BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik S

BAB I PENDAHULUAN

“kehidupan beragama kami, seperti air laut, sekalipun dipotong dengan parang

tidak akan pernah putus atau terceraikan, akan tetap utuh.” (Imam Rubahi Muri)

“menerima agama-agama sama seumpama memilih dan mengenakan pakaian pada tubuh kami.” (Pdt. Marthen Hindom)

“… pertama adat, kedua agama dan pemerintah… adat yang membungkus agama dan pemerintah ” (Pesan para leluhur Mbaham Matta)

A. Latar Belakang Studi

Politik dan agama adalah dua kekuatan hegemonik yang dahsyat. Karl Marx mengiritik kecenderungan hegemonik dua kekuatan yang bersimbiosis dengan sains melanggengkan kekuasaan (status quo) ini. Kekuatan politik dan daya gugah otoritatif-metafisik keagamaan berkecenderungan menjadi

produser dan desiminator‘ideologi’ atau ‘kesadaran palsu’ (false or inverted consciousness). 1 Kolaborasi politik, agama,

1 Dalam teori sosial Marx ideologi atau kesadaran palsu adalah proses mental yang mengaburkan kesadaran dan daya pemahaman

masyarakat akan kekuatan-kekuatan historik yang membentuk dan membimbing/ mengarahkan pikiran, tindakan, dan seluruh gerak kehidupan mereka. Pada sisi lain, aparatus agama-agama yang mengembangkan suatu totalitas komprehensif ajaran, nilai, etik dan praksis kehidupan cenderung berpikir menghasilkan suatu sistem pengetahuan yang tertutup; Lihat, antara lain: Karl Marx, “The German Ideology, “ dalam Robert Tucker, ed., The Marx-Engels Reader (New York & London: W.W.Norton & Company, 1978), 146- 200; Karl Marx, “For a Ruthless Criticism of Everything Existing”, dalam Robert Tucker, ed., The Marx-Engels Reader (New York & London: W.W.Norton & Company, 1978), 12-15.

2 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dan sains, via indoktrinasi, mencengkeram dan mengkooptasi kesadaran, pemikiran dan aktivitas masyarakat umum: 2 masyarakat tidak memiliki kesadaran kritik historis. Dalam konteks kritik ini, agama dikategorikan sebagai aparatus ideologi

berkuasa. Agama sering disubordinasikan dan memberi diri sebagai alat legitimasi hegemoni kekuasaan di dalam dan atas masyarakat. Agama kemudian terbawa arus politisasi identitas primordial dalam medan permainan kekuasaan (power gaming).

dominan

kelas

Dalam medannya sendiri, aparatus agama-agama yang mengembangkan suatu totalitas komprehensif ajaran, nilai, etik dan praksis kehidupan cenderung berpikir dan bertindak mempertahanakan kemapanan. Otoritas agama-agama sebagai pembawa dan perawat sistem pengetahuan, nilai, etika dan

praksis keagamaan yang mapan cenderung “to produce (to very different degrees and with very different means) the

naturalization of its own arbitrariness. 3 Otoritas agama melakukan proses naturalisasi kekuataan sistemiknya atas umat. Umat menerima sistem pengetahuan dan kepercayaan, etik dan praksis keagamaan sebagai satu-satunya kebenaran dan rujukan: taken for granted. Umat kehilangan daya kritis

atas relasi yang sebenarnya antara “realitas yang dikonstruksi” dan “realitas obyektif.” Kondisi ini Bourdieu sebutkan sebagai

doxa atau doxic experience, yang mengasilkan doxic habitus.

2 Kolaborasi politik dan agama serta sains ini Marx temukan dalam model agama negara yang dipraktekkan di Jerman dan Inggris pada abad XIX. Uraian lengkapnya, lihat Karl Marx, “Critique of Hegel’s Philosophy of Right” dalam John Raines (ed.), Marx On Religion (Philadelphia: Temple University Press, 2002), 171-182; Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction”, Robert Tucker, ed., The Marx- Engels Reader (New York & London: W.W.Norton & Company, 1978), 53-65.

Fenomena ini juga dapat dideteksi dalam konteks kolonialisme Belanda maupun Kesultanan Tidore atas masyarakat.

3 Meminjam pikiran Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 164-171.

Pendahuluan

Kondisi ini melahirkan eksklusifisme, anti keragaman, intoleransi, radikalisme keagamaan.

Sejarah Indonesia menunjukkan jejak-jejak kecenderungan hegemoni kolaboratif politik dan agama. 4 Gerakan reformasi Indonesia 1999 telah menggulirkan demokratisasi politik. Namun sejarah menunjukkan pula bahwa demokratisasi yang telah dimulai itu seumpama membuka tutup kotak pandora: spirit fanatisme dan radikalisme serta sektarianisme politik identitas primordial merajalela kembali. Peristiwa politik Pemilihan Umum Kepala Daerah menjadi ajang politisasi identitas primordial agama,

ras, suku dan golongan. 5 Kondisi politis ini menunjuk kepada proses dan kecenderungan pengentalan dan pengerasan ideologi serta praktik-praktik radikalisme, sektarianisme, dan segregasi keagamaan. Merebaklah aneka ragam peristiwa pemaksaan agama secara ideologis dalam ruang publik yang langsung bersentuhan dengan hakikat bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.

Politisasi agama menjadi praksis strategis dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan nasional maupun daerah-daerah. Bahkan telah terjadi transformasi strategi perjuangan politik hegemonik ini melalui jalur konsitusional baik tingkat nasional maupun daerah-daerah. Muncul ragam gerakan politik yang memaksakan pemberlakuan syariat keagamaan melalui legislasi-legislasi nasional maupun

daerah. 6 Gejala ini menggambarkan kondisi sosial yang

4 Lihat antara lain Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim- C hristian Relations in Indonesia’s New Order (Leiden: Amsterdam University Press, 2006).

