BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Penelitian Terdahulu - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Audience Terhadap Product/Brand Placement dalam Acara Televisi (Studi Kasus Pemirsa Bukan Empat Mata di Kota Medan)

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Penelitian Terdahulu

  Penelitian tentang sikap audience terhadap product placement adalah Maerasoh (2007) dengan judul Analisis Pengaruh Brand Familiarity, Star

  Linking/Endorser , Program Involvement terhadap Sikap atas product Placement

  (Studi kasus Product Placement Yamaha dalam Acara Bukan Empat Mata). Objek penelitian ini adalah product placement dalam acara Bukan Empat Mata.

  Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada 102 responden mahasiswa FEUI. Penelitian ini dibatasi hanya untuk mengetahui sikap responden terhadap product placement dan mengetahui pengaruh variabel-variabel independen yaitu Brand Familiarity, Star Linking/Endorser dan Program

  

Involvement terhadap Sikap atas product placement. Dengan metode penarikan

  sampel Convenience Sampling maka sampel yang digunakan berjumlah 102 orang responden. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hanya factor endorser, dan

  

brand familiarity yang secara signifikan berpengaruh terhadap sikap atas product

  , sedangkan program involvement tidak berpengaruh terhadap sikap atas

  placement product placement .

  Rumambi (2008) dengan judul ” Faktor yang mempengaruhi Sikap terhadap Product/ Brand Placement dalam Acara TV (Studi kasus

  Audience

  Indonesian Idol 2007 & Mamamia Show 2007). Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pemirsa televisi yang pernah menonton acara Indonesian Idol 2007 (RCTI) dan Mamamia Show 2007 (Indosiar) yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya (JABODETABEK). Dengan metode penarikan sampel maka sampel yang digunakan berjumlah 115 orang.

  Convenience Sampling

  Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengetahui faktor yang mempengaruhi sikap audience terhadap product placement. Metode analisis data dengan menggunakan metode Analisis Faktor Utama (Principal Component

  

Factor Analysis ) maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah

  dihasilkan lima faktor (attention, acceptance, reference, ethics and regulation dan

  

interest ) yang tersusun, tiga diantaranya (attention, acceptance, ethics and

regulation ) lebih berpengaruh dibandingkan dua faktor lainnya (interest dan

  ).

  reference

  Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Kuntarto (2007) dengan judul Analisis Sikap Audience Remaja Terhadap Product Placement Dalam Film (Studi Kasus Film Fantastic Four: Rise of The Silver Surfer). Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berdomisili di Jakarta dan Sekitarnya yang pernah menonton film Fantastic Four: Rise of The Silver Surfer di bioskop. Penarikan Sampel dengan menggunakan metode Convenience Sampling, maka sampel yang digunakan berjumlah 201 orang. Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan Analisis Faktor Utama (Principal Component Factor Analysis) untuk variable laten yaitu acceptance, reference, ethic and regulation, dan Movie

  . Kesimpulannya bahwa responden secara umum menunjukkan sikap

  Enjoyment

  yang positif terhadap product placement dalam film. Responden juga menunjukkan sikap yang positif terhadap seluruh variabel attention dan

  acceptance, netral terhadap seluruh variabel reference, dan hanya negatif untuk variabel ethic and regulation.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Product /Brand Placement

2.2.1.1. Latar Belakang Perkembangan Product/Brand Placement

  Dalam dunia pemasaran, product/brand placement bukan suatu hal yang asing. Di Amerika, product placement mulai dipraktekkan seabad lalu. Kala itu, hiburan yang paling populer adalah opera sabun radio. Kegiatan broadcast ini disebut opera sabun dikarenakan seringnya braadcaster menyebutkan berbagai produk sabun dalam alur cerita sebagai imbalan dukungan finansial dan sponsor yaitu perusahaan pembersih rumah tangga, salah satunya Procter and Gamble.

  Pelopor dari product/brand placement itu sendiri adalah Lumiere bersaudara. Pada tahun 1980, ketika film pertamanya dirilis, Lumiere Bersaudara menggabungkan “Lever Sunlight Soap” ke dalam filmnya karena dilatarbelakangi adanya hubungan bisnis yang kuat dengan Lever publicist (Balasubramanian, 2006). Walaupun product/brand placement sudah dikenal sejak dahulu menjadi bagian dari entertainment, namun product/brand placement belum menjadi bagian yang penting dan strategi pemasaran hingga tahun 1980-an.

  Pada awalnya, kegiatan placement ini berbentuk informal dan dimaksudkan untuk menghemat pengeluaran suatu film dengan melakukan perjanjian barter agar mendapatkan properti untuk film secara cuma-cuma (DeLornme, 1998). Baru kemudian pada pertengahan 1970, konsep brand

  

management tentang penerapan brand placement dan product placement

  diformulasikan. Pada waktu itulah placement mulai bisa diterima oleh industri hiburan dan perusahaan-perusahaan di Amerika, dan perusahaan-perusahaan tersebut mulai membayar untuk dapat menampilkan produknya di film atau televisi.

  Ketertarikan terhadap product/brand placement dimulai pada tahun 1982, ketika Hersey Food Corporation mencapai kesuksesan dalam menempatkan produknya pada film E.T, Extra-Terrestial (Nebehnzahl dan Secunda, 1993). Kesuksesan ini dibuktikan dengan penjualan permen Reese Pieces yang meningkat sebesar 65% setelah 3 bulan film E.T dirilis. (Karrh, 1998).

  Disebabkan oleh kesuksesan E.T tersebut. pada tahun 1983, 20th Century Fox menjadi pionir Hollywood yang secara terorganisir dan terbuka menawarkan kepada perusahaan sebuah display yang spesifik untuk menempatkan brand produknya dalam film. (Karrh, 1998).

  Seperti di dalam film. penggunaan produk film dalam program tv diinspirasi oleh satu momen yang signifikan. Dalam sebuah episode Survivor

  2000, sebuah reality show yang populer kala itu memberikan hadiah kepada

  peserta berupa sebuah tas dari Doritos and a Mountain Dew. Episode ini sukses meningkatkan penjualan Doritos and Mountain Dew. Sejak itu, product/brand menjadi bagian yang penting untuk hadiah pemenang dalam setiap

  placement

  acara reality show, seperti The Apprentice, America’s Next Top Model, Top Chef, Project Runway (d'Astous, dan Nathalie Seguin, 2007). Di Indonesia sendiri, banyak ditemui dalam program reality show, seperti Bukan

  product placement Empat Mata. Ceriwis. Bedah Rumah, dan lain-lain.

2.2.1.2. Definisi Product/brand Placement

  Dalam berbagai sumber yang ditemukan oleh penulis, product placement merupakan istilah yang sama dengan brand placement dalam literatur pemasaran dan periklanan (Karrh, 1998). Maka dari itu, dalam bagian ini penulis akan memperlakukan sama untuk kedua istilah tersebut.

  Product placement memiliki beberapa definisi. Karrh (1998:31)

  mendefinisikan product placement sebagai “the paid inclusion of branded

  

products or brand idenfiers, through audio and/or visual means, within mass

media programming”. Sedangkan George E. Belch dan Michael A. Belch

  mendefinisikan product placement sebagai a form of advertising and promotion

  

which products are placed in television shows and/or movies to gain exposure

  (Belch. 2004:245). Balasubramanian (1994) mendefinisikan product/brand sebagai “paid product message aimed at influencing movies or

  placement

television audiences via the palnned and unobtrusive entry of a branded product

  ”. Russel (1998) mendefinisikan product/brand

  into a movie or television program placement sebagai “a promotional tactic where a real commercial product is used

in fictional or non-fictional media in order to increase consumer interest in the

. product”

  Karrh (1998) mengemukakan bahwa terdapat lebih dan satu cara untuk dapat menampilkan suatu brand dalam suatu format entertainment. Cara-cara tersebut bisa melalui bentuk audio maupun visual dan tidak selalu ditampilkan melalui media film atau televisi saja, tetapi juga bisa melalui media novel, musik dan video game. Friedman (1986, dalam Nappolini, 2008) menemukan bahwa terjadi peningkatan brand name appearances sebesar 500% di dalam media novel diantara tahun 1940-1970 dan Englis, et all (1993, dalam Nappolini. 2008) menemukan bahwa 39% dari music videos di Amerika Serikat mengandung paling tidak satu penempatan brand placement didalamnya.

  Dari definisi dan penjelasan yang diungkapkan di atas, maka bisa dibuat kesimpulan bahwa product/brand placement merupakan suatu bentuk iklan dan atau promosi yang dilakukan oleh pihak sponsor atau pihak yang berkepentingan dengan cara menempatkan nama produk atau brand pada suatu media massa seperti acara televisi, film, video music, novel, video game. dan lain sebagainya agar produk atau brand tersebut dapat terekspos. digunakan untuk meningkatkan pengetahuan

  Product/brand placement

  akan merek (brand knowledge) diantara konsumen dalam setiap media beriklan yang digunakan (Panda, 2004:9). Disebutkan juga bahwa keunikan sebuah medium dapat dilihat dari proses menampilkan dan mengharmonisasikan/ menyesuaikan keberadaan merek atau produk di dalam suatu cerita atau media yang digunakan. Tidak ada kompetisi exposure dalam medium dan waktu yang sama, sehingga sangat berbeda dengan beriklan melalui televisi dan koran.

  Kondisi ini menjadi sangat penting karena dapat memperdalam tingkatan brand knowledge (Panda, 2004:9). Meningkatnya strategi product/brand placement mengindikasikan bahwa pengiklan menggunakan teknik ini untuk mempengaruhi konsumen (Avery ; Ferraro, di dalam Panda, 2004, 10). D’astous &

  brand attitude

  Seguin (di dalam Panda, 2004 : 11) mendefinisikan product placement dalam tiga jenis, yaitu: (a)

  Implicit Product Placement

  Jenis ini disebut implisit karena merek, perusahaan atau produk ditampilkan dalam program/media tanpa ditekankan secara formal, dimana logo, nama merek/perusahaan muncul tanpa menampilkan product benefit (D’astous & Seguin, di dalam Panda, 2004 : 11).

  (b) Integrated Explicit Product Placement Jenis product placement ini berupaya mengintegrasikan secara eksplisit dimana merek atau nama perusahaan secara formal disebutkan dan memainkan peran aktif, serta atribut dan manfaat produk juga secara jelas ditampilkan (D’astous & Seguin, di dalam Panda, 2004 : 11).

  (c) Non-Integrated Explicit Product Placement Jenis product placement ini menampilkan merek/perusahaan secara formal tapi tidak terintegrasi dalam isi program/media, umumnya ditampilkan di awal, di akhir atau dalam program title (D’astous & Seguin, di dalam Panda, 2004 : 11).

  Russel (di dalam Panda, 2004, 11–12) membedakan product placement dalam tiga dimensi, yaitu visual, auditory & plot connection. Dimensi visual terlihat pada munculnya merek/produk pada tampilan layar yang juga bisa disebut sebagai screen placement. Dimensi auditory adalah pada saat merek/produk disebutkan dalam dialog yang juga bisa disebut sebagai script placement. Dimensi

  plot connection sebagai dimensi ketiga digambarkan dengan seberapa

  merek/produk tersebut terintegrasi dalam cerita/story line. Konsep Russel sebenarnya sama dengan Cristel (di dalam Ming et al, 2007) yang menyebutkan bahwa product/brand placement terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu screen

  placement, script placement & plot placement .

2.2.1.3. Tujuan Product/brand Placement

  Tujuan digunakannya product/brand placement dalam mempromosikan suatu brand tidak terlepas dan permasalahan yang dialami oleh iklan televisi saat ini. Format iklan televisi yang ada saat ini, yaitu muncul di sela-sela suatu acara televisi, dirasakan menganggu kenikmatan audience yang sedang asyik-asyiknya menonton acara televisi tersebut, karena itu iklan tersebut cenderung tidak disukai dan dihindari oleh audience televisi (Argan, 2004). Jika hal tersebut ditambah dengan begitu banyaknya jumlah iklan yang ditayangkan pada setiap kali break iklan pada suatu program, maka wajar saja jika iklan televisi saat ini semakin kehilangan efektifitasnya. Oleh karena itu banyak perusahaan pengiklan mulai menggunakan product/brand placement. Placements memberi pemasar cara-cara alternatif untuk mengekpos produknya melalui suatu medium dimana audience- nya cenderung mau menerimanya. Metode ini dianggap lebih baik karena selain tidak menganggu program televisi yang ada, keberadaan suatu brand menjadi lebih dapat diterima karena dirasakan merupakan bagian yang wajar dalam adegan program televisi tersebut.

  Seperti halnya metode promosi lainnya. Product/brand placement juga bertujuan mempengaruhi audience-nya. Product/brand placement diterapkan dalam suatu adegan film untuk menambah kesan nyata film tersebut bagi para penontonnya, namun dan sudut pandang para praktisi product/brand placement, pengaruh yang ingin ditimbulkan berupa meningkatnya awareness dan keinginan untuk membeli brand yang ditampilkan tersebut (Gupta, 1997).

2.2.1.4. Media Product/Brand Placement

  Media untuk menerapkan product/brand placement terdiri dan berbagai macam:

  1. Film.

  Menurut d’Astous dan Chartier (2002 : 83), ada tiga alasan mengapa para pemasar ingin menerapkan product/brand placement di film-film: a. Menonton sebuah film menyita perhatian yang tinggi dan rnelibatkan aktivitas. Menampilkan product/brand placement dalam sebuah film kepada penonton yang sangat memperhatikannya dapat menghasilkan brand awareness yang sangat tinggi.

  b. Film-film yang sukses dapat menarik penonton dalam jumlah yang besar.

  Sebagai contoh. Terminator II selama pemutarannya di bioskop saja telah disaksikan oleh jutaan orang, dan ini belum termasuk pembelian dan penyewaan videonya, dan pemutarannya di televisi selama bertahun-tahun setelahnya. Karena itu, bila dilihat dan cost per viewer, product/brand dalam sebuah film akan sangat menguntungkan.

  placement

  c. Product/brand placement merepresentasikan cara mempromosikan sebuah yang alami, tidak agresif, dan tidak persuasif. Audience tereskpos

  brand

  terhadap sebuah brand dengan cara yang sealami mungkin yaitu dengan melihat bagaimana produk tersebut terlihat, disebutkan ataupun dipakai oleh sang aktor/aktris, tanpa adanya bujukan untuk memakai produk tersebut.

  Strategi product/brand placement dalam sebuah film dapat dikategorikan menjadi tiga model (Gupta and Lord, 1998 : 23):

  a. Visual only, Dengan menempatkan produk, logo, billboard, atau ciri khas visual brand lainnya, tanpa disertai dengan pesan atau suara (Smith, 1985).

  Dimana brand tidak ditampilkan tetapi disebutkan oleh aktor/aktris

  b. Audio only, dalam dialog di suatu film (Russell, 2002 : 54).

  Strategi ini menampilkan kombinasi dan kedua

  c. Combine audio—visual, strategi sebelumnya.

  2. Program Televisi (Villafranco and Zeltzer, 2006). kini juga sering kali dapat kita lihat di acara-

  Product/brand placement

  acara televisi. Di Amerika, kisah sukses Survivor di tahun 2000, dimana jutaan permisa melihat bagaimana para kontestan Survivor yang kehausan dan kelaparan memperoleh hadiah seperti Doritos dan Mountain Dew, membuat para pengiklan mengantri untuk menjadi sponsor reality show berikutnya (Hollywood Reporter.com. 2005). Reality show seperti The Apprentice memperbesar kesempatan untuk brand placement karena jalan cerita dan format mereka yang sangat tergantung pada brand dan sponsor (Atkinson, 2004 : 67). Di Indonesia, contoh nyata terlihat pada program Bedah Rumah yang memang harus menggunakan bahan-bahan bangunan dan furniture dalam menjalankan misinya. Tidak jarang produk-produk tersebut mendapat sorotan khusus dalam penggunaannya.

  Product/brand placement juga sering terlihat dalam program-program

  televisi seperti Ceriwis dan Bukan Empat Mata. Pada kedua acara

  Talk show

  tersebut tidak jarang bintang tamu yang ditampilkan akan membahas mengenai produk-produk yang mendukung status keartisan mereka seperti produk-produk perawatan kesehatan, kecantikan, dan lain-lain. Khusus program Bukan Empat Mata, product/brand placement juga sering kali dilakukan dengan meletakkan suatu produk diatas meja, menempelkan stiker produk pada laptop dan mengambil gambar para penonton di studio yang mengenakan kaos bertuliskan nama produk tertentu, yang di setiap episodenya hampir selalu menampilkan produk yang berbeda-beda. Penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana pengaruh brand

  

awareness dan sikap konsumen terhadap efektifitas iklan dan produk-produk yang

ditempatkan dalam program Bukan Empat Mata.

  3. Video Games (Moser, Bryant. and Sylvester. 2003).

  Anak-anak, remaja, dan bahkan dewasa, banyak yang menyukai bermain sebagai hiburan. Beberapa diantara mereka bahkan tidak bisa lepas

  video game

  dan permainan dunia maya ini sehari saja. Hal ini tentu sangat menarik bagi para pemasar yang ingin mempromosikan produknya melalui video game.

  Perkembangan dunia video game juga sangat mendukung bagi product/brand

  

placement. Permainan yang semakin hari semakin tampak nyata dapat digunakan

  untuk menempatkan produk nyata dalam permainan tersebut. Kini para pengemar

  

video game dapat merasakan bagaimana mengemudikan mobil balap merck Ford,

  Chevrolet, Nissan, BMW, dan lainnya dalam permainan balapan, juga terekpos pada berbagai papan iklan di sepanjang lintasan seperti yang ada dibalapan sesungguhnya.

  4. Musik (Gupta and Gould, 1997).

  Product/brand placement juga dapat dilakukan melalui media musik.

  Mulai dari mensponsori pembuatan sebuah album seperti yang dilakukan McDonald untuk grup musik Club Eighties di album baru mereka, hingga menampilkan produk mereka dalam video clip si penyanyi seperti yang dilakukan Olay di video clip Audy yang menampilkan Nindy di tahun 2006.

  5. Novel (Nelson. 2004).

  Novel juga menjadi salah satu media product/brand placement yang menjanjikan. Novel-novel yang menyajikan kisah-kisah fiksi pun sering kali menyebutkan produk-produk tertentu untuk membuat kisahnya semakin nyata.

  6. Radio (Gupta and Gould, 1997).

  Seperti halnya televisi, program-program radio juga sarat dengan

  

product/brand placement. Suatu produk sering kali dikait-kaitkan dengan suatu

tema yang sedang dibahas oleh penyiar.

2.2.1.5. Keunggulan Product/brand Placement

  Pembahasan karakteristik brand/product placement dalam Fill (2006 : 799–800) terbagi atas dua bagian yaitu kelebihan (strengths) dan kekurangan (weakness) dari strategi ini. Kelebihan product/brand placement adalah dengan menampilkan produk tersebut, bukan hanya memungkinkan untuk membangun

  , kredibilitas bisa ditingkatkan secara signifikan serta dapat juga untuk

  awareness

  memperkuat citra merek. Audience dalam hal ini didampingi untuk mengidentifikasi atau menghubungkan dirinya dengan lingkungan yang digambarkan atau dengan selebritis yang menggunakan produknya (Fill, 2006 : 799). Kelebihannya yang lain adalah dapat mengurangi biaya produksi (Alsop, 1988), mencapai audience tertentu/captive audience (Hullin-Salkin, 1989), jangkauan yang lebih luas daripada periklanan tradisional (Loro, 1990), mendemonstrasikan kegunaan produk/merek dalam lingkup yang alami (Loro, 1990), menggambarkan setting yang lebih realistis (Sapolsky & Kinney, 1994) serta menawarkan peluang beriklan bagi produk-produk yang dibatasi media iklannya seperti rokok & alkohol.

  Menurut George Belch dan Michael E. Belch ada Sembilan keuntungan pemakaian product/brand placement yaitu: (1) Exposure, Jumlah penjualan tiket bioskop tiap tahunnya mencapi lebih dan 1.4 milyar tiket. Rata-rata film diperkirakan memiliki life span atau rentang waktu peredaran selama tiga setengah tahun, dengan penonton mencapai 75 juta orang, dan sebagian besar penggemar film adalah audience yang sangat serius ketika sedang menonton film.

  Ketika hal tersebut dikombinasikan dengan meningkatnya rental film dan TV kabel, potensi tereksposnya suatu produk yang ditempaikan dalam scbuah film menjadi sangat besar. Terlebih lagi bentuk exposure ini terbebas dari zapping, setidaknya ketika diputar di bioskop, (2) Frequency, Tergantung pada bagaimana suatu produk digunakan dalam sebuah film atau program televisi, besar kemungkinan terjadinya exposure yang berulang-ulang. bagi mereka yang suka menonton sebuah program atau film lebih dan sekali. Misalnya bagi seorang penonton rutin suatu program yang terkandung placement di dalamnya. penonton tersebut akan mengalami exposure akan suatu produk yang terdapat dalam program tersebut lebih dan sekali atau secara terus-menerus pada setiap episode program tersebut ditayangkan, (3) Support for other media, Bagi klien yang menempatkan produknya pada suatu film, telah menjadi suatu tren untuk mempromosikan produk dan film tersebut secara bersama-sama dalam berbagai media. Dengan demikian ikatan antara produk dan film akan saling memperkuat upaya promosi satu sama lain dan makin diperkuat dengan adanya iklan, (4)

  

Source association, Ketika konsumen melihat selebriti atau artis kesukaan mereka

  menggunakan suatu brand (merek) tertentu, asosiasi yang terbentuk dapat memacu terciptanya product image yang diinginkan bahkan dapat sampai ke tahap penjualan. Pada suatu penelitian terhadap 524 anak dan remaja usia 8 hingga 14 tahun, 75 persen menyatakan bahwa mereka menyadari ketika suatu

  

brand ditempatkan pada suatu acara atau program favorit mereka. Dan 72 persen

  menyatakan bahwa dengan melihat tokoh favorit mereka menggunakan sebuah

  

brand akan membuat mereka ingin membeli brand tersebut. Penelitian lainnya

  terhadap orang dewasa menunjukkan bahwa sepertiga dan penonton menyatakan bahwa mereka mencoba sebuah produk setelah melihatnya di suatu acara televisi atau film, (5) Cost, Biaya penggunaan media ini sangat beragam, mulai dan gratis hingga $ 1 juta per produk. Namun dengan biaya termahal sekalipun perusahaan pengiklan masih tetap mengalami keuntungan oleh karena tingginya tingkat yang dihasilkan, (6) Recall, Sejumlah lembaga telah melakukan

  exposure

  pengukuran recall product placement terhadap audience di hari berikutnya dengan rata-rata 38 persen audience-nya masih ingat akan brand yang dimunculkan.

  Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penampilan placement yang baik akan menghasilkan recall yang kuat (Gupta and Lord, 1998), (7) Bypassing Di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, beberapa produk

  regulations, tidak diijinkan untuk beriklan di televisi atau terhadap segmen pasar tertentu.

  Namun melalui product placement, beberapa produk tersebut seperti minuman keras dan rokok rnasih dapat ditampilkan, (8) Acceptance, Sebuah penelitian mengindikasikan bahwa penonton dapat menerima product placement dan secara umum menilainya secara positif, walaupun untuk beberapa produk seperti alkohol. senjata api dan rokok kurang dapat diterima, (9) Targeting, Isi atau produk yang ditempatkan dalam suatu product placement dapat secara efektif menjangkau konsumen potensial tertentu yang memiliki minat yang tinggi pada suatu subjek tertentu (misalnya fashion, sepakbola).

  Menurut Entertainment Resources and Marketing Association (ERMA),

  

product placement memiliki enam keunggulan utama (Terry, 2001) yaitu: (1) No

Mute Button, Tidak seperti iklan televisi yang tampil diantara suatu program tertentu, product placement berada dalam film itu sendiri, dan perhatian audience tertuju pada produk tersebut tanpa adanya pengaruh untuk membeli, (2) Implied

  

Endorsement, Penerapan product placement menjadi endorsement gratis yang

  dialami suatu brand dan bintang film atau televisi ataupun dan program yang menggunakan brand, (3) Low Cost, Biaya menggunakan product placement pada dasarnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan bentuk kegiatan above atau lainnya. Cost per thousand product placement terhadap iklan

  below the line

  televisi ataupun iklan cetak adalah seperti sen berbanding dollar, (4) Less

  

Obtrusive, Tidak seperti iklan, product placement tidak mengganggu jalannya

  cerita atau isi dan suatu program acara, (5) high Profile, Kampanye pemasaran sering kali mempromosikan suatu acara sehingga dapat meraih perhatian penonton sebelum acara tersebut diluncurkan. Tingkat perhatian yang dimiliki penonton terhadap acara tersebut pada akhirnya akan beralih kepada brand yang tampil pada acara tersebut, (6) Far Reach (life and global,. Besarnya tingkat pencapaian yang dialami product placement dipengaruh i oleh terus berkembangnya distribusi film dan program televisi secara global. Saat mi suatu film atau program televisi yang diciptakan di suatu negara sudah dapat disaksikan di belahan dunia lainnya.

  Bahkan untuk film. Siklusnya dapat menjadi sangat panjang, suatu film yang bagus akan terus diulang-ulang bahkan hingga puluhan tahun.

  Beberapa keuntungan lain menggunakan product/brand placement adalah: (1) mengurangi biaya produksi film (DeLorme and Reid. 1999), Studio yang menerapkan product placement dapat memotong biaya properti karena tanpa

  product placement, pihak studio harus membeli atau menyewa produk-produk

  (properti) tersebut, (2) agar suatu acara dapat terlihat nyata. actor atau aktris perlu menggunakan produk-produk yang digunakan oleh konsumen sehari-hari (Standberg, 2001). Penggunaan produk palsu dalam film akan dapat merusak kenyataan yang coba digambarkan dalam film tersebut.

2.2.1.6. Kekurangan Product/brand Placement

  Fill (2006 : 800) menyebutkan bahwa dengan menempatkan/melakukan

  

placement di dalam film bukan berarti tidak ada resiko bahwa produk tersebut

  tidak akan terlihat (unnoticed), khususnya dalam kondisi ini apabila placement dilakukan pada adegan yang mengganggu/tidak menyenangkan (distracting).

  Selain itu yang juga berhubungan dengan kondisi ini, adalah tidak adanya kendali (lack of control) dari pengiklan atas kapan, dimana dan bagaimana produk tersebut akan ditampilkan. Saat produk itu muncul dan diperhatikan, sejumlah kecil/minoritas audience menyatakan bahwa bentuk komunikasi ini tidak etis (unethical), bahkan juga pernah disebut bahwa ini adalah bentuk subliminal

  advertising dimana bentuk ini disebut ilegal. Absolute cost dari product placement

  dalam film bisa menjadi sangat tinggi apabila dihubungkan dengan low relative

  

cost atau cost per contact. Hal lain juga menyebutkan bahwa kelemahan terkait

  dengan mediumnya adalah ketidakmampuan untuk menyediakan penjelasan, detil atau informasi penting (substantive information) tentang produk tersebut. Produk itu terlihat saat digunakan dan diharapkan dapat dihubungkan dengan kegiatan, individu atau obyek yang akan menyediakan source of pleasure, inspirasi atau aspirasi untuk individual viewer (Fill, 2006 : 800).

  George Belch dan Michael E. Belch juga menjelaskan beberapa kekurangan product/brand placement yaitu: (1) high absolute cost, meningkatnya permintaan akan product/brand placement akan dibarengi dengan meningkatnya perhatian dan pihak studio untuk melakukan cross-promotions, yang juga menggiring cost menjadi lebih tinggi, (2) time of exposure, walaupun produk- produk yang ditampilkan melalui product/brand placement akan mendapatkan pengaruh yang kuat, namun tidak ada jaminan viewers akan sadar atau perhatian atas kehadiran produk-produk yang ditampilkan. Ketika produk yang ada tidak diperlihatkan secara menyolok, para pengiklan akan menghadapi resiko produk- produknya tidak akan dilihat atau terlihat oleh viewers, (3) Limited appeal, kesan yang dapat disampaikan menjadi terbatas. Kemungkinan untuk membahas kegunaan atau menyajikan informasi produk secara detail sangat kecil. Fleksibilitas dalam mendemonstrasikan produk kecil karena penggunaan produk yang bersangkutan disesuaikan dengan kegunaannya dalam media (program TV atau film, (4) lack of control, dalam banyak film, para pengiklan tidak dapat menentukan kapan dan seberapa sering produknya akan ditampilkan. Banyak diantara perusahaan menemukan bahwa placement yang mereka pasang dalam film tidak bekerja sesuai seperti yang diharapkan, (5) public reaction, banyak penonton televisi dan penggemar film menjadi marah akan ide penempatkan suatu iklan dalam suatu program maupun film. Jika placement terlalu mengganggu atau mencolok, akan menimbulkan sikap yang negatif kepada brand dan para penonton maupun penggemar film, (6) competition, meningkatnya product placement membawa kepada peningkatan kompetisi untuk dapat menempatkan produk melalui placement. Hal ini akan berdampak pada peningkatan demand dan cost

  (7) negative placements, beberapa produk dapat tampil dalam

  product placement,

  suatu adegan film yang tidak disukai oleh audience atau dalam suatu adegan yang dapat menimbulkan suasana hati (mood) menjadi negatif. Misalnya saja suatu produk tampil atau terlihat dalam adegan pembunuhan dalam suatu film, hal ini akan menimbulkan citra negatif pada produk tersebut, (8) clutter, perkembangan yang pesat pada product placement berdampak pada membanjirnya jumlah

  

placement dan penggabungan dan beberapa placement menjadi satu dalam suatu

  program TV atau film. Seperti advertising, terlalu banyaknya placements dan penggabungan akan menimbulkan kekusutan (clutter) dan mengurangi efektifitas dari placement.

2.2.1.7. Product/brand Placement dalam Film dan Acara TV di Indonesia

  Fill (2006) menyebutkan salah satu cara untuk mengurangi faktor gangguan oleh karena adanya iklan sebelum sebuah film diputar di bioskop adalah dengan menggabungkan produk yang ingin diiklankan tersebut bersamaan dengan film yang akan diputar atau dengan kata lain dengan menggunakan strategi

  

product/brand placement. Sejarah product placement (brand placement) dalam

  film sendiri dimulai lebih dari seabad yang lalu di Amerika Serikat. Pelopornya adalah Lumiere bersaudara yang menampilkan produk bermerek Lever Bros (sekarang dikenal dengan Unilever) pada film-film bisu di tahun 1890-an. (Villafranco dan Zeltzer, 2006). Namun ketertarikan terhadap product/brand

  

placement dimulai pada tahun 1982, ketika Hersey Food Corporation mencapai

kesuksesan dalam menempatkan produknya pada film E. T. the Extra-Terrestrial.

  Salah satu adegan dalam film tersebut dimana menampilkan penggunaan produk permen Rees’s Pieces oleh aktor utama menghasilkan peningkatan penjualan permen tersebut hingga 65% dalarn tiga bulan setelah film tersebut mulai di tayangkan (Gupta dan Lord. 1998). Product placement saat ini dapat kita lihat marak dilakukan pada film-film di Holywood. Beberapa film tersebut antara lain (Aston Martin, Rolex), dan lain sebagainya.

  Legally Blonde, James Bond

  Dalam Panda (2004) disebutkan bahwa penerapan product/brand

  

placement dalam film agak berbeda dengan acara televisi, yaitu dalam film

  keterlibatan audience lebih tinggi dengan media yang mereka saksikan tersebut dibandingkan berbagai aktivitas yang dilakukan seseorang saat menonton televisi di rumah. Disebutkan juga bahwa tempat/setting dalam kondisi ini dapat memberi pengaruh pada tingkat perhatian audience dalam jangka waktu tertentu (attention

  

span of the audience ), sehingga bisa jadi mengurangi efektivitas secara umum

  untuk melakukan brand retention dengan strategi ini. Selain itu dengan adanya kemungkinan audience mengganti stasiun/channel TV yang lain akan mengurangi perhatiannya pada suatu acara televisi, kondisi ini membuat audience akan menerima berbagai iklan-iklan lain yang dapat menyebabkan media clutter terjadi.

  Penggunaan product/brand placement dalam perfilman nasional baru-baru ini mulai sering muncul sejak penempatannya di film Tusuk Jelangkung (tahun 2001) yang merupakan sekuel film sukses Jelangkung (tahun 1999) yang ditonton 1,6 juta orang. Di film tersebut terlihat beberapa produk atau merek seperti Honda, Samsung dan Berry Juice. Selain Tusuk Jelangkung, film Alexandria (tahun 2005) juga menempatkan cukup banyak produc/brand placement di dalamnya, seperti A Mild. XL Bebas, Dunkin Donuts, Nokia hingga Motorola.

  Masih di tahun yang sama, film Janji Joni juga menampilkan merek Converse pada pakaian serta sepatu perneran utamanya, Nicholas Saputra. Di tahun 2006, film D’Girlz Begins menampilkan produk pembalut wanita merck Softex, yang juga menjadi pembuat film tersebut melalui Softex Heritage Movie. Selain itu, film Denias, Senandung di Atas Awan (tahun 2006) juga menampilkan produk- produk seperti Blaster, Kare dan Formula. Pada tahun 2008, beberapa film Indonesia juga menampilkan product/brand placement, salah satunya adalah film Ayat-Ayat Cinta, salah satu film fenomenal Indonesia yang juga mendapatkan penghargaan dan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai film dengan penonton terbanyak dengan jumlah penonton 3,8juta lebih (situs Media Indonesia, 12/7/2008). Beberapa produk yang tampak dalam film tersebut adalah NU Green Tea, Mie Instan Selera Pedas ABC, Nokia, Apple dan Mercedes Benz.

  Menurut Adiyanto Sumarjono, direktur utama Investasi Film Indonesia, sebuah perusahaan konsorsium pendanaan film di Indonesia. Product/brand bisa menjadi sebuah alternatif beriklan yang jitu. Sebuah film layar

  placement

  lebar akan diputar di bioskop dan memiliki audience yang besar, apalagi jika film tersebut sukses. Selepas di putar di layar lebar, film tersebut memiliki kesempatan untuk ditayangkan di televisi dan kemudian dirilis dalam bentuk VCD dan DVD. Artinya, iklan product/brand placement akan dilihat terus setiap kali filmnya ditonton. Product/brand placement muncul di perfilman nasional karena para pembuat film di negeri ini tidak memiliki banyak dana dalam pembuatan film. Oleh karenanya, kehadiran sponsor melalui product/brand placement dapat menutup biaya produksi dan biaya promosi film yang bersangkutan.

  Pada acara televisi di Indonesia di mulai dengan program reality show yang merupakan suatu ajang pencarian bakat yang diadopsi dari

  Indonesian Idol

  Pop Idol (Inggris) dengan sponsor dari FremantleMedia yang bekerjasama dengan RCTI. Ajang ini merupakan pencarian idola di bidang tarik suara.

  

Indonesian Idol telah menjadi reality show terbesar di Indonesia. Setelah

kemunculan Indonesian Idol, banyak Reality Show lain yang ditayangkan.

  Indonesian Idol juga mendapatkan penghargaan dari Singapore Tourism Board saat kesebelas finalis Indonesian Idol berada di Singapura untuk menjadi pembuka tur dunia American Idol musim ketiga (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesian _Idol). Di Indonesian Idol, kontestan-kontestan yang beruntung akan ditayangkan background kehidupannya sebelum menghadap 4 juri Indonesian Idol. Kontestan yang diperlihatkan background nya biasanya adalah kontestan yang sudah pasti lolos ke babak berikutnya, dan juga kontestan yang dapat memberikan sensasi pada saat audisi. Pada musim pertama, terdapat 32.000 orang yang mendaftar dan audisi Indonesian Idol. Jumlah pun bertambah pada musim kedua, yaitu 37.000 orang. Dan pada musim ketiga, 48.000 orang audisi Indonesian Idol ketiga (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Idol).

  Selain sinetron dangdut, program unik adalah Mamamia. Setelah sukses mengusung program Akademi Fantasi Indosiar (AFI) pada 2004 dengan rating tertinggi di seluruh stasiun televisi (19,0) Indosiar berupaya meraih kembali kesuksesan tersebut dengan menayangkan program sejenis berjudul Mamamia.

  Mamamia adalah program pencarian bakat penyanyi sekaligus manager nya yang diadaptasi dari program Quincianera, salah satu program stasiun televisi berbahasa Spanyol di Amerika. Mamamia memang beda dengan AFI, namun program tersebut cukup unik & menarik. Dibandingkan AFI yang menggunakan SMS sebagai alat memilih penyanyi terbaik, Mamamia menggunakan juri independen atau vote lock yang berjumlah 100 orang untuk menentukan siapa yang terbaik. Di luar juri vote lock program ini juga menggunakan empat juri tetap yang menilai kemampuan suara, gaya & tampilan peserta saat beraksi di atas panggung (www.mamamiashow.com). Berdasarkan data AGB Nielsen Media Research, selama ini yang selalu masuk dalam kategori Top 25 program di seluruh stasiun TV adalah program sinetron. Tetapi, kelaziman itu telah terpatahkan (majalah MIX edisi 08–23 Agustus s/d 20 September 2007). Pada pekan ke-26 (24–30 Juni 2007), Mamamia mampu menempati posisi pertama, dengan rating 8,3 dan share 25,3%. Selain itu Mamamia Superdut program serupa Mamamia dengan genre dangdut yang disusulkan oleh Indosiar ternyata mampu mencetak rating yang tak kalah tingginya (majalah MIX edisi 08–23 Agustus s/d 20 September 2007). Pada periode yang sama Mamamia Superdut mampu menempati posisi kedua dengan perolehan rating 7,6 dan share 22,6%. Gufroni (Manager Humas Indosiar) menyebutkan bahwa Mamamia didominasi oleh penonton remaja dewasa, perempuan dan status sosial ekonomi (SES) A & B.

2.2.2. Teori Sikap

2.2.2.1. Definisi Sikap

  Dalam pemasaran, sikap (attitude) merupakan salah satu topik yang dibahas dalam perilaku konsumen dan sering diteliti. Asumsi yang dipakai oleh pemasar adalah dengan rnengetahui sikap dapat dibuat suatu prediksi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sikap tersebut sehingga sesuai dengan kehendak pemasar.

  Schiffman & Kanuk (2004 : 253) mendefinisikan sikap sebagai “a learned

  

predisposition to respond to an object or class of objects in a consistently

favorable or unfavorable way with respect to a given object”.

  Definisi ini menjelaskan bagian-bagian sikap yang sangat penting dan sangat diperlukan untuk memahami peranan sikap dalam perilaku konsumen, yaitu: a. “objek” sikap.

  Kata objek dalam definisi mengenai sikap yang berorientasi pada konsumen harus ditafsirkan secara luas meliputi konsep yang berhubungan dengan konsumsi atau pemasaran khusus, seperti produk, kategori produk, isu-isu, orang, iklan, situs internet, harga, medium, atau pedagang ritel. Dalam penelitian ini, objek yang akan dipelajari adalah iklan.

  b. Sikap adalah kecenderungan yang dipelajari Hal ini berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku membeli dibentuk sebagai hasil dan pengalaman langsung mengenai objek. Sebagai kecederungan yang dipelajari, sikap mempunyai kualitas memotivasi; yaitu mereka dapat mendorong konsumen ke arah perilaku tertentu atau menarik konsumen dan perilaku tertentu.

  c. Sikap mempunyai konsistensi Biasanya perilaku konsumen akan sesuai dengan sikap mereka. Tetapi bukan berarti sikap harus selalu permanen melainkan sikap dapat berubah.

  d. Sikap terjadi dalam situasi tertentu.

  Berbagai peristiwa atau keadaan pada tahap waktu tertentu. mempengaruhi hubungan antara sikap dan perilaku. Sikap tertentu dapat rnenyebabkan konsumen berperilaku dengan cara yang kelihatannya tidak konsisten dengan perilaku mereka. Misalnya, karena situasi keuangan yang tidak mendukung. seorang konsurnen yang menyukai atau rnempunyai sikap positif terhadap mobil BMW tidak memilih untuk membeli BMW.

  Menurut Wells (1998), sikap dapat bernilai negatif dan positif, yakni merupakan refleksi dan suka (like) atau tidak suka (dislike), berdasarkan pengalaman individu. Jika konsumen mengalami pengalaman buruk dengan produk. sebagus apa pun iklannya, konsumen akan bersikap negatif terhadap pesan yang disampaikan perusahaan.

  Shimp (2000) juga merumuskan sikap sebagai suatu kecederungan positif maupun negatif ataupun penilaian evaluatif seseorang terhadap suatu objek.

  Beranjak dan definisi dasar sikap mereka maka menurut Shimp, ada 3 fitur dan sikap yang menonjol yaitu (1) dapat dipelajari, (2) relatif dapat bertahan lama atau (3) mempengaruhi perilaku. Setelah melihat iklan seseorang

  relatively induring,

  lalu mengekspresikan perasaan dan mengevaluasi. Sikap yang dipelajari tersebut relatif bertahan lama sampai ada alasan kuat untuk mengubahnya. Lebih lanjut diharapkan bahwa penganut sikap ini akan berperilaku konsisten dengan evaluasi yang mereka buat. Deskripsi di atas juga menggambarkan bahwa sikap terdiri dan komponen afektif (perasaan suka terhadap iklan), kognitif (pengetahuan. persepsi, dan kepercayaan terhadap produk yang diiklankan), dan konatif (kecenderungan atau niat membeli).

  Senada dengan Teracce Shimp, Shiffman, dan Kanuk juga mengelompokkan 3 komponen sikap (kognitif, afektif. dan konatif) yang diberi nama Tricomponent Attitude Models. (1) komponen negatif yaitu pengetahuan dan persepsi yang diperoleh berdasarkan pengalaman langsung dengan objek sikap. Misalnya, seseorang melihat iklan lalu berpersepsi bahwa produk yang diiklankan tersebut sangat menarik dan memiliki kualitas yang baik. Pengetahuan dan persepsi yang ditimbulkan biasanya mengambil bentuk kepercayaan, yaitu kepercayaan konsumen bahwa objek sikap mempunyai berbagai sifat dan bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan hasil-hasil tertentu. (2) Komponen afektif mengacu pada emosi atau perasaan terhadap suatu objek, seperti perasaan suka terhadap iklan. Emosi dan perasaan ini sering dianggap oleh para peneliti konsumen sangat evaluatif sifatnya, yaitu mencakup penilaian seseorang terhadap objek sikap secara langsung dan menyeluruh atau sampai dimana seseorang menilai objek sikap “menyenangkan” atau “tidak menyenangkan”, “bagus” atau “jelek”. Misalnya seseorang bisa menyukai atau tidak menyukai iklan tersebut.

  (3) Komponen konatif merepresentasikan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan atas sebuah objek, misalnya konsumen menjadi menyukai iklan yang ia tonton sehingga berencana untuk membeli suatu produk. Menurut beberapa penafsiran. komponen konatif mungkin mencakup perilaku sesungguhnya itu sendiri.

  Dari teori Terrence maupun Kanuk yang serupa itu, terlihat jelas bahwa sebuah sikap terbentuk dan alur berpikir (kognitif), merasa (afektif), dan bertindak (konatif).

2.2.2.2. Sikap terhadap Merek

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Audience Terhadap Product/Brand Placement dalam Acara Televisi (Studi Kasus Pemirsa Bukan Empat Mata di Kota Medan)

3 45 162

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu - BAB II

0 2 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nasabah Memilih Menabung di Bank Sumut Cabang Syariah Medan

0 1 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Analisis Integrasi Dan Volatilitas Harga Beras Regional Asean Terhadap Pasar Beras Indonesia

0 1 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Analisis Potensi Industri Roti Kacang Dalam Pengembangan Wilayah di Kota Tebing Tinggi

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Majalah Hijabella dan Gaya Hidup Dalam Mengimitasi Budaya Populer Berhijab (Studi Korelasi Pada Mahasiswi di Kota Medan)

0 0 43

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Analisis Pengaruh Citra Merek dan Kualitas Produk Terhadap Keputusan Pembelian Sepeda Motor Honda di CV. Indah Sakti Kota Pinang

0 3 16

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Penelitian Terdahulu - Pengaruh Kemampuan Komunikasi dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Kebun Tanah Hitam Ulu

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Bank - Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Kredit Pemilikan Rumah di Kota Medan (Studi Kasus PT. BRI Medan)

0 0 21

AUDIENCE TERHADAP PRODUCTBRAND PLACEMENT DALAM ACARA TELEVISI (Studi Kasus Pemirsa Acara Bukan Empat Mata di kota Medan) PERHATIAN

0 0 18