Pidato Prof. Sri Suryawati 25 Juni 2012
KEARIFAN BUDAYA INDONESIA UNTUK SOLUSI MASALAH GLOBAL PENGGUNAAN OBAT UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 25 Juni 2012
di Yogyakarta
Oleh:
Prof. Dr. Dra. Sri Suryawati, Apt.
Bismillahirrahmaanirrahiim Assalaamu ‘alaikum warrahmatullahi wabarrakaatuh Salam sejahtera untuk kita semua… Yang saya hormati,
Ketua, Sekretaris, Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada,
Ketua, Sekretaris, Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada,Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada,
Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Kepala Pusat Studi di Universitas Gadjah MadaTeman Sejawat, Mitra Kerja, Sahabat, Sanak-saudara, dan Hadirin
sekalian,Segala puja dan puji dipersembahkan ke Hadirat Allah yang Maha Kuasa, karena atas perkenanNya pagi ini kita dapat berada di ruangan ini dalam keadaan sehat walafiat. Merupakan kehormatan yang sangat besar bagi saya atas kesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan ini, yang merupakan pertanggungjawaban atas pengangkatan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Farmakologi dan Terapi pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Dengan perkenan hadirin sekalian, judul pidato yang akan saya sampaikan adalah:
KEARIFAN BUDAYA INDONESIA
UNTUK SOLUSI MASALAH GLOBAL
PENGGUNAAN OBAT
Masalah ini saya pilih sebagai materi pidato dengan harapan dapat membangkitkan kembali rasa kebangsaan dan nasionalisme kita, di tengah galaunya situasi politik dan ekonomi negara ini. Semoga dapat menjadi stimulus agar kita semua tetap bangga sebagai orang Indonesia dan dengan penuh keyakinan berdiri di forum internasional.
Pidato akan diawali dengan pemaparan masalah global dalam penggunaan obat. Kemudian akan disampaikan berbagai upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki situasi penggunaan obat. Akan dipaparkan bagaimana kearifan budaya Indonesia telah memberikan inspirasi dan membentuk kerangka pengembangan model-model solusi yang diapresiasi dan diadopsi dunia global. Pidato akan saya akhiri dengan butir-butir pemikiran dan harapan untuk memelihara kearifan budaya, agar negara Indonesia makin diminati sebagai sumber belajar dunia.
Hadirin yang saya muliakan, Masalah global penggunaan obat
Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinis mereka, dengan dosis dan cara pemberian yang tepat, dan dengan harga yang terjangkau bagi pasien dan masyarakat. Namun data global menunjukkan bahwa situasi tersebut masih belum sepenuhnya tercapai. Di antara berbagai masalah yang dihadapi, yang paling sering dijumpai adalah terhambatnya akses terhadap obat esensial, penggunaan antibiotika yang berlebihan atau tidak sesuai, dan penggunaan injeksi yang berlebihan.
Padahal, akses terhadap obat esensial adalah salah satu hak azasi manusia. Kalimat ini bukanlah retorika semata, namun membawa konsekuensi tanggungjawab yang sangat besar karena pemerintah mempunyai kewajiban menjamin ketersediaan dan keterjangkauannya. Landasannya adalah Universal Declaration of Human Rights
(UDH
Pasal 25, yang berbunyi: “Everyone has the right to a
standard of living adequate for the health and well-being of himself
and of his family, including food, clothing, housing and medical care
and necessary social services, and the right to security in the event of
unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack
of livelihood in circumstances beyond his control.” International
Pasal 12
1
United Nations, 1948, The Universal Declaration of Human Rights.
Adopted by the General Assembly of the United Nations on 10 December 1948.
Tersedia diakses 8 Maret 2012.2 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR), 1966. Adopted and opened for signature, ratification and accession by berbunyi: “The States Parties to the present Covenant recognize the
right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard
of physical and mental health”. Commission on Economic, Social and
highest attainable standard adalah pelayanan kesehatan yang terbaik
dengan obat terbaik, yaitu obat esensial sebagaimana didefinisikan
Obat esensial adalah obat-obat yang diperlukan untuk pelayanan
4
kesehatan prioritas. Proses seleksinya harus didasarkan pada hasil penelaahan sistematis dan komprehensif terhadap kemanfaatan dan keamanan, pertimbangan kebutuhan kesehatan masyarakat, ketersediaan produk, dan pertimbangan harga, serta harus melalui proses seleksi yang transparan. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan, obat baru dapat dimasukkan atau menggantikan yang sudah ada di dalam daftar apabila terbukti lebih baik sesuai kriteria seleksi tersebut. WHO menyediakan Model List of Essential
Medicines (WHO-EML) sejak 1977, sebagai acuan negara-negara
pada waktu menyusun atau merevisi daftar obat esensial mereka.Sambutan terhadap pentingnya obat esensial sangat menggembirakan. Dalam kurun waktu 3 dekade, 86% negara di dunia telah mempunyai Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), termasuk Indonesia. Upaya terus dilakukan oleh semua negara agar obat esensial diutamakan penggunaannya dalam pelayanan kesehatan, baik di pelayanan kesehatan publik maupun swasta. Survei WHO yang dipublikasi tahun 2011 (WHO, 2011) telah menunjukkan keberhasilan di sektor publik. Dari 156 negara dengan tingkat pendapatan rendah, sedang, maupun tinggi, hampir semua negara menggunakan obat esensial untuk pengadaan obat publiknya. Sangat menarik bahwa justru semua (100%) negara dengan tingkat pendapatan tinggi menggunakan obat esensial untuk pengadaan obat publiknya. Untuk
force 3 January 1976, according to Article 27.
