MENGKAJI POLITIK HUKUM KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI INDONESIA

  

MENGKAJI POLITIK HUKUM KEBEBASAN BERAGAMA DAN

BERKEYAKINAN DI INDONESIA

Muktiono

  Fakult as Hukum Universit as Brawij aya Malang E-mail:

  

Abst r act

Indonesi a has ent er ed t he er a of human r i ght s char act er i zed by i ncr easi ngl y massi ve domest i cat i on

of t he i nt er nat ional human r i ght s nor ms i n nat ional l egal syst em. In such a si t uat ion, i n f act , t he

r i ght s t o f r eedom of r el i gi on and of bel ief f or minor i t ies have not r eceived t hei r benef it s and

i nst ead t hey become vi ct i ms. Thi s Ar t i cl e seeks t o invest i gat e how it can happen by using t he l egal

pol i t i cs anal ysi s as per spect i ve. Legal pol it i cs her e wi l l f ocus on how t he gover nment s of sever al

r egi mes i n Indonesi a have used t heir l egi sl at ion and pol i cy t o r egul at e mat t er s r el at i ng t o t he r i ght s

t o f r eedom of r el i gi on and bel ief . In addit ion, i t wi l l al so see how t he Const i t ut ional Cour t

cont r i but ed t o t hi s i ssue by i nf l uencing t he l egal pol i t i cs as t hi s Cour t i s t he sol e aut hor it y i n

i nt er pr et i ng t he const it ut ional r i ght t o t he f r eedom of r el i gion and bel i ef t her eby af f ect i ng i t s

nor mat i on and i mpl ement at ion.

  Key wor ds: Rel i gious mi nor it y gr oup, human r i ght s, legal pol it i cs of Indonesi a

Abst rak

  Indonesia t elah memasuki era hak asasi manusia yang dit andai dengan semakin masif nya domest if ikasi norma-norma hak asasi manusia int ernasional dalam sist em hukum nasional. Dalam sit uasi t ersebut t ernyat a hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minorit as belum mendapat kan kemanf aat annya dan j ust ru mereka menj adi korban. Art ikel ini berusaha unt uk menyelidiki bagaimanakah hal t ersebut bisa t erj adi dengan menempat kan analisa polit ik hukum sebagai perspekt if nya. Polit ik hukum disini akan berf okus kepada bagaimana pemerint ah dari berbagai rezim t elah menggunakan kebij akan legislasinya dalam mengat ur masalah-masalah t erkait hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain it u, j uga akan dilihat bagaimana Mahkamah Konst it usi berkont ribusi dalam mempengaruhi polit ik hukum t ersebut karena lembaga t ersebut merupakan pemegang ot orit as sat u-sat unya dalam menaf sir hak konst it usional at as kebebasan beragama dan berkeyakinan sehingga dengan sendirinya berpengaruh t erhadap penormaan maupun implemet asinya.

  

Kat a Kunci: Kelompok minorit as beragama dan berkeyakinan, hak asasi manusia, hukum, polit ik

  hukum Indonesia

  

Pendahuluan t erhadap prakt ek negara yang diskriminat if t er-

  Gelombang ref ormasi yang dimulai pada sebut menemukan moment umnya yang lebi h t ahun 1998 t elah membuka ruang baru bagi kuat ket ika Indonesia t elah memasuki era Hak perdebat an t erhadap “ Prinsip Ket uhanan” mu- Asasi Manusia. Para akt ivis t idak lagi mendapat - lai dari kelas-kelas di kampus, gedung parle- kan labelisasi komunis/ at heis sehingga represi men, media massa, sampai dengan ke pe- negara dan kelompok beragama berkurang se- ngadilan konst it usi. Mat eri paling menonj ol da- hingga semakin leluasa menempat kan konsep, lam perdebat an publik t ersebut adalah t ent ang prinsip, dan norma hak asasi manusia dalam gugat an t erhadap prakt ek-prakt ek diskriminat if perdebat an publik unt uk mengkont est asi prak- yang t elah dit erima oleh kelompok beragama/ t ik “ prinsip ket uhanan” meskipun dalam bebe- berkeyakinan minorit as akibat implement asi rapa kasus masih t erj adi int imidasi t erhadap hukum dan kebij akan dari “ prinsip ket uhanan” . akt if it as ini t eruma oleh kelompok radikal. Hak

  Mengkaj i Pol it ik Hukum Kebebasan Ber agama dan Berkeyakinan di Indonesi a 345

  menj adi alat pembelaan yang sangat ef ekt if melawan t indakan-t indakan negara yang repre- sif dan diskriminat if meskipun hasilnya masih j auh dari yang diharapkan.

  Sit uasi unt uk melakukan pemaj uan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan semakin kondusif , akan t et api di sisi lain masih t erdapat f akt a bahwa pemenuhan hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia meru- pakan masalah rumit unt uk diselesaikan.

1 Ant i-

  nomi eksis mulai dari level konst it usi sampai dengan penerapan norma pada t indakan admi- nist rat if pemerint ahan daerah yang mengaki- bat kan t erj adinya serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang pada t ingkat an paling serius t elah mengakibat kan j at uhnya korban j iwa t er- ut ama bagi kelompok agama/ keyakinan mino- rit as. Prospek t erhadap j aminan hak at as kebe- basan beragama dan berkeyakinan di Indonesia saat ini menj adi permasalahan serius di t engah ket erikat an Indonesia baik secara moral mau pun hukum t erhadap norma-norma hak asasi manusia int ernasional.

  Art ikel ini berusaha unt uk menyelidiki dan mengurai t ent ang f enomena inkonsist ensi negara dalam pemenuhan hak kebebasan ber- agama dan berkeyakinan bagi kelompok mino- rit as yang t erj adi di Indonesia sebagai bent uk paradoksal penegakan hak asasi manusia dalam pusaran t arik-menarik ant ara kepent ingan ke- lompok mayorit as yang masih kuat memegang nilai-nilai part ikularit as keagamaan mereka pa- da sat u sisi dan t unt ut an nilai -nilai hak asasi manusia yang bersif at universal dan t elah men- j adi hukum nasional di sisi lainnya. Dengan de- mikian diharapkan agar t erungkap bagaimana peran para akt or yang t erkait dalam proses diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan di Indonesia t erut ama menyangkut sist em hukum dan penegakannya di Indonesia sepert i Penga- dilan, Pemerint ah, dan lembaga keagamaan. Kasus yang sangat dominan menj adi bahan ana- lisa dari penelit ian ini adalah Put usan Mahka- mah Konst it usi yang menguat kan eksist ensi undang-undang penodaan agama yait u Put usan 1 Agnes Dwi, “ Sol i dar it as Bagi Kebebasan Ber agama” ,

  Jur nal Maar i f , Vol 5 No. 2 Tahun 2010, Jakart a: Maar if

  Mahkamah Konst it usi No. 140/ PUU-VII/ 2009 t en- t ang Penguj ian Undang-Undang Nomor 1/ PNPS/ Tahun 1965 Tent ang Pencegahan Penyalah- gunaan dan/ at au Penodaan Agama. Kasus t er- sebut dipilih karena akan mempengaruhi prak- t ik penegakan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mulai dari proses le- gislasi at au pembuat an hukum yang deraj at nya di bawah konst it usi hingga pada prakt ek di t ing- kat administ rasinya. Kekhawat iran t erj adinya simplif ikasi dalam menganalisa permasalahan pelaksanaan hak kebebasan beragama dan ber- keyakinan di Indonesia mungkin saj a t erj adi apabila hanya berangkat pada kasus undang- undang penodaan agama, t et api Art ikel ini me- mang t idak dit uj ukan unt uk melihat permasa- lahan kebebasan beragama dan berkeyakinan dari seluruh sudut pandang karena ket erbat as- an ruang unt uk mendiskusikan kompleksit as permasalahan. Sehingga uraian yang diberikan dalam art ikel ini set idaknya diharapkan agar mampu berkont ribusi dan menj adi bagian dari suat u analisa yang komprehensif dalam melihat kasus-kasus dan permasalahan kebebasan ber- agama dan berkeyakinan di Indonesia.

  Bagian Kedua Art ikel ini akan memberi- kan deskripsi singkat t ent ang paradok penga- t uran hak at as kebebasan beragama dan ber- keyakinan di Indonesia mulai dari era orde lama Soekarno hingga era Orde Baru Soehart o yang melakukan diskriminasi dalam kebij akan publik t erkait hak beragama dan berkeyakinan t er- ut ama bagi kelompok minorit as. Set elah it u, pada bagian Ket iga akan dikaj i t ent ang masif - nya penormaan hak asasi manusia int ernasional dalam sist em hukum nasional Indonesia pada era ref ormasi pasca t umbangnya Presiden Soe- hart o yang j ust ru menimbulkan ant inomi baru karena pada t at aran empiris j ust ru kekerasan berbasis agama semakin marak dan mengalami perubahan pola pelanggaran yang semula hanya bersif at vert ikal dalam relasi negara t erhadap warganegara namun kemudian dit ambah lagi dengan pola baru yait u relasi kelompok agama mayorit as-minorit as dan dalam beberapa kasus melalui sponsor negara. Bagian Kempat akan secara khusus menyorot i bagaimana prakt ek penaf siran pengadilan konst it usi yang t elah

  346 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 12 No. 2 Mei 2012

  berpengaruh t erhadap proses pembent ukan hu- kum nasional dan dan daerah sert a penerapan- nya yang semat a-mat a dibent uk unt uk melegi- t imasi pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan t erhadap kelompok minorit as yang t elah dij amin di dalam konsit usi dan per- at uran perundang-undangan lainnya di Indone- sia maupun int ernasional. Sebagai bagian penu- t up maka art ikel ini akan menyimpulkan t en- t ang prospek at as konst ruksi normat if dan im- plement asi dari hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sert a saran dan krit ik apa yang bisa diberikan sehingga j aminan hak t ersebut t erut ama bagi umat beragama/ berkeyakinan minorit as dapat di t egakkan seca- ra adil dan berkelanj ut an.

  Pembahasan Paradigma Sej arah Pengakuan Negara Terha- dap Hak At as Kebebasan Beragama dan Ber- keyakinan di Indonesia

  Preamble Undang-Undang Dasar Negara Republik Indont sia Tahun 1945 menegaskan t ent ang dasar negara yang diant aranya yait u “ . . . Negara Republik Indonesia, yang berkedau- lat an rakyat dengan berdasar kepada Ket uhan- an Yang Maha Esa. . . ” . Kemudian dalam bat ang t ubuh UUD 1945 diperinci lagi t ent ang hak konst it usional at as kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam bab khusus yang secara eksplisit berj udul “ agama” dengan penj abaran pasalnya sebagai berikut : per t ama, Negara berdasar at as Ket uhahan Yang Maha Esa; dan

  kedua, Negara menj amin kemerdekaan t iap-

  t iap penduduk unt uk memeluk agamanya ma- sing-masing dan unt uk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya it u.

  Teks “ Ket uhanan Yang Maha Esa” pada Preamble UUD 1945 sebenarnya merupakan ver- si revisi dari t eks aslinya yait u “ . . . Ket uhanan,

  dengan kewaj i ban menj al ankan syar i ’ at Isl am bagi pemel uknya, . . . ” . Tuj uh kat a yang mene-

  gaskan eksist ensi hukum Islam kemudian diha- pus dengan pert imbangan unt uk membuat umat non-muslim merasa t erayomi dalam konst it usi dan t idak t erkesan diskriminat if . Penghapusan t uj uh kat a t ersebut t idak kemudian mengakhiri keinginan kelompok Islam idealis unt uk t erus memperj uangkan kembalinya t uj uh kat a t erse- but dalam ket at anegaraan di Indonesia.

  2 Per-

  j uangan unt uk f ormalisasi nilai-nilai Islam hing- ga saat ini masih t erus berlangsung dengan ka- dar yang selalu berubah-ubah. Sebagai cont oh adalah munculnya kembali part ai-part ai polit ik berasaskan Islam j uga f enomena munculnya usaha unt uk membuat perat uran daerah yang ingin menegakan hukum Islam.

  3 Hukum bekerj a dalam sist em polit ik yang

  memberikan ruang bagi beberapa elemen nega- ra dan masyarakat unt uk saling berint eraksi sat u dengan yang lain. Hukum dan kebij akan ( l egal pol i t i cs) yang diambil oleh Pemerint ah akan mempunyai kemampuan unt uk menj elas- kan bagaimanakah relasi ant ara suat u norma hukum yang abst rak dimaknai dan diimplemen- t asikan pada t ingkat yang paling konkrit . Oleh sebab it u, menelusuri j ej ak rekam hukum dan kebij akan t erkait dengan hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan di masing-masing rezim pemerin-t ahan di Indonesia akan mem- bant u memberikan gambaran t ent ang bagaima- nakah hukum bekerj a dan sej auh mana j uga t elah mencapai t uj uannya.

  Pada masa orde lama (1950-1965), Pre- siden Soekarno mengeluarkan Penet apan Presi- den No. 1/ PNPS Tahun 1965 yang memberikan t af sir t erhadap ket erkait an ant ara “ Ket uhanan Yang Maha Esa” dengan agama dalam kont eks negara kesat uan Republik Indonesia yait u:

  “ . . . sebagai dasar pert ama, KeTuhanan Yang Maha Esa bukan saj a melet akkan dasar moral diat as Negara dan Peme- rint ah, t et api j uga memast ikan adanya kesat uan Nasional yang berasas keagama- an. Pengakuan sila pert ama (KeTuhanan Yang Maha Esa) t idak dapat dipisah-pi- sahkan dengan Agama, karena adalah sa- lah sat u t iang pokok daripada perikehi- dupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah j uga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mut lak dalam usaha nat ion-building” . 2 Jiml y Assihi ddi qie, 2010, Konst i t usi & Konst i t usi -

  onal i sme Indonesi a, Jakart a: Si nar Graf ika, hl m. 81 3 Ridw an al -Makassary & Chaidar S, Bamual i m, “ Dil ema Apl ikasi Syari ’ ah, Sekul ar isme dan Hak Asasi Manusi a di Indonesi a” , Jur nal Hukum Republ i ca, Vol 3 No. 1 Tahun 2003, Fakul t as Hukum Universit as Lancang Kuning Mengkaj i Pol it ik Hukum Kebebasan Ber agama dan Berkeyakinan di Indonesi a 347

  Kemudian t erkait dengan pengakuan t en- t ang agama di Indonesia, Soekarno mengakui pert ama-t ama t erhadap 6 agama yait u Islam, Krist en, Kat olik, Hindu, Budha dan khong Cu (Conf usius). Namun pada ket ent uan berikut nya j uga menegaskan bahwa t idak ada pelarangan t erhadap agama-agama lain sepert i Yahudi, Zarasust rian, Shint o, dan Taoism. Sebaliknya, Prinsip “ Ket uhanan Yang Maha Esa” j ust ru men- j adi senj at a unt uk mengawasi dan membat asi keyakinan-keyakinan t radisional nusant ara ka- rena dianggap “ t idak sehat ” dan dapat merusak agama sehingga negara perlu mengat ur dan mengarahkannya. Padahal dalam kenyat aannya yang sangat bert olak belakang dengan alasan dibuat nya penet apan presiden t ersebut , j ust ru masyarakat penghayat yang menj adi korban dari kelompok beragama dan oleh karenanya seharusnya merekalah yang mendapat perlindu- ngan bukan j ust ru dicurigai dan dibat asi akt i- f it asnya.

  Lembaga peradilan di masa orde baru j u- ga t idak independen karena dari segi adminis- t rasi sangat rent an dipengaruhi oleh Pemerin- t ah karena secara organisat oris, administ rat if dan keuangan di bawah Kement erian Kehakim- an yang mempunyai kewenangan di bidang pe- nganggaran, kepegawaian dan penghukuman. Mahkamah Agung t idak mempunyai kewenangan unt uk menguj i Undang-Undang sehingga seluruh produk undang-undang yang bert ent angan de- ngan Pasal 29 Konst it usi t idak bisa dilakukan revisi at au evaluasi. Hukum mat eriil yang dis- kriminat if dan lembaga peradilan yang t idak in- dependen membuat masyarakat korban t idak membawa kasus mereka ke Pengadilan karena selain biaya yang mahal dan wakt u yang pan- j ang, put usan yang dihasilkan oleh pengadilan j uga bisa diprediksi t idak akan berpihak kepada rasa keadilan mereka. Klaim hukum at as hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sangat buruk di masa it u sungguh bert ent angan dengan Preamble Konst it usi 1945 yang menya- t akan bahwa “ . . . membent uk Pemerint ahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa In- donesia. . . ” . Realit as di at as merupakan para- doks di era konst it usionalisasi hak at as kebe- basan beragama dan berkepercayaan karena di sisi lain hak t ersebut j ust ru dikhianat i oleh perat uran perundang-undangan di bawahnya t anpa ada mekanisme evaluasi yang past i, adil dan bermanf aat .

  St at us preskript if hak asasi manusia t et api dengan penerapan yang ambigu

  Sebelum amandemen Kedua t ahun 2000 maka Undang-Undang Dasar 1945 t idak pernah mencant umkan ket ent uan secara eksplisit t en- t ang hak asasi manusia meskipun ada beberapa ket ent uan yang secara subst ant if mengat ur t ent ang beberapa hak asasi manusia yang salah sat unya adalah hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan di Pasal 29. Secara hukum, t idak ada kewaj iban at ribut if bagi pemerint ah unt uk melembagakan hak asasi manusia karena yang pert ama memang konst it usi t idak menga- t urnya dan yang kedua adalah adanya anggapan bahwa hukum nasional secara subst ant if t elah mengat ur nilai-nilai hak asasi manusia.

  Pemerint ah Soehart o di masyarakat Int er- nasional mempunyai cit ra buruk t erkait dengan penegakan hak asasi manusia sehingga perlu bagi rezimnya unt uk menyangkal hal t ersebut sehingga pada t anggal 7 Juli 1993 Soehart o me- ngeluarkan Keput usan Presiden No. 50/ 1993 t ent ang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang membuka gerbang bagi domest if ikasi norma- norma hak asasi manusia int ernasional. Soehar- t o mengangkat t okoh-t okoh nasional yang mempunyai reput asi t inggi sebagai komisioner komnasham unt uk menj aga adanya resist ensi dan pesimisme publik baik nasional maupun int ernasional. Meskipun t indakan t ersebut pada prinsipnya unt uk memperbaiki cit ra pemerint ah t et api secara hukum dan polit ik j uga membawa konsekuensi akan masuknya norma-norma hak asasi manusia int ernasional ke dalalm wilayah domest ik indonesia. Dalam kerangka konsept ual hak asasi manusia “ spir al model ” maka Indo- nesia saat it u t elah memasuki f ase ” t act i cal

  concessi ons” karena rezim sudah membuka diri

  akan hadirnya norma hak asasi manusia int er-

  348 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 12 No. 2 Mei 2012

  nasional dalam kedaulat an hukumnya meskipun hanya pada t ingkat perbaikan cit ra saj a.

  2008 yang dit andai dengan runt uhnya kekuasa- an Orde Baru Soehart o dan digant ikan dengan Presiden Habibie maka Indonesia memasuki era

  pr escr i pt ive st at us t erkait dengan penormaan

  hak asasi manusia secara nasional. Pada t anggal

  23 Sept ember 1999 Indonesia mengeluarkan Un- dang-undang No. 39/ 1999 t ent ang Hak Asasi Manusia yang pada pasal 4 menyat akan bahwa “ . . . hak kebebasan pribadi, pikiran dan hat i nu- rani, hak beragama. . . adalah hak asasi manu- sia yang t idak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” . Pada Pasal 22 un- dang-undang ini j uga menegaskan bahwa “ Se- t iap orang bebas memeluk agamanya masing- masing dan unt uk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya it u” dan “ Negara menj a- min kemerdekaan set iap orang memeluk aga- manya masing-masing dan unt uk beribadat me- nurut agamanya dan kepercayaannya it u” . Se- t ahun kemudian pada t anggal 18 Agust us 2000 Maj elis Permusyawarat an Rakyat mengaman- demen UUD 1945 dengan memasukkan bebera- pa ket ent uan t ent ang hak at as kebebasan ber- agama dan berkeyakinan dalam Bab X t ent ang Hak Asasi Manusia sebagai berikut :

  Pasal 28E: (1) Set iap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengaj aran, memilih pekerj aan, memilih kewar- ganegaraan, memilih t empat t inggal di wilayah negara dan meninggalkan- nya, sert a berhak kembali. (2) Set iap orang berhak at as kebebasan meyakini kepercayaan, menyat akan pikiran dan sikap, sesuai dengan hat i nuraninya.

  (3) Set iap orang berhak at as kebebasan berserikat , berkumpul, dan menge- luarkan pendapat .

  Pasal 28I: (1) Hak unt uk hidup, hak unt uk t idak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hat i nurani, hak beragama, hak unt uk t idak diperbudak, hak unt uk diakui 4 Thomas Ri sse, et , al (ed), 2005, The Power of Human

  Ri ght s: Int er nat i onal Nor ms and Domest i c Change,

  sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak unt uk t idak dit unt ut at as dasar hukum yang berlaku surut ada- lah hak asasi manusia yang t idak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. (2) Set iap orang berhak bebas dari per- lakuan yang bersif at diskriminat if at as dasar apa pun dan berhak men- dapat kan perlindungan t erhadap per- lakuan yang bersif at diskriminat if it u. Preskripsi Konst it usi t ent ang hak asasi manusia khususnya hak at as kebebasan beraga- ma dan berkepercayaan secara kelembagaan j uga diperkuat dengan diperkenalkannya Mah- kamah Konst it usi dalam sist em ket at anegaraan Indonesia yang berwenang menguj i seluruh un- dang-undang t erhadap undang-undang dasar t ermasuk undang-undang yang dikeluarkan sebelum dilakukannya amandemen.

4 Set elah era ref ormasi dat ang pada t ahun

  Perlindungan Hak Asasi Manusia t idak saj a diikht iarkan kepada hukum mat eriil t et api j uga pada hukum f ormalnya yait u dengan dikeluar- kannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 t ent ang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memberikan upaya perlindungan kepada ke- lompok agama t ert ent u dari kej ahat an t erha- dap kemanusian dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Tidak cukup sampai disit u, pada t ahun 2005 Indonesia merat if ikasi dua kovenan pokok hak asasi manusia yait u ICESCR dan IC- CPR masing-masing dengan Undang-Undang No. 11 dan 12 Tahun 2005. Dengan demikian maka Indonesia secara hukum t erikat dalam pene- gakan ket ent uan Pasal 18 ICCPR yang menyat a- kan bahwa:

  (1) Ever yone shal l have t he r i ght t o f r eedom of t hought , conscience and r el i gion. Thi s r i ght shal l i ncl ude f r eedom t o have or t o adopt a r el i - gi on or bel i ef of hi s choi ce, and f r ee- dom, eit her i ndi vi dual l y or i n com- muni t y wi t h ot her s and i n publ i c or pr i vat e, t o mani f est hi s r el i gion or bel i ef in wor shi p, obser vance, pr ac- t i ce and t eachi ng. 2. No one shal l be subj ect t o coer cion whi ch woul d im- pai r hi s f r eedom t o have or t o adopt a r el i gion or bel i ef of hi s choi ce. (2) Fr eedom t o mani f est one's r el i gion or bel i ef s may be subj ect onl y t o such Mengkaj i Pol it ik Hukum Kebebasan Ber agama dan Berkeyakinan di Indonesi a 349 l i mi t at ions as ar e pr escr i bed by l aw and ar e necessar y t o pr ot ect publ i c saf et y, or der , heal t h, or mor al s or t he f undament al r i ght s and f r eedoms of ot her s. (3) The St at es Par t i es t o t he pr esent Co- venant under t ake t o have r espect f or t he l i ber t y of par ent s and, when appl i cabl e, l egal guar di ans t o ensur e t he r el i gi ous and mor al educat ion of t heir chi l dr en i n conf or mi t y wit h t heir own convi ct i ons.

  Todung Mulya Lubis melihat sit uasi yang melingkupi lahirnya st at us preskripsi hak asasi manusia t ersebut di at as sebagai enl i ght ened

  const r uct ion, meskipun di sisi lain muncul j uga

  kebut uhan unt uk melakukan pengawalan dan pengawasan t erhadap pelaksanaan dan perj a- lanan ke depannya

  5 .

  Melimpahnya norma-norma hukum hak asasi manusia dalam sist em hukum nasional Indonesia menandai babak baru dalam pene- gakan hak asasi manusia dan seharusnya lebih menj aj ikan dibandingkan dengan ket ika belum adanya landasan hukum.

  t it usi hasil amandemen dit egaskan bahwa Indo- nesia merupakan negara hukum dimana t at a kelola negara harus didasarkan at as hukum dan bukan kekuasaan belaka ( r echt st aat ). Menj adi pert anyaan berikut nya adalah apakah penca- paian t uj uan hukum akan selalu mempunyai hubungan lurus dengan melimpahnya norma hukum yang mengat urnya? Pert anyaan t ent ang bagaimana cara melakukan harmonisasi kehidu- pan ant ara umat beragama yang damai, saling percaya dan berkeadilan selalu menj adi pert a- nyaan dalam realit as pluralisme keberagamaan dan berkepercayaan di Indonesia.

  ada sebuah simpulan penelit ian yang menarik unt uk disit ir yait u: 5 Todung Mul ya Lubi s, “ Menegakkan Hak Asasi Manusi a,

  Menggugat Diskr iminasi” , Jur nal Hukum dan Pemba- ngunan Vol 39 No. 1 Tahun 2009, Fakul t as Hukum Uni- versi t as Indonesi a, hl m. 58-73 6 Al bert Hasibuan, “ Pol i t ik Hak Asasi Manusia (HAM) dan UUD 1945” , Jur nal Law Revi ew Vol VIII No. 1 Jul i 2008,

  Fakul t as Hukum Uni versit as Pel it a Har apan Jakart a, hl m. 43-62 7 Krispurwana, “ Tel esphorus, Dial og Ant ar agama dan Tant angan bagi Perdamaian sert a Keadil an” , Jur nal Di s- kur sus Vol 6 No. 1 April 2007, Jakart a: Sekol ah Tinggi

  “ Reconsi der i ng t he quest ion of whet her we shoul d r ecommence t he pr ocess of pr oduci ng a global l egal inst r ument on t he f r eedom of r el i gion or bel ief mi ght be a ver y good pl ace t o st ar t . Thi s woul d r ol l back t he essent i al l y negat ive appr o- aches of r ecent year s and champi on a mor e posi t i ve vi si on of what r el i gious f r eedom has t o of f er ”

   8 Pada t anggal 17 Januari 2000 Presiden

  KH. Abdurrahman Wahid memulihkan kembali hak-hak kegamaan, kepercayaan dan adat ist i- adat masyarakat ket urunan China di Indonesia yang selama ini mengalami diskriminasi karena t idak bisa menikmat i hak-hak t erkait kebebasan beribadah, berekspresi dan berasosiasi berda- sarkan agama dan keyakinan mereka karena di- anggap akan berdampak buruk t erhadap t at a- nan sosial hanya karena mereka bukan ket uru- nan pribumi dengan mengeluarkan Keput usan Presiden No. 6 Tahun 2000 t ent ang Pencabut an Inst ruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 t ent ang Agama, Kepercayaan, dan Adat Ist iadat Cina.

  Tercapainya t uj uan hukum dalam masya- rakat sepert i kepast ian, keadilan, dan keman- f aat an kemudian menj adi pert anyaan besar ke- t ika konf lik agama masih t erus t erj adi. Bahkan, dari segi pelaku j uga mengalami t ransisi yait u kalau dulu semat a-semat a diskriminasi dilaku- kan oleh aparat ur negara t et api perkembangan- nya sekarang pelanggaran j ust ru dilakukan j uga oleh kelompok masyarakat . Kelompok Ahmadi- yah pada j aman Soehart o mendapat pengakuan yang sangat kuat dimana pada set iap musya- warah nasional selalu dihadiri oleh pej abat t inggi kement erian agama, namun sekarang kelompok ini mendapat serangan dari kelompok agama lain dengan t anpa mendapat perlindung- an yang memadai dari negara. Demikian j uga dengan penyerangan t erhadap gerej a-gerej a sebelum era ref ormasi hampir t idak pernah t er- j adi meskipun di sisi lain ij in mendirikan gerej a j uga sangat sulit hingga sampai sekarang. Hu- kum dalam sit uasi sepert i it u merupakan se- buah problem dan alat unt uk set idak-t idaknya 8 Mal col m Evans, “ Advancing Freedom of Rel igion or

6 Apalagi, dalam kons-

7 Selain it u

  Bel ief : Agendas f or Change” , Oxf or d Jour nal of Law and Rel i gi on, doi: 10, 1093/ oj l r / rwr002, 2011, hl m. 1-

  350 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 12 No. 2 Mei 2012

  menj adi pembenar bagi pelanggaran hak asasi manusia.

  Hukum yang sangat rapuh dalam pene- gakannya menj adikan awal dari sebuah t unt u- t an unt uk melakukan evaluasi normat if melalui lembaga peradilan t erhadap perat uran perun- dang-undangan yang dalam prakt iknya diguna- kan sebagai alat pembenar unt uk melakukan kekerasan berbasis agama. Sebab t idak j arang para pelaku kekerasan memanf aat kan celah perat uran perundang-undangan yang memang dapat digunakan sebagai alat unt uk menghin- dari t unt ut an pidana disamping j uga masih lemahnya aparat kepolisian di lapangan unt uk menggunakan celah hukum guna melindungi korban kekerasan karena alasan t eknis sepert i kalah j umlah dibanding massa perusak maupun pelaku kekerasan. Aspek hukum sebenarnya bukan sat u-sat unya akar permasalahan menga- pa kekerasan berbasis agama t erj adi namun demikian akan sulit unt uk memisahkan set iap kasus kekerasan j ika t idak menghubungkannya dengan perat uran perundang-undangan karena pada akhirnya semua proses penyelesaian akan bert emu dalam ruang dan ranah hukum sepert i di Kepolisian dan Pengadilan. Sehingga, peng- uj ian t erhadap perat uran perundang-undangan yang t idak lagi relevan dengan semangat pe- negakan hak asasi manusia merupakan hal yang sangat pent ing pada saat kekerasan ber-basis agama masih sering t erj adi.

  Penguj ian perat uran perundang-undangan pada era ref ormasi t elah mempunyai sist em yang mapan dengan t erbent uknya Mahkamah Konst it usi. Penggant ian hukum yang t idak rele- van lagi dengan norma-norma hak asasi manu- sia dalam konst it usi memang bisa dilakukan dengan pembuat an hukum yang baru melalui lembaga legislat if sehingga berlaku pr i nsi p Lex

  post eor i der ogat l egi pr ior i . Akan t et api pilihan

  t ersebut kurang menj anj ikan di t engah buruk- nya reput asi dan perf orma lembaga legislat if . Dari segi hukum, pilihan t erbaik dari sit uasi yang t erburuk adalah dengan melakukan pengu- j ian at au j udiciil review t erhadap perat uran perundang-undangan yang sering digunakan se- bagai alasan pembenar bagi t indak kekerasan dan int oleransi ke Mahkamah Konst it usi. UU

  No. 1/ PNPS Tahun 1965 t ent ang Pencegahan Pe- nyalahgunaan dan/ at au Penodaan Agama meru- pakan sal ah sat u perat uran perundang-undang- an yang sering digunakan oleh para pelaku ke- kerasan berbasis agama sebagai alasan pem- benar. Norma int i dari UU No. 1/ PNPS Tahun 1965 t ent ang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ at au Penodaan Agama sebagaimana t ercant um pada Pasal 1 sebagai berikut :

  “ Set iap orang dilarang dengan sengaj a di muka umum mencerit akan, menganj ur- kan at au mengusahakan dukungan umum, unt uk melakukan penaf siran t ent ang se- suat u agama yang dianut di Indonesia at au melakukan kegiat an-kegiat an keaga- maan yang menyerupai kegiat an-kegiat an keagamaan dari agama it u, penaf siran dan kegiat an mana menyimpang dari po- kok-pokok aj aran agama it u” Unt uk memberikan kekuat an t erhadap penegakan norma t ersebut maka di pasal lain dari undang-undang t ersebut diat ur ket ent uan pidananya t ermasuk pidana penj ara 5 (lima) t a- hun bagi yang melanggarnya. Kemudian secara kelembagaan negara maka Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada Presiden me- lalui ment eri agama, ment eri dalam negeri dan j aksa agung unt uk melakukan pengawasan ak- t if it as, pembubaran, hingga pemidanaan t erha- dap kelompok-kelompok yang dianggap me- nyimpang dari aj aran agama mainst ream yang diakui negara. Sebagaimana t elah dit elit i j uga sebelumnya bahwa bahwa undang-undang t er- sebut sangat problemat is unt uk dit erapkan pa- da saat ini ket ika Indonesia secara hukum sudah t erikat dengan norma-norma hak asasi manusia baik pada t ingkat nasional maupun int ernasio- nal

  9

  . Meskipun pada awalnya undang-undang t ersebut ingin membat asi munculnya aliran kepercayaan yang bert ent angan dengan nilai- nilai keagamaan t et api dalam perkembangan- nya sulit t erkont rol dan j ust ru digunakan unt uk memberangus pandangan krit is t erhadap prak- t ik-prakt ik keagamaan. Sangat j arang sekali, unt uk mengat akan t idak ada, penegakan norma 9 Frans Hendra Winat a, “ Agama Tidak Memerl ukan Pe-

  ngakuan Negara Secara Resmi dan Diat ur Hukum” , Jur nal Law Revi ew Vol VIII No. 1 Jul i 2008, Jakart a: Fa- Mengkaj i Pol it ik Hukum Kebebasan Ber agama dan Berkeyakinan di Indonesi a 351

  undang-undang ini dilaksanakan melalui t at a acara peradilan yang sah dan proses yang damai melainkan yang t erj adi adalah peradilan j ala- nan yang berdarah-darah.

  Kesenj angan ant ara Penafsiran dan Penerap- an Akibat Politik Pengabaian

  Pada t anggal 28 Okt ober 2009 para pegiat hak asasi manusia Indonesia, salah sat unya mant an Presiden Abdurrahman Wahid, menga- j ukan uj i mat eriil t erhadap UU No. 1/ PNPS 1965 ke Mahkamah Konst it usi dalam rangka memper- t egas hak konst it usional umat minorit as at as kebebasan beragama dan berkepercayaan yang selama ini t ermarginalkan. Senj at a normat if yang digunakan cukup memadai dan sangat ko- koh secara hukum, baik nasional maupun int er- nasional. Berhadapan dengan para pemohon dalam perdebat an di persidangan adalah saksi- saksi dari Pemerint ah, DPR, dan beberapa orga- nisasi masyarakat keagamaan t erut ama Islam yang not abene adalah agama-agama yang besar dan diakui secara administ rat if oleh negara. Se- cara polit is, mereka yang melawan pemohon adalah organisasi massa yang mempunyai ang- got a berj umlah j ut aan bahkan menj adi peme- gang suara mayorit as dalam set iap pemilihan umum. Fakt a yang menarik adalah bersat unya ant ara beberapa organisasi Islam yang dalam keseharian mempunyai banyak perbedaan dalam banyak hal, sebagai cont ohadalah NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, dan FPI. Para pemohon dalam proses j udicial review seolah- olah dianggap sebagai common enemy bagi se- luruh ormas Islam sehingga mereka bersat u un- t uk t et ap mempert ahankan UU No. 1/ PNPS 1965. Sej ak awal, para pemohon baik di luar maupun di dalam pengadilan selalu dianggap sebagai sekelompok orang dan LSM yang ingin mengikis nilai-nilai religiusit as masyarakat In- donesia dan ingin menyebarkan paham-paham liberalisme, individualisme, dan sekularisme se- hingga harus dilawan bahkan dengan cara keke- rasan sekalipun. Dalam kont eks sepert i it ulah akhirnya Mahkamah Konst it usi mengeluarkan Put usan Nomor 140/ PUU-VII/ 2009 yang menya- t akan menolak seluruh permohonan para pemo- hon dan dengan demikian maka Undang-Undang

  No. 1/ PNPS Tahun 1965 t et ap berlaku dan t anpa ada perubahan sedikit pun.

  Salah sat u alasan kuat Mahkamah Kons- t it usi unt uk t et ap mempert ahankan eksist ensi Undang-Undang No. 1/ PNPS Tahun 1965 adalah adanya kewenangan negara unt uk membat asai pelaksanaan hak at as kebebasan beragama dan berkeyakain dengan mendasarkan secara hu- kum kepada ket ent uan-ket ent uan perat uran perundang-undangan sebagai berikut . Per t ama, Pasal 28J UUD 1945 ayat (1) dan (2); kedua, Pa- sal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005; dan

  ket i ga, Pasal 70 Undang-Undang Hak Asasi Manusia.

  Apabila diringkas maka alasan pembat as- an yang menj adi dasar hukum put usan penga- dilan adalah sebagai berikut . Per t ama, pemba- t asan dibuat dengan undang-undang dan pera- t uran pelaksananya; kedua, sebagai bent uk penghormat an at as hak dan kebebasan orang lain; ket i ga, moral; keempat , nilai-nilai agama;

  kel i ma, keamanan; keenam, kesehat an; ket u- j uh, ket ert iban umum; dan kedel apan, masya-

  rakat yang demokrat is.

  Keunikan dari alasan pembat asan yang digunakan dalam sist em hukum di Indonesia j i- ka dibandingkan dengan ket ent uan-ket ent uan int ernasional adalah digunakannya nilai-nilai agama sebagai alasan unt uk membat asi penik- mat an hak asasi manusia khususnya hak kebe- basan beragama dan berkeyakinan. Persoalan muncul t erut ama dalam kasus penikmat an hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dimiliki oleh kelompok minorit as dimana agama dan kepercayaan mereka past i berbeda dengan kelompok mainst ream at au mayorit as sehingga dalam proses pembat asan t ent u yang digunakan adalah st andart kelompok mayorit as. Dalam sit uasi t ersebut maka akan cenderung unt uk menghasilkan perlakuan negara yang dis- kri-minat if t erhadap kelompok minorit as apala- gi bagi Indonesia yang menganut sist em negara dimana banyak kebij akan publik dit ent ukan oleh suara mayorit as ( maj or it y voi ces). Dalam pot ensi masalah sepert i ini sebenarnya reput asi mahkamah konst it usi diuj i sej auh mana mereka bisa bersikap adil bagi semua golongan unt uk

  352 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 12 No. 2 Mei 2012

  mewuj udkan rasa keadilan sebagai t uj uan akhir mengapa hukum it u dibent uk.

  Apabila dilihat dari pert imbangan put us- an yang dibuat oleh Mahkamah Konst it usi maka t erlihat bahwa penggunaan dasar hukum kewe- nangan negara dalam melakukan pembat asan t erhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan t idak diikut i dengan alasan- alasan yang cukup kuat sebagaimana t elah di- kenal dalam hukum int ernasional maupun pen- dapat para ahli di bidang hak asasi manusia. Se- j ak awal dit egaskan oleh para hakim bahwa penaf siran t erhadap pelaksanaan hak asasi ma- nusia harus dilet akan dalam kerangka sikap pandang bangsa Indonesia yang t idak t unduk kepada paham-paham manapun sepert i liberal- isme, sosialisme, maupun individualisme. Da- lam put usannya, para hakim t idak menj elaskan lebih lanj ut t ent ang paham-paham t ersebut dan apa kait annya dengan perkara yang dit a- ngani. Hakim seolah-olah ingin menj auh dari perkembangan hak asasi manusia int ernasional dengan berlindung di balik part ikularit as do- mest ik Indonesia. Dalam pert imbangan put us- annya hakim memperkenalkan ist ilah j alan t engah dalam menyikapi kont eks universalit as hak at as kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan realit as int ernal bangsa Indonesia dalam hal ini adalah nilai-nilai agama Islam. Hal ini memang sudah menj adi bagian dari kecendurangan umum sej ak lama bagaimana implement asi at as t af sir hak asasi manusia di negara-negara Islam.

  lah membuat sebuah Put usan yang t idak mem- berikan apresiasi t erhadap perkembangan hak asasi manusia di Indonesia yang secara hukum t elah memiliki landasan sangat kuat dan secara prakt is memang dibut uhkan oleh masyarakat t erut ama kelompok beragama/ berkeyakinan minorit as.

  nyederhanakan t erhadap problem hak at as ke- 10 Mohamad Hudaer i, “ Isl am dan Hak Asasi Manusi a: Respon Int el ekt ual Musl im” , Jur nal Al -Qal am Vol 24 No.

  3 Tahun 2007, PPPM IAIN Sul t an Maul ana Hasannudi n, hl m. 364-386 11 Muhammad As’ ad, “ Ahmadi yah and t he Freedom of Rel igion i n Indonesia” , Jour nal of Indonesi an Isl am, Vol 03 (02) Desember 2009, Program Pascasarj ana IAIN

  bebasan beragama dan berkeyakinan dengan cara memut us mat a rant ai ket erkait an ant ara pemberlakuan undang-undangan penodaan aga- ma dengan pelanggaran hak konst it usional at as kebebasan beragamaan berkeyakinan yang da- lam t at aran prakt is sudah sangat memprihat in- kan.

  12 Tet ap diberlakukannya undang-undang

  t ersebut menimbulkan hal buruk yang akan t e- t ap t erj adi adalah t erbukanya ruang int ervensi negara yang t erlalu j auh dalam kehidupan aga- ma/ kepercayaan warga negara. Int ervensi ini sering dit erapkan dengan cara-cara yang bias t erkait hubungan ant ara kelompok beragama/ berkeyakinan mayorit as dan minorit as sehingga selalu merugikan mereka yang menj adi bagian dari kelompok minorit as. Padahal dalam un- dang-undang hak asasi manusia dan konst it usi dit egaskan bahwa negara melalui organ-organ- nya mempunyai kewaj iban unt uk melakukan t indakan af f i r mat ive act i on bagi kelompok ren- t an yang di dalamnya t ermasuk kelompok aga- ma/ keyakinan minrot as.

  Selain it u, apabila dilihat dari pert im- bangan put usan maka akan nampak bahwa para hakim t idak memberikan sumbangan yang cu- kup berart i t erhadap t af sir norma-norma kons- t it usi t erkait penikmat an hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan. Para saksi ahli t elah memberikan masukan-masukan yang cu- kup komprehensif t erkait dengan perkembang- an prakt ek-prakt ek pengat uran hak at as kebe- basan beragama dan berkeyakinan, akan t et api banyak dari pert imbangan t ersebut t idak men- j adi pert imbangan hakim dalam mengambil pu- t usan. Hakim lebih berf okus kepada asumsi bahwa apabila undang-undang t ent ang penoda- an agama t idak ada maka akan t erj adi chaos dalam masyarakat karena akan t imbul konf lik horizont al ant ar umat beragama yang bersum- ber dari ket idakt erimaan kelompok agama at as t af sir kelompok lain yang dianggap menodai agama mereka. Menj adi pert anyaan berikut nya adalah apakah t af sir Mahkamah Konst it usi t er- 12 Margi yono, et al , 2011, Bukan Jal an Tengah, Eksami nasi

10 Mahkamah Konst it usi dalam kasus ini t e-

11 Put usan t ersebut j uga t elah me-

  Publ i k Put usan Mahkamah Konst i t usi t er hadap Undang- Undang No, 1 Tahun 1965 t ent ang Penyal ahgunaan Mengkaj i Pol it ik Hukum Kebebasan Ber agama dan Berkeyakinan di Indonesi a 353

  sebut mempunyai dasar yang kuat dalam kehi- dupan nyat a? at aukah t af sir t ersebut merupa- kan bent uk nyat a dominasi kelompok mayorit as at as kelompok minorit as? dan apakah memang t erbukt i j ika undang-undang t ersebut eksis ma- ka akan t erj adi t ert ib sosial sehingga penikmat - an hak at as kebebasan beragama dan berkeya- kinan akan t ercapai? Unt uk menj awab hal it u semua maka harus dilihat sit uasi nyat a dalam masyarakat pasca dikeluarkannya put usan t er- sebut . Keset araan hak bagi semua penganut agama dalam konst ruksi hukum dan sosial me- mang sangat kompleks apalagi t erkait dengan

  over l appi ng norma dan nilai-nilai dalam masya-

  rakat . Terj ebaknya hakim Mahkamah Konst it usi mungkin t ergambar j uga dari simpulan yang dibuat oleh Danchin t erkait diskusinya t ent ang esensi “ manusia” dalam hak asasi manusia da- lam perspekt if klaim agama dan budaya sebagai berikut :

  “ Of cour se, any such cl ai ms r ai se com- pl ex and di f f i cul t conf l i ct s bet ween equal i t y nor ms on t he one hand, and r el i gious and cul t ur al f r eedom nor ms on t he ot her . A val ue pl ur al i st appr oach t o such quest i ons opens t he possi bi l i t y of new f or ms of t he her meneut i c cir cl e and t hus di ver se f or ms of f usion of hor izons. Thi s, i n t ur n, opens t he way t o a l ess dogmat i c and bi nar y account of r eason and r el i gion by viewi ng bot h as human i nst it ut ions and social pr act i ces r equir i ng modes of j ust i f i cat ion and account abi - l i t y. Just as i s t he case wit h t he doct r ine of subst ant ive neut r al i t y, t hi s r equir es t he const ant sear ch f or f or ms of accom- modat i on, mut ual under st andi ng, and over l appi ng consen-sus bet ween act ual r el i gious communit ies and t he nor mat ive cl ai ms of r i ght s di scour se under st ood in val ue pl ur al i st and phi l osophi cal l y her - meneut i c t er ms. In or der f or t hi s t o oc- cur , however , t he pr i mar y obst acle, t he i nabi l i t y of West er n r i ght s t heor i st s t o see t hei r cul t ur e as one amongst ot her s, must be sur passed” .

  keberagamaan yang dianut oleh bangsa-bangsa 13 Pet er G Danchin, “ Who i s t he “ Human” i n Human

  Right s? The Cl aims of Cul t ure and Rel igion” , Mar yl and Jour nal of Int er nat i onal Law, Vol 24 No. 99 Tahun

  yang ada di Indonesia secara f ilosof is menga- lami uj ian yang cukup berat t erut ama bagi umat minorit as. Kekuasaan negara yang masuk dalam ranah keberagamaan t elah menyempit - kan “ ruang t eologis bebas kekuasaan” sehingga berakibat kepada t erancamnya budaya baru yang lebih manusiawi, berperadaban, berkeru- kunan, sert a kebhinekaan dalam ikat an keadab- an ( genui ne engagment of di ver si t i es wit hi n t he bonds of ci vi l i t y).

  14 Kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan