individual or group having 101 special legal privileges ”.

  2. Asas legalitas dalam paksa : penangkapan, penahanan, pengeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya

  102 dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.

  3. Asas (praduga tidak bersalah) : kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

  103 pengadilan yang mengatakan kesalahannya.

  4. Asas remedy and rehabilitation : kepada seorang yang di tangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang- 101 undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang

  Yakub Adi Krisanto, Drama Anomali Prinsip Equality Before The Law, 102 28 April 2010, h.1, dikunjungi pada tanggal 15 November 2014. 103 Ibid.

  Ibid. diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukumyang sengaja atau karena kelalaiannya asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau

  104 dikenakan hukuman administrasi.

  5. Asas fair, impartial, impersonal dan objective : peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan i stilah “segera” itu.Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut di dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undangn Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut.Peradilan cepat merupakan bagian

  105 dari hak asasi manusia.

  6. Asas legal assistance: setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan

  106 untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.

  7. Miranda rule : kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu

  104 105 Ibid.

  Jur.Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h.13. 106 Ibid. haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan

  107 penasehat hukum.

  8. Asas presentasi : pengadilan memaksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.Ketentuan mengenai ini diatur dalam pasal 154, 155 dan seterusnya dalam KUHAP.Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa,yaitu putusan verstek atau in absenstia.Tetapi ini hanya merupakan pengecualian,yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalulintas di jalan.Selain itu dalam hukum acara pidana khusus dikenal pemeriksaan pengadilan secara in absentia atau tanpa hadirnya

  108 terdakwa.

  9. Asas keterbukaan : sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.Pasal yang mengatur asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) dan (4) KUHAP dikecualikan terhadap kasus kesusilaan dan anak-anak alasannya dianggap masalahnya

  109 sangat pribadi.

  10. Asas pengawasan : pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang

  110 bersangkutan.

  107 108 Ibid.

  Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek , Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h.9. 109 110 Ibid.

  Ibid. Pemisahan berkas perkara (Splitsing) haruslah tetap perpedoman dengan asas-asas tersebut.Dalam asas fair, impartial, impersonal dan objective peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak.Pemisahan berkas perkara (Splitsing) sering di salah artikan sebagai pelanggaran asas peradilan cepat,sederhana,dan biaya ringan.Pada dasarnya fungsi dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) adalah berusaha untuk mengarah kepada kebenaran kejahatan yang belum terungkap dan diputus oleh hakim.

  Proses pemisahan berkas perkara (Splitsing) terlihat cenderung menjadi lama,tidak sederhana dan biaya relatif lebih banyak di bandingkan dengan proses penggabungan berkas perkara (Voeging).Namun haruslah mengutamakan fungsi dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) tersebut.Apabila kasus-kasus yang minim alat bukti khususnya alat bukti keterangan saksi tidak dilakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan menimbulkan bebasnya pelaku tindak pidana.Sehingga pemisahan berkas perkara (Splitsing) dinilai sangat perlu dan kejaksaanlah sebagai Penuntut Umum (PU) yang memiliki hak untuk melakukan pertimbangan apakah perlu tidaknya dilakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing).

  Selain itu dalam hal asas (praduga tidak

  bersalah) dapat menjadi masalah dalam penerapan pemisahan berkas perkara

  (Splitsing).Terdakwa dalam berkas terpisah akan menjadi saksi kepada terdakwa lainnya yang mana sama-sama pelaku dalam tindak pidana yang sama.Dalam hal ini kesaksian terdakwa dalam berkas terpisah akan seolah-olah mencari kesalahan terdakwa di muka persidangan.Asas ini menyangkut terdakwa dianggap belum bersalah di muka persidangan sebelum hakim menetapkan terdakwa bersalah hingga putusan akhir yang memiliki keuatan hukum tetap.Sehingga dengan pemisahan berkas perkara (Splitsing) seolah olah melanggar asas praduga tidak bersalah.Dalam menyikapi hal tersebut,haruslah Penuntut Umum (PU) dalam fungsinya melakukan pemisahan berkas perkara bukan bertujuan untuk mencari kesalahan terdakwa serta menganggap terdakwa bersalah, melainkan demi kelancaran pemeriksaan di muka persidangan semata-mata.Dengan dilakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan bermanfaat semakin terangnya perbuatan yang dilakukan para pelaku demi kepentingan pemeriksaan dimuka persidangan.

  Menurut Chairul (ahli hukum acara pidana dosen Universitas Muhammadiyah), itu tidak bisa dibenarkan. Karena dalam memberikan keterangan saksi harus disumpah. Artinya dia tidak boleh bohong. Sementara, dalam kapasitas terdakwa, pelaku tidak disumpah. Ia punya hak ingkar. Artinya dia boleh bohong, terang Chairul. Kondisi itu, kata Chairul, sangat tidak adil bagi terdakwa. Sementara, tujuan dari penegakan hukum, tidak hanya menegakan hukum, tapi juga keadilan. Padahal, terdakwa tidak boleh dipersalahkan atas

  111 keterangannya.

  Apalagi, keterangan yang diberikan besar kemungkinan menunjukan kesalahan dia dalam kasus tersebut. Dia mengatakan hal yang membenarkan 111

  Mon Ali, Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum, 19 November 2007, h.1, dikunjungi pada tanggal 13 Januari 2015. kesalahannya, terang Rudi.Disisi lain, hal ini kerap dijadikan petunjuk bagi hakim dalam menangani kasus pelaku itu sendiri. Padahal selaku terdakwa ia memiliki hak ingkar. Chairul menambahkan praktek saksi mahkota mengakibatkan pengadilan tidak dilaksanakan tidak berdasarkan hukum acara (due proecss of

  112 law ). Itu bisa dijadikan alasan kasasi dan banding, terangnya.

  Terkait dengan penyusulan terdakwa,hal itu melanggar azas praduga tak bersalah. Sebab pemeriksaan di muka persidangan belum selesai. Namun dengan putusan terdakwa lama ia sudah dinyatakan bersalah. Artinya pemeriksaan itu hanya formalitas saja. Pemisahan itu bisa dilakukan dalam hal kekurangan alat bukti. Misalnya dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang. Tidak ada yang bisa dijadikan saksi kecuali para pelaku dan korban. Dalam hal ini

  113 diantara pelaku itu akan dijadikan sebagai saksi.

  Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran yang berbeda. Dengan catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar. Harus bisa dilihat apakah terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang didakwakan, terang Chairul.

  114 Misalnya antara penyuap dan pejabat yang menerima suap.

  3.4.1. Kasus Splitsing ( Kasus Korupsi Sisminbakum ) Perkara tindak pidana korupsi Sisminbakum ini berawal dari ide Romli

  Atmasasmita, Dirjen AHU Dephukham RI saat itu sebagaimana dikemukakan pada acara Up-Grading and Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia di 112 113 Ibid. 114 Ibid.

  Ibid. Bandung tanggal 26 Mei 2000. Pada acara tersebut beliau selaku pembicara mengatakan bahwa “...dengan “online system” dicapai 2 (dua) sasaran yaitu peningkatan pemasukan penerimaan keuangan negara, dan peningkatan kesejahteraan pegawai di lingkungan Departemen Hukum dan Perundang-

  115

  undangan. Ide tersebut didasarkan pada fakta bahwa lambatnya proses pendaftaran permohonan pendirian badan hukum yang dikerjakan secara manual.

  Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem komputerisasi dalam pendaftaran dan pendirian badan hukum sehingga dapat memberikan pelayanan yang cepat, mudah dan transparan.

  Sebelumnya pada bulan Maret 2000, Romli Atmasasmita melakukan pertemuan dengan John Sardjo Saleh guna membahas ide pembuatan Sisminbakum tersebut. Romli Atmasasmita meminta John Sardjo Saleh untuk menjadi konseptor Sisminbakum. John Sardjo Saleh merupakan kuasa Direktur PT Visual Teknindo Utama.

  Lebih lanjut pada bulan Juni 2000 Romli Atmasasmita melakukan pertemuan dengan John Sardjo Saleh dan beberapa perwakilan dari PT Bhakti Investama Tbk. Pada saat itu PT Bhakti Investama Tbk diwakili oleh Hartono Tanoesodibjo, Bambang Tanoesodibjo, Rukman Prawirasasra, dan Yohanes Waworuntu. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa John Sardjo Saleh akan berkerjasama dengan PT Bhakti Investama Tbk dimana John Sardjo Saleh akan membuat sistem komputerisasi untuk Sisminbakum, namun yang akan mengoperasikan sistem tersebut adalah PT Bhakti Investama Tbk. 115

  Putusan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 701/Pid.B/2009/PN.Jak Sel tanggal 7 September 2009 atas nama Terdakwa Romli Atmasasmita, h.63. Setelah pertemuan tersebut kemudian pada tanggal 30 Juni 2000 Hartono Tanoesodibjo membentuk Perseroan baru yaitu PT Sarana Rekatama Dinamika.

  Dalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas Nomor 339 dibuat dihadapan Rachmat Santosa Sarjana Hukum Notaris di Jakarta tanggal 30 Juni 2000 (Akta Notaris Rachmat Santosa No. 339) susunan pemegang saham Perseroan terdiri atas Lydia Lily Setyarini dan Gerald Yakobus masing-masing sebesar tiga puluh persen dan Endang Setywaty sebesar empat puluh persen. Sedangkan susunan dewan komisaris Perseroan terdiri atas Gerald Yakobus sebagai Komisaris Utama, sedangkan Anggota Dewan Komisaris terdiri atas Roekman Prawirasasra, Lydia Lily Setyarini dan Sunarto. Sedangkan direksi terdiri atas Yohanes Waworuntu sebagai Direktur Utama dan Endang Setiawati sebagai Direktur.

  Kemudian pada tanggal 28 Agustus 2000 bertempat di kantor PT Bhakti Asset Management ditandatangani perjanjian kerja antara PT Sarana Rekatama Dinamika dengan PT Visual Teknindo Utama. Dalam perjanjian yang ditandatangani oleh Yohanes Waworuntu dan John Sardjo Saleh disepakati bahwa PT Visual Teknindo Utama akan membuat aplikasi sampai dengan pembangunan

  networking serta melakukan pengadaan untuk hardware Sisminbakum. Untuk itu PT Sarana Rekatama Dinamika akan memberikan biaya sebesar Rp.

  512.318.750,00 yang akan dibayarkan kepada PT Visual Teknindo Utama secara bertahap.

  Pada bulan Agustus 2008 itu pula Romli Atmasasmita bertemu dengan Hartono Tanoesodibjo guna membahas penunjukan langsung PT Sarana Rekatama Dinamika sebagai pengelola dan pelaksana Sisminbakum bersama dengan KPPDK. Dalam pertemuan tersebut dibahas pula mengenai draft perjanjian kerjasama. Dalam draft perjanjian kerjasama yang telah diparaf tersebut antara lain disepakati bahwa dalam rangka pelayanan jasa hukum PT Sarana Rekatama Dinamika dan KPPDK setuju menetapkan biaya akses kepada pelanggan sebesar sebagai berikut.

  Tabel 1 Biaya Akses Sisminbakum dalam Draft Perjanjian Kerjasama

  No. Jasa Hukum Biaya

  1. Pemeriksaan nama Perseroan dan pemesanan Rp. 350.000,00 nama perseroan

  2. Pendirian dan Perubahan Badan Hukum Rp. 1.000.000,00

  3. Pemeriksaan profile Perseroan di Indonesia Rp. 250.000,00

  4. Konsultasi Hukum Rp. 500.000,00 Setelah draft perjanjian kerjasama tersebut dibuat oleh Romli Atmasasmita dengan Hartono Tanoesodibjo, kemudian Yohanes Waworuntu selaku Direktur

  Utama PT Sarana Rekatama Dinamika yang menandatangani dan mengirimkan Surat Permohonan No. 007/Dir/YW-SRD/IX/2000 untuk turut sebagai pihak dalam pengelolaan dan pelaksanaan Sisminbakum pada tanggal 1 September dan Surat Penawaran No. 010/Dir/YW-SRD/IX/2000 tanggal 15 September 2000 tentang Penawaran Harga Sisminbakum berikut dengan lampiran proposal.

  Setelah mempelajari Surat Permohonan No. 007/Dir/YW-SRD/IX/2000 dan draft perjanjian kerjasama yang telah dibuat oleh Romli Atmasasmita dengan Hartono Tanoesodibjo, Ali Amran Djanah, Ketua KPPDK mengajukan Surat Keberatan No. 104/K/UM/KPPDK/IX/2000 kepada Menhukham RI selaku Pembina Utama KPPDK yang pada intinya menyatakan empat hal. Pertama, untuk pekerjaan yang sifatnya bukan pekerjaan spesifik maka sekurang-kurangnya harus diikuti oleh tiga perusahaan guna dilakukan penilaian yang wajar. Kedua, dokumen pelelangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian kerjasama dan menjadi landasan hukum dalam pertimbangan kerjasama. Ketiga, penetapan biaya akses, kewajaran pembagian pendapatan dan jangka waktu perjanjian kerjasama dan calon pemenang dilakukan oleh Menhukham RI selaku Pembina Utama KPPDK melalui usulan dari pengurus KPPDK dengan sekurang-kurangnya tiga perusahaan pembanding guna mendapatkankewajaranharga.Keempat, sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama Sisminbakum tersebut perlu terlebih dahulu ditetapkan beberapa keputusan guna memenuhi syarat formil.

  RomliAtmasasmita menanggapi Surat Keberatan No. 104/ K / UM / KPPDK / IX / 2000 tersebut, beliau berpendapat bahwa tidak perlu adanya pembanding yang melakukan penawaran biaya akses karena dana Sisminbakum tersebut berasal dari pihak swasta. Selanjutnya Romli Atmasasmita meminta pengurus KPPDK membuat konsep surat keputusan Menhukham RI tentang pemberlakuan Sisminbakum dan surat keputusan Menhukham RI tentang penunjukan KPPDK dan PT Sarana Rekatama Dinamika sebagai pengelola dan pelaksana Sisminbakum. Kemudian kedua konsep surat tersebut disampaikan kepada Menhukham RI dengan tembusan kepada Romli Atmasasmita.

  Atas konsep surat keputusan tersebut Yusril Izha Mahendra kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Menhukam RI No. M-01.HT.01.01 Tahun 2000 Menhukham RI dan Yusril Izha Mahendra selaku Pembina Utama KPPDK mengeluarkan Surat Keputusan No. 19/K/KEP/KPPDK/X/2000. Pada intinya kedua surat keputusan Menhukham RI tersebut berisi tentang penunjukan PT Sarana Rekatama Dinamika dan KPPDK sebagai pengelola dan pelaksana Sisminbakum.

  Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Menhukham RI No. M-

  01.HT.01.01 Tahun 2000 dan Surat Keputusan No. 19/K/KEP/KPPDK/X/2000 kemudian pada tanggal 8 November 2000 ditandatangani Perjanjian Kerjasama antara Yohanes Waworuntu selaku Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika dan Ali Amran Djanah selaku Ketua KPPDK dan diketahui oleh Yusril Izha Mahendra selaku Pembina Utama KPPDK. Perjanjian Kerjasama tersebut sebelumnya telah diparaf oleh Hartono Tanoesodibjo. Dalam perjanjian tersebut diatur antara lain.

  a. PT Sarana Rekatama Dinamika sepenuhnya akan melakukan pengelolaan dan pelaksanaan Sisminbakum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Perjanjian Kerjasama.

  b. Besarnya biaya akses yang dikenakan kepada pelanggan Sisminbakum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Perjanjian Kerjsama adalah sebagai berikut.

  Tabel 2 Biaya Akses Sisminbakum dalam Perjanjian Kerjasama

  No. Jasa Hukum Biaya

  1. Pemeriksaan nama Perseroan dan pemesanan Rp. 350.000,00 nama perseroan

  2. Pendirian dan Perubahan Badan Hukum Rp. 1.000.000,00

  3. Pemeriksaan profile Perseroan di Indonesia Rp. 250.000,00

  4. Konsultasi Hukum Rp. 500.000,00

  c. Pembagian biaya akses yang diterima oleh PT Sarana Rekatama Dinamika dan KPPDK dari pelanggan adalah sembilan puluh persen bagi PT Sarana Rekatama Dinamika dan sepuluh persen bagi KPPDK.

  Selanjutnya setelah tujuh tahun Sisminbakum berjalan, PT Sarana Rekatama Dinamika akan mendapatkan bagian sebesar delapan puluh lima persen dan KPPDK mendapatkan bagian sebesar lima belas persen. Pembagian ini berlangsung sampai dengan Perjanjian

  Kerjasama tersebut berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) Perjanjian Kerjasama.

  d. Pembagaian biaya akses tersebut akan dilakukan setiap satu bulan sekali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) Perjanjian

  116 Kerjasama.

  Kemudian Yusril Izha Mahendra menerbitkan Keputusan Menhukham RI Nomor M-01.HT.01.01 tanggal 31 Januari 2001 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (Surat Keputusan Menhukham RI No. M-

  01.HT.01.01 Tahun 2001) dan Surat Keputusan Menhukham RI Nomor M-

  02.HT.01.01 tanggal 31 Januari 2001 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (Surat Keputusan Menhukham RI No. M-02.HT.01.01 Tahun 2001).

  Kedua surat keputusan Menhukham RI tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Romli Atmasasmita dengan mengeluarkan Surat Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 yang ditujukan kepada seluruh Notaris di Indonesia. Dalam Surat Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 tersebut dinyatakan bahwa Sisminbakum secara efektif diberlakukan pada tanggal 1 Maret 2001 dan biaya akses yang dikenakan terhadap pelanggan Sisminbakum adalah sesuai biaya akses yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerjasama ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar sepuluh persen untuk PT Sarana Rekatama Dinamika dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar dua ratus ribu rupiah per akta. Kemudian Surat Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 yang telah dicabut dan digantikan 116

  Perjanjian Kerjasama antara Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dengan PT Sarana Rekatama Dinamika tentang Pengelolaan dan

Pelaksanaan Sistem Administrasi Badan Hukum No.135/K/UM/KPPDK/XI/2000 dan Nomor 021/Dir/YW-SRD/XI/2000 tanggal 8 November 2000 Pasal 3 dan 5. dengan Surat Edaran No. C-UM.06.10-05 Tahun 2001. Namun dalam Surat Edaran No. C- UM.06.10-05 Tahun 2001 tersebut Romli Atmasasmita masih menetapkan biaya akses sesuai dengan biaya akses yang diatur dalam Perjanjian Kerjasama.

  Atas dasar Surat Keputusan Menhukam RI No. M-01.HT.01.01 Tahun 2000, Surat Keputusan No. 19/K/KEP/KPPDK/X/2000, Perjanjian Kerjasama dan Surat Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 dicabut dan digantikan dengan Surat Edaran No. C-UM.06.10-05 Tahun 2001 tersebut PT Sarana Rekatama Dinamikia memilik kewenangan atau legitimasi untuk dan atas nama Dephukham RI cq Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum untuk melakukan pungutan atas biaya akses Sisminbakum dan PNBP.

  Pada tanggal 22 Mei 2001, Romli Atmasasmita mengeluarkan surat Nomor C-UM.01.10-98 (Surat No. C-UM.01.10-98 Tahun 2001) kepada KPPDK yang pada intinya meminta pembagian penerimaan biaya akses atas Sisminbakum, dimana sepuluh persen dari bagian yang diperoleh dari biaya akses Sisminbakum sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Kerjasama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum memperoleh bagian sebesar enam puluh persen, dan empat puluh persen untuk KPPDK. Pada tanggal 25 Juli 2001 ditandatangani perjanjian kerjasama Nomor C-UM.02.02-113 dan Nomor 157/K/UM/KPPDK/VII/2001 (Perjanjian Kerjasama antara KPPDK dengan Direktorat Jenderal AHU) yang ditandatangani oleh Romli Atmasasmita dan Ali Amran Djanah.

  Kemudian pembagian yang diterima oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum tersebut, Romli Atmasasmita memperoleh sebesar lima juta rupiah dan dua ribu Amerika Serikat dolar. Selain itu dana yang diterima oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum tersebut juga dibagikan kepada direktur, pejabat eselon III dan IV serta staf di Direktorat Perdata dan Direktorat di luar Direktorat Perdata dengan perincian sebagai berikut.

  Tabel 3 Dana yang Dibagikan kepada Karyawan di Lingkungan Direktorat Perdata dan

  Direktorat di luar Direktorat Perdata Direktorat Perdata Direktorat di luar

  Direktorat Perdata Direktur Rp. 2.000.000,00/bulan Rp. 500.000,00/bulan

  Pejabat Eselon III Rp. 1.500.000,00/bulan Rp. 250.000/bulan Pejabat Eselon IV Rp. 750.000/bulan Rp. 150.000/bulan

  Staf Rp. 500.000/bulan Rp. 100.000/bulan Pada tanggal 30 Juni 2002 posisi Romli Atmasasmita sebagai Dirjen AHU digantikan oleh Zulkarnain Yunus. Pada saat Zulkarnain Yunus menjabat sebagai

  Dirjen AHU, Yusril Izha Mahendra mengeluarkan Surat Keputusan Menhukham RI Nomor M-05.HT.01.01 tanggal 12 Juli 2002 tentang Pemberlakukan Sisminbakum di lingkungan Direktorat Administrasi Hukum Umum Dephukham RI (Surat Keputusan No. M-05.HT.01.01 Tahun 2002). Surat Keputusan No. M-

  05.HT.01.01 Tahun 2002 kemudian ditindaklanjuti oleh Zulkarnain Yunus dengan Surat Nomor C.01.HT.01.01 tanggal 23 Januari 2003 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan (Surat Keputusan No. C.01.HT.01.01Tahun 2003).

  Kedua surat tersebut menjadi dasar pelaksaaan Sisminbakum yang dilaksanakan oleh Zulkarnain Yunus.

  Pada tanggal 5 September 2006, Zulkarnain Yunus digantikan oleh Syamsudin Manan Sinaga. Kemudian Syamsudin Manan Sinaga selaku Dirjen AHU kemudian melanjutkan pelaksanaan Sisminbakum dengan dasar Surat Keputusan No. M-05.HT.01.01 Tahun 2002 dan Surat Keputusan No.

  C.01.HT.01.01 Tahun 2003.

  Sejak dioperasikan, tanggal 1 Maret 2001 sampai dengan tanggal 5 November 2008 pemasukan yang diperoleh dari biaya akses Sisminbakum pada rekening bank Danamon Cabang GKBI nomor rekening 4192274 atas nama PT Sarana Rekatama Dinamika (Rekening PT Sarana Rekatama Dinamika) adalah sebesar Rp. 415.822.643.989,61. Sedangkan untuk pembayaran PNBP sebesar dua ratus ribu rupiah per akta harus dibayarkan ke Bank Negara Indonesia Tahun 1946 (BNI 1946) cabang Tebet Jakarta dengan nomor rekening 12011779481.

  Tabel 4 Biaya Akses Sisminbakum dalam Rekening PT Sarana Rekatama Dinamika

  Nama Dirjen AHU/ Masa Jabatan Besarnya Biaya Akses Sisminbakum yang Diterima dalam Rekening PT Sarana Rekatama Dinamika

  Romli Atmasasmita Rp. 31.539.887.725,58

  1 Maret 2001 s/d 30 Juni 2002 Zulkarnain Yunus Rp. 223.077.146.311,10

  30 Juni 2002 s/d 5 September 2006 Syamsudin Manan Sinaga Rp. 197.205.409.952,93

  5 September 2006 s/d 8 November 2008 (Sumber Kasus Posisi : Vidya Prahassacitta,”Pertanggung Jawaban Pidana

  Kasus Sisminbakum

  ”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009, h.67-75.)

  3.4.1.1. Analisis Kasus Splitsing ( Kasus Korupsi Sisminbakum ) Pada kasus diatas Penuntut Umum (PU) melakukan pemisahan berkas

  (splitsing) perkara antar satu pelaku dengan pelaku lain.Hal tersebut dikarenakan alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim sehingga dengan adanya pemisahan berkas perkara (splitsing) terdakwa yang satu dapat dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya.Berkas Romli Atmasasmita dkk dipisah oleh Penuntut Umum dikarenakan juga perbuatan yang dilakukan para pelaku berdiri sendiri- sendiri yang mana locus dan tempusnya pun berbeda.Sehingga sangat efektif berkas perkara tersebut dipisahkan demi kelancaran proses pembuktian dalam persidangan.Apabila tidak dilakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) akan menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam pembuatan surat dakwaan.Selain itu pada kasus di atas tindak pidana yang terjadi merupakan tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka dengan peran masing-masing terdakwa berbeda.

  Pemecahan berkas perkara (splitsing)yang dilakukan Penuntut Umum (PU) sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit ditemukan sehingga satu-satunya jalan adalah

  117 mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya.

  Pemisahan berkas perkara dalam kasus diatas juga bertujuan agar tidak lepasnya tuntutan pidana antar pelaku dikarenakan setiap pelaku memiliki peran dan perbuatan yang berbeda.Apabila berkas digabung akan berpotensi tidak 117 Hari Sasangka, Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit. ,h.120-121. terbuktinya dakwaan dikarenakan akan riskan salah satu pelaku tidak memenuhi unsur yang didakwakan.

  Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran yang berbeda. Dengan catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar. Harus bisa dilihat apakah terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang didakwakan.Misalnya antara penyuap dan pejabat yang menerima suap.

  Pemisahan berkas perkara biasanya dilakukan Penuntut Umum (PU) dalam kasus korupsi dan pemerkosaan yang mana saksi yang melihat,mendengar dan mengalami tindak pindana minim sehingga terdakwa dalam berkas terpisah menjadi penting sebagai saksi dalam tindak pidana yang dilakukan pelaku.Selain itu dapat dilihat dari tindak pidana yang dilakukan.Apabila tindak pidana yang dilakukan tidak sederhana dan dapat menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam menyusun surat dakwaan maka lebih efektif dilakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) sehingga dapat dipetakan tindak pidana dan peran masing masing pelaku.

  3.4.2. Kasus Voeging ( Kasus Korupsi Japung Soekamto Hadi CS ) Kasus Gratifikasi dana jasa pungut (Japung) Rp 720 Juta yang melibatkan tiga pejabat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yakni Sekretaris Kota (Sekkota)

  Surabaya Sukamto Hadi, Assiten II Sekkota Mukhlas Udin, dan mantan Kepala Bagian Keuangan Poerwito yang sudah diputus dengan nomor perkara 1465 K/Pid.Sus/2010 tahun 2011.

  Kasus tersebut bermula dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 35 tahun 2002, tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah Menteri Dalam Negeri terutama pada pasal 4 poin b 3, dijelaskan bahwa "20% (dua puluh persen) untuk Aparat Penunjang lainnya" , pasal 5 poin b 2 menyatakan bahwa "15% (lima belas persen) untuk Aparat Penunjang lainnya" pasal 6 poin b "6% (enam persen) untuk Aparat Penunjang yaitu Tim Pembina

  118

  Pusat" Selain itu, ada beberapa peraturan yang mengatur pungutan sebagaimana diatur dalam beberapa Keputusan Gubernur Jawa Timur, Peraturan Daerah

  Surabaya, hingga Peraturan Walikota Surabaya.Diantaranya Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 42A tahun 2004 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah Dan Biaya Operasional Retribusi Daerah Propinsi Jawa Timur pasal 7a : "Aparat Penunjang adalah aparat Dinas/Instasi/Lembaga/Badan di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang terkait secara langsung maupun tidak langsung mendukung kegiatan pemungutan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah

  119 (PAD), dalam hal ini termasuk DPRD Propinsi Jawa Timur.

  ’’ Juga diatur dalam Perda Surabaya No. 9 tahun 2006 tentang Biaya

  Pemungutan Pajak Daerah, Perwali Surabaya No. 69 tahun 2006 tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Daerah, Perwali Surabaya No. 74 tahun 2006 tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Daerah terutama pada pasal 4 poin b dinyatakan bahwa : "Sebesar 40% (empat 118

  Junaedy Gunawan, Jalankan Perintah Walikota Bambang DH, Sukamto Hadi Cs Harusnya Bebas Murni , 7 Maret 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 26 Januari 2015. 119 Ibid. puluh persen) diberikan kepada aparat penunjang, yang pengaturan dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah atas persetujuan Kepala Daerah.” . Serta Perwali Surabaya No. 44 tahun 2007 (perubahan Perwali Surabaya No. 74 tahun 2006) tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Daerah terutama pada pasal 4 poin b : "Sebesar 40% (empat puluh persen) diberikan kepada aparat penunjang, yang pengaturan dan pembagiannya dilaksanakan oleh Asisten Bidang Administrasi Pembangunan atas persetujuan Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan dari Sekretaris Daerah".

  Dalam aturan Perwali Surabaya diatas, saat itu Surabaya masih dipimpin walikota

  120 Bambang Dwi Hartono.

  Sukamto Hadi Cs dalam bertindak (memberikan uang japung kepada Musyafak Rouf yang saat itu sebagai Ketua DPRD kota Surabaya) dengan dasar hukumnya yaitu Keputusan Mendagri no. 32 tahun 2002 yang baru dan mencabut Perwali Surabaya No. 69 tahun 2006 tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Daerah. Selain Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 42A tahun 2004 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah Dan Biaya Operasional Retribusi Daerah Propinsi Jawa Timur pasal 7a "Aparat Penunjang adalah aparat Dinas/Instasi/Lembaga/Badan di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang terkait secara langsung maupun tidak langsung mendukung kegiatan pemungutan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dalam hal ini

  121 termasuk DPRD Propinsi Jawa Timur".

  120 121 Ibid.

  Ibid. Sesuai fakta di muka persidangan Wali Kota Surabaya Bambang DH memberikan persetujuan lisan, bahkan mantan Ketua PDIP Surabaya ini menandatangani persetujuan penyerahan uang Rp 720 juta kepada DPRD Surabaya. Uang tersebut diduga untuk memuluskan proyek pembangunan Surabaya Sport Centre (SSC) dan Bus Rapid Transit, yang saat itu tengah dibahas

  122 dewan.

  Fakta ini terungkap dalam berkas dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (23/3). Pada sidang kali ini menghadirkan tiga pejabat teras Pemkot Surabaya sebagai terdakwa. Yakni, Sekkota Surabaya Soekamto Hadi, Asisten II Mukhlas

  123 Udin dan dan Purwito, mantan Kabag Pengelola Keuangan Pemkot.

  Dalam dakwaan yang dibacakan di hadapan majelis hakim Berlin Damanik SH, JPU Edy Winarko SH dan Karimuddin SH menyebutkan Bambang DH menyetujui secara lisan pemberian uang senilai Rp 470 juta pada 3 Oktober 2007. Bambang juga disebut menandatangani persetujuan uang Rp 250 juta untuk diberikan kepada Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf (terdakwa dalam berkas

  124 terpisah).

  Pada sidang perdana yang digelar pukul 09.30 Wib, JPU menjerat ketiganya dengan dakwaan primer melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat UU 31/1999 yang diperbarui dalam UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.Selain itu, JPU juga mendakwa para pejabat 122

  Budi Mulyono, Bambang DH Setujui (Sidang Kasus Gratifikasi Rp 720 Juta), 24 Maret 2009, h.1, dikunjungi pada tanggal 26 Januari 2015. 123 124 Ibid. Ibid. eksekutif Pemkot Surabaya ini dengan dakwaan subsidair pasal 3, pasal 5 ayat (2) dan pasal 11 jo pasal 18 18 ayat (1) huruf a UU 31/1999 yang diperbarui dalam

  125

  UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi. Menurut Edy Winarko ketiga terdakwa bersama-sama dengan Musyafak Rouf pada 4 Oktober 2007 bertempat di kantor DPRD Surabaya Jl Yos Sudarso, telah melakukan korupsi. Para terdakwa secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara,kata