3
Commission on Economic, Social and Cultural Rights, 1990. General
Comment No.3, para 10.
4
WHO, 2011, The World Medicines Situation: Selection of
Essential Medicines, Doc. WHO/EMP/MIE/2011.2.8, WHO, Geneva. sektor swasta, datanya masih memprihatinkan karena hanya sekitar 13% negara saja yang mengutamakan obat esensial. Beberapa faktor penghambat telah diidentifikasi, misalnya masalah geografi, distribusi, jaminan ketersediaan, jaminan mutu obat, persepsi penyedia pelayanan kesehatan dan masyarakat, serta komitmen penyelenggara pelayanan. Untuk mengatasi dan mengantisipasi hambatan tersebut, diperlukan kerjasama yang baik dari penyedia pelayanan swasta.
Hadirin yang saya muliakan,
Selain masalah akses obat esensial di pelayanan swasta, dunia juga menghadapi masalah penggunaan antimikroba yang seringkali tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Penggunaan antimikroba secara kurang tepat yang dilakukan di masa lalu dampaknya baru dirasakan bertahun-tahun kemudian, yaitu berkembang pesatnya resistensi kuman terhadap antimikroba andalan maupun antimikroba yang terbaru sekalipun. Berkembang pesatnya resistensi kuman juga secara tidak langsung mengakibatkan lesunya riset pengembangan antimikroba baru karena investasi yang telah ditanam sulit kembali.
Selain penggunaan obat esensial dan antimikroba, masih banyak lagi masalah terkait penggunaan obat, seperti penggunaan kortikosteroid pada anak yang berlebihan, penggunaan psikotropika yang berlebihan, swamedikasi dengan antimikroba, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut dapat terjadi di mana saja, baik di negara dengan tingkat pendapatan rendah, sedang, ataupun tinggi. Karena latar belakang masalah yang berbeda-beda, upaya pengatasan masalah seyogyanya juga perlu disesuaikan dengan situasi setempat.
Masalah penggunaan obat di Indonesia Hadirin yang saya muliakan,
Dibandingkan dengan tahun 1990an, situasi penggunaan obat di Indonesia sudah berangsur membaik, utamanya di sektor pelayanan publik. Data nasional yang dikompilasi dari berbagai laporan menunjukkan prosentase pasien yang menerima antibiotika di menjadi
sekitar 50% di tahun 1997, 1998, 1999, dan sekitar 50% di
tahun 2010Demikian pula, prosentase pasien yang menerima injeksi telah berhasil dikendalikan, dari 74% di tahun 1987 turun drastic
6 7 menjadi 4-11%, dan kemudian bertahan sekitar 3% di tahun 2010.
Persentase penggunaan obat esensial selalu baik, yaitu berkisar antara
6,7
93-100%. Perubahan di sektor swasta tidak dapat dilihat secara jelas karena terbatasnya data yang komprehensif, namun dari berbagai laporan dapat ditunjukkan bahwa mutu penggunaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan swasta masih perlu ditingkatkan. Persentase penggunaan obat esensial hanya sekitar 34-49%. Penggunaan obat non-esensial ini ikut memberikan kontribusi terhadap besarnya biaya
6 obat, yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak daripada yang seharusnya.
Dalam upaya meningkatkan mutu penggunaan obat, kita perlu bersikap kritis. Namun demikian, diperlukan juga kearifan untuk tidak serta merta menyalahkan penyedia pelayanan kesehatan yang menggunakan obat secara kurang tepat. Kita perlu memahami bahwa ada berbagai situasi dan kondisi yang mempengaruhi keputusan penggunaan obat. Kadang-kadang pengetahuan dan keyakinan penyedia pelayanan bukanlah faktor yang dominan. Dalam banyak situasi, faktor-faktor lain dapat sangat berperan, misalnya karena mengikuti permintaan pasien, memenuhi target pelayanan yang ditetapkan institusi, tidak tersedianya pedoman pengobatan terkini, terpengaruh promosi obat, ada kesenjangan informasi, beban tugas yang menyita waktu, atau tidak tersedianya obat esensial.
Dengan kata lain, ada tiga aspek yang perlu kita cermati, yakni dari aspek penyedia pelayanan, aspek pasien, dan aspek lingkungan kerja. Tanpa memahami faktor mana yang dominan, agak sulit bagi
Ministry of Health of Indonesia, 1987. Child Survival Pharmaceuticals in
Indonesia. Opportunities for Therapeutic and Economic Efficiencies in
Pharmaceutical Supply and Use. Final Report.CCPDPS-UGM, 2004. Impact of the Currency Crisis on Medicine 6
Cost, Availability, and Use of Key Essential Medicines in Indonesia 1997-2002,
Report to the Ministry of Health of Indonesia. Centre for Clinical Pharmacology
and Medicine Policy Studies, Universitas Gadjah Mada.7 Anonymous, 2011, Pharmaceutical Country Profile: Indonesia.
kita untuk melakukan upaya perbaikan secara tepat sasaran, nyaman bagi target, dan dalam suasana yang menyenangkan.
Masuknya konsep budaya Indonesia dalam jejaring internasional
penggunaan obat rasional Hadirin yang saya muliakan, International Network for Rational Use of Drugs (INRUD -Jejaring internasional untuk penggunaan obat rasional) dibentuk dan
dilahirkan di Indonesia oleh pemikir Indonesibersama dengan mitra internasional mereka. Konsep upaya perbaikan penggunaan obat yang mereka bentangkan sangat sarat dengan budaya Indonesia yang menekankan musyawarah dan mufakat, dengan menekankan pentingnya pemahaman terlebih dahulu faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah sebelum melakukan suatu upaya atau tindakan pengatasan masalah. Dengan demikian, upaya perbaikan atau intervensi yang dilakukan secara berhati-hati tersebut akan lebih tepat pada sasaran, dan strategi yang dipilih dapat disesuaikan dengan pokok permasalahan dan faktor penyebabnya (INRUD, 1990).
Secara ringkas, konsep upaya perbaikan penggunaan obat yang dirancang oleh INRUD ini terdiri atas empat tahap kegiatan yang berlangsung terus menerus, membentuk siklus yang berkesinambungan. Tahap pertama adalah Pemeriksaan, tahap kedua adalah Diagnosis, tahap ketiga adalah Tindakan perbaikan, dan tahap keempat adalah Evaluasi hasil tindakan. Apabila tindakan perbaikan tidak memberikan hasil yang memuaskan, perlu dikaji kembali apakah ada kekurangan dalam tahap Diagnosis atau tahap Tindakan. Konsep
INRUD ini kini telah digunakan di seluruh dunia dan sangat
Ide pembentukan jejaring internasional untuk meningkatkan 8
penggunaan obat secara rasional muncul sewaktu Dr. Budiono Santoso PhD
(Universitas Gadjah Mada), Dr. Bimo MPH (Yayasan Indonesia Sejahtera),
bersama dengan Dr. Jonathan Quick (Management Sciences for Health), dan Dr.
Dennis Ross-Degnan (Harvard Medical School) sedang melakukan kegiatan
peningkatan penggunaan obat rasional di propinsi Sumatera Barat pada tahun
1987. Ide tersebut disambut baik dan ditindaklanjuti oleh Dr. Hans Hogerzeil
(World Health Organization - Geneva). Peresmian jejaring berlangsung di
Yogyakarta tahun 1989, dengan nama International Network for Rational Use of mempermudah upaya-upaya peningkatan mutu penggunaan obat.
Hadirin yang saya muliakan, Perlu digarisbawahi bahwa inspirasi budaya Indonesia sangat
kental mewarnai pengembangan teknik-teknik pengukuran perilaku
yang digunakan dalam tahap Diagnosis. Telah kita ketahui bersama,
sikap segan dan tidak tega berterus terang (Jw: sungkan, rikuh-
pakewuh) untuk menyampaikan hal yang sebenarnya adalah suatu
kebiasaan yang telah melekat pada diri kita, dan merupakan ciri khas
budaya kita. Memahami hal tersebut, tahap Diagnosis ini dipersiapkan
sebagai proses untuk memahami mengapa seseorang memutuskan
untuk melakukan sesuatu. Teknik penggalian informasinya tentu saja
harus dengan cara yang baik, nyaman, sopan, serta jauh dari cara-cara
interogatif apalagi supresif.Pada tahun 1990, seorang pakar ilmu perilaku Indonesia
memimpin suatu tim kecil INRUD yang berasal dari berbagai negara
untuk mengadaptasi, mengujicoba, dan membuat pedoman teknik
wawancara, observasi, diskusi kelompok kecil, dan kunjungan
simulasi untuk kebutuhan diagnosis tersebut. Walaupun teknik-teknik
kualitatif ini sudah lama dikenal, namun pedoman yang
dikembangkan oleh kelompok ini sangat khas karena memasukkan
berbagai aspek psikologi, sosial, dan antropologi kedalam
instrumennya. Pada waktu pedoman ini diuji coba di lingkungan
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul dengan koordinasi oleh
dengan mudahnya teknik ini
diadopsi dan dinikmati oleh fasilitator maupun para penyedia
pelayanan kesehatan yang menjadi target kegiatan, karena dirasakan
sebagai teknik yang ‘memanusiakan manusia’ (Jw: nguwongke).Qualitative Group of INRUD, terdiri atas Prof. Johana Prawitasari 9
- +
(Indonesia-koordinator), Prof. Bosede F. Iyun (Nigeria), Dr. Daniel K. Arhinful
(Ghana), Prof. Ananda M. Das (Bangladesh), Dr. Dennis Ross-Degnan dan Dr.
Kris Heggenhougen (USA), Prof. Nick Higinbottam (Australia)10 Dr. H.Sunartono, M.Kes., kini Sekretaris Daerah Pemerintah Daerah
Konsep budaya Indonesia dalam model peningkatan mutu
penggunaan obat Diyakini banyak hasil karya anak bangsa yang telah berhasilmendunia karena kekhasannya dari Indonesia. Tanpa mengurangi rasa
hormat kepada para Sejawat tersebut, berikut ini dipaparkan tiga
model upaya perbaikan mutu penggunaan obat yang dikembangkan di
Indonesia dan kemudian berhasil menarik perhatian dunia, diadopsi
oleh banyak negara dan digunakan dalam program nasional mereka.
CBIA (Cara Belajar Ibu Aktif, Community-Based Interactive Approach)
CBIA adalah nama yang diberikan pada suatu metodepemberdayaan masyarakat yang dikembangkan dan diujicoba pada
tahun 1993. Metode ini bertujuan meningkatkan kemampuan
masyarakat agar dapat menelaah informasi secara kritis dan mandiri
dalam mencari informasi obat, sehingga swamedikasi menjadi lebih
aman dan efisien. Kekhasan metode ini adalah dengan memanfaatkan
paguyuban yang begitu banyak di masyarakat Indonesia, sehingga di
mana saja kita bisa menemukan kelompok arisan, perkumpulan
keagamaan, kelompok PKK, Dharmawanita, karang taruna, remaja
masjid, dan bahkan kelompok ronda. Forum-forum sosial semacam ini
bisa menjadi media yang sangat bagus untuk melakukan berbagai
kegiatan pemberdayaan masyarakat.Metode CBIA diujicoba kemanfaatannya dengan bekerjasama
dengan Dharmawanita Dinas Purbakala Jawa Tengah di Prambanan.
Desain penelitian adalah randomized controlled trial, dibandingkan
dengan seminar konvensional dan tanpa perlakuan. Hasil uji coba
menunjukkan bahwa CBIA efektif meningkatkan kemampuan
responden memilih obat, dan membuat belanja obat lebih efisien. Skor pengetahuan kelompok CBIA meningkat dari 4,9+0,3 menjadi 8,3+0,2 (P<0,001, skor maksimum 10), sedangkan pada kelompok Seminar meningkat dari 4,5+0,6 menjadi 6,4+0,3 (P<0,05). Jumlah nama dagang obat yang dikonsumsi keluarga dalam satu bulan menurun drastis pada kelompok CBIA (dari 5,3+0,3 menjadi 1,5+0,3, P<0,001), sedangkan di kelompok Seminar relatif tidak terjadi penurunan. Kelompok yang tidak menerima CBIA maupun Seminar tidak menunjukkan perubahan dalam skor pengetahuan maupun belanja obat. Hasil ujicoba ini menunjukkan bahwa CBIA tidak hanya meningkatkan pengetahuan, namun juga mengubah perilaku belanja obat secara lebih selektif dengan mempertimbangkan bahan aktifnya.
CBIA ternyata kemudian sangat diminati dan digunakan dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat baik di instansi pemerintah maupun non-pemerintah. Dari umpan balik yang diterima, ternyata CBIA juga dapat digunakan untuk semua kalangan, berbagai tingkat pendidikan, usia, gender, maupun latar belakang sosial ekonomi. Jadi tidak sebatas di kalangan ibu-ibu saja. Karena fleksibilitas tersebut, maka Yayasan Kanker Indonesia Cabang Yogyakarta kemudian menyarankan agar kepanjangan CBIA diganti menjadi Cara Belajar Insan Aktif.
Kepopuleran CBIA menarik perhatian internasional sehingga WHO meminta pengalaman implementasi CBIA tersebut ditulis dalam bulletin WHO Essential Drugs Monitor (Suryawati, 2003).
Sebagai dampak dari publikasi ini, banyak negara yang berminat menggunakan CBIA dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Di Mongolia, CBIA digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat berbasis rumahsakit di semua rumah sakit rujukan di 15 provinsi. CBIA juga dikembangkan sebagai program pendidikan anak sekolah, dan diformalkan dalam bentuk kerjasama antara kementrian kesehatan dan kementrian pendidikan Mongolia. Di Filipina, CBIA digunakan dalam penguatan masyarakat untuk meningkatkan penggunaan obat generik dalam program Botica ng Barangai. Suatu lembaga swadaya masyarakat di Davao, Filipina Selatan mengusulkan agar kepanjangan CBIA dibuat bahasa Inggrisnya, yaitu Community-
Based Interactive Approach. Dalam program nasional pemberdayaan
masyarakat untuk meningkatkan penggunaan obat rasional, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia juga menggunakan metode ini (Direktorat Bina POR, 2008), sehingga kini CBIA menjadi agenda pemerintah daerah di 33 propinsi. Pengalaman dalam proses implementasi CBIA ini dikompilasi dalam bentuk buku CBIA: a
Community-Based Interactive Approach towards safe, effective, and
less-costly self-medication (Suryawati, 2010).Dalam perjalanannya, CBIA juga menginspirasi banyak Sejawat mengadaptasi metode tersebut untuk berbagai tujuan lain, misalnya untuk meningkatkan ketaatan pasien terhadap pengobatan tuberkulosis paru (Susantini, 2006), meningkatkan ketaatan penyandang diabetes mellitus terhadap program pengobatan (Hartayu dkk, 2011), meningkatkan ketrampilan memilih obat flu bagi ibu hamil (Hidayati dkk., 2011), dan meningkatkan pemahaman risiko swamedikasi dengan antibiotika (Rossetyowati, 2012).
IGD (Interactional Group Discussion) Interactional Group Discussion, disingkat IGD, dikembangkan
pada tahun 1992 dan dipublikasikan di jurnal internasional terkemuka (Hadiyono dkk., 1996). Konsepnya adalah mengembangkan suatu forum diskusi yang melibatkan kelompok yang telah diketahui berbeda pendapat, agar kelompok tersebut kemudian saling berargumentasi untuk mencari kebenaran informasi dan selanjutnya membuat konsensus untuk upaya perbaikan. Ide IGD ini pada waktu itu disangsikan keberhasilannya oleh para pakar perilaku internasional, karena dianggap tidak lazim dan ‘nabrak pakem’ teori intervensi untuk perubahan perilaku, yang beranggapan bahwa kelompok yang berbeda pendapat tidak boleh diadu.
