Uji Aktivitas Antikanker Ekstrak Etanol Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Sel Kanker Serviks

(1)

AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK ETANOL BUAH

ANDALIMAN (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

TERHADAP SEL KANKER SERVIKS

SKRIPSI

OLEH:

FAUZI

NIM 121524033

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK ETANOL BUAH

ANDALIMAN (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

TERHADAP SEL KANKER SERVIKS

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi Pada Fakultas Farrmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FAUZI

NIM 121524033

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan rahmat dan keberkahan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta shalawat dan salam bagi Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam hidup dan kehidupan.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Uji Aktivitas Antikanker Ekstrak Etanol Buah Andaliman (Zanthoxylum

acanthopodium DC.) Terhadap Sel Kanker Serviks”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. yang telah memberikan banyak waktu, bimbingan dan nasihat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Selain itu, penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada

telah memberikan evaluasi dan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Ibu Dra. Herawaty Ginting M.Si., Apt., selaku penasehat akademik serta seluruh Staf Pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah banyak membimbing dan mendidik penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.


(5)

v

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Zakwan Yusuf dan Ibunda Nur aidar tercinta yang telah memberikan pengorbanan tidak ternilai, baik moril maupun materil, juga kepada abang Hendro, abang Denny Satria, Ikhsan, Muhammad Fadhli serta teman-teman ekstensi farmasi, Zizi, Eca, Maya, Dinda, Tarry, Arnis, Lia, Futri, Dadang dan Didi atas do’a dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu farmasi.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

Fauzi


(6)

vi

UJI AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK ETANOL BUAH ANDALIMAN (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

TERHADAP SEL KANKER SERVIKS Abstrak

Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker yang menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia pada wanita. Penyebab utama kanker serviks adalah Human Papilloma Virus (HPV). Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) adalah salah satu tanaman yangdikenal dalam masyarakat Batak, tergolong dalam tanaman liar yang belum banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Buah andaliman diyakini memiliki potensi antikanker. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia buah andaliman, menghitung nilai IC50 ekstrak terhadap sel HeLa dan menghitung indeks selektivitas ekstrak etanol buah andaliman.

Ekstrak diperoleh dengan maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Uji aktivitas sitotoksik EEBA secara in vitro terhadap sel HeLa dan sel Vero menggunakan metode MTT. Sel HeLa ditumbuhkan dalam media kultur RPMI pada plate 96-sumuran kemudian diberi ekstrak etanol buah andaliman dengan seri konsentrasi 500 µ g/mL; 250 µg/mL; 125 µg/mL; 62,5 µg/mL; 31,25 µg/mL dan 15,625 µg/mL.Sel Vero ditumbuhkan dalam media kultur M199 pada96-sumuran kemudian diberi ekstrak etanol buah andaliman dengan seri konsentrasi 1000 µg/mL; 500 µg/mL; 250 µg/mL; 125 µg/mL; 62,5 µg/mL dan 31,25 µg/mL. Hasil pengujian dibaca dengan ELISA reader pada 595 nm dan dianalisis dengan SPSS 19 kemudian dihitung indeks selektivitasnya.

Hasilskrining fitokimia terhadap simplisia dan ekstrak etanol buah andaliman diperoleh senyawa kimia golongan alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia diperoleh kadar air 6,30%; kadar sari larut air 12,41%; kadar sari larut dalam etanol 16,28%; kadar abu total 4,62% dan kadar abu tidak larut asam 0,20%. Hasil pengujian aktivitas sitotoksik ekstrak etanol buah andaliman terhadap sel HeLa menunjukkan nilai IC50sebesar 42,462 µg/mL dan pada sel Vero sebesar 258,167µg/mL. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol buah andaliman memiliki efek sitotoksisitas yang poten terhadap sel kanker serviks HeLa. EEBA memiliki indeks selektivitas sebesar 6,08. Hal ini berarti EEBA bekerja selektif yaitu hanya menghambat sel kanker serviks tanpa mematikan sel normal (Vero).

Kata Kunci: MTT, sitotoksisitas, Sel HeLa, Sel Vero, Zanthoxylum


(7)

vii

ANTICANCER ACTIVITY OF ETHANOL EXTRACT FROM ANDALIMAN FRUIT (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

ON CERVICAL CANCER CELLS Abstract

Cervical cancer is one type of the largest cancer that becomes largest cause of death woman in Indonesia.The main cause of cervical cancer is Human Papilloma Virus (HPV).Andaliman ( Zanthoxylum acanthopodium DC.) is one of the plant which well known within the community Bataknese were classified as a part wild plants that have not been widely used as a medicinal plant. Fruit andaliman does believed have anticancer potential. The purpose of this research were to known characteristic of andaliman fruit simplex, to determinated the IC50 value of extract on HeLa cell and determinated the selectivity index of EEBA.

Extraction were used maceration method with 96% ethanol. Cytotoxic effect was tested in vitro on HeLa and Vero cells line using MTT assay. HeLa cells were seeded in RPMI medium at 96-well plate and then were given andaliman fruitethanolic extract with concentration 500 µg/mL; 250 µg/mL; 125 µg/mL; 62.5 µg/mL;31.25 µg/mL and 15.625 µg/mL. While Vero cells were seeded in M199 culture medium at 96-well plate and then were given extract with concentration 1000 µg/mL; 500 µg/mL; 250 µg/mL; 125 µg/mL; 62.5µ g/mL and 31.25 µg/mL The absorbanceswere read by ELISA reader at ƛ 595 nm and analysed with SPSS 19 and calculated selectivity index.

The results of photochemical screening from simplex and ethanol extract of Andaliman fruit contains alkaloid, flavonoids, glikosids, tannins and steroids/triterpenoids. The result of the simplex characteristics were showed that 6.30% water content; 12.41% water-soluble extract content; 16.28% ethanol-soluble extract content; 4.62% total ash and 0.20% acidic unethanol-soluble ash. The cytotoxic activity assay was showed that ethanol extract of Andaliman fruit on HeLa cells have IC50 values of 42.462 µ g/mL and for Vero cells was showed IC50 values of 258.167 µ g/mL. Andaliman fruits ethanolic extract was exhibited cytotoxic effect against cervical cancer HeLa cells. EEBA have selectivity index of 6.08. Ethanolic extract of andaliman fruit have selective activity cervical cancer cell without inhibit the normal cell (Vero).

Keywords: MTT, Cytotoxicity, HeLa Cells, Vero Cells, Zanthoxylum acanthopodium DC.


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.1.1 Daerah tempat tumbuh (habitat) ... 6

2.1.2 Morfologi tumbuhan ... 7


(9)

ix

2.1.4 Nama asing ... 8

2.1.5 Kandungan kimia ... 8

2.1.6 Manfaat tumbuhan ... 9

2.2 Ekstraksi ... 9

2.2.1 Metode ekstraksi ... 10

2.3 Kanker ... 12

2.3.1 Tinjuan umum kanker ... 12

2.3.2 Sifat kanker ... 14

2.3.3 Karsinogenesis ... 17

2.4 Kanker Serviks ... 17

2.4.1 Patofisiologi kanker serviks ... 18

2.4.2 Etiologi dan faktor resiko kanker serviks ... 20

2.4.3 Klasifikasi stadium kanker serviks ... 21

2.4.4 Prognosis kanker serviks ... 23

2.4.5 Pencegahan kanker serviks ... 24

2.4.6 Pengobatan kanker ... 24

2.5 Kultur Sel ... 25

2.5.1 Hela cell line ... 25

2.6 Uji Sitotoksik ... 26

BAB IIIMETODE PENELITIAN... 29

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.2 Alat dan Bahan ... 29

3.2.1 Alat ... 29


(10)

x

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan ... 30

3.3.1 Pengambilan bahan ... 30

3.3.2 Identifikasi tumbuhan ... 31

3.3.3 Pembuatan simplisia ... 31

3.4 Pembuatan Pereaksi ... 31

3.4.1 Pereaksi Bouchardat ... 31

3.4.2 Pereaksi Dragendorff ... 31

3.4.3 Pereaksi Mayer ... 32

3.4.4 Pereaksi besi (III) klorida 1% ... 32

3.4.5 Pereaksi Molish ... 32

3.4.6 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 32

3.4.7 Pereaksi asam klorida 1 N ... 32

3.4.8 Pereaksi asam klorida 2 N ... 32

3.4.9 Pereaksi natrium hidroksida 1 N ... 33

3.4.10 Pereaksi natrium hidroksida 2 N ... 33

3.4.11 Larutan kloralhidrat... 33

3.4.12 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 33

3.5 Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak ... 33

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid ... 33

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid ... 34

3.5.3 Pemeriksaan glikosida... 34

3.5.4 Pemeriksaan glikosida antrakinon ... 35

3.5.5 Pemeriksaan saponin ... 35


(11)

xi

3.5.7 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 36

3.6 Karakterisasi Simplisia ... 36

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik ... 36

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 36

3.6.3 Penetapan kadar air ... 37

3.6.4 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 37

3.6.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 38

3.6.6 Penetapan kadar abu total ... 38

3.6.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam ... 38

3.7 Pembuatan Ekstrak ... 39

3.8 Sterilisasi Alat dan Bahan ... 39

3.9 Pembuatan Media ... 39

3.9.1 Pembuatan media Roswell Park Memorial Institute (RPMI) ... 39

3.9.2 Pembuatan Media Kultur Lengkap (MK-RPMI) .... 40

3.9.3 Pembuatan Media M199 ... 41

3.9.4 Pembuatan MK-M199 ... 41

3.10 Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Buah Andaliman (EEBA) .... 42

3.11 Penumbuhan Sel ... 42

3.11.1 Penumbuhan sel HeLa ... 42

3.11.2 Penumbuhan sel Vero ... 43

3.12 Subkultur Sel ... 43

3.12.1 Subkultur sel HeLa ... 43

3.12.2 Subkultur sel Vero ... 44


(12)

xii

3.13.1 Panen sel HeLa ... 44

3.13.2 Panen sel Vero ... 44

3.14 Perhitungan Sel HeLa dan Sel Vero ... 45

3.15 Pembuatan Larutan Uji ... 46

3.16 Pengujian Sitotoksik ... 46

3.16.1 Pengujian sitotoksik terhadap sel HeLa ... 46

3.16.2 Pengujian sitotoksik terhadap Sel Vero ... 47

3.17 Analisis Hasil ... 48

3.18 Indeks Selektivitas ... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 49

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia ... 49

4.3 Hasil Skrining Fitokimia ... 51

4.4 Hasil Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Buah Andaliman (EEBA) Terhadap Sel HeLa Menggunakan Metode MTT .. 53

4.5 Efek Sitotoksik EEBA Terhadap Sel HeLa dan Sel Vero ... 56

4.5.1 Efek sitotoksik terhadap sel HeLa ... 56

4.5.2 Efek sitotoksik terhadap sel Vero ... 58

4.6 Pengaruh Selektivitas EEBA Terhadap Sel HeLa dan Sel Vero ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Stadium kanker serviks menurut International Federation of

Gynecology and Obstertics (FIGO) 1988 ... 22 Tabel 4.1 Hasil karakterisasi simplisia buah andaliman (Zanthoxylum

acanthopodium DC.) ... 50 Tabel 4.2 Hasilskrining fitokimia simplisia dan ekstrak etanol buah

andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) ... 51 Tabel 4.3 Presentase sel HeLa hidup dengan perlakuan EEBA ... 57 Tabel 4.4 Presentase sel Vero hidup dengan perlakuan EEBA ... 59


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian ... 5

Gambar 2.1 Buah andaliman ... 8

Gambar 2.2 Proses terjadinya karsinogenesis sel ... 17

Gambar 2.3 Reduksi MTT menjadi formazan ... 28

Gambar 3.1 Hemositometer (kamar hitung) ... 45

Gambar 4.1 Kristal formazan ... 54

Gambar 4.2 Perbedaan warna media berisi sel HeLa dan sel vero dengan larutan uji setelah pemberian MTT (3 kali pengulangan) ... 55

Gambar 4.3 Hubungan konsentrasi larutan uji terhadap % sel HeLa hidup ... 57

Gambar 4.4 Hubungan konsentrasi larutan uji terhadap % sel vero hidup ... 58


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan andaliman (Zanthoxylum

acanthopodium DC.) ... 68

Lampiran 2. Gambar makroskopik simplisia buah andaliman ... 69

Lampiran 3. Gambar mikroskopik simplisia buah andaliman ... 70

Lampiran 4. Bagan kerja penelitian ... 71

Lampiran 5. Perhitungan kadar air simplisia buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) ... 72

Lampiran 6. Perhitungan kadar sari larut dalam air simplisia buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) .. ... 73

Lampiran 7. Perhitungan kadar sari larut dalam etanol simplisia buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) .. ... 74

Lampiran 8. Perhitungan kadar abu total simplisia buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) ... 75

Lampiran 9. Perhitungan kadar abu tidak larut dalam asam simplisia buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) ... 76

Lampiran 10. Rendemen ekstrak etanol buah andaliman ... 77

Lampiran 11. Perhitungan jumlah sel HeLa pada hemositometer ... 78

Lampiran 12. Perhitungan jumlah sel Veropada hemositometer ... 79

Lampiran 13. Perhitungan persen sel hidup dari berbagai konsentrasi larutan uji ekstrak etanol buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) terhadap sel HeLa ... 80

Lampiran 14. Perhitungan persen sel hidup dari berbagai konsentrasi larutan uji ekstrak etanol buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) terhadapsel Vero ... 81

Lampiran 15. Perhitungan nilai IC50ekstrak etanol buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) sel HeLa menggunakan analisa probit SPSS 19 ... 82


(16)

xvi

Lampiran 16. Perhitungan nilai IC50 ekstrak etanol buah andaliman

(Zanthoxylum acanthopodium DC.) sel Vero

menggunakan analisa probit SPSS 19 ... 83

Lampiran 17. Bagan kerja pembuatan ekstrak etanol buah andaliman ... 84

Lampiran 18. Bagan pembuatan media RPMI ... 85

Lampiran 19. Bagan pembuatan media M199 ... 86

Lampiran 20. Bagan pembuatan media kultur lengkap (MK-RPMI) dan (MK-M199) ... 87

Lampiran 21. Bagan penumbuhan sel HeLa ... 88

Lampiran 22. Bagan penumbuhan sel Vero ... 89

Lampiran 23. Bagan panen sel HeLa ... 90

Lampiran 24. Bagan panen sel Vero ... 91

Lampiran 25. Bagan perhitungan sel HeLa dan sel Vero ... 92

Lampiran 26. Bagan pembuatan larutan uji ... 93

Lampiran 27. Bagan pengujian sitotoksik ... 94

Lampiran 28. Gambar sel HeLa dan sel Vero yang telah konfluen (dilihat di bawah mikroskop inverted dengan perbesaran 10 x 10) ... 95

Lampiran 29. Gambar sel HeLa dan sel Vero dalam kamar hitung (dilihat di bawah mikroskop inverted dengan perbesaran 10 x 10) ... 96

Lampiran 30. Gambar morfologi sel kanker serviks HeLa dan Vero (dilihat dengan mikroskop inverted dengan perbesaran 10 x 10) setelah pemberian ekstrak dari konsentrasi tertinggi hingga terendah ... 97

Lampiran 31. Gambar laminar air flow, mikroskop inverted, ELISA reader dan inkubator CO2 5% ... 98


(17)

vi

UJI AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK ETANOL BUAH ANDALIMAN (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

TERHADAP SEL KANKER SERVIKS Abstrak

Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker yang menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia pada wanita. Penyebab utama kanker serviks adalah Human Papilloma Virus (HPV). Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) adalah salah satu tanaman yangdikenal dalam masyarakat Batak, tergolong dalam tanaman liar yang belum banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Buah andaliman diyakini memiliki potensi antikanker. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia buah andaliman, menghitung nilai IC50 ekstrak terhadap sel HeLa dan menghitung indeks selektivitas ekstrak etanol buah andaliman.

Ekstrak diperoleh dengan maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Uji aktivitas sitotoksik EEBA secara in vitro terhadap sel HeLa dan sel Vero menggunakan metode MTT. Sel HeLa ditumbuhkan dalam media kultur RPMI pada plate 96-sumuran kemudian diberi ekstrak etanol buah andaliman dengan seri konsentrasi 500 µ g/mL; 250 µg/mL; 125 µg/mL; 62,5 µg/mL; 31,25 µg/mL dan 15,625 µg/mL.Sel Vero ditumbuhkan dalam media kultur M199 pada96-sumuran kemudian diberi ekstrak etanol buah andaliman dengan seri konsentrasi 1000 µg/mL; 500 µg/mL; 250 µg/mL; 125 µg/mL; 62,5 µg/mL dan 31,25 µg/mL. Hasil pengujian dibaca dengan ELISA reader pada 595 nm dan dianalisis dengan SPSS 19 kemudian dihitung indeks selektivitasnya.

Hasilskrining fitokimia terhadap simplisia dan ekstrak etanol buah andaliman diperoleh senyawa kimia golongan alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia diperoleh kadar air 6,30%; kadar sari larut air 12,41%; kadar sari larut dalam etanol 16,28%; kadar abu total 4,62% dan kadar abu tidak larut asam 0,20%. Hasil pengujian aktivitas sitotoksik ekstrak etanol buah andaliman terhadap sel HeLa menunjukkan nilai IC50sebesar 42,462 µg/mL dan pada sel Vero sebesar 258,167µg/mL. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol buah andaliman memiliki efek sitotoksisitas yang poten terhadap sel kanker serviks HeLa. EEBA memiliki indeks selektivitas sebesar 6,08. Hal ini berarti EEBA bekerja selektif yaitu hanya menghambat sel kanker serviks tanpa mematikan sel normal (Vero).

Kata Kunci: MTT, sitotoksisitas, Sel HeLa, Sel Vero, Zanthoxylum


(18)

vii

ANTICANCER ACTIVITY OF ETHANOL EXTRACT FROM ANDALIMAN FRUIT (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

ON CERVICAL CANCER CELLS Abstract

Cervical cancer is one type of the largest cancer that becomes largest cause of death woman in Indonesia.The main cause of cervical cancer is Human Papilloma Virus (HPV).Andaliman ( Zanthoxylum acanthopodium DC.) is one of the plant which well known within the community Bataknese were classified as a part wild plants that have not been widely used as a medicinal plant. Fruit andaliman does believed have anticancer potential. The purpose of this research were to known characteristic of andaliman fruit simplex, to determinated the IC50 value of extract on HeLa cell and determinated the selectivity index of EEBA.

Extraction were used maceration method with 96% ethanol. Cytotoxic effect was tested in vitro on HeLa and Vero cells line using MTT assay. HeLa cells were seeded in RPMI medium at 96-well plate and then were given andaliman fruitethanolic extract with concentration 500 µg/mL; 250 µg/mL; 125 µg/mL; 62.5 µg/mL;31.25 µg/mL and 15.625 µg/mL. While Vero cells were seeded in M199 culture medium at 96-well plate and then were given extract with concentration 1000 µg/mL; 500 µg/mL; 250 µg/mL; 125 µg/mL; 62.5µ g/mL and 31.25 µg/mL The absorbanceswere read by ELISA reader at ƛ 595 nm and analysed with SPSS 19 and calculated selectivity index.

The results of photochemical screening from simplex and ethanol extract of Andaliman fruit contains alkaloid, flavonoids, glikosids, tannins and steroids/triterpenoids. The result of the simplex characteristics were showed that 6.30% water content; 12.41% water-soluble extract content; 16.28% ethanol-soluble extract content; 4.62% total ash and 0.20% acidic unethanol-soluble ash. The cytotoxic activity assay was showed that ethanol extract of Andaliman fruit on HeLa cells have IC50 values of 42.462 µ g/mL and for Vero cells was showed IC50 values of 258.167 µ g/mL. Andaliman fruits ethanolic extract was exhibited cytotoxic effect against cervical cancer HeLa cells. EEBA have selectivity index of 6.08. Ethanolic extract of andaliman fruit have selective activity cervical cancer cell without inhibit the normal cell (Vero).

Keywords: MTT, Cytotoxicity, HeLa Cells, Vero Cells, Zanthoxylum acanthopodium DC.


(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker merupakan salah satu jenis penyakit yang cukup banyak terjadi dimasyarakat. Menurut WHO pada tahun 2002, Indonesia merupakan negara dengan penderita kanker mulut rahim (serviks) nomor satu di dunia. Di Indonesiasendiri diperkirakan setiap harinya terjadi 41 kasus baru kanker serviksdan 20 perempuan meninggal dunia karena penyakit tersebut (Rachmani, 2012). Kanker serviks merupakan jenis kanker yang paling banyak angka kejadiannya (sekitar 27%) pada perempuan di Indonesia.Lebih dari 70% penderita datang memeriksakan diri dalam stadium lanjut,sehingga banyak menyebabkan kematian karena terlambat ditemukan dan diobati. Tingginya angka ini biasanya disebabkan rendahnya pengetahuan dan kesadaran akan bahaya kanker serviks (Yuliatin, 2011).

Melihat perkembangan jumlah penderita dan kematian akibat kanker serviks, diperkirakan bahwa sekitar 10 persen wanita di dunia sudah terinfeksi

Human Papilloma Virus (HPV). Muncul fakta baru bahwa semua perempuan

mempunyai risiko untuk terkena infeksi HPV (Dunleavey, 2009).

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) adalah salah satu tanaman yangdikenal masyarakat Batak, tergolong tanaman liar dan merupakan tanaman khas Propinsi Sumatera Utara yang belum banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Suryanto, dkk., 2004). Bagian kulit kayu dan daun tanaman yang berasal darigenus Zanthoxylum umumnya digunakan secara luas untuk mengobati


(20)

2

inflamasi dan rematik. Buah andaliman mengandung banyak senyawa yang bersifat antioksidan (Wijaya, 1999). Buah andaliman telah dilaporkan memiliki aktivitas antiinflamasi dan juga telah diteliti aktivitas antioksidan ekstrak etanol buah andaliman serta aktivitas antiradikal ekstrak etanol buah andaliman konsentrasi 200 µ g/mL menunjukkan daya inhibisi 61,81%, memiliki aktivitas penghambatan xantin oksidase sebesar 9,9 µg/mL; 3,9 µg/mL; 9,54 µg/mL; 3,69 µg/mL dan 4,03 µ g/mL serta memiliki aktivitas antioksidan dengan metode DPPH pada ekstrak petroleum eter 220,67 µg/mL; diklormetana 88,26 µg/mL; etilasetat 83,50 µg/mL; butanol 53,53 µg/mL; metanol 26,39 µg/mL (Kristanty, 2012), n-heksana 349,72µ g/mL dan etanol 32, 19 µg/mL (Gultom, 2012).

Buah andaliman juga diketahui memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel MCF-7 dan sel T47D. Pada sel MCF-7, ekstrak etanol buah andaliman (EEBA) memberikan hasil IC50 sebesar 957,499 µ g/mL; ekstrak n-heksana buah andaliman

(ENBA) memberikan hasil IC50 sebesar 159,747 µg/mL danekstrak etilasetat buah

andaliman (EEABA) memberikan hasil IC50 sebesar 136,490 µg/mL. Pada sel

T47D, EEBA memberikan hasil IC50 sebesar 463,231 µg/mL (Thaib, 2013),

ENBAmemberikan hasil IC50 sebesar 30,908 µg/mL dan EEABA memberikan

hasil IC50 sebesar24,476 µg/mL (Anggraeni, 2014). Ekstrak dinyatakan aktif

apabila memberikan nilai IC50 10 - 100 µg/mL dan cukup aktif apabila

memberikan nilai IC50 100-500 µg/mL (Weerapreeyakul, dkk., 2012).

Kultur sel HeLa atau HeLa cell line merupakan continuous cell line yang diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cervix) seorang wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang meninggal akibat kanker pada tahun 1915 (ATTC, 2011). Kultur sel ini memiliki sifat semi melekat dan


(21)

3

digunakan sebagai model untuk pengujian antikanker. Sel Vero merupakan sel monolayer berbentuk poligonal dan pipih yang diisolasi dari sel ginjal monyet hijau afrika oleh Yasumura dan Kawakita di Universitas Chiba, Jepang. Sel Vero biasa digunakan untuk mempelajari pertumbuhan sel, diferensiasi sel, sitotoksisitas, dan transformasi sel yang diinduksi oleh berbagai senyawa kimia. Sel ini juga direkomendasikan untuk dijadikan sebagai model dalam mempelajari karsinogenesis secara in vitro (Goncalves, dkk., 2006).

Penelitian untuk membuktikan efek sitotoksik dari ekstrak etanol buah Andaliman terhadap kanker serviks belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pendahuluan dengan melihat efek sitotoksiknya terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui apakah ekstrak ini dapat bekerja selektif, yaitu apakah mampu menghambat sel kanker serviks tanpa menghambat sel normal.

Penelitian ini meliputi pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%, uji sitotoksik Ekstrak Etanol Buah Andaliman (EEBA) terhadap kultur sel HeLa dan Vero serta menghitung Indeks Selektivitas (IS) EEBA.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Apakah karakteristik simplisia buah Andaliman (Zanthoxylum


(22)

4

b. Golongan senyawa kimia apakah yang terkandung di dalam buah Andaliman?

c. Apakah ekstrak etanol buah Andaliman memiliki efek sitotoksik pada sel HeLa dan sel Vero?

d. Apakah ekstrak etanol buah Andaliman selektif terhadap sel HeLa dan sel Vero?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

a. Karakteristik simplisia buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) dapat ditentukan.

b. Buah Andaliman mengandung golongan senyawa kimia seperti alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, glikosidadan steroid/triterpenoid.

c. Ekstrak etanol buah Andaliman memiliki efek sitotoksik pada sel HeLa dan sel Vero.

d. Ekstrak etanol buah Andaliman selektif terhadap sel HeLa dan sel Vero.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui karakteristik simplisiabuah Andaliman.

b. Mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung dalam buah Andaliman.


(23)

5

d. Mengetahui nilai IS ekstrak etanol buah Andaliman terhadap sel kanker serviks.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek antikanker dari ekstrak etanol buah Andaliman (Zanthoxylum

acanthopodium DC.).

b. Menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai antikanker.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian

Simplisia buah Andaliman Ekstrak etanolbuah Andaliman Karakterisasi simplisia

% Sel HeLa Hidup

% Sel Vero Hidup Nilai IC50 1. Hasil makroskopik 2. Hasil mikroskopik 3. Nilai kadar air 4. Nilai kadar abu total 5. Nilai kadar abu tidak

larut dalam asam 6. Nilai kadar sari larut

dalam air

7. Nilai kadar sari larut dalam etanol Golongan senyawa kimia 1. Alkaloid 2. Flavonoida 3. Tanin 4. Saponin 5. Steroid/triterpenoid 6. Glikosida

7. Glikosida Antrakinon

Selektivitas


(24)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi daerah tumbuh (habitat), morfologi tumbuhan,sistematika tumbuhan, nama asing, kandungan kimia dan manfaat tumbuhan.

