MAKALAH KIMIA FORENSIK TENTANG PENYALAHG

MAKALAH KIMIA FORENSIK
TENTANG
PENYALAHGUNAAN HEROIN

DI SUSUN OLEH

1. Ardyan Pradana Putra, S.Kep., Ners (NIM 091624653002)
2. Pudji Hardjanto, SH

(NIM 091624653003)

MAGISTER ILMU FORENSIK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penyusunan Makalah dengan judul ”Penyalahgunaan Heroin” dapat
terselesaikan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kimia

Forensik pada program studi Ilmu forensik di Sekolah Pascasarjana Universitas
Airlangga.
Dalam penyusunan Makalah ini, penyusun banyak mendapatkan
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun
menyampaikan terima kasih kepada Dosen pengajar mata kuliah Kimia Forensik
atas bimbingan maupun arahannya dalam penyusunan Makalah ini, kepada rekanrekan seperjuangan “Mahasiswa pascasarjana magister ilmu forensik” yang selalu
memberikan saran serta motivasi yang sangat tinggi dalam penyusunan Makalah
ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan Makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun, demi penyempurnaan Makalah ini. Semoga Makalah
ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu forensik.

Surabaya, 29 Maret 2017

( Penyusun )

DAFTAR ISI
Halaman


Kata Pengantar .......................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan Makalah......................................................... 2
1.4. Manfaat Penulisan Makalah....................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi.......................................................................................

4

2.2. Jenis-jenis Heroin.......................................................................

5

2.3. Farmakokinetik ..........................................................................


5

2.4. Farmakodinamika.......................................................................

5

2.5. Efek heroin terhadap organ tubuh ..............................................

7

2.6. Cara penggunaan........................................................................

9

2.7. Efek penggunaan Heroin............................................................

9

2.8. Toksisitas Heroin .......................................................................


10

2.9. Teknik identifikasi pengguna Heroin.........................................

13

2.10 Sanksi Hukum Penyalahgunaan Narkoba .................................

15

2.11 Kasus-Kasus Narkotika Di Indonesia .......................................

16

BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan................................................................................ 19
3.2.Saran...................................... .................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 20


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) saat ini
semakin

marak

terjadi.

Penyalahgunaan

ini

akhirnya

menimbulkan


ketergantungan. Ketergantungan dapat menyebabkan masalah serius dalam hal
ekonomi, sosial, mental, kriminalitas dan penyakit fisik. Penyalahgunaan NAPZA
terjadi seperti fenomena gunung es dimana terdapat peningkatan prevalensi
namun hanya sedikit yang terlihat. Hal ini disebabkan karena peredaran gelap
yang tidak bisa dicegah sehingga mendapatkan zat tersebut menjadi mudah.
Data penyalahgunaan narkoba yang dilaporkan oleh United Nations Office
on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2014 menyebutkan bahwa tahun 2012 di
dunia diperkirakan ada 162 sampai 324 juta orang. Penyalahgunaan tertinggi
heroin di kawasan Asia yaitu sebesar 1,2 persen(United Nations Office on Drugs
and Crime, 2014). Diperkirakan terdapat 900 ton opium dan 375 ton heroin yang
keluar dari Afganistan setiap tahunnya.
Heroin di Indonesia dikenal dengan nama yang sama. Pada kadar yang lebih
rendah dikenal dengan sebutan putauw. Heroin didapatkan dari pengeringan
ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang
merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif dan banyak digunakan untuk
pengobatan dalam obat batuk dan obat diare.
Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, jumlah
kasus narkoba yang terkait hukum pada tahun 2013 sebanyak 35.436 orang. Dari
jumlah tersebut sebanyak 21.119 orang merupakan pengguna golongan narkotika

dengan jumlah 1.695 orang memakai heroin. Usia terbanyak adalah 26 sampai 40
tahun. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan data yang disajikan oleh BNN
mengenai jumlah kasus narkoba tahun 2011 sebanyak 29.526 kasus dengan
pemakaian heroin sebanyak 689 kasus (Badan Narkotika Nasional, 2014).
Penggunaan heroin lebih sering dengan suntikan atau injeksi, dan
penggunannya disebut dengan Injection Drug User (IDU). Pemakaian heroin

2

dengan jarum suntik akan memperbesar risiko timbulnya penyakit fisik seperti
HIV, hepatitis, dan penyakit fisik lainnya. Penyakit fisik ini juga dapat menular
dari satu pemakai ke pemakai lainnya akibat pemakaian jarum suntik secara
bersama-sama. Hal ini menjadi perhatian untuk dicegah karena semakin
meluasnya penularan penyakit tersebut (Kementerian Kesehatan, 2012).
Ketergantungan heroin dapat terjadi karena berbagai macam faktor salah
satunya faktor keluarga dan faktor kepribadian. Faktor keluarga yang dimaksud
adalah fungsi dari sebuah keluarga. Kepribadian yang dimaksud adalah
kepribadian yang mempermudah terjadinya ketergantungan. Hal ini menjadi dasar
untuk melakukan penelitian ini. Keparahan ketergantungan heroin pada masingmasing individu berbeda menurut faktor-faktor yang memperberat. Keparahan
ketergantungan heroin dapat diukur dengan menggunakan WHO ASSIST (Sargo

& Subagyo, 2014)
Terkait berbagai masalah di atas, maka penulis menyusun sebuah makalah
ilmiah mengenai penyalahgunaan heroin melalui study literatur yang disusun
secara sistematis.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini secara umum adalah “bagaimanakah
penggunaan heroin dalam tindak pidana kriminalitas (crime)”. Secara rinci
rumusan masalah dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.

Apakah yang dimaksud dengan heroin serta jenis-jenisnya?

2.

Bagaimanakah farmakokinetik & farmakodinamika heroin dalam tubuh
manusia?

3.

Bagaimanakah efek heroin bagi tubuh manusia?


4.

Bagaimanakah toksisitas heroin?

5.

Bagaimanakah mekanisme kerja heroin dalam tubuh manusia?

6.

Bagaimanakah teknik identifikasi pengguna heroin?

7.

Bagaimanakah sanksi hukum penyalahgunaan Narkotika?

3

1.3. Tujuan Penyusunan Makalah

Adapun tujuan disusunnya Makalah ini, yaitu:
1. Mampu mengklasifikasikan heroin serta jenis-jenis lainnya
2. Mengetahui farmakokinetik & farmakodinamika heroin dalam tubuh
manusia?
3. Mengetahui mekanisme kerja heroin dalam tubuh manusia
4. Mengetahui efek heroin bagi organ tubuh manusia
5. Mengetahui cara maupun teknik identifkasi heroin dalam tubuh manusia.
6. Mengetahui teknik identifikasi pengguna heroin?
7. Mengetahui sanksi hukum bagi penyalahgunaan Narkotika?

1.4. Manfaat Penyusunan Makalah
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu
1. Secara teoritis menambah wawasan mengenai jenis zat-zat kimia yang
sering

disalahgunakan

dalam

berbagai


kasus

kriminal

seperti

penyalahgunaan narkotika.
2. Sebagai media maupun sumber informasi yang dapat digunakan dalam
proses belajar.

4

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. DEFINISI
Menurut UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan pengertian
Narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan”.
Heroin masuk dalam Jenis Narkotika Golongan I, hal ini bberdasarkan UU
No.22 Tahun 1997 narkotika diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu :
“Narkotika Golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya dengan daya
adiktif yang sangat tinggi. Karenanya tidak diperbolehkan penggunaannya untuk
terapi pengobatan, kecuali penelitian dan pengembangan pengetahuan. Narkotika
yang termasuk golongan ini adalah ganja, heroin, kokain, morfin,
fin, opium, dan lain
sebagainya”
Heroin atau diamorfin (INN) adalah sejenis opioid alkaloid
alkaloid. Heroin adalah
derivatif 3.6-diasetil dari morfin (karena itulah namanya adalah diasetilmorfin)
dan disintesiskan darinya melalui asetilasi. Bentuk kristal putihnya umumnya
adalah garam hidroklorida, diamorfin hidroklorida. Heroin dapat menyebabkan
kecanduan. Nama lain dari heroin yaitu: Diamorphine, Diacetylmorphine,
Acetomorphine, (Dual) Acetylated morphine, Morphine diacetate..
Formula  C21H23NO
N 5

5

2.2. JENIS HEROIN
Jenis heroin yang sering diperdagangkan adalah:
1. Bubuk putih
Diperjualbelikan dalam kantung-kantung yang telah dikemas secara
khusus dengan ukuran 3x1,5 cm, berisi 100 mg bubuk dengan kadar
heroin berkisar antara 1-10%. Pada saat ini kadar heroin dalam bubuk
cenderung meingkat, rata-rata berkisar 35%. Biasanya bubuk tersebut
dicampur dengan gula, susu bubuk atau kanji. Banyak diperjualbelikan
di daerah Asia.
2. Bubuk coklat
Bentuk, kemasan dan kadar heroin mirip dengan bubuk putih, hanya
warnanya yang coklat. Banyak didapatkan di daerah Mexico
3. Black Tar
Banyak diperjualbelikan di Usa. Warna hitam disebabkan oleh metode
prosesing. Bentuknya kecil-kecil seperti kacang dan lengket. Kadar
heroin didalamnya berkisar 20-80%. Pemakaian biasanya dilarutkan
dengan sedikit air kemudian dihangatkan diatas api. Setelah dilarutkan
dapat dimasukkan ke dalam alat suntik.
2.3. FARMAKOKINETIK
Heroin diabsorpi dengan baik disubkutaneus, intramuskular dan permukaan
mukosa hidung atau mulut. Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan
menuju ke dalam jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal
dan limpa, sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di
dalam otak relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak.
Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan
morfin atau golongan opioid lainnya
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin
dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam
glukuronik menajdi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat
dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal.
Heroin /morfin terutama diekstresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan

6

dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam
heroin didalam tubuh diubah menjadi morfin dan diekskresikan sebagai morfin.
2.4. FARMAKODINAMIK
2.4.1. Mekanisme kerja
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor
spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi
transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu
reseptor μ (mu), δ (delta) dan κ (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis
endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu enkephalin yang
berikatan dengan reseptor δ, β endorfin dengan reseptor μ dandynorpin dengan
reseptor κ. Reseptor μ merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis
reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase
menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan
neurotransmitter terhambat.
2.4.2. Efek inhibisi opiat dalam pelepasan neurotransmitter Pelepasan
noradrenalin
Opiat menghambat pelepasan noradrenalin dengan mengaktivasi reseptor
μ yang berlokasi didaerah noradrenalin. Efek morfin tidak terbatas dikorteks,
tetapi juga di hipokampus, amigdala, serebelum, daerah peraquadiktal dan locus
cereleus.
2.4.3. Pelepasan asetikolin
Inhibisi pelepasan asetikolin terjadi didaerah striatum oleh reseptor deltha,
didaerah amigdala dan hipokampus oleh reseptor μ. Pelepasan dopamin Pelepasan
dopamin diinhibisi oleh aktifitas reseptor kappa
2.4.4. Tempat Kerja
Ada dua tempat kerja obat opiat yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan
visceral. Di dalam susunan saraf pusat opiat berefek di beberapa daerah termasuk
korteks, hipokampus, thalamus, hipothalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik,
locus coreleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata dan medula spinalis. Di
dalam sistem saraf visceral, opiat bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus
submukous yang menyebabkan efek konstipasi.

7

2.5. Efek ke sistem organ lainnya
2.5.1. Susunan saraf pusat
1. Analgesia
Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor:
1) meningkatkan ambang rangsang nyeri
2) mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah
reaksi yang timbul menyertai rasa nyeri pada waktu penderita
merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian obat penderita masih tetap
merasakan (menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut
tidaklagi timbul. Efek obat ini relatif lebih besar mempengaruhi
komponen efektif (emosional) dibandingkan sensorik
3) Memudahkan timbulnya tidur
2. Eforia
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan
menimbulkan perasaan eforia dimana penderita akan mengalami
perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang
sama besar bila diberikan kepada orang normal yang tidak mengalami
nyeri, sering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai
mual, muntah, apati, aktivitas fisik berkurang dan ekstrimitas terasa
berat.
3. Sedasi
Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi.
Kombinasi morfin dengan obat yang berefek depresi sentral seperti
hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat dalam
4. Pernafasan
Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang
disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak.
Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah ijeksi
intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular.
Respirasi kembali ke normal dalam 2-3 jam

8

5. Pupil
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis
terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III
6. Mual dan muntah
Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor
trigger zone di batang otak.
2.5.2. Efek perifer
1. Saluran cerna
1) Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas
lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi.
2) Pada usus beasr akan mengurangi gerakan peristaltik, sehingga
dapat menimbulkan konstipasi
2. Sistem kardiovaskular
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah,
frekuensi maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya
bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan
tidur, Hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat
mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan
pelepasan histamin
3. Kulit
Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak
merah dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat,
kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit
akibat efek sentral danpelepasan histamin
4. Traktus urinarius
Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter
meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.

9

2.6. CARA PENGGUNAAN
2.5.1 Injeksi
Injeksi secara intravena, subkutan atau intra muskular Injeksi lebih praktis
dan efisien untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat
menimbulkan efek eforia dalam 7-8 detik,sedangkan secara intra muskuler
efeknya lebih lambat yaitu 5-8 menit.
Kerugian injeksi:
1. Dapat menyebabkan septikemi daninf lain
2. Dapat menyebabkan hepatitis atau HIV
3. Injeksi nerulang dapat merusak vena, menyebabkan trombosis dan abses
2.5.2 Dihirup
Bubuk heroin ditaruh di aluminium foil dan dipanaskan diatas api,
kemudian asapnya dihirup melalui hidung. Efek puncak dengan penggunaan
secara dihirup/dihisap biasanya dirasakan dalam 10-15 menit
2.5.3 Dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok
Penggunaan heroin dengan kadar tinggi biasanya dengan cara dihirup atau
dihisap. Penggunaan heroin secara dihisap atau dihirup (chasing the dragon) saat
ini meningkat untuk menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikan.
Penggunaan secara dihisap lebih aman dibandingkan dihirup, oleh karena masuk
ke dalam tubuh secara bertahap sehingga lebih mudah dikontrol.
2.7. Efek yang timbul akibat penggunaan heroin
Menurut national Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera
(short term) dan efek jangka panjang (long term)
Efek segera (short term)

Efek jangka panjang (long term)

1. Gelisah

1. Addiksi

2. Depresi pernafasan

2. HIV, hepatitis

3. Fungsi mental berkabut

3. Kolaps vena

4. Mual dan muntah

4. Infeksi bakteri

5. Menekan nyeri

5. Penyakit paru (pneumonia, TBC)

6. Abortus spontan

6. Infeksi jantung dan katupnya

10

Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:
1. Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur
2. Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)
3. Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala with
drawl dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah,
agitasi, sering menguap, bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare
dan pada beberapa kasus terjadi kejang umum.
Komplikasi neurologis yang dapat terjadi akibat penggunaan heroin:
1. Edema serebri
2. Myelitis
3. Postanoxia encephalopathy
4. Crush injury
5. Gangguan koordinasi, kesulitan untuk berbicara

2.8. TOKSISITAS DAN EFEK LAIN YANG TIDAK DIINGINKAN DARI
PEMAKAI HEROIN
2.8.1. Intoksikasi akut (overdosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu
narkotik. Gejala overdosis biasanya timbul beberapa saat setelah
pemberian obat.
Gejala intoksikasi akut (overdosis):
1. Kesadaran menurun, sopor – koma
2. Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan
pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes
3. Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif
4. Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata
5. Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi
apabila pernafasan memburuk danterjadi syok
6. Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin
7. Bradikardi

11

8. Edema paru
9. Kejang
10. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka
kematian meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan
obat-obatan yang menimbulkan reaksi silang seperti alkohol,
tranquilizer.
- Angka kematian heroin + alkohol → 40 %
- Angka kematian heroin + tranquilizer → 30 %
2.8.2. Intoksikasi Kronis
Addiksi heroin menunjukkan berbagai segi:
1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita
ketagihan akan obat tersebut.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena
faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut
3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk
mendapat efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat
pertama penggunaan opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu
penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih cepat bila
diberikan dalam dosis tinggi dan interval pemberian yang singkat.
Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang penting, dimana
bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran
terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan
sebagainya.
Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat:
Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi
seluler yang menyebabkan perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic amin
tertentu atau beberapa respon immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung
jawab dalam menimbulkan gejala withdrawl. Nukleus ini kaya akan tempat
reseptor opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor
opioid danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler.

12

Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas
adenilsiklase pada siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus,
akan terjadi adaptasi fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari
adeniliklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dihentikan
dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka
akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan
berhubungan dengan gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas.
Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi bila
pecandu obat tersebut menghentikan penggunaanobat secara tiba-tiba. Gejala
biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan
puncaknya pada 36-48 jam. Withdrawl dapat terjadi secara spontan akibat
penghentian obat secara tibatiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian
antagonis opioid seperti naloxono, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi
antagonis opioid, timbul gejala withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20
menit, kemudian menghilang setelah 1 jam.
Gejala putus obat:
1. 6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah
2. 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi),
anoreksia
3. 24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai
adanya kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri
pada otot dan tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian,
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung,gerakan involunter dari
lengan dan tungkai, dehidrasi dan gangguan elektrolit
4. Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara
berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung
kuat pada obat. Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6
bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan
dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah
usia 1 tahun.

13

2.9. TEKNIK IDENTIFKASI PENGGUNA HEROIN
2.9.1. Anamnesa
1. Auto anamnesa (pengakuan jujur dari pasien)
2. Alo anamnesa (dari keluarga yang dapat dipercaya)
2.9.2. Pemeriksaan fisik
Intoxikasi akut:
1. Penurunan kesadaran
2. Ganguan otonom, bradikardi, hipotermia, hipotensi, sianosis, pin point
pupil
3. Depresi pernafasan
4. Edema paru
5. Kejang (jarang)
6. Mata, sklera dapat ikterik akibat komplikasi pemakaian opiat secara IV
7. Bicara menjadi kaku, dismetri
Gejala abstinensia: Gelisah, insomnia, berkeringat, sering menguap,
pupil dilatasi, takikardi, kram perut. Baik pada intoksikasi maupun
abstinensia, pada kulit ditemukan bekas suntikan (hiperpigmentasi) di
sepanjang pembuluh vena lengan
Ditemukannya benda-benda yang berhubungan dengan penggunaan obat
seperti jarum suntik, pipa, aluminium foil, bubuk heroin dan lain-lain
disekitar penderita
2.9.3. Pemeriksaan laboratorium
1. Urine (drug screening)
Untuk mengetahui zat yang dipakai oleh penderita. Urine harus
diperoleh tidak lebih dari 24 jam setelah pemakaian zat terakhir.
Metode pemeriksaan antara lain dengan cara paper chromatography,
Thin Layer Chromatography, Enzym Immunoassay.
2. Rambut
Cara ini dinilai lebih mantap dibandingkan tes urin untuk memastikan
seseorang pecandu narkoba atau tidak. Ada beberapa kelebihan dari
analisis rambut bila dibandingkan dengan tes urin. Salah satunya

14

adalah narkoba dan metabolism narkoba akan berada dalam rambut
secara abadi dan mengikuti pertumbuhan rambut yang berlangsung
sekitar 1 inchi per 60 hari. Sedangkan, kandungan narkoba dalam urin
segera berkurang dan menghilang dalam waktu singkat.
Dengan metode Liquid chromatography menggunakan ultraviolet
dapat dideterminasi adanya opiat pada rambut pexcandu heroin (opiat).
Seseorang dikatakan pecandu heroin, bila pada rambutnya ditemukan
kandungan 10 ng heroin/mg rambut.
3. Tes Darah
Selain dilakukan pemeriksaan urin dan rapid test seperti Strip/Stick
dan Card Test, dapat dilakukan tes darah. Pada pengguna narkoba,
akan didapat hasil SGOT dan SGPT yang meningkat karena biasanya
pemakaian narkoba dalam jangka panjang dapat menyebabkan
terjadinya hepatomegali.
Berikut ini disediakan tabel pemeriksaan tes darah dan tes rambut
tentang mendeteksi keberadaan narkoba.
Jenis Narkoba

Tes Darah

Tes Rambut

Amphetamin

12 jam

Hingga 90 hari

Methamphetamin

1-3 hari

Hingga 90 hari

Ekstasi (MDMA)

3-4 hari

Hingga 90 hari

Cannabis

2-3 hari untuk pengguna Hingga 90 hari
ringan, 2 minggu untuk
pengguna berat

Kokain

2-10 hari

Hingga 90 hari

Morfin

1-3 hari

Hingga 90 hari

Metadon

24 jam

Hingga 90 hari

PCP

1-3 hari

Hingga 90 hari

15

2.10 SANKSI HUKUM PENYALAHGUNAAN NARKOBA
Undang-undang RI No. 22 Tahun 1997 Tentang narkotika:
1. Penyalahgunaan (Pasal 78 dan Pasal 79)
2. Pengedar (Pasal 82)
3. Produsen (Pasal 80)
Undang undang No 22 , Tahun 1997 tentang Narkotika:
1. Pasal 78: Menanam, memelihara, mempunyai, memiliki, menyimpan,
menguasai Narkotika Golongan I, dipidana 10 tahun penjara dan denda
Rp. 500 juta.
2. Pasal 79: Memiliki, menyimpan, menguasai Narkotika Gol II, dipidana 7
tahun penjara dan denda Rp. 250 juta; Narkotika Gol III, dipidana 5 tahun
penjara dan denda Rp. 100 juta.
3. Pasal 80: Memproduksi, mengolah, menekstraksi, mengkonversi,merakit,
atau menyediakan Narkotika Gol I, dipidana mati atau penjara seumur
hidup atau 20 tahun penjara denda Rp. 500 juta; Narkotika Gol III,
dipidana 7 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta
4. Pasal 81: Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika
Gol I, dipidana 15 tahun penjara dan denda Rp. 750 juta; Narkotika Gol II,
dipidana 10 tahun penjara, dan denda Rp. 500 juta; Narkotika Gol III,
dipidana 7 tahun penjara dan denda 200 juta
5. Pasal 82: Mengimpor, mengekspor, menawarkan, menyalurkan, menjual,
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual0beli atau
tukar menukar Narkotika Gol I dipidana Hukuman Mati, seumur hidup
atau penjara 20 tahun penjara dan denda Rp. 1 milyar, Narkotika Gol II,
dipidana mati atau penjara seumur hidup atau 15 tahun penjara dan denda
Rp. 500 Juta, Narkotika Gol II dipidana 10 tahun penjara dan denda Rp.
300 juta.
6. Pasal 84: Menggunakan narkotika gol I untuk digunakan orang lain,
dipidana 15 tahun penjara dan denda 750 juta; Narkotika Gol II, dipidana

16

10 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta; Narkotika Gol III, dipidana 5
tahun penjara dan denda Rp. 250 juta.
7. Pasal 85: Menggunaka Narkoitka Gol I bagi diri sendiri, dipidana 4 tahun
penjara, Narkotika Gol II, dipidana 2 tahun penjara, dan Narkotika Gol III,
dipidana 1 tahun penjara.
8. Pasal 86: Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur, yang
sengaja tidak melapor dipidana 6 bulan penjara dan denda Rp. 1 juta
9. Pasal 87: Menyuruh memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan
kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, tipu
muslihat atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak kejahatan narkoba diancam pidana 5-20 tahun penjara dan denda
Rp. 20 juta sampai Rp. 600 juta

2.11. KASUS-KASUS NARKOTIKA DI INDONESIA
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki undang-undang
anti-narkoba terberat di dunia, mengkategorikan pelanggaran terkait narkoba
sebagai kejahatan luar biasa yang patut diganjar hukuman mati. Berikut ke-14
nama terpidana mati yang disebut akan dieksekusi mati, 11 diantaranya terkait
penyeludupan Narkotika jenis Heroin.
1.

Ozias Sibanda (Zimbabwe)
Ozias kedapatan menyembunyikan heroin dalam perutnya. Ia pun divonis
mati tahun 2001 oleh Pengadilan Negeri Tangerang dan berkekuatan
hukum tetap pada 2002.

2.

Obina Nwajagu bin Emeuwa (Nigeria)
Nwajagu ditangkap saat hendak membeli 45 pil heroin seberat 400 gram
dari seorang warga Thailand. Ia dijatuhi hukuman mati tahun 2002.
Setelah dipindahkan ke Nusakambangan, ia ternyata masih mengendalikan
peredaran narkoba meski di dalam sel.

3.

Fredderik Luttar (Zimbabwe)
Fredderik dihukum mati karena menyelundupkan satu kilogram heroin
pada 2006. Ia sempat mengajukan peninjauan kembali, tetapi ditolak.

17

4.

Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria)
Humphrey merupakan otak dari peredaran gelap narkoba oleh sindikat
narkoba di Depok, tahun 2003. Ia ditangkap atas kepemilikan dan
memperjualbelikan 1,7 kilogram heroin.

5.

Seck Osmane (Senegal)
Osmane tertangkap tangan memiliki 2,4 kilogram heroin di sebuah
apartemen di Jakarta Selatan. Ia pun divonis hukuman mati oleh hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juli 2004.

6.

Freddy Budiman (Indonesia)
Freddy merupakan pengedar narkoba yang cukup gesit. Pasalnya, setelah
tertangkap pada 2009 karena kepemilikan 500 gram sabu, ia kembali
kedapatan menyimpan ratusan gram sabu tahun 2011. Belum habis masa
tahanannya, lagi-lagi ia tersangkut kasus narkoba di Sumatera. Bahkan, di
balik jeruji besi, Freddy masih mengatur peredaran narkoba.