Pada waktu diujicoba, ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Para responden yang terdiri atas dokter, perawat, bidan, juru suntik, dan kelompok masyarakat justru sangat antusias mengikuti diskusi. Di antara peserta diskusi banyak saling melakukan koreksi dalam suasana nyaman, santai, dan cenderung ger-geran. Suasana seperti ini tidak mungkin terjadi kalau konsep metodenya ‘nabrak pakem’. Kita semua sangat faham bahwa musyawarah dan mufakat, ‘ana rembug
dirembug’ adalah prinsip budaya Indonesia yang secara tak terasa
sudah melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk hal-hal yang kontroversial sekalipun, ternyata kita dapat mendiskusikannya dengan baik.
Data uji coba menunjukkan bahwa di 12 Puskesmas yang mengikuti IGD, prosentase pasien yang menerima injeksi berkurang drastis dari sekitar 69,5% menjadi 42,3% hanya dalam waktu tiga bulan. Penurunan ini berbeda bermakna dibandingkan dengan penurunan yang ditunjukkan 12 Puskesmas yang tidak menjalani IGD, yaitu dari 75,6% menjadi 67,1%. Penurunan jumlah rata-rata obat perpasien memperkuat hasil ujicoba, bahwa injeksi yang tidak diberikan tersebut tidak diganti dengan obat lain.
Hasil studi ini menarik minat para pakar internasional sehingga diminta untuk dipublikasi dalam jurnal terkemuka Social Science in
Medicine (Hadiyono dkk, 1996). Publikasi penelitian ini mendapat
sambutan yang hangat, karena sasaran uji coba adalah penggunaan injeksi yang berlebihan, yang pada saat itu merupakan masalah penggunaan obat paling serius karena penyebaran penyakit hepatitis dan HIV. Hasil penelitian juga membawa harapan baru bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan, bahwa ternyata penggunaan injeksi dapat diturunkan, sesuatu yang selama ini dirasakan mustahil. Dalam waktu singkat, publikasi tersebut menjadi artikel terbanyak yang disitir di lingkungan jejaring internasional penggunaan obat rasional. Pemerintah Indonesia juga sangat cepat menangkap peluang upaya perbaikan ini, sehingga dalam waktu singkat penggunaan injeksi yang tak diperlukan menurun drastis di semua Puskesmas di Indonesia.
Di Kabupaten Gunungkidul, manfaat IGD dalam menurunkan penggunaan injeksi kemudian ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan setempat sehingga dalam waktu dua tahun penggunaan injeksi yang berlebihan berhasil dikurangi. Pengalaman ini dipublikasi di jurnal WHO, dan terkenal dengan sebutan ‘The Gunungkidul Experience’ (Sunartono & Darminto, 1995). Data yang disajikan dalam artikel tersebut menunjukkan bahwa setelah hasil IGD disosialisasikan, semua Puskesmas sepakat menurunkan injeksi yang tidak diperlukan, dan berhasil menurunkan lebih lanjut menjadi sekitar 20% dalam kurun waktu dua tahun.
Karena keberhasilan tersebut, Safe Injection Global Network (SIGN), suatu konsorsium internasional untuk mengurangi penggunaan injeksi yang berlebihan, mengadopsi teknik IGD untuk program-programnya di berbagai negara di Asia dan Afrika.
Hadirin yang saya muliakan, MTP (Monitoring-Training-Planning) Monitoring-Training-Planning adalah suatu model diskusi
terstruktur yang dikembangkan untuk menyelesaikan masalah metode pembelajaran orang dewasa (adult learning) yang digunakan oleh Management Sciences for Health dalam program perbaikan manajemen obat di Bangladesh. MTP yang dikembangkan di Universitas Gadjah Mada ini konsepnya dimodifikasi dengan memasukkan filosofi Jawa. Yaitu bahwa setiap upaya perbaikan perlu selalu mempertimbangkan bagaimana yang betul, bagaimana yang nyaman, dan bagaimana yang baik (Jw: kepiye benere, kepiye penake,
kepiye apike).
Interpretasi dari filosofi ini adalah sebagai berikut. Setiap upaya penyelesaian masalah perlu dilandasi dengan pertimbangan ilmiah
(kepiye benere), dengan memahami interaksi sosial di antara penyedia
pelayanan kesehatan dan pasien (kepiye penake), dan dapat difasilitasi dalam sistem manajerial institusi pelayanan kesehatan (kepiye apike). Artinya dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah penggunaan obat perlu dipertimbangkan berbagai faktor penyebab yang berasal dari ketiga aspek tersebut, yaitu aspek penyedia pelayanan kesehatan, pasien, dan lingkungan kerja institusi pelayanan.
Diskusi MTP dapat menjadi pilihan untuk mengisi pertemuan rutin di institusi pelayanan kesehatan. Komponen diskusinya terdiri atas tiga tahap yaitu tahap Monitoring (M), tahap Training (T), dan tahap Planning (P). Tahap M adalah diskusi tentang seberapa besar masalah yang dihadapi, dengan menggunakan indikator penggunaan obat. Tahap T adalah diskusi untuk memahami mengapa terjadi masalah dan bagaimana sebaiknya cara mengatasinya secara bersama, sedangkan tahap P adalah pembahasan rencana langkah perbaikan, siapa yang melakukan, dan menentukan target perbaikan. Lama diskusi perlu dibatasi tidak lebih dari dua jam agar pelayanan tidak terganggu. Pada pertemuan rutin berikutnya, hasil pemantauan dipresentasikan (M), kemudian dibahas (T), dan direncanakan eksekusinya (P). Demikian seterusnya sehingga kegiatannya menyerupai alur spiral. Dalam kurun waktu 3-4 pertemuan rutin, masalah diharapkan sudah dapat diatasi.
MTP diujicoba dengan bekerjasama dengan rumahsakit pemerintah dan swasta di Yogyakarta dan Semarang. Hasil ujicoba dipresentasikan dalam konferensi internasional Farmakologi Klinik di Florence (Suryawati dkk., 2000), dan menarik perhatian forum. Beberapa negara seperti Lao dan Cambodia langsung menyatakan minat untuk mengimplementasikan MTP dalam program nasional mereka. Pengalaman implementasi kedua negara tersebut dipresentasikan dalam Konferensi Internasional ICIUM tahun 2004 di Chiangmai (Srun, 2004; Sisounthone, 2004), dan menyedot perhatian peserta konferensi. Konsep MTP didiskusikan secara intensif, dan disepakati sebagai salah satu strategi pilihan yang direkomendasikan
Dalam perjalanan selanjutnya, MTP kemudian digunakan oleh Mongolia (Ministry of Health of Mongolia, 2008), PR China (INRUD/China/Zhuhai, 2007), dan Bangladesh (Chowdhury dkk, 2007) dalam program nasional peningkatan mutu penggunaan obat di rumahsakit rujukan. Implementasi MTP di negara-negara tersebut dapat terlaksana karena difasilitasi oleh pemerintah negara yang bersangkutan, World Health Organization, dan para donor internasional. Pengalaman implementasi MTP di berbagai negara ini telah dipublikasi oleh mitra kerja, dan proses implementasinya dikompilasi dalam buku berjudul MTP: Quality improvement
management cycle for better medicine use in hospital (Suryawati,
2009).Kearifan budaya Indonesia modal kuat untuk ‘go international’ Hadirin yang saya muliakan,
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya adalah hasil pikiran atau akal budi, juga berarti adat istiadat, atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah. Arif adalah bijaksana, cerdik, pandai, berilmu. Arif juga berarti paham atau mengerti. Dengan demikian, kearifan budaya Indonesia adalah kebiasaan- kebiasaan baik kita, untuk memahami dan mengerti berbagai fenomena, kejadian, atau masalah dalam kehidupan, sehingga kita dapat melihat segala sesuatunya dari berbagai aspek, tidak subjektif, dan juga tidak menghakimi. Kebiasaan baik itu membuat kita lebih 11 ICIUM, 2004 Policies and Programmes to Improve Use of Medicines:
Recommendation. Tersedia di: recommendations.html mudah memetakan suatu masalah, memahami mengapa terjadi masalah, agar kemudian dapat mengupayakan solusinya secara berhati-hati, selektif dan fokus pada sumber permasalahan. Sudut pandang seperti itu ternyata merupakan modal kuat dalam kiprah kita di dunia global. Pengenalan konsep-konsep budaya Indonesia dalam diskusi dan sumbang saran di forum internasional menunjukkan ciri khas kita sebagai orang Indonesia. Dari pemaparan sebelumnya, kearifan tersebut ternyata dapat menginspirasi munculnya solusi untuk berbagai masalah penggunaan obat di skala global.
Contoh lain masih banyak tersedia. Munawaroh (Munawaroh dkk., 2001) dalam studinya untuk meningkatkan kerasionalan penggunaan obat pada pasien anak menempatkan penyedia kesehatan yang paling disegani di posisi narasumber, hasilnya sangat baik walaupun penyedia senior tidak selalu mendukung. Keputusan ini sangat dimotivasi oleh adat Jawa ‘nglungguhake wong atuwa’. Dengan sendirinya seseorang yang ditempatkan di posisi tinggi akan lebih berhati-hati menentukan sikap karena posisinya.
Menengok ke bidang lain, kita mengetahui bahwa walikota Solo mendapat penghargaan sebagai walikota terbaik. Salah satu penyebabnya adalah dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan menggunakan pemahamannya terhadap adat istiadat dan budaya masyarakat. Dari Jogjakarta, kita belajar dari proses pembangunan jalan layang Pengok yang tanpa ribut-ribut, karena Kepala Dinas Pekerjaan Umum pada saat itu menggunakan cara-cara pendekatan yang sesuai dengan adat kebiasaan setempat, termasuk untuk memahami mengapa pemilik lahan yang telah sepakat secara administratif tidak segera pindah dari lokasi. Ternyata penyebabnya sangat sederhan. Warga mempunyai cara penilaian yang berbeda. Mereka belum melihat tumpukan material dan pekerja, suatu petanda yang mereka pahami sebagai kegiatan pembangunan jalan layang. Jadi, model-model penggusuran penduduk dan pedagang yang kurang manusiawi memang seharusnya dihindari. Menggunakan cara-cara atau pendekatan yang sejalan dengan nafas kehidupan dan budaya masyarakat setempat tentu lebih mudah diterima.
Penutup Hadirin yang saya muliakan,
Dengan contoh-contoh model pendekatan yang telah dipaparkan di atas, saya ingin menyampaikan bahwa konsep-konsep kearifan budaya Indonesia perlu kita perhatikan kembali, kita hidupkan kembali, kita lestarikan terus, agar kita mampu berkiprah di dunia global sebagai bangsa Indonesia. Jangan sampai kita pergi ke luar negeri untuk mempelajari budaya Indonesia dan kemudian mengimportnya ke Indonesia. Jangan sampai mahasiswa Indonesia kuliah di luar negeri untuk belajar The Gunungkidul Experience. Contoh-contoh yang saya paparkan dalam pidato ini agak terbatas pada budaya Jawa, lingkungan yang melahirkan dan menumbuhkan saya. Namun saya yakin sangat banyak contoh-contoh lain yang dapat kita gali dari budaya-budaya di Indonesia. Marilah kita menjadi pejuang bagi negeri tercinta ini. Pejuang bukan hanya seseorang yang berjasa membawa sesuatu kepada kita, tetapi juga seseorang yang dapat menyadarkan kita bahwa kita mempunyai budaya yang membanggakan. Pengalaman yang telah dipaparkan di depan menunjukkan bahwa minat masyarakat global sangat besar untuk belajar dan mengadopsi metode-metode yang kita kembangkan, sejauh kita mampu meramu dalam format ilmiah yang logis. Saya meyakini bahwa Indonesia sangat pantas menjadi sumber belajar dunia.
Dalam kesempatan ini saya ingin mengajak generasi muda, adik-adikku, anak-anakku yang saat ini sedang mencari jatidiri, berusaha dengan penuh semangat memperoleh posisi nyaman dalam pergaulan nasional maupun internasional. Jati itu ternyata adanya di dalam diri kita sendiri. Jadilah orang Indonesia dengan segala ciri khas budayanya, dan bersikaplah orisinil. Yang orisinil ternyata jauh lebih menarik daripada yang polesan. Sebelum berangkat ke luar negeri, sebaiknya dipahami terlebih dahulu kearifan budaya dan hasil- hasil karya anak bangsa, agar kita makin berbangga dan dengan penuh percaya diri memposisikan diri di percaturan global.
Ucapan terimakasih Hadirin yang sangat saya muliakan,
Di penghujung pidato ini, perkenankanlah saya mengucap terimakasih kepada para sahabat yang telah bekerja dalam suka dan duka selama lebih dari 25 tahun, yaitu dr. Rustamaji, M.Kes., Ibu Tina Fariana, SE, Bp Supono, dan Bp Slamet Haryono, juga kepada senior- senior saya di Farklin dr. Budiono Santoso, PhD dan dr. H. Sulanto Saleh-Danu, Sp.FK. Kepada para sahabat yang telah berjuang bersama-sama di bidang kebijakan dan manajemen obat, baik di PSFKKO, MKO, maupun di Divisi Kebijakan Obat, saya mengucapkan terimakasih. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sejawat di Bagian Farmakologi dan Terapi FK-UGM, dan kepada Prof. Dr. Rianto Setiabudi SpFK dan Prof. Dr. MT Kamaluddin SpFK yang telah merekomendasikan pengangkatan gurubesar saya. Kepada para senior di IKAFI saya mengucapkan terima kasih.
Kepada para pinisepuh, sesepuh, pembimbing tesis, guru, dan senior saya, utamanya yang telah berkenan hadir dalam rapat terbuka ini, terimakasih atas semua keteladanan, bimbingan, dan pembelajaran yang telah diberikan. Bp Adjum beserta teman-teman sangat saya hargai untuk dedikasinya yang tanpa putus memperlancar kenaikan pangkat kita semua.
Hadirin yang saya muliakan,
Perkenankanlah saya memanjatkan doa bagi para mentor yang telah mendahului kita. Alm. Prof Ahmad Muhammad Djojosugito dan almh. Prof Sumiati Ahmad, pendiri Komisi Penelitian FK-UGM, menjadi pemicu semangat saya sebagai dosen muda sewaktu tahun 1986 memilih artikel saya sebagai publikasi terbaik. Almarhum Prof. Sardjoko dan Prof. Moh Makin Ibnu Hadjar sebagai promotor S3 selalu mendorong saya untuk mempresentasikan setiap potong hasil penelitian saya. Beliau meyakini proses pematangan emosi seorang kandidat doktor bukanlah di laboratorium, namun di forum-forum ilmiah internasional. Alm. Dr. Imono Argo Donatus adalah sahabat saya, kami bersama-sama mencari jatidiri, bersama-sama menempuh program doktor, sepakat menunda keinginan jadi professor, dan kemudian sepakat merevisi keinginan itu beberapa tahun kemudian. Namun Tuhan lebih sayang kepada almarhum. Dalam ketenangannya di alam sana, saya dapat merasakan dia tertawa riang dengan gayanya yang khas.
Ilmu yang saya peroleh di ruang-ruang kuliah jelas tidak cukup untuk menjalani kehidupan nyata. Justru dari para mitra kerja, melalui interaksi positif selama ini saya memperoleh pengayaan untuk mengamalkan ilmu. Pengetahuan tanpa disertai pengembangan emosi juga akan sulit diaplikasikan. Saya juga bersyukur selalu berada di lingkungan yang suportif, terutama dari sahabat di Angkatan 1970 SMA Negeri I Teladan Yogyakarta dan Angkatan 1973 Fakultas Farmasi UGM.
Dukungan keluarga sangat bermakna. Anak-anak saya Aditya+Amy, Bagus+Siska, Nia dan Eka, terima kasih atas kebersamaan dalam suka dan duka. Sungkem untuk Ibunda Hj. Sri Sundari dan alm. Ayahanda R. Suyud Pringgodiharjo, sebagai kepanjangan tangan Allah swt untuk mengarahkan jalan hidup saya.
Almh. Dr. Hj. Kusumastuti dan dr. H. Bambang Suryatmojo, Sp.S., dengan kedua beliau ini saya sering mendiskusikan berbagai pilihan untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Adik-adik, pakde, bude, paklik, bulik, dan saudaraku sekalian, terimakasih atas dukungannya.
Butir-butir pemikiran untuk pidato ini kami diskusikan dengan dr. Rustamaji, M.Kes. dan dr. Setyo Purwono, Sp.PD. Terimakasih kepada Prof. dr Ngatidjan, MSc., Sp.FK(K), Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sci, PhD., Prof. Dr. Dra. Mae Sri Hartati Apt., Prof. Johana Prawitasari PhD, dan Ibunda Hj. Sri Sundari yang telah memberikan masukan bermakna terhadap manuskrip pidato ini.
Hadirin yang sangat saya muliakan,
Di akhir kata, sekiranya ada tutur kata yang kurang berkenan di hati, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih atas kesabarannya mendengarkan pidato ini. Semoga kita semua selalu dalam tuntunan dan petunjuk Allah swt.
Wassalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
DAFTAR PUSTAKA
Chowdhury AKA, Sayedur-Rahman M, Faroque ABM, 2007.Studying and implementing the Monitoring-Training-Planning strategy to ensure the rational use of injections in the hospitals of the Upazila Health Complexes of Bangladesh. Safe Injection Global Network (SIGN) Annual Meeting Report, WHO Geneva. Direktorat Bina POR, 2008. Modul II. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan Memilih Obat Bagi Kader.
Direktorat Jenderal Binfar dan Alkes, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Hadiyono JEP, Suryawati S, Danu SS, Sunartono, Santoso B, 1996,
Interactional group discussion: Results of a controlled trial using a behavioral intervention to reduce the use of injections in public health facilities. Soc. Sci. Med. 42(8): 1177-83
Hartayu TS, Rustamaji A, Nurita P, Suryawati S, 2011. Improving diabetic patients’ adherence to treatment program by using CBIA-DM strategy in hospital-based patient community.
rd Abstract Book, 3 International Conference on Improving Use of Medicines. November 14-18, Antalya (Turkey).
Hidayati S, Hartayu TS, Munawaroh S, Suryawati S, 2011. CBIA- Pregnancy to improve skills of pregnant mothers in selecting
rd
OTC common cold preparations. Abstract Book, 3
International Conference on Improving Use of Medicines (ICIUM). November 14-18, Antalya (Turkey).
INRUD/China/Zhuhai, 2007. Report, Effect Analysis on Rational Use
of Drug for Single Disease by Using The MTP Approach in 6 hospitals from ZH area. ffect_analysis_on_use_of_drug/
en/index.html Ministry of Health of Mongolia, 2008. Report of Workshop on
Evaluation of MTP and CBIA Intervention to Improve Rational Use of Medicines in the Community and Hospital. Ministry of
Health, Ulaan Baatar. Munawaroh S, Sunartono, Suryawati S, 2001, Upaya menurunkan penggunaan antibiotika pada pengobatan ISPA melalui diskusi kelompok kecil paramedis puskesmas di Kabupaten Bantul.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan: 4(2): 111-119
Rossetyowati DA, Sunarsih IM, Rustamaji, 2012. Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotika dengan metode CBIA di Kabupaten Jember. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan: in press
Sisounthone B, 2004, Using Monitoring-Training-Planning (MTP) to Reduce Irrational Use of Drugs in Hospitals in Lao PDR.
nd Abstract Book, 2 International Conference on Improving the Use of Medicines (ICIUM), Chiangmai.
Srun S, 2004 Cambodia Experience: Monitoring-Training-Planning (MTP) to Reduce Inappropriate Medicine Use in Hospitals.
nd Abstract Book, 2 International Conference on Improving the Use of Medicines (ICIUM), Chiangmai.
Sunartono & Darminto, 1995 (salah cetak Santoso B), From research to action: The Gunungkidul Experience. Essential Drugs
Monitor 20:21-22
Suryawati S, 2003. CBIA: improving the quality of self-medication through mothers’ active learning. Essential Drugs Monitor, 32:22-23
Suryawati S, 2004, The MTP Approach is Effective in Reducing Inappropriate Medicines Use in Hospitals. Abstract Book,
International Conference on Improving the Use of Medicines (ICIUM), Chiangmai.
Suryawati, 2009, MTP: Quality improvement management cycle for
better medicine use in hospital. Yayasan Melati Nusantara,
Yogyakarta. ISBN: 978-602-95936-2-4 Suryawati S, 2010, CBIA: a Community-Based Interactive Approach
towards safe, effective, and less-costly self-medication. Yayasan
Melati Nusantara, Yogyakarta. ISBN: 978-602-95936-1-7 Suryawati S & Setiyawati E, Saleh-Danu S, Wibowo S, Santoso B,
2000. Indicator-based monitoring strategies to improve drug use in health facilities. Presented at International Conference on
Clinical Pharmacology and Therapeutics, Florence, July 2000.
Susantini A, 2006. Ketaatan minum obat pada penderita TB paru dengan metode Cara Belajar Ibu Aktif (CBIA) di kota Yogyakarta. Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
BIODATA
Kualifikasi: