BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Sel Siklus sel merupakan proses perkembangbiakan sel yang memperantarai - Uji Aktivitas Antikanker Payudara Kombinasi Ekstrak n-Heksana dan Etilasetat Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) dengan Doksorubisin te

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Sel

  Siklus sel merupakan proses perkembangbiakan sel yang memperantarai pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Setiap sel baik normal maupun kanker mengalami siklus sel. Siklus sel memiliki dua fase utama, yakni fase S (sintesis) dan fase M (mitosis). Fase S merupakan fase terjadinya replikasi DNA kromosom dalam sel, sedangkan pada fase M terjadi pemisahan 2 set DNA kromosom tersebut menjadi 2 sel (Nurse, 2000). Fase yang membatasi kedua fase utama tersebut yang dinamakan Gap. G

  1 (Gap-1) terdapat sebelum fase S dan setelah

  fase S dinamakan G (Gap-2). Pada fase G , sel melakukan persiapan untuk sintesis

  2

  

1

DNA yang merupakan fase awal siklus sel. Penanda fase ini adalah adanya ekspresi

  dan sintesis protein sebagai persiapan memasuki fase S. Pada fase G

  2 , sel melakukan sintesis lebih lanjut untuk proses pembelahan pada fase M (Ruddon, 2007).

  Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator positif dan negatif. Kelompok cyclin, khususnya cyclin D, E, A, dan B merupakan protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. Cyclin bersama dengan kelompok cyclin dependent kinase (CDK), khususnya CDK 4, 6, dan 2, bertindak sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia ekspresi kinase (CDK4, CDK2, dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan ekspresi cyclin (D, E, A, dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus sel (G -S-G -M)

  1

  2

  (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif siklus sel, yakni CDK inhibitor (CKI), yang terdiri dari Cip/Kip protein (meliputi p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi p16, p18, p19). Selain itu, tumor suppressor protein (p53 dan pRb) juga bertindak sebagai protein regulator negatif (Foster, et al., 2001).

  Checkpoint pada fase G 2 terjadi ketika ada kerusakan DNA yang akan mengaktivasi beberapa kinase termasuk ataxia telangiectasia mutated (ATM) kinase.

  Hal tersebut menginisiasi dua kaskade untuk menginaktivasi Cdc2-CycB baik dengan jalan memutuskan kompleks Cdc2-CycB maupun mengeluarkan kompleks Cdc-CycB dari nukleus atau aktivasi p21. Checkpoint pada fase G akan dapat dilalui

  1

  jika ukuran sel memadai, ketersediaan nutrien mencukupi, dan adanya faktor pertumbuhan (sinyal dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G

  2 dapat dilewati jika ukuran sel memadai, dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna.

  

Checkpoint pada metaphase (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel

  pada gelendong (spindle) mitosis. Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitosis, sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang

  

spindle tidak terbentuk atau jika semua kromosom tidak dalam posisi yang benar dan

  tidak menempel dengan sempurna pada spindle. Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik. Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).

2.1.1 Apoptosis dan proliferasi

  Pertumbuhan sel dalam individu diatur oleh suatu sistem keseimbangan, yaitu apoptosis dan proliferasi. Apabila terjadi apoptosis berlebihan, maka suatu sistem organ akan mengalami kemunduran fungsi yang dapat menimbulkan penyakit. Sebaliknya, apabila terjadi proliferasi berlebihan, maka akan membentuk suatu massa tumor yang akan mengarah pada kanker (Sudiana, 2011).

  Apoptosis adalah kematian sel melalui mekanisme genetik dengan kerusakan/fragmentasi kromosom atau DNA. Apoptosis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu apoptosis fisiologis dan apoptosis patologis. Apoptosis fisiologis adalah kematian sel yang diprogram (programmed cell death). Proses kematian sel erat kaitannya dengan enzim telomerase. Pada sel embrional, enzim ini mengalami aktivasi sedangkan pada sel somatik enzim ini tidak mengalami aktivasi, kecuali sel bersangkutan mengalami transformasi menjadi ganas. Telomer yang terletak pada ujung kromosom merupakan faktor yang sangat penting dalam melindungi kromosom. Pada sel normal, telomer akan memendek pada saat pembelahan diri. Apabila ukuran telomer mencapai ukuran tertentu (level kritis) akibat pembelahan berulang, maka sel tersebut tidak dapat melakukan pembelahan diri lagi. Selanjutnya sel akan mengalami apoptosis secara fisiologis. Pada sel ganas, pemendekan telomerase sampai pada level kritis tidak terjadi karena pada sel ganas terjadi aktivasi dari enzim ribonukleoprotein (telomerase) secara terus menerus. Enzim ini sangat berperan pada sintetis telomer DNA, sehingga berbagai elemen yang dibutuhkan pada pembentukan telomer dapat dibentuk secara terus menerus dan ukuran telomer pada ujung kromosom dapat dipertahankan. Oleh karena itu, sel ganas dapat bersifat immortal (Sudiana, 2011).

  Sedangkan apoptosis patologis adalah kematian sel karena adanya proses suatu rangsangan. Proses ini dapat melalui beberapa jalur, yaitu aktivitas p53, jalur sitotoksik, disfungsi mitokondria, dan kompleks fas dan ligan. Apoptosis dipicu oleh aktivitas p53 karena sel memiliki gen cacat yang dipicu oleh banyak faktor, antara lain bahan kimia, radikal bebas, maupun virus (oncovirus). Gen yang cacat dapat memicu aktivitas beberapa enzim seperti PKC dan CPK-K2 yang dapat memicu aktivitas p53. P53 adalah faktor transkripsi terhadap pembentukan p21. Peningkatan p21 akan menekan semua CDK (Cyclin Dependent Kinase) dengan cyclin, dimana siklus pembelahan sel sangat tergantung pada ikatan kompleks antara CDK dengan

  

cyclin . Apabila terjadi pengikatan p21, maka semua CDK akan ditekan, baik pada

  CDK-1 pada fase M maupun CDK-4 dan CDK-6 pada fase S, lalu siklus sel akan berhenti sehingga p53 akan memicu aktivitas Bax. Protein Bax akan menekan aktivitas Bcl-2 sehingga terjadi perubahan membran permeabilitas dari mitokondria yang mengakibatkan pelepasan sitokrom c ke sitosol sehingga akan mengaktivasi kaskade kaspase. Kaspase aktif ini akan mengaktifkan DNA-se yang akan menembus membran inti dan merusak DNA, sehingga DNA akan terfragmentasi dan mengalami apoptosis (Sudiana, 2011).