5 Antara lain lihat: Mohamad Iqbal Ahnaf, Samsul, Maarif, Budi Asyhari-Afwan, dan Muhammad Afdillah, Politik Lokal dan Konflik Keagamaan: Pilkada dan Struktur Kesempatan Politik dalam Konflik

Keagamaan di Sampang, Bekasi, dan Kupang (Jogjakarta: CRCS, 2015). 6 Hamdan

Syariat Islam Di Daerah.” http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322- opini/4227-fenomena-perda-syariat-islam-di-daerah [diunduh pada 7

Zoelva, “Fenomena

Perda

4 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Durkheim kategorikan sebagai anomie, 7 yakni terjadinya pemaksaan dalam produksi atau reproduksi moralitas kolektif dalam suatu masyarakat. Hukum, aturan, dan norma sosial bukan lagi merupakan hasil negosiasi dan konsensus spontan atau sukarela antar komponen masyarakat. Masyarakat memasuki dan menjalani masa-masa krisis basis kesadaran dan moralitas kolektif. Akibatnya: solidaritas dan kohesi sosial pada level masyarakat dan komunitas menjadi rentan dan goyah.

Terhadap kecenderungan dan kondisi sedemikian, kita memiliki ragam model tandingan yang ditawarkan oleh masyarakat lokal-adatis. Masyarakat lokal-adatis memberikan perspektif berbeda sebagaimana telah ditunjukkan antara lain oleh studi klasik Clifford Geertz tentang agama dan masyarakat

di Mojokuto. 8 Dari studi itu Geertz menyimpulkan, 9 antara lain, bahwa pertama ”..., religion does not play only integrative, socially harmonizing role in society but also a divisive one ...” Kedua, walaupun perbedaan dan antagonisme antar ragam orientasi keagamaan menggejala, masyarakat Jawa lokal yang berbagi nilai- nilai bersama ‘tend to counteract the divisive effects of variant interpretations of

September 2015]; Warsito Raharjo Jati, “Permasalahan Implementasi Perda Syariah Dalam Otonomi Daerah.” Al-Manahij Vol. VIII No.2 Juli 2013, 305- 318.

7 Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: The MacMillan Press, 1994), 291-341. Anomie diikuti oleh apa yang dia sebuat

sebagai patologi sosial. 8 Clifford Geertz, Religion of Java (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1976). Selama ini orang membaca dan

mendebat teks Geertz ini hanya dari sisi trikotomi penstrukturan sosial yang Ia ajukan: abangan, santri, dan priyayi. Padahal sangat menarik dan dapat memberi wawasan teoritik baru bila Geertz dibaca dari sisi bagaimana masyarakat

lokal menanggapi perubahan-perubahan sosial dan merekonstruksi serta mentransformasi sistem sosial, sistem kebudayaan, dan identifikasi sosial mereka. Karena itu pembacaan teks Geertz serta kelompok teori kebudayaan interpretatif juga bisa kita lakukan dari sudut pandang teori kritis agensi sosial.

9 Ibid., 355-356.

Pendahuluan

these values.In addition, there are also various social mechanisms which tend to prevent value conflict from having disruptive effects. ” Geertz menyebutkan bahwa rujukan responsi masyarakat lokal adalah inherited common culture

yang menjadi basis integrasi sosial. 10 Terkait dengan fenomena ini Geertz juga menunjukkan bahwa terjadi pula proses-proses rekonstruksi sistem dan struktur sosial untuk mengakomodir perbedaan-perbedaan orientasi keagamaan dan nilai. Fakta ini mengindikasikan secara kuat bahwa masyarakat lokal-adatis memiliki daya kenyal kultural yang unik dalam merespons keecenderungan-kecenderungan dan dampak-dampak negatif dari afilisasi-afiliasi keagamaan dan orientasi-orientasi nilai. Keunikan respons kultural khas dan prospektif mana sering direpresi di bawah hegemoni otoritatif keagamaan dan politik.

Dari dalam riset atas kompleks sosial-kultural masyarakat Maluku Tengah, Dieter Bartels 11 menunjukkan bagaimana masyarakat multi religi menjalani dan mengelola interaksi sosial mereka. Di mana sistem aliansi pela, yakni persekutuan lintas kampung, lintas pulau, dan lintas agama, memainkan peranan sentral dalam mengembangkan dan mempertahankan identitas etnik bersama. Pela dialas dengan suatu pakta perjanjian untuk hidup bersama sebagai saudara saling membantu dalam mengahadapi serangan musuh dan memberi bantuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pembangunan, ekonomi, dll.

Geertz mengemukakan model tanggapan strategis masyarakat lokal berbasis kultur Jawa dalam konteks interaksi dan interelasi internal antar faksi-faksi keagamaan Islam.

10 Disamping nasionalisme baru Indonesia. 11 Dieter Bartels, “Guarding The Invisible Mountain: Intervillage

Alliances, Religious Syncritism and Ethnic Identity Among Ambonese Christians and Moslems in The Mollucas” [Phd Dissertation, Cornell University, 1977]; Dieter Bartels, Di Bawah naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan Di Maluku TengahJilid I dan II (Jakarta:

Gramedia, 2017).

6 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Bartels mengemukakan responsi strategis masyarakat lokal dalam kaitan dengan fakta-fakta interaksi sosial lintas agama, Islam dan Kekristenan berbasis pada sentralitas aliansi pela. Etnik Mbahammata menunjukkan keunikan tanggapan dan arahan strategis kultural terkait dengan perjumpaan tiga agama dunia, yakni Islam, Protestan, dan Katolik. Interaksi etnik Bahamata dengang agama Islam, Protestan, dan Katolik telah melahirkan narasi tandingan, yang berpusar di sekitar dan berbasis pada idea dan praksis kultural agama keluarga

atau keberagamaan keluarga (familial or kinship religiousity). 12 Mereka telah memilih dan menganut kiblat-kiblat keagamaan yang berbeda. Tetapi pilihan-pilihan itu tidak merusak interelasi dan interaksi sosial mereka. Relasi dan interaksi

sosial mengalir melalui praktik-praktik sosial 13 dalam langgam budaya inklusif dan toleran, bahkan beyond religion dan beyond tolerance. 14 Perbedaan doktrinal, kultus dan ritus serta sistem-etik moral keagamaan baru tidak dipahami dan diperlakukan sebagai sumber-sumber otoritatif yang mengotak-ngotakan mereka dalam rasa curiga serta kecederungan-kecenderungan manipulatif dan konfliktual. Praktik kultural agama keluarga ini tampak dari ragam pertukaran sosial di antara mereka dalam kompleksitas dan dinamika persitiwa-peristiwa sosial, budaya, relijius, politik

12 Masyarakat Mbahamatta menggunakan ungkapan “Agama Keluarga” yang menunjuk kepada fenomena relijiusitas (religousity) khas

yang berbasis pada pola hidup adatis mereka: kekerabatan atau relasi kekeluargaan mengatasi dan membungkus agama-agama.

13 Konsep praktik sosial (social practice) ini digunakan dalam pemahaman teori-teori praktik sosial atau agensi sosial manusia (human- social agency theories), antara lain yang kembangkan oleh Pierre Bourdieu

dan Anthony Giddens. 14 Geertz, Religion of Java , 356 memperkenalkan konsep “contextual relativism. ” Dia menyimpulkan bahwa toleransi adalah salah satu jalur penengah konflik yang dibangun di atas dasar relativisme kontekstual. Model relativisme inilah yang mengurangi kecenderungan misionisasi agama- agama dalam kompleks kultur Jawa. Geertz mengalimatkannya demikian: “Ageneral tolerancebased on a ‘contextual relativism’ which sees certain values as appropriate to context and so minimizes ‘missionization’.”

Pendahuluan

dan ekonomi. Komunitas etnik Mbahamatta merayakan hari- hari besar keagamaan secara bersama, saling kunjung antar kampung dan marga dalam semangat persuadaraan kekerabatan.

Pembangunan rumah-rumah ibadah diselenggarakan pula dalam kebersamaan dan saling menyatakan dukungan dan insiatif atau prakarsa.

Secara khusus praksis keberagamaan kultural ini dapat pula ditapaki dalam peristiwa-peristiwa perkawanian-lintas agama (interfaith marriage). 15 Alur silsilah (genealogi) mereka menunjukkan jejak-jejak peristiwa atau praktik perkawinan lintas agama yang khas ini. Perkawinan lintas agama ini masih

dipraktekkan sampai saat ini. 16 Keluarga dan marga beragama

kontestasi politis-kultural terkait perkawinan lintas agama termasuk di Indonesia sebagaimana, antara lain, dibahas dalam Gavin W. Jones, Chee Heng Leeng and Maznah Mohamad (eds.), Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia (Singapore: Institute of Southeast Asia, 2009). Beberapa

15 Bd. Kontroversi

dan

artikel dalam buku ini tentang Indonesia, yakni Suhadi Cholil, “The Political- Religious Contestation: Hardening of the Islamic Law on Muslim-non-Muslim Marriage in Indonesia,” 139-158 menyatakan bahwa “Religio-political contestation lay behind the Islamic law prohibiting Muslim-non-Muslim mixed

marriage in Indonesia. As a result of the contestation, interreligious marriage became impossible for Muslims, both men and women .“ Kontestasi ini melibatkan sejumlah organisasi Muslim yang menyatakan larangan perkawinan lintas agama ini melalui fatwa: NU pada (1960), MUI (1980), dan Muhammadiyah (1 989); Mina Elfira, “Not Muslim, Not Minagkabau: Interreligious Marriage and its Cultural Impact in Minangkabau Society,” 161-189 menggambarkan bagaimana Islam dan Adat di Minagkabau

merupakan satu kesatuan yang dikristalisasikan dalam slogan “Adat basandi syarak, syraka basandi Kitabullah ” (Hukum ada Minagkabau didasarkan pada hukum Islam; hukum-hukum Islam berdasar pada Kitab Suci- Al Qur’an). Ungkapan tersebut adalah “a Minangkabau ideological aphorism that conveys how adat has been greatly influenced by Islam which came into Minangkabau society around sixteenth century .” Dengan begitu, perkawinan lintas agama tidaklah dimungkinkan di lingkungan kultural-religio Minangkabau. Di

Indonesia, kontestasi politis-kultural-religio terkait perkawinan lintas agama terus menguat.

16 Fenomena ini dituturkan oleh beberapa informan,yang adalah keturunan langsung dari perkawinan lintas agama ini, di bakal lokasi penelitian, yakni Kampung Tetar (Kristen) dan Kampung Ofi (Islam), Distrik Teluk Patipi, Kabupaten Fakfak pada 16-17 Juli 2015 lalu. Perkawinan lintas agama dalam komunitas etnik Bahamata berlangsung intensif dan meluas

8 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Kristen meyetujui anak atau saudara perempuan mereka untuk dinikahi oleh anak/saudara laki-laki dari keluarga dan marga beragama Islam, dan sebaliknya.Dalam beberapa kasus hal ini terjadi dan berlaku pula untuk seorang laki-laki yang pindah agama ketika menikah.Perkawinan lintas-agama, juga lintas marga dan kampung, menjadi sarana pengembangan

dan penguatan jejaring atau aliansi kekerabatan mereka. 17 Di samping perkawinan lintas agama, marga, dan kampung masyarakat etnik Bahamata juga mempraktikan saling

(lintas kampung). Dengan sukacita mereka tuturkan persitiwa-peristiwa kawin lintas agama ini. Inilah yang membangun jejaring persaudaraan atau kekerabatan lintas agama dalam sistem sosial mereka. Oleh karena itu

mereka menuturkan bahwa “mereka tidak mungkin dan tidak akan saling menjelekkan atau mencelakakan satu sama lain atas nama atau karena agama yang dianut. ”

17 Terkait pentingnya fungsi sosial kekerabatan, lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: The Free Press, 1995); Roger M. Keesing, Kin Groups and Social Structure (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1975); Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1986), 181-182; A.R. Redcliffe-Brown and Daryll Forde (eds.), African Systems of Kinship and Marriage (London, New York, Toronto: Oxford University Press,1950); Meyer Fortes, Religion,Morality and the Person: Essays on Tallensi Religion, edited by Jack Goody (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 175-217; Pierre Bourdieu, Outline of A Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977); Benoit Fliche, “Social Practices and Moblisations of Kinship: An Introduction.”

European Journal of Turkish Studies, No.4 [2006]. Dalam alur perspektif Bourdieu kinship dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain menciptakan dan menata persaudaraan. Dengan begitu peneliti akan menerangkan alasan-alasan, kondisi-kondisi dan rincian-rincian dari praktik-praktik kekerabatan, dan akhirnya memahami pengaruh praktik- praktik sosial tersebut atas kekerabatan itu sendiri; Terkait dengan elaborasi kritis teori praktik (habitus) Bourdieu dalam riset antropologi, lihat Jane Fajans, They Make Themselves: Work and Play Among The Baining of Papua New Guinea (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1997) yang menjadikan aktivitas-aktivitas sosial seperti kerja, kehidupan keluarga, dan ritual sebagai unit-unit amatan untuk menelisik proses dan dinamika formasi kehidupan etnik. Menurutnya aktivitas-aktvitas sosial inilah yang memproduksi relations and linkages yang membentuk kehidupan etnik Baining. Dalam riset ini Fajans menggunakan dan mengelaborasi secara kritis konseps habitus, agensi, kesadaran dan kultur dari bangunan teori praktis Bourdieu.

Pendahuluan

memberi anak lintas keluarga/marga untuk diadopsi atau diasuh. 18

Oleh karena itu dalam kompleks sosial etnik Bahamata ketegangan dan potensi konflik yang diakibatkan oleh beberapa peristiwa politik keagamaan 19 dapat mereka redamdan hempangkan melalui kanalisasi kultural. 20 Kanalisasi ini merupakan bagian dari proses-proses simulasi kultural lokal dalam konteks politik. Ini yang menjadi pendorong Pemerintah Kabupaten Fakfak mengangkat slogan

metaforik “Satu Tungku Tiga Batu” untuk mengelola dan mengarahkan keragaman dan dinamika sosial-politik lokal. 21

18 Lihat temuanIvan Brady. Transaction in Kinship: Adoption and Fosterage among the Ndendeuli of Tanzania. (Berkeley, Los Angeles and London: University of California Press, 1971); Jane Fajans, They Make Themselves, 52-82.

19 Antara lain ketika muncul usaha-usaha menjangkitkan kerusuhan berdarah Maluku ke Papua melalui wilayah Fakfak pada tahun 2000 an yang berkelindan dengan persaingan dan konflik Pilkada. Sebelumnya bergulir gerakan politisasi identitas keagamaan yang memperjuangkan Fakfak sebagai “Serambi Madinah.” Muncul juga reaksi dalam spirit kekristenan yang menggulirkan topik “Manokwari Kota Injil.”

20 Geertz, Religion of Java, 355 menggunakan konsep mekanisme sosial (social mechanism), dengan dukungan nilai-nilai dalam kultur masyarakat Jawa, yang cenderung mencegah akibat-akibat disruptif yang terkandung dalam konflik nilai-nilai atau orientasi-orientasi keagamaan. Untuk perluasan wawasan tentang social mechanisms sebagai basis eksplanasi sosiologi analitik, lihat Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure (New York: The Free Press, 1968), 43-44; Peter Helstrom and Richard Swedberg (eds.), Social Mechanisms: An Analytical Approach to Social Theory (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1998); Pierre Demeulenaere (ed.), Analytical Sociology and Social Mechanisms (Cambridge: Cambridge University Press, 2011).

21 Reproduksi-elaboratif kultural ini berlangsung sekitar awal tahun 1990-an. Fenomena ini merupakan bagian dari reproduksi sosial- kultural yang diinisiasi oleh anak-anak negeri Mbahammata yang menduduki jabatan-jabatan di Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak. Tentang slogan metaforik ini, lihat Supa rto Iribaram, “Satu Tungku Tiga Batu: Kerjasama Tiga Agama Dalam Kehidupan Bergama di Fakfak” [Tesis Master, Universitas Gajah Mada, 2011]. Saidin Ernas, “Integrasi Sosial

Masyarakat Papua: Studi tentang Dinamika Perdamaian pada Masyarakat Fakfak di Propin si Papua Barat” [Disertasi Doktor, Universitas Gajah Mada, 2014].

10 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Metafora ini menggambarkan konstruksi ideal kehidupan masyarakat Fakfak yang ditopang oleh tiga batu-alas keagamaan, yaitu: Islam, Protestan, dan Katolik. Slogan ini menegaskan harmoni, kohesi dan solidaritas sosial sebagai basis dan spirit penggerak kehidupan masyarakat Fakfak.

Saidin Ernas 22 melihat bahwa Pemerintah Daerah telah berusaha menginstitusionalisasi prinsip ‘Satu Tungku Tiga

Batu’ ini dalam upaya memelihara perdamaian dalam masyarakat Fakfak. Tapi pada sisi lain Ernas juga

mengungkapkan bahwa pada tataran praksis pemerintahan dan politik masih terdapat penyimpangan karena dorongan kepentingan dan dominasi kelompok politik-relijius tertentu. Bahkan telah muncul resistensi dari gerakan keagamaan tertentu terhadap keberagamaan keluarga masyarakat lokal- adatis Fakfak, melalui mimbar-mimbar dakwah dan kegiatan- kegiatan sosial mereka. Dinyatakan bahwa model keberagamaan-keluarga telah kebablasan. Ini merupakan satu indikator bahwa tata nilai masyarakat lokal-adatis masih terus berada di bawah bayang-bayang kecenderungan hegemonik- negasif kekuatan dan kepentingan politisasi identitas agama (politik identitas keagamaan) serta segregasi sosial berbasis mentalitas dan sentimen keagamaan.

Terhadap reaksi hegemonik-negasif tersebut komunitas etnik Mbahammatta memberi tanggapan khas.

Dalam beberapa wawancara mereka menyatakan bahwa “kami memberi ruang kepada tiap syiar agama, tetapi kehidupan

persaudaraan kami tetap terajut rapih dan kuat; Persaudaraan kami seumpama “air laut, sekalipun dipotong dengan parang,

akan tetap utuh.” 23 Mereka telah menerima dan memeluk serta menganut agama Islam, Kristen, dan Katolik – hampir sebagian besar upacara-upacara keagamaan lokal telah diganti dengan

22 Ernas,“Integrasi Sosial Masyarakat Papua...” . 23 Pernyataan yang disampaikan oleh Imam Rubahi Muri, seorang

imam senior Mesjid di kampung Offie..

Pendahuluan

tata kehidupan agama-agama dunia ini – tetapi tetap ada sinyal terkait dengan ethnic boundarying 24 dari mereka terhadap kehadiran agama-agama. Realisme psiko sosial- kultural ini dapat terjelaskan antara lain dari pernyataan metaforik ini: “menerima agama-agama seumpama memilih dan mengenakan pakaian pada tubuh k

ami.” 25 Tanggapan- tanggapan metaforik 26 ini menunjuk kepada corpus narasi-

24 Konsep ethnic boundary (batas atau perbatasan etnik) menunjuk kepada suatu wilayah atau ruang demarkasi simbolik sosial-kultural yang dinamis dalam perjumpaan lintas kultur. Ruang perbatasan atau demarkasi ini tidak bisa dilewati atau diterobosi begitu saja. Ini merupakan ruang negosiasi lintas budaya. Batasan etnik adalah batasan sosial yang menganalisasi kehidupan sosial etnik. Dalam ruang batas ini masing-masing kelompok etnik atau budaya memiliki perangkat sinyal peringatan berupa penanda fisik dan orientasi nilai. Perangkat ini berfungsi menata situasi kontak yang pada satu sisi memberi batasan atau larangan, pada pihak lain memberikan izin untuk interaksi dan negoisasi. Ethnic boundary terdiri dari

‘crieteria and signals for identification’ dan ‘a structuring of interaction which allow the persistence of cultural differences .’Kontinuitas suatu etnik tergantung

pada kekmampuan mereka memelihara dan mempertahankan/melindungi wilayah batas etnik ini. Konsep ini dikembangkan dalam riset oleh Fredrik Barth“Introduction” to Ethnic Groups and Boundaries – The Social Organization of Culture Difference (Boston: Little, Brown and Company, 1969), 11-38..

25 Disampaikan oleh Pdt. Marthen Hindom, seorang anak negeri Mbahammata, mantan Ketua Sinode GPI Papua (1993-1997/1997-2003). Pernyataan yg disampaikan pada saat-saat kami sedang bekerja keras mendampingi kelompok-kelompok masyarakat awal tahun 2000 untuk mencengah penularan provokasi kerusuhan berdarah di Ambon/Maluku ke wilayah Papua. Fakfak dijadikan salah satu wilayah target-strategis sebar virus perang horizontal pada masa itu. Selalu ada penegasan bahwa anak- anak asli Fakfak tidak akan pernah melakukan kekerasan atas nama agama apapun; yang melakukan ini tentu adalah orang-orang dari suku-suku luar. Pdt Hindom, dalam suatu pertemuan peredaan konflik ini, menyatakan dengan tegas bahwa bila terjadi lagi usaha-usaha provokasi, maka para pelaku dengan seluruh sukunya harus keluar dari Fakfak.

26 Etnik Bahamata biasa mengemukakan pendapat melalui ungkapan-ungkapan

menghindari penggunaan pernyataan-pernyataan dan penjelasan-penjelasan yang to the point. Melalui tuturan metaforik mereka mengundang dan menantang serta merangsang

metaforik.

Mereka

‘kawan-bicara’ untuk berusaha memasuki dan memahami pikiran mereka. Dengan model bicara seperti ini mereka membiarkan atau mempersilahkan ‘kawan-bicara’ yang menyimpulkan sendiri. Model bicara seperti ini menjadi sangat dominan ketika masuk dalam topik-topik percakapan yang sensitif

dan krusial. Kritik atau ketidaksetujuan mereka diungkapkan pula secara

12 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

narasi dan praktik-praktik sosial lokal yang mengandung kesadaran subyektif-reflektif-kritis 27 masyarakat etnik Mbahammata. Kesadaran kritik lokal ini dapat dielaborasi dengan ide tentang kritik sejarah melalui ragam narasi dan diskursus tandingan oleh masyarakat asli yang dikemukakan

oleh Linda Tuhiwai Smith 28 demikian:

For indigenous peoples, the critique of history is not unfamiliar, although it has now been claimed by postmodern theories. The idea of contested stories and multiple discourses about the past, by different communities, closely linked to the politics of

everyday contemporary indigenous life. It is very much a part of the fabric of communities that value oral ways of knowing. These contested accounts are stored within genealogies, within the landscape, within weavings and carvings, evenwithin the personal names that many people carried. The means by which

these histories were stored was through their systems of knowledge.

Kritik sejarah bukanlah hal yang asing dalam kehidupan masyarakat etnik dan terkait erat dengan politik kehidupan sehari-hari mereka. Kritik sejarah ini menyadarkan kita akan keutamaan (importansi) komunitas lokal etnik merangkai narasi-narasi dan ragam diskursus tandingan (contested history) dari kompleks pengalaman dan imajinasi sosial-kultural-religius-politikmelalui

narasi-narasi dan praktik-pratik sosial mereka sendiri. Corpus narasi dan praktik

metaforik. Ini memang merupakan representasi dari local wisdom keadatan mereka.

27 Kesadaran kritik ini mencakup dua kesadaran subyektif-reflektif agensi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens, Constitution of Society – Outline of the Theory of Structuration (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1986), 5, yakni practical consciousness dan discursive consciousness.

28 Lihat Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples. 12th impression (London and New York; Dunedin: Zed Books and University of Otago Press, 2008), 33.

Pendahuluan

sosial tersebut membentuk tradisi 29 khas komunitas- komunitas etnik Mbahammata.

Tradisi khas yang terkristalisasi dalam idea dan praksis agama atau keberagamaan keluarga merupakan wujud tanggapan strategis-kultural masyarakat etnik Mbahammata terhadap kedatangan unsur-unsur kultural baru, antara lain agama-agama dan kekuasaan politik-ekonomi, ke dalam kompleks sosio-kultural mereka. Tanggapan strategis-kultural ini terkait erat dengan formasi sosial atau rekonstruksi sistem sosial suatu masyarakat etnik dalam kompleks perubahan- perubahan sosial dan segala dampaknya. Strategi kultural yang terkait langsung dengan politik keseharian mereka yang mendambakan suatu tatanan baru masyarakat multikultur

yang damai. 30

29 Narasi- narasi selalu disampaikan dengan ungkapan pembuka “ini titipan pesan atau bahasa orang tua- tua atau moyang.” Tuturan ini yang membentuk tradisi atau adat (core values) mereka. Konsep tradisi dapat dirujuk kepada paparan Edward Shils, Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1981), 12-33. Tradisi, dari pengertiannya yang paling mendasar dan sederhana (traditum) adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diturunalihkan dari masa lalu ke masa kini. Tradisi mencakup obyek- obyek material, kepercayaan, citra-citra tentang orang dan peristiwa, praktik-praktik dan institusi-institusi. Tradisi telah diciptakan oleh tindakan-tindakan manusia, melalui pikiran dan imajinasi, yang diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikut. Tradisi berfungsi sebagai pola atau model pengarah (the guiding pattern) pemikiran, sikap dan perilaku serta tindakan masyarakat atau komunitas; Lihat juga Martha C. Sims and Marthine Stephens, Living Folklore: An Introduction to the Study of People and Their Traditions (Logan, Utah: Utah University Press, 2011), 69-97, antara lain menyatakan bahwa tradisi membantu menciptakan dan meneguhkan a sense of identity dan tradisi adalah proses-proses pewarisan yang dinamis dan elaboratif dengan mengacu pada masa lalu, tetapi merespons kondisi- kondisi kontekstual.

30 Kata ”damai” mengandung inti cita-cita atau ideal ethic kehidupan etnik Mbahammatta. Dalam bahasa lokal hakikat dan makna “damai’ diungkap dalam kosa kata “idu atau idu-idu” (Bahasa Iha) dan “Maninina” (bahasa Onin). Biasa diungkapkan dalam nyanyian-nyanyian Titir-Tumor. Tema dasar damai, ideal ethic ini, lahir dari kesadaran akan kengerian sejarah panjang masa permusuhan dan peperangan antar kelompok (hongi). Tema ini muncul dengan terbangunnya perjanjian perdamaian dan pembentukan aliansi-aliansi lintas marga, salah satunya

14 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

B. Argumentasi dan Fokus Studi

Studi ini didorong dan diarahkan oleh pertanyaan utama: bagaimana rumpun etnik Mbaham Matta menerima dan memperlakukan agama-agama dunia serta tatanan politik- ekonomi yang memasuki kompleks sosial-budaya mereka? Dengan ungkapan lain: strategi kebudayaan apakah yang mereka kembangkan dalam perjumpaan dan pengelolaan unsur-unsur baru itu dalam kompleks sosial-budaya mereka?

Penelusuran riset untuk menjawab pertanyaan utama studi ini saya dasarkan pada argumentasi utama sebagai berikut. Dalam perjumpaan dengan komponen politik- ekonomi dan agama-agama dunia, etnik Mbahammata melakukan negosiasi inklusif dan kritis-rekosntruktif pada wilayah demarkasi sosio-kultural (ethnic boundary) mereka. Pada satu sisi ada penerimaan (inklusi) yang membawa pada inkorporasi, tetapi pada pihak lain mereka juga mengirim sinyal-sinyal kritik atau peringatan sebagai penanda batasan etnik kultural yang harus dihargai oleh komponen-komponen politik-ekonomi dan agama-agama yang datang. Tetapi rumpun etnik Mbaham Matta tidak hanya berhenti pada reproduksi sosial etnisitas dalam arti hanya mempertahankan wilayah demarkasi sosial-kebudayaan mereka dan menarik garis batas baru. Lebih maju lagi: inkorporasi itu membawa kepada transformasi sosial yang lebih luas.

Dualitas proses sosial-kultural, yakni inklusi dan kritik-rekonstruktif/transformatif ini membawa Penulis kepada penajaman konsep inkorporasi sebagai strategi kebudayaan rumpun etnik Mbaham Matta. Dalam studi

adalah peristiwa yang dilakukan di wilayah Kampung Kayuni dengan warisan situs artifak budaya Warqpa tumber. Nyanyian-nyanyian Titir- Tum or penuh dengan ungkapan kerinduan akan “damai.” Tarian adat penyambutan tamu mereka pun mengungkapkan kegembiraan dan keterbukaan menyambut para tamu.

Pendahuluan

terhadap narasi dan praktik sosial rumpun etnik Mbaham Matta Penulis menemukan bahwa inkorporasi memiliki dua dimensi resiprokal dalam proses-proses rekontruksi/ transformasi sosial budaya, yakni dimensi incorporated in to dan incorporating in to. Bisa kita sebut sebagai dualitas-

inkorporasi. 31 Penulis juga menyebutnya inkorporasi internal (ke dalam: sistem sosial mikro) yang terkait dengan integrasi sosial dan eksternal (ke luar: sistem sosial makro) yang terkait

dengan integrasi sistem. 32

Dualitas proses dan strategi tersebut harus dibaca dari perspektif kesadaran kritik sejarah lokal dalam konteks imajinasi sosial mereka membangun suatu tatanan masyarakat multikultur. Dalam rangka itulah penting sekali kita memberi perhatian pada aspek kritik sejarah lokal yang mereka rajut dalam narasi-narasi dan praktik-praktik sosial keseharian mereka. Kita patut memahami narasi-narasi dan praktik- praktik sosial mereka dalam konteks teori contested history, yang menempatkan narasi-narasi dan praktik sosial lokal sebagai narasi-narasi dan prakrik-praktik sosial tandingan. Pemahaman demikian memberi penegasan pada importansi posisi dan peran subyektif-reflektif para pemangku agama keluarga, yang pada satu sisi, menyediakan dan memberi ruang sosial bagi, tetapi pada sisi lain meberi arahan kepada agama-agama dan kekuatan-kekuatan politik-ekonomi dalam rangka imajinasi mereka tentang formasi masyarakat multikultur.

31 Penamaan konsep dualitas inkorporasi ini terilhami dari konsep “dualitas” struktur dalam teori strukturasi Anthoni Gidens dan konsep dualitas habitus Bourdieu.

32 Giddens memolakan sistem sosial masyarakat terdiri dari dua lingkup yakni sistem kecil (internal: sistem mikro sosial) yang Ia sebutkan sebagai sistem sosial dan sistem besar (eksternal: sistem makro sosial) yang berada di luar sistem sosial tetapi terus menerus menjadi konteks kehadiran sistem sosial suatu masyarakat. Integrasi sosial menunjuk kepada proses- proses sosial internal dan integrasi sistem menunjuk kepada proses-proses sosial di luar yang terus memasuki dan memengaruhi integrasi sosial. Kedua level dan lingkup sistem dan integrasi ini berada dalam relasi resiprokal.

16 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Mereka adalah produser kehidupan sosial-kultural- keagamaan mereka sendiri. 33 Mereka tidak menolak kehadiran agama-agama mengikuti mekanisme isolasi kultural. Mekanisme mana untuk melindungi kebudayaan yang telah mapan dari pengaruh-pengaruh disruptif unsur-unsur budaya asing melalui sikap penolakan terhadap perubahan, seperti penghindaran pola-pola budaya baru, etnosentrisme, dan permusuhan

terbuka terhadap orang-orang asing. 34 Sebaliknya: agama-agama ini, melalui proses negosiasi pada perbatasan sosio-kultural etnik (ethnic boundary), diterima dan diinkorporasikan ke dalam sistem sosial-kultural mereka.Inkorporasi adalah strategi kebudayaan etnik Bahamata. Itu berarti bahwa agama-agama,dengan sistem ajaran, sistem kultus dan ritus, sistem nilai dan struktur keumatannya, diberikan ruang sosial dan kesempatan kultural untuk mengambil bagian dalam arena sosial-kultural-religi- politik etnik Bahamata.

Selanjutnya, pemberian ruang sosial ini dapat diimajinasikan 35 pula sebagai undangan, tantangan, dan stimulasi bagi ketiga agama untuk turut serta dalam rekonstruksi sistem sosial, redefinisi identitas sosial, dan

33 Lihat juga Fajans, They Make Themselves, yang menekankan daya reproduksi sosial-kultural komunitas lokal etnik. 34 Bodley, Victims of Progress, 33. 35 Imajinasi menjadi bagian penting dari proses pengembangan

riset, lihat antara lain Paul S. Gray, John B. Williamson, David A. Karp, John R. Dalphin, The Research Imagination: An Introduction to Qualitative and Quantitative Methods (Cambridge: Cambridge University Press, 2007). Preface buku ini dibuka dengan sebuah pernyataan “Science is a blueprint for research; imagination gives research its life and purpose. ”; Lihat juga Kelly Besecke, ‘Not Just Individualism: Studying American Culture and Religion after Habits of The Heart.’ Sociology of Religion 68, No.2 [2007]: 195-200,

yang mengaitkan imaginasi dengan imaginasi sosiologis dalam penelitian, antara lain, mengatakan “ As writers, as well as teachers, sociologists have the potential to communicate a sociological imagination, to offer terms for an alternative discourse, and to raise public consciousness about the mutual

interdependence of the individuals and the social system that bind them. ”

Pendahuluan

reafirmasi moralitas sosial masyarakat multi religi-kultural dalam arena sosial-budaya-religi-politik etnik Bahamata. Pada fase ini kita menemukan tujuan inkorporasi memiliki aspek pengarah dari masyarakat lokal bagi unsur-unsur sosial baru melanjutkan ke tahap transformasi masyarakat secara luas. Di titik ini, sekali lagi, penting untuk memberi penekanan pada aspek kesadaran kritik sejarah etnik Mbahammatta sebagai pemberi arah kepada agama-agama dan komponen-komponen sosial baru lainnya. Inkorposari mengandung sisi inklusi, kritik, dan konstruktif-transformatif sosial.

Inkorporasi menunjukkan bagaimana etnik Bahamata menerima agama-agama tamu dan sistem politik-ekonomi dalam

konteks sosial-budaya-religi-politik mereka. Inkorporasi yang membawa kepada tugas dan tangungjawab transfromasi sosial mengakibatkan perubahan pada (1) sistem

sosial; (2) identifikasi sosial; dan (3) moralitas sosial mereka. 36 Dalam arus pikir seperti ini sebenarnya etnik

Mbahammata sedang berusaha menjamin ontological security 37 mereka dalam sistem sosial multikultral berbasis

36 Komponen perubahan ini mengikuti pola pembahasan dalam Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: The MacMillan Press, 1999) terkait dengan perubahan social system, collective consciousness, and collective morality ; Lihat juga Clifford Geertz, “Ritual and Social Cha nge: A Javanese Example” dalam The Interpretation of Culture ( New York: Basic Books, 1973), 142-169 mengembangkan teori terkait dengan sistem tindakan sosial berdimensi tiga mandiri yang saling terkait, yakni sistem kebudayaan, sistem sosial, dan struktur personalitas. Dengan meminjam teorisasi P. Sorokin tentang unsur-unsur pengorganisasi tindakan sosial, Geertz mengartikan sistem kebudayaan sebagai logico-meaningfull integration, sistem sosial sebagai causal-functional integration, dan struktur personalitas sebagai the pattern of motivational intergration. Geertz memisahkan secara konsepsional kedua aspek (kebudayaan dan sosial) yang bertemu dalam tindakan sosial individu sepanjang interaksi sosial.

37 Meminjam konsep yang diperkenalkan oleh Anthony Giddens, The Constitution of Society – Outline of the Theory of Structuration (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1986), 375, ontological security menunjuk kepada “confidence or trust that natural and social worlds as they appear to be, including the basic existential parameters of self and social identity .”

18 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

pada ideal ethic mereka, yakni idu-idu/maninina (hidup damai).

C. Tujuan Penulisan

Dengan mengikuti alur pikir argumentatif dan fokus di atas, studi ini akan difokuskan pada usaha mengungkap dan menjelaskan strategi budaya serta proses dan dinamika transformasi sosial yang terkait dengan rekonstruksi sistem atau struktur sosial, redefinisi identitas sosial, dan reafirmasi moralitas sosial yang dijalani oleh etnik Bahamata yang telah melibatkan agama Islam, Protestan, dan Katolik. Strategi dan proses-proses tersebut diarahkan kepada usaha masyarakat etnik Mbahammata membangun struktur atau tatanan masyarakat multikultural.

D. Telaah Pustaka

Studi ini berpusat pada pengalaman perjumpaan masyarakat atau komunitas etnik loka dengan agama-agama dunia. Oleh karena itu telaah pustaka ini akan menelusuri beberapa tulisan terkait perjumpaan dengan masyarakat lokal: (1) Perspektif studi perjumpaan agama-agama dunia dengan masayarakat lokal di Indonesia; (2) Studi terhadap perjumpaan agama-agama dunia dengan masyarakat lokal Fakfak.

1. Perspektif studi perjumpaan agama-agama dunia dengan masyarakat lokal

Pertama, studi yang meliput perjumpaan masayarkat lokal dengan satu agama. Studi ini sangat berlimpah terutama dalam lingkup agama Islam dalam perjumpaan dengan masyarakat lokal: bagaimana tradisi agama –agama dunia diterima dalam kebudayaan masyarakat lokal dan bagaimana

Pendahuluan

ajaran-ajaran agama-agama itu mewarnai kepercayaan masyarakat lokal. Menurut Nur Syam, 38 yang membahas secara padat karakteristik studi-studi tentang islam dalam perjumpaan dengan masyarakat lokal, terdapat dua tipologi kajian Islam dalam memandang hubungan antara tradisi Islam dan tradisi lokal, yakni sinkretik dan alkulturatif. Ini menggambarkan pendekatan yang menempatkan agama- agama dunia sebagai titik tolak riset dan paparan. Dikatakan sinkretik karena pola keberagamaan yang dihasilkan adalah sinkretisasi ajaran-ajaran dan praktik-praktik agama-agama dunia. Perspektif sedemikian dipandang dari teologi agama puritan, yang sangat menekankan purifikasi atas tradisi kultural dan keberagamaan lokal. Pada sisi lain, dari sisi pendekatan

lebih menghargai keberagamaan lokal, menekankan akulturasi tata nilai dan praktik keagamaan lokal ke dalam sistim kepercayaan, kultus, dan etika agama-agama dunia.

agama-agama

yang

Nur Syam dalam studinya terhadap perjumpaan Islam dan masyarakat Islam Pesisir menggunakan teori konstruksi sosial yang digagas dan dikembangkan oleh Berger dan

Luckmann. 39 Dalam menganalisis dunia kehidupan manusia, Berger dan Luckmann menerapkan dialektika Hegel: tesis- antitesis-sintesis. Prinsip kerja dialektis ini diterapkan untuk mendudukan dan menjelaskan interelasi dan interaksi antara aspek subyektif dan obyektif realitas sosial, yang berpusat dalam aktivitas manusia sebagai konstruktor sosial. Konstruksi sosial dijelaskan melalui proses tiga aktifitas dialektis, yakni obyektivasi, eksternalisasi, dan internalisasi.

38 Lihat antara lain paparan, Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyalarta: LkiS, 2005), 1-28. 39 Peter Berger dan Thomas Luckmann, Konstruksi Sosial Atas Realitas (Jakarta:LP3ES, 1990)

20 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Samsul Maarif, 40 dalam telaah pustaka untuk studinya tentang perjumpaan agama Islam dan komunitas adat Amatoa di Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa terdapat tiga perspektif teoritis yang dikembangkan oleh para ahli terkait

konteks Indonesia, yakni “conversion, syncritism, and resistance .” 41 Konversi bukanlah fenomena monolitik,

melainkan multi-lapis perihal konteks dan terlebih alasan serta tujuannya. Dalam kasus masyarakat Tengger, Jawa

Timur, Robert Hefner 42 menjelaskan konversi ke dalam agama Islam lebih merupakan pengaruh institusi politik, ekonomi, dan sosial. Sebaliknya, konversi ke dalam agama Krisen, lebih dari sekedar alasan politik, dorongan keputusan dan komitmen moral. Dalam konteks masyarakat Karo konversi ke dalam kekritsenan memang bermula dari keinginan untuk bisa masuk sekolah dan mendapat pekerjaan. Ini terkait dengan

elevasi status sosial. Tapi menurut R. Kipp, 43 dalam lingkungan dan identitas serta pemahaman iman baru yang terus berkembang, komunitas Kristen Karo menafsirkan ulang kehidupan dan pengalaman mereka. Proses hermeneutika sosio-relijius ini membangkitkan komitmen-komitmen dan keyakinan-keyakinan baru.

Perspektif sinkretisme menggambarkan percampuran kultural relijius di Indonesia. Sinkretisme mengandaikan

40 Samsul Maarif, “Dimensions of Religios Practice The Amatoans of Sulawesi, Indonesia” [Doctor of Philosophy Disertation, Arizona State University, 2012)

41 Maarif, “Dimensions of Religious Practice The Ammatoans of Sulawesi, Indonesia”, 9-18. Paparan terkait dengan tiga perspektif ini mengikuti model yang dikemukakan oleh Maarif serta pendalaman oleh saya pada bagian tertentu.

42 R. Hefner, “Of faith and commitment: Chrtistian conversion in muslim Java” in R.W. Hefner (ed.), Conversion to Chritianity: Historical and anthopological perpspektives on agreat transformation (Berkeley, Los

Angeles, Oxford: University of California Press, 1993), pp.99-125. 43 R. Kipp, ‘Conversion by affiliation: the history of Karo Batak Protetstant Church’ in American Ethnologists 22 (4) 1995, 868-882.

Pendahuluan

percampuran beberapa tradisi kultural-relijius. 44 Dalam pemahaman awal, hasil dari sinkretisme adalah sebuah kualitas keberagaman yang kurang otentik dari agama dunia yang seharusnya. Pandangan ini banyak penganutnya dalam studi perjumpaan agama dunia dengan masyarakat lokal. Terhadap pandangan evaluatif sempit ini, antara lain, Andrew

Beatty, melalui bukunya “Varieties of Javanesse Religion: Anthropological Account 45 ,” yang berpusar pada pembahasan

tentang dinamika ‘cultural difference and syncretism,’ mengajukan konsep yang lebih terbuka dan dinamis. Beatty

mengikuti C.Stewart 46 menggunakan konsep sinkretisme “in a more abstract sense to refer to a systematic interrelation elements from diverse traditions, an ordered response to

pluralism and cultural difference 47 .” Jadi sinkristime bukanlah bentuk rendah, mandek, dan acak, tetapi adalah suatu tanggapan yang dirancang dan terpola terhadap pluralisme dan perbedaan kultural. Baginya, sinkretisme adalah suatu kondisi dan proses lintas budaya yang dinamis terkait dengan akomodasi, kontestasi, apropiasi, pemribumian (indigenisasi). Dalam konteks pemahaman seperti ini manusia sebagai pemangku dan pelaku budaya memainkan peran sebagai aktor-aktor sosial yang sadar akan kehendak dalam diri mereka sebagai individu dan komunitas. Mereka bermanuver dalam ruang kreatif yang tercipta dari perjumpaan ragam perspektif. Dalam proses ini berlangsung apa yang dalam

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 16

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 75

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan pada Algoritma LFSR (Linear Feedback Shift Register) dalam Reposisi XOR dalam Pencarian Bilangan Acak Terbaik: Studi Kasus LFSR dengan 4 Bit dan 6 Bit

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: BINAKEL: Kajian terhadap Tema Bulanan Bina Keluarga Gereja Protestan Maluku (GPM) Tahun 2017 dari Perspektif Teologi Keluarga Maurice Eminyan

0 5 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Nateek bagi Pembentukan Identitas Sosial Etnik Cina Indonesia (ECI) di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Sonhalan Niki Niki

0 2 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Raport Online: Studi Kasus SD Masehi Pekalongan

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Integritas Suricata Intrusion Detection System (IDS) dengan Mikrotik Firewall untuk Keamanan Jaringan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

3 9 21