7.

Agus Hadi (Indonesia)
Agus menyelundupkan 25.499 butir ekstasi dari Malaysia ke Batam pada
tahun 2006. Ia kemudian divonis hukuman mati bersama Suryanto alias
Ationg dan Pujo Lestari.

8.

Pujo Lestari (Indonesia)
Pujo merupakan rekan Agus Hadi yang menyelundupkan 25.499 butir
ekstasi dari Malaysia ke Batam pada tahun 2006. Keduanya didalangi oleh
Suryanto alias Ationg yang juga divonis hukuman mati.

9.

Zulfiqar Ali (Pakistan)
Zulfiqar divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada
tahun 2005 atas kasus kepemilikan 300 gram heroin. Sebelum diisolasi di
Nusakambangan, ia menjalani perawatan di RSUD Cilacap karena
komplikasi jantung dan ginjal.

10. Gurdip Singh (India)
Gurdip Singh alias Dishal divonis hukuman mati pada 2005 setelah aparat
menangkapnya dalam kasus penyelundupan 300 gram heroin pada Agustus
2004.

18

11. Merry Utami (Indonesia)
Merry ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta karena membawa 1,1
kilogram heroin. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman
mati kepadanya tahun 2003.
12. Michael Titus Igweh (Nigeria)
Michael divonis hukuman mati lantaran terlibat dalam jaringan narkotika
internasional. Ia kedapatan memiliki heroin seberat 5,8 kilogram dan
ditangkap tahun 2002.
13. Okonkwo Nongso Kingsley (Nigeria)
Okonkwo menyimpan belasan kapsul berisi heroin seberat 1,18 kilogram
di perutnya. Ia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Medan pada Mei
2004.
14. Eugene Ape (Nigeria)
Eugene divonis mati oleh PN Jakarta Pusat pada 2003. Ia ditangkap karena
menyimpan heroin seberat 300 gram yang diselipkan di antara baju yang
ada dalam tas miliknya.

19

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Heroin

merupakan

golongan

narkotik

yang

sangat

kuat

dalam

menimbulkan toleransi, ketergantungan fisik dan fsikis. Penggunaan heroin lebih
sering dengan suntikan atau injeksi, dan penggunannya disebut dengan Injection
Drug User (IDU). Pemakaian heroin dengan jarum suntik akan memperbesar
risiko timbulnya penyakit fisik seperti HIV, hepatitis, dan penyakit fisik lainnya.
Penyakit fisik ini juga dapat menular dari satu pemakai ke pemakai lainnya akibat
pemakaian jarum suntik secara bersama-sama.
Penghentian obat yang tiba-tiba dapat menimbulkan gejala abstinesia
(putus obat). Penggunaan heroin dapat pula menyebabkan gejala intoksikasi akut
(overdosis),

komplikasi

jangka

pendek

dan

jangka

panjang.

Untuk

penanggulangan penderita pecandu obat diperlukan penanganan yang terpadu
antara dokter, pasien dan keluarga pasien karena memerlukan waktu yang cukup
lama untuk memulihkan badan pasien.

3.2. Saran
Dalam penyusunan Makalah ini, sangatlah jauh dari kata sempurna, maka
dari itu untuk penyempurnaan Makalah ini, saran dan masukan yang bersifat
membangun sangatlah diharapkan, baik saran dari pembimbing Mata kuliah
Kimia forensik maupun dari rekan-rekan pembaca.

20

DAFTAR PUSTAKA

Iskandar japardi. 2002. Efek neurologis pada penggunaan heroin (putauw).
Fakultas Kedokteran Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara
Buku Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas Dan
Rutan
Buletin: Gambaran Umum Penyalahgunaan Narkoba Di Indonesia. ISSN 2088270X. 2014. Kementrian Kesehatan RI
Kriegstein.Chasing the dragon heroin use can damage brain. New York: Reuteut
Health, 1999.
Ruttenberg AJ. Etiology heroin, related death. Journal of Forensic Science, 35(4)
Juli 1990; 890-900
Way EL. Drugs of abuse in Basic and clinical pharmacology. Katzung BG (ed).
7th ed. Stamfort: Appleton, 1998 (32): 518-9
Way WL. Opioid analgosics and antagonists in Basic and clinical pharmacology.
Katzung BG (ed). 7th ed. Stamfort: Appleton, 1998 (31): 496-514