  Apoptosis melalui jalur sitotoksik dipicu oleh adanya sel yang memiliki gen cacat sehingga sel akan mengekspresikan protein asing. Protein asing yang dihasilkan dapat bersifat imunogenik sehingga memicu pembentukan antibodi. Antibodi akan menempel di permukaan sel killer dan akan memicu pelepasan enzim yang disebut sebagai sitotoksin. Sitotoksin tersebut mengandung perforin dan granzyme. Perforin dapat memperforasi membran sel yang memiliki gen cacat sedangkan granzyme akan masuk ke dalam sel dan mengaktivasi kaspase kaspade.

  Kaspase yang aktif ini akan mengaktivasi DNA-se sehingga sel mengalami apoptosis. Apoptosis dengan jalur disfungsi mitokondria terjadi karena adanya gangguan ekspresi protein pada mitokondria yang tidak seimbang baik ekspresi berlebih maupun protein yang diekspresikan adalah protein abnormal. Terjadinya apoptosis melalui jalur ligan dan fas terjadi karena dipicu oleh adanya sel yang terinfeksi virus, dimana di permukaan sel terekspresi suatu protein yang disebut fas. Fas yang terdapat pada membran sel yang terinfeksi virus akan diikat oleh ligan yang berada di permukaan NK-cell atau CTL. Adanya ikatan antar fas-ligan akan mengaktifkan suatu protein yang disebut Fas Associated Protein Death Domain (FADD) yang dapat mengaktivasi kaspase kaskade. Selanjutnya, kaspase yang aktif akan mengaktifkan DNA-se sehingga sel akan mengalami apoptosis (Sudiana, 2011).

2.2 Kanker

  Kanker adalah segolongalainnya, baik pertumbuhan langsung di jaringan tetangganya (invasif) maupun migrasi sel ke tempat yang lebih jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakavital yang mengontrol pembelahan sel. Sel kanker kehilangan fungsi kontrolnya terhadap regulasi daur sel maupun fungsi homeostasis sel pada organisme multiseluler sehingga sel tidak dapat berproliferasi secara normal. Akibatnya, sel akan berproliferasi terus-menerus sehingga menimbulkan pertumbuhan jaringan yang abnormal (Diandana, 2009).

  Sel kanker timbul dari sel normal tubuh yang mengalami transformasi atau perubahan menjadi ganas oleh karsinogen atau karena mutasi spontan. Transformasi sejumlah gen yang menyebabkan gen tersebut termutasi disebut neoplasma atau tumor. Neoplasma merupakan jaringan abnormal yang terbentuk akibat aktivitas proliferasi yang tidak terkontrol (neoplasia). Pada tahap awal, neoplasma berkembang menjadi karsinoma in situ di mana sel pada jaringan tersebut masih terlokalisasi dan mungkin memiliki kesamaaan fungsional dengan sel normal (King, 2000). Sel neoplasma mengalami perubahan morfologi, fungsi, dan siklus pertumbuhan yang akhirnya menimbulkan disintegrasi dan hilangnya komunikasi antarsel. Tumor diklasifikasikan sebagai benigna, yaitu kejadian neoplasma yang bersifat jinak dan tidak menyebar ke jaringan di sekitarnya. Sebaliknya, maligna disinonimkan sebagai tumor yang melakukan metastasis, yaitu menyebar dan menyerang jaringan lain sehingga maligna sering disebut sebagai kanker. Kanker sering dikenal sebagai tumor, tetapi tidak semua tumor disebut kanker (Diandana, 2009).

  Sel kanker memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan sel normal. Sel kanker tidak mengenal apoptosis dan akan terus hidup meski seharusnya mati (bersifat immortal) (Sofyan, 2000). Sel kanker tidak mengenal komunikasi ekstraseluler atau asosial yang diperlukan untuk menjalin koordinasi antarsel sehingga dapat saling menunjang fungsi masing-masing. Dengan sifatnya yang asosial, sel kanker bertindak semaunya sendiri tanpa peduli apa yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Sel kanker dapat memproduksi growth factor sendiri sehingga tidak bergantung pada rangsangan sinyal pertumbuhan dari luar untuk melakukan proliferasi sehingga dapat tumbuh menjadi tak terkendali. Sel kanker juga tidak sensitif terhadap sinyal yang dapat menghentikan pertumbuhan dan pembelahan sel.

  Sel kanker mampu menghindar dari sinyal antipertumbuhan yang berhubungan dengan siklus sel (Kumar, et al., 2005).

  Sel kanker mampu menyerang jaringan lain (invasif), merusak jaringan tersebut dan tumbuh subur di atas jaringan lain (metastasis). Semakin besar jangkauan metastasis tumor, akan semakin sulit disembuhkan. Kanker pada stadium metastasis merupakan penyebab 90% kematian penderita kanker (Pecorino, 2005).

  Untuk mencukupi kebutuhan pangan dirinya sendiri, sel kanker mampu membentuk pembuluh darah baru (neoangiogenesis) meski dapat mengganggu kestabilan jaringan tempat ia tumbuh. Sinyal inisiasi pada proses neoangiogenesis diantaranya adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Fibroblast Growth Factor (FGF). Selain itu, regulator yang lain adalah angiopoietin-1, angiotropin, angiogenin, epidermal growth factor, granulocytecolony-stimulating factor, interleukin-1 (IL-1),

  IL-6, IL-8, PDGF, TNF- α, kolagen, cathepsin. Sel kanker memiliki kemampuan yang tidak terbatas dalam memperbanyak dirinya sendiri (proliferasi) meski sudah tidak dibutuhkan dan jumlahnya sudah melebihi kebutuhan yang seharusnya (Kumar, et al., 2005).

  Secara umum, penyebab kanker dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu karsinogen fisik (radiasi sinar UV dan radiasi ionisasi), karsinogen kimiawi (asap tembakau dan asbestos), dan karsinogen biologis (virus, bakteri, dan parasit) (PCC, 2013). Selain itu, kanker dapat timbul karena pola hidup yang tidak sehat. Hampir separuh dari kanker yang terdiagnosis setiap tahun disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat. Pencetus kanker dapat berasal dari makanan yang kaya akan gula buatan, karbohidrat olahan, pengawet, produk sampingan dari hasil penggorengan (minyak jelantah), mengandung banyak lemak, asupan antioksidan yang kurang, dan minuman yang mengandung bahan kimia (minuman beralkohol) (Mueller, et al., 2010). Penyebab kanker juga bisa timbul karena kondisi kejiwaan yang tidak stabil dan faktor keturunan. Orang tua yang mengidap kanker sangat mungkin menurunkan pada anaknya (Magdalena, 2014).

2.2.1 Karsinogenesis

  Kanker bukan termasuk penyakit yang datang begitu saja, melainkan akibat akumulasi atau penumpukan kerusakan-kerusakan tertentu di dalam tubuh.

  Serangkaian proses berkembangnya kanker disebut karsinogenesis. Karsinogenesis adalah suatu proses terjadinya kanker melalui mekanisme multi tahap yang menunjukkan perubahan genetik dan menyebabkan transformasi progresif sel normal menjadi sel malignan (ganas). Perubahan ini diawali dari mutasi somatik satu sel tunggal yang mengakibatkan perubahan dari normal menjadi hiperplastik, displastik, dan pada akhirnya menjadi suatu keganasan atau malignansi (memiliki kemampuan metastasis atau menginvasi jaringan di sekitarnya). Perubahan genetik ini termasuk perubahan seluler mendasar pada sel kanker yang dipengaruhi oleh beberapa gen seperti tumor suppresor genes (pRb, p53, PTEN, E-cadherin) dan proto-oncogenes (ras, c-myc, Bcl-2). Karsinogenesis dapat dibagi menjadi empat tahap utama, yaitu tahap inisiasi, promosi, progresi, dan metastasis (Tsao, et al., 2004).

  Tahap inisiasi adalah tahap pertama pada karsinogenesis dan merupakan hasil perubahan genetik yang menuntun pada proliferasi tidak terkontrol (abnormal) sebuah sel. Tahap inisiasi dapat terjadi melalui jalur germinal dan somatik. Namun pada kebanyakan kasus diperoleh secara somatik akibat terjadinya kesalahan acak saat pembelahan sel atau karena paparan dari karsinogen spesifik seperti tobako dan radiasi. Pada tahap ini, senyawa yang berpotensi sebagai senyawa karsinogen diaktivasi terlebih dahulu di dalam tubuh terutama di hepar menjadi senyawa metabolitnya. Senyawa metabolit ini ada yang bersifat reaktif, mutagenik, dan mampu berikatan dengan makromolekul di dalam tubuh seperti DNA dengan ikatan

  

irreversible . Sel yang mengalami inisiasi atau prakanker dapat kembali ke tingkat normal secara spontan, tetapi pada tingkat lebih lanjut dapat menjadi ganas (malignan) (King, 2000).

  Selanjutnya tahap promosi yang merupakan tingkat lanjutan dari tahap inisiasi. Pada tahap ini, sel mulai mengalami hiperplastik pada inti sel. Berbeda dengan tahap inisiasi yang dapat melewati jalur germinal dan somatik, tahap promosi hanya diketahui terjadi melalui jalur somatik. Pada tahap promosi, sel akan memperoleh beberapa keuntungan selektif untuk tumbuh sehingga pertumbuhannya menjadi cepat dan berubah menjadi tumor jinak. Tahap promosi tidak melibatkan perubahan struktural dari genom secara langsung, tetapi biasanya terjadi perubahan ekspresi gen yang terinisiasi (Tsao, et al., 2004; King, 2000).

  Pada tahap progresi, kemampuan pembelahan yang tinggi menuntun terbentuknya koloni sel yang lebih besar melalui perubahan genetik lebih lanjut dan munculnya keistimewaan lain seperti peningkatan mobilitas dan angiogenesis (Kumar, 2005). Pada tahap ini, sel tumor dikatakan sebagai sel malignan. Pada fase ini juga akan terjadi karsinoma dan metastasis melalui aktivasi onkogen dan malfungsi dari enzim topoisomerase (Pecorino, 2005).

  Tahap metastasis merupakan tahap akhir dalam karsinogenesis. Pada tahap ini, sel kanker melakukan invasi ke jaringan lain di dalam tubuh melalui pembuluh darah, pembuluh limpa, atau rongga tubuh. Sel malignan yang bermetastasis ini masuk melalui basement membran menuju saluran limpoid. Sel tersebut akan berinteraksi dengan sel limpoid yang digunakan sebagai inangnya. Selanjutnya, sel kanker akan masuk ke jaringan lainnya membentuk tumor sekunder dengan didukung kemampuan neoangiogenesis yang dimilikinya. Tahap metastasis dapat berlangsung karena melemahnya ikatan antarsel yang disebabkan oleh terdegradasinya CAMs (Cell-cell Adhesion Molecules) dan E-cadherin sebagai molekul yang menjaga pertautan antarsel. Molekul tersebut diketahui sudah sangat sedikit bahkan tidak ditemukan lagi pada sel kanker, sehingga proses metastasis dapat terus terjadi (Kumar, et al., 2005).

  Kanker dapat terjadi dalam berbagai jenis sel, antara lain karsinoma (pada kelenjar epitel), glioma (pada jaringan otak), leukemia (pada sel darah putih), sarkoma (pada jaringan lunak dan jaringan ikat seperti tulang rawan, lemak, otot, ataupun tulang), myeloma (pada jaringan selaput saraf/neuron), hepatoma (pada sel hati), fibroma (pada jaringan ikat fibrosa), dan limfoma (pada kelenjar getah bening)

  1 (Anonim , 2014).

2.2.2 Kanker payudara

  Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar sehingga kanker payudara tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh wanita selain kanker serviks. Penyebab kanker payudara sangat beragam, antara lain kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh radiasi yang berlebihan. Selanjutnya karena kegagalan immune

  

surveillance dalam pencegahan proses malignan pada fase awal, faktor pertumbuhan

  yang abnormal, dan malfungsi DNA repairs seperti BRCA1, BRCA2, dan p53 (Torosian, 2002).

  Kanker payudara terjadi ketika sel pada payudara tumbuh tidak terkendali dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan organ tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan. Semua tipe jaringan pada payudara dapat berkembang menjadi kanker, namun pada umumnya kanker muncul baik dari saluran (ducts) maupun kelenjar (glands). Perkembangannya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai tumor tersebut cukup besar untuk dirasakan pada payudara. Deteksi dapat dilakukan dengan mammogram yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor sejak dini (Elwood, et al., 1993).

  Peningkatan insidensi kanker payudara disebabkan oleh kegagalan terapi terhadap kanker itu sendiri. Kegagalan ini diakibatkan oleh adanya multidrug

  

resistance (MDR) dan terjadi hingga 71% dibandingkan dengan faktor penyebab

  lainnya (Mechetner, et al., 1998). Multidrug resistance atau resistensi obat ini diakibatkan oleh adanya breast cancer resistance protein (BCRP) yang salah satunya adalah P-glycoprotein (Pgp) (Imai, et al., 2005). Aktivasi Pgp dan peningkatan ekspresinya dapat menurunkan efikasi dari beberapa agen kemoterapi, seperti Taxol dan Doxorubicin (Mechetner, et al., 1998). Penekanan aktivitas Pgp dan ekspresinya mampu meningkatkan efektivitas agen kemoterapi (Zhou, et al., 2006).

  Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan. Kedua protein tersebut selain berperan dalam metastasis, juga berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development) (Gibbs, 2000).

  Proses metastasis kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi berlebih beberapa protein, seperti Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER- 2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara. Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti cyclin D1, CDK4, cyclin E, dan CDK2. Selain itu, aktivasi reseptor estrogen mampu mengaktivasi beberapa onkoprotein yang berperan dalam sinyal pertumbuhan, misalnya Ras, Myc, dan cycD1 (Foster, et al., 2001). Aktivasi protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan yang berlebihan melalui aktivasi onkoprotein yang lain seperti P13K, AKT, Raf, ERK, dan MAP kinase (Hahn, et al., 2002). Di lain pihak, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan p53.

  Namun, pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa menopause), gen tersebut telah mengalami perubahan (transformed) akibat dari hiperproliferasi sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya (Adelmann, et al., 2000, Clarke, 2001; Ingvarsson, et al., 2002).

  Beberapa jenis sel kanker payudara yang dapat dikultur adalah MCF-7, Ia- 270, BT-20, BT-474, BT-549, Colo-824, HBL-100, MA-CLS-2, MDA-MB-231, MDA-MB-435S, MDA-MB-436, MB-MDA-468, MX-1, SK-BR-3, ZR-75-1, dan

2 T47D (Pao, et al., 1985; Anonim , 2014). Banyaknya jenis sel kanker payudara ini

  akan memberikan hasil yang berbeda pada setiap selnya. Perbedaan hasil ini akan memberikan peluang baru untuk menyelidiki perkembangan yang terjadi pada resistensi obat pada pasien dengan tumor payudara yang memiliki p53 termutasi (Schafer, et al., 2000).

2.2.2.1 Sel T47D

  Sel T47D merupakan sel kanker yang mengekspresikan reseptor estrogen atau yang biasa disebut ER positif serta mengekspresikan p53 yang telah termutasi sehingga resisten terhadap mekanisme apoptosis (Ruddon, 2007; Junedi, et al., 2010). Pada sel ini, p53 mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc-

  

binding domain L2) sehingga p53 kehilangan fungsinya. Jika p53 tidak dapat

  mengikat response element pada DNA, maka akan mengurangi atau menghilangkan kemampuannya dalam meregulasi siklus sel dan memacu apoptosis. Sel ini dapat kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan estrogen pada jangka waktu lama selama percobaan in vitro. Oleh karena itu, sel ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan tumor payudara yang memiliki p53 termutasi (Abcam, 2007).

  Sel T47D sering digunakan dalam penelitian kanker secara in vitro karena mudah penanganannya, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas atau cepat pertumbuhannya, memiliki homogenitas yang tinggi dan mudah diganti sel baru yang telah dibekukan jika terjadi kontaminasi (Abcam, 2007). Sel T47D memiliki mekanisme antiapoptosis dan karsinogenesis lebih kuat daripada sel MCF-7. Beberapa protein yang terlibat dalam stimulasi pertumbuhan sel ini termasuk caspase-3 subunit p12, protein nuklir Hcc-1, G

  1 /S-specific cyclin-D3, cathepsin B,

  protein CDV3 homolog, N (G), N(G)-dimethylarginine dimethylaminohydrolase 2, dan prohibitin (Aka, et al., 2012).

2.2.3 Sel Vero

  Sel Vero ATCC CCL-81 merupakan sel epitel non kanker (sel normal). Sel ini berasal dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel Vero merupakan sel monolayer berbentuk poligonal dan pipih, immortal, non tumorigenic fibroblastic

  

cell . Sel ini melekat erat pada substrat yang berbahan polistirena dengan membentuk

  ikatan kovalen. Pengujian sel Vero dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan sel, diferensiasi sel, sitotoksisitas, dan transformasi sel yang diinduksi oleh berbagai senyawa kimia (Goncalves, et al., 2006).

2.2.4 P-glycoprotein

  P-glycoprotein (Pgp) merupakan protein ABC-transporter pada manusia yang termasuk dalam subfamili MDR/TAP (Allen, et al., 2002). Pgp dikenal dalam beberapa sebutan, yaitu ABCD1, ATP-binding cassette sub-family B member 1, MDR1, dan PGY1 (Choi, et al., 2005). ABCD1 atau Pgp termasuk dalam ATP-

  

dependent efflux pump yang memiliki substrat spesifik, antara lain: obat (colchicine

  dan tacrolimus), agen kemoterapi (etoposide, adriamycin, dan vinblastine), lipid, steroid, xenobiotik, peptide, bilirubin, cardiac glycoside (digoxin), glucocorticoids (dexamethasone), dan agen terapi HIV tipe 1 (inhibitor protease dan nonnucleoside

  

reverse transcriptase ) (Kitagawa, 2006). Di dalam tubuh, Pgp dapat ditemukan pada

sel usus, hati, tubula ginjal dan capillary endothelial (Deng, et al., 2001).

  P-glycoprotein adalah sebuah glikoprotein transmembran yang memiliki 10 - 15 kDa N-terminal glycosylation dengan bobot 170-kDa dikode oleh gen MDR1 (Kitagawa, 2006). Gen ini dicirikan dengan pompa efflux obat dan anggota dari keluarga ATP-binding transport (Choi, et al., 2005). Dalam sistem organ, Pgp berpengaruh terhadap absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat (Matheny, et al., 2001). Kemampuan Pgp sebagai efflux pump berguna dalam detoksifikasi senyawa-senyawa yang masuk ke dalam sel. Senyawa yang termasuk substrat dari Pgp akan diikat dan dikeluarkan dari dalam sel. Aktivitas Pgp sangat bergantung pada aktivasi Pgp oleh ATP melalui pembentukkan kompleks Pgp-ATP (Conseil, et al., 1998). Hidrolisis ATP oleh ATPase memberikan energi aktivasi pada Pgp (Choi, et al., 2005).

  Aktivasi Pgp akan menurunkan intake agen kemoterapi sehingga menurunkan efikasi agen tersebut terhadap sel kanker. Pada kondisi ekspresi berlebihan, Pgp dapat menyebabkan resistensi obat terutama agen kemoterapi pada jenis kanker payudara seperti doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Pgp akan mengikat doksorubisin sebagai salah satu substratnya untuk dikeluarkan dari dalam sel (Wong, et al., 2006).

  Pgp atau ABCD1 pertama kali diujikan sebagai multidrug resistance dan terbukti sebagai penyebab resistensi obat kemoterapi (Juliano, et al., 1976). Mekanisme pemompaan oleh Pgp dapat dilihat pada Gambar 2.1.

  Pgp memompa senyawa-senyawa (2a, 2b, 2c) yang termasuk substratnya untuk dikeluarkan dari dalam sel. Ekspresi berlebih dari Pgp ini dapat menyebabkan resistensi obat pada terapi kanker payudara (Matheny, et al., 2001).

  Intraselular Substrat P-gp Membran sel Sekresi obat

  Ekstraselular

Gambar 2.1 Mekanisme pemompaan oleh Pgp (Matheny, et al., 2001)

  Penghambatan aktivasi dan ekspresi Pgp memegang peranan penting dalam keberhasilan terapi kanker (Zhou, et al., 2006). Penghambatan aktivitas Pgp dapat melalui beberapa mekanisme, antara lain penghambatan substrat Pgp secara langsung dengan berikatan pada Pgp-binding domain dan penghambatan hidrolisis ATP oleh ATPase melalui ikatan substrat dengan ATP. Penghambatan ini dapat dilakukan menggunakan senyawa flavonoid dan polifenol melalui dua sisi ikatan pada ATP-

  binding sites dan steroid interacting region dimana ATPase berikatan dengan Pgp cytosolic domain (Kitagawa, 2006).

  Deng, et al., (2001) melaporkan bahwa aktivasi NF-κB sebagai akibat adanya stimulus dari lingkungan berupa stress, paparan agen sitotoksik, heat shock, iradiasi, stress genotoksik, inflamasi, paparan sitokin, dan faktor pertumbuhan dapat meningkatkan ekspresi Pgp. NF-κB yang aktif mampu berikatan dengan promoter gen MDR1 sehingga proses ekspresi Pgp dapat berjalan. Inaktivasi NF-κB mampu menghambat ekspresi Pgp.

2.3 Penanganan Kanker

  Penanganan kanker ada dua macam, yaitu pencegahan dan penghambatan kanker. Upaya pencegahan kanker disebut kemopreventif. Senyawa kemopreventif dibagi menjadi dua kategori, yaitu blocking agent dan suppressing

  agent . Blocking agent mencegah karsinogen mencapai target aksinya, baik melalui

  penghambatan aktivasi metabolisme maupun menghambat interaksi dengan target makromolekul seperti DNA, RNA, atau protein. Sedangkan suppressing agent menghambat pembentukan malignan dari sel yang telah terinisiasi pada tahap promosi atau progresi (Surh, 1999).

  Kemopreventif dibagi menjadi tiga golongan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Kemopreventif primer adalah mencegah terjadinya sel kanker sejak tahap premalignan. Usaha pencegahan saat karsinogenesis pada tahap awal malignan adalah kemopreventif sekunder. Sedangkan kemopreventif tersier adalah usaha untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi setelah terapi untuk malignan primer. Upaya penyembuhan (kuratif) kanker, antara lain kemoterapi menggunakan obat-obatan, seperti golongan siklofosfamid, methotreksat, dan 5-flurourasil. Pada dasarnya kinerja obat-obatan tersebut sama, yaitu menghambat proliferasi sel sehingga sel tidak jadi memperbanyak diri. Kemoterapi bisa diberikan secara tunggal ataupun kombinasi dengan harapan bahwa sel-sel yang resisten terhadap obat tertentu juga bisa merespon obat yang lain sehingga bisa diperoleh hasil yang lebih baik. Dampaknya pada pasien biasanya rambut rontok, selera makan menurun, serta rasa lemah dan letih (Sharma, 2000).

  Terapi hormon digunakan untuk jenis kanker yang berkaitan dengan hormon, misalnya kanker payudara (berkaitan dengan hormon estrogen) pada wanita dan kanker prostat (berkaitan dengan hormon androgen) pada pria. Terapi hormon pada dasarnya berusaha menghambat sintesis steroid sehingga sel tidak dapat membelah.

  Terapi ini membawa dampak negatif bila diaplikasikan pada wanita yang masih dalam usia subur karena dapat menghambat siklus menstruasi. Radioterapi menggunakan sinar-X dengan dosis tertentu dapat merusak DNA dan memaksa sel untuk berapoptosis. Efek negatif yang ditimbulkan hampir sama dengan kemoterapi (Sharma, 2000; Wargasetia, 2005).

2.3.1 Penanganan kanker payudara

  Upaya penyembuhan kanker payudara dapat digolongkan secara pembedahan, kemoterapi, terapi hormon, radioterapi, dan terapi gen (Jong, 2005; Sharma, 2000; Wargasetia, 2005).

  Penentuan stadium kanker payudara sangat penting sebagai panduan pengobatan dan menentukan prognosisnya. Tahapan kanker payudara dimulai dari stadium 0 (tumor in situ, sel-sel kanker berada pada tempatnya di dalam jaringan payudara yang normal), stadium 1 (tumor dengan garis tengah kurang dari 2 cm dan belum menyebar keluar payudara), stadium 2A (tumor dengan garis tengah 2-5 cm dan belum menyebar ke kelenjar getah bening, ketiak, atau tumor dengan garis tengah kurang dari 2 cm tetapi sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak), stadium 2B (tumor dengan garis tengah lebih besar dari 5 cm dan belum menyebar ke kelenjar getah bening ketiak atau tumor dengan garis tengah 2-5 cm tetapi sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak), stadium 3A (tumor dengan garis tengah kurang dari 5 cm dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak disertai perlengketan satu sama lain atau perlengketan ke struktur lainnya, atau tumor dengan garis tengah lebih dari 5 cm dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak), stadium 3B (tumor telah menyusup keluar payudara, yaitu ke dalam kulit payudara atau ke dinding dada atau telah menyebar ke kelenjar getah bening di dalam dinding dada dan tulang dada), dan terakhir stadium 4 (tumor telah menyebar keluar daerah payudara dan dinding dada, misalnya ke hati, tulang, atau paru-paru) (American Cancer Society, 2014).

  Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan yang bertujuan mematikan ataupun memperlambat pertumbuhan sel kanker. Jenis agen kemoterapi yang sering digunakan pada kanker payudara antara lain kemoterapi neoajuvan, ajuvan, dan paliatif (Yudissanta, dkk., 2012). Obat kemoterapi yang biasanya diberikan dalam upaya penyembuhan kanker payudara ada dalam bentuk tunggal dan kombinasi. Beberapa bentuk tunggal yang biasanya diberikan antara lain docetaxel (Anonim, 2011), taxol, dan doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Beberapa bentuk kombinasi yang biasanya diberikan antara lain antrasiklin-cyclophosphamide, taxanes-

  3 cyclophosphamide, dan antrasiklin-cyclophosphamide-taxol (Anonim , 2014).

2.3.1.1 Doksorubisin

  Doksorubisin merupakan golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara luas untuk mengobati kanker payudara. Senyawa ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et al., 1998). Struktur kimia doksorubisin ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur kimia doksorubisin

  Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II membentuk kompleks pemotong DNA. Doksorubisin telah digunakan pada beberapa pengobatan jenis tumor seperti kanker payudara, esophagus, osteosarkoma, Kaposi’s sarkoma, sarkoma jaringan lunak, limfoma Hodgkin, dan non-Hodgkin baik dalam aplikasi tunggal maupun kombinasi dengan beberapa agen antitumor lainnya (Tyagi, et al., 2004).

  Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual, imunosupresi, dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius dalam jangka waktu yang lama adalah hepatotoksik (Ekowati, et al., 2013) dan cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian restrospektif, diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan luka jaringan kardiak (Wattanapitayakul, et al., 2005). Permasalahan yang sering timbul pada penggunaan doksorubisin dalam terapi kanker terutama kanker payudara adalah resistensi obat yang menjadi penyebab kegagalan terapi.

  Pengeluaran obat yang disebabkan oleh adanya pompa efflux Pgp menjadi salah satu penyebab utama resistensi obat ini (Mechetner, et al., 1998).

  Doksorubisin termasuk obat golongan antrasiklin yang merupakan substrat Pgp. Doksorubisin akan dikenali oleh Pgp dan selanjutnya segera dikeluarkan dari dalam sel sehingga menurunkan konsentrasi efektif doksorubisin dalam sel kanker.

  Mekanisme pemompaan oleh Pgp sangat bergantung pada aktivasi protein tersebut dan penekanan ekspresi Pgp. Oleh karena itu, inaktivasi Pgp dan penekanan ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker terhadap doksorubisin (Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006; Wong, et al., 2006).

2.3.1.2 Terapi kombinasi

  Terapi pengobatan kanker payudara pada umumnya menggunakan terapi kombinasi (ko-kemoterapi) dengan obat/senyawa yang memiliki efek sinergis terhadap sel kanker, bersifat spesifik, dan memiliki efek toksik seminimal mungkin. Terapi kombinasi hingga saat ini dikembangkan secara empiris. Namun sampai saat ini belum ada terapi pengobatan untuk kanker payudara yang telah metastasis. Hal tersebut menuntut pengembangan cara pengobatan baru bagi kanker payudara. Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan agen kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat.

2.4 Tanaman yang Bersifat Antikanker

  Salah satu upaya mengatasi penyakit kanker ini adalah mengembangkan obat dari tumbuhan yang mengandung senyawa antikanker. Pengembangan obat kanker dari tanaman ini dipandang memiliki beberapa keuntungan, seperti biaya yang lebih murah, mudah didapat, dan efek samping relatif sedikit (Depkes RI, 2008). Beberapa tumbuhan yang telah diteliti memiliki potensi sebagai antikanker dapat dilihat pada Tabel 2.1.

2.4.1 Andaliman

  Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat batak, Sumatera Utara.

  Andaliman termasuk tanaman rempah yang tumbuh di pegunungan kawasan Danau Toba dan sekitarnnya. Diduga penyebaran tanaman secara umum melalui burung yang memakan buah andaliman, kemudian melalui kotoran burung tersebut biji andaliman tersebar kemana-mana dan tumbuh secara liar. Di Sumatera Utara, tanaman ini tumbuh liar pada berbagai tempat, yaitu daerah Angkola, Mandailing, Humbang, Silindung, Dairi, dan Toba Holbung (Parhusip, 2006).

Tabel 2.1 Beberapa tumbuhan yang berpotensi sebagai antikanker

  Kombinasi Bagian yang NO Tumbuhan Sel Kanker Organ dengan Sumber digunakan Doksorubisin

  1 MCF-7 Ekstrak Payudara A diklorometana

  2 MDA-MB-231 Payudara A Keji beling sub-fraksi

  3 PC-3 Prostat A SC/D-F9

  4 DU-145 Prostat A

  5 Daun WiDr Fraksi etanol Usus besar B sambung

  6 MCF-7 dan fraksi Payudara B nyawa etilasetat

  7 T47D Payudara B Ekstrak

  8 Jintan Sel paru Paru-paru C klorofrom hitam

  9 MDA-MB-231 Asam linoleat Payudara D

  10 Buah lada MDA-MB-231 Ekstrak etanol Payudara E Sambang Memiliki efek

  11 MCF-7 Ekstrak etanol Payudara F colok sinergis Ekstrak etanol

  Biji buah Memiliki efek

  12 MCF-7 dan fraksi Payudara G pinang sinergis kloroform

  13 Jahe merah Memiliki efek H perlindungan

  14 Temulawak H

Sel hepar Ekstrak etanol Hepar terhadap

  15 Kunyit kerusakan H hati

  Buah Ekstrak Memiliki efek

  16 MCF-7 Payudara

  I andaliman etilasetat sinergis Ekstrak n- Memiliki efek

  17 MCF-7 Payudara J Daun heksan sinergis poguntano Ekstrak Memiliki efek

  18 T47D Payudara K etilasetat sinergis Bawang Ekstrak Memiliki efek

  19 T47D Payudara L sabrang etilasetat sinergis Kulit 20 batang T47D Fraksi air Payudara M tanjung Daun

  21 MDA-MB-231 Ekstrak etanol Payudara N nimba

  Keterangan: A = Yacoob, et al., 2010 H = Ekowati, et al., 2013 B = Nurulita, et al., 2011 I = Thaib, 2013 C = Rahayu, et al., 2012 J = Lestari, 2013

  D = Hasanzadeh, et al., 2011 K = Furqan, 2014 E = Hirokawa, et al. 2006 L = Yanti, 2014 F = Untung, et al., 2008 M = Aulianshah, et al., 2014 G = Meiyanto, et al., 2009 N = Arisanty, 2013

  Sistematika tumbuhan andaliman menurut Sharma (1993) sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Anak kelas : Dialypetalae Bangsa : Geraniales Suku : Rutaceae Marga : Zanthoxylum Jenis : Zanthoxylum acanthopodium DC.

  Nama asing andaliman adalah yan-jiao (Cina), mouh laaht faa jiu (Cina Kanton),

  

mao la hua jiao (Cina Mandarin), indonesian lemon pepper (Inggris), indonesischer

zitronenpfeffer (Jerman), tambhul (India), sansho (Jepang), dan emmay/yerma (Tibet)

  (Anonim, 2012).

  Andaliman merupakan tumbuhan perdu tegak dengan tinggi 3-8 m, batang dan cabang berwarna kemerahan, beralur, berbulu halus dan berduri. Buah andaliman berbentuk bulat kecil, perikarpnya berwarna hijau tua sampai kemerahan dan warna bijinya hitam, bila digigit mengeluarkan aroma wangi, dan ada rasa getir yang tajam dan khas, serta dapat merangsang produksi air liur. Buahnya termasuk buah sejati berdiameter 3-4 mm yang terdiri dari satu bunga dengan banyak bakal buah yang masing-masing bebas dan kemudian tumbuh menjadi buah tetapi berkumpul pada satu tangkai. Daunnya merupakan daun majemuk dengan panjang 2-25 cm, anak daun 1-6 pasang dengan tangkai yang pendek, tepi daun bergerigi, ujung daun runcing, warna daun hijau dan permukaan atas daun lebih tua dibanding permukaan bawah daun. Panjang bunganya 3 mm. Tumbuhan ini berkembang biak dengan biji. Sistem akar tunggang dimana akar lembaga tumbuh terus menjadi akar pokok yang bercabang-cabang menjadi akar-akar yang lebih kecil dan sedikit berbulu halus di seluruh permukaannya (Parhusip, 2006).