2.1.1 Daerah tumbuh (habitat)

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempah-rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak, SumateraUtara. Andaliman termasuk tanaman rempah yang tumbuh di pegunungan kawasan Danau Toba dan sekitarnnya. Diduga penyebaran tanaman secara umum melalui burung yang memakan buah andaliman, kemudian melalui kotoran burung tersebut biji andaliman tersebar kemana-mana dan tumbuh secara liar (Parhusip, 2006). Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis. Di dunia, tumbuhan ini tersebar antara lain di India Utara, Nepal, Pakistan Timur, Myanmar, Thailand dan Cina. Di Cina, tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 2900 m dpl. Di Indonesia,tumbuhan ini tumbuh liar pada daerah dengan ketinggian 1400 m dpl pada temperatur 15 - 18 oC (Wijaya, 1999). Di Sumatera

Utara tanaman ini tumbuh liar pada berbagai tempat, yaitu di daerah Angkola, Mandailing, Humbang, Silindung, Dairi dan Toba Holbung (Parhusip, 2006). Andaliman bukan ditanam seperti cabai, merica dan sayur-mayur lainnya. Biasanya andaliman tumbuh begitu saja (Wijaya,1999).


(25)

7

2.1.2 Morfologi tumbuhan

Andaliman merupakan tumbuhan perdu, tegak dengan tinggi 3 - 8 meter ,batang dan cabang berwarna kemerahan, berbulu halus dan berduri.Bunganya majemuk berbatas mempunyai kelopak yang disusun oleh lima daun kelopak bebas. Buah andaliman termasuk buah sejati berdiameter 3 - 4 mm yang berasal dari satu bunga dengan banyak bakal buah yang masing-masing bebas dan kemudian tumbuh menjadi buah tetapi berkumpul pada satu tangkai (Siregar, 2002). Daunnya merupakan daun majemuk dengan panjang 2 - 25 cm, anak daun 1- 6 pasang dengan tangkai yang pendek, tepi daun bergerigi, ujung daun runcing, warna daun hijau dan permukaan atas daun lebih tua dibanding permukaan bawah daun. Tumbuhan ini berkembang biak dengan biji. Sistem akartunggang dimana tumbuh menjadi akar pokok yangbercabangmenjadi akar yang lebih kecil dan sedikit berbulu halus diseluruh permukaannya (Parhusip, 2006).

2.1.3 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan andaliman menurut Sharma (1993), sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Rutales

Famili : Rutaceae

Genus : Zanthoxylum


(26)

8

A B

Gambar 2.1 Buah andaliman; A. Buah muda, B. Buah yang sudah tua 2.1.4 Nama asing

Nama asing andaliman adalah yan-jiao (Cina), mouh laaht faa jiu (CinaKanton), mao la hua jiao (Cina Mandarin), indonesian lemon pepper (Inggris), indonesischer zitronenpfeffer (Jerman), tambhul (India), sansho (Jepang) dan emmay/yerma (Tibet) (Anonim, 2012).

2.1.5 Kandungan kimia

Buah andaliman mengandung senyawa polifenolat, monoterpen dan seskuiterpen sertakuinon. Selain itu juga terdapat minyak atsiri seperti geraniol, linalool, cineol dan citronella yang menimbulkan kombinasi bau mint dan lemon (Sinaga, 2009). Ekstrak andaliman diketahui jugamengandung flavonoid, alkaloid, terpenoid dan steroid (Nababan, 2012).

Tanaman andaliman juga mengandung senyawa terpenoid yang memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik bagi kesehatan dan berperan dalam mempertahankan mutu produk pangan dari berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi serta perubahan warna dan aroma makanan. Senyawa terpenoid juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba (Wijaya, 1999).


(27)

9

2.1.6 Manfaat tumbuhan

Buah andaliman banyak digunakan sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang nafsu makan dan obat sakit perut (Sirait, dkk., 1991). Selain itu buah andaliman memiliki aktivitas fisiologi sebagai antioksidan, antimikroba, hepatoprotektif, antiplasmodial, sitotoksik, antiproliferatif, antelmintik, antivirus dan antikonvulsan. Secara tradisional, buah andalimann digunakan sebagai bumbu masak yang dapat mengobati asma dan bronkitis, menghilangkan rasa sakit, mengobati penyakit jantung, penyakit mulut, gigi dan tenggorokan (Wijaya, 1999).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi berasal dari kata “extrahere”, “to draw out”, yaitu suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari asalnya. Tujuan utama ekstraksi adalah mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan dari zat-zat yang tidak dibutuhkan, agar lebih mudah dipergunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa dan pemakaian) dan disimpan sehingga tujuan pengobatannya lebih terjamin (Syamsuni, 2006).

Hasil ekstraksi disebut dengan ekstrak, yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan. Simplisia yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah bahan alamiah yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2000).


(28)

10

2.2.1 Metode ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

1. Cara dingin a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes RI, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses ini terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) (Depkes RI, 2000). 2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).


(29)

11

xx

c. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 500C (Depkes RI, 2000).

d. Infundasi

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90 0C selama 15 menit (Depkes RI, 1979).

e. Dekoktasi

Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada waktu yang lebih lama yaitu ± 30 menit dan dilakukan pada temperatur air mendidih (Depkes RI, 2000).

Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat. Kelarutan dan stabilitas bahan kandungan tumbuhan merupakan sifat yang penting untuk memperoleh sediaan obat yang tepat, oleh karena banyak bahan tumbuhan larut dalam air atau alkohol sehingga air atau etanol menjadi acuan cairan pengekstraksi (Voight,1994).

Cara ekstraksi dapat dilakukan dengan teknik maserasi. Istilah maserasi berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya “merendam”. Maserasi merupakan proses yang paling tepat di mana obat yang sudah halus dimungkinkan untuk direndam di dalam menstruum sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 2008).


(30)

12

wadah atau bejana yang bermulut lebar. Bejana ditutup rapat, dan isinya dikocok berulang-ulang biasanya berkisar 2-14 hari. Pengocokan memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan obat yang sudah halus. Cara lain untuk pengocokan berulang-ulang ini adalah menempatkan obat dalam kantung kain berpori yang diikat dan digantungkan pada bagian atas menstruum, banyak persamaannya dengan kantung teh yang digantungkan dalam air dalam pembuatan secangkir teh. Begitu zat-zat terlarut di dalam menstruum, ia cenderung untuk turun ke dasar bejana karena meningkatnya gaya berat. Ekstrak dipisahkan dari ampasnya dengan memeras kantung obat dan membilasnya dengan penambahan menstruum baru, hasil pencucian merupakan tambahan ekstrak. Apabila maserasi dilakukan tidak di dalam kantung, maka ampas dipisahkan dengan menapis atau menyaring, di mana ampas yang disaring bebas dari ekstrak. Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15 - 20oC dalam waktu selama 3 hari

sampai bahan yang mudah larut akan melarut (Ansel, 2008).

2.3 Kanker

2.3.1 Tinjauan umum kanker

Kanker atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal dan bersifat ganas (maligne). Satu kelompok sel dengan mendadak menjadi liar dan memperbanyak diri secara pesat dan terus menerus (proliferasi). Sel-sel kanker ini menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya (Tjay dan Rahardja, 2002). Berdasarkan lokalisasinya kanker atau yang merupakan tumor ganas dibedakan sebagai berikut: karsinoma (pada jaringan kelenjar), sarkoma (pada jaringan penghubung), limfoma (pada ganglia limfatik) dan leukemia (pada sel darah) (Sukardja, 2000).


(31)

13

Kanker umumnya didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan atau tumor hasil dari pembelahan sel yang tidak normal dan tidak terkendali. Sel-sel normal dalam tubuh terus mengalami pembelahan sel-sel tua lalu menggantinya dengan sel yang baru. Proses pertumbuhan dan kematian sel tua secara benar disebut sebagai homeostasis, yang mana bertujuan untuk menjaga keseimbangan yang sehat dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan ini, pertumbuhan sel dan pembelahan terjadi dalam proses yang disebut siklus sel, dan langkah-langkah itu dikendalikan oleh berbagai mekanisme genetik dan molekuler. Bila salah satu atau beberapa bagian mekanisme itu mengalami kerusakan dalam siklus sel, itulah yang menyebabkan kanker (Mulyadi, 1997).

Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu:

a) Fase inisiasi: DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen (radikalbebas).

Zat-zat inisiator ini mengganggu proses reparasi normal, sehingga terjadi mutasi DNA dengan kelainan pada kromosomnya. Kerusakan DNA diturunkan kepada anak-anak sel dan seterusnya

b) Fase promosi: zat karsinogen tambahan (co-carsinogens) diperlukan sebagai

promotor untuk mencetuskan proliferasi sel. Dengan demikian, sel-sel rusak menjadi ganas

c) Fase progesi: gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA

mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas. (Tjay dan Rahardja, 2002).

Kriteria sitologi yang memungkinkan ahli patologi untuk mendiagnosis, atau mencurigai adanya kanker adalah sebagai berikut :


(32)

14

1. Morfologi sel kanker biasanya berbeda dan lebih bervariasi dari sel normal pada jaringan yang sama. Ukuran dan bentuk sel kanker lebihbervariasi 2. Nucleus sel kanker biasanya lebih besar dan kromatinnya lebih terlihat

(hipercromatic) daripada nucleus pada sel normal

3. Jumlah sel yang bermitosis biasanya lebih banyak pada suatu populasi selkanker dibandingkan pada populasi jaringan normal. Dua puluh atau lebih figur mitosis per 1000 sel sering dijumpai pada jaringan kanker, sedangkan kurang dari satu per 1000 biasa ditemui pada tumor jinak atau jaringan normal. Jumlah ini lebih besar pada jaringan normal yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi seperti pada sumsum tulang atau sel crypt pada mukosa gastrointestinal

4. Banyaknya mitosis abnormal atau sel raksasa, pleomorphic (variasi ukuran dan bentuk) atau nuclei lebih dari satu biasa ditemukan pada jaringan ganas daripada jaringan normal

5. Invasi jaringan normal oleh neoplasma menunjukkan bahwa tumor telah menginvasi dan menyebar (Ruddon, 2007).

2.3.2 Sifat kanker

Kanker mempunyai berbagai sifat umum, diantaranyaadalah: 1) Heterogenitas

Populasi sel dalam suatu tumor tidak homogeny, tetapi heterogen, walaupun semua berasal dari satu sel yang sama. Heterogenitas ini terjadi karena sel-sel kanker tumbuh dengan cepat, sehingga sebelum dewasa dan matang telah mengalami mitosis, terus berkembang sehingga semakin lama semakin banyak keturunan sel yang makin jauh menyimpang dari sel asalnya, yang menimbulkan


(33)

15 bentuk yang bervariasi (Sukardja, 2000). 2) Tumbuh autonom

Sel kanker tumbuh terus tanpa batas(immortal), liar, terlepas dari kendali pertumbuhan normal sehingga terbentuk suatu tumor yang terpisah dari bagian tubuh yang normal. Tumor dapat menimbulkan kelainan bentuk dan gangguan fungsi organ yang ditumbuhinya. Sel-sel normal setelah beberapa generasi akan berhenti tumbuh. Hanya sel yang disebut stem sel masih mempunyai kemampuan tumbuh bila ada rangsangan untuk tumbuh (Sukardja, 2000).

3) Mendesak dan merusak sel-sel normal disekitarnya

Sel-sel tumor mendesak (ekspansif) sel-sel normal disekitarnya, yang berubah menjadi kapsul yang membatasi pertumbuhan tumor. Pada tumor jinak, kapsul itu berupa kapsul sejati yang memisahkan gerombolan sel tumor dengan sel-sel normal, sedangkan pada tumor ganas berupa kapsul palsu, karena kapsul itu dapat ditembus atau diinfiltrasi oleh sel-sel kanker (Sukardja, 2000).

4) Dapat bergerak sendiri (amoeboid)

Sel-sel kanker itu dapat bergerak sendiri seperti amoeba dan lepas dari gerombolan sel-sel tumor induknya, masuk diantara sel-sel normal disekitarnya. Hal ini menimbulkan:

a) Infiltrasi atau invasi ke jaringan atau organ di sekitarnya.

Sel-sel kanker dapat tumbuh di jaringan sekitarnya, menimbulkan perlekatan-perlekatan, obstruksi saluran-saluran tubuh.

b) Metastase atau anak sebar dikelenjar limfa atau di organ lainnya.

Sel-sel kanker dapat masuk ke dalam pembuluh limfa dan bersama aliran limfa masuk ke kelenjar limfa dan tumbuh didalamnya (penyebaran


(34)

16

limfogen). Sel - sel kanker dapat pula masuk ke dalam pembuluh darah dan bersama aliran darah beredar keseluruh tubuh (penyebaran hematogen (Sukardja, 2000).

5) Tidak mengenal koordinasi dan batas-batas kewajaran Ketidakwajaran itu antara lain disebabkan oleh: a) Kurang daya adhesi dan kohesi

Karena kurangnya daya adhesi dan kohesi sel-sel kanker itu mudah lepas dari gerombolan sel-sel induknya dan dapat bergerak menyusup diantara sel-sel normal

b) Tidak mengenal kontak inhibisi

Sel-sel normal akan berhenti tumbuh jika ada kontak dengan sel normal disekitarnya, sedangkan sel kanker tidak

c) Tidak mengenal tanda posisi

Sel-sel normal akan berhenti tumbuh jika berada pada tempat atau posisi yang tidak semestinya, sedangkan sel kanker tidak, sehingga dapat timbul anak sebar (metastase)

d) Tidak mengenal batas kepadatan

Sel normal akan berhenti tumbuh jika kepadatan sel telah mencapai konsistensi tertentu, sedangkan sel kanker tidak (Sukardja, 2000).

6) Tidak menjalankan fungsinya yang normal

Sel-sel kanker merusak fungsi organ yang ditumbuhinya. Hal ini antara lain karena (Sukardja, 2000):

a) Membran sel kanker tidak mengandung fibronektinya itu suatu glukoprotein yang dapat menghambat pertumbuhan sel, kadar kalsium


(35)

17 kurang, muatan listrik kurang

b) Sel kanker dapat membentuk hormon, enzim dan protein yang pada pertumbuhan sel normal hanya diproduksi oleh sel-sel tertentu saja

2.3.3 Karsinogenesis

Karsinogenesis adalah suatu proses perubahan struktur DNA yang bersifat irreversible, sehingga terjadi kanker. Salah satu factor terbentuknya kanker karena adanya sel epitel yang terus berkembang (berproliferasi). Saat berproliferasi, genetik sel bisa berubah akibat adanya pengaruh agen karsinogen yang menyebabkan hilangnya penekanan terhadap proses proliferasi sel. Perubahan sel menjadi ganas juga melibatkan gen-gen yang mengatur pertumbuhan sel, akibatnya sel berkembang tidak terkendali.

Gambar 2.2 Proses terjadinya karsinogenesis sel (Mulyadi,1997) 2.4 Kanker Serviks

Kanker serviks (cervical cancer) adalah kanker yang terjadi pada area leher rahim (serviks). Serviks adalah bagian rahim yang menghubungkan uterus bagian atas dengan vagina. Bagian serviks yang dekat dengan uterus disebut endoserviks, sedangkan yang dekat dengan vagina disebut eksoserviks. Tempat


(36)

18

dimana kedua bagian tersebut bertemu disebut zona transformasi. Sebagian besar kanker serviks berawal pada zona transformasi (Yuliatin, 2011).

Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35 - 55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS) (Yatim, 2005).

2.4.1 Patofisiologi kanker serviks

Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supressor gen, dan repair gen. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat


(37)

19

perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasif berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubahan ini progress menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 - 35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 - 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 - 20 tahun (Rustam, 1984).

Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 - 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum atau vesikal urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998).


(38)

20

2.4.2 Etiologi dan faktor resiko kanker serviks

Seperti kanker lain pada umumnya, penyebab kanker serviks belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang dapat menjadi faktor resiko, antara lain:

a) Aktivitas seksual

Aktivitas seksual lebih dari 2 partner dan tidak manggunakanalat kontrasepsi beresiko menderita infeksi human papiloma virus (HPV) (Clarke, 2001). Resiko wanita menderita kanker serviks akan semakin tinggi bila berhubungan seksual dengan lelaki yang pernah berhubungan seksual dengan perempuan yang menderita kanker serviks (Yatim, 2005). b) Usia

Hubungan seksual pertama kali yang dilakukan pada usia remaja (12 - 20 tahun) mengakibatkan organ reproduksi wanita sedang aktif berkembang. Rangsangan penis/sperma dapat memicu perubahan sifat sel menjadi tidak normal. Sel abnormal ini berpotensi menyebabkan kanker serviks (Wiknjosastro, 1999). Wanita yang melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia 10 - 14 tahun mempunyai faktor resiko 2 kali terkena infeksi HPV (Clarke, 2001).

c) HPV (Human Papiloma Virus)

Human Papiloma Virus secara signifikan berkaitan dengan kanker serviks

intraepitel dan kanker serviks yang sudah invasi. Tipe virus yang di anggap berkaitan dengan kanker serviks adalah tipe 16,18, 31, 35 dan 39 (Yatim, 2005).


(39)

21

Status ekonomi ini berkaitan dengan ketidakmampuan wanita untuk melakukan deteksi dini terhadap kanker serviks serta berhubungan erat dengan gizi serta imunitas (Wiknjosastro, 1999). Misalnya pada wanita yang berpenghasilan tinggi lebih mungkin melakukan tes pap smear di banding orang yang berpenghasilan rendah (Clarke, 2001).

e) Jumlah kehamilan

Jumlah kehamilan dan melahirkan, karsinoma uteri terbanyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan semakin besar resiko terkena kanker serviks (Yuliatin, 2011), pada wanita yang melahirkan pertama kali pada usia 12 - 19 tahun juga meningkatkan resiko menderita kanker serviks sebesar 60% dan 40% pada usia 20 - 24 tahun (Clarke, 2001).

f) Merokok

Merokok, merupakan faktor resiko yang signifikan pada kanker serviks. Pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa wanita yang aktif merokok lebih dari 15 batang rokok perhari mempunyai resiko 2 kali lebih besar terkena infeksi HPV dibanding wanita yang tidak merokok (Yatim, 2005).

2.4.3 Klasifikasi stadium kanker serviks

Klasifikasi stadium klinik berdasarkan FIGO (International Federationof

Gynecology and Obstetrics) adalah klasifikasi yang sering digunakan dalam

penentuan stadium kanker serviks. Stadium klinik ini merupakan proses untuk mengetahui seberapa jauh penyebaran kanker. Proses penentuan stadium klinik ini penting untuk dilakukan karena penetapan stadium kanker adalah faktor kunci didalam memilih terapi yang tepat. Berikut tabel penentuan stadium kankerserviks berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO).


(40)

22

Tabel 2.1 Stadium kanker serviks menurut International Federation of Gynecologyand Obstetrics (FIGO) 1988

Stadium Deskripsi

0 Karsinoma in situ (kanker pranvasif)

1 Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri

1A Invasi kanker didiagnosa dengan mikroskopi (Karsinoma

mikroinvasif)

1A1 Invasi minimal, semua lesi yang dapat dilihat dengan mikroskop 1A2 Kedalaman invasi stroma tidak lebih dari 3,00 mm atau kurang dan

7,00 mm atau kurang pada penyebaran yang mendatar

1B Kedalaman invasi stroma lebih dari 3,00 mm dan tidak lebih dari 5,00 dan 7,00 mm atau kurang pada penyebaran yang mendatar 1B1 Secara klinik lesi dapat dilihat 4,00 cm atau kurang dengan

pembesaran maksimal

1B2 Secara klinik lesi dapat dilihat 4,00 atau lebih dengan pembesaran maksimal

II Karsinoma menyerang di luar serviks tetapi tidak sampai dinding panggul atau 1/3 bawah vagina

IIA Tanpa ada keterlibatan parametrium yang nyata IIB Melibatkan parametrium nyata

III Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau meliputi 1/3 distal vagina dan/atau menyebabkan hydronephrosis atau tidak berfungsinya ginjal

IIIA Tumor meluas ke 1/3 distal vagina, tidak menyebar ke dinding pelvis IIIB Tumor menyebar ke dinding pelvis dan/atau menyebabkan

hydroneprosis atau tidak berfungsinya ginjal

IV Kanker sudah menyebar keluar rongga panggul dan secara klinik suadah terlihat tanda-tanda infeksi kanker ke selaput lendir kandung kencing dan/rectum

IVA Sel kanker menyebar pada alat/ organ yang dekat dengan serviks IVB Kanker sudah menyebar pada alat/ organ yang jauh dari serviks


(41)

23

2.4.4 Prognosis kanker serviks

Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyoga, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30% (Geene dan Tidy,1998; Kenneth, 2000).

1. Stadium 0, 100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.

2. Stadium 1, Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival

rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai

90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka.

3. Stadium 2, Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival

rate sebesar 70 - 90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60

sampai 65%.

4. Stadium 3, Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30 - 50%. 5. Stadium 4,Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20 - 30%. 6. Stadium 5, Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 5 - 10%.


(42)

24

2.4.5 Pencegahaan kanker serviks

Sel-sel yang abnormal dari kanker serviks dapat dideteksi dengan suatu test yang disebut pap smear test. Pap Smear merupakan metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari serviks dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel tersebut (Riono, 1999).

Kanker serviks dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor resikonya. Adapun faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan kanker serviks diantaranya adalah berganti-ganti mitra seks, melakukan hubungan seks pertama saat usia di bawah 15 tahun, merokok dan kurang terpenuhinya nutrisi seperti buah dan sayur yang banyak mengandung antioksidan. Selain itu, penderita yang terinfeksi HIV sering dihubungkan dengan meningkatnya resiko terjadinya karsinoma serviks invasif karena adanya perubahan sistem imun (Rasjidi, 2007).

2.4.6 Pengobatan Kanker

Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara pembedahan, radiasi, kemoterapi, endokrinoterapi ataupun imunoterapi. Cara pembedahan, terutama dilakukan untuk tumor padat yang terlokalisasi. Cara radiasi digunakan sebagai pengobatan penunjang sesudah pembedahan. Pemberian kemoterapi terutama untuk pengobatan tumor yang tidak terlokalisasi seperti leukemia. Endokrinoterapi merupakan bagian dari kemoterapi, yaitu penggunaan hormon tertentu untuk pengobatan tumor pada organ yang poliferasinya tergantung hormon, seperti pada karsinoma payudara dan prostat. Sedangkan cara imunoterapi masih dalam penelitian dan masa mendatang kemungkinan berperan dalam pencegahan mikrometastasis (Sukardja, 2000).


(43)

25

2.5 Kultur Sel

Kultur sel berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol, tabung dan cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh. Monolayer tersebut dapat diperbanyak lagi, disebut subkultur atau pasase. Apabila diperbanyak terus menerus maka dihasilkan sel lestari (cell line).

Sel lestari memiliki beberapa sifat yaitu: a. Terjadi peningkatan jumlah sel b. Memiliki daya tumbuh yang tinggi c. Seragam

d. Mengalami perubahan fenotipe atau transformasi (Malole, 1990).

2.5.1 HeLa cell line

Sel HeLa merupakan continous cell line yang terinfeksi oleh Human

Papiloma Virus (HPV) yang memiliki gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Protein E6 dan E7 yang berasal dari HPV memodulasi sejumlah protein

seluler yang berperan dalam apoptosis dan proliferasi sel. Aktivitas proliferasi yang berlebihan pada sel HeLa diakibatkan oleh ikatan antara protein E6 yang berikatan dengan gen p53 sehingga mempercepat degradasi p53 dan stimulasi aktivitas enzim telomerase. Protein E7 berperan dalam meningkatkan aktivitas proliferasi sel melalui hiperfosforilasi p105Rb (Malole, 1990).

HeLa cell line diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim serviks)

manusia. Sel ini diisolasi tahun 1915 dari rahim wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang berusia 31 tahun. HeLa cell line tumbuh


(44)

26

x

sebagai sel yang semi melekat (ATTC, 2011). HeLa cell line dapat digunakan untuk tes antitumor, transformasi, uji tumorigenesis, biologi sel dan invasi bakteri. Sel ini secara morfologi merupakan sel epitelial yang sudah dimasuki oleh Human

Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini bersifat immortal dan sangat agresif

sehingga mudah untuk dikultivasi tetapi sel ini mudah menginvasi kultur sel lain (Doyle, dkk., 2000).

2.6 Uji Sitotoksik

Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa. Senyawa sitotoksik adalah senyawa yang bersifat toksik pada sel tumor secara in vitro dan jika toksisitas ini ditransfer menembus sel tumor in vivo senyawa tersebut mempunyai aktivitas antitumor (Freshney, 2000).

Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan, seperti: hanya membutuhkan sejumlah kecil bahan yang digunakan untuk kultur sel primer manusia dari berbagai organ target (ginjal, liver dan kulit), memberikan informasi secara langsung efek potensial pada sel target manusia dan dapat digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung (Doyle, dkk., 2000).

a. Perhitungan secara langsung (metode haemocytometer)

Haemocytometer merupakan perangkat gelas bersama cover slip tipis,

terbagi dalam sembilan area dengan empat area pojok sebagai area menghitung jumlah sel. Ketebalan chamber adalah 0,1 mmdengan kapasitas 10 μL cairan berisi sel dalam area 0,9 mm3. Beberapa hal perlu diperhatikan saat menghitung


(45)

27

minimum yang dihitung adalah seratus. Sel yang melekat perlu ditripsinasi untuk mensuspensikan sel dalam larutan. Tripan blue biasa digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel mati. Sel hidup tidak terwarnai, bulat dan relatif kecil dibandingkan dengan sel mati. Sedangkan sel mati membengkak dan berwarna biru (Doyle, dkk., 2000).

b. Perhitungan secara tidak langsung dengan metode MTT

MTT assay dapat digunakan untuk mengukur proliferasi selsecara kolorimetri. Metode ini berdasarkan pada perubahan garam tetrazolium (3-(4,5-dimet iltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) (MTT) menjadi formazan dalam mitokondria yang aktif pada sel hidup. MTT diabsorbsi ke dalam sel hidup dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi mitokondria menjadi formazan yang terlarut dalam SDS 10% berwarna ungu (Doyle, dkk., 2000). Warna ungu formazan dapat dibaca absorbansinya secara spektrofotometri dengan ELISA reader pada panjang gelombang maksimumnya 552 - 554 nm. Absorbansi tersebut menggambarkan jumlah sel hidup. Semakin kuat intensitas warna ungu yang terbentuk, absorbansi akan semakin tinggi, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak MTT yang diabsorbsi ke dalam sel hidup dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi mitokondria sehingga formazan yang terbentuk juga semakin banyak, absorbansi ini yang akan digunakan untuk menghitung persentase sel hidup sebagai respon (Sieuwerts, dkk., 1995). Berikut ini gambar reaksi reduksi MTT menjadi Formazan:


(46)

28


(47)

29

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental untuk mengetahui apakah Ekstrak EtanolBuah Andaliman (EEBA) memiliki efek antikanker terhadap sel HeLa dan sel Vero. Tahap penelitian meliputi identifikasi bahan, pengumpulan dan pengolahan bahan, pembuatan pereaksi, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia simplisia dan ekstrak, pembuatan ekstrak etanol, pengujian efek sitotoksik EEBA terhadap sel HeLa dan sel Vero dan penentuan indeks selektivitas.

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2014 - Oktober 2014. Pemeriksaan karakterisasi, skrining fitokimia dan pembuatan ekstrak etanol buah andaliman dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Pengujian sitotoksik terhadap sel kanker serviks dilakukan di Laboratorium Parasitologi Universitas Gadjah Mada.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas,

autoclave (Hirayama),blender (Philips), conical tube, eksikator, ELISA reader

(BenMark Biorad), inkubator CO25% (Heraceus), inverted microscope

(Olympus), krus porselin, optilab, laminar air flow (Labconco), mikropipet, tissue

culture flask (wadah kultur), hemositometer, hand counter, neraca kasar (Home


(48)

30

evaporator (Haake D1), sentrifugator, seperangkat alat destilasi, cawan porselen

alas rata, krus porselen bertutup, desikator, tanur, vortex dan 96-well plate.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah buah andaliman.

Bahan kimia yang digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas pro analisis, yaitu: α-naftol, asam asetat anhidrida, asam asetat pekat, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, benzena, besi (III) klorida, kloralhidrat, bismut (III) nitrat, etanol 96%, eter, etilasetat, n-heksana, hepes (Sigma), iodium, isopropanol, kalium iodida, kloroform, metanol, natrium hidroksida, natrium sulfat anhidrat, petroleum eter, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, serbuk zinkum, natrium hidrogen sulfat (Macalai tesque), timbal (II) asetat, toluena, air suling, dimetil sulfoksida (DMSO) (Sigma). Sel kanker serviks HeLa dan Vero yang merupakan koleksi Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM, Media Roswell Park Memorial Institute (RPMI), media M-199, Fetal Bovine Serum (FBS) 10% (v/v) (Gibco), penicillin -streptomisin 2% (v/v) (Gibco), dan Fungizon (Amfoterisin B) 0,5%. Selain bahan-bahan di atas juga digunakan 0,25% tripsin – EDTA (Gibco), Fetal Bovine Serum (FBS) 10% (v/v) (Gibco), Phospate Buffer Saline (PBS), MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5 difeniltetrazolium bromida] (Sigma), dengan konsentrasi 5 mg/mL, natrium dodesil sulfat (SDS) dalam HCl 0,1 N.

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan 3.3.1 Pengambilan bahan

Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan daerah yang lain. Bahan tumbuhan yang digunakan


(49)

31

dalam penelitian ini adalah buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) yang diperoleh dari Pasar Sore, Jalan Jamin Ginting kelurahan Padang Bulan Kota Medan, Propinsi Sumatera Utara bulan Agustus 2014.

3.3.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi buah andaliman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, LIPI.

3.3.3 Pembuatan simplisia

Buah andaliman yang telah dikumpulkan dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan kemudian ditimbang sebagai berat basah. Bahan ini kemudian dikeringkan di lemari pengering hingga kering, kemudian ditimbang sebagai berat kering. Bahan kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Simplisia dimasukkan dalam wadah plastik dan diikat, diberi etiket lalu disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya matahari.

3.4 Pembuatan Pereaksi 3.4.1 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling secukupnya, kemudian sebanyak 2 g iodium dilarutkan dalam larutan kalium iodida, setelah larut dicukupkan volume dengan air suling hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut (III) nitrat dilarutkan dalam 20 mL asam nitrat pekat. Pada wadah lain sebanyak 27,2 g kalium iodida dilarutkan dalam 50 ml air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna.


(50)

32

Selanjutnya diambil lapisan jernih dan diencerkan dengan air suling hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.3 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,3596 g raksa (II) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 60 mL. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10 mL air suling. Kemudian keduanya dicampur dan ditambahkan air suling hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.4 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.5 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.6 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas CO2 hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.7 Pereaksi asam klorida 1 N

Sebanyak 8,5 ml asam klorida pekat diencerkan dalam air suling hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.8 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 mL asam klorida pekat diencerkan dalam air suling hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).


(51)

33

3.4.9 Pereaksi natrium hidroksida 1 N

Sebanyak 4,001 g kristal natrium hidroksida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.10 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 mL (Depkes RI, 1995).

3.4.11 Pereaksi kloralhidrat

Sebanyak 50 g kristal kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 mL air suling (Depkes RI, 1995).

3.4.12 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 mL asam sulfat pekat dicampur dengan 50 mL etanol 96%, kemudiandengan hati-hati 5 mL asam asetat anhidrida dimasukkan ke dalam campuran tersebut dan dinginkan (Depkes RI, 1995).

3.5 Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, glikosida antrakinon, saponin, tanindan steroid/triterpenoid.

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid

Serbuk simplisia dan ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 Ml asam klorida 2 N dan 9 mL air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

a. 3 tetes larutan filtrat ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Mayer akan terbentuk endapan berwarna putih atau kuning.


(52)

34

b. 3 tetes larutan filtrat ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Bouchardat akan terbentuk endapan berwarna coklat-hitam.

c. 3 tetes larutan filtrat ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Dragendorff akan terbentuk endapan berwarna merah atau jingga.

Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau paling sedikit dua atau tiga dari percobaan di atas (Depkes RI, 1995).

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 g serbuk simplisia dan ekstrak ditambahkan 10 mL air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 mLfiltrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 mL asam klorida pekat dan 2 mL amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.5.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia dan ekstrak ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 mL campuran etanol 96% - air (7:3) dan 10 mL asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 mL air suling dan 25 mL timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 mL campuran kloroform - isopropanol (3:2) sebanyak 3 kali. Pada kumpulan sari ditambahkan natrium sulfat anhidrat, disaring, dan diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Sisanya


(53)

35 Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut:

a. Diuapkan 0,1 mL larutan percobaan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard, terjadi warna biru atau hijau yang menunjukkan adanya glikosida.

b. Dimasukkan 0,1 mL larutan percobaan dalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes pereaksi Molish. Ditambahkan hati-hati 2 mL asam sulfat pekat, terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes RI,1995).

3.5.4 Pemeriksaan glikosida antrakinon

Serbuk simplisia dan ekstrak ditimbang sebanyak 0,2 g, kemudian ditambahkan 5 mL asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 mL benzena, dikocok dan didiamkan. Lapisan benzena dipisahkan, dikocok dengan 2 mL NaOH 2 N, lalu didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzena tidak berwarna menunjukkan adanya antrakinon (Depkes RI,1995).

3.5.5 Pemeriksaan saponin

Serbuk simplisia dan ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1 - 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI,1995).

3.5.6 Pemeriksaan tannin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dididihkan selama 3 menit dalam air suling lalu didinginkan dan disaring.


(54)

36

Pada filtrat ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1% b/v. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.5.7 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 mLn-heksana selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan 20 tetesasam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann-Burchard), timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpeniod (Harborne, 1987).

3.6 Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, pemeriksaan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam (Depkes RI, 1995).

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, bau, rasa dan warnadari simplisia buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukanterhadap serbuk simplisia buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.). Serbuk simplisia ditaburkan diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan cover glass (kaca penutup), kemudian diamati di bawah mikroskop.


(55)

37

3.6.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi. Alat terdiri dari labu alas bulat 500 mL, alat penampung dan pendingin, tabung penyambung dan penerima 10 mL. Cara kerja:

a. Penjenuhan toluena

Sebanyak 200 mL toluen dan 2 mL air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 mL.

b. Penetapan kadar air simplisia

Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu yang berisi toluena jenuh tersebut, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (v/b) (WHO, 1998).

3.6.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL air - kloroform (2,5 mL kloroform dalam air suling sampai 1 L) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama,


(56)

38

kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 mL filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar

dalampersen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.6.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 mL filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam

persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.6.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC selama 3

jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.6.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 mL asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan, kemudian didinginkan


(57)

39

dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.7 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak dilakukan secara maserasi dengan pelarut etanol 96%, sebanyak 300 gram serbuk simplisia buah andaliman dimasukkan ke dalam bejana tertutup, ditambahkan 2250 mL etanol 96%, lalu bejana ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk. Setelah 5 hari maserat disaring. Ampas dicuci dengan pelarut etanol 96% secukupnya hingga diperoleh 3000 mL, lalu dipindahkan dalam bejana tertutup dan dibiarkkan ditempat sejuk terlindung dari cahaya selama 2 hari, kemudian dienaptuangkan dan disaring (Depkes RI, 1979).

Maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan rotary evaporator pada temperatur tidak lebih dari 50oC sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak yang

diperoleh 54,575 gram. Bagan ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 17 , halaman 84.

3.8 Sterilisasi Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas sitotoksik ini, disterilkan

terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas dan plastik yang akan digunakan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit (Lay, 1994).

3.9 Pembuatan Media

3.9.1 Pembuatan media Roswell Park Memorial Institute (RPMI)

Komposisi: RPMI sachet, spesifikasi: GIBCO Lot No. 921956, dengan L- glutamine tanpa NaHCO3, netto 10,4 gram


(58)

40

Hepes 2 gram

NaHCO3 2 gram

HCl 1N secukupnya

NaOH 1N secukupnya

Aquabides steril ad 1 liter Cara Pembuatan:

Sebanyak 1 sachet RPMI, 2 gram Hepes dan 2 gram NaHCO3 dimasukkan

ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 800 mL aquabides steril, dihomogenkan dengan menggunakan stirer magnet, kemudian pH diukur dengan pH meter (pH yang diiinginkan adalah 7,2 - 7,4); karena terlalu basa maka digunakan HCl 1N untuk menyesuaikan pH. Kemudian ditambahkan aquabides steril sampai 1 L, dilakukan sterilisasi dengan filter vaccum didalam LAF (Laminar Air Flow), dipasang filter aparatus steril pada botol duran 1 L steril, lakukan proses penyaringan dengan filter, aliquot media ditampung dalam botol duran 500 mL, diberi identitas pada botol media (nama media, tanggal pembuatan, expire datedan nama pembuat), dan disimpan pada suhu 2 - 8oC (Sambrook, dkk., 1989).

3.9.2 Pembuatan media kultur lengkap (MK-RPMI)

Komposisi: Fetal Bovine Serum (FBS) 10%

Penisilin-Streptomisin 2%

Fungizon (Amfoterisin B) 0,5%

RPMI ad 100 mL

Cara Pembuatan:

Campur semua bahan di atas, dan dilakukan di dalam LAF (Laminar Air

Flow), beri identitas pada botol MK (nama media, tanggal pembuatan, expire date


(59)

41

3.9.3 Pembuatan media M199

Komposisi: M199 sachet, spesifikasi GIBCO Lot No. 819942, dengan Earle’s salt, dengan L-glutamine, tanpa NaHCO3, netto 9,5 gram

Aquabides 1 liter

NaHCO3 2,2 gram

Hepes 2 gram

HCl 1 N

NaOH 1 N

Cara Pembuatan:

Sebanyak 1 sachet M199, 2,2 gram NaHCO3, 2 gram Hepes dimasukkan

ke dalam tabung erlenmeyer. Ditambahkan 800 mL aquabides steril dan di homogenkan menggunakan stirer magnet. Diatur pH 7,2-7,4 dengan menggunakan pH meter. Karena terlalu asam maka digunakan NaOH 1 N untuk menyesuaikan pH. Ditambahkan aquabidest hingga volume 1 L dan dilakukan sterilisasi dengan filter vaccum di dalam LAF (Laminar Air Flow). Dipasang filter

aparatus steril pada botol duran 1 L steril. Lakukan proses penyaringan dengan

menggunakan filter, aliquot media ditampung dalam botol duran 500 mL, diberi identitas pada botol media (nama media, tanggal pembuatan, expire date dan nama pembuat). Media disimpan pada suhu 2 - 8oC (Handayani, dkk., 2001).

3.9.4 Pembuatan MK-M199

Komposisi : Foetal Bovine Serum (FBS) 10% Penisilin-streptomisin 3% Fungizon (Amfoterisin B) 1%.


(60)

42 Cara Pembuatan :

Campur semua bahan di atas, dan dilakukan di dalam LAF (Laminar Air

Flow), diberi identitas pada botol MK (nama media, tanggal pembuatan, expire date dan nama pembuat), simpan pada suhu 2 - 8oC (Handayani, dkk., 2001).

3.10 Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Buah Andaliman (EEBA)

Pengujian efek sitotoksik EEBA terhadap sel kanker serviks dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, D.I. Yogyakarta pada tanggal 13 hingga 24 Oktober 2014. Pengujian efek sitotoksik ini meliputi pembuatan media RPMI, pembuatan media kultur lengkap (MK), penumbuhan sel HeLa dan sel Vero, pembuatan larutan uji EEBA, dan uji sitotoksik EEBA terhadap sel HeLa dan sel Vero dengan menggunakan metode MTT.

3.11 Penumbuhan Sel

3.11.1 Penumbuhan sel HeLa

Dipersiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, diambil 10 mL media RPMI pada tabung konikel, diambil ampul dari freezer -80oC atau

tangki nitrogen dan cairkan pada suhu kamar, diambil suspensi sel dalam ampul, dimasukkan tetes demi tetes kedalam media RPMI yang telah disiapkan, disentrifuge pada 600 rpm selama 5 menit, dibuang supernatan dan tambahkan 4 mL MK RPMI dan resuspensi hingga homogen. Ditransfer masing-masing 2 mL ke dalam flask kultur baru. Ditambahkan 5 mL MK ke dalam masing-masingflask kultur dan dihomogenkan. Dimati kondisi sel dengan menggunakan mikroskop


(61)

43

menggerombol pada bagian tertentu). Diberi identitas pada flask kultur, kemudian simpan dalam inkubator CO2 (Doyle, dkk., 2000).

3.11.2 Penumbuhan sel Vero

Dipersiapkan alat dan dikondisikan bahan pada suhu ruangan. Seluruh pekerjaan dilakukan di dalam LAF. Aliquot 10 mL media M199 dimasukkan ke dalam tabung konikel 15 mL, kemudian ampul yang berisi sel biakan diambil dari

freezer -80oC atau tangki nitrogen dan cairkan pada suhu kamar. Suspensi sel

dalam ampul diambil, lalu dimasukkan tetes demi tetes kedalam media M199 yang telah disiapkan, disentrifuge pada 600 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang lalu tambahkan 4 mL MK-M199 dan resuspensi hingga homogen. Ditransfer masing-masing 2 mL ke dalam flask kultur baru. Ditambahkan 5 mL MK ke dalam masing-masing flask kultur dan dihomogenkan. Diamati kondisi sel dengan menggunakan mikroskop inverted. Pastikan sel homogen pada seluruh permukaan flask kultur (tidak menggerombol pada bagian tertentu). Diberi identitas pada flask kultur, kemudian simpan dalam inkubator CO2 5% (Doyle,

dkk., 2000).

3.12 Subkultur Sel

3.12.1 Subkultur sel HeLa

Dipersiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, dilakukan pengerjaan pada LAF. Dilakukan proses panen sel dengan cara mengambil 500 µ L panenan sel dan masukkan ke dalam flask kultur. Ditambahkan 6 mL MK-RPMI, homogenkan. Inkubasi sel pada inkubator CO2, diamati kondisi sel pada


(62)

44

3.12.2 Subkultur sel Vero

Dipersiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, dilakukan pengerjaan pada LAF. Dilakukan proses panen sel dengan cara mengambil 500 µ L panenan sel dan masukkan ke dalam flask kultur. Ditambahkan 6 mL MK-M199, homogenkan. Inkubasi sel pada inkubator CO25%, diamati kondisi sel

pada keesokan harinya (Doyle, dkk., 2000).

3.13 Panen Sel

3.13.1 Panen sel HeLa

Dipersiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, diamati kondisi sel. Panen dilakukan apabila sel telah dalam kondisi 80% konfluen, semua pekerjaan dilakukan pada ruangan dengan LAF. Dibuang MK-RPMI dari flask dengan mikropipet atau pipet pasteur, dicuci sel 2 kali dengan 5 mL PBS (Phosphate Buffer Saline), ditambahkan 400 µL tripsin - EDTA 0,25% secara merata, kemudian diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama ± 5 menit dan

ditambahkan 4 mL MK untuk menginaktifkan tripsin. Diresuspensi sel dengan mikropipet agar sel terlepas satu-satu (tidak menggerombol). Diamati keadaan sel di mikroskop inverted. Resuspensi sel kembali jika masih ada sel yang menggerombol. Ditransfer sel ke dalam tabung konikel (Doyke, dkk., 2000).

3.13.2 Panen sel Vero

Dipersiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, diamati kondisi sel. Panen dilakukan apabila sel telah dalam kondisi 80% konfluen, semua pekerjaan dilakukan pada ruangan dengan LAF. Dibuang MK-M199 dari flask dengan mikropipet atau pipet pasteur, dicuci sel 2 kali dengan 5 mL PBS (Phosphate Buffer Saline), ditambahkan 400 µ L tripsin - EDTA 0,25% secara


(1)

93 Lampiran 26. Bagan Pembuatan Larutan Uji

ditimbang sebanyak 50 mg dimasukkan ke dalam polytube dilarutkan dalam 500 µ L DMSO di vortex

dibuat pengenceran sampai diperoleh

konsentrasi 1000µg/mL; 500 µg/mL; 250 µ g/mL; 125 µg/mL;62,5 µ g/mL;31,25 µg/mL dan 15,625 µg/mL

Ekstrak Etanol


(2)

94 Lampiran 27. Bagan Pengujian Sitotoksik

ditanam pada microplate 96 sumuran dengan kepadatan 1 x 104

diinkubasi selama 24 jam dibuang medium

ditambahkan medium baru ditambahkan larutan uji diinkubasi selama 24 jam

dibuang media dan larutan uji setelah 24 jam dicuci dengan PBS

ditambahkan 100 µ L MK dan 10 µ L MTT (5 mg/mL) diinkubasi selama 4-6 jam

ditambahkan SDS (sebagai stopper) dibungkus dengan aluminium foil dibiarkan selama 1 malam

dibaca serapan dengan ELISA reader pada λ 595 nm

dihitung % sel hidup

dihitung IC50 dengan analisa probit menggunakan

SPSS 19 Sel HeLa dan Sel Vero

Absorbansi


(3)

95

Lampiran 28. Gambar Sel HeLa dan Sel Vero yang telah konfluen (dilihat di bawah mikroskop inverted dengan perbesaran 10x10)

Sel HeLa


(4)

96

Lampiran 29. Gambar Sel HeLa dan Sel Vero dalam kamar hitung (dilihat di bawah mikroskop inverted dengan perbesaran 10x10)

Sel HeLa


(5)

97

Lampiran 30. Gambar morfologi sel kanker serviks HeLa dan Vero (dilihat dengan mikroskop inverted dengan perbesaran 10x10) setelah pemberian ekstrak dari konsentrasi tertinggi hingga terendah Morfologi sel kanker serviks HeLa (dilihat dengan mikroskop inverted dengan perbesaran 10x10)

Konsentrasi ekstrak 500 µg/mL Konsentrasi ekstrak 250 µ g/mL

Morfologi sel kanker serviks Vero (dilihat dengan mikroskop inverted dengan perbesaran 10x10)


(6)

98

Lampiran 31. Gambar Laminar air flow, Mikroskop Inverted, ELISA Reader dan Inkubator CO2 5%

Laminar air flow Mikroskop Inverted