  Buah andaliman mengandung senyawa alkaloid, fenol hidrokuinon, flavonoid, steroid/triterpenoid, tannin, glikosida, dan minyak atsiri (Parhusip, 2006).

  Buah andaliman memiliki aktivitas fisiologi sebagai antioksidan dan antimikroba (Wijaya, 2000; Soedarmadji, et al., 2004).

  Secara tradisional, buah andaliman banyak digunakan sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang nafsu makan, obat sakit perut, serta diare. Masyarakat India menggunakan buah andaliman untuk mengobati kelumpuhan dan berbagai macam penyakit kulit, seperti bisul dan kusta. Buah andaliman juga digunakan sebagai bumbu masak di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli Utara (Suryanto, et al., 2004; Hynniewta, et al., 2008; Sirait, dkk., 1991).

2.4.2 Pengujian sifat antikanker dari berbagai tanaman obat

  Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan agen kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat. Uji efek kombinasi dengan kedua metode tersebut biasanya dilakukan secara in vitro. Metode uji in vitro dapat digunakan sebagai uji praklinik awal untuk menggambarkan interaksi kombinasi, sehingga ketika dilakukan uji in vitro hasilnya akan lebih efisien.

2.4.2.1 Metode pemisahan ekstraksi

  Ekstrak aktif dari tanaman yang akan dilakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan pemisahan ekstraksi. Metode pemisahan ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu maserasi, perkolasi, reflux, digesti, sokletasi, infundansi, dan dekoktasi. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes RI, 1986). Maserasi dapat dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana kemudian dituangi 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sesekali diaduk. Setelah 5 hari, sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari. Lalu dienaptuangkan dan disaring (Depkes RI, 1979).

  Perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan (Syamsuni, 2006). Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan secara terus-menerus) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C. Sokletasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus (menggunakan alat soklet) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur pemanasan air (bejana infus di atas penangas air mendidih), temperatur terukur (90 – 98°C) selama waktu tertentu (15 – 20 menit). Dekoktasi adalah ekstraksi dengan metode infus yang dilakukan selama 30 menit dengan temperatur titik didih air (Depkes RI, 2000).

2.4.2.2 Metode pengujian aktivitas antikanker

  Pengujian aktivitas antikanker dapat dilakukan dari beberapa parameter, antara lain uji sitotoksik, indeks selektivitas, analisis isobologram, combination index (CI), pemacuan apoptosis dan siklus sel dengan metode flow cytometry, dan pengujian ekspresi protein dengan metode imunositokimia. Uji sitotoksik dilakukan secara in vitro untuk menentukan potensi sitotoksik suatu senyawa, seperti obat antikanker. Toksisitas merupakan kejadian kompleks secara in vivo yang menimbulkan kerusakan sel akibat penggunaan obat antikanker yang bersifat sitotoksik. Respon sel terhadap obat sitotoksik dipengaruhi oleh kerapatan sel.

  Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna. Reaksi warna yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2.3. Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup.

  Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10% SDS dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Kupcik, et al., 2001).

Gambar 2.3 Reduksi MTT menjadi formazan (Kupcsik, et al., 2011)

  absorbansi sampel % Viabilitas = x 100 % absorbansi kontrol Nilai indeks selektivitas diperoleh dengan menggunakan sel yang berasal dari ginjal monyet hijau afrika (sel Vero) menggunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5- diphenyltetrazolium bromide (MTT). Indeks selektivitas diperoleh dari rasio IC

  50 sel

  Vero sel dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai lebih tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas yang tinggi (Weerapreeyakul, et al., 2012). Indeks selektivitas dihitung menggunakan persamaan di bawah ini:

  IC

  50 sel Vero

  Indeks selektivitas =

  IC sel T47D

  50 Metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat adalah isobologram dan Combination Index (CI).

  CI= (D) 1 /(Dx) 1 + (D) 2 /(Dx)

  2 Keterangan:

  Dx : konsentrasi satu senyawa tunggal yang dibutuhkan untuk memberikan efek sebesar efek kombinasi, yaitu IC50 terhadap pertumbuhan sel kanker payudara

  (D)

  1 dan (D) 2 : besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk memberikan efek yang sama.

  Combination Index (CI) yang diperoleh diinterpretasikan seperti pada Tabel 2.2.

Dokumen yang terkait

Efek Kombinasi Ekstrak Aktif Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)dan Doxorubicin Terhadap Sel Kanker Payudara

8 90 168

Uji Aktivitas Antikanker Payudara Kombinasi Ekstrak n-Heksana dan Etilasetat Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) dengan Doksorubisin terhadap Sel Kanker T47D secara In Vitro

10 98 130

Uji Aktivitas Antikanker Ekstrak Etanol Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Sel Kanker Serviks

13 110 116

Perkecambahan dan Pematahan Dormansi Benih Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) The Germination and Dormancy Breaking of Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Seed

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Andaliman - Pengaruh Pemberian Ekstrak Segar Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit Jantan (Mus musculus L.)

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Antikanker Kombinasi Ekstrak Etil Asetat Daun Poguntano (Picria fel-terrae Lour.) dengan Doksorubisin Terhadap Sel Kanker Payudara Secara In Bitro

0 0 26

Efek Kombinasi Ekstrak Aktif Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)dan Doxorubicin Terhadap Sel Kanker Payudara

0 0 61

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian tumbuhan - Efek Kombinasi Ekstrak Aktif Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)dan Doxorubicin Terhadap Sel Kanker Payudara

0 0 27

Efek Kombinasi Ekstrak Aktif Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)dan Doxorubicin Terhadap Sel Kanker Payudara

0 0 21

Uji Aktivitas Antikanker Payudara Kombinasi Ekstrak n-Heksana dan Etilasetat Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) dengan Doksorubisin terhadap Sel Kanker T47D secara In Vitro

0